• Tidak ada hasil yang ditemukan

akulturasi islam dengan budaya lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "akulturasi islam dengan budaya lokal"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Makalah Sejarah Siswa Kelas X TP. 2015/2016

Akulturasi Kebudayaan Islam

Dengan Hindu Budha di Indonesia

Disusun Oleh:

Daffa’ Satya Ananta

X-8/10

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Akulturasi Kebudayaan Islam Dengan Hindu Budha.terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Vita Yektiani sebagai pamong pengajar sejarah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Makalah ini berisikan tentang beberapa contoh akulturasi islam dengan hindu budha di indonesia. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang akulturasi ini dan bagaimana cara para pemuka agama terdahulu dalam mendakwahkan islam dengan cara mereka masing-masing.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Kediri, 6 April 2016

Penyusun

(3)

1. Upacara Sekaten

Upacara Sekaten Adalah Sebuah Upacara Ritual Di Kraton Yogyakarta Yang Dilaksanakan Setiap Tahun. Upacara Ini Dilaksanakan Selama Tujuh Hari, Yaitu Sejak Tanggal 5 Mulud (Rabiulawal) Sore Hari Sampai Dengan Tanggal 11 Mulud (Rabiulawal) Tengah Malam. Upacara Sekaten Diselenggarakan Untuk Memperingati Hari Kelahiran (Mulud) Nabi Muhammad Saw. Tujuan Lain Dari Penyelenggaraan Upacara Ini Adalah Untuk Sarana Penyebaran Agama Islam.

Ada Beberapa Pendapat Mengenai Asal Mula Nama Sekaten, Yaitu:

 Kata Sekaten Berasal Dari Kata

Sekati, Yaitu Nama Dari Dua Perangkat Gamelan Pusaka Kraton Yogyakarta Yang Bernama Kanjeng Kyai Sekati Yang Ditabuh Dalam Rangkaian Acara Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad Saw.

 Sekaten Berasal Dari Kata Suka Dan Ati Yang Berarti Suka Hati Atau Senang Hati. Hal Ini

Didasarkan Bahwa Pada Saat Menyambut Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad Saw, Orang-Orang Dalam Suasana Bersuka Hati.

 Pendapat Lain Mengatakan Bahwa Sekaten Berasal Dari Kata Syahadatain, Yang Maksudnya Dua Kalimat Syahadat Yang Diucapkan Ketika Seseorang Hendak Memeluk Agama Islam. Pendapat Ini Didasari Bahwa Pada Jaman Dahulu Upacara Sekaten Diselenggarakan Untuk Menyebarkan Agama Islam.

Bentuk-Bentuk Ritus Yang Ditampilkan Dalam Acara Sekaten Adalah Sebagai Berikut.

1. Persiapan Fisik Dan Non Fisik Petugas Upacara.

2. Pengeluaran Gamelan Pusaka Kanjeng Kyai Sekati Yang Terdiri Dari Dua Perangkat, Yaitu Kanjeng Kyai Guntur Madu Dan Kanjeng Kyai Nagawilaga Dari Persemayamannya.

3. Pemukulan Gamelan Pusaka, Kanjeng Kyai Sekati, Di Dalam Kraton Yogyakarta, Tepatnya Di Bangsal Ponconiti Tratag Barat Dan Timur.

4. Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sri Sultan Pada Saat Pemukulan Gamelan, Baik Untuk Pengunjung Maupun Untuk Para Pemukul Gamelan.

5. Pemindahan Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dari Kraton Ke Masjid Besar.

6. Pemukulan Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Di Masjid Besar.

7. Kehadiran Sri Sultan Ke Masjid Besar Untuk Mengikuti Upacara Peringatan Hari Besar Mulud Nabi Muhammad Saw.

(4)

9. Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sri Sultan Di Antara Saka Guru (Tiang Utama) Masjid Besar.

10.Pembacaan Riwayat Nabi Muhammad Saw.

11. Penyematan Bunga Kanthil (Cempaka) Pada Daun Telinga Kanan Sri Sultan Pada Saat Pembacaan Riwayat Nabi Muhammad Saw Sampai Pada Asrokal (Semacam Bacaan Berjanji).

12.Kembalinya Sri Sultan Dari Masjid Besar Ke Kraton.

13.Kembalinya Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dari Masjid Besar Ke Persemayamannya Di Dalam Kraton.

Urutan Atau Tata Cara Ritual Dalam Penyelenggaraan Upacara Sekaten Terdiri Dari 5 Tahapan, Yaitu Tahap Persiapan, Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan, Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke Halaman Masjid Besar, Tahap Sri Sultan Hadir Di Masjid Besar, Dan Tahap Kondur Gongsa. Seluruh Tahapan Ini Berlangsung Selama Tujuh Hari.

1. Tahap Persiapan

Tahap Pertama Adalah Tahap Persiapan. Ada 2 Jenis Persiapan, Yaitu Persiapan Fisik Dan Persiapan Non Fisik. Persiapan Fisik Berwujud Benda-Benda Dan Perlengkapan-Perlengkapan Yang Diperlukan Dalam Penyelenggaraan Upacara, Sedangkan Persiapan Non Fisik Berwujud Sikap Dan Perbuatan Yang Harus Dilakukan Sebelum Pelaksanaan Upacara.

Untuk Persiapan Non Fisik, Para Abdi Dalem Yang Akan Terlibat Dalam Upacara Harus Mempersiapkan Diri, Terutama Mental Mereka Untuk Mengemban Tugas Yang Dianggap Sakral Tersebut. Para Abdi Dalem Yang Bertugas Menabuh Gamelan Sekaten Harus Menyucikan Diri Dengan Berpuasa Dan Siram Jamas (Mandi Keramas). Gamelan Pusaka Adalah Benda Pusaka Kraton, Sehingga Dalam Memperlakukannya Harus Dengan Penghormatan Yang Khusus.

Untuk Persiapan Yang Berwujud Fisik, Benda-Benda Dan Perlengkapan-Perlengkapan Yang Perlu Diperlukan Dalam Penyelenggaraan Upacara Adalah Sebagai Berikut.

1. Gamelan Sekaten, Yaitu Gamelan Pusaka Bernama Kanjeng Kyai Sekati.

2. Perbendaharaan Lagu-Lagu Atau Gending-Gending Khusus Yang Tidak Pernah Dibunyikan Pada Acara Lain. Konon, Lagu Tersebut Merupakan Ciptaan Walisanga Pada Jaman Kerajaan Demak. Lagu-Lagu Tersebut Adalah Rambu Pathet Lima, Rangkung Pathet Lima, Lunggadhung Pelog Pathet Lima, Atur-Atur Pathet Nem, Andong-Andong Pathet Lima, Rendheng Pathet Lima, Jaumi Pathet Lima, Gliyung Pathet Nem, Salatun Pathet Nem, Dhindhang Sabinah Pathet Nem, Muru Putih, Orang-Orang Pathet Nem, Ngajatun Pathet Nem, Bayem Tur Pathet Nem, Supiatun Pathet Barang, Srundheng Gosong Pelog Pathet Barang.

3. Sejumlah Kepingan Uang Logam Untuk Disebarkan Dalam Upacara Udhik-Udhik.

4. Naskah Riwayat Mulud Nabi Muhammad Saw Yang Akan Dibacakan Oleh Kyai Pengulu Pada Tanggal 11 Rabiulawal Malam.

5. Sejumlah Bunga Kanthil (Cempaka) Yang Akan Disematkan Pada Daun Telinga Kanan Sri Sultan Dan Para Pengiringnya Pada Saat Menghadiri Pembacaan Riwayat Mulud Nabi Muhammad Saw.

6. Busana Seragam Yang Masih Baru Dan Sejumlah Samir Khusus Untuk Dipakai Oleh Para Niaga Yang Bertugas Menabuh Gamelan.

(5)

Tahap Kedua Adalah Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan. Gamelan Sekaten Akan Dibunyikan Di Dalam Kraton, Tepatnya Di Bangsal Ponconiti Yang Berada Di Halaman Kemandhungan Atau Keben, Yaitu Di Tratag Bagian Timur Dan Tratag Bagian Barat. Pada Pukul 16.00 Wib Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu Dan Kanjeng Kyai Nagawilaga Dikeluarkan Dari Tempat Persemayamannya. Kanjeng Kyai Guntur Madu Ditata Di Tratag Bagian Timur, Sedangkan Kanjeng Kyai Nagawilaga Ditata Di Tratag Bagian Barat.

Selepas Waktu Shalat Isya Dan Setelah Semua Persiapan Selesai, Para Abdi Dalem Yang Bertugas Di Bangsal Ponconiti Memberi Laporan Pada Sri Sultan Bahwa Upacara Siap Dimulai. Setelah Ada Perintah Dari Sri Sultan Melalui Abdi Dalem Yang Diutus, Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan. Gamelan Sekaten Dibunyikan Mulai Dari Pukul 19.00 Wib Hingga Pukul 23.00 Wib. Penabuhan Gamelan Dilakukan Berselang-Seling Dari Kanjeng Kyai Guntur Madu Disusul Kanjeng Kyai Nagawilaga Dengan Urutan Gending Yang Sudah Ditentukan.

Pada Pukul 20.00 Wib, Sri Sultan Atau Utusannya Diiringi Para Pangeran, Kerabat, Dan Para Bupati Datang Ke Tempat Gamelan Dibunyikan Untuk Menyebarkan Udhik-Udhik. Menurut Kepercayaan Masyarakat, Kepingan Uang Logam Udhik-Udhik Dapat Membawa Keberuntungan, Kesejahteraan, Dan Kebahagiaan Bagi Siapa Saja Yang Berhasil Mendapatkannya. Awalnya Udhik-Udhik Disebarkan Di Bangsal Ponconiti Tratag Timur, Ke Arah Para Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu, Kemudian Ke Bangsal Ponconiti Tratag Barat, Ke Arah Para Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Nagawilaga, Selanjutnya Disebarkan Ke Arah Pengunjung.

Pada Saat Sri Sultan Atau Utusannya Menyebar Udhik-Udhik, Para Pemukul Gamelan Tidak Berani Mengambil, Melainkan Terus Melanjutkan Tugasnya Untuk Memukul Gamelan. Setelah Gending Yang Dibunyikannya Berakhir, Barulah Mereka Berani Memunguti Udhik-Udhik Yang Jatuh Di Dekatnya. Saat Sri Sultan Atau Yang Mewakili Datang Mendekat, Bunyi Gamelan Yang Didekati Dibuat Lembut Dengan Dipukul Tidak Teerlalu Keras, Sampai Sultan Mendekati Tempat Tersebut. Dimulainya Penabuhan Gamelan Pusaka Kanjeng Kyai Sekati Merupakan Pertanda Dimulainya Upacara Sekaten.

3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke Halaman Masjid Besar

Tahap Selanjutnya Adalah Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke Halaman Masjid Besar. Pada Pukul 23.00 Wib, Bunyi Gamelan Sudah Berhenti. Bersamaan Dengan Itu, Datanglah Para Prajurit Yang Akan Bertugas Mengawal Iring-Iringan Gamelan Dari Kraton Menuju Halaman Masjid Besar, Serta Para Abdi Dalem Khp Wahono Sarta Kriya Yang Akan Bertugas Mengusung Gamelan.

Pada Pukul 24.00 Wib, Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dipindahkan Dari Kraton Ke Halaman Masjid Besar. Pemindahan Gamelan Dikawal Oleh Dua Pasukan Prajurit Kraton, Yaitu Prajurit Mantrijero Dan Prajurit Ketanggung. Urut-Urutan Iring-Iringan Diawali Petugas Pengawal Kepolisian, Diikuti Para Panji Abdi Dalem Prajurit, Disambung Abdi Dalem Sipat Bupati Keprajan Utusan Pemerintah Kota Yogyakarta, Disambung Abdi Dalem Prajurit Ngurung-Urung (Melindungi Di Samping Kiri Dan Kanan) Jalannya Iring-Iringan Gamelan, Diikuti Oleh Orang-Orang Yang Semula Berkerumun Di Halaman Kemandhungan.

Di Masjid Besar, Gamelan Sekaten Dibunyikan Selama 7 Hari 7 Malam, Kecuali Pada Hari Kamis Malam Atau Malam Jumat Hingga Sehabis Shalat Jumat. Setiap Hari Gamelan Sekaten Dibunyikan Sebanyak Tiga Kali, Yaitu Pagi (Pukul 08.00 – 11.00 Wib), Siang (Pukul 14.00 – 17.00 Wib), Dan Malam (Pukul 20.00 – 23.00 Wib). Cara Membunyikannya Adalah Bergantian Dari Kanjeng Kyai Guntur Madu Kemudian Kanjeng Kyai Nagawilaga, Dengan Gending Yang Sama.

4. Tahap Sri Sultan Hadir Di Masjid Besar

(6)

Udhik-Udhik Ke Arah Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Nagawilaga. Selanjutnya Sultan Melanjutkan Perjalanan Menuju Masjid.

Sesampainya Di Depan Mihrab, Sri Sultan Dan Kyai Pengulu Berdiri Di Depan Pengimamam Menghadap Ke Arah Timur. Seorang Abdi Dalem Punokawan Kaji Menyerahkan Pada Sultan Sebuah Bokor Berisi Udhik-Udhik Untuk Disebar Di Antara Saka Guru Masjid Besar Serta Ke Arah Kerabat, Para Abdi Dalem, Beserta Para Hadirin. Setelah Itu, Sultan Keluar Dari Masjid Lalu Duduk Di Serambi Masjid Dengan Beralaskan Kain Putih.

Setelah Semuanya Siap, Sultan Mengucapkan Salam, Lalu Memberi Isyarat Pada Kanjeng Raden Pengulu Untuk Memulai Membacakan Riwayat Nabi Muhammad Saw. Pada Saat Pembacaan Mulud Nabi Muhammad Saw Sampai Pada Asrokal (Peristiwa Kelahiran Nabi), Sri Sultan Beserta Para Pengiringnya Menerima Persembahan Bunga Cempaka Dari Kyai Pengulu. Pembacaan Riwayat Mulud Nabi Muhammad Saw Selesai Kira-Kira Pukul 24.00 Wib. Bacaan Diakhiri Dengan Doa Oleh Kanjeng Raden Pengulu. Setelah Doa, Sultan Mengucapkan Salam Lalu Kembali Ke Kraton.

5. Tahap Kondur Gongso

Pada Tanggal 11 Rabiulawal, Kira-Kira Pukul 24.00 Wib, Setelah Sultan Meninggalkan Masjid Besar, Gamelan Sekaten Diboyong Kembali Ke Kraton, Yang Disebut Kondur Gongso. Sesampainya Di Kraton, Gamelan Langsung Disemayamkan Di Tempatnya Semula. Dengan Dipindahkannya Gamelan Pusaka Kanjeng Kyai Sekati Kembali Ke Kraton, Menandakan Bahwa Upacara Sekaten Telah Selesai.

2. Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak Merupakan Masjid Tertua Di Pulau Jawa, Didirikan Wali Sembilan Atau Wali Songo. Lokasi Masjid Berada Di Pusat Kota Demak, Berjarak ± 26 Km Dari Kota Semarang, ± 25 Km Dari Kabupaten Kudus, Dan ± 35 Km Dari Kabupaten Jepara. Masjid Ini Merupakan Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak.

Struktur Bangunan Masjid Mempunyai Nilai Historis Seni Bangun Arsitektur Tradisional Khas Indonesia. Wujudnya Megah, Anggun, Indah, “Condro Sengkolo”, Yang Berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, Dengan Makna Tahun 1388 Saka Atau 1466

M, Atau 887 H.

Raden Patah Bersama Wali Songo Mendirikan Masjid Yang Karismatik Ini Dengan Memberi Gambar Serupa Bulus. Ini Merupakan Candra Sengkala Memet, Dengan Arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti Yang Bermakna

Tahun 1401 Saka.

Gambar Bulus Terdiri Atas Kepala Yang Berarti Angka 1 (Satu), 4 Kaki Berarti Angka 4 (Empat), Badan Bulus Berarti Angka 0 (Nol), Ekor Bulus Berarti Angka 1 (Satu). Dari Simbol Ini Diperkirakan Masjid Agung Demak Berdiri Pada Tahun 1401 Saka. Masjid Ini Didirikan Pada Tanggal 1 Shofar.

Soko Majapahit, Tiang Ini Berjumlah Delapan Buah Terletak Di Serambi Masjid. Benda Purbakala Hadiah Dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi Ini Diberikan Kepada Raden Fattah Ketika Menjadi Adipati

Notoprojo Di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.

(7)

Konstruksi Kayu Jati, Dengan Bentuk Atap Limasan Berupa Sirap ( Genteng Dari Kayu ) Kayu Jati. Bangunan Ini Ditopang 8 Tiang Penyangga, Di Mana 4 Diantaranya Berhias Ukiran Motif Majapahit. Luas Lantai Yang Membujur Ke Kiblat Berukuran 15 X 7,30 M. Pawestren Ini Dibuat Pada Zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, Tercermin Dari Bentuk Dan Motif Ukiran Maksurah Atau Kholwat Yang Menerakan Tahun

1866 M.

Surya Majapahit , Merupakan Gambar Hiasan Segi 8 Yang Sangat Populer Pada Masa Majapahit. Para Ahli Purbakala Menafsirkan Gambar Ini Sebagai Lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit Di Masjid Agung Demak Dibuat Pada Tahun 1401 Tahun Saka, Atau 1479 M. Maksurah , Merupakan Artefak Bangunan Berukir Peninggalan Masa Lampau Yang Memiliki Nilai Estetika Unik Dan Indah. Karya Seni Ini Mendominasi Keindahan Ruang Dalam Masjid. Artefak Maksurah Didalamnya Berukirkan Tulisan Arab Yang Intinya Memulyakan Ke-Esa-An Tuhan Allah Swt. Prasasti Di Dalam Maksurah Menyebut Angka Tahun 1287 H Atau 1866 M, Di Mana Saat Itu Adipati Demak Dijabat

Oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.

Pintu Bledheg, Pintu Yang Konon Diyakini Mampu Menangkal Petir Ini Merupakan Ciptaan Ki Ageng Selo Pada Zaman Wali. Peninggalan Ini Merupakan Prasasti “Condro Sengkolo” Yang Berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, Bermakna Tahun 1388 Saka Atau 1466 M, Atau 887 H. Mihrab Atau Tempat Pengimaman, Didalamnya Terdapat Hiasan Gambar Bulus Yang Merupakan Prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti Ini Memiliki Arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, Bermakna Tahun 1401 Saka Atau 1479 M (Hasil Perumusan Ijtihad). Di Depan Mihrab Sebelah Kanan Terdapat Mimbar Untuk Khotbah. Benda Arkeolog Ini Dikenal Dengan Sebutan Dampar Kencono Warisan Dari Majapahit.

Dampar Kencana , Benda Arkeologi Ini Merupakan Peninggalan Majapahit Abad Xv, Sebagai Hadiah Untuk Raden Fattah Sultan Demak I Dari Ayahanda Prabu Brawijaya Ke V Raden Kertabumi. Semenjak Tahta Kasultanan Demak Dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, Secara Universal Wilayah Nusantara Menyatu Dan Masyhur, Seolah Mengulang Kejayaan Patih Gajah Mada.

Soko Tatal / Soko Guru Yang Berjumlah 4 Ini Merupakan Tiang Utama Penyangga Kerangka Atap Masjid Yang Bersusun Tiga. Masing-Masing Soko Guru Memiliki Tinggi 1630 Cm. Formasi Tata Letak Empat Soko Guru Dipancangkan

Pada Empat

Penjuru Mata Angin.

Yang Berada Di Barat Laut Didirikan Sunan Bonang, Di Barat

Daya Karya Sunan Gunung Jati, Di Bagian Tenggara Buatan Sunan Ampel, Dan Yang Berdiri Di Timur Laut Karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat Menamakan Tiang Buatan Sunan Kalijaga Ini Sebagai Soko Tatal.

(8)

Dipergunakan Lagi.

Menara, Bangunan Sebagai Tempat Adzan Ini Didirikan Dengan Konstruksi Baja. Pemilihan Konstruksi Baja Sekaligus Menjawab Tuntutan Modernisasi Abad Xx. Pembangunan Menara Diprakarsai Para Ulama, Seperti Kh.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, Dan H.Moechsin.

3. Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus (Disebut Juga Dengan Masjid Al Aqsa Dan Masjid Al Manar) Adalah Sebuah Mesjid Yang Dibangun Oleh Sunan Kudus Pada Tahun 1549 Masehi Atau Tahun 956 Hijriah Dengan Menggunakan Batu Baitul Maqdis Dari Palestina Sebagai Batu Pertama. Masjid Ini Terletak Di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupateen Kudus, Jawa Tengah. Mesjid Ini Berbentuk Unik, Karena Memiliki Menara Yang Serupa Bangunan Candi. Masjid Ini Adalah Perpaduan Antara Budaya Islam Dengan Budaya Hindu.

Berdirinya Masjid Menara Kudus Tidak Lepas Dari Peran Sunan Kudus Sebagai Pendiri Dan Pemrakarsa. Sebagaimana Para Walisongo Yang Lainnya, Sunan Kudus Memiliki Cara Yang Amat Bijaksana Dalam Dakwahnya. Di Antaranya, Beliau Mampu Melakukan Adaptasi Dan Pribumisasi Ajaran Islam Di Tengah Masyarakat Yang Telah Memiliki Budaya Mapan Dengan Mayoritas Beragama Hindu Dan Budha. Pencampuran Budaya Hindu Dan Budha Dalam Dakwah Yang Dilakukan Sunan Kudus, Salah Satunya Dapat Kita Lihat Pada Masjid Menara Kudus Ini.

Masjid Ini Didirikan Pada Tahun 956 H Atau 1549 M. Hal Ini Dapat Diketahui Dari Inskripsi (Prasasti) Pada Batu Yang Lebarnya 30 Cm Dan Panjang 46 Cm Yang Terletak Pada Mihrab Masjid Yang Ditulis Dalam Bahasa Arab. Menara Kudus Memiliki Ketinggian Sekitar 18 Meter Dengan Bagian Dasar Berukuran 10 X 10 M. Di Sekeliling Bangunan Dihias Dengan Piring-Piring Bergambar Yang Kesemuanya Berjumlah 32 Buah. Dua Puluh Buah Di Antaranya Berwarna Biru Serta Berlukiskan Masjid Manusia Dengan Unta Dan Pohon Kurma. Sementara Itu, 12 Buah Lainnya Berwarna Merah Putih Berlukiskan Kembang. Di Dalam Menara Terdapat Tangga Yang Terbuat Dari Kayu Jata Yang Mungkin Dibuat Pada Tahun 1895 M. Bangunan Dan Hiasannya Jelas Menunjukkan Adanya Hubungan Dengan Kesenian Hindu Jawa Karena Bangunan Menara Kudus Itu Terdiri Dari 3 Bagian: (1) Kaki, (2) Badan, Dan (3) Puncak Bangunan. Menara Ini Dihiasi Pula Antefiks (Hiasan Yang Menyerupai Bukit Kecil).

Kaki Dan Badan Menara Dibangun Dan Diukir Dengan Tradisi Jawa-Hindu, Termasuk Motifnya. Ciri Lainnya Bisa Dilihat Pada Penggunaan Material Batu Bata Yang Dipasang Tanpa Perekat Semen. Teknik Konstruksi Tradisional Jawa Juga Dapat Dilihat Pada Bagian Kepala Menara Yang Berbentuk Suatu Bangunan Berkonstruksi Kayu Jati Dengan Empat Batang Saka Guru Yang Menopang Dua Tumpuk Atap Tajug.

Pada Bagian Puncak Atap Tajug Terdapat Semacam Mustaka (Kepala) Seperti Pada Puncak Atap Tumpang Bangunan Utama Masjid-Masjid Tradisional Di Jawa Yang Jelas Merujuk Pada Unsur Arsitektur Jawa-Hindu

(9)

Dalam Pertunjukan Wayang, Kehadiran Semar, Petruk, Gareng, Dan Bagong Selalu Dinanti-Nanti Para Penonton. Keempatnya Merupakan Karakter Khas Dalam Wayang Jawa (Punakawan). Dalam Wayang Golek Terdapat Peran Semar, Cepot, Dawala, Serta Gareng. Punakawan Merupakan Karakter Yang Khas Dalam Wayang Indonesia. Kehadiran Karakter Lokal Itu Melambangkan Orang Kebanyakan. Karakternya Mengindikasikan Bermacam-Macam Peran, Seperti Penasihat Para Kesatria, Penghibur, Kritik Sosial, Badut, Bahkan Sumber Kebenaran Dan Kebijakan.

Pendekatan Ajaran Islam Dalam Kesenian Wayang Juga Tampak Dari Nama-Nama Tokoh Punakawan. Barangkali Tak Banyak Orang Yang Tahu Kalau Nama-Nama-Nama-Nama Tokoh Pewayangan, Seperti Semar, Gareng, Petruk, Dan Bagong Sebenarnya Berasal Dari Bahasa Arab. Ada Yang Menyebutkan, Semar Berasal Dari Kata Sammir Yang Artinya “Siap Sedia”. Namun, Ada Pula Yang Meyakini Bahwa Kata Semar Berasal Dari Bahasa Arab Ismar. Menurut Orang Yang Berpendapat Ini, Lidah Orang Jawa Membaca Kata Is- Menjadi Se-. Contohnya Seperti Istambul Dibaca Setambul. Ismar Berarti Paku. Tak Heran, Jika Tokoh Semar Selalu Tampil Sebagai Pengokoh (Paku) Terhadap Semua Kebenaran Yang Ada. Ia Selalu Tampil Sebagai Penasihat.

Lalu, Ada Yang Berpendapat, Gareng Berasal Dari Kata Khair Yang Bermakna Kebaikan Atau Kebagusan. Versi Lain Meyakini, Nala Gareng Diadaptasi Dari Kata Naala Qariin. Orang Jawa Melafalkannya Menjadi Nala Gareng. Kata Ini Berarti “Memperoleh Banyak Teman”. Dalam Laman Wayang.Blogspot.Com Disebutkan, Hal Itu Sesuai Dengan Dakwah Para Aulia Sebagai Juru Dakwah Untuk Memperoleh Sebanyak-Banyaknya Umat Agar Kembali Ke Jalan Allah Swt Dengan Sikap Arif Dan Harapan Yang Baik.

Bagaimana Dengan Petruk? Ada Yang Berpendapat, Petruk Berasal Dari Kata Fatruk Yang Berarti Meninggalkan. Selain Itu, Ada Juga Yang Berpendapat Kata Petruk Diadaptasi Dari Kata Fatruk-Kata Pangkal Dari Sebuah Wejangan (Petuah) Tasawuf, “Fat-Ruk Kulla Maa Siwallaahi” (Tinggalkan Semua Apa Pun Yang Selain Allah). Wejangan Itu, Menurut Tulisan Dalam Laman Wayang.Blogspot.Com, Menjadi Watak Para Aulia Dan Mubalig Pada Waktu Itu. Petruk Juga Sering Disebut Kanthong Bolong, Artinya Kantong Yang Berlubang. “Maknanya Bahwa Setiap Manusia Harus Menzakatkan Hartanya Dan Menyerahkan Jiwa Raganya Kepada Allah Swt Secara Ikhlas, Seperti Berlubangnya Kantong Yang Tanpa Penghalang,” Papar Tulisan Itu.

Sedangkan Bagong, Diyakini Berasal Dari Kata Bagho Yang Artinya Lalim Atau Kejelekan. Pendapat Lainnya Menyebutkan, Bagong Berasal Dari Kata Baghaa Yang Berarti Berontak. Yakni, Berontak Terhadap Kebatilan Dan Keangkaramurkaan. Dalam Pergelaran Wayang, Keempat Tokoh Punakawan Itu Selalu Keluar Pada Waktu Yang Tak Bersamaan. Biasanya, Tokoh Semar Yang Dimunculkan Pertama Kali, Baru Kemudian Diikuti Gareng, Petruk, Dan Terakhir Bagong. Secara Tak Langsung Urutan Tersebut Menunjukkan Ajakan (Dakwah) Yang Diserukan Para Wali Zaman Dahulu Agar Meninggalkan Kepercayaan Animisme, Dinamisme, Dan Kepercayaan-Kepercayaan Lain Menuju Ajaran Islam.

Jika Punakawan Ini Disusun Secara Berurutan, Semar, Gareng, Petruk, Dan Bagong, Secara Harfiah Bermakna, “Berangkatkan Menuju Kebaikan, Maka Kamu Akan Meninggalkan Kejelekan.” Selain Punakawan, Istilah-Istilah Lain Dalam Pewayangan Juga Banyak Berasal Dari Istilah Arab. Astina Yang Diistilahkan Sebagai Nama Kerajaan Para Penguasa Yang Lalim, Diyakini Lebih Dekat Dengan Kata Asy-Syaithan. Rajanya, Duryudana, Lebih Dekat Dengan Kata Durjana. Setiap Orang Jahat (Durjana), Pasti Akan Menemukan Kekalahan Dan Menjadi Teman Setan Di Neraka.

(10)

Ini Menggambarkan Bahwa Yang Baik Dan Yang Buruk Itu Berbeda. Sementara Itu, Tokoh Pewayangan Yang Dikenal Kuat, Perkasa, Dan Berjiwa Kesatria Adalah Bima. Ia Memiliki Kekuatan Yang Disebut Dodot Bangbang Tulu Aji Dan Kuku Pancanaka. Kata Tulu Aji Bermakna Tiga Aji Atau Tiga Kekuatan. Maksud Ajian Itu Adalah Bima Diselimuti Tiga Ilmu, Yaitu Iman, Islam, Dan Ihsan.

Sedangkan Kuku Pancanaka Merupakan Kekuatan Untuk Melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku Pancanaka Memiliki Arti Kekuatan Lima Waktu. Apabila Kedua Kekuatan Itu Digunakan, Merupakan Simbolisasi Yang Berarti Apabila Telah Memiliki Iman, Islam, Dan Ihsan, Tak Akan Pernah Meninggalkan Shalat Lima Waktu.

Kata Dalang Sendiri Diambil Dari Kata ‘Dalla’ Yang Berarti Menunjukkan Jalan Yang Benar. Demikian Juga Kisah-Kisah Wayang Yang Dibuat Oleh Walisongo Kesemuanya Menampilkan Cerita Islami. Di Antaranya Cerita Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk Jadi Raja, Dan Wahyu Hidayat (Wahyu Petunjuk).

5. Serat Darmagandhul

Serat Darmagandhul Adalah Suatu Karya Sastra Jawa Baru Berbentuk Puisi Tembang Macapat Yang Menceritakan Jatuhnya Majapahit Karena Serbuan Tentara Demak Yang Dibantu Oleh Walisongo.

Darmagandhul Ditulis Oleh Ki Kalamwadi, Dengan Waktu Penulisan Hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (Atau Sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, Sama Dengan 16 Desember 1900). Sebagian Ada Yang Berpendapat Bahwa Pengarang Sesungguhnya Adalah Ronggowarsito Dengan Nama Samaran Kalamwadi, Yang Dalam Bahasa Jawa Dapat Pula Berarti Kabar (Kalam) Yang Dirahasiakan (Wadi). Karya Ini Ditulis Dalam Bentuk Dialog Yang Terjadi Antara Ki Kalamwadi Dan Muridnya Darmagandhul. Namun Teori Itu Mudah Terbantah, Karena Ronggowarsito Telah Meninggal 29 Tahun Sebelumnya.

Dialog Diawali Dari Pertanyaan Darmagandhul Kepada Gurunya Mengenai Kapan Terjadinya Perubahan Agama Di Jawa. Disebutkan Bahwa Ki Kalamwadi Kemudian Memberikan Keterangan-Keterangan Berdasarkan Penjelasan Dari Gurunya, Yang Bernama Raden Budi. Cerita Dan Ajaran Yang Diuraikan Oleh Ki Kalamwadi Memuat Berbagai Hal; Antara Lain Jatuhnya Kerajaan Majapahit, Berbagai Peranan Walisongo Dan Tokoh-Tokoh Lainnya Pada Awal Masa Peralihan Majapahit-Demak, Topik-Topik Dalam Ajaran Agama Islam, Serta Terjadinya Benturan Berbagai Budaya Baru Dengan Kepercayaan Lokal Masyarakat Jawa Saat Itu.

Hampir Seluruh Isi Serat Darmagandul Merupakan Bentuk Turunan Dari Cerita Babad Yang Telah Ada Sebelumnya. Kitab Yang Dimaksud Adalah Babad Kadhiri Yang Ditulis Pada Tahun 1832 Oleh Mas Ngabehi Purbawijaya Dan Mas Ngabehi Mangunwijaya. Gwj. Drewes, Seorang Orientalis Belanda, Mengungkapkan Bahwa Babad Kadhiri Menyediakan Tema Utama Dan Ide Bagi Penulisan Serat Darmagandul.[Butuh Rujukan]

Menurut Versi Krt Tandhanagara[1], Suluk Darmagandhul Memiliki 17 Pupuh Dalam 133 Halaman,

(11)

Pupuh I Pupuh Ii Pupuh Iii Pupuh Iv Pupuh V Pupuh Vi Pupuh Vii Pupuh Viii Pupuh Ix Pupuh X Pupuh Xi Pupuh Xii Pupuh Xiii Pupuh Xiv Pupuh Xv Pupuh Xvi Pupuh Xvii

Dhandhanggula : 58 Bait Asmaradana : 88 Bait Dhandhanggula : 52 Bait Pangkur : 86 Bait Sinom : 43 Bait

Dhandhanggula : 42 Bait Sinom : 63 Bait

Pangkur : 176 Bait Asmaradana : 33 Bait Dhandhanggula : 58 Bait Mijil : 74 Bait

(12)

6. Masjid Katangka

Masjid Al-Hilal Atau Lebih Dikenal Dengan Nama Masjid Katangka Adalah Salah Satu Masjid Tertua Di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Dinamakan Masjid Katangka Karena Berlokasi Di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Selain Itu, Masjid Ini Disebut Katangka, Karena Bahan Baku Dasar Dari Masjid Tersebut Diyakini Diambil Dari Pohon Katangka.

Sebuah Prasasti Menginformasikan Bahwa Masjid Ini Dibangun Pada Tahun 1603, Tetapi Beberapa Sejarawan Meragukan Informasi Ini. Pendapat Lain Mengatakan Bahwa Masjid Dibangun Pada Awal Abad Ke-18.

Masjid Al Hilal Katangka Dulunya Merupakan Masjid Kerajaan Gowa. Letak Masjid Berada Di Sebelah Utara Kompleks Makam Sultan Hasanuddin. Lokasi Makam Yang Diyakini Sebagai Tempat Berdirinya Istana Tamalate, Istana Raja Gowa Ketika Itu. Sebuah Jalan Yang Dikenal Sebagai Batu Palantikang, Merupakan Jalan Yang Sering Dilintasi Raja Dan Keluarga Menuju Masjid.

Masjid Katangka Didirikan Di Atas Lahan Sekitar 150 Meter Persegi. Masjid Ini Memiliki Ciri Khas Seperi Memiliki Satu Kubah, Atap Dua Lapis Menyerupai Bangunan Joglo. Bangunan Ini Juga Memiliki Empat Tiang Penyangga, Yang Berbentuk Bulat Dan Memiliki Ukuran Yang Besar Dibagian Tengah. Jendela Masjid Ini Berjumlah Enam Serta Memiliki Lima Pintu. Atap Dua Lapis Berarti Dua Kalimat Syahadat, Empat Tiang Berarti Empat Sahabat Nabi, Jendela Bermakna Rukun Iman Ada Enam Dan Lima Pintu Bermakna Rukun Islam.

Bagian Kubah Dipengaruhi Oleh Arsitektur Jawa Dan Lokal, Tiang Dipengaruhi Oleh Budaya Eropa, Sedangkan Bagian Mimbar Sangat Kental Dengan Pengaruh Kebudayaan China, Ini Terlihat Pada Atap Mimbar Yang Mirip Bentuk Atap Klenteng. Di Sekitar Mimbar Juga Masih Terpasang Keramik Dari Cina Yang Konon Dibawa Oleh Salah Satu Arsiteknya Yang Berasal Dari Sana.

Ciri Khas Lainnya, Dan Ini Terjadi Di Hampir Seluruh Bangunan Kuno Adalah Pada Bagian Dinding Yang Terbuat Dari Batu Bata Itu Cukup Tebal, Yakni Mencapai 120 Sentimeter (Cm). Penyebab Utamanya Karena Masjid Ini Juga Pernah Dijadikan Sebagai Benteng Pertahanan Saat Raja Gowa Melawan Penjajah.

(13)

7. Pemakaman Imogiri

Permakaman Imogiri, Pasarean Imogiri, Atau Pajimatan Girirejo Imogiri Merupakan Kompleks Permakaman Yang Berlokasi Di Imogiri, Imogiri, Bantul, Di Yogyakarta. Permakaman Ini Dianggap Suci Dan Kramat Karena Yang Dimakamkan Disini Merupakan Raja-Raja Dan Keluarga Raja Dari Kesultanan Mataram. Permakaman Imogiri Merupakan Salah Satu Objek Wisata Di Bantul. Makam Imogiri Dibangun Pada Tahun 1632 Oleh Sultan Mataram Iii Prabu

Hanyokrokusumo Yang Merupakan Keturunan Dari Panembahan Senopati Raja Mataram I. Makam Ini Terletak Di Atas Perbukitan Yang Juga Masih Satu Gugusan Dengan Pegunungan Seribu.

Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) Meninggal, Maka Puteranya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Pada Waktu Sedo Itu Sedang Pergi Tirakat Ke Pegunungan Selatan. Sehingga Sebagai Wakil Pemegang Pemerintahan Ialah Gusti Pangeran Martopuro. Sesudah Setahun Lamanya Ia Bertirakat, Maka Ia Pulang Dari Pegunungan Tersebut Sebab Sudah Sedikit Lama Dicari-Cari Oleh Penghulu Katangan, Tapi Sebelum Menjadi Penghulu. Pada Tahun 1627, Ia Masuk Ke Kerajaan Dan Pemegang Kekuasaan Mataram Saat Itu Ialah Prabu Hanyokrokusumo.

Sesudah Itu Pangeran Martopuro Pergi Meninggalkan Kerajaan Menuju Ponorogo. Atas Permintaan Rakyat Maka Wakil Dari Pangeran Adipati Anom, Yaitu Pangeran Purboyo Memerintahkan Penghulu Ketegan Untuk Mencari Pangeran Adipati Anom.

Akhirnya Terdapatlah Pangeran Adipati Anom Sedang Bertapa Di Gunung Kidul, Kemudian Ia Dibawa Pulang Ke Kerajaan.

Sesudah Itu, Pangeran Adipati Anom Diangkat Menjadi Raja Kerajaan Mataram. Ia Adalah Raja Yang Cerdik Dan Pandai Sehingga Rakyatnya Maupun Makhluk Halus Serta Jin Takluk Dan Tunduk Atas Kekuasaannya Dan Negeri Mataram Terkenal Sebagai Pelindung Penyakit.

Karena Bijaksananya, Maka Setiap Hari Jumat, Ia Dapat Pergi Sujud Ke Mekkah Dengan Secepat Kilat. Sesudah 5 Tahun Ia Memerintah, Kerajaannya Dipindahkan Ke Kerta-Plered Dan Selanjutnya Kanjeng Sultan Ingin Memulai Membuat Makam Di Pegunungan Girilaya Yang Terletak Di Sebelah Timur Laut Imogiri Yang Dipergunakan Sebagai Makam Raja. Tetapi Sebelum Makam Itu Selesai, Pamannya Yaitu Gusti Pangeran Juminah Lebih Dulu Mengajukan Permintaan. Kemudian Sinuhun Merasa Kecewa.

Tidak Lama Kemudian, Pamannya Meninggal Seketika. Sesudah Pamannya Meninggal, Kanjeng Sultan Agung Melemparkan Pasir Yang Berasal Dari Mekkah Yang Akhirnya Pasir Tersebut Jatuh Di Pegunungan Merak Dan Seterusnya Sinuhun Segera Membuat Makam Raja Di Pegunungan Yang Besar Dan Tinggi Tersebut.

 Permakaman Imogiri Pada Tahun 1890

 Sultan Agung Pada Tahun 1890

(14)

Peta Permakaman Imogiri Tangga Pemakaman

Sebelum Memasuki Makam Raja, Terdapat Banyak Anak Tangga Yang Lebarnya Sekitar 4 Meter Dengahn Kemiringan 45 Derajat Yang Menghubungkan Permukiman Dengan Makam. Anak Tangga Di Permakaman Imogiri Berjumlah 409 Anak Tangga. Menurut Mitos Yang Dipercayai Oleh Sebagian Masyarakat, Jika Pengunjung Berhasil Menghitung Jumlah Anak Tangga Dengan Benar, Maka Semua Keinginannya Akan Terkabul. Sebagian Anak Tangga Memiliki Arti Tertentu, Yaitu:

 Anak Tangga Dari Permukiman Menuju Daerah Dekat Masjid Berjumlah 32 Anak Tangga. Jumlah

Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Makam Imogiri Dibangun Pada Tahun 16 32.

 Anak Tangga Dari Daerah Dekat Masjid Menuju Pekarangan Masjid Berjumlah 13 Anak Tangga.

Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Sultan Agung Diangkat Sebagai Raja Mataram Pada Tahun 16 13.

 Anak Tangga Dari Pekarangan Masjid Menuju Tangga Terpanjang Berjumlah 45 Anak Tangga. Jumlah

Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Sultan Agung Wafat Pada Tahun 16 45.

 Anak Tangga Terpanjang Berjumlah 346 Anak Tangga. Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa

Makam Imogiri Dibangun Selama 346 Tahun.

 Anak Tangga Di Sekitar Kolam Berjumlah 9 Anak Tangga. Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan Walisongo

8. Gending Jawa

Sunan Bonang Mempunyai Nama Lain Yaitu Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau Di Lahirkan Paada Tahun 1465 M Di Surabaya Dan Wafat Pada Tahun 1525 M. Makamnya Berada Di Tuban , Jawa Timur . Sunan Bonang Adalah Putra Dari Raden Rahmat , Beliau Saudara Sepupu Dengan Dari

Sunan Drajat.

Metode Dakwah Sunan Bonang Melalui Pendekatan Kemasyarakatan , Yaitu Menyesuikan Dengan Budaya Masyarakat Setempat. Beliau Tahu Bahwa Orang-Orang Jawa Yang Sangat Senang Pada Wayang Dan Musik Gamelan. Maka Beliau Menggunakan Wayang Dan Gamelan Sebagai Media Dakwah. Sunan Bonang Di Anggap Sebagai Perintis Dan Pencipta Gending Jawa Yang Pertama.

9. Suluk Linglung (Sunan Kalijaga)

(15)

Berisikan Tentang Perjalanan Serta Ajaran-Ajaran Sunan Kalijaga Dalam Menggapai Makna Hakikat Hidup Dan Kehidupan. Kitab Duryat Adalah Kitab Kuno Yang Di Warisi Dan Di Simpan Turun Temurun Oleh Keturunan Sunan Kalijaga Yang Berisi Ajaran-Ajaran Sunan Kalijaga (Adalah R.Ay. Supratini Mursidi, Salah Satu Anak Keturunan Ke-14 Dari Sunan Kalijaga Yang Merupakan Pewaris Kitab Duryat Saat Ini).Ini Sesuai Dengan Informasi Di Suluk Linglung Sebagi Berikut: “Jumadilawwal Puruning Nulis, Isnen Kliwon Tanggal Ping Pisan, Tahun Je Mangsa Destone, Nenggih Sengkalanipun, “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, Turunan Saking Kitab, Duryat Kang Linusur, Sampun Kirang Pangaksama, Ingkang Maca Kitab Niki Sampun Kenging, Kula Den Apuntena.” (Bulan Jumadilawwal Mulai Menarika Pena, Senin Kliwon Tanggal Pertama, Tahun Je Saat Orang Menuai Padi, Prasasti Penulisan, “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, Disadur Dari Buku Duryat Yang Masyhur, Maka Mohon Pengertiannya, Bagi Pembaca Buku Ini Agar Sudi, Memberikan Maaf) “Kapincut Ingkang Anulis, Denira Mirsa Carita, Duk Kina Iku Wartane, Jeng Suhunan Kalijaga, Rikala Mrih Wekasan, Anggeguru Kang Wus Luhur, Anepi Dhukuh Ing Benang.” (Penulis Sangat Tertarik, Akan Cerita Yang Ia Dengar, Pada Zaman Dulu Ada Sebuah Kisah, Kanjeng Sunan Kalijaga, Ketika Mencari Hakikat Hidup, Berguru Kepada Orang Yang Tinggi Ilmunya, Bersunyi Diri Di Desa Benang) Suluk Linglung Tersebut Kemudian Ditransliterasikan Ke Dalam Huruf Latin Dan Di Terjemahkan Kedalam Bahasa Indonesia Oleh Drs Muhammad Khafid Kasri, Pengasuh Ponpes Subulus Salam Demak. Suluk Linglung Memiliki Kemiripan Cerita Dengan Serat Dewo Ruci Yang Sudah Di Kenal Luas Di Masyarakat Dan Sering Menjadi Lakon Cerita Wayang.

Konon Filsafat Cerita Wayang Dari Serat Dewo Ruci Ini Juga Berasal Dari Sunan Kalijaga Yang Memang Dahulu Salah Dakwahnya Menggunakan Wayang. Yang Berbeda Adalah Suluk Linglung Selain Membicarakan Hakikat Kehidupan, Juga Menekankan Tauhid Pelaksaaan Syari’at Islam Berupa Shalat, Zakat, Puasa Dan Haji.

Sedangkan Serat Dewo Ruci Tidak Membicarakannya.

Yang Jelas Sunan Kalijaga Adalah Seorang Wali Dan Mubaligh Islam Dan Pastinya Tidak Meremehkan Syari’at, Sehingga Pembenaran Sebagian Orang Yang Menjadikan Serat Dewo Ruci Sebagai Rujukan Kitab Atau Ajaran Untuk Meraih “Ilmu Kasampurnan” Dan Mengaku Sampai Hakikat Maupun Makrifat Tapi Tidak Melakukan Syari’at Adalah Tidak Benar. Tidak Ada Hakikat Dan Makrifat Tanpa Syari’at, Bahkan Nabi Muhammad Dan Sahabatnya Yang Berjuang Bersama Beliau Juga Menjalankan Syari’at Dengan Konsisten

10. Tahlilan

Tahlilan Masih Membudaya, Sehingga Istilah "Tahlilan" Dikonotasikan Memperingati Dan Mendo'akan Orang Yang Sudah Meninggal. Tahlilan Dilakukan Bukan Sekadar Kumpul-Kumpul Karena Kebiasaan Zaman Dulu. Generasi Sekarang Tidak Lagi Merasa Perlu Dan Sempat Untuk Melakukan Kegiatan Sekadar Kumpul-Kumpul Seperti Itu. Jika Pun Tahlilan Masih Diselenggarakan Sampai Sekarang, Itu Karena Setiap Anak Pasti Menginginkan Orangtuanya Yang Meninggal Masuk Sorga. Sebagaimana Diketahui Oleh Semua Kaum Muslim, Bahwa Anak Saleh Yang Berdoa Untuk Orangtuanya Adalah Impian Semua Orang, Oleh Karena Itu Setiap Orangtua Menginginkan Anaknya Menjadi Orang Yang Saleh Dan Mendoakan Mereka. Dari Sinilah, Keluarga Mendoakan Mayit, Dan Beberapa Keluarga Merasa Lebih Senang Jika Mendoakan Orangtua Mereka Yang Meninggal Dilakukan Oleh Lebih Banyak

Orang(Berjama'ah). Maka Diundanglah Orang-Orang Untuk Itu, Dan Menyuguhkan(Sodaqoh) Sekadar Suguhan Kecil Bukanlah Hal Yang Aneh, Apalagi Tabu, Apalagi Haram. Suguhan(Sodaqoh) Itu Hanya Berkaitan Dengan Menghargai Tamu Yang Mereka Undang Sendiri. Maka, Jika Ada Anak Yang Tidak Ingin Atau Tidak Senang Mendoakan Orangtuanya, Maka Dia (Atau Keluarganya) Tidak Akan

Melakukannya, Dan Itu Tidak Berakibat Hukum Syareat. Tidak Makruh Juga Tidak Haram. Anak Seperti Ini Pasti Juga Orang Yang Yang Tidak Ingin Didoakan Jika Dia Telah Mati Kelak.

(16)

Orangtua Mereka Ataukah Tidak. Tahlilan Juga Bukanlah Kegiatan Yang Harus Dilakukan Secara

Berkumpul-Kumpul Di Rumah Duka Dan Oleh Karenanya Dituduhkan Membebani Tuan Rumah. Tahlilan Itu Mendoakan Mayit Dan Itu Bisa Dilakukan Sendiri-Sendiri Atau Berjamaah, Di Satu Tempat Yang Sama Atau Di Mana-Mana. Menuduhkan Tahlil Sebagai Bid'ah Adalah Mengada-Ada Dan Melawan Keyakinan Kaum Muslim Bahwa Anak Saleh Yang Berdoa Untuk Orangtuanya Adalah Cita-Cita Setiap Orang.

11.

Tradisi Megengan Di Jawa

Tradisi Megengan Memang Sangat Khas Jawa. Tradisi Ini Biasanya Dilaksanakan Menjelang Puasa. Jika Saya Menulis Mengenai Tradisi Ini Sekarang, Tentu Dengan Maksud Bahwa Islam Jawa Memang Memiliki Sekian Banyak Tradisi Yang Khas Dalam Implementasi Islam. Tradisi Ini Sungguh-Sungguh Merupakan Tradisi Indigenius Atau Khas, Yang Tidak Dimiliki Oleh Islam Di Tempat Lain. Tradisi Ini Ditandai Dengan Upacara Selamatan Ala Kadarnya Untuk Menandai Akan Masuknya Bulan Puasa Yang Diyakini Sebagai Bulan Yang Suci Dan Khusus.

Sama Dengan Tradisi-Tradisi Lain Di Dalam Islam Jawa, Maka Tradisi Ini Juga Tidak Diketahui Secara Pasti Siapa Yang Menciptakan Dan Mengawali Pelaksanaannya. Tetapi Tentu Ada Dugaan Kuat Bahwa Tradisi Ini Diciptakan Oleh Walisanga Khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Memang Hal Ini Baru Sebatas Dugaan, Namun Mengingat Bahwa Kreasi-Kreasi Tentang Islam Jawa Terutama Yang Menyangkut Tradisi-Tradisi Baru Akulturatif Yang Bervariatif Tersebut Kebanyakan Datang Dari Pemikiran Kanjeng Sunan Kalijaga, Maka Kiranya Dugaan Ini Pun Bisa Dipertanggungjawabkan.

Megengan Secara Lughawi Berarti Menahan. Misalnya Dalam Ungkapan Megeng Nafas, Artinya Menahan

Nafas, Megeng Hawa Nafsu Artinya Menahan Hawa Nafsu Dan Sebagainya. Di Dalam Konteks Puasa, Maka Yang Dimaksud Adalah Menahan Hawa Nafsu Selama Bulan Puasa. Secara Simbolik, Bahwa Upacara

Megengan Berarti Menjadi Penanda Bahwa Manusia Akan Memasuki Bulan Puasa Sehingga Harus Menahan

Hawa Nafsu, Baik Yang Terkait Dengan Makan, Minum, Hubungan Seksual Dan Nafsu Lainnya. Dengan Demikian, Megeng Berarti Suatu Penanda Bagi Orang Islam Untuk Melakukan Persiapan Secara Khusus Dalam Menghadapi Bulan Yang Sangat Disucikan Di Dalam Islam. Para Walisanga Memang Mengajarkan Islam Kepada Masyarakat Dengan Berbagai Simbol-Simbol. Dan Untuk Itu Maka Dibuatlah Tradisi Untuk Menandainya, Yang Kebanyakan Adalah Menggunakan Medium Slametan Meskipun Namanya Sangat Bervariasi.

Nafas Islam Memang Sangat Kentara Di Dalam Tradisi Ini. Dan Sebagaimana Diketahui Bahwa Islam Memang Sangat Menganjurkan Agar Seseorang Bisa Menahan Hawa Nafsu. Manusia Harus Menahan Nafsu Amarah, Nafsu Yang Digerakkan Oleh Rasa Marah, Egois, Tinggi Hati, Merasa Benar Sendiri Dan Menang Sendiri. Nafsu Amarah Adalah Nafsu Keakuan Atau Egoisme Yang Paling Sering Meninabobokan Manusia. Setiap Orang Memiliki Sikap Egoistik Sebagai Bagian Dari Keinginan Untuk Mempertahankan Diri. Namun Jika Nafsu Ini Terus Berkembang Tanpa Dikendalikan, Maka Justru Akan Menyesatkan Karena Seseorang Akan Jatuh Kepada Sikap ”Sopo Siro Sopo Ingsung” Atau Sikap Yang Menganggap Dirinya Paling Hebat, Sedangkan Yang Lain Tidak Sama Sekali. Nafsu Amarah Merupakan Simbolisasi Dari Sifat Egoisme Manusia Dalam Berhadapan Dengan Manusia Atau Ciptaan Tuhan Lainnya. Kemudian Nafsu Lawwamah Atau Nafsu Biologis Atau Nafsu Fisikal, Yaitu Nafsu Yang Menggerakkan Manusia Untuk Sebagaimana Binatang Yang Hanya Mementingkan Nafsu Biologisnya Saja Atau Pemenuhan Kebutuhan Fisiknya Saja. Nafsu Ini Memang Penting Sebab Tanpa Nafsu Ini Maka Manusia Tidak Akan Mungkin Untuk Mengembangkan Diri Dan Keluarganya. Manusia Butuh Makan, Minum, Berharta, Dan Sebagainya. Namun Jika Hanya Ini Yang Dikejar Maka Manusia Akan Jatuh Ke Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisiknya Saja Tanpa Mengindahkan Kebutuhan Lainnya Yang Juga Penting. Maka Yang Menjadi Penyeimbang Di Antara Kebutuhan Egoistik Dan Biologis Tersebut Adalah Nafsu Mutmainnah, Yaitu Nafsu Keberagamaan Atau Etis Yang Mendasarkan Semua Tindakan Berbasis Agama. Nafsu Mutmainnah Inilah Yang Akan Mengantarkan Manusia Agar Sampai Kepada Tuhannya. Sebagaimana Dinyatakan Di Dalam Al-Qur’an: ”Irji’i Ila Rabbiki Radliyatan Mardliyah, Fadkhuli Fi ’Ibadi Fadkhuli

(17)

Ke Dalam Hambaku Dan Masuklah Ke Dalam Surgaku.” Ayat Ini Menegaskan Bahwa Yang Bisa Menjadi Hamba Allah Dan Bisa Memasuki Surganya Adalah Hambanya Yang Diridlai Karena Telah Memasuki Nafsu Mutmainnah. Dengan Demikian, Islam Mengajarkan Bahwa Melalui Kemampuan Untuk Menahan Nafsu Amarah Dan Lawwamah Dan Berikutnya Mengembangkan Nafsu Mutmainnah, Maka Manusia Akan Selamat Di Dalam Kehidupannya.

Memang Para Walisanga Mengajarkan Islam Melalui Simbol-Simbol Budaya. Hanya Sayangnya Bahwa Yang Ditangkap Oleh Masyarakat Islam Hanyalah Simbolnya Belaka. Padahal Jika Yang Ditangkap Itu Tidak Hanya Simbolnya Tetapi Juga Substansinya, Maka Sesungguhnya Ada Pesan Moral Yang Sangat Mendasar. Misalnya Tradisi Megengan Dan Colokan Tersebut. Secara Substansial Merupakan Simbolisasi Bahwa Puasa Adalah Hari Di Mana Seseorang Harus Menahan Nafsu Dan Terus Dicolok Agar Jangan Sampai Keliru Dalam Melakukan Tindakan Di Bulan Puasa.

Gambar

Gambar Bulus Terdiri Atas Kepala Yang Berarti Angka 1 (Satu), 4 Kaki Berarti Angka 4 (Empat), BadanBulus Berarti Angka 0 (Nol), Ekor Bulus Berarti Angka 1 (Satu)

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi perusahaan : lingkungan masyarakat, kedekatan dengan pasar, tenaga kerja, kedekatan dengan bahan mentah dan

Sedang video yang berformat Flash (SWF) dapat diunggah ke Swfcabin (swfcabin.com). Meskipun video yang dibuat dengan CamStudio ini relatif sederhana, namun dengan berbekal

Kurikulum merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan atau sekolah , karena kurikulum merupakan alat dan suatu harapan bagi pendidikan yang dituangkan

Several investigators have confirmed the high recurrence rate of preterm PROM: 1) Asrat and coworkers 80 reported a 32% (95% CI 23.9-40.5) risk of recurrence in 121 patients with

Berdasarkan hasil analisis data terkait penelitian Pembelajaran Teks biografi Berdasarkan Kurikulum 2013 pada Siswa Kelas X IIS6 di SMA Kemala Bhayangkari 1

Hasil penelitian pada siswa-siswi kelas VI SDN Kebun Bunga 6 Banjarmasin menunjukkan bahwa dari 50 orang yang diteliti, sebagian besar (54%) siswa-siswi tersebut

Sedangkan untuk enam strategi prioritas lainnya adalah: (1) Mencari dan menerapkan model optimal penggunaan lahan (ekonomi, sosial, ekologi); (2) Menghilangkan hambatan sektoral

Dalam pembahasan penelitian ini menghasilkan strategi yang dapat digunakan oleh PLN DJBB dengan lebih mengoptimalkan media sosial, memaksimalkan website resmi PLN