• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecemasan tokoh Suyono dalam novel sedimen senja karya S.N. Ratmana pendekatan psikologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kecemasan tokoh Suyono dalam novel sedimen senja karya S.N. Ratmana pendekatan psikologi sastra - USD Repository"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Elisabeth Ratna Yuniastuti NIM: 034114022

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Elisabeth Ratna Yuniastuti NIM: 034114022

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

(6)

v

Sedimen Senja Karya S. N. Ratmana Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi Strata I (S-I). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas kecemasan tokoh Suyono dalam novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana dengan pendekatan psikologi sastra. Penulis memilih topik ini karena terdapat hal yang menarik dari diri tokoh-tokoh dalam novel Sedimen Senja. Novel ini menceritakan bahwa terdapat persaingan antara dua orang duda dalam memperebutkan cinta dari seorang perempuan yang telah meninggal sembilan tahun lamanya.

Tujuan penelitian ini, yaitu,pertama, mendeskripsikan unsur alur, tokoh dan penokohan, serta latar tempat, latar waktu, dan latar sosial novel Sedimen Senja yang membentuk kecemasan tokoh Suyono. Kedua, menganalisis dan mendeskripsikan kecemasan-kecemasan tokoh Suyono dalam novel Sedimen Senja karya S. N. Ratmana dengan pendekatan psikologi sastra.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Pendekatan ini merupakan pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan karya sastra. Teknik pene litian yang digunakan yaitu teknik catat. Teknik catat digunakan untuk mengambil sumber-sumber tertulis yang terdapat pada sumber data yang dianalisi secara deskriptif.

Hasil penelitian novel Sedimen Senja ini analisis strukturalnya sebagai berikut.

Alur yang terdapat dalam novel Sedimen Senja adalah alur campuran. Alur maju menceritakan bagaimana kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan masa kini dan alur mundur menceritakan kehidupan masa lalu para tokohnya. Tokoh utama protagonis novel ini adalah Suyono. Tokoh utama antagonis adalah Hermiati dan Rustamaji. Tokoh utama tambahan, yaitu Lastri. Latar yang terdapat dalam novel Sedimen Senja adalah latar tempat, yaitu SMA PGRI, latar waktu pada tahun 1960-an sampai dengan tiga puluh empat tahun setelahnya, dan latar sosial adalah kehidupan masyarakat menengahyang masih menganut budaya Timur.

(7)

vi

(S-I). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature , Sanata Dharma University.

This research discusses Suyono’s character anxiety in Ratmana’s Sedimen Senja by using psychological approach of literature. The writer chooses this topic because there is an interesting matter form characters in the novel. The novel tells about competition of two widowers to fight for love of a woman who has already died for nine years.

This research aims to describe plot, character and characterization, and setting of place, time, and social of Sedimen Senja. This research also aims to analyze and to describe Suyono’s anxieties in Ratmana’s Sedimen Senja through psychological approach of literature.

The approach employed in this research was psychological approach of literature that was correlated with literature work. The research technique used was note down technique. The note down technique was used to take written sources of data were available in the descriptive analyses.

The research studies Suyono’s character anxieties that are in the form of the anxieties and the effect of themselves. The form of the anxieties includes the feeling of scare and concern. The feeling of scare undergone by Suyono’s character is from the threat of his environment. The concern feeling constitutes what is felt and happen in Suyono’s inner self.

(8)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Elisabeth Ratna Yuniastuti

Nomor Mahasiswa : 034114022

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

KECEMASAN TOKOH SUYONO DALAM NOVEL SEDIMEN SENJA KARYA S. N. RATMANA

PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 21 April 2009

Yang menyatakan

(9)

vii

dan berkat yang telah Dia berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skruipsi yang berjudul “Kecemasan Tokoh Suyono dalam Novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana: Pendekatan Psikologi Sastra”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.

Penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini apabila tidak ada dukungan dari orang-orang terbaik yang Tuhan perkenankan untuk mendampingi penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing I skripsi, Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. 2. Dosen pembimbing II skripsi, Ibu S.E. Peni Adji, S.S, M. Hum.

3. Kedua orang tua penulis, Bapak Philipus Sukijo dan Ibu Valentina Sakem, dan juga adik Birgitta Fitri Kurniasari.

4. Teman-teman penulis: Lia, Tutik, Rini, Jati, Agus, Aji, Riawan, Anton, dan semua angkatan 2003. Novi, Ika, Dyan, Lusi, Lina, Haryadi, Yani, Vendy, dan juga untuk Dhedi Riawan dan Dwi S. Putranto, serta teman-teman Mudika St. Didacus. Mas Tri, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada saya.

5. Pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini dan belum penulis sebutkan.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tentu saja masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, mohon saran dan kritik yang membangun agar penelitian ini dapat lebih baik lagi.

(10)

viii

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2 Februari 2009

Penulis

(11)

ix

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 5

1.5 Landasan teori ... 5

1.5.1 Analisis Struktur Penceritaan ... 5

1.5.2 Teori Psikologi Sastra ... 9

1.5.3 Kecemasan ... 11

1.6 Metodologi Penelitian ... 16

1.6.1 Pendekatan Psikologi Sastra... 16

1.6.2 Teknik Penelitian... 16

1.7 Data dan Sumber Data... 16

1.8 Sistematika Penyajian ... 17

BAB II ANALISIS STRUKTURAL: PLOT, TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR DALAM NOVEL SEDIMEN SENJA KARYA S.N. RATMANA... 18

(12)

x

2.3 Latar ... 47

2.3.1 Latar Tempat ... 47

2.3.2 Latar Waktu ... 49

2.3.3 Latar Sosial... 50

BAB III ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA: KECEMASAN TOKOH SUYONO DALAM NOVEL SEDIMEN SENJA KARYA S.N RATMANA .. 55

3.1 Bentuk Kecemasan Tokoh Suyono ... 55

3.1.1 Rasa Takut ... 55

3.1.2 Gusar ... 61

3.2 Akibat Kecemasan Tokoh Suyono ... 61

3.2.1 Tegangan ... 57

3.2.2 Tindakan Protektif ... 64

3.2.3 Sistem Diri... 65

3.2.4 Pengalihan Kegiatan... 67

3.2.5 Kekuatan Edukatif ... 69

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Psikologi sastra memiliki empat pengertian, pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, psikologi sastra sebagai studi kreatif. Ketiga, psikologi sastra sebagai studi tipe hukum- hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Sedangkan pengertian keempat, psikologi sastra mempelajari dampak sastra sebagai pembaca (psikologi pembaca). Pengertian yang sering digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu psikologi sastra sebagai studi tipe hukum- hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra (Wellek, 1989: 90).

Psikologi sastra memberikan perhatian pada pembicaraan yang ada kaitannya dengan unsur- unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya (Ratna, 2004: 343). Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Demikian juga, pembaca tidak akan lepas dari kejiwaan masing- masing ketika menanggapi sebuah karya sastra (Endraswara, 2003: 96). Psikologi sastra dianalisis dengan hal yang ada kaitannya dengan psikologi dan aspek-aspek kejiwaan pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious), kemudian setelah sadar baru dituangkan dalam bentuk sadar (conscious). Kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra (Endraswara, 2003: 96).

Karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan dalam penceritaannya, khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama

(14)

psikologi sastra, sebab dalam diri manusia itu sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan (Ratna, 2004: 343).

Karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung, melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya. Misalnya, masyarakat dapat mengalami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya berkaitan dengan psike (Ratna, 2004: 342). Karya sastra dan psikologi sastra juga memiliki pertautan yang erat secara tidak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung terjadi karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama, yaitu kehidupan manusia. Psikologi sastra memiliki hubungan fungsional karena keduanya mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, yaitu psikologi bersifat riil sedangkan sastra bersifat imajinatif. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh, jika teks yang diteliti merupakan teks prosa dan teks drama (Endraswara, 2003: 97).

Kajian psikologi sastra juga meneliti perwatakan tokoh secara psikologis dan aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Berdasarkan kajian ini, dapat dianalisis juga mengenai seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan dialog dan pemilihan kata merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin inilah yang akan menyebabkan orisinalitas karya (Endraswara, 2003: 96).

(15)

pengarang. Bagi sejumlah pengarang, bagian ini merupakan tahap yang paling kreatif (Wellek, 1989: 97).

Penelitian psikologi sastra hendaknya mampu menggali sistem berpikir, logika angan-angan, dan cita-cita hidup yang ekspresif dan tidak sekedar rasionalitas hidup. Perasaan takut, phobi, was-was, histeris, dan aman juga sebagai objek kajian psikologi sastra yang pelik (Endraswara, 2003: 98).

Penelitian ini mengangkat novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana, yang menceritakan tentang perseteruan antara dua orang tokoh utama yang memperebutkan cinta dari seorang perempuan yang telah meninggal sembilan tahun lalu. Suyono yang menjadi suami sah dari perempuan yang bernama Hermiati tersebut merasa harga dirinya direndahkan oleh apa yang dilakukan oleh Rustamaji, saingannya. Rustamaji menulis sebuah buku yang menceritakan percintaan antara Rustamaji dan Hermiati yang masih tetap menjalin hubungan percintaan meskipun Rustamaji dan Hermiati sudah berkeluarga.

Kecemasan Suyono akan kebenaran cerita itu membuat harga dirinya merasa terinjak- injak. Apabila kisah itu benar-benar terjadi, maka, istri yang selama dua puluh lima tahun mendampinginya, masih juga mencintai orang lain, yaitu Rustamaji. Hal yang membuat Suyono semakin kuat meyakini percintaan yang terjadi antara mereka, yaitu di dalam buku karangan Rustamaji terselip persembahan kepada Hermiati yang telah menyimpan pulpen kenangan mereka berdua selama hidupnya.

(16)

menganalisis kecemasan tokoh Suyo no dalam novel ini karena Suyono yang menjadi korban perselingkuhan antara Hermiati, istri Suyono dan Rustamaji. Penelitian tentang kecemasan-kecemasan yang ada pada diri Suyono penulis angkat dalam pembahasan ini dengan judul “Kecemasan Tokoh Suyono dalam Novel Sedimen Senja Karya S.N. Ratmana: Pendekatan Psikologi Sastra”.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana struktur penceritaan novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana - yang meliputi alur, tokoh dan penokohan, serta latar - yang membentuk kecemasan tokoh Suyono?

2. Bagaimana kecemasan-kecemasan tokoh Suyono - yang meliputi bentuk kecemasan dan akibat kecemasan - yang terdapat dalam novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana dengan pendekatan psikologi sastra?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur alur, tokoh dan penokohan, serta latar novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana yang membentuk kecemasan tokoh Suyono.

(17)

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. memberikan sumbangan kepada pembacaanalisis sastra berdasarkan pendekatan psikologi sastra,

2. menambah khasanah kritik sastra,

3. menambah kajian tentang kecemasan seorang yang meliputi bentuk kecemasan dan akibat kecemasan tokoh pada sebuah novel,

4. menambah apresiasi Sastra Indonesia, khususnya dalam novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana.

5. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (i) analisis struktur penceritaan (ii) psikologi sastra serta kecemasan tokoh yang berupa bentuk kecemasan dan akibat kecemasan, secara garis besar teori-teori tersebut terdapat dalam teori berikut ini.

5.1 Analisis Struktur Penceritaan

Struktur penceritaan yang akan dianalisis dalam novel ini adalah alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Teori yang akan digunakan dalam analisis ini sebagai berikut.

5.1.1 Plot

(18)

perurutan saja karena hubungan antar keduanya bersifat saling mempersyarati. Plot atau alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku (Luxemburg, 1984: 149).

Peristiwa-peristiwa tersebut dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh utama cerita. Peristiwa merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh seorang tokoh. Peristiwa merupakan peralihan dari keadaan yang satu pada keadaan yang lain (Luxemburg, 1984: 150).

Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 114). Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi pertama, plot lurus atau plot maju, disebut juga plot progresif. Plot maju adalah peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam plot bersifat kronologis. Peristiwa-peristiwa pertama diikuti (atau menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa kemudian. Secara runtut, cerita dimulai dari tahap awal sampai tahap akhir (Nurgiyantoro, 2005: 153-154).

(19)

Pada karya yang bersifat regresif, mungkin diawali dengan pertentangan yang sudah meninggi. Teknik pembalikan cerita atau penyorotbalikkan peristiwa-peristiwa ke tahap sebelumnya dapat dilakukan dengan pengarang “menyuruh” tokoh merenungi kembali masa lalunya, menuturkan pada tokoh lain baik secara lisan maupun tertulis, tokoh lain yang menceritakan masa lalu tokoh lain, atau pengarang sendiri yang menceritakannya (Nurgiyantoro, 2005: 155).

5.1.2 Tokoh dan Penokohan 5.1.2.1 Tokoh

Tokoh adalah pelaku cerita. Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2005: 165). Tokoh cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang tetapi dia harus mampu hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai darah dan daging (Nurgiyantoro, 2005: 167).

(20)

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh terdiri dari tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh yang dapat membuat pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh (- tokoh) tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut, dinamakan sebagai tokoh protagonis. Tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh antagonis dapat lebih dari satu orang tokoh (Nurgiyantoro, 2005: 179).

5.1.2.2 Penokohan

Penokohan menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan berhubungan dengan penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Jones mengatakan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165). Penokohan berhubungan dengan siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005: 166).

5.1.3 Latar

(21)

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan sejarah (Nurgiyantoro, 2005: 230).

Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat tertentu, tempat yang ada pada karya fiksi. Hal ini dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap. Status sosial tokoh juga ditentukan oleh latar ini, misalnya tokoh dari ekonomi kelas atas, ekonomi kelas menengah, dan ekonomi kelas bawah. Latar tempat adalah tempat peristiwa dalam novel tersebut terjadi. Latar ini disebut local colour ( Nurgiyantoro, 2005: 235). 5.2 Teori Psikologi Sastra

Psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis dalam kaitannya dengan asal- usul karya. Psikologi dianalisis dalam kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Psike adalah struktur tanda yang dihuni oleh alteritas yang radikal, yang secara total berasal dari sesuatu yang lain, yaitu struktur bawah sadar. Struktur bawah sadar inilah sebagai inspirasi dan ilham (Ratna, 2004: 348).

(22)

sadar baru dituangkan dalam bentuk sadar (conscious). Kekuatan karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra (Endraswara, 2003: 96).

Karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan dalam penceritaannya, khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab dalam diri manusia itu sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan (Ratna, 2004: 343).

Karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung, melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya. Misalnya, masyarakat dapat mengalami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya berkaitan dengan psike (Ratna, 2004: 342). Karya sastra dan psikologi sastra juga memiliki pertautan yang erat secara tidak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung terjadi karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama, yaitu kehidupan manusia. Psikologi sastra memiliki hubungan fungsio nal karena keduanya mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, yaitu psikologi bersifat riil sedangkan sastra bersifat imajinatif. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh, jika teks yang diteliti merupakan teks prosa dan teks drama (Endraswara, 2003: 97).

(23)

Sentuhan-sentuhan dialog dan pemilihan kata merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin inilah yang akan menyebabkan orisinalitas karya (Endraswara, 2003: 96).

Proses kreatif tersebut meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, bagian ini merupakan tahap yang paling kreatif (Wellek, 1989: 97).

Penelitian psikologi sastra hendaknya mampu menggali sistem berpikir, logika angan-angan, dan cita-cita hidup yang ekspresif dan tidak sekedar rasionalitas hidup. Perasaan takut, phobi, was-was, histeris, dan aman juga sebagai objek kajian psikologi sastra yang pelik (Endraswara, 2003: 98).

Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Analisis psikologi sastra pada hakikatnya memberikan pemahaman kepada masyarakat secara tidak langsung terhadap suatu karya sastra. Pemahaman terhadap tokoh-tokoh tersebut dapat membuat masyarakat memahami perubahan-perubahan, kontradiksi-kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan denga n psike (Ratna, 2004: 342-343).

5.3 Kecemasan

(24)

dari keadaan yang berbahaya secara psikologis, yaitu keadaan pada waktu kita tampak bodoh, ditolak, dan ragu-ragu, marah, atau terlihat tidak dapat menguasai diri (Albin, 1986: 49). Takut cenderung bersifat langsung, ditujukan atas benda ataupun peristiwa, spesifik, dan disadari. Apabila seseorang merasa gusar, biasanya hal tersebut tidak langsung, tanpa sumber yang jelas dan tanpa disadari (Fabella, 1993: 73).

Ketika seseorang merasa gusar, hal tersebut tidak disadari dan berada dalam diri orang tersebut. Apabila seseorang membayangkan apa yang terjadi dalam pengalamannnya atau mengingat apa yabng telah dialami oleh orang lain, maka rasa itu akan bertambah (Fabella, 2005: 73).

Kecemasan juga mengakibatkan tegangan dalam diri seseorang. Oleh karena itu, kecemasan merupakan penghayatan tegangan akibat adanya ancaman-ancaman nyata atau dibayangkan pada ancaman keamanan dari diri seseorang. Kecemasan yang hebat mengurangi efisiensi individu- individu dalam memuaskan kebutuhannya, mengganggu hubungan antar pribadi, dan mengacaukan pikiran. Oleh karena itu, fungsi kecemasan adalah memperingatkan sang pribadi akan adanya bahaya, jika tidak dilakukan tindakan-tindakan tepat akan membuat seorang kalah. (Hall, 1993: 80).

(25)

Akibat dari kecemasan, yaitu tegangan, tindakan protektif dan kontrol terhadap tingkah laku, adanya sistem diri, mengalihkan kegiatan yang tidak memancing kecemasan yang dialami, dan kekuatan edukatif (Hall, 1993: 274-280).

Cara menghindari kecemasan dengan memakai tindakan protektif dan kontrol pengawas terhadap tingkah laku. Misalnya, seseorang menghindari hukuman dengan memenuhi kemauan orang tuanya. Tindakan-tindakan keamanan ini membentuk sis tem diri yang menyetujui tingkah laku-tingkah laku tertentu dan melarang bentuk-bentuk tingkah laku yang lain (Hall, 1993: 281).

Sistem diri merupakan penjaga keamanan seseorang. Sistem diri tidak akan membiarkan masuknya informasi yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seseorang tersebut dalam hal ini dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dialaminya. Sistem diri juga berakibat menghambat seseorang untuk hidup dengan orang lain, meskipun sistem ini dapat mengurangi kecemasan. Akan tetapi, rasa takut dan rasa cemas menghalangi langkah hidup kita karena kita tidak akan menyelesaikan masalah tetapi memperparah masalah (Albin, 1986: 50).

(26)

kontradiksi-kontradiksi yang jelas antara bagaimana orang itu sebenarnya dan bagaimana orang itu menurut apa yang dikatakan oleh sistem dirinya (Hall, 1993: 276).

Kecemasan juga dapat dialihkan dengan melakukan pekerjaan yang melibatkan otot-otot badan atau berupa kegiatan mental. Kegiatan mental ini berupa persepsi, misalnya apa yang akan terjadi jika seseorang melakukan suatu hal. Kegiatan mental yang kedua adalah ingatan, yaitu ketika seseorang mulai mengingat kembali apa yang terjadi dengan dirinya pada masa lalu. Kegiatan mental yang ketiga adalah berpikir. Seseorang memikirkan masalah yang dia hadapi dengan mencoba mengambil jalan yang terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi tegangan yang terdapat dalam diri orang yang mengalami kecemasan (Hall, 1993: 282).

Kecemasan dapat memberikan sebuah kekuatan edukatif luar biasa dalam kehidupan manusia, seorang bayi dapat merasakan kecemasan ketika dia menyusu pada ibunya. Bayi dapat menangkap semua yang dialami oleh ibunya lewat tatapan mata, sentuhan, dan raut muka ibu. (Hall, 1993: 281).

(27)

peristiwa spesifik dan disadari. Apa yang ditakutkan dalam diri seseorang tersebut tidak disadari dan berada dalam diri mereka. Gusar merupakan sebuah keadaan yang bersifat tidak langsung dan disadari. Gusar muncul pada diri seseorang karena terdapat peristiwa atau pemikiran yang dibayangkan pada diri orang tersebut.

Kecemasan mengakibatkan tegangan dalam diri seseorang. Kecemasan merupakan penghayatan tegangan akibat adanya ancaman-ancaman nyata atau dibayangkan pada ancaman keamanan diri seseorang. Akibat kecemasan yang kedua adalah munculnya tindakan protektif yang membentuk sistem diri yang menyetujui tingkah laku-tingkah laku tertentu dan melarang tingkah laku yang lain. Sistem diri tidak akan membiarkan masuknya informasi yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seseorang tersebut dalam hal ini dapat menyebabkan seseorang tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dialami. Sistem diri berfungsi untuk mengurangi kecemasan. Akibat yang keempat adalah adanya pengalihan kegiatan. Kecemasan dapat dialihkan dengan melakukan kegiatan yang melibatkan otot-otot badan atau berupa kegiatan mental, seperti, persepsi, ingatan, dan berpikir. Akibat yang kelima, yaitu, adanya kekuatan edukatif. Seseorang dapat belajar untuk tidak melakukan suatu hal yang membuatnya harus mengalami lagi kejadian yang sama di masa lalu.

(28)

6. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian novel Sedimen Senja adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang ada yang kemudian disusul dengan analisis. Metode ini memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai suatu penelitian tertentu. (Ratna, 2004: 53).

6.1 Pendekatan Psikologi Sastra

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra, yaitu model pendekatan psikologis yang dikaitkan dengan karya sastra. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan neurosis. Oleh karena itu, karya sastra dianggap salah satu gejala (penyakit ) kejiwaan (Ratna, 2004: 62).

6.2 Teknik Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat, yaitu mengambil sumber-sumber tertulis yang ada pada sumber data dan dianalisis secara deskriptif. (Ratna, 2004: 53).

7. Data dan Sumber Data

(29)

Tebal Buku : viii + 192

8. Sistematika Penyajian

(30)

BAB II

ANALISIS STRUKTURAL:

PLOT, TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR DALAM NOVEL SEDIMEN SENJA KARYA S.N. RATMANA

Bab II penelitian ini akan mendeskripsikan struktur penceritaan yang terdapat dalam novel Sedimen Senja karya S.N. Ratmana. Struktur penceritaan yang akan diteliti adalah plot, tokoh dan penokohan, serta latar dari novel Sedimen Senja. Unsur-unsur tersebut diambil untuk karena berhubungan dengan kecemasan-kecemasan yang dialami oleh tokoh Suyono.

2.1 Plot

Novel Sedimen Senja terdiri dari 14 sub judul, yang menceritakan masa lalu dan masa depan para tokohnya. Cerita-cerita masa lalu dikemas dalam kehidupan tokohnya dengan mengingat apa yang telah terjadi pada masa yang telah lewat. Masa yang paling dominan adalah sembilan tahun setelah Hermiati meninggal. Akan tetapi, konflik yang terjadi pada diri Suyono terjadi sejak dia masih muda.

Kado Ulang Tahun merupakan klimaks dari novel ini. Suyono yang sudah berusia 70 tahun memperebutkan cinta dari istrinya, Hermiati, yang telah meninggal. Seterunya adalah Rustamaji, teman sesama pensiunan guru.

Hal ini terjadi ketika Suyono membaca buku karangan Rustamaji atau Aji. Isi dari buku karangan Aji mengisahkan cinta segitiga antara tokoh utama, yaitu Raji dan Harni dengan tokoh antagonis, Sarjono. Suyono menafsirkan bahwa tokoh-tokoh

(31)

yang ada di dalam novel itu adalah penjelmaan dirinya, Hermiati- istrinya-, dan Aji. Anggapan ini bersumber dari ditemukannya nama seorang tokoh yang benar-benar dikenal oleh Suyono sebagai sahabat Aji dalam kehidupan nyata.

Buku itu dipinjamnya dari Lita-anak perempuannya-dari perpustakaan sekolah. Setelah dia membaca buku itu, dia mengungkapkan kejengkelannya dengan menginjak-injak buku itu.

(1) Keesokan harinya begitu halaman terakhir selesai dibaca, maka dibantingnya buku itu ke lantai. Tidak puas, masih diinjak pula. Namun ketika kemarahan menggelegak, punggungnya mulai membungkuk untuk memungut buku itu dan tangannya siap merobek-robek, tiba-tiba nalarnya membendung. Buku itu tidak berdosa sama sekali! Lebih-lebih merupakan barang pinjaman dari perpustakaan sekolah di mana Lita mengajar. Lagipula, begitu nalarnya berkembang lebih lanjut, satu dirobek-robek masih ada sekian ribu eksemplar lainnya yang tersebar di masyarakat. Lebih jauh lagi, kalau sampai buku itu rusak, persoalannya menjadi terbuka. Lita pasti bertanya apa sebabnya, lalu dia tahu. Anak-anaknya yang lain pun tahu dan mau tidak mau masyarakat juga tahu. Alangkah menggelikan dan memalukannya. Laki-laki 70 tahun dibakar api cemburu, memperebutkan cinta wanita yang sudah sembilan tahun menghuni liang lahat. (Ratmana, 2006: 2)

Menurut Suyono, buku karangan Rustamaji tersebut menjelek-jelekkan dirinya karena Suyono merasa bahwa tokoh Sarjono dalam novel tersebut merupakan penjelmaan dirinya. Sarjono digambarkan sebagai tokoh antagonis. Dia adalah seorang lelaki hidung belang yang hampir memperkosa Hermiati di sebuah rumah bordil.

(2) …

(32)

Satu hal yang membuat Suyono merasa istrinya mengelabuhinya selama ini, yaitu dalam buku karangan Rustamaji tersebut diceritakan bahwa Harni pernah bertemu dengan Raji secara sembunyi-sembunyi.

Harni masih menyimpan pulpen yang mereka sebut pulpen kenangan yang disimpan Harni sampai akhir hayatnya. Semua orang juga pasti akan tahu hal itu karena tulisan tentang novel kenangan yang disimpan Hermiati itu dimuat dalam halaman awal. Cerita tentang pulpen ini merupakan peristiwa ketika Hermiati dan Aji ketika masih muda. Mereka bertukar pulpen dan masing- masing menyimpan pulpen tersebut.

(3) Akan tetapi ada bagian novel yang membuatnya panas dingin, penasaran dan

geregetan. Harni alias Hermiati alias Ny. Suyono, secara sembunyi-sembunyi, pernah menemui Raji. Dalam pertemuan empat mata itu, Harni berjanji untuk tetap menyimpan vulpen milik Raji sampai akhir hayat. Sedangkan vulpen itu adalah hasil “tukar vulpen” sekian puluh tahun yang lalu ketika keduanya berpacaran. ‘Jadi Hermiati masih menjalin hubungan dengan Aji sesudah jadi istriku?’ tanya laki-laki tua itu kepada dirinya sendiri. ‘Ataukah itu cuma romantisme sebagai penyedap novel ini?’ (Ratmana, 2006: 4)

Curahan hati Aji ketika dia berhasil menyelesaikan novel yang diminta oleh Hermiati juga terdapat dalam cerita ini. Hermiati menginginkan Aji mengabadikan episode persahabatan mereka dalam sebuah novel. Novel itu adalah permintaan terakhir Hermiati sebelum dia meninggal.

(4) ….

(33)

Sebenarnya jawaban dari semua pertanyaan yang menyelimuti Suyono setelah membaca novel karangan Aji adalah pada bagian awal novel ini, yaitu pada bagian curahan hati Aji untuk Hermiati. Meskipun kisah yang ada dalam novel tersebut tidak sepenuhnya merupakan suatu kebenaran. Aji mengungkapkannya berikut ini:

(5) NB:

Menurut keyakinanku ruhmu di alam kubur tidak gentayangan dan juga tidak memerlukan sesaji, apalagi buku. Akan tetapi untuk menunjukkan bahwa novel ini ada sangkut pautnya dengan dirimu, maka pada halaman awal kutulis catatan: ‘Dalam mengenang almarhumah SH yang menyimpan vulpenku sampai akhir hayatnya’. Dengan demikian terpenuhilah permintaanmu dan lunaslah utangku. (Ratmana, 2006: 14)

Alur dalam sub judul pertama ini menggunakan alur mundur. Cerita-cerita tersebut merupakan sorot balik dari masa lalu Suyono yang berupa ingatan- ingatan masa lalu Suyono dan apa yang dipikirkan oleh Suyono.

Sub judul kedua Insiden Vulpen novel Sedimen Senja merupakan awal dari semua kisah kehidupan para tokoh yang terdapat dalam novel Sedimen Senja. Cerita dimulai dengan Hermiati yang pergi ke dukun untuk memisahkan Aji dengan Utari. Utari adalah murid Hermiati yang telah melecehkan Hermiati di depan kelas dengan meletakkan pulpen yang pada akhirnya disebut-sebut sebagai vulpen kenangan milik Hermiati dan Aji. Utari ingin menunjukkan bahwa orang yang memiliki vulpen itu sekarang ini adalah miliknya. Utari menginginkan agar Hermiati tidak boleh lagi mendekati Aji.

(34)

Waktu itu Hermiati mengatakan jika Aji tidak datang ke acara resepsi, maka, dia pun tidak akan datang ke pesta pernikahan itu.

Keinginan Hermiati untuk memisahkan Utari dan Aji memang terlaksana karena Hermiati pergi ke dukun, dan Sang Dukun memberi syarat antara Hermiati dan Utari tidak akan ada yang memiliki Rustamaji agar adil. Hermiati tidak boleh mendekati Aji lagi. Hermiati menyanggupi syarat tersebut. Alur yang terdapat dalam cerita ini adalah alur maju.

(6) “Soal laku dan korban sesaji itu syarat kedua, yang pertama adalah

keadilan.”

Hermiati merenung. Membayang kembali di matanya adegan di Kelas II Budaya beberapa hari lalu.

“Bagaimana, Nak?”

Merasa terdesak akhirnya Hermiati mengiyakan kemauan Sang Dukun. Yang penting, menurut pikirannya, adalah putusnya hubungan Aji-Utari, biar remaja itu tahu rasa. Soal konsekuensi dari kesediaannya melepas Aji itu urusan belakang. (Ratmana, 2006: 26)

Surat merupakan sub judul yang ketiga, di dalam kisah memunculkan tokoh Suyono yang penuh konflik dengan dirinya, istrinya, dan masyarakat di sekitarnya. Pada bab ini juga diceritakan bahwa Suyono ingin mengenal Hermiati lebih dekat, maka, dia menulis surat kepada Hermiati. Surat yang ditulisnya panjang lebar menceritakan keadaan dirin Suyono selama hidup bersama Lastri.

(35)

Sub judul keempat, Langkah yang Goyah menceritakan bagaimana Hermiati secara tersamar menyatakan isi hatinya pada Aji. Hermiati merasa tenteram kalau berdampingan dengan Aji. Akan tetapi, hal itu sudah terlambat. Aji telah bersama dengan Utari. Alur yang terdapat dalam bab ini adalah alur maju.

Rustamaji diceritakan khusus pada sub judul kelima, Antara Dua Lakon. Diceritakan di sini bagaimana kisah cinta Aji dengan Hermiati meskipun mereka belum berpacaran dan kisah cinta Rustamaji dengan Utari, muridnya. Hermiati adalah seorang perempuan yang benar-benar diha rapkan oleh Rustamaji, hanya saja perbedaan agama membuatnya ragu. Sosok Utari adalah sebuah keterlanjuran saja menurutnya.

(7) ….

Dengan mengajar diharapkan dirinya mendapatkan selingan, sehingga bisa datang ke gedung pertunjukkan terbebas dari kejenuhan berpikir tentang teater. Harapan itu tak terwujud karena di sekolah dia bertemu dengan Hermiati. Gadis yang benar-benar dicintainya itu dengan susah payah dan dengan bahasa yang tersamar menyatakan cinta kepada dirinya. (Ratmana, 2006: 48)

(8) Lain halnya dengan kesediaan Utari untuk ia peristri. Pernyatannya begitu

enteng, spontan, dan setengah bergurau. Apakah Utari jujur, Aji tidak tahu. Yang terang sekarang dia menyadari sikapnya terhadap Utari adalah keterlanjuran yang tak mungkin ditarik kembali. Sedangkan keterlanjuran itu berpangkal pada pandangan hidupnya. Sebagai orang yang sejak kecil hidup mengikuti garis santri yang ketat Aji tidak bisa membayangkan kalau harus beristri orang yang berbeda agama. Padahal ada tanda-tanda yang kuat Hermiati minimum bersimpati pada agama lain. Di rumahnya pernah ditemukan majalah Catholic Degest dan tiap kali mau makan dia melakukan “sembahyang” lebih dulu. (Ratmana, 2006: 50)

(36)

Hermiati pernah merasa tertekan dengan apa yang terjadi atas dirinya. Ibunya yang tidak setuju dengan kedekatannya dengan Suyono membuat Hermiati merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu, yaitu pergi ke dukun. Hal ini mengakibatkan dia tidak bisa lagi memiliki Aji.

Hermiati menyadari kedekatannya dengan Aji sama saja dengan membuat kesalaha n, jadi, dia memilih Suyono untuk menjadi teman hidupnya. Hermiati menyesali apa yang dia lakukan karena Aji mengajaknya untuk mengarungi bahtera hidup bersama sedangkan dia berjanji pada Mbah Dukun untuk tidak mendekati Aji lagi. Dia hanya bisa menangis. Peristiwa ini terdapat pada judul keenam Kabut. Alur cerita ini adalah alur maju.

(9) Hermiati menunduk. Masih segar dalam ingatannya dirinya bersumpah di

depan dukun untuk tidak menjalin cinta dengan Aji. Sekarang sudah terbukti hubungan Aji dengan Utari putus. Tinggal satu lagi permintaannya kepada dukun yang belum terpenuhi, yakni dipermalukannya Utari di depan umum. Karena itu dia bungkam menghadapi pertanyaan Aji tadi. Lebih-lebih dia ikut geram mendengar Aji dilecehkan oleh Utari.

“Mengapa diam, Her?” Hermiati masih menunduk.

“Bukankah beberapa waktu yang lalu kamu pernah bilang dirimu merasa tenteram bila berdampingan denganku?”

Hermiati mengangkat wajah dan menatap Aji. Laki-laki itu melihat mata gadis yang dicintainya itu dalam keadaan basah.

“Apakah langkahku mendekati Utari merupakan dosa tak berampun?” Hermiati menggeleng.

“Jadi?”

Tidak ada jawaban. Hermiati memejam. Ada butiran airmata di sudut matanya.

“Aku sudah terlambat? Atau ada laki-laki lain….” (Ratmana, 2006: 69-70)

(37)

Saat itu, mereka bertemu di rumah Hermiati, Aji ingin meminjam tas kecil dan Suyono sudah ada di sana untuk bersama-sama Hermiati mengikuti diskusi politik. (10) ”Ayo sekalian ikut,” kata Yono tiba-tiba.

”Ikut kemana?”

”Ke rumah Walikota, mengikuti diskusi politik, jawab Yono. Aji kaget.

”Tiap dua minggu sekali kami ikut pembinaan politik bernama Marhenisme.” ”O, kalau begitu jelas aku tidak bisa ikut.”

”Kenapa?”

”Aku kurang minat pada politik.” (Ratmana, 2006: 76)

Bagaimana Utari dipermalukan di depan orang banyak karena dia telah ketahuan berbuat mesum juga diceritakan di sini. Genaplah sudah apa yang telah diminta Hermiati pada dukun tempo hari.

(11) ”Aduh, cewek secantik itu cuma ditiduri seorang sopir.” ”Sopir?”

”Ya, laki-laki itu sopir kantor kakak ipar Si Cewek.” ”Apa benar dia pelajar SMA?”

”Iya, benar. Teman sekelas adik saya.”

”Kasihan. Bisa dipecat dari sekolah kalau kejadian ini dilaporkan.”

”Untung besar laki-laki itu. bisa meniduri cewek cantik, kena ringkus tapi tidak sampai dikeroyok. Kalau….”

”Tapi malu dong, ditonton begitu banyak orang, resliting celananya saja belum sempat dikancingkan.”

Lebih malu lagi Si Cewek” (Ratmana, 2006: 82)

Ibu Hermiati mengungkapkan ketidaksukaannya kepada Suyono diceritakan juga dalam sub judul ini. Dia lebih setuju apabila Aji ya ng menjadi menantunya. Alur yang digunakan dalam bab ini adalah alur maju.

(38)

pernikahan oleh para guru. Mereka membicarakan Suyono, Hermiati, dan Aji karena mereka terkejut. Mereka mengira Hermiati akan menikah dengan Aji bukan dengan Suyono.

Gedung pertemuan adalah tempat resepsi pernikahan Suyono dan Hermiati. Di luar gedung pertemuan saat pernikahan itu berlangsung, ada keributan yang terjadi, yaitu istri Suyono yang bernama Lastri berteriak-teriak. Dia tidak terima dengan apa yang telah dilakukan Suyono terhadap dirinya.

(12) ”Sebaiknya Ibu menyingkir. Mari ikut saya,” ajak seorang wanita kepada Si

Penggendong Anak.

”Baik, saya menyingkir. Tapi tolong letakkan anak ini di pangkuan bapaknya. Jangan enak-enak duduk dengan gendakannya!”

Anak perempuan umur tiga tahun itu disodorkan oleh ibunya kepada orang lain. Si Anak meronta, tidak mau lepas dari ibunya. Sedangkan wanita yang disodori tidak berusaha meraihnya.

”Bocah ini anak orang itu!”kata Si Ibu sambil menuding ke kursi pelaminan. ”Letakkan saja di pangkuannya. Letakkan saja!”

”Sabar, Bu. Sabar,”bujuk wanita lain. ”Serahkan putri Ibu pada saya.” Si Anak meronta lalu menangis. Otomatis menyedot perhatian para tamu yang akan memasuki gedung. Mereka, terutama para wanita, mencoba meredakan emosi wanita yang malang itu.

”Bu Lastri, sabarlah,” bisik seorang wanita yang mengenali siapa orang itu. ”Ibu jadi tontonan banyak orang. Memalukan, Bu. Sa….”

”Saya tidak salah, saya tidak malu!!” pekik Lastri. ”Dialah yang seharusnya malu, laki-laki itu! sudah punya empat anak masih cari perempuan lain yang lebih muda, lebih pinter,lebih geniiittt!!” (Ratmana, 2006: 94)

Aji mengalami sakit hati yang luar biasa karena pernikahan Suyono dan Hermiati. Akan tetapi, setelah beberapa bulan sejak peristiwa itu, dia menikah dengan Arum, mantan muridnya. Aji dan Arum melaksanakan pernikahan di aula sekolah.

(39)

digunakan untuk mengingat kembali petemuan Aji dengan Arum dan ingatan Aji kepada Hermiati.

Bukan Sebuah Gunung Es pada sub judul sembilan merupakan konflik antara Arum dengan Hermiati. Arum menemukan kartu ucapan yang dikirimkan oleh Hermiati kepada suaminya. Arum cemburu. Dia kecewa terhadap suaminya.

Cerita selanjutnya adalah Suyono yang cemburu dengan Aji ketika Hermiati turun ke lapangan sewaktu anak-anak muridnya melakukan kegemparan dengan melakukan demo. Para guru tidak boleh meninggalkan ruang guru sedangkan Hermiati keluar diam-diam untuk menemui murid- muridnya. Anak-anak itu menuntut para guru IPA yang tidak beres termasuk Aji yang memberi les kepada mereka yang kaya. Hal ini membuat adanya kesenjangan antarsiswa. Oleh karena itu, Suyono menuduh Hermiati membela Aji. Kutipan peristiwa tersebut dapat dilihat berikut ini: (13) ”Apa dari ruang guru tidak bisa kita ketahui latar belakang gerakan mereka?

Kami yang berkumpul di ruang guru tahu bahwa mereka memprotes les privat yang dilakukan oleh kawan-kawan kita. Kami bisa tahu tanpa harus menanggung resiko dipukuli oleh murid-murid yang marah.”

”Ya, mungkin. Tapi hanya dengan duduk di ruang guru aku tidak tahu sikap sebenarnya anak-anak kelasku.”

”Kalau sudah tahu, lantas mau apa?” Tanya Si Suami. ”Aku heran, tanpa

sepengetahuan siapapun kamu nekat keluar dari ruang guru. Tidak minta pertimbangan orang lain, termasuk dari aku, suamimu.”

”Itu spontanitas yang mungkin ….”

”Spontanitas macam apa itu? Bukankah situasinya mencekam? ”Mungkin karena aku tolol atau ….”

”Tidak, tidak! Siapa bilang kamu tolol? Aku curiga, jangan-jangan ada maksud tertentu di balik tindakanmu.”

”Maksud tertentu? Apa itu?”

”Jujurlah, kamu bermaksud meredam kemarahan siswa kan?” ”Kalau ya, apa salahku? Bukankah ….”

”Tindakan nekat itu kamu lakukan karena di antara guru yang jadi sasaran protes para siswa terdapat nama ….”

”Mas Yono!!” teriak Hermiati. ”Aku baru tahu bahwa para siswa memprotes guru-guru IPA sesudah aku ada di tengah siswa. Bicaramu nglantuuurr!”

(40)

disepelekan, pasti ada yang lebih penting, lebih utama untuk kamu lin ….”(Ratmana, 2006: 111-112)

Alur maju digunakan dalam cerita ini. Peristiwa-peristiwa yang diceritakan runtut.

Sub judul kesepuluh adalah Mengusik Macan Tidur. Dari judulnya dapat kita ketahui bahwa ada hal yang membuat tokoh yang diceritakan merasa galau dan ingin marah. Tokoh tersebut adalah Hermiati. Apa yang telah terjadi pada masa lalu tidak dapat dilupakan begitu saja. Cerita dari masa depan ke masa lalu berupa ingatan-ingatan yang dirasakan oleh Hermiati.

Hermiati teringat akan pertemuannya dengan Aji setelah suatu malam dia bermimpi bermesraan dengan Aji. Dia ingat hari itu berjalan menuju kelas untuk mengajar, dia berjalan bersama dengan Aji dan mengatakan:

(14) ”Memories of you will never die, ” bisiknya.

Aji meminta agar dirinya mengulang bisikan itu. Permintaan itu diturutinya. Namun, sebelum ada reaksi lebih lanjut laki-laki itu sudah harus masuk ke kelas yang ditujunya. (Ratmana, 2006: 123)

Pacar Abadi pada sub judul kesebelas merupakan kisah pertemuan antara Aji dan Hermiati. Saat-saat pertemuan terakhir mereka dikisahkan juga di sini. Waktu itu, mereka berada di kantor Aji yang saat itu Aji berpangkat sebagai pengawas. Anehnya, Hermiati tidak menganggap bahwa apa yang dia lakukan bersama Aji saat itu sebenarnya adalah sebuah perselingkuhan.

(15) ....

(41)

dihentikan oleh pernikahan dan tanpa bumbu perselingkuhan. Alangkah anehnya. (Ratmana, 2006: 135)

Alur yang digunakan sebagian besar adalah alur mundur. Tokoh-tokohnya mengingat masa yang telah lalu.

Sub judul kedua belas adalah Pingsan, yang menceritakan Hermiati pingsan di sekolahnya. Dia dibawa ke rumah sakit dan mengalami koma. Orang-orang yang menjenguknya membicarakan bagaimana pekerjaan Hermiati selama ini. Dia dikenal sebagai orang yang rajin dan ulet. Semua orang salut padanya. Di akhir cerita, diceritakan bahwa Arum datang bersama dengan Utari. Utari ingin meminta maaf kepada Hermiati atas apa yang telah dia lakukan dulu pada gurunya tersebut. Akan tetapi, ketika Utari telah sampai di rumah sakit, Hermiati telah meninggal.

Alur yang digunakan adalah alur maju dan alur mundur. Alur maju digunakan untuk menceritakan bagaimana kecemasan para pembezuk melihat apa yang terjadi pada diri Hermiati dan alur mundur mengisahkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Hermiati selama hidupnya.

(42)

Alur mundur digunakan untuk menceritakan kembali apa yang terjadi pada masa yang telah lalu. Alur maju untuk menceritakan kepergian Hermiati.

Akhir dari cerita ini adalah sub judul keempat belas, yaitu Temu Kangen. Sesama pensiunan datang pada acara ini. Temu alumni juga ada di sini. Orang yang tidak hadir adalah Suyono. Dia sudah diberi undangan tetapi tidak datang.

Aji menjual seratus eksemplar buku karanga nnya pada acara ini. Dia juga mengetahui bahwa Arum, istrinya, mempercayai ramalan dukun yang pernah datang ke rumah saudara Arum dan meramal Arum bahwa dia akan menikah dengan orang yang pertama kali menciumnya. Hal ini diketahui oleh Aji ketika teman dekat Arum menceritakan kepadanya.

Rustamaji dikecam oleh bekas muridnya bahwa buku karangannya tersebut merupakan aksi balas dendam yang dilakukan Rustamaji kepada Suyono karena telah merebut Hermiati dari dirinya; Rustamaji menyanggahnya. Dia ingin bukunya benar-benar dianggap sebagai suatu fiksi bukan kenyataan.

Alur yang terdapat dalam cerita ini adalah alur maju dan alur mundur. Alur mundur masih tetap digunakan untuk mengenang dan membicarakan masa lalu Arum dan alur maju untuk mengisahkan kehidupan Aji masa sekarang.

(43)

Akhir dari novel ini tidak begitu jelas digambarkan oleh pengarang. Belum ada penyelesaian yang mempertemukan antara Suyono dan Aji untuk mengatasi permasalahan antara mereka berdua. Akan tetapi, Aji bermaksud untuk menemui Suyono setelah dia kembali dari Jakarta.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan yang dianalisis dalam novel Sedimen Senja adalah tokoh Suyono, Hermiati, Rustamaji, dan Lastri. Pembahasan dari tokoh dan penokohan novel ini sebagai berikut.

2.2.1. Tokoh 2.2.1.1 Suyono

Suyono adalah tokoh utama protagonis. Dia diceritakan terus menerus dalam novel ini. Suyono digambarkan sebagai pemeluk agama Islam. Suyono memiliki dua orang istri. Istri yang pertama dan sudah dicerai bernama Lastri sedangkan istri kedua dan yang telah meninggal bernama Hermiati. Bersama dengan Lastri, Suyono dikaruniai empat orang anak dan bersama dengan Hermiati, dia memiliki dua orang anak.

(16) Lalu bagaimana dengan anak? Karena aku tergolong laki-laki normal, begitu juga Lastri adalah gadis yang normal dan sehat, maka lahirlah mereka, anak-anak kami. Soal jumlahnya sampai empat antara lain karena waktu itu belum dikenal apa yang dinamakan Keluarga Berencana.

(44)

(17) Pemutar-balikkan fakta antara lain dirinya yang tidak lain kawan sekerja Aji dikatakan sebagai pegawai Balai Kota dan aktivis partai, ekmudian menjadi anggota DPRD. Aji sendiri yang sepanjang dinasnya sebagai Pegawai Negeri menjadi pendidik ditampilkan sebagai usahawan yang sukses. Hanya Hermiati (istrinya) yang jadi tokoh Harni, sesuai benar dengan kenyataan, jadi guru SMA dan kemudian Kepala Sekolah, ‘Kebohongan’ pun dibuat oleh penulis novel. Tokoh Harni dilukiskan sebagai perempuan yang mandul. Padahal dalam berumah tangga dengan dirinya – Suyono – Hermiati dianugerahi dua orang anak.” (Ratmana, 2006: 3)

Pekerjaan awal Suyono adalah seorang guru bahasa Inggris, kemudian memiliki jabatan terakhir sebagai pengawas. Dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini:

(18) ...

“Kalian tahu apa sebab Pak Aji kalah bersaing dengan Pak Yono?” tanya salah seorang dari mereka kepada kawan-kawannya.

“Kalah ganteng.” “Kalah pengalaman.”

“Salah!” kata Si Penanya dengan gaya serius. “Begini, Bu Her menentukan, pinangan harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Inggris. Nah, surat pinangna Pak Aji banyak salah gramatikal, sedangkan pinangan Pak Yono sempurna. “ (Ratmana, 2006: 89)

(19) Melihat ekpresi wajah Hermiati yang tiba-tiba berubah, Si Suami

menyesal melontarkan pertanyaan tadi. Karenanya dia segera mengalihkan persoalan.

”Pak Yono suami Ibu sekarang ....”

”Sudah pensiun. Juga pensiun sebagai Pengawas.” ”Pak Aji menikah dengan siapa?”

”Dengan mBak Arum, alumni SMA kita. Kakak kelas Anda.”(Ratmana, 2006: 121)

Percakapan tersebut percakapan antara dua orang alumni dengan Hermiati. Saat itu Hermiati menjabat sebagai kepala sekolah.

(45)

(20) ”Kamu tertarik pada Yono karena dia laki-laki yang selalu tampil rapi dan merendah? Sebagai laki-laki dia memang punya daya pikat. Makin akrab kamu dengan dia daya pikat itu akan tumbuh semakin subur. Kalau kamu menghindar daya pikat itu makin melemah.” (Ratmana, 2006: 78)

Suyono adalah salah satu orang yang patut dibanggakan oleh lingkungan sekitarnya. Di desanya, dia adalah orang pertama yang berhasil menamatkan SLTA. Hal itu juga menjadi salah satu pemicu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih mudah. Pengakuan ini dikisahkan oleh tokoh Suyono ketika dia mengirim surat kepada Hermiati sebelum mereka berdua resmi pacaran.

(21) Maklumlah aku tergolong pemuda yang dianggap berprestasi

istimewa. Memang akulah pemuda pertama di desaku yang berhasil menamatkan SLTA. Lebih-lebih sesudah ijazah ada di tangan. Sebagai pelajar yang menerima beasiswa Ikatan Dinas otomatis aku mendapatkan besluit pengangkatan sebagai guru SMP. Kebetulan aku ditempatkan di luar Jawa. (Ratmana, 2006: 33)

Selain berprofesi sebagai guru, Suyono juga aktif dalam pergerakan politik. Partai yang diunggulkannya adalah Marhaenisme. Partai itu sama dengan partai yang dianut oleh ayah Hermiati. Malam itu ketika Rustamaji datang ke tempat Hermiati, Suyono ada di sana dan sedang berniat untuk pergi ke diskusi politik.

2.2.1.2 Hermiati

(46)

(22) ...

Ada pepatah Jawa mengatakan ‘Witing tresna jalaran saka kulina’

alias cinta tumbuh karena sering bergaul. Mengapa aku tidak pernah tertarik pada kawan guru putri lain yang sering bergaul denganku? Soal penampilan, terus terang harus kukatakan bahwa Lastri lebih cantik daripada kau, tetapi murid-murid kita masih remaja dan banyak yang cantik toh tidak ada yang menarik bagiku. Faktor keramahan? Bisa jadi. Yang terang kamu memiliki kepribadian yang istimewa: tekun, ulet, cerdas, merendah, dan tegas. Faktor terakhir ini benar-benar mengagumkan. Engkau adalah guru muda yang berwibawa di mata pelajar berkat ketegasan sikapmu. (Ratmana, 2006: 35-36)

Banyak lelaki yang menyukai dia karena sifat-sifatnya tersebut, termasuk Suyono dan Rustamaji. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini yang menceritakan teman-teman Hermiati sesama guru sedang berbincang-bincang di ruang guru membicarakan Hermiati.

(23) “Akhirnya teka-teki terpecahkan,” kata Mardiyah. “Tentang apa?” tanya Atin.

“Selama ini tanda tanya mengisi benak saya, siapa sebenarnya pria yang dicintai Bu Her. Sedangkan yang mencintai cukup banyak. Awal sekali saya dengar dia pacar Pak Gunadi, guru SD. Kemudian lama akrab dengan Pak Aji. Pernah pula saya dengar dia nonton bioskup berduaan dengan Pak Petrus. Hubungannya dengan Pak Yono cukup menghebohkan karena istri Pak Yono cemburu. Akhirnya Pak Yonolah yang dipilihnya.” (Ratmana, 2006: 90)

Hermiati aktif mengajar Pramuka di sekolahnya. Dia mengajar bersama dengan Suyono. Kutipan di bawah ini merupakan penggalan dari surat yang ditulis oleh Suyono kepada Hermiati.

(24) ...

Lebih-lebih aku sering pamit ke rumahmu membahas pelajaran padahal waktu itu statusmu masih Guru Tidak Tetap. Aktivitasmu dalam gerakan Pramuka dinilainya sebagai upaya untuk bisa lebih dekat denganku. (Ratmana, 2006: 35)

(47)

bawah ini mengambil dari peristiwa ketika Aji sedang datang ke rumah Hermiati untuk meminjam sebuah kopor kecil.

(25) “Sorry, aku tidak punya. Kopor yang agak besar bagaimana?”

“Yang besar aku punya,” kata Aji. “Eh, kalian kelihatan rapi, mau pergi, ya?”

Yang ditanya tidak segera menjawab. Bu Marto yang merasa tidak punya kepentingan dengan ketiga orang di ruang tamu itu lantas masuk ke dalam ruang dalam.

“Kami mau pergi ke rumah kediaman Walikota. Sebentar lagi akan ada kawan yang menjemput, “ kata Hermiati.

“Ayo sekalian ikut, “ kata Yono tiba-tiba. “Ikut ke mana?”

“Ke rumah Walikota, mengikuti diskusi politik, “ jawab Yono. Aji kaget.

“Tiap dua minggu sekali kami ikut pembinaan politik bertema Marhenisme.”

“O, kalau begitu jelas aku tidak bisa ikut.” “Kenapa?”

“Aku kurang minat pada politik.” (Ratmana, 2006: 75-76)

Sebelum Hermiati meninggal, dia dipromosikan sebagai Kakandekdikbud di Provinsi Jawa Tengah karena memang dia seorang kepala sekolah yang pekerja keras.

(26) ”Pak Aji silakan duduk!”

Pengawas itu pun duduk pada posisi paling tengah.

”Saya dengar kabar Bu Her akan dipromosikan jadi

Kakandekdikbud. Betul, Pak?”

”Mungkin. Dia memang calon terkuat untuk menduduki jabatan itu.” ”Untuk daerah mana?”

”Belum jelas. Ada beberapa lowongan, termasuk kabupaten Pemalang.”

”Wah, hebat!”

”Saya rasa sangat layak untuk seorang Kepala Sekolah yang berprestasi seperti dia. Apalagi usianya tergolong masih muda. Tapi yang jauh lebih penting, mari kita doakan semoga secepatnya dia bisa lepas dari krisis ini.”

(48)

Hermiati inilah yang menjadi istri kedua Suyono. Masa pernikahan mereka berumur dua puluh lima tahun. Hermiati meninggal pada umur 52 tahun.

2.2.1.3 Rustamaji

Rustamaji diceritakan sebagai tokoh utama tambahan antagonis. Dia berperan penting dalam kehidupan Suyono. Apabila Rustamaji atau Aji tidak ada, maka, Suyono tidak akan mengalami hal buruk dalam hidupnya di masa tua.

Aji adalah seorang guru matematika di SMA PGRI. Apabila dilihat dari segi fisik, Aji tidak begitu tampan. Hal itu diakui olah Hermiati ketika dirinya diolok-olok oleh teman-temannya sesama guru.

(27) ….

“Dalam cerita wayang tokoh Sembodro itu gambaran perempuan yang super sabar. Meski…………”

Sebelum kalimat itu selesai diucapkan Hermiati sudah menyingkir. Mau menangis rasanya mendengar olok-olok itu. Merah padam wajahnya. Dia tidak sudi disejajarkan dengan Sembodro, tokoh yang ikhlas dimadu oleh suami yang mata keranjang. Juga sebutan Arjuna untuk Aji sama sekali tidak cocok. Dia bukan lelaki ganteng yang punya daya pikat lahiriah. ‘Keterlaluan, keterlaluan!’ pekik Hermiati dalam hati. (Ratmana, 2006: 42)

Aji termasuk orang yang taat pada agamanya dan dia sangat menjunjung tinggi agamanya. Dia penganut santri yang ketat..

(28) ….

Sebagai orang yang sejak kecil hidup mengikuti garis santri yang ketat Aji tidak bisa membayangkan kalau harus beristri orang yang berbeda agama. (Ratmana, 2006: 50)

(49)

sendiri ada tanda-tanda yang kuat bersimpati pada agama lain. Aji tidak ingin iman yang diyakininya goyah. Akhirnya, dia terkesan sebagai orang yang bersikap ragu-ragu.

Selain berprofesi sebagai guru, Aji adalah seorang sastrawan dan dramawan. Dia pernah menjadi pemenang sayembara penulisan naskah drama. Oleh karena itu, dia ingin mementaskan nakah dramanya.

(29) Sejak diumumkan oleh Teater Muslim Yogya bahwa naskah

Persimpangan menjadi salah satu pemenang sayembara penulisan naskah drama, Aji sudah berkeinginan mementaskannya. Sesudah gagal kian kemari mencari sponsor yang jadi produser, Aji memutuskan untuk menggelarnya dalam suatu kegiatan yang bersifat studi. Dia sendiri yang menjadi penyandang dana, sedangkan para pelaku dipilihnya murid-muridnya sendiri yang dalam kegiatan ekstra kurikuler memilih Seni Drama. (Ratmana, 2006: 50-51)

Pada akhirnya, dia beristrikan Arum, mantan muridnya yang sangat mencintainya, setelah tidak berhasil mendapatkan Hermiati. Akan tetapi, istrinya tersebut telah meninggal dunia, lima tahun setelah Hermiati meninggal.

2.2.1.4 Lastri

Lastri merupakan tokoh tambahan. Dia berperan sebagai tokoh antagonis. Lastri adalah seorang perempuan yang cantik. Umurnya lebih tua dari Hermiati. Dia istri pertama Suyono.

(30) ...

(50)

Lastri sering marah- marah dengan Suyono ketika dia mengetahui Hermiati dekat dengan suaminya. Hal ini tidak hanya diketahui oleh anak-anaknya saja tetapi didengar juga oleh tetangga di sekitarnya karena Lastri berteriak-teriak ketika dia sedang mara- marah. Hal ini diceritakan oleh mantan murid Aji yang bernama Yitno.

(31) ...

Itu baru sebagian saja dari demikian banyak fakta. Di sisi lain Pak, rumah saya berdekatan dengan rumah kontrakan Pak Yono. Aduh Pak, hampir tiap hari Pak Yono bertengkar dengan Bu Yono, didengar dan diketahui oleh semua tetangga. Persoalannya Bu Yono cemburu karena suaminya berupaya keras mendekati Bu Her. Puncak pertengkaran itu melahirkan perceraian karena Pak Yono benar-benar mau menikah denagn Bu Her. (Ratmana, 2006: 165-166)

Ketika Suyono dan Hermiati melangsungkan pernikahan mereka, Lastri datang bersama dengan anaknya yang paling kecil. Dia berteriak-teriak di luar gedung menyalahkan Hermiati dan Suyono. Ketika dia melihat Aji, dia juga menganggap Aji adalah banci. Lastri sangat jengkel dengan Suyono dan Hermiati sehingga dia melampiaskan segala kekesalannya dengan berteriak-teriak dan mengenakan pakaian yang kontras dengan pengunjung resepsi.

(32) Tanpa disadari laki-laki berdasi dan menenteng jas itu sudah jadi penonton adegan yang dramatis tersebut. Sebagaimana pria lain dia merasa kikuk. Soalnya yang sedang dibakar emosi ini seorang wanita. Situasi berubah ketika wanita itu kemudian mengarahkan perhatian pada dirinya.

“Pak Aji, Pak Ajiii!” pekiknya sambil melambaikan tangan. Yang dipanggil mendekat.

“Kenapa Anda biarkan pacar Anda bersanding denagn ayah anak in?” Aji kaget, mundur seketika.

“Pak Aji, jangan diam saja! Seret perempuan itu dari pelaminan, atau ludahilah wajahnya, wajah yang tidak tahu malu.”

Spontan Aji mengenakan jas dan melangkah ke arah gerbang.

(51)

2.2.2 Penokohan 2.2.2.1 Suyono

Suyono menikah dengan Lastri bukan atas keinginannya sendiri, tetapi atas desakan masyarakat dan orang tuanya dengan kata lain dia dijodohkan. Pernikahan yang tidak dilandasi atas rasa cinta itu akhirnya kandas karena Yono jatuh cinta pada perempuan lain, yaitu Hermiati.

Alasan lain Suyono menceraikan istrinya karena dia tidak tahan lagi dengan perkataan-perkataan istrinya yang kasar. Semakin Lastri marah, semakin dia menunjukkan kejelekannya.

Sebenarnya, bukannya tidak beralasan kemarahan Lastri tersebut. Nalurinya mengatakan bahwa suaminya telah menyukai perempuan lain dan itu memang terjadi. Suyono jatuh cinta kepada Hermiati.

Sikap Yono yang dulunya sabar menjadi berang juga dengan istrinya. Akhirnya, dia menceraikan Lastri dengan empat orang anak ada pada Suyono. Suyono tidak peduli apa kata orang, yang pasti dia tidak mungkin lagi bertahan bersama dengan Lastri yang pencembur u.

(33) Kalau sampai Lastri kucerai, pastilah banyak kecaman diarahkan

(52)

Lastri tidak ingin Suyono menceraikannya, tetapi Suyono bersikeras untuk bercerai. Suyono menikah dengan Hermiati setelah dia menceraikan Lastri. Waktu itu, ketika Suyono sedang melaksanakan resepsi pernikahan, Lastri berteriak-teriak di luar gedung.

(34) ”Sebaiknya Ibu menyingkir. Mari ikut saya,” ajak seorang wanita

kepada Si Penggendong Anak.

”Baik, saya menyingkir. Tapi tolong letakkan anak ini di pangkuan bapaknya. Jangan enak-enak duduk dengan gendakannya!”

Anak perempuan umur tiga tahun itu disodorkan oleh ibunya kepada orang lain. Si Anak meronta, tidak mau lepas dari ibunya. Sedangkan wanita yang disodori tidak berusaha meraihnya.

”Bocah ini anak orang itu!”kata Si Ibu sambil menuding ke kursi pelaminan. ”Letakkan saja di pangkuannya. Letakkan saja!”

”Sabar, Bu. Sabar,”bujuk wanita lain. ”Serahkan putri Ibu pada saya.”

Si Anak meronta la lu menangis. Otomatis menyedot perhatian para tamu yang akan memasuki gedung. Mereka, terutama para wanita, mencoba meredakan emosi wanita yang malang itu.

”Bu Lastri, sabarlah,” bisik seorang wanita yang mengenali siapa orang itu. ”Ibu jadi tontonan banyak orang. Memalukan, Bu. Sa….”

”Saya tidak salah, saya tidak malu!!” pekik Lastri. ”Dialah yang seharusnya malu, laki-laki itu! sudah punya empat anak masih cari perempuan lain yang lebih muda, lebih pinter,lebih geniiittt!!” (Ratmana, 2006: 94)

Suyono mendapatkan hati Pak Marto, ayah Hermiati, dengan menganut paham politik yang sama, yaitu Marhenisme. Itu salah satu keunggulan Suyono karena Aji menganut politik nasionalisme.

(53)

puluh lima tahun mungkin hanya pura-pura saja ataukah pelarian. Bisa saja terjadi Hermiati lebih mencintai Aji daripada dia.

Akhirnya, Suyono menjadi orang yang berbeda setelah ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Dia telah membaca buku karangan Aji yang menyudutkan dirinya, sehingga dia merasa harga diri dan martabatnya hancur. Oleh karena itu, dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan shalat lima waktu di Masjid Agung. Dia juga tidak mau menemui siapa pun, bahkan teman-temannya sesama pensiunan. Ada saja alasan untuk tidak menghadiri undangan, seringkali dia mengatakan kalau dia sedang tidak fit. (35) Meskipun tidak terlalu curiga, Ira – anak kedua yang tinggal serumah dengan

laki-laki itu – menangkap adanya perubahan pada diri ayahnya sejak syukuran ulang tahun ke-70 yang lalu. Belakangan ayahnya jarang ekluar rumah. Dia sehat tetapi tidak ceria. Banyak undangan tidak dipenuhinya. Kalau ditanya mengapa, jawabnya selalu : ’Ayah lagi kurang fit. Bahkan ada kawan lama, sesama pensiunan, datang bertamu, tidak ditemuinya. (Ratmana, 2006: 5)

Suyono ingin sekali mendengar pengakuan Hermiati mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Vulpen kenangan yang menjadi misteri dari buku karangan Aji itu, tidak ditemukannya. Menurutnya, apabila vulpen itu ditemukan, maka, jelaslah semua yang terdapat dalam buku itu.

Ketika mengalami kemelut itu seorang diri, Suyono sempat teringat jawaban Hermiati ketika ditanya mengapa memilih Suyono sebagai suami. (36) Aku hanya mau menikah dengan orang laki-laki yang benar-benar

mencintaiku. Dan laki-laki itu adalah kau! (Ratmana, 2006: 7)

(54)

merasa terinjak- injak, penerbit mengatakan bahwa karya Aji adalah karya yang manusiawi dan mengandung pesan moral yang universal.

2.2.2.2 Hermiati

Sejak masih menjadi guru di SMA, Hermiati sudah menyukai Rustamaji. Akan tetapi, dia harus menerima kenyataan bahwa dia tidak akan mendapatkan Aji untuk selama-lamanya.

Hermiati pernah menyimpan dendam kepada muridnya yang bernama Utari. Dendam inilah yang menyeretnya untuk pergi ke dukun. Dia menginginkan agar Utari tidak mendapatkan Aji dan Utari mendapat malu. Semua itu diharapkan sepadan dengan apa yang telah Utari lakukan kepada dirinya sewaktu di depan kelas sesaat sebelum dia mengajar. Keinginan Hermiati itu harus dibayar dengan janji, yaitu tidak boleh mendekati Aji lagi. Hal itu diharapkan supaya adil untuk Hermiati dan Utari.

Utari telah membawa vulpen kenangan milik Aji dan Hermiati kemudian meletakkannya di meja guru. Utari mengatakan bahwa vulpen itu sekarang miliknya. Hal ini merupakan peringatan kepada Hermiati untuk tidak mendekati Aji. Aji adalah kekasih Utari.

(37) Siswa sekelas jadi saksi adegan yang luar biasa itu. Mereka pun

berbisik satu sama lain. Makin lama Si Guru membisu makin berisik suasana kelas. Untungnya guru itu kemudian sadar bahwa membiarkan dirinya tenggelam dalam emosi, bukan cuma menambah puasnya hati Utari, melainkan juga memperparah derita batinnya.

Guru muda itu memusatkan tekadnya untuk bangkit, berdiri, tegak, dan mengedarkan pandang ke sudut-sudut ruang. Para siswa terpesona seperti kena sihir. Keberisikan kelas mereda. Bersamaan dengan itu mereda pula kegaduhan di otak dan dadanya. Diambil buku dari tas dan dibukanya.

(55)

“Biar! Sekarang bukalah bukumu halaman 19, “ kata Si Guru tegas. (Ratmana, 2006: 18)

Akan tetapi, Hermiati masih saja dekat dengan Aji. Bahkan, dia merasa bahwa itu bukan sebuah kesalahan. Dia telah mengingkari janjinya sendiri. Oleh karena itu, ketika dia menghadapi maut, Sang Dukun datang untuk mengadilinya.

Hermiati juga didatangi oleh ibunya dan orang-orang yang telah dia sakiti, misalnya, Gunadi. Gunadi adalah teman dekatnya sewaktu masih di SGA. Gunadi tidak terima karena Hermiati memutus persahabatan dengan diam-diam.

(38) ”Tak kuduga, ternyata kamu memilih jadi perempuan yang praktis, ” kata laki-laki itu. ”Begitu menikah, langsung punya empat orang anak. Padahal para jejaka seperti aku, Aji, Yanto, Hamid, Kandar, dan lain-lain sangat berharap bisa jadi suamimu. Praktis-pragmatis agaknya jadi prinsip hidupmu.” (Ratmana, 2006: 151)

Setelah dia menikah dengan Suyono pun, dia masih bersama dengan Aji. Dia juga meminta Aji untuk mengabadikan pertemuan-pertemuan mereka dalam sebuah buku. Buku itulah yang menjatuhkan harga diri suaminya.

(39) Sampai aku meninggalkan makammu kulihat suamimu masih duduk

(56)

Kutipan di atas merupakan bagian dari surat yang ditulis oleh Aji kepada Hermiati setelah buku karangan permintaan Hermiati telah selesai ditulisnya. Isi dari tulisan itu semata-mata untuk memuja Hermiati. Hermiati adalah teman istimewa dalam hidupnya, begitu pun yang dirasakan oleh Hermiati.

Pernikahan Hermiati dengan Suyono merupakan konsekuensi dari janji yang telah diiyakannya di depan dukun. Pernikahan itu merupakan sebuah keterpaksaan, apalagi ketika Hermiati mengetahui bahwa sebenarnya Aji juga menaruh hati kepadanya dan ingin memilikinya. Andaikata janji itu belum terucap, Hermiati akan dengan senang hati menerima permintaan Aji.

2.2.2.3 Rustamaji

Rustamaji adalah pembuat buku yang berhasil membuat Suyono merasa harga dirinya dijatuhkan. Aji juga mencintai Hermiati. Aji merupakan saingan Suyono yang paling berat.

Pernikahan Hermiati dan Suyono membuat hidupnya terpuruk. Belum genap satu bulan Aji menerima ucapan selamat ulang tahun dan kado yang indah dari Hermiati, dia mendapat undangan pernikahan dari Hermiati dan Suyono. Hal ini mengakibatkan ia mengalami goncangan fisik dan psikis.

(40) Dia memutuskan untuk datang ke resepsi dengan jalan kaki. Gedung

(57)

Aji sudah meminta maaf kepada Hermiati atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu, yaitu ketidaksetiaannya kepada Hermiati dengan dia berpacaran dengan Utari. Akan tetapi, Hermiati tidak mau menerima Aji untuk menjadi pendamping hidupnya.

Sejak awal, Aji sudah merasa ragu dengan kepastiannya mendapatkan Hermiati karena Aji menganggap mereka berbeda agama. Aji adalah seorang pemeluk Islam yang taat dan dia tidak mengetahui dengan pasti apa agama Hermiati. Untuk itu, dia tidak berani mendekati Hermiati lebih jauh karena dia tidak mau murtad.

Buku karangannya itulah yang menjadi tempat curahan hatinya meskipun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalalm novel itu merupakan peristiwa imajinasi Aji saja. Tidak dapat dikatakan bahwa cerita tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Buku karangannya merupakan cerita fiksi, itulah anggapannya.

(58)

2.2.2.4 Lastri

Lastri berperan sebagai tokoh protagonis yang memusuhi Hermiati dan Suyono. Lastri seorang perempuan yang penuh cemburu terhadap Hermiati. Dia mencoba untuk menghindar dari Hermiati setiap kali Hermiati datang ke tempat Suyono. Misalnya saja ketika Hermiati datang pertama kali ketika ada acara arisan di rumah Suyono. Lastri menganggap hal ini sebuah usaha dari Hermiati untuk mendekati Yono. Naluri perempuannya sangat kuat merasakan bahwa suaminya beralih kepada perempuan lain.

(41) Dalam pada itu Lastri punya naluri keperempuanan yang kuat. Dia merasakan getar-getar batinku yang mengarah pada perempuan lain. Maka dipasanglah radar dan indra keenamnya untuk menangkap sinyal-sinyal tertentu. Ternyata sinyal yang tertangkap oleh radarnya justru berasal darimu! Dia juga punya rekaman yang akurat. Antara lain ketika dirimu menyelenggarakan syukuran ulang tahunmu yang ke-23 kaupinjam pick-up

dan PH dariku. Lalu pada arisan kelompok wanita sekolah kita yang jatuh di kediaman kami engkaulah tamu yang datang paling awal. Hal itu ditafsirkannya sebagai tanda kesetiaanmu padaku dan juga agar dirimu bisa berbic ara denagnku secara leluasa sebelum dimulainya acara inti: arisan. Lebih-lebih aku sering pamit ke rumahmu membah

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, di dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini ditentukan dengan tegas adanya kemungkinan delegasi wewenang dari Instansi Yang Berwenang kepada Instansi lain

Pemindahtanganan barang daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Bupati..

Daftar pustaka atau bibliografi adalah sebuah daftar yang berisi judul buku-buku, artikel, dan bahan-bahan penerbitan lain yang mempunyai pertalian dengan karangan yang

Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan perangkat lunak analisis butir soal dan butir angket untuk mempermudah mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Sebelas Maret

Namun, pada tahun 1843 Robert Fortune menemukan bahwa teh hitam dan teh hijau dihasilkan dari daun tanaman yang sama dengan proses produksi yang berbeda.. Ada banyak nama yang mirip

Penerimaan Pegawai Subag Umum dan Kepegawaian Subag Umum dan Kepegawaian Setiap ada perubahan Soft copy dan hard copy v Selama berlaku website. Ringkasan Kinerja Program dan

Pada hari ini Rabu tanggal s.d 10.00 WIB melalui website dilaksanakan acara penjelasan Renovasi Perumahan Dinas Beserta Bontang Tahun Anggaran. tanggal 26

Penguasaan kompetensi profesional terdiri atas penguasaan materi struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu dan mengembangkan