• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM NOVEL SEDIMEN SENJA KARYA S.N. RATMANA

3.1 Bentuk Kecemasan Tokoh Suyono

Bentuk kecemasan yang akan dideskripsikan dan dianalisis pada kecemasan-kecemasan yang dialami oleh Suyono, yaitu rasa takut dan gusar. Rasa takut tersebut diakibatkan dari ancaman orang lain dan rasa gusar disebabkan dari apa yang dirasakan oleh diri Suyono sendiri.

3.1.1 Takut

Rasa takut merupakan ancaman fisik. Ketakutan cenderung bersifat langsung, ditujukan pada benda ataupun peristiwa spesifik dan disadari. Apa yang ditakutkan itu berada dalam dirinya. Rasa takut yang dialami Suyono dalam novel Sedimen Senja merupakan rasa takut yang diakibatkan dari ancaman orang lain di lingkungan sekitarnya.

Ketika Suyono dihadapkan pada tingkah laku istrinya yang begitu cemburu dengan sikap Suyono kepada Hermiati - Suyono terkesan begitu lunak dengan Hermiati - Suyono takut jika nantinya gadis itu akan menjadi sasaran kemarahan Lastri. Hal ini disebabkan karena getar- getar cinta Suyono terhadap Hermiati mulai dirasakan oleh Lastri. Naluri perempuannya telah mencium bahwa suaminya telah menaruh hati kepada wanita lain. Ole h karena itu, Yono takut jika Hermiati yang disalahkan sedangkan Hermiati tidak tahu apa-apa. Terlebih lagi, Lastri menganggap Hermiati bukan teman tetapi madunya.

(54) Dalam pada itu, Lastri punya naluri keperempuanan yang kuat. Dia merasakan getar-getar batinku yang mengarah pada perempuan lain. Maka dipasanglah radar dan indra keenamnya untuk mengangkap sinyal-sinyal tertentu. Ternyata sinyal itu berasal darimu! Dia juga punya rekaman yang akurat. Antara lain ketika dirimu menyelenggarakan syukuran ulang tahunmu yang ke-23 kaupinjam pick up dan PH dariku. Lalu pada arisan kelompok wanita sekolah kita yang jatuh di kediaman kami engkaulah tamu yang datang paling awal. Hal itu ditafsirkannya sebagai tanda kesetiaanmu padaku dan juga agar dirimu bisa berbic ara denganku secara leluasa sebelum dimulainya acara inti: arisan.

………..

(55) Sinyal-sinyal itu masih tergolong logis dan rasional. Ada yang sama sekali

tidak rasional ia merasa sorot mata dan tatapanmu bukanlah sorot mata dan tatapan seorang sahabat, melainkan seorang madu, penuh cemburu. Karenanya belakangan ini berusaha menghindari pertemuan denganmu. (Ratmana, 2006: 34-35)

Suyono merasa bahwa sikapnya masih wajar ketika berhadapan dengan Hermiati. Dia belum melakukan apa-apa kepada gadis itu. Dia mengatakan dalam suratnya kepada Hermiati bahwa Suyono baru dalam taraf mencoba saja bukan mendekati.

Gusar merupakan sebuah keadaan yang bersifat langsung. Hal ini disadari. Gusar muncul pada diri seseorang karena ada sesuatu yang dibayangkan atau dipikirkan. Gusar merupakan rasa takut dalam bentuk psikis. Hal ini dapat menghindarkan kita dari keadaan yang berbahaya secara psikologis.

Gusar dialami oleh Suyono ketika dia dihadapkan pada sebuah dilema, yaitu antara menceraikan istrinya atau tidak. Apabila dia menceraikan istrinya, maka, orang-orang akan mengecamnya sebagai laki- laki yang jahat. Apalagi, mereka sudah dikaruniai empat orang anak. Akan tetapi, jika dia bertahan hidup dengan Lastri, maka, rumah tangga mereka hanya akan diisi oleh pertengkaran-pertengkaran saja.

Gusar dialami oleh Suyono ketika dia menyangka istrinya melindungi Aji pada waktu terjadi tuntutan dari para murid terhadap guru-guru mereka. Peristiwa ini terjadi ketika Hermiati sudah menjadi istri Suyono. Pada waktu itu, Hermiati nekad menemui anak-anak didiknya dengan menerobos keluar ruang guru sedangkan para guru tersebut sedang disandera. Para murid itu menuntut pertanggungjawaban guru- guru IPA karena memberikan nilai palsu kepada anak-anak dari mereka yang berasal dari keluarga kaya.

(56) Melihat keadaan semacam itu, atas kehendak sendiri, Hermiati ingin

menemui anak binaannya. Dia keluar dari ruang guru menuju ke kelas II Budaya. Guru putri itu dihalang-halangi penjaga pintu kelas.

”Ibu mau kemana? Jangan masuk!”

”Di luar saja, Bu. Sebagian besar anak ada di luar.”

”Tapi di dalam masih ada siswa kan? Beri saya jalan. Masak mau ketemu murid sendiri dilarang,” kata Hermiati. (Ratmana, 2006: 108-109)

Sesampainya di rumah, Suyono tidak dapat lagi membendung amarahnya. Suyono memarahi Hermiati karena sebagai laki- laki, dia merasa tidak dianggap.

Pada awalnya memang semua itu dari rasa cemburu yang ditujukannya kepada Rustamaji. Hermiati tidak menanyakan terlebih dahulu bagaimana pendapat suaminya apabila dia keluar ruangan untuk bertemu dengan murid-muridnya. Hal ini menurutnya sangat membahayakan. Suyono menganggap Hermiati mencoba untuk menjadi seorang pahlawan.

(57) ”Kamu ingin tampil jadi pahlawan? Huh, pahlawan konyol! Untung kamu tidak dikeroyok murid. Aku yang laki-laki pun ketakutan melihat anak-anak yang jadi beringas.”

”Aku cuma ingin tahu apa motivasi mereka. Kecuali itu aku berbaik sangka bahwa mereka anak-anak yang baik, anak-anak yang masih bisa diajak ....”

”Apa dari ruang guru tidak bisa kita ketahui latar belakang gerakan mereka? Kami yang berkumpul di ruang guiru tahu bahwa mereka memprotes les privat yang dilakukan oleh kawan-kawan kita. Kami bisa tahu tanpa harus menanggung resiko dipukuli oleh murid-murid yang marah.”

”Ya, mungkin. Tapi hanya dengan duduk di ruang guru aku tidak tahu sikap sebenarnya anak-anak kelasku.”

”Kalau sudah tahu, lantas mau apa?” tanya Si Suami. ”Aku heran, tanpa sepengetahuan siapa pun kamu nekat keluar dari ruang guru. Tidak minta pertimbangan orang lain, termasuk aku, suamimu.”

...

”Jujurlah, kamu bermaksud meredam kemarahan siswa kan?” ”Kalau ya, apa salahku? Bukankah ....”

”Tindakan nekat itu kamu lakukan karena di antara guru yang jadi sasaran protes siswa terdapat nama ....”

”Mas Yono!!” teriak Hermiati. ”Aku baru tahu bahwa para siswa memprotes guru-guru IPA sesudah aku ada di tengah siswa. Bicaramu ngelantuuurr!”

”Mengapa kamu keluar dari ruang guru diam-diam, tanpa minta pertimbangan dari aku? Padahal aku ada di ruang guru. Kalau suami saja sudah disepelekan, pasti ada yang lebih penting, lebih utama untuk kamu lin ....” (Ratmana, 2006: 111-112)

Ketika novel karangan Aji muncul dan dibaca oleh Suyono, Suyono juga merasa gusar karena dia tidak mau orang-orang di sekitarnya mengetahui siapa sebenarnya para tokoh yang ditulis oleh Aji dalam novelnya dalam kehidupan nyata. Mereka yang sesama pensiunan pasti mengenal kehidupan para tokoh itu di masa lalu. Suyono tidak mau orang-orang yang mengenalnya bertanya-tanya mengenai masalah yang diangkat dalam novel tersebut dan apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, di setiap undangan yang diberikan kepada Suyono, dia tidak pernah datang. Dia juga tidak mau menemui teman-temannya yang datang berkunjung. Alasan yang dia ambil adalah karena dia sedang tidak fit. Kutipan dari novel Sedimen Senja tentang hal tersebut di bawah ini.

(58) Meskipun tidak terlalu curiga, Ira-anak kedua yang tinggal serumah dengan

laki-laki itu- menangkap adanya perubahan dalam diri ayahnya sejak syukuran ulang tahun ke-70 yang lalu. Belakangan ayahnya jarang keluar rumah. Dia sehat tetapi tidak ceria. Banyak undangan tidak dipenuhinya. Kalau ditanya mengapa, jawabnya selalu, ’Ayah lagi kurang fit’. Bahkan ada kawan lama, sesama pensiunan, datang bertamu, tidak ditemuinya. ’Bilang, Ayah lagi istirahat’ katanya. (Ratmana, 2006: 5)

Gusar juga dirasakan oleh Suyono karena Aji telah menerbitkan sebuah buku yang membuat Suyono berpikir, mungkinkah ini merupakan sebuah balas dendam untuk dirinya. Menulis sebuah buku merupakan hal yang sangat mudah dilakukan oleh Aji karena Suyono tidak bisa membalasnya. Hal ini disebabkan karena Suyono sebagai guru bahasa tetapi dia tidak dapat membuat tulisan.

(59) Jadi Suyono dalam dunia nyata adalah Sarjono tokoh dalam novel tulisan Aji. Karena itu satu-satunya jalan melakukan serangan balik ialah dirinya menulis novel tandingan, yakni novel yangmeluruskan kepalsuan

Rustamaji. Tapi mungkinkah itu dilakukannya? Meski guru bahasa tetapi dirinya tidak berkemampuan mengarang fiksi. Dalam ketidakberdayaan itulah dia berkali-kali memaki Rustamaji sebagai laki-laki yang licik. (Ratmana, 2006: 6)

Gusar juga dia rasakan setelah berpikir lebih jauh, mungkinkah Hermiati memang tidak mencintai dia. Hermiati yang pekerja keras hingga menjadi seorang kepala sekolah, membuat Suyono beranggapan, apakah Hermiati tekun bekerja karena dia tidak bisa bila berlama-lama dengan Suyono di rumah? Apalagi ketika dua hari sebelum Hermiati meninggal, Hermiati mengalami instabilitas tekanan darah, HB yang rendah, dan kadar gula darah jauh di atas normal. Kutipan kegusaran Suyono tersebut terdapat di bawah ini.

(60) ...

Kalau novel karangan Rustamaji bukan sebuah isapan jempol, maka bisa diartikan bahwa Hermiati sebenarnya lebih cinta kepada Rustamaji daripada terhadap dirinya. ’Lantas apa makna kepasrahannya selama seperempat abad lamanya kepadaku? Kepura-puraan atau semacam pelarian?’. Laki-laki itu jadi curiga jangan-jangan ketekunan dan semangat kerja yang tak tertandingi oleh siapa pun hanyalah untuk menutup-nutupi kegagalan dan kekecewaan yang luar biasa. Dia ingat dua hari terakhir dalam hidupnya Hermiati mengalami instabilitas tekanan darah, HB yang rendah dan kadar gula darah jauh di atas normal. ’Akibat keletihan kerja?’ tanyanya dalam hati. ’Atau karena beban mental dan psikhis yang menindih batinnya berwindu-windu?’ (Ratmana, 2006: 8)

Gusar juga dia rasakan setelah berpikir lebih jauh, mungkinkah Hermiati memang tidak mencintai dia.. Apakah benar Hermiati masih menyimpan vulpen kenangan sampai akhir hidupnya, seperti apa yang disampaikan oleh Rustamaji dalam novelnya? Kalau hal itu benar-benar terjadi, apa artinya dia sebagai suami? Terlebih lagi, pada halaman depan novel itu terdapat semacam catatan kaki yang berbunyi: ’Dalam mengenang

almarhum SH yang menyimpan vulpenku sampai akhir hayatnya.’ Oleh karena itu, Suyono beranggapan bahwa cerita yang ditulis oleh Aji benar-benar didasarkan pada kenyataan.

(61) Laki-laki tujuh puluh tahun itu pun menyesal mengapa dulu tidak bertanya tentang cinta Hermaiti terhadap dirin ya. Dia telah tenggelam dalam kebanggaan atas penilaian Hermiati bahwa dirinyalah laki-laki yang paling cinta pada wanita itu. Kalau novel karangan Rustamaji buka sebuah isapan jempol, maka bisa diartikan bahwa Hermiati sebenarnya lebih cinta kepada Rustamaji daripada terhadap dirinya. ’Lantas apa makna kepasrahannya selama seperempat abad lamanya kepadaku? Kepura-puraan atau semacam pelarian?’ Laki-laki itu jadi curiga jangan-jangan ketekunan dan semangat kerja yang tak tertandingi oleh siapa pun hanyalah untuk menutup-nutupi kegagalan dan kekecewaan luar biasa. Diaingat dua hari terakhir dalam hidupnya Hermiati mengalami instabilitas tekanan darah, HB yang rendah dan kadar gula darah jauh di atas normal. ’Akibat keletihan kerja?’ tanyanya dalam hati. ’Atau karena bebena mental dan psikhis yang menindih batinnya

berwindu-windu?’

Dokumen terkait