• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANTUAN LUAR NEGERI JEPANG KEPADA VIETNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BANTUAN LUAR NEGERI JEPANG KEPADA VIETNA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BANTUAN LUAR NEGERI JEPANG KEPADA VIETNAM :

NATIONAL INTEREST, PROSPERITY FOR THE JAPANESE PEOPLE dan INTERDEPENDENSI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kerjasama Pembangunan Internasional

Disusun Oleh : Agata Eta Andayani NIM : 14010414140094

Absen : 023

HI 2014

Kelas Selasa, 09.41 WIB

DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

ABSTRAK

Kerjasama pembangunan internasional dalam bentuk pemberian Official Development Assistance (ODA) telah berlangsung lama bersamaan dengan pembentukan organisasi OECD. Jepang menjadi salah satu negara yang konsisten memberikan ODA kepada negara-negara berkembang di Asia. Vietnam menjadi negara-negara tujuan ODA Jepang selama lebih dari dua dekade. Pemberian bantuan kepada Vietnam tentu saja tidak gratis melainkan ada kepentingan dan cita-cita nasional yang melatarinya. Bantuan tersebut dalam perjalanannya memberikan suatu hubungan timbal balik di antara kedua belah pihak yang berujung kepada interdependensi antara Jepang dan Vietnam.

(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………1

DAFTAR ISI……….2

PENDAHULUAN……….3

PEMBAHASAN………..10

Mengapa Vietnam? National Interest dan Prosperity of The Japanese People………10

Interdependensi Jepang-Vietnam………...17

PENUTUP………22

(4)

PENDAHULUAN

Dewasa ini kerjasama internasional yang melibatkan aktor negara maupun aktor non-negara menjadi hal yang biasa dalam hubungan internasional. Beragam bentuk kerjasama dilakukan tidak terkecuali kerjasama pembangunan internasional. Kerjasama pembangunan sendiri dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang secara nyata mendukung prioritas pembangunan nasional dan internasional yang tidak mencari keuntungan lalu bersikap diskrimanatif yang bertujuan untuk membantu negara berkembang yang berdasarkan hubungan kerjasama yang dapat meningkatkan kepemilikan negara berkembang. Tujuan dari kerjasama pembangunan yaitu berfokus kepada negara berkembang dan memiliki konsep yang disetujui secara internasional mengenai agenda pembangunan global yang ingin dicapai. Kemudian kerjasama pembangunan internasional bertujuan pula untuk mendukung dan melengkapi upaya-upaya negara berkembang untuk menjamin pemberian standar sosial, memajukan negara berkembang untuk meningkatkan penghasilan dan memperbaiki ketimpangan ekonomi serta mendukung upaya negara berkembang dalam keikutsertaan mereka dalam pemenuhan public goods.

Dengan adanya kerjasama pembangunan internasional itu pula maka dibentuklah suatu agenda pembangunan global sebagai suatu bentuk formalitas tujuan dari adanya kerjasama pembangunan internasional itu sendiri. Agenda pembangunan global itu kemudian dituangkan ke dalam Millenium Development Goals yang isinya antara lain mengurangi kelaparan, membentuk kerjasama global untuk pembangunan dan mencapai pendidikan dasar. Pada perkembangannya, Millenium Development Goals kemudian direvisi dan disesuaikan dengan kondisi terkini menjadi Sustainable Development Goals (SDG).

(5)

dalam MDG maupun SDG. Agar cita-cita itu terwujud maka negara maju berlomba-lomba memberikan bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang dengan jumlah yang terbilang sangat besar. Negara maju yang menjadi penyumbang kemudian kita sebut sebagai negara donor tidak sungkan menggelontorkan duitnya untuk membantu negara berkembang mencapai kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Bantuan yang diberikan dapat berupa hutang, hibah, dukungan kapasitas seperti transfer teknologi dan transfer kebijakan. Dari berbagai macam bentuk bantuan itu ada yang diberikan secara cuma-cuma dan ada pula yang diberikan dengan syarat-syarat tertentu.

Menyadari pentingnya keberadaan mereka sebagai pemegang sekaligus pencetus bantuan pembangunan sebagai instrumen kerjasama pembangunan, negara-negara donor ini lantas bersatu membentuk Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 1961. OECD sendiri berawal dari organisasi regional di kawasan Eropa yang saat itu baru saja mengakhiri masa Perang Dunia II yaitu Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi Eropa (OECC). OECC awalnya dibentuk guna mengimplentasikan bantuan Marshall Plan serta revitalisasi Eropa seusai Perang Dingin. OECC akhirnya berkembang dan merambah ke negara-negara non-Eropa menjadi OECD yang kini kita kenal sebagai organisasi pemerintah yan memegang peranan dalam pemberian bantuan pembangunan.

Bersamaan dengan pembentukan OECD maka mengalir pula bantuan-bantuan resmi yang diberikan oleh negara-negara anggota OECD. Untuk itu OECD kemudian memunculkan istilah Official Development Assistance(ODA) yang didefinisikan oleh

Development Assistance Comittee (DAC) sebagai :

(6)

concessional in character and conveys a grant element of at least 25% calculated at a rate of discount of 10 percent”1

Dari definisi tersebut maka dapat kita lihat bahwa Official Development Assistance

(ODA) merupakan bantuan yang dialirkan ke suatu wilayah negara atau teritori yang mana dananya disediakan oleh agen-agen resmi seperti pemerintahan lokal maupun nasional. Dana yang diberikan tersebut diberikan dengan tujuan untuk memajukan perkembangan ekonomi dan pencapaian kesejahteraan masyarakat di negara penerima. Namun tidak semua bantuan yang diberikan dapat dikategorikan sebagai Official Development Assistance. Bantuan yang berkaitan dengan pencegahan radikalisme dan terorisme misalnya tidak termasuk ke dalam kategori ODA2.

Di antara negara-negara anggota OECD, Jepang merupakan negara yang konsisten memberikan bantuan pembangunan resmi kepada negara-negara berkembang khususnya di Asia. Jepang mulai konsisten memasukkan bantuan pembangunan ke dalam agenda politik luar negerinya sejak dipimpin oleh Perdana Menteri Ohira. Pada akhir 1970-an, PM Ohira menegaskan bahwa Jepang di bawah kepemimpinannya harus memainkan peran yang lebih aktif di komunitas internasional dimana bantuan luar negeri menjadi salah satu solusinya. Penerus PM Ohira yaitu Perdana Menteri Suzuki juga menjelaskan bahwa Jepang siap untuk menjadi negara yang memenuhi kewajiban internasional untuk menguatkan dan memajukan perdamaian dunia dengan berubah dari pemain pasif menjadi pemain aktif.3

Dengan menjadikan bantuan luar negeri sebagai prioritas dalam politik luar negeri Jepang, maka tidak heran apabila Jepang kemudian menjadi negara donor terbesar pada dekade 1990-an. Negara donor yang dimaksud di sini adalah negara maju penyedia dana bantuan yang menyalurkan bantuannya kepada negara-negara penerima. Namun seiring 1OECD,Official Development Assistance, Diakses 16 Oktober 2017,<www.oecd.org>.

2 Ibid

(7)

berjalannya waktu, jumlah bantuan yang digelontorkan Jepang menyusut. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi yang berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Jepang yang stagnan. Selain itu, meningkatnya hutang negara serta menipisnya penerimaan negara turut menjadi faktor penyebab berkurangnya alokasi bantuan luar negeri Jepang. Akibatnya posisi Jepang sebagai negara donor terbesar harus turun menjadi nomor empat pada tahun 2015. Kendati demikian, bantuan luar negeri Jepang tetap menjadi prioritas dengan jumlah anggaran hampir mencapai $10 miliar dolar untuk anggaran tahunan4.

Dengan alokasi anggaran bantuan luar negeri sebanyak itu, Jepang memilih mengalokasikan dananya kepada negara-negara berkembang di Asia. Salah satu negara yang konsisten menerima dan diberikan bantuan oleh Jepang adalah Vietnam. Vietnam mulai menjadi negara penerima bantuan Jepang sejak Jepang memutuskan untuk meninjau ulang kebijakan ODA Jepang pada tahun 1992. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1993, Vietnam resmi menjadi penerima tetap ODA Jepang. Pada masa itu, Jepang dan Vietnam berfokus kepada pengembangan institusional dan sumber daya manusia sebagai suatu strategi yang tepat bagi proses transisi Vietnam menerapkan kebijakan pasar terbuka5.

Bantuan dari Jepang rupanya menjadi salah satu sumber pendapatan nasional bagi Vietnam. Vietnam pun nampaknya juga sangat puas dengan bantuan yang diberikan oleh Jepang. Hal ini menempatkan Jepang sebagai donor bantuan terbesar di Vietnam di samping donor ODA dari negara maupun organisasi lain. Setelah diakumulasi, sepanjang tahun 1992 hingga 2011 Jepang menjadi negara donor terbesar di Vietnam dengan jumlah ODA yang diberikan mencapai 30% dari total jumlah donor yang diterima Vietnam sebagaiamana dapat kita lihat pada diagram di bawah ini ;

Grafik 1.1

(8)

Persentase Total Jumlah ODA yang diterima Vietnam Berdasarkan Negara (1992-2011)

Sumber : OECD DAC. Japan-Vietnam

Partnership from Date To Now On. 2013. Japan International Cooperation Agency

Dari grafik di atas terlihat bahwa Jepang menjadi pemberi bantuan terbesar bagi Vietnam dengan presentase mencapai angka 30%. ODA Jepang bahkan lebih besar 8% dibandingkan ODA yang diberikan oleh World Bank sebagai organisasi internasional yang dikenal sebagai penyedia dana bantuan maupun pinjaman. ODA yang diberikan Jepang kepada Vietnam juga sangat besar dibandingkan dengan negara-negara donor lain seperti Amerika Serikat dan Inggris yang bahkan tidak mencapai 5%. Seperti kita ketahui bahwa Amerika Serikat dan Inggris juga termasuk negara donor terbesar di dunia.

Bantuan ODA Jepang kepada Vietnam sejak tahun 1992 sangat banyak dan umumnya terfokus kepada pembangunan insfrastruktur. Jepang menyebutnya sebagai ‘quality infrastructure investment’. Menurut Jepang, quality infrastructure investment dibutuhkan untuk menjembatani jurang perbedaan infrastruktur antara negara-negara maju dan negara berkembang yang seringkali menjadi penghalang dalam pertumbuhan ekonomi global6.

(9)

Quality insfrastructure investment dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Maka tidak heran apabila Jepang kemudian lebih memfokuskan alokasi ODA kepada pembangunan insfrastruktur di Jepang. Pembangunan tersebut seperti misalnya proyek pembangunan Nhat Than Bridge yang menghubungkan kota Hanoi dengan bandara Noi Bai. Selain itu ada pula proyek pembangunan Terminal 2 Bandara Internasional Noi Bai, proyek rehabilitasi Hanoi-Ho Chi Minh City Railway Bridge, proyek rehabilitasi Pelabuhan Hai Pong dan Pelabuhan Chai Lan serta masih banyak lagi proyek-proyek pembangunan lain. Proyek pembangunan yang didanai Jepang ini tersebar dari wilayah Pegunungan Utara Vietnam hingga ke selatan di wilayah Delta Sungai Mekong.

Kendati demikian, bantuan Jepang kepada negara sosialis Vietnam tidak terbatas pada bidang pembangunan insfrastruktur saja. Jepang juga memberikan bantuan di bidang lain seperti lingkungan, sosial dan pendidikan baik berupa hibah, pinjaman, maupun technical cooperation. Bantuan tersebut misalnya Project for Forest Sustainable Management in Northern Watershed Area, proyek peningkatan fasilitas kesehatan di Rumah Sakit Pusat Hue City, proyek peningkatan fasilitas pendidikan dasar di wilayah Pegunungan Utara dan proyek pembentukan Anti-Trafficking in Person Hotline. Masih banyak pula proyek bantuan ODA Jepang pada bidang agrikultural mengingat Vietnam merupakan salah negara agraris penghasil kopi dan beras.

(10)

Vietnam sebagai negara penerima donor. Tentu saja sikap diskriminatif itu tidak terlepas dari adanya kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai oleh Jepang. Meski demikian, penulis juga melihat bahwa sebenarnya kerjasama pemberian bantuan ini tidak melulu menguntungkan satu pihak tapi justru memberikan timbal balik keuntungan bagi kedua belah pihak. Timbal balik inilah yang mempertahankan kerjasama dua negara ini selama lebih dari dua dekade dan berujung kepada interdependensi di antara dua pihak ini.

(11)

PEMBAHASAN

1. Mengapa Vietnam? National Interest dan Prosperity of the Japanese People

Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa negara akan cenderung diskriminatif dalam memberikan bantuan pembangunan. Negara cenderung menghindari difficult partner

maupun conflict-affected countries dikarenakan kondisi yang buruk di dalam internal pemerintahan negara tersebut akan mempersulit proses kerjasama antara kedua belah pihak. Negara donor cenderung akan mempertimbangan tata kelola pemerintahan negara penerima. Negara dengan tata kelola yang buruk (bad governance) akan diberikan standar pemberian bantuan yang berbeda dengan negara good governance. Standar pemberian bantuan pembangunan bagi negara bad governanceseperti pembatasan dana bantuan, ruang lingkup bantuan yang dibatasi, jangka waktu kerjasama yang lebih pendek dan distribusi bantuan melalui organisasi non-pemerintah.

Bantuan pembangunan sendiri didasarkan kepada tiga pilar yakni humaniter atau moral, politik dan kepentingan ekonomi. Dalam hal bantuan yang diberikan Jepang kepada Vietnam, penulis melihat adanya kepentingan ekonomi yang mendasari pemilihan Vietnam sebagai negara tujuan bantuan ODA Jepang. Kepentingan-kepentingan ini yang kemudian akan dibahas dalam makalah ini. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam makalah ini penulis akan lebih berfokus kepada pembangunan infrastruktur yang didanai Jepang di Vietnam.

Penulis berargumen bahwa bantuan pembangunan infrastruktur di Vietnam yang didanai oleh Jepang semata adalah untuk memenuhi kepentingan ekonomi Jepang sendiri. Seperti yang kita tahu bahwa infrastruktur yang baik akan mempermudah proses distribusi perdagangan. Jika proses distribusi barang berjalan lancar tentu akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur yang baik dapat menekan dan menghemat biaya distribusi sehingga keuntungan yang didapat lebih maksimal.

(12)

Song Hong yang menghubungkan kota Hanoi dengan bandara internasional Noi-Bai. Jembatan ini dibangun dengan pinjaman dari ODA Jepang sebesar 54, 1 miliar yen yang diberikan dalam tiga fase. Jembatan Nhat Than yang resmi dioperasikan pada Januari 2015 ini berdampak kepada peningkatan efisiensi distribusi. Hal ini dikarenakan jembatan Nhat Than dapat memotong jarak dan waktu yang ditempuh untuk mencapai bandara Noi Bai dari Hanoi hingga 20 menit.7 Hal ini tentu dapat menekan biaya distribusi menjadi lebih murah, efisien dan cepat sehingga dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat.

Selain infrastruktur transportasi dari dan menuju Bandara Noi-Bai, Jepang juga mengalokasikan dana bagi pembangunan di dalam wilayah bandara itu sendiri. Jepang memberikan pinjaman sebesar 59,253 juta yen kepada Vietnam untuk membangun Terminal 2 Bandara Internasional Noi-Bai. Terminal ini diperuntukkan khusus untuk penerbangan internasional yang dilengkapi dengan fasilitas pengisian bahan bakar modern dengan kapasitas 10 juta penumpang per tahunnya. Fasilitas pengisian bahan bakar modern menggunakan pipa bawah tanah memungkinkan adanya peningkatan penerbangan internasional secara langsung tanpa harus melakukan transit terlebih dahulu.8

Pembangunan terminal 2 bandara Noi-Bai tersebut tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi Jepang. Dengan adanya fasilitas yang lebih modern dan memadai, memungkinkan adanya penerbangan secara langsung dari Jepang menuju Vietnam. Hal ini penting untuk proses distribusi barang dan jasa produksi Jepang menuju ke Vietnam. Penerbangan langsung ini dapat memangkas biaya distribusi dan meningkatkan efisiensi serta kuantitas barang yang dikirim. Efisiensi distribusi barang dan jasa berdampak kepada peningkatan ekspor barang dan jasa dari Jepang ke Vietnam. Pada akhirnya, peningkatan ekspor Jepang akan meningkatkan pendapatan nasional Jepang.

(13)

Hanoi dengan Ho Chi Minh City. Hal ini wajar karena Ho Chi Minh sendiri merupakan pusat bisnis dan industri di Vietnam di mana barang-barang diproduksi di bekas ibukota negara Vietnam itu. Sedangkan kota Hanoi merupakan pusat pemerintahan dan kota yang padat sehingga membutuhkan suplai barang bagi penduduknya. Proyek yang dilakukan seperti misalnya proyek rehabilitasi jalur kereta api Hanoi-Ho Chi Minh City (Japan-Vietnam Friendship Train), proyek North-South Expressway Construction Project dan proyek National Highway No. 1 Bridge Rehabilitation Project. Proyek-proyek ini tentu dapat memperlancar dan mempermudah proses distribusi barang produksi Jepang khususnya dari wilayah Selatan ke wilayah Utara Vietnam. Kelancaran proses distribusi ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya mampu menekan biaya yang dikeluarkan oleh produsen sehingga dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat. Produsen yang dimaksud di sini yaitu industri asal Jepang yang mendirikan pabriknya di Ho Chi Minh sebagai pusat bisnis dan industri Vietnam. Perusahaan dan industri tersebut seperti misalnya Nikkiso Japan, Jellyfish Corporation dan Nissei Electric Japan.

Selain untuk kepentingan distribusi barang dan jasa, penulis juga melihat adanya kepentingan lain dalam proyek-proyek di Vietnam yang didanai oleh ODA Jepang. Kepentingan ini dapat kita lihat dalam proyek pembangunan kilang minyak di Nghi Son, Provinsi Thanh Hoa. Kilang minyak ini didirikan dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan impor minyak mentah dan produk petroleum lainnya dari Kuwait. Proyek kilang minyak Nghi Son ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sebesar 60% pada tahun 2020. Pembangunan kilang minyak Nghi Son melibatkan Jepang sebagai operator dan sponsor serta Vietnam sebagai pasar dan penyedia bisnis lokal yang berperan sebagai konsumen produk kilang minyak tersebut.9

(14)

melakukan apa saja untuk mendapatkan suplai minyak yang memadai bagi kebutuhan nasionalnya. Kepemilikan terhadap bahan bakar fosil juga yang kemudian menyebabkan konflik serta perang berkepanjangan di wilayah Timur Tengah. Jepang pun nampaknya menyadari hal tersebut yang kemudian diimplementasikan dalam proyek kilang minyak Nghi Son. Tak tanggung-tanggung, Jepang bahkan memegang posisi sebagai operator yang memiliki fungsi penuh terhadap pengelolaan kilang minyak tersebut.

Kebutuhan akan bahan bakar fosil menjadi penting bagi Negeri Sakura karena posisinya sebagai negara industri. Kita tahu bahwa Jepang merupakan negara dengan perusahaan internasional di berbagai bidang khususnya transportasi dan teknologi informasi. Maka tidak heran apabila minyak maupun bahan bakar fosil lainnya menjadi penting untuk kebutuhan industri dalam negeri Jepang. Dengan pembangunan kilang minyak Nghi Song, maka Jepang seolah mengamankan kepemilikan maupun cadangan minyak guna memenuhi kebutuhan domestik negeri tersebut.

(15)

beberapa aspek seperti human security, poverty alleviation dan kesejahteraan wanita tapi juga diperkenalkan beberapa aspek tambahan. Salah satu dari aspek tambahan tersebut adalah mengenai penggunaan bantuan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional11. Dengan adanya aspek tambahan tersebut, maka tidak heran apabila pembangunan infrastruktur di Vietnam gencar dilakukan oleh Jepang sebab pada dasarnya hal tersebut menguntungkan bagi Jepang sendiri khususnya dalam hal distribusi barang ekspor impor maupun barang produksi dalam negeri buatan perusahaan Jepang.

Penggunaan bantuan luar negeri sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional Jepang tidak dapat dilepaskan dari cita-cita Jepang untuk mencapai ‘prosperity of the Japanese people’. Cita-cita tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah Jepang dan ditegaskan kembali oleh Kementerian Luar Negeri dan badan resmi penyalur bantuan resmi Jepang Japan International Cooperation Agency (JICA). Bahkan dalam sebuah jurnal artikel, Presiden JICA Shinichi Kitaoka menegaskan bahwa ‘national interest boils down to safety, freedom, and prosperity of the Japanese people... and for the country to be respected by international community’12. Hal tersebut menunjukkan bahwa national interest dan prosperity of the Japanese people menjadi sebuah poin penting dan utama dalam merumuskan bantuan luar negeri resmi ODA Jepang.

Berbicara mengenai Negeri Sakura tentu tidak dapat dilepaskan dari kepentingan bisnis mengingat negeri tersebut terkenal akan berbagai perusahaan internasional. Bahkan, kalangan pengusaha memegang peranan penting dalam birokrasi Jepang. Perusahaan-perusahaan tersebut juga menjadi sumber pemasukan bagi pendapatan nasional Jepang. Tidak heran apabila dalam perumusan kebijakan bantuan luar negeri juga tidak jauh dari kepentingan bisnis. Untuk itu, salah satu cara untuk mencapai ‘prosperity of the Japanese people’ adalah dengan menghubungkan bisnis dengan bantuan luar negeri13 sebagai suatu proyek kebijakan luar negeri.

(16)

Untuk itu, Jepang membuat skema baru yang dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan Jepang dalam proyek ODA pemerintah. Skema tersebut yakni Special Terms for Economic Partnership (STEP) yang turut terlibat dalam proyek-proyek pembangunan di Vietnam termasuk proyek yang telah disebutkan di atas. Skema tersebut menarik perhatian bagi para pebisnis Jepang untuk terlibat ke dalam proyek bantuan pembangunan Jepang. Skema ini mempermudah kalangan pengusaha Jepang yang ingin mengembangkan investasinya hingga ke luar negeri.14

Pemberian ODA Jepang ke beberapa negara di Asia seperti Vietnam, India dan Indonesia memberikan kesempatan berbisnis yang besar bagi kalangan pengusaha Jepang. Dengan adanya bantuan luar negeri di negara-negara tersebut memberikan kesempatan bagi perusahaan Jepang untuk memasuki pasar dan memudahkan penanaman investasi di negara tersebut15. Selain kemudahan investasi, perlu diingat juga bahwa negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia memiliki prospek menjanjikan dengan adanya pasar konsumen yang besar serta pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil dibandingkan negara-negara Eropa maupun Afrika.

Pemilihan Vietnam sebagai negara tujuan ODA Jepang juga diminati kalangan pengusaha disebabkan karena tersedianya tenaga kerja yang cenderung murah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Tiongkok16. Menurut laporan BBC, sebagai perbandingan, pekerja di Vietnam hanya mendapatkan upah dua pertiga dari upah yang diterima pekerja di Tiongkok. Hal ini tentu saja akan membawa keuntungan bagi pengusaha karena dapat memangkas biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Perusahaan asal Jepang yang telah merasakan manfaat itu misalnya Canon dan Foxconn. Kedua perusahaan itu telah lama membuka pabrik di Que Vo Industrial Complex di Provinsi Bac Ninh, Vietnam.

14Ibid, hlm. 4 15Ibid

(17)

Selain tenaga kerja murah, faktor lain yang menarik pengusaha asal Jepang berpartisipasi dalam bantuan luar negeri kepada Vietnam adalah aset tenaga kerja usia produktif di negara sosialis tersebut. Setengah dari populasi masyarakat Vietnam berusia di bawah 30 tahun yang artinya dalam jangka waktu 10 tahun mereka akan menjadi angkatan kerja berusia 30-an tahun. Tenaga kerja muda ini dinilai memiliki pemikiran yang lebih terbuka dan siap bekerja baik dalam budaya Barat maupun budaya Timur sebagaimana dikatakan oleh Jeffrey Joerres, CEO Manpower yang berencana membuka pabrik di Vietnam17.

Adanya tenaga kerja murah dan potensi tenaga kerja usia produktif menjadi salah satu bukti bahwa pemberian ODA ke Vietnam didasari oleh kepentingan nasional Jepang sendiri. Dalam hal ini,kepentingan tersebut berkaitan erat dengan cita-cita Jepang guna mencapai prosperity of the Japanese people. Dengan adanya tenaga kerja murah serta akses investasi ke dalam pasar Vietnam memberikan keuntungan tersendiri bagi perusahaan Jepang. Keuntungan bagi perusahaan Jepang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jepang sebagaimana cita-cita dari kepentingan nasional Jepang yaitu ‘prosperity of the Japanese people’. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari masyarakat Jepang bekerja di bawah perusahaan-perusahaan multinasional Jepang. Keuntungan perusahaan akan berdampak kepada kenaikan gaji pegawai serta mungkin saja penambahan nilai asuransi yang dapat digunakan untuk biaya hidup para pegawai yang adalah masyarakat Jepang itu sendiri.

2. Interdependensi Jepang-Vietnam

Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai bantuan pembangunan resmi dari Jepang kepada Vietnam yang menguntungkan bagi Jepang. Namun,sesungguhnya hasil dan dampak dari bantuan itu sendiri tidak menguntungkan Jepang secara sepihak.Vietnam sebagai negara penerima pun juga turut merasakan manfaat dari bantuan tersebut. Untuk itu tidak heran jika kemudian kerjasama di antara kedua negara ini dapat bertahan selama lebih dari 20 tahun.

(18)

Di dalam studi hubungan internasional kita mengenal istilah ‘interdependensi’. Interdependensi berarti ketergantungan timbal balik yang mencerminkan proses modernisasi. Interdependensi merupakan suatu hasil dari industrialisasi yang menyebabkan perubahan karakter dalam hubungan antarnegara. Dahulu negara cenderung akan berupaya mencari kekuasaan dengan alat-alat kekuatan militer dan penguasaan wilayah. Namun sejak terjadinya industrialisasi, penggunaan kekuatan mulai menurun dan tergantikan dengan perdagangan. Hal ini dikarenakan perdagangan luar negeri dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai keunggulan dan kesejahteraan yang mencukupi dan dengan sedikit biaya. Bandingkan dengan penggunaan kekuatan militer yang biayanya justru semakin meningkat namun keuntungannya menurun18.

Menurut Rosecrance,modernisasi menyebabkan perubahan pada karakter ekonomi. Dahulu penguasaan wilayah dan sumber daya alam yang banyak adalah kunci kejayaan. Namun dalam masa sekarang ini, rumus tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sekarang kunci keberhasilan terletak pada kekuatan tenaga kerja yang sangat berkualitas, akses informasi dan modal keuangan. David Mitrany mengajukan teori integrasi yang berisi bahwa interdepensi yang jauh lebih besar dalam bentuk hubungan transnasional antarnegara dapat mewujudkan perdamaian. Mitrany berpendapat bahwa kerjasama teknik dan ekonomi akan meluas ketika para partisipan mendapatkan keuntungn timbal balik yang dapat diperoleh dari kerjasama tersebut. Ketika warga negara melihat peningkatan kesejahteraan sebagai akibat dari kerjasama yang efisien mereka akan mengubah kesetiaan mereka. Dalam hal ini interdependensi ekonomi akan mengakibatkan integrasi politik dan mewujudkan perdamaian19.

Dari penjelasan di atas kita mendapatkan poin penting dari pendapat Rosecrance yaitu bahwa keberhasilan negara terletak pada tenaga kerja yang berkualitas, akses informasi dan modal keuangan. Pada hubungan Jepang dan Vietnam dalam hal pemberian bantuan 18 Jackson, R & Sorensen G 2013, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.184

(19)

pembangunan, Jepang mendapatkan tenaga kerja dari Vietnam. Seperti sudah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya bahwa ketersediaan tenaga kerja yang murah menjadi faktor penarik bagi Jepang untuk memilih Vietnam sebagai negara penerima ODA. Kemudian, Vietnam mendapatkan modal keuangan dengan adanya bantuan dari Jepang. Sejauh ini, Jepang masih menjadi negara donor terbesar di Vietnam dengan jumlah bantuan mencapai sebesar 10 miliar dollar pada tahun 2016. Modal keuangan ini tidak semuanya diberikan dalam bentuk uang tunai tetapi lebih kepada bentuk pembangunan infrastruktur seperti misalnya pembangunan jembatan Nhat Tanh Bridge dan pembangunan Terminal 2 Bandara Internasional Noi Bai.

Sedangkan pada pendapat David Mitrany kita dapat menemukan poin penting yaitu peningkatan kesejahteraan dan keuntungan timbal balik. Dari bantuan dan kerjasama dengan Jepang, tidak dapat dimungkiri bahwa kesejahteraan masyarakat Vietnam meningkat. Sejak tahun 1990-an,separuh dari populasi Vietnam hidup di ambang kemiskinan. Namun dengan bantuan ODA Jepang, tingkat kemiskinan di Vietnam turun dari 58.2% menjadi 14% yang berdampak pada peningkatan kondisi kehidupan masyarakat Vietnam20. Selain penurunan tingkat kemiskinan, bantuan ODA Jepang juga berdampak kepada tingkat Gross Domestic Product (GDP) per kapita Vietnam. Pada tahun 2011, GDP per kapita Vietnam menyentuh angka $1.407, lebih tinggi 14 kali dibandingkan GDP per kapita Vietnam pada tahun 1990 yang hanya berada di angka $9821. Peningkatan ini berhasil membawa Vietnam di jajaran Middle Income Countries.

Peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan tingkat kemiskinan di Vietnam tidak terlepas dari jumlah lowongan pekerjaan yang juga meningkat. Bantuan dari Jepang memberikan akses kemudahan mendirikan pabrik maupun investasi di Vietnam. Sebagai contoh, di wilayah Provinsi Bac Ninh berdir Que Vo Industrial Complex. Di kawasan industri itu saja sudah berdiri 50 pabrik dan kantor perusahaan asing yang kebanyakan merupakan 20 Japan International Cooperation Agency 2013, Japan-Vietnam Partnership from Date To Now On, Japan International Cooperation Agency, Japan, hlm. 2

(20)

perusahaan teknologi22. Dengan adanya pabrik-pabrik dan kantor-kantor tersebut berarti lowongan pekerjaan baru yang mengurangi tingkat pengangguran di Vietnam. Dengan demikian, Vietnam dan Jepang mendapatkan timbal balik keuntungan. Jepang mendapatkan akses untuk investasi dan tenaga kerja sedangkan Vietnam mendapatkan lowongan kerja sebagai sumber penghasilan bagi masyarakatnya.

Selain dalam hal ketenagakerjaan, timbal balik juga dirasakan dalam hal ekspor impor. Kerjasama bantuan pembangunan yang dilakukan kedua belah pihak telah memberikan privilege berupa kemudahan memasuki pasar masing-masing negara. Tercatat bahwa Vietnam menjadi negara yang nilai impor dari Jepang mencapai peningkatan signifikan. Tercatat bahwa sepanjang tahun 2009 hingga 2016, peningkatan impor barang dari Jepang ke Vietnam mencapai angka 99,8%23. Hal ini tentu menguntungkan Jepang karena mendapatkan pemasukan dari impor ke Vietnam. Sedangkan Vietnam juga untung karena memperoleh suplai barang dari Jepang utamanya bagi barang yang tidak dapat diproduksi sendiri.

Timbal balik juga dirasakan dari kegiatan ekspor komoditi udang dari Vietnam ke Jepang. Seperti yang kita tahu bahwa masyarakat Jepang merupakan konsumen terbesar produk-produk makanan laut. Makanan laut menjadi bahan baku makanan sehari-hari masyarakat Jepang seperti sushi dan sashimi. Sayangnya, Jepang belum mampu mencukupi kebutuhan makanan laut dalam negerinya ditambah lagi dengan menurunnya hasil tangkapan di laut Jepang. Untuk itu, Jepang mengimpor komoditi makanan laut di mana salah satunya adalah udang. Vietnam ternyata menyumbang kebutuhan masyarakat Jepang akan komoditi udang dengan menjadi pemimpin dalam hal ekspor udang ke Jepang. Pada tahun 2015, nilai ekspor komoditi udang Vietnam ke Jepang mencapai $584 miliar, meningkat 21,4% dibandingkan tahun 2014. Dengan demikian,kedua negara merasakan timbal balik

22 Mason,P 2015, Low wage cost attract investor to Vietnam, BBC Asia Business Report, diakses 19 Oktober 2017 <www.bbc.com>

(21)

keuntungan. Vietnam mendapatkan keuntungan dari hasil ekspor udang ke Jepang. Sedangkan Jepang mendapatkan keuntungan yakni mendapatkan suplai dari impor udang Vietnam guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dengan adanya timbal balik yang dirasakan oleh kedua negara ini berujung kepada ketergantungan atau interdependensi antara Jepang dan Vietnam. Kedua negara ini pada akhirnya saling membutuhkan satu sama lain. Tidak heran apabila kemudian Jepang masih mempertahankan sebagai partner kerjasama pembangunan bantuan. Hal ini sejalan dengan pemikiran David Mitrany bahwa kerjasama akan meluas jika partisipan merasakan timbal balik dan peningkatan kesejahteraan.

SIMPULAN

(22)

Pemberian Official Development Assistance (ODA) Jepang kepada Vietnam tidak dapat dilepaskan dari kepentingan nasional serta cita-cita Jepang untuk mewujudkan ‘prosperity of the Japanese people’. Pembangunan infrastruktur di Vietnam dengan dana ODA Jepang tidak lain adalah agar distribusi komoditi barang dari Jepang maupun barang produksi perusahaan Jepang yang berada di negara sosialis tersebut dapat berjalan lancar. Kepentingan lain berkaitan dengan ketenagakerjaan dimana Vietnam memiliki ketersediaan tenaga kerja murah yang dapat memangkas biaya produksi pabrik milik perusahaan Jepang yang didirikan di Vietnam. Terakhir, pemberian bantuan berupa pembangunan infrastruktur pembangunan kilang minyak di Vietnam berkaitan dengan kepentingan memperoleh suplai bahan bakar fosil bagi kebutuhan dalam negeri Jepang. Semuanya itu tidak lain demi mencapai prosperity of the Japanese people.

Meski terlihat seolah-olah menguntungkan Jepang, sebenarnya kerjasama tersebut sangat membantu Vietnam mencapai kesejahteraan. Dengan pembangunan infrasruktur mempermudah mobilisasi masyarakat Vietnam. Belum lagi dengan kehadiran pabrik-pabrik dan kantor-kantor perusahaan Jepang membuka lowongan kerja bagi masyarakat Vietnam. Kerjasama tersebut telah terbukti mengurangi angka kemiskinan dan meningkakan GDP per kapita Vietnam.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Bobrow & Boyer 1996,’Bilateral and Multilateral Aid : Japan’s Approach in Comparative Perspective’, Review of International Political Economies vol. 3,no.1

Jackson, R & Sorensen G 2013, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Jain,P 2016, ’New Thinking Redefines Japan’s Foreign Aid Policy’, SAGE International Australia.

Japan International Cooperation Agency 2013, Japan-Vietnam Partnership from Date To Now On, Japan International Cooperation Agency, Japan.

Mason,P 2015, Low wage cost attract investor to Vietnam, BBC Asia Business Report, diakses 19 Oktober 2017 <www.bbc.com>.

OECD,Official Development Assistance, Diakses 16 Oktober 2017 <www.oecd.org>.

The Government of Japan, Quality Infrastructure Investment Casebook, The Government of Japan, Japan.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

spiritual warisan nenek moyang masyarakat Jepang dan pengajaran semangat bushidou serta loyalitas pengabdian diri terhadap kaisar dan negara menjadikan Angkatan Darat

Penelitian lapangan (field research) ini menggunakan pende- katan kuantitatif untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Sampel penelitian ini adalah 111 santri.

Untuk Angkatan Kerja memiliki nilai Coeficient 0.87299 bernilai positif dengan nilai probability 0.0032 ini menjelaskan terdapat hubungan positif dan signifikan

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulastyawati, et.al (2017) dan Azizi (2018) yang menyatakan bahwa persuasi melalui kegiatan

Strategi sebagai suatu rencana luas dan umum yang dikembangkan untuk mencapai tujuan Strategi sebagai suatu rencana luas dan umum yang dikembangkan untuk mencapai tujuan organisasional

1. Keputusan Gubernur tentang Penetapan Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan/Atau Lahan di Kalimantan Selatan. Penetapan Status Siaga

Pada kejadian tanah longsor tanggal 23 Februari 2014 seperti pada dengan menggunakan aplikasi GMSPLW dari hasil pengolahan data MTSAT kanal IR1 yang berfungsi

Bisnis adalah Kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dalam rangka Menghasilkan Sesuatu yang mempunyai nilai (Value)