• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENERIMAAN DIRI DALAM AGAMA BUDDH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PENERIMAAN DIRI DALAM AGAMA BUDDH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENERIMAAN DIRI DALAM AGAMA BUDDHA

(BAHAGIA ITU KETIKA KITA BISA MENERIMA DIRI SENDIRI)

Oleh Febrian Ariya Passaddhi

Attānance piyaṁ jañña, rakkheyya naṁ surakkhitaṁ

tiṇṇamaññataraṁ yāmaṁ, paṭijaggeyya paṇḍito

Bila orang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga dirinya dengan baik. Orang bijaksana selalu waspada selama tiga masa dalam kehidupannya.

(Dhp.157)

Banyak orang menganggap dirinya adalah manusia paling tidak beruntung di dunia. Apalagi ketika seseorang ditimpa masalah, entah itu dalam hal karir, keluarga maupun hubungan, ia langsung kehilangan semangat hidup, frustasi, bahkan menyerah kalah. Ia mengaggap dunia sudah tidak lagi berpihak padanya. Selain itu juga, masalah yang berkaitan dengan kepercayaan diri sering menghampiri orang-orang yang tidak pede. Tak sedikit yang mengeluh karena memiliki bentuk tubuh yang menurut mereka tidak ideal. Kemudian ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.

“Aku gendut! Ia langsing”

“Ih, kok kulitku item banget ya..”

Mau menerima diri sendiri dan orang lain

Berbicara tentang penerimaan, ada dua hal yang berkaitan dengan penerimaan, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri dan penerimaan terhadap orang lain. Kita sering terjebak dengan persoalan ini. Di satu waktu kita tidak mampu menerima diri sendiri, di waktu yang lain kita tidak mampu menerima orang lain. Ketika kita tidak mampu untuk menerima diri sendiri bisa saja kita akan merasa minder, tidak pede, dan rendah diri dan ketika kita tidak mampu menerima orang lain kita mulai menuntutnya untuk berubah, berubah menjadi seperti yang kita inginkan.

(2)

Sering kita merasa tidak percaya diri dengan kekurangan yang kita miliki. Semakin kita membanding-bandingan diri kita dengan orang lain apalagi dengan mereka yang berada jauh di atas kita, maka kita akan semakin tidak pede dengan diri sendiri. Inilah masalah yang seringkali menimpa mereka yang mengalami krisis percaya diri. Entah masih remaja maupun sudah dewasa, seseorang masih bisa mengalami masalah ini. Sungguh sulit untuk dapat menerima diri sendiri. Menerima diri sendiri artinya mampu menerima segala kekurangan maupun kelebihan yang kita miliki tanpa syarat.

Berkaitan dengan penerimaan terhadap orang lain, ketika kita mengalami masalah dengan orang lain, biasanya kita akan mudah untuk menyalahkan orang lain atas kemalangan yang menimpa diri kita. Kita akan mengatakan “Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang salah! Kamu! Kamu! Dan kamu!”. Kita selalu saja menunjuk orang lain namun lupa untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Kita menganggap semua masalah ini berasal dari luar diri kita, bukan dari dalam diri kita. Apakah kita cukup bijaksana?

Selain itu juga kita sudah terlalu terbiasa untuk memberi ‘label’ pada orang lain. Setiap kita melihat orang lain berbuat kesalahan maka kita akan memberikan cap kepada mereka. ‘Orang yang malas’, ‘pemboros’, ‘manusia pembohong’, ‘bodoh’, dan sebagainya. Sudah berapa banyak label yang kita berikan pada orang lain? Apakah kita sudah bisa membina diri sendiri dengan benar? Kalau jawabannya belum, mengapa terkadang kita terlalu asik untuk memberikan label pada orang lain? Tentunya lebih mudah bagi kita untuk menuntut orang lain untuk berubah daripada mawas diri.

Mengenali emosi negatif yang hadir

Dalam usaha kita untuk bisa menerima diri sendiri maupun orang lain, pertama-tama kita harus mengetaui emosi atau perasaan negatif yang muncul. Secara psikologis ketika kita mengalami kegelisahan, itu merupakan pertanda tubuh melalui perasaan mengirimkan sinyal-sinyal kepada kita bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hidup kita. Ada sesuatu, mungkin perilaku kita, cara pandang kita, apa yang menimpa kita yang membuat kita merasa tidak nyaman. Ketika kita tidak mampu menerima diri sendiri dan orang lain, biasanya akan muncul tiga emosi negatif, yaitu perasaan tertekan, marah, dan cemas.

1. Tertekan

(3)

kehilangan minat beraktivitas, mengurung diri di kamar, atau kehilangan selera makan.

Ketika kita sedang merasa tertekan bahkan depresi, berdiam diri di dalam kamar dapat menjadi berbahaya. Dalam buku “Biarkan Hujan Menyembuhkanmu” karya Wahyu Brahmastyo, ketika kita sedang merasa tertekan ataupun depresi, sangat dianjutkan bagi kita untuk pergi menemui orang-orang yang mampu memahami kondisi diri kita, misalnya sahabat atau keluarga. Kita bisa bercerita kepada mereka, dengan begitu beban emosi kita akan berkurang sekaligus dapat mengisi kembali tangki kasih sayang yang bocor bahkan kosong.

2. Marah

Berbicara tentang rasa marah, kita harus mengetahui perbedaan antara ‘meluapkan’ dengan ‘menyalurkan’, serta bedanya ‘mengelola’ dengan ‘memendam’. Karena biasanya ketika seseorang marah, jika kita tidak meluapkannya maka kita akan memendamnya. Kedua cara ini merupakan cara yang buruk untuk menangani perasaan marah. Yang harus kita lakukan adalah mengelolanya dan menyalurkannya. Jika kita memendamnya maka itu sama saja kita memelihara hewan buas atau monster dalam diri kita, memberinya makan agar semakin kuat, dan suatu saat nanti kemarahan ini akan mendobrak kandang dalam wujud yang sangat mengerikan. “Kalaupun kita harus marah, maka marahlah tanpa membenci”. Apakah kita bisa marah tanpa membenci?

Marah tidak selalu buruk. Marah juga bisa memunculkan keinginan untuk menghentikan ketidakadilan yang terjadi pada diri kita dan memberi kita cukup energi untuk melakukan perubahan. Tapi kita harus mengelolanya. Kita bisa meminta ijin pada teman kita untuk mendengarkan kemarahan kita. Kita bisa mengungkapkan kemarahan kita dan mengeluarkan racun-racunnya. Kita bisa mengeluarkan perasaan marah kita dalam bentuk kata-kata. Setelah itu kita akan menjadi lega dan tidak menyimpan dendam dalam diri kita.

3. Cemas

Cemas adalah emosi yang membuat kita waspada secara berlebihan. Perasaan ini membuat kita memandang berbagai macam hal yang tidak efektif sebagai sesuatu yang sangat perlu untuk dilakukan dengans segera. Kecemasan membuat yang kecil menjadi besar, yang mudah jadi sulit, dan yang sederhana jadi rumit. Kecemasan membuat yang belum tentu menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata. Dalam bukunya, Ajahn Brahm mengatakan “Memikirkannya jauh lebih sulit daripada melakukannya”. Sekali lagi, “Memikirkannya jauh lebih amat sangat sulit sekali daripada melakukannya”. Itulah kecemasan.

Menolong diri sendiri

(4)

dan usaha. Tidak ada orang lain yang mampu menolong diri kita selain diri kita sendiri. Setelah kita mampu menolong diri kita sendiri mengatasi kesulitan berkaitan dengan krisis percaya diri, rendah diri, dan tidak pede, baru kita mampu untuk menolong orang lain yang mengalami masalah serupa. “Menolong diri sendiri sebelum menolong orang lain”. Yakinlah bahwa pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mampu menolong diri kita sendiri sebelum menolong orang lain.

Untuk dapat mengatasi emosi-emosi negatif yang muncul seiring dengan lemahnya penerimaan terhadap diri sendiri, kita bisa mempraktikan ajaran Buddha. Buddha mengajarkan kepada kita untuk dapat memiliki pandangan benar (sammaditthi), sabar (khanti), dan puas dengan apa yang dimiliki (santuthi).

1. Pandangan benar (sammaditthi )

Dalam Maha Cattarika Sutta, Majjhima Nikaya, Buddha menjelaskan tentang pandangan benar:

“Yang dimaksud pengertian benar adalah melihat yang benar sebagai yang benar, melihat yang salah sebagai yang salah; bukan melihat yang salah sebagai benar, melihat yang benar sebagai salah, hal ini adalah pandangannya yang benar.”

Ketika seseorang memiliki ‘pandangan benar’ maka ia akan berpikiran benar, ketika seseorang memiliki ‘pandangan benar’ maka ia akan berucap benar, dst. Panna selalu menyertai, menjadi latar belakang. Panna selalu menyertai setiap tindakan seseorang. Pandangan benar adalah dasar dari setiap perbuatan benar yang lainnya. Sebaliknya pandangan salah mendasari setiap perbuatan salah yang lainnya.

Sudahkah kita memiliki pandangan benar? Kita harus memiliki pandangan benar tentang Hukum Kamma dan pandangan benar tentang Hukum sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamupada). Pertama, dengan memiliki pandangan benar mengenai hukum kamma, kita dapat menerima kondisi kita sekarang ini. Karena diri kita saat ini merupakan hasil dari perbuatan yang kita lakukan baik pada saat ini maupun masa-masa sebelumnya. Kita adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Entah kita pada kehidupan saat ini terlahir tinggi atau pendek, kurus atau gemuk, pintar atau tidak pintar. Semua itu adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Sudah selayaknya kita mau dan mampu menerima kekurangan yang ada pada diri kita tanpa syarat.

Kedua, dengan memiliki pandangan benar menenai hukum sebab musabab yang saling bergantungan, kita menjadi tidak mudah menyalahkan orang lain atas kemalangan yang kita terima. Kita memahami bahwa semua masalah yang menimpa kita bukan karena satu sebab tunggal, namun karena banyak sebab, dan kita pun berperan di dalamnya menjadi sebab. Banyak sebab banyak akibat.

(5)

“Khanti paramam tapo titikha”. Kesabaran adalah praktik bertapa yang paling tinggi.

Kesabaran amat kita perlukan, terutama ketika kita menghadapi hinaan dan celaan yang orang lain alamatkan kepada diri kita. Biasanya orang lain sangat suka menghina dan merendahkan kita atas kekuarangan yang kita miliki. Entah itu karena kita pendek, kurus, gemuk, tidak pandai dalam perkuliahan, dan sebagainya. Ketika orang lain mulai menertawakan kita karena kekurangan yang kita miliki, kita harus lebih bersabar dan tahan banting menghadapinya, di sinilah peran kesabaran dibutuhkan.

Kesabaran adalah pintu gerbang bagi terbukanya sikap penerimaan diri kita yang selama ini tertutup. Dengan kesabaran maka kita tidak mudah putus asa dan pantang menyerah. Dengan kesabaran kita akan lebih tahan banting menghadapi hinaan dan celaan. Mempraktikkan kesabaran juga akan menguatkan otot-otot emosional kita. Kita akan berpikir jernih dan tidak mudah terbawa emosi ketika dihadapkan dengan celaan dan hinaan. Apakah kita cukup sabar menghadapi celaan dan hinaan mereka?

3. Merasa puas dengan apa yang dimiliki (santuthi)

Merasa puas dengan kondisi saat ini. Walaupun kita memiliki banyak kekurangan, kita patut berbangga hati dengan kekuragan kita. Artinya kita dapat menerima kekurangan dan kelebihan kita secara tulus dan tanpa syarat. Kita mampu menerima diri kita apa adanya, salah satu contohnya tidak peduli apa kata orang mengenai bentuk fsik kita, entah itu tinggi, pendek, kurus ataupun gemuk, kita tidak perlu uring-uringan ketika banyak jerawat yang mampir di wajah kita. “Untung Cuma jerawat, dua hari lagi paling juga kempes”. Dengan merasa puas atas apa yang kita miliki, atau bahasa umumnya ‘bersyukur’, kita akan melihat bahwa kita masih lebih beruntung dari orang lain.

“Inilah aku dengan sejuta kekuranganku dan sejuta kelebihanku”

Jika terkadang kita hanya mampu melihat kekurangan yang ada pada diri kita, mulai saat ini belajarlah untuk melihat kelebihan yang kita miliki. Dibalik sejuta kekurangan yang kita miliki, tersimpan sejuta kelebihan pada diri kita. Banyak diantara kita yang sebenarnya berbakat dalam hal menyanyi, bermain musik, melukis, menulis, memasak, fotograf, desain grafs dan di banyak bidang lainnya. Hanya saja kita harus rajin-rajin menggali, mengasah, dan mengembangkan kelebihan atau bakat kita tersebut.

Dengan mempraktikkan ajaran Buddha mengenai pandangan benar, kesabaran, dan merasa puas dengan kondisi saat ini, kita dapat menerima diri kita apa adanya dan tanpa syarat.

(6)

Suatu ketika ada seorang pelukis. Ia amat pandai melukis. Lukisannya pun diminati oleh banyak kolektor lukisan. Suatu hari ia mengalami kecelakaan motor sehingga dokter harus mengamputasi lengan kanannya. Lengan yang selama ini ia pakai untuk melukis. Akibatnya ia tidak bisa lagi melakukan hal yang paling ia cintai di dunia. Ia begitu terpukul, terpuruk, dan patah arang. Hilang sudah harapan dan semangatnya untuk melanjutkan hidup.

Segera setelah ia keluar dari rumah sakit, ia memanjat gedung tinggi, berdiri di pinggir puncak gedung itu. Ia berniat mengakhiri hidupnya. Tetapi, yang terjadi kemudian ketika ia hendak melompat, ia melihat ada orang berjalan di bawah, pria tanpa lengan sama sekali, sedang menari di teras depan gedung itu. Ia ternganga melihat pemandangan yang tak disangka-sangka itu. Ia berpikir, “Ya Tuhan! Aku baru kehilangan satu lengan saja sudah putus asa, sedangkan ada orang tanpa lengan sama sekali, tetapi ia menari penuh sukacita! Apaan sih yang kulakukan sampai ingin bunuh diri segala?”

Ia membatalkan niatnya, memutuskan untuk tetap hidup. Namun ia ingin tahu rahasia orang yang tak punya lengan ini. Bagaimana mungkin ia masih bisa menari-nari sebegitu bahagianya! Lalu ia lari turun hingga ke teras dan berhasil menemui pria itu. Kemudia ia pun berkata, “Pak! Anda telah menyelamatkan nyawa saya! Saya baru kehilangan satu lengan dan hampir saja bunuh diri. Anda menyelamatkan saya ketika saya melihat anda, yang tak punya lengan sama sekali, menari gembira di jalan. Kok anda bisa begitu ya? Beritahu saya!”

Referensi

Dokumen terkait

dengannya kita akan belajar untuk tidak menyalahkan orang lain, tetapi lebih.. mengintrospeksi diri terlebih

Berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, Christopher dalam Selingman (2013) mengatakan bahwa penjelasan psikologi positif tentang hubungan positif jika dijelaskan

Tidak langsung menyalahkan pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat kita dalam musyawarah yang dilandasi asas kekeluargaan adalah wujud sikap ..E. menghargai pendapat

Hasil penelitian responden pada dukungan caregiver yang kurang mengalami penerimaan diri kurang ada 8 orang, ini menunjukkan bahwa dukungan caregiver pada penderita

Di lain kesempatan, roda kehidupan berputar, dan sekarang giliran kita yang mengalami kehilangan, kita jadi gegana (gelisah, galau, merana) karena kehilangan orang

Individu yang memiliki penerimaan diri baik biasanya akan memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab, percaya pada kemampuan dirinya, memiliki pandangan

Konsep diri adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalahnya sendiri, mampu bersikap terbuka, tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain,

Kau taruh dalam taman Eden itulah yang membuat aku berdosa”. Manusia berdosa ingin menyalahkan orang lain, tapi membenarkan dirinya sendiri. Ketika kita berdosa jangan