• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTURAL:

2.2 Tokoh dan Penokohan

2.2.2 Penokohan .1 Suyono

Suyono menikah dengan Lastri bukan atas keinginannya sendiri, tetapi atas desakan masyarakat dan orang tuanya dengan kata lain dia dijodohkan. Pernikahan yang tidak dilandasi atas rasa cinta itu akhirnya kandas karena Yono jatuh cinta pada perempuan lain, yaitu Hermiati.

Alasan lain Suyono menceraikan istrinya karena dia tidak tahan lagi dengan perkataan-perkataan istrinya yang kasar. Semakin Lastri marah, semakin dia menunjukkan kejelekannya.

Sebenarnya, bukannya tidak beralasan kemarahan Lastri tersebut. Nalurinya mengatakan bahwa suaminya telah menyukai perempuan lain dan itu memang terjadi. Suyono jatuh cinta kepada Hermiati.

Sikap Yono yang dulunya sabar menjadi berang juga dengan istrinya. Akhirnya, dia menceraikan Lastri dengan empat orang anak ada pada Suyono. Suyono tidak peduli apa kata orang, yang pasti dia tidak mungkin lagi bertahan bersama dengan Lastri yang pencembur u.

(33) Kalau sampai Lastri kucerai, pastilah banyak kecaman diarahkan

padaku. Mereka katakan aku ini kejam kek, egois kek, melecehkan perempuan kek dan sebagainya. Orang lupa bahwa pintu cerai dibuka oleh agama untuk menghindari terwujudnya neraka rumah tangga. Yakni keluarga yangmenjadi sumber pertengkaran, percekcokan, caci-maki, penganiayaan, cemburu dan kebencian. Orang bisa menasehatiku: ’Kasihilah istrimu’, tapi aku harus lebih dulu mengasihi diriku sendiri. Bagaimanpun aku harus mempertahankan martabat dan harga diriku. Makin sering Lastri marah padaku makin banyak kejelekannya dipertontonkan di depanku. Memuakkan dan menjengkelkan! (Ratmana, 2006: 38)

Lastri tidak ingin Suyono menceraikannya, tetapi Suyono bersikeras untuk bercerai. Suyono menikah dengan Hermiati setelah dia menceraikan Lastri. Waktu itu, ketika Suyono sedang melaksanakan resepsi pernikahan, Lastri berteriak-teriak di luar gedung.

(34) ”Sebaiknya Ibu menyingkir. Mari ikut saya,” ajak seorang wanita

kepada Si Penggendong Anak.

”Baik, saya menyingkir. Tapi tolong letakkan anak ini di pangkuan bapaknya. Jangan enak-enak duduk dengan gendakannya!”

Anak perempuan umur tiga tahun itu disodorkan oleh ibunya kepada orang lain. Si Anak meronta, tidak mau lepas dari ibunya. Sedangkan wanita yang disodori tidak berusaha meraihnya.

”Bocah ini anak orang itu!”kata Si Ibu sambil menuding ke kursi pelaminan. ”Letakkan saja di pangkuannya. Letakkan saja!”

”Sabar, Bu. Sabar,”bujuk wanita lain. ”Serahkan putri Ibu pada saya.”

Si Anak meronta la lu menangis. Otomatis menyedot perhatian para tamu yang akan memasuki gedung. Mereka, terutama para wanita, mencoba meredakan emosi wanita yang malang itu.

”Bu Lastri, sabarlah,” bisik seorang wanita yang mengenali siapa orang itu. ”Ibu jadi tontonan banyak orang. Memalukan, Bu. Sa….”

”Saya tidak salah, saya tidak malu!!” pekik Lastri. ”Dialah yang seharusnya malu, laki-laki itu! sudah punya empat anak masih cari perempuan lain yang lebih muda, lebih pinter,lebih geniiittt!!” (Ratmana, 2006: 94)

Suyono mendapatkan hati Pak Marto, ayah Hermiati, dengan menganut paham politik yang sama, yaitu Marhenisme. Itu salah satu keunggulan Suyono karena Aji menganut politik nasionalisme.

Suyono adalah seorang pemenang karena telah mendapatkan Hermiati dan mengalahkan saingan-saingannnya yang masih lajang. Rival yang paling kuat adalah Rustamaji. Akan tetapi, kemenangan itu menjadi bumerang bagi dirinya di masa tua, setelah menyadari bahwa kepasrahan istrinya selama dua

puluh lima tahun mungkin hanya pura-pura saja ataukah pelarian. Bisa saja terjadi Hermiati lebih mencintai Aji daripada dia.

Akhirnya, Suyono menjadi orang yang berbeda setelah ulang tahunnya yang ketujuh puluh. Dia telah membaca buku karangan Aji yang menyudutkan dirinya, sehingga dia merasa harga diri dan martabatnya hancur. Oleh karena itu, dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan shalat lima waktu di Masjid Agung. Dia juga tidak mau menemui siapa pun, bahkan teman-temannya sesama pensiunan. Ada saja alasan untuk tidak menghadiri undangan, seringkali dia mengatakan kalau dia sedang tidak fit. (35) Meskipun tidak terlalu curiga, Ira – anak kedua yang tinggal serumah dengan

laki-laki itu – menangkap adanya perubahan pada diri ayahnya sejak syukuran ulang tahun ke-70 yang lalu. Belakangan ayahnya jarang ekluar rumah. Dia sehat tetapi tidak ceria. Banyak undangan tidak dipenuhinya. Kalau ditanya mengapa, jawabnya selalu : ’Ayah lagi kurang fit. Bahkan ada kawan lama, sesama pensiunan, datang bertamu, tidak ditemuinya. (Ratmana, 2006: 5)

Suyono ingin sekali mendengar pengakuan Hermiati mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Vulpen kenangan yang menjadi misteri dari buku karangan Aji itu, tidak ditemukannya. Menurutnya, apabila vulpen itu ditemukan, maka, jelaslah semua yang terdapat dalam buku itu.

Ketika mengalami kemelut itu seorang diri, Suyono sempat teringat jawaban Hermiati ketika ditanya mengapa memilih Suyono sebagai suami. (36) Aku hanya mau menikah dengan orang laki-laki yang benar-benar

mencintaiku. Dan laki-laki itu adalah kau! (Ratmana, 2006: 7)

Suyono merasa konyol apabila dia dan Aji memperebutkan cinta dari orang yang sudah meninggal sembilan tahun yang lalu. Sementara dirinya

merasa terinjak- injak, penerbit mengatakan bahwa karya Aji adalah karya yang manusiawi dan mengandung pesan moral yang universal.

2.2.2.2 Hermiati

Sejak masih menjadi guru di SMA, Hermiati sudah menyukai Rustamaji. Akan tetapi, dia harus menerima kenyataan bahwa dia tidak akan mendapatkan Aji untuk selama-lamanya.

Hermiati pernah menyimpan dendam kepada muridnya yang bernama Utari. Dendam inilah yang menyeretnya untuk pergi ke dukun. Dia menginginkan agar Utari tidak mendapatkan Aji dan Utari mendapat malu. Semua itu diharapkan sepadan dengan apa yang telah Utari lakukan kepada dirinya sewaktu di depan kelas sesaat sebelum dia mengajar. Keinginan Hermiati itu harus dibayar dengan janji, yaitu tidak boleh mendekati Aji lagi. Hal itu diharapkan supaya adil untuk Hermiati dan Utari.

Utari telah membawa vulpen kenangan milik Aji dan Hermiati kemudian meletakkannya di meja guru. Utari mengatakan bahwa vulpen itu sekarang miliknya. Hal ini merupakan peringatan kepada Hermiati untuk tidak mendekati Aji. Aji adalah kekasih Utari.

(37) Siswa sekelas jadi saksi adegan yang luar biasa itu. Mereka pun

berbisik satu sama lain. Makin lama Si Guru membisu makin berisik suasana kelas. Untungnya guru itu kemudian sadar bahwa membiarkan dirinya tenggelam dalam emosi, bukan cuma menambah puasnya hati Utari, melainkan juga memperparah derita batinnya.

Guru muda itu memusatkan tekadnya untuk bangkit, berdiri, tegak, dan mengedarkan pandang ke sudut-sudut ruang. Para siswa terpesona seperti kena sihir. Keberisikan kelas mereda. Bersamaan dengan itu mereda pula kegaduhan di otak dan dadanya. Diambil buku dari tas dan dibukanya.

“Buka buku bacaanmu halaman 19!” kata Si Guru. “Maaf, Bu. Pokok bahasan yang lalu belum sele....”

“Biar! Sekarang bukalah bukumu halaman 19, “ kata Si Guru tegas. (Ratmana, 2006: 18)

Akan tetapi, Hermiati masih saja dekat dengan Aji. Bahkan, dia merasa bahwa itu bukan sebuah kesalahan. Dia telah mengingkari janjinya sendiri. Oleh karena itu, ketika dia menghadapi maut, Sang Dukun datang untuk mengadilinya.

Hermiati juga didatangi oleh ibunya dan orang-orang yang telah dia sakiti, misalnya, Gunadi. Gunadi adalah teman dekatnya sewaktu masih di SGA. Gunadi tidak terima karena Hermiati memutus persahabatan dengan diam-diam.

(38) ”Tak kuduga, ternyata kamu memilih jadi perempuan yang praktis, ” kata laki-laki itu. ”Begitu menikah, langsung punya empat orang anak. Padahal para jejaka seperti aku, Aji, Yanto, Hamid, Kandar, dan lain-lain sangat berharap bisa jadi suamimu. Praktis-pragmatis agaknya jadi prinsip hidupmu.” (Ratmana, 2006: 151)

Setelah dia menikah dengan Suyono pun, dia masih bersama dengan Aji. Dia juga meminta Aji untuk mengabadikan pertemuan-pertemuan mereka dalam sebuah buku. Buku itulah yang menjatuhkan harga diri suaminya.

(39) Sampai aku meninggalkan makammu kulihat suamimu masih duduk

tertunduk di sana. Aku bisa memahami sikap itu, sebab aku yakin hubungan batin antara dirinya dengan dirimu pasti sangat kuat, lebih daripada hubungan kita. Terus terang, Her, andaikata tiga hari sebelum maut menjemput, kamu tidak datang ke kantorku untuk berbicara santai, mungkin hubungan batin antara diriku dan dirimu tidak sekuat sekarang. Kedatanganmu itu kuanggap sebagai peristiwa istimewa. Demikian juga permintaanmu agar mengabadikan episode-episode persahabatan kita secara tertulis. ’Untuk dokumen kita berdua’ katamu waktu itu. Aku sanggup memenuhi permintaanmu. Karena itu aku merasa punya utang padamu. Padahal, bagaimana pun, utang harus dilunasi, harus dibayar. (Ratmana, 2006: 11)

Kutipan di atas merupakan bagian dari surat yang ditulis oleh Aji kepada Hermiati setelah buku karangan permintaan Hermiati telah selesai ditulisnya. Isi dari tulisan itu semata-mata untuk memuja Hermiati. Hermiati adalah teman istimewa dalam hidupnya, begitu pun yang dirasakan oleh Hermiati.

Pernikahan Hermiati dengan Suyono merupakan konsekuensi dari janji yang telah diiyakannya di depan dukun. Pernikahan itu merupakan sebuah keterpaksaan, apalagi ketika Hermiati mengetahui bahwa sebenarnya Aji juga menaruh hati kepadanya dan ingin memilikinya. Andaikata janji itu belum terucap, Hermiati akan dengan senang hati menerima permintaan Aji.

2.2.2.3 Rustamaji

Rustamaji adalah pembuat buku yang berhasil membuat Suyono merasa harga dirinya dijatuhkan. Aji juga mencintai Hermiati. Aji merupakan saingan Suyono yang paling berat.

Pernikahan Hermiati dan Suyono membuat hidupnya terpuruk. Belum genap satu bulan Aji menerima ucapan selamat ulang tahun dan kado yang indah dari Hermiati, dia mendapat undangan pernikahan dari Hermiati dan Suyono. Hal ini mengakibatkan ia mengalami goncangan fisik dan psikis.

(40) Dia memutuskan untuk datang ke resepsi dengan jalan kaki. Gedung

pertemuan memang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah pondokannya. Kecuali itu dia ingin menguji sejauh mana ketahanan fisiknya, mampukah berjalan ’sejauh’ itu. Sejak diberitahu dan kemudian mendapat kartu undangan, dia mengalami goncangan batin dan gangguan fisik. Resah selalu, tubuh lemah, kepala memberat, dan persendian nyeri-nyeri. (Ratmana, 2006: 92)

Aji sudah meminta maaf kepada Hermiati atas apa yang telah dilakukannya pada masa lalu, yaitu ketidaksetiaannya kepada Hermiati dengan dia berpacaran dengan Utari. Akan tetapi, Hermiati tidak mau menerima Aji untuk menjadi pendamping hidupnya.

Sejak awal, Aji sudah merasa ragu dengan kepastiannya mendapatkan Hermiati karena Aji menganggap mereka berbeda agama. Aji adalah seorang pemeluk Islam yang taat dan dia tidak mengetahui dengan pasti apa agama Hermiati. Untuk itu, dia tidak berani mendekati Hermiati lebih jauh karena dia tidak mau murtad.

Buku karangannya itulah yang menjadi tempat curahan hatinya meskipun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalalm novel itu merupakan peristiwa imajinasi Aji saja. Tidak dapat dikatakan bahwa cerita tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Buku karangannya merupakan cerita fiksi, itulah anggapannya.

Akan tetapi, hal itu justru dicegah oleh orang-orang yang mengetahui bagaimana kehidupan Aji. Kedua muridnya yang bernama Nurul dan Yitno menganggap bahwa buku itu merupakan balas dendam yang ditujukan untuk Suyono. Muridnya menganggap bahwa Aji tidak sportif. Atas apa yang telah terjadi dengan kisah cintanya. Mereka memiliki pemikiran tersebut karena Aji dan Hermiati terkesan menutup- nutupi apa sebenarnya yang terjadi dalam hati mereka. Aji menyangkalnya. Dia berharap, cerita itu benar-benar dibaca sebagai fiksi jangan disamakan dengan kenyataan. (Ratmana, 2006: 166)

2.2.2.4 Lastri

Lastri berperan sebagai tokoh protagonis yang memusuhi Hermiati dan Suyono. Lastri seorang perempuan yang penuh cemburu terhadap Hermiati. Dia mencoba untuk menghindar dari Hermiati setiap kali Hermiati datang ke tempat Suyono. Misalnya saja ketika Hermiati datang pertama kali ketika ada acara arisan di rumah Suyono. Lastri menganggap hal ini sebuah usaha dari Hermiati untuk mendekati Yono. Naluri perempuannya sangat kuat merasakan bahwa suaminya beralih kepada perempuan lain.

(41) Dalam pada itu Lastri punya naluri keperempuanan yang kuat. Dia merasakan getar-getar batinku yang mengarah pada perempuan lain. Maka dipasanglah radar dan indra keenamnya untuk menangkap sinyal-sinyal tertentu. Ternyata sinyal yang tertangkap oleh radarnya justru berasal darimu! Dia juga punya rekaman yang akurat. Antara lain ketika dirimu menyelenggarakan syukuran ulang tahunmu yang ke-23 kaupinjam pick-up

dan PH dariku. Lalu pada arisan kelompok wanita sekolah kita yang jatuh di kediaman kami engkaulah tamu yang datang paling awal. Hal itu ditafsirkannya sebagai tanda kesetiaanmu padaku dan juga agar dirimu bisa berbic ara denagnku secara leluasa sebelum dimulainya acara inti: arisan. Lebih-lebih aku sering pamit ke rumahmu membahas pelajaran padahal waktu itu statusmu masih Guru Tidak Tetap. Aktivitasmu dalam gerakan Pramuka dinilainya sebagai upaya untuk bisa lebih sering bergaul denganku. (Ratmana, 2006: 34-35)

Lastri termasuk orang yang memiliki perwatakan kurang baik. Dia cenderung emosional. Hal ini diketahui oleh suaminya ketika Lastri mulai menaruh curiga kepada Hermiati. Lastri mulai marah-marah dengan berteriak-teriak menyudutkan sua minya. Kutipan di bawah ini merupakan bagian dari surat yang ditulis Suyono untuk Hermiati yang menceritakan bagaimana Lastri bersikap kasar kepada Suyono.

(42) Bisa kau bayangkan hubungan kami belakangan ini, bukan cuma renggang tetapi juga banyak diwarnai pertengkaran. Mula -mula cuma terbatas diketahui oleh anak-anak kami, kemudian melebar ke tetangga.

Maklumlah Lastri tergolong emosional dan impulsif. Bicaranya sering lepas kontrol. Suaranya lantang. Bukan cuma memekakkan telinga, melainkan juga memanaskan hati. Perceraian pun mulai membayang. Lebih-lebih sesudah kutolak permiantaannya agar aku bersumpah di depan beberapa saksi untuk tidak berhubungan dengan kau. Permintaan iut jelas kutolak karena kita mengajar di satu sekolah dan memegang mata pelajaran yang sama. (Ratmana, 2006: 35)

2.3 Latar

Latar merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh terjadi (Nurgiyantoro, 2005: 17). Latar yang akan dianalisis adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial novel Sedimen Senja.

Dokumen terkait