MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN
HIKAYAT
PERPUSTAKAAN PUSAT BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
Bot Genoot Schap
HADIAH FUSAT BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
00006175
Pusat Bahasa
HIKAYAT HANG TUAH II
Penulis
Bot Genoot Schap
Perancang Sampul
Edi Suyanto
Pusat Bahasa
Kementerian Pendidikan Nasional Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta 13220
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis
dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.
Cetakan Kedua : Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. Cetakan Ketiga : Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
Katalog Dalam Terbitan (KPT)
899.293 SCH h
SCHAP, Bot Genoot
Hikayat Hang Tuah I/Bot Genoot Schap.—Jakarta: Pusat Bahasa, 2010.
ISBN 978-979-069-058-5
KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT BAHASA
Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara yang memiliki
keragaman hayati, tetapi juga keragaman bahasa daerah. Di belakang
bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya itu terkandung nilai-nilai
yang menjadi das^ laku budaya manusia daerah itu dalam menyikapi
alam dan kehidupan. Kearifan lokal adalah salah satu di antaranya
dalam bentuk ungkapan bemas peribahasa ataupun pepatah petitih yang
menjadi pengendali sikap dan perilaku pemiliknya. Penerbitan buku
cerita ra^at pastilah menjadi prasyarat untuk pengenalan akan
ke-anekaragaman budaya kita bagi peserta didik. Bukanlah suatu yang
kebetulan bahwa penerbitan sejenis dengannya sudah dilakukan,
bahkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Balai Pustaka
meski-pun tentu dengan motivasi yang berbeda.
Cerita rakyat menjadi semacam jendela yang dapat memberikan
pemandangan akan ihwal laku budaya dan dunia batin tokoh cerita
yang mewakili kelompok pemilik cerita rakyat itu. Gagasan, pikiran,
laku dan ucapan, peristiwa yang dialaminya pastilah mengandung pesan
yang bermanfaat imtuk dipikirkan lebih jauh. Selain itu, melalui cerita
rakyat akan ditemukan juga kesenangan mengikuti jalinan peristiwa
yang acapkali dapat dimaknai lebih jauh sehingga dapat menjadi bahan
pendidikan budi pekerti. Pertemuan peserta didik dengan cerita rakyat
di bawah bimbingan guru yang arif dan memiliki apresiasi yang
memadai akan menjadi atau memberikan pengalaman yang indah bagi
Pusat Bahasa mengharapkan agar terbitan buku cerita rakyat
dapat memberikan manfaat dan dukungan berarti bagi pengembangan
pendidikan di Indonesia ketika terbitan kita dibanjiri oleh buku bacaan
dari luar. Pengenalan peserta didik dengan bacaan yang berasal dari
luar tentulah merupakan hal yang positif lebih-lebih kalau diimbangi
dengan terbitan bacaan yang digali dari sumber budaya kita. Semakin
banyak serapan bahan bacaan bagi peserta didik kita semakin akan
memperkaya dunia batin peserta didik itu. Semakin dekat peserta didik
kita dengan bahan bacaan yang bersumber dari lingkungan budaya yang
melahirkannya semakin besarlah peluang untuk membebaskan
keter-asingan peserta didik kita dari budaya sendiri.
Selain itu, Pusat Bahasa juga mengharapkan agar buku bacaan
yang ada di hadapan pembaca ini dapat meningkatkan wawasan tentang
kearifan-kearifan lokal yang ada didalamnya. Dengan demikian, para
pembaca, khususnya pembaca muda dapat mengambil pelajaran dari
nilai-nilai kearifan itu dan dapat mengejawantahkannya dalam perilaku
sehari-hari sehingga secara tidak langsung dapat turut membentuk jati
diri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan bangsa.
Terwujudnya buku yang ada di tangan Anda ini telah mengalami
proses panjang yang tentu saja melibatkan berbagai pihak sejak naskah
masih berada di berbagai tempat di tanah air hingga menjadi bacaan yang
layak baca. Kepada mereka, Pusat Bahasa mengucapkan terima kasih yang
tulus atas segala upaya yang telah mereka lakukan. Selain itu, Pusat Bahasa
selayaknya juga mengucapkan terima kasih kepada tim penyiapan bahan terbitan
Pusat Bahasa yang terdiri atas: Dra. Hj. Yeyen Maryani, M.Hum. (Penanggung
Jawab), Drs. Suhadi (Ketua), Siti Darihi, S.Sos. (Sekretaris), Ciptodigiyarto, Sri
Kanti Widada, Sri Haryanti, S.E., dan Ika Maryana, A.Md. (Anggota) yang
telah bekeija keras pada penerbitan buku bacaan ini. Semoga buku ini
bermanfaat dan dapat menambah kecintaan kita terhadap karya sastra di
Indonesia. Selamat membaca.
Jakarta, Oktober 2010
KATA PENGANTAR
Pembanguanan di bidang Kebudayaan adalah bagian Integral dari
Pembangunan Nasional, Pembangunan bidang Kebudayaan tidak dapat
melepaskan diri dari pemikiran dan usaha pengembangan dalam bidang
Sastra. Karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari
abad ke abad dan akan menjadi peninggalan kebudayaan yang sangat
tinggi nilainya. Karena itu karya sastra perlu digali dan digarap untuk
dapat diresapi dan dinikmati isinya. Karya sastra memberikan khasanah
sejarah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Hasil
peng-galian dan penggarapan karya sastra akan memberikan rasa kepuasan
rohani dan kecintaan pada kebudayaan sendiri, yang selanjutnya juga
akan merupakan hambatan yang kokoh kuat bagi arus masuknyapenga-ruh kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian dan
kepen-tingfin pembangunan Bangsa Indonesia. Penghayatan hasil karya sastra
akan memberi keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern di satu pihak dengan pembangunan jiwa di lain pihak.
Kedua hal ini sampai masa kini masih dirasa belum dapat saling
isi-mengisi, padahal keseimbangan atau keselarasan antara.kedua masalah
ini besar sekali peranannya bagi pembangunan dan pembinaan lahir dan
batin. Melalui sastra diperoleh nilai-nilai, tata hidup dan sarana
kebudayaan sebagai sarana komunikasi masa lalu, kini, dan masa depan.
Sebagai pemakai dan peminat bahasa dan sastra Indonesia kita se-ring kali tidak berapa sadar akan sejarah bahasa itu sebelum ia menjadi bahasa nasional kita dan berkembang jadi bahasa sastra dan ilmu penge
tahuan seperti keadaannya sekarang.
musafir dari Tiongkok yang datang belajar di Criwijaya, zaman itu
suatu pusat pengajaran agama Budha.
Jadi saat itu bahasa Melayu sudah memegang peranan penting sebagai pendukung kebudayaan di Indonesia dan juga di Semenanjung Malaka. Menilik keadaan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah ada kesusastraan dalam bahasa itu, mungkin dituiis di atas
lontar, kulit kayu ataupun bahan lain yang terdapat di alam Indonesia.
Karena rapuhnya dan lekas punahnya bahan-bahan seperti itu, ditambah
pula oleh ganasnya iklim tropis, maka kelangsungan hidup naskah sastra
itu harus dipelihara dengan penyalinan setiap kali; paling tidak seratus
tahun sekali. Dan kelangsungan penyalinan tergantung lagi daripada
mainat masyarakat pada saat itu. Dapatlah dibayangkan bahwa suatu
kegoncangan politik atau masuknya agama baru dapat mematikan minat
orang terhadap suatu jenis sastra tertentu sehingga tenggelamlah ia kedalam kemusnahan karena tidak disalin-salin lagi. Agaknya itulah yang
terjadi dengan sastra dari zaman awal itu sehingga tak ada lagi
sisa-sisanya.
Sebaiknya berdasarkan bukti-bukti yang nyata dalam bentuk
daftar-daftar kata Melayu yang dikumpulkan oleh orang asing, di
antaranya orang Itali dan Cina, kita dapat mengetahui bahwa sejak abad
ke-I5 bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pergaulan dan
per-niagaan di seluruh Nusantara, baik antara sama-sama pribumi berlainan
daerah maupun dengan orang asing.
Karya sastra Melayu dalam bentuk naskah tulisan tangan di atas kertas yang paling tua yang kini masih tersimpan berasal dari abad ke-16 dan sebagian besar dari khazanah sastra Melayu Lama itu dihasilkan
dalam abad itu dan abad-abad berikutnya sampai abad ke-19. Penghasil
terpenting ialah daerah-daerah Aceh, Sumatra Timur, Riau, Palembang,
Kalimantan Selatan dan Jakarta di wilayah Indonesia, dan di luar itu
Semenanjung Malaka yang dalam hubungan ini tidak dapat dipisahkan
dari Indonesia. Karya-karya sastra itu beraneka jenisnya dan jumlahnya
pun ratusan, tersimpan dalam beberapa koleksi di Eropa dan Asia. Ter
dapat dalamnya cerita rakyat, sejarah, undang-undang, uraian
keaga-maan dan Iain-lain dalam bentuk prosa maupun puisi.
Jelaslah bahwa pengangkatan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasi-onal bangsa Indonesia tidak terjadi begitu saja, di belakangnya terdapat
sejarah yang panjang dan karya sastra dan masa silam itu patut kita
Di kalangan peminat dan peneliti sastra, baik di sekolah maupun dalam masyarakat pada umumnya sudah lama dirasakan kekurangan akan bahan bacaan sastra lama sebagai penunjang pengajaran dan juga sebagai bacaan umum bagi mereka yang ingin mengenal suatu jenis
sastra yang pernah berkembang di kawasan Indonesia.
Mengenai pentingnya karya sastra sebagai diuraikan di atas maka
Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra, Indonesia dan Daerah bekerja
sama dengan PN Balai Pustaka, sebagai Penerbit buku Sastra yang telah dikenal sebelum Perang Dunia kedua, mencoba memenuhi kekurangan yang dirasakan kini dalam penerbitan buku sastra.
Kita perkenalkan kekayaan sastra Meiayu Lama yang tersimpan dalam kumpulan-kumpulan naskah di Indonesia. Sebagian dari yang diterbitkan itu telah dialih-aksarakan dari huruf Arab dan diberi pen-jelasan secukupnya; ada juga dipilih dari naskah-naskah yang belum pernah diterbitkan. Sebagian merupakan terbitan ulang dari buku-buku terbitan Balai Pustaka yang bernilai baik, tetapi sekarang jarang atau
tidak lagi ditemukan dalam toko buku.
Bagi masyarakat yang kurang berminat akan sastra lama kiranya berlaku peribahasa 'tak kenal maka tak sayang', padahal sebagai orang Indonesia kita dapat hendaknya memelihara dan mempelajari sastra lama sebagai warisan nenek moyang di samping sastra baru. Dengan terbitan-terbitan ini diharapkan bahwa kekayaan sastra kita yang sudah begitu lama terpendam dapat dikenal kembali oleh khalayak yang lebih luas serta dapat menambah pengertian dan apresiasi terhadapnya.
Jakarta 1978
Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa 3
Daftar isi 9
1. Berbagai-bagai Cobaan atas Diri Laksamana di Majapahit 11
2. Laksamana Dibuang Raja Melaka 38
3. Hang Jebat Mendurhaka 51
4. Laksamana Dipanggil Raja Melaka Kembali 65
5. Laksamana Bertikam dengan Hang Jebat 75
6. Kertala Sari Dititahkan Mengalahkan Negeri Melaka 91 7. Laksamana Diutus ke Benua Keling dan ke Benua Cina 100 8. Raja Melaka Bertambah Besar Kekuasaannya 138
9. Terenggano Takluk ke Melaka 159
10. Sultan Mahmud dan Sultan Muhammad 174
11. Inderapura Takluk ke Melaka dan Laksamana Kehilangan
Kerisnya 181
12. Laksamana Luka dalam Peperangan 196
BERBAGAI-BAGAI COBAAN ATAS DIRI LAKSAMANA DI MAJAPAHIT
Beberapa lamanya, maka sampailah ke Kuala Melaka. Maka diper-sembahkan orang kepada Raja, "Ya Tuanku Syah Alam, Laksamana
sudah datang di Kuala."
Setelah Raja mendengar sembah orang itu, maka Raja pun sukacita hatinya, lalu member! anugerah akan orang itu, lalu bertitah kepada Bendahara, "Ya Mamak Bendahara, segeralah Mamak berlengkap
menyambut surat dan bingkisan itu."
Maka Bendahara pun menyembah, lalu ke luar berlengkap gajah,
kuda, tunggul panji-panji dan segala bunyi-bunyian dan mengerahkan
segala pegawai dan pertuanan, pergi menyambut surat dan bingkisan itu
serta Laksamana. Maka surat dan bingkisan itu pun dinaikkan oranglah
ke atas gajah, lalu diarak masuk. Setelah datang ke balairung, maka
surat dan bingkisan itu pun disambut oleh Patih Karma Wijaya, lalu
dibacanya di hadapan Raja, lalu sujud meniarap pada kaki Baginda.
Setelah sudah dibacanya, maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun datang ke hadapan Raja, lalu sujud meniarap pada kaki Baginda, Maka Raja pun tunduk mencium kepala Laksamana.
Maka titah Raja, "Hai Laksamana, apakah kabar Majapahit, adakah seperti dahulu kala?"
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada penglihatan patik, kurnia paduka ayahanda kepada patik lebih pula daripada dahulu." Maka oleh Laksamana, segala hal-ihwalnya itu semuanya dipersembahkannya.
Setelah Raja dan Bendahara dan segala pegawai mendengar kabar Laksamana itu, maka Raja dan Bendahara pun terlalu belas akan Laksamana.
Maka titah Baginda, "Kurnia apakah yang demikian ini, jika lain daripada Laksamana entah kembali entah tiada!"
Maka sembah Hang Jebat dan Hang Kesturi, "Sungguh seperti titah duli yang maha mulia itu." —— I
PERPUSTAKAAN
Maka titah Baginda, "Pada bicara hatiku, dua buah negeri diberi-nya akan Laksamana, jikalau sepuluh buah negeri sekalipun, tiada kutukarkan dengan hambaku Laksamana. Jika seperti itu perbuatan
Seri Batara dan Patih Gajah Mada akan Laksamana, engganlah aku
pergi ke Majapahit itu."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, mengapa pula maka
begitu. Jika ada lagi hayat Si Tuah, masakan Patih Gajah Mada dapat melakukan kehendaknya."
Maka hidangan pun diangkat oranglah, maka segala penggawa dan pertuanan pun makanlah. Setelah sudah makan maka minuman pula diangkat orang. Maka piala yang bertatahkan ratna mutu manikam itu pun diperedarkan oranglah. Maka segala penggawa dan pertuanan pun minumlah. Maka Raja pun sebagai bertitah pada Laksamana juga, suka Baginda mendengar riwayat Laksamana tatkala di Majapahit itu. Maka Laksamana pun beriwayatlah sambil minum, di hadapan Raja dan segala pegawai. Maka Raja pun terlalu suka mendengar dia.
Maka titah Raja, "Itulah, kita tiada man pergi ke Majapahit itu, karena ia berbuat akan Laksamana itu, seupama tubuh kita dibuatnya." Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, insya Allah taala, mengapa pula yang dipertuan tiada berangkat ke Majapahit itu! Tetapi paduka adinda jangan dibawa, patiklah yang bercakap membawa duli yang dipertuan kembali dengan sempurnanya, karena Seri Batara dan Patih Gajah Mada empunya bicara, habis sudah patik ketahui."
Maka orang minum itu pun berhentilah. Maka Raja pun berangkat masuk. Maka Bendahara dan Laksamana pun lalu kembali ke rumah-nya. Setelah keesokan harinya, maka Bendahara dan Laksamana pun
masuk menghadap. Maka titah Raja, "Hai, Mamak Bendahara dan
Laksamana, apakah bicara Bendahara, benarkah kita pergi ke Ma
japahit itu atau tiadakah?"
Maka sembah Bendahara, "Daulat Tuanku, pada bicara patik, benar juga duli Tuanku berangkat ke Majapahit, karena duli yang diper tuan sudah berjanji dengan paduka ayahanda; jangan diubahkan, tetapi paduka adinda juga jangan dibawa. Di dalam pada itu pun lebih
Laksamana tahu akan pekerjaan itu."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada bicara patik apatah diperbanyak bicara. Jika duli yang dipertuan hendak berangkat,
segeralah berlengkap!"
Makah titah Baginda, "Ya Mamak Bendahara, jika demikian
Maka sembah Bendahara, "Daulat Tuanku."
Apabila segala pegawai dan pertuanan mendengar Raja hendak berangkat itu, maka segala pegawai dan pertuanan terlalu dukacita, seraya berbisik sama sendirinya, katanya, "Karena Laksamana maklum-kan, maka yang dipertuan hendak berangkat ke Majapahit itu, karena ia hendakkan anugerah Batara Majapahit itu."
Maka kata seorang lagi, "Akan dirasainya juga bekas tangan
pen-jurit Majapahit itu, karena Patih Gajah Mada itu pun hulubalang besar
pada tanah Majapahit itu. Syahdan beribu-ribu penjurit yang
dipelihara-nya, diberinya mesira."
Maka segala orang berkata-kata itu didengar oleh Laksamana
se-muanya.
Maka Bendahara pun menyembah lalu ke luar ke balai gendang, berbicara dengan segala penggawa dan pertuanan yang tua-tua. Maka Temenggung Seri Diraja pun berkata, "Pada bicara hamba, baik juga pegawai tua itu dibawa bersama-sama pergi, karena Laksamana ini
orang muda."
Maka sahut Bendahara, "Siapatah pegawai yang lain pada
pada-nya?"
Maka kata Temenggung, "Jika demikian, baiklah datuk persem-bahkan, supaya hamba datuk berlengkap."
Maka kata Bendahara, "Adapun Temenggung itu tiada dapat ber-gerak dari dalam negeri. Jika sesuatu hal Bendahara, dapat ia
mengi-ringkan."
Maka sahut Patih Karma Wijaya, "Sahaya datuk dengan orang kaya Laksamana pun dapatlah akan mengiringkan, haraplah datuk akan
Allah Ta'ala dengan sempurnanya dull yang dipertuan kembali ke
Melaka."
Maka kata Bendahara, "Yang hamba harapkan pun, hanyalah kiai
Patih, siapatah lagi lain daripada kiai Patih dan Laksamana mengi
ringkan duli yang dipertuan. Kemudian daripada itu, yang hamba harap
empat ini, Tuan Jebat, Tuan Kesturi, Tuan Lekir dan Tuan Lekiu. Orang empat itulah tiada akan tumang-menumang."
Setelah Temenggung dan segala pegawai mendengar kata Ben
dahara demikian itu, maka ia pun tunduk malu. Maka kata Bendahara, "Hai segala pegawai dan pertuanan dan segala mandalika yang
meme-gang negeri dan t^eluk rantau, kerahkanlah orang berlengkap, menurunkan segala kelengkapan, duli yang dipertuan empat hari lagi
Setelah sudah Bendahara berkata demikian itu, maka Bendahara
pun kembali pulang ke rumahnya.
Maka tatkala itu dianugerahi ayapan minuman di bendul. Maka Hang Jebat, Hang Kesturi, dan segala biduan yang di dalam makanlah. Maka titah banginda, "Hai Laksamana, kita rindu sangat akan LaksatSana, karena menyuruhkan Laksamana pergi ke Majapahit itu. Kemiidian maka kita pun menyesal, karena Patih Karma Wijaya
ber-cakap^endak bersama-sama pergi dengan Laksamana," sambil memeluk Laksalnana.
Maka Baginda pun santap minuman sedikit, lebihnya dituangkan oleh Baginda ke mulut Laksamana. Maka Laksamana pun menadahkan multltnya, sdrta tangannya memegang kaki Baginda. Setelah sudah Lak-samaiia ttirnhm, maka Baginda pun melepaskan tangan daripada leher
Laka^mana.
-Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, patik ini hendak ham-ba yang hina persemham-bahkan nayawa, apa maksud duli yang dipertuan supaya patik kerjakan, sementara ada hayat patik."
Maka titah Baginda, "Kita terkenang akan Laksamana, tatkala kita murka dan kita suruh buangkan kepada Bendahara itu. Baik Bendahara orahg tua, berikhtiarkan; jika lain daripada Bendahara, entah mati siapa tahu'Laksamana, daripada kita tiada periksa, karena Laksamana tiada berdbsa kepada kita, dengan beberapa pula kebaktian Laksamana •kepada kita."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada bicara patik, datnk Bendahara yang bernama menteri, lagi bijaksana pada ilmu piraSat raja-raja dan habis diketahui; sebenarnyalah duli yang dipertuan
kurrtia."
Maka Baginda pun santaplah minuman dua tiga piala, lalu sudah. Maka Baginda pun memberi persalin akan Laksamana dan Hang Jebat
daiiiHang Kesturi, Hang Lekir, Hang Lekiu.
Maka sembah Laksamana, "Ya Tuanku, kenaikan mana Tuanku
hendak. naiki, supaya patik turunkan?"
Maka titah Baginda, "Kita naik dandang Laksamana yang bernama
Sirulalamin itu."
Maka titah Baginda, "Baiklah Sirulalamin kita naiki, karena kita pun tiada mau membawa perempuan."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, mana titah patik jun-jung."
Maka Baginda pun b^rangkat masuk. Maka Laksamana, Hang Jebat, Hang Kesturi pun menyembah, lalu kembaii ke rumahnya.
Maka Bendahara pun menyuruh panggil Laksamana. Maka Laksa mana pun datang dengan segera. Maka Bendahara dan Laksamana pun pergi melihat segala perahu. Maka dilihat Laksamana itu terlalu baik perbuatannya, sikap peperangannya. Maka kata Bendahara, "Adapun Sirulalamin sedia, patutlah akan kenaikan."
Maka Sirulalamin pun diturunkan orang dan Mendam Berahi dan Maratussafa pun diperbuatnya mendandani suatu singgasana, akan tem-pat Raja semayam dihadap orang.
Setelah sudah maka Laksamana pun berdatang sembah, "Ya Tuan ku, adapun kenaikan duli yang dipertuan itu sudahlah Tuanku, diturunkan oleh Bendahara; mana titiah, patik junjung."
Maka titah Baginda, "Hai Laksamana, empat hari lagi kita pergi, bersimpanlah akan senjata yang hendak dibawa dan segala pegawai dan pertuanan yang pergi, suriih tentukan pada Bendahara."
Maka sembah Laksaihana, "Daulat Tuanku, sebab patik berdatang sembah pun, karena pada penglihatan patik, segala pegawai dan per tuanan tiada suka akan Tuanku berangkat sekali ini."
Maka titah Raja, "Hai Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi, kita pun tahu akan segala pegawai dan pertuanan sekalian tiada akan suka kita pergi ke Majapahit ini, hanya Laksamana, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu yang berani."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada bicara patik, baik juga duli yang dipertuan bertitah kepada datuk Bendahara, suruh pilih segala pegawai dan pertuanan yang pergi mengiringkan Tuanku, supaya duli syah alam dilihat oleh Batara Majapahit dan Patih Gajah Mada itu berat pada matanya."
Maka titah Baginda, "Benarlah seperti sembah Laksamana itu." Maka tatkala itu Bendahara pun datang. Maka titah Baginda, "Hai Mamak Bendahara, mari kita musyawarat dengan Laksamana sekarang ini, akan pekerjaan kita pergi ini. Suruh pilih segala pegawai yang pergi
dengan kita ke Majapahit itu."
bermusya-warat dengan Temenggung akan segala pegawai yang pergi mengiring-kan duli yang dipertuan, dan yang tinggal menunggui negeri."
Maka oleh Bendahara dan Temenggung semuanya
dipersembah-kannya.
Maka titah Raja, "Benarlah seperti kata Bendahara itu, karena Temenggung dapatlah akan kita harap, tetapi jika kita lambat dari em-pat bulan kita datang, hendaklah Bendahara menyuruh orang yang bertentu pergi mendapatkan kita."
Maka sembah Bendahara, "Daulat Tuanku, mana titah patik jun-jung."
Maka Baginda pun berangkat masuk. Maka Bendahara pun me-nyembah lalu ke luar, masing-masing pulang ke rumahnya.
Maka Bendahara pun menyuruh memanggil Laksamana. Maka Laksamana pun segera datang. Maka kata Bendahara, "Adapun hamba memanggil Laksamana ini, hamba hendak musyawarat akan pekerjaan duli yang dipertuan hendak berangkat ke Majapahit itu."
Maka sembah Laksamana, "Akan sekarang, apatah dikehendaki oleh datuk akan diperhamba?"
Maka kata Bendahara, "Adapun duli yang dipertuan hendak be rangkat ke Majapahit ini, hanyalah Laksamana jadi orang tua, akan ganti hamba. Jika dapat jangan lambat kiranya orang kaya di Majapahit
itu."
Maka Bendahara pun mengeluarkan emas sepuluh kati dan kain
ba-ju yang baik-baik dua peti. Maka kata Bendahara, "Adapun emas dan kain ini akan penolong hambalah akan Laksamana, barangkali Laksa mana kekurangan belanja, karena Laksamana menanggung pekerjaan
besar."
Maka kata Laksamana, "Diperhamba pun hendak pohonkan pin-jam emas barang dua kati pada kadam datuk, karena mandalika dan batin dan segala sakai sahaya datuk sekalian, adalah kekurangan
bekal."
Setelah sudah maka Laksamana pun bermohon kembali ke rumah nya. Setelah keesokan harinya, maka Bendahara dan Laksamana pun masuk menghadap.
Maka titah Raja, "Ya Mamak Bendahara, siapa-siapa yang tinggal
dengan Mamak Bendahara?"
Maka sembah Bendahara, "Daulat Tuanku: pertama-tama orang
patik hendak suruh tunggui di bukit Cina. Adapun Tun Utama, menung-gui di dalam, karena ia hulubalang tua. Yang lain segala pegawai dan pertuanan itu, pergi mengiringkan duli yang dipertuan."
Maka titah Raja, "Benarlah bicaramu itu!"
Maka Baginda pun menitahkan orang bermuat dan bersimpan segala perkakas kerajaan dan pakaian yang indah-indah dan senjata. Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, siapa-siapa yang akan dititahkan menjadi orang tua, naik pada Mendam Berahi dan
Maratussafa?"
Maka titah Baginda, "Yang naik dengan kita, pada kenaikan itu Laksamana dan Tun Bijaya Sura ketiga bentara kiri, keempat bentara kanan, kelima Tun Lekir berderang kanan, keenam Tun Lekiu bende-rang kiri, lain daripada itu, segala anak pertuanan yang empat puluh dan biduanda empat puluh itulah bersama-sama dengan kita, naik pada Sirulalamin. Adapun Patik Karma Wijaya orang tua Mendam Berahi
dengan segala pegawai yang muda-muda. Adapun pada Maratussafa
orang yang baik-baik, lain daripada itu masing-masing dengan keleng-kapannya dan lain alat senjata."
Setelah tentulah, maka Baginda pun berangkat masuk ke Istana Tun Teja. Maka titah Baginda, "Kita pun tiada lama di Majapahit, sekadar empat bulan pergi datang."
Maka sahut Tun Teja, "Insya Allaji Taala maka dipeliharakan Allah Taala juga kairanya duli yang dipertuan, segera kembali ke Melaka dengan sempurnanya, tetapi sembah patik, yang Laksamana itu jangan dijauhkan daripada tempat duli Tuanku, karena ia hamba yang setiawan lagi bijaksana, lagi berani."
Maka Raja pun beradulah di istana Tun Teja pada maiam itu. Sete lah hari siang, maka Baginda pun dilangiri oleh Tun Teja dan diman-dikan dengan air mawar. Setelah sudah mandi, maka dibubuhnya
nar-wastu pada tubuh Baginda. Maka Baginda pun bertukar kain dengan
Tun Teja, lalu pergi mendapatkan Raden Mas Ayu.
Maka didapati Baginda itulah Mas Ayu duduk meriba anakanda baginda Raden Bahar. Setelah dilihat oleh Raden Mas Ayu dan Raden Bahar ayahanda baginda datang itu, maka dipegangnya tangan ayahan-da baginayahan-da, lalu dibawanya duduk dekat bunayahan-da. Maka kata Raden
Bahar, "Sungguhkah Ayahanda hendak pergi ke Majapahit?"
Maka kata Raden Bahar, "Patik pun hendak pergi, pinda pada
nenekanda kuda putih yang tahu menari." '
Maka kata Raja, "Janganlah Tuan pergi, karena Tuan lag! kecil,
tiada dapat berjaian jauh dengan bunda, ayahanda pun tiada lama, segera juga ayahanda kembali, sekaii lagi ayahanda bawa Tuan."
Setelah sudah maka Raden Bahar pun diam. Maka Baginda pun beradulah di sana. Setelah hari siang, maka Raja pun bermohon pada
Raden Mas Ayu, serta memeluk mencium anakanda baginda kedua dan ditangisinya. Setelah sudah bertangis-tangisan, maka Raja pun ke luar
duduk pada balairung. Maka pada tatkala itu Bendahara dan Laksa-mana pun ada hadir, menantikan Raja ke luar. Setelah dilihat oleh Ben
dahara Raja ke luar, maka gajah kenaikan Baginda yang bernama Per-mata Silan itu pun dihiasi oranglah. Maka Raja pun naiklah ke atas ga jah itu. Maka di kepala gajah itu Laksamana, dibuntutnya Tun Jebat.
Maka Raja pun berangkatlah ke perahu diiringkan oleh Bendahara dan
Temenggung dan segala pegawai sekalian. Maka Raja pun sampailah ke pantai. Maka titah Raja, "Ya mamak Bendahara dan Temenggung dan segala pegawai sekalian, baik-baik peliharakan rakyat yang tinggal ini. Adapun akan anak dan istri kita, empat orang itu kita serahkan pada Bendahara dan Temenggung. Jika sesuatu hal kita di Majapahit, akan
anak kita Raden Bahar akan ganti kita, naik kerajaan di negeri Melaka
ini."Maka sembah Bendahara dan Temenggung, "Daulat Tuanku, pinta
dipeliharakan Allah Taala juga dull Syah Alam dan dijauhkan Allah
Taala kiranya daripada seteru Syah Alam."
Setelah sudah Baginda bertitah, maka Baginda pun naik ke atas
kenaikan Sirulalamin itu. Maka gendang arak-arakan pun dipalu
oranglah dan jogan alamat yang bermalaikan emas permata dikarang itu
pun terdirilah. Maka Laksamana pun berdiii di haluan kenaikan. Maka
Sirulalamin pun didayungkan oranglah hilir ke kuala. Maka segala
kelengkapan sekalian pun masing-masing berdayung mengikuti kenaik
an. Setelah sampai ke kuala, maka segala pegawai dan pertuanandisuruh Laksamana berlayar dahulu. maka Bendahara pun
mengantar-kan Raja ke kuala. Maka Raja pun menanggaimengantar-kan segala pakaian dari pada tubuh Baginda, lalu dianugerahkan kepada Bendahara. Maka Bendahara pun menjunjung duli. Maka Laksamana pun menyuruh orang
menarik layar. Maka meriam pun dipasang oranglah. Maka Sirulalamin
pun berlayarlah terlalu lajunya. Maka yang dapat mengikut itu, hanyalah Mendam Berahi dan Maratussafa dan manjungan Laksamana dan dandang Tun Papakrama yang tiada bercerai dengan kenaikan Baginda.
Hata beberapa lamanya berlayar itu, maka sampailah ke Palem-bang. Maka Raja pun singgah di Palembang tiga hart berburu dan bersuka-sukaan makan rainum. Setelah sudah genap ketiga hari, maka Raja pun bermohonlah kepada Adipati Palembang, lalu berlayar. Maka Raja pun sampailah ke Jayakartra. Maka Raja pun berhentilah di Jayakatra tiga hari, makan minum bersuka-sukaan dan berburu. Setelah ketiga hari Baginda di Jayakatra, maka Raja pun bermohonlah kepada Adipati Jayakatra, lalu berlayar.
Beberapa lamanya maka Raja pun sampailah ke Tuban. Maka Sang Agung Tuban dan segala priayi dan orang besar-besar pun datanglah menghadap, masing-masing dengan persembahannya. Maka sembah Sang Agung Tuban, "Ya Tuanku Syah Alam, patim mohonkan ampun dan kurnia ke bawah dull yang dipertuan, jikalau ada kurnia Tuanku di atas kepala patik, baik juga duli Tuanku berhenti barang sehari jua, adaiah nama patik hamba ke bawah duli Tuanku."
Setelah Raja mendengar sembah duli Agung Tuban itu, maka titah Raja, "Baiklah, maka kehendak Sang Agung Tuban kita turut, tetapi jika yang lain daripada Sang Agung Tuoan kita turun di Majapahit, di
rumah Raden Aria kita duduk."
Maka sembah Sang Agung Tuban, "Daulat Tuanku, ini hamba yang daif. Adapun patik ini hamba. Maka Laksamana yang tahu akan adat patik ini."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, sungguh seperti sem
bah patik itu."
Setelah Raja mendengar sembah Laksamana dan Sang Agung Tuban demikian itu, maka Raja pun berangkat naik ke rumah Sang Agung Tuban. Maka Raja dan segala pegawai pun diperjamu oleh Agung Tuban dengan sepertinya.
Maka titah Raja, "Sudahkah Sang Agung persembahkan pada Seri
Batara dan Patih Gajah Mada?"
Maka sembah Sang Agung, "Sudah Tuanku, patik suruh beri
tahu."
baharu Raja Melaka sudah datang ke Tuban, menantikan sambut Batara
lagi."
Setelah Patih Gajah Mada mendengar sembah demikian itu, maka Patih pun segera masuk menghadap Seri Batara berdatang sembah, "Ya Tuanku paduka Batara, adapun sekarang ini Ratu Melaka duduk di Tuban, sudah datang, maka titah patik junjung."
Maka titah Seri Batara, "Segeralah Patih berlengkap menyambut
anak kita Ratu Melaka itu!"
Maka kata Temenggung, "Hai Patih Gajah Mada, akan sekarang apa bicara, akan Ratu Melaka telah ia datang ke Tuban?"
Maka kata Patih, "Bicara kita disambut ke Tuban itu."
Maka kata Temenggung, "Bukan begitu yang manira kata itu, karena Ratu Melaka itu dipanggil oleh Seri Batara hendak dibunuh. Adapun pada bicara manira, mana segala penggawa dan penjurit yang bercakap hendak menikam Ratu Melaka, pada ketika inilah baik ditiah-kan ke Tuban membunuh Ratu Melaka itu, supaya Laksamana dan segala hulubalangnya mengamuk di Tuban juga, masakan ia sampai ke Majapahit ini."
Setelah Patih Gajah Mada mendengar kata Temenggung demikian itu, maka Seri Batara pun berkenanlah akan bicara Temenggung itu. Maka kata Patih dengan marahnya, "Hai Temenggung, siapatah ber cakap menikam Ratu Melaka di hadapan Laksamana itu, supaya kucium tapak kakinya?"
Maka kata Temenggung, "Maniralah bercakap menikam Ratu Melaka itu di hadapan Laksamana dan hulubalangnya itu."
Setelah Patih Gajah Mada mendengar kata Temenggung demikian itu, maka Patih pun terlalu marah serta ia memegang hulu kerisnya, seraya katanya, "Cih, jika berani si Temenggung pun, tiada akan lebih daripada aku ini. Benarkah ia membinasakan negeri Seri Batara ini? Jika Laksamana dan segala hulubalang Melayu itu masuk ke dalam negeri membakar, siapatah dapat menentang matanya, karena Ratu Melaka datang sekali ini, banyak orang baik-baik dibawanya. Laksa mana itu, manatah matanya kulihat. Bukan aku meminjam berani orang dan orang tahu akan matinya Laksamana itu juga oleh manira."
Tuban. Maka Raden Aria dengan segala orangnya pergilah sama-sama
orang banyak itu disuruhkan oleh Patih Gajah Mada.
Beberapa antaranya, maka sampailah ke Tuban, lalu Raden Aria
menghadap. Setelah Raja Melaka melihat Raden Aria, maka titah
Baginda, "Rindunya kita akan Raden Aria."
Maka sembah Raden Aria, "Daulat Tuanku, patik hamba pada ke
bawah duli Tuanku."
Maka segala raja-raja dan penggawa itu pun datang menghadap Ra
ja Melaka. Maka Raja pun memberi persalin akan segala raja-raja itu.
Maka sembah segala raja-raja itu, "Ya Tuanku Syah Alam, patik ini
datang dititahkan oleh paduka ayahanda menyambut Tuanku, karena
paduka ayahanda terlalu amat rindu dendam akan Tuanku. Seketika
pun tiada beroleh nama lupa dan lalai akan Tuanku.''
Maka titah Raja, "Kita pun telah hadir akan menghadap."
Maka Laksamana pun berlengkaplah menurunkan segala senajta
daripada kelengkapan tujuh buah itu. Maka Patih Karma Wijaya pun
berlengkap pada suatu ketumpukan berjalan. Setelah sudah lengkap,
diatur oleh Laksamana masing-masing pada ketumpukannya berjalan
itu. Setelah sudah Raja pun naiklah ke atas kenaikan yang bernama
In-dera Cita itu. Maka tun Papakrama di kepala gajah, anak Tun
Maha-menteri di buntut. Laksamana berkuda berjalan dahulu. hang Jebat,
Hang Kesturi memikul pedang. Maka bentara Hang Lekir benderang
kanan memikul pedang di kanan gajah itu. Maka Hang Lekiu memikul
pedang di kiri gajah Baginda. Maka Tun Bijaya Sura dengan segala
orangnya dan sakainya berjalan kemudian menjadi tutup; Patih Karma
Wijaya berjalan dahulu menjadi cucuk. Setelah sudah maka Raja pun
berangkatlah. Maka bunyi-bunyian pun dipalu oranglah terlalu ramai.
Maka Raja pu nberangkat ke Majapahit. Sepanjang jalan orang melihat,
penuh sesak di jalan raya. Maka kata segala orang yang melihat itu,
"Adapun akan Raja Melaka dipanggil ini hendak dibunuh, karena
Baginda beristri dua."Maka kata seorang pula, "Siapatah dapat membunuh Baginda itu,
sedang Laksamana seorang, lagi tiada dapat dibunuh, ini pula rajanya
datang dengan ingatnya serta dengan segala hulubalang rakyatnya.
Maka lihatlah akan kelengkapan ia berjalan itu, seperti laku orang hen
dak berperang, masing-masing dengan ketumpukannya."
Maka segala kata-kata orang itu kesemuanya didengar oleh
Laksa-mana. , r. •
sam-pailah ke Majapahit. Maka orang Majahapit daripada laki-laki dan
perem sekalian datang melihat Raja berarak itu, semuanya menangis,
kasihan akan Raja Melaka.
Maka kata seorang, "Tcrlalu sekali sayang anak Raja ini hendak
dibunuh oleh Seri Batara. Jika manira dikenalnya, sekarang juga manira
pergi beri tahu."
Maka kata seorang lagi, "Masakah anak Raja itu tiada tahu,
llhat-lah perintahnya berjalan itu, seperti orang hendak perang lakunya."
Maka sahut seorang lagi, "Sungguh seperti kata pakanira itu, jika
Raja ini sesuatu perinya datang ini, niscaya binasaiah negeri Majapahit
ini oleh Laksamana dan segala hulubalangnya, karena kita lihat Raja ini
datang dahulunya lain perintahnya."
Maka kata seorang lagi, "Sedang masa dahulu perbuatan Seri
Batara lain, akan sekarang ini lain!"
Hatta maka Raja pun sampailah ke pintu paseban. Maka Patih
Ga-jah Mada dan segala raja-raja dan segala seteria pun datang mengalukan
Raja Melaka. Maka Baginda pun segera turun dari atas gajah. Maka
Laksamana pun berjalan di hadapan Raja, lalu masuk ke peseban.
Maka Patih Gajah Mada pun pura-pura berpimpin tangan dengan
Temenggung. Maka Temenggung pun tahulah akan bicara Patih Gajah
Mada itu. Maka Patih Gajah Mada pun sebagai memandang pada
Temenggung: takut Temenggung menikam Raja Melaka. Maka Temeng
gung pun tersenyum-senyum.
Setelah Seri Batara melihat Raja Melaka datang itu, maka kasih
rasa hatinya, serta kasihan rasanya, karena memandang rupa Raja
Melaka itu. Maka titah Seri Batara, "Silakanlah anakku Ratu Melaka,
rindunya ayahanda akan Tuan."
Maka Raja pun segeralah datang ke hadapan Seri Batara. Maka Seri
Batara pun berdiri sambil memegang tangan Raja Melaka, lalu
dibawa-nya duduk bersama-sama di atas singgasana. Maka Laksamana danHang Jebat pun duduk di bawah lutut Raja Melaka. Maka segala
pegawai dan pertuanan pun duduk bersaf-saf, masing-masing dengan
sangat ingatnya. Maka sirih pada jorong emas pun datanglah. Setelah
sudah makan sirih, maka hidangan pun diangkat oranglah. Maka Bagin
da pun santap sehidangan dengan Raja Melaka. Maka segala raja-raja
dan seteria, hulubalang pun makanlah masing-arasing pada
hidangan-nya. Maka Titah Seri Batara, "Hai Patih Gajah Mada, tempat anakku
Maka sembah Patih Gajah Mada, "Sudah sedia, Tuanku, patik lengkapi."
Maka titah Seri Batara, "Hai Patih, bawalah anak kita ini hendak
berhenti."
Maka sembah Patih, "Silakan, Tuanku!"
Maka Raja pun bermohonlah, lalu turun naik gajah pergi melihat istana di Karangdarussalam namanya dan diiringkan oleh Patih Gajah Mada dait segala pegawai dan pertuanan. Maka Laksamanu pun berja-lanlah di bawah gajah Baginda. Setelah sampailah ke Karangdarussa lam, maka Raja pun naiklah ke istana, duduk di penghadapan, dihadap oleh Patih Gajah Mada dan Patih Karma Wijaya dan segala pegawai dan pertuanan sekalian. Maka dilihat oleh Patih Gajah Mada, segala perin-tah Raja duduk itu terlalu ingat, seperti laku bermusuh. Maka Patih Ga jah Mada pun pikir di dalam hatinya; jika seperti ini lakunya Raja ini, sukarlah mengenai Raja ini. Jika aku turut seperti bicara Temenggung itu, binasalah negeri Majapahit ini oleh Laksamana.
Setelah sudah ia berpikir demikian itu, maka ia pun bermohonlah kepada Raja Melaka, lalu kembali ke rumahnya.
Setelah pada keesokan harinya, maka Patih Gajah Mada pun
masuk menghadap berdatang sembah, "Ya Tuanku, apatah bicara kita sekarang ini?"
Maka titah Seri Batara, "Hai Patih Gajah Mada, apatah bicara kita lagi akan mengenai Laksamana itu? Kulihat Raja Melaka ini terlalu in
gat."
Maka sembah Patih, " Ya Tuanku, ada suatu bicara patik." Maka titah Seri Batara, "Bagaimana tipu Patih itu, karena tombak berbengkongan dan keris pun tiada terhunus daripada sarangnya."
Maka sebmah Patih Gajah Mada, "Marilah kita cahari penjurit em-pat puluh orang yang kepetangan. Maka kita suruh mengamuk di tengah pasar, barang yang terlintang disuruh bunuh. Maka kita berpesan kepadanya: apabila engkau melihat seorang Melayu datang hendak me-ngembari engkau, demikian sifatnya dan rupanya dan sikapnya, maka bunuh oleh kamu sungguh-sungguh jangan beri lepas. Jika Melayu itu mati, besar ganjaianmu. Demikianlah kita katakan pada penjurit itu."
Maka titah Seri Batara, "Benarlah seprti bicara Patih itii."
Laksa-mana yang bercakap mengembari dia, karena LaksaLaksa-mana orang
berani."
Maka Utah Seri Batara, "Segeralah pilih penjurit empat puluh ituf" Maka Patih pun menyembah pulang ke rumahnya. Maka dipilih penjurit empat puluh orang, diperjamunya makan minum dan diberinya petis sepuluh laksa pada seorang-seorang. Maka penjurit empat puluh itu pun bercakap akan membunuh Laksamana. Setelah sudah maka masing-masing bermohonlah kepada Patih, lalu pulang ke rumahnya, masing-masing mengilirkan kerisnya.
Maka Patih pun masuk menghadap. Maka sembah Patih, "Ya
Tuanku, pada hari inilah balk Raja Melaka itu disuruh panggil, karena
penjunr itu ^udah hadir menanti Laksamana."
Maka Sen Batara pun menitahkan Barit Ketika, suruh menyambut Raja Melaka itu. Pada tatkala itu Baginda duduk di penghadapan ber-kata-kata dengan Laksamana. Maka Utah Raja, "Adapun pada hari ini kita lihat muka Laksamana berseri-seri daripada sediakala."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, apatah penglihatan duli Syah Alam akan patik ini?"
Maka titah Raja, "Demikian kita lihat warna muka Laksamana merah padam, laku orang marah."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada pirasat patik, pada hari ini pada waktu asar, rasa patik berperang dan melihat darah. Tetapi insya Allah Taala tiada mengapa. Barangsiapa berhadapan dengan patik, niscaya habis mati."
Setelah Baginda mendengar sembah Laksamana demikian itu, maka titah Raja, "Demikian, kita pun berhentilah pada hari ini tiada
menghadap."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada hari inilah baik duli Tuanku berangkat masuk menghadap. Pada penglihatan patik, barang pekerjaan kita; tiada akan lebih tahunya penjurit Majapahit ini daripada patik."
Maka di dalam berkata-kata itu, Barit Ketika pun datang bersama-sama dengan raja-raja membawa gajah kenaikan penyambut duli Bagin
da. Maka titah Raja, "Kita pun sudah hadir."
Maka Raja pun naiklah ke atas gajah, lalu berjalan seperti adat sehari-hari. Setelah dilihat oleh Seri Batara akan Raja Melaka datang
Maka Raja Melaka pun naik, duduk berhadapan dengan Seri
Batara. Maka Laksamana dan Tun Bijaya Sura duduk di bawah lutut
Baginda. Maka Hang.
Jepat, ;Hang Kesturi, dan p^rtuanan pun duduk
dengan ingatnya. Setelah sudah maka hidangan pun diangkat oranglah.
Maka piala yang bertatahkan ratna mutu manikam itu pun diedarkan
oranglah kepada Laksamana dua tiga piala, lalu dianggap pula oleh
Patih, tiada juga ia mau minum. Maka kata Patih, "Menganatah maka anak Laksamana tiada mau minum?"Maka kata Laksamana, "Adapun pirasat orang yang bijaksana dan berani itu, apabila ada suatu tandanya gerak, karena akan dirasainya, maka hendaklah barang sesuatu makanan dan minuman itu jadi duri,
karena segala hulubalang bijaksana dan berani itu, apabila makanan
yang memberi khayali itu tiada harus dimakan dan diminum,
seolah-olah daripada khayali itu berani ia. Maka pada hari ini, manira akan
memandang dan melihat darah juga."
Setelah sudah Patih Gajah Mada mendengar kata Laksamana demi-kian itu, maka di dalam hatinya; jika deniidemi-kian tahu Laksamana ini,
bagaimanakah bicaraku hendak mengenai dia?"
Maka Raja pun minumlah dua tiga piala, lalu berhenti.
Sebermula penjurit empat puluh itu setelah hari siang, maka penju-rit itu pun makan minum pada suatu tempat. Setelah berasa mabuklah ia, lalu keluar ke pasar. Maka direbutnya segala isi kedai orang itu. Maka orang yang empunya kedai itu pun dibuatnya haru-biru. Setelah dilihat orang pasar akan penjurit itu merampas, maka sekalianhya pun
habis berlari-alrian ke sana ke mari. Maka penjurit itu pun duduk pada suatu kedai makan minum, menantikan pasar ramai. Maka pasar pun
tengah ramailah. Maka penjurit empat puluh itu pun keluar dari kedai
itu, lalu menghunus kerisnya, seraya mengamuk, barang yang terlintang
habis dibunuhnya. Maka gemparlah pasar dan banyaklah orang mati dan luka. Maka orang di dalam negeri itu pun gempar,lalu lari masuk ke
dalam kampung. Setelah lari ke dalam pagar paseban. Maka kata Patih
Gajah Mada, "Mengapa maka kamu sekalian gempar ini?"
Maka kata orang itu, "Aduhai Kiai Patih, orang mengamuk di
tengah pasar ini, banyak orang yang mati dan luka dibunuhnya."
Setelah Seri Batara mendengar sembah orang itu, maka Seri Batara
pun memandang Raja Melaka, seraya berkata, "Ya anakku Ratu Melaka, jika ada kasih anakku akan ayahanda, apatah jadi negeri
Belum sempat bertitah, maka Laksamana pun berdiri menyembah
Raja Melaka, seraya menyingsingkan lengan bajunya, lalu meraengkis,
katanya, "Cih, beroleh lawanlah aku, insya Allah Taala jangankan
se-seorang, jika empat puluh orang sekalipun mengamuk tiada akuindah-kan, sahaja kupenggal lehernya."
Daripada geram Laksamana memengkis itu, maka peseban pun
ber-gerak seperti ditiup ribut lakunya. Maka Seri Batara dan Patih Gajah
Mada pun serta dengan segala penggawa pun dahsyat melihat Laksa
mana memengkis itu.
Maka kata Tun Jebat, Tun Kesturi, Tun Lekir, dan Tun Lekiu,
"Beta pun serta mengiringkan orang kaya."
Maka kata Laksamana, "Seorang saudaraku pun jangan bergerak,
tunggu duli yang dipertuan baik-baik serta ingatnya."Setelah Laksamana berkata demikian, maka Laksamana pun me
nyembah pada Raja Melaka, lalu berjalan menyingsingkan tangan ba
junya, sambil menggamak-gamak hulu keris panjangnya. Setelah datang
ke pintu, maka ia pun berjalan bersegera-segera. Setelah datang ke
tengah pasar, maka dilihatnya banyak penjurit mengamuk itu. Maka di dalam hatinya: wah, terkenalah aku oleh Patih Gajah Mada.Maka Laksamana pun berdiri. Maka dilihatnya oleh penjurit itu
akan Laksamana. Maka diusirnya akan Laksamana. Maka Laksamana
pun undur sambil mengerlingkan matanya melihat tempat bertahan. Hatta maka dengan takdir Allah Taala, maka Laksamana pun ber-temu dengan lorong batu kiri kanan, tiada dapat orang berjalan. Maka Laksamana pun melompat masuk ke dalam lorong itu, menghunus keris panjangnya, lalu bertahan di muka ke dalam lorong itu. Maka dilihat
oleh penjaurit itu Laksamana masuk ke dalam lorong itu. Maka penjurit
empat puluh itu pun datanglah ke muka lorong itu, bercocok ikan masuk
Maka Laksamana pun duduk pada sebuah kedai. Maka segala orang di dalam negeri itu pun tiada berani menghampiri Laksamana.
Hatta maka terdengarlah kepada Raja Melaka, bahwa Laksamana bertikam dengan penjurit empat puluh itu. Maka sekarang Laksamana undur membawa dirinya ke mana-mana perginya. Seielah Raja Melaka dengar sembah orang itu, maka Raja pun berdebar hatinya, lalu menitahkan Tun Bijaya Sura dan Tun Jebat, Tun Kesturi, Tun Lekir, Tun Lekiu pegi. Maka ia pun menyerah, seraya menyingsingkan tangan bajunya, serta melompat duduk tingkahnya, seraya berkata, "Cih, jika Laksamana mati atau sesuatu perinya, bahwa negeri Majapahit ini ku-jadikan pada tekukur. Patih Gajah Mada dan Temenggung pun
kubunuh."
Setelah sudah Hang Jebat berkata demikian, maka ia pun sgera
beriari dengan segala orang Laksamana. Setelah datang Tun Jebat dan Tun Kesturi pada kedai itu, maka dilihatnya Laksamana duduk. Maka segera didapatkannya. Maka dilihat oleh Tun Jebat dan Tun Kesturi Laksamana ada duduk di kedai bersandar pada tiang kedai. Maka oleh Tun Jebat diciumnya dada Laksamana. Maka Laksamana pun mem-buka matanya. Maka dilihatnya Tun Jebat dan Tun Kesturi dengan
segala orangnya. Maka Laksamana pun mengucap seribu sukur, sambil
menyarungkan kerisnya. Maka Laksamana pun turun dari atas kedai itu lalu berjalan, sambil tangannya memeluk Tun Jebat, sebelah tangannya
memeluk leher Tun Kesturi.
Maka orang di dalam negeri itu pun semuanya takut melihat Laksa mana dengan segala Melayu itu, karena mainnya Patih habis diketahui oleh Laksamana. Maka sekaliannya pun menutup pintunya.
Hatta maka Laksamana pun sampailah ke peseban. Setelah Raja melihat Laksamana datang itu, maka Raja pun terlalu sukacita. Maka Seri-Batara dan Patih Gajah Mada pun takut melihat Laksamana dan
segala Melayu itu, karena habis diketahui permainannya oleh segala
Melayu itu. Maka Laksamana pun naik duduk menyembah Raja
Melaka.
Maka Seri Batara pun bertitah, "Kita tiada tahu orang mengamuk
empat puluh, kita katakan seorang dua juga, maka kita lepaskan Laksa
mana. Jika kita tahu empat puluh, gila apa kita suruh Laksamana pergi
seorang."
berkat tinggi daulat Tuan patik, tiada patik indahkan. Boleh
sepuas-puashati."
Maka Seti Batara pun memberi anugerah akan Laksamana. Maka Raja pun kembali ke istananya.
Setelah Raja Melaka sudah kembali ke istananya, maka titah Seri Batara, "Sekarang apa bicara Patih?"
Maka sembahnya, "Ada suatu bicara patik, ada seorang namanya Petala Bumi, terlaiu amat kepetangan, apatah indah Laksamana itu kepadanya?"
Maka titah Seri Batara, "Segeralah suruh panggil!"
Maka Patih Gajah Mada pun bermohon kembali pulang ke rumah-nya. Maka disuruh panggil Petala Bumi. Maka Petala Bumi pun segera datang, lalu duduk menyembah katanya, "Apa pekerjaan manira
dipanggil?"
Maka kata Patih Gajah Mada, "Hamba panggil tuan hamba ini, dengan titah Andika Batara, hendak menyuruh membunuh seorang hulubalang Melayu. Laksamana namanya. Jika ia mati, besarlah kebak-tian tuan hamba kepada Seri Batara."
Maka kata Petala Bumi, "Manira tiada* mengenal Laksamana itu,
bagaimana rupanya?"
Maka kata Patih Gajah Mada, "Biarlah kutunjukkan kelak, bila ia mengiringkan Raja Melaka mengahadap."
Maka kata Petala Bumi, "Apatah diindahkan hendak membunuh
Laksamana itu?"
Maka Patih Gajah Mada pun masuk menghadap, membawa Petala Bumi. Maka titah Seri Batara, "Manatah penjurit itu?"
Maka sembah Patih Gajah Mada, "Boleh, Tuanku, itulah dia
Petala Bumi namanya."
Maka titah Seri Batara, "Hai Petala Bumi, simgguhpun engkau
ber-cakap hendak membunuh Laksamana itu?"
Maka sembah Petala Bumi, "Ya Andika Batara, apa akan diindah kan hendak membunuh Laksamana itu; tunjukkan juga kepada patik."
Maka tatkala itu Raja Melaka pun masuk diiringkan oleh Laksama na dan segala pegawai dan pertuanan dengan ingatnya. Setelah sampai ke dalam, lalu masuk menghadap.
Maka Seri Batara melihat Raja Melaka datang itu, maka segera
ditegur oleh Seri Batara, "Marilah Tuan duduk, jika lambat anakku
Maka Raja Melaka pun menyembah, lalu duduk pada tempatnya,
Syahdan Laksamana pun duduk di bawah Raja Melaka dengan segala pegawai dengan ingatnya.
Maka dilihat oleh Petala Bumi di dalam pegawai dan pertuanan yang banyak itu, hanyalah Laksamana yang berani. maka pada pikir Petala Bumi: inilah gerangan yang bernama Laksamana itu, karena lakunya dan sikapnya itu terlalu baik. Haruslah maka ia dapat mem-bunuh penjurit yang kepetangan itu, karena penjurit besar lagi banyak
tahunya.
Maka Patih Gajah Mada pun memberi isyarat pada Petala Bumi akan menunjukkan Laksamana. Seketika lagi hidangan pun diangkat oranglah. Setelah sudah makan, maka minuman pula diangkat orang
dan timbul pelbagai rupanya dan rasanya itu pun diminumlah, terlalu
ramai pada hari itu. Setelah hari hendak malam, maka Raja Melaka pun bermohon kembali ke istananya. Maka Patih Gajah Mada pun
ber-mohon kembali ke rumahnya.
Setelah hari malam, maka Barit Ketika dan Petala Bumi pun berja-lanlah menuju kampung Raja Melaka. Maka Petala Bumi dan Barit Ketika pun datang ke pintu Raja Melaka. Maka kata Barit Ketika, "Itulah kampung Laksamana, pergilah pakanira masuk."
Maka kata Petala Bumi, 'Marilah engkau masuk bersama-sama aku, karena aku tiada mengenal Laksamana itu."
Maka kata Barit Ketika, "Manira takut masuk, pakanira seorang-lah bukan aku yang bercakap dengan Seri Batara."
Setelah Petala Bumi mendengar kata Barit Ketika demikian itu,
maka Petala Bumi pun tertawa-tawa, seraya berkata, "Penakut," serta ditamparnya muka Barit Ketika, seraya katanya, "Jika engkau penakut,
mengapa engkau datang dengan aku?"
Maka Petala Bumi pun menghunus kerisnya, maka dibelahnya
pagar itu. Maka Barit Ketika pun takut masuk. Maka tangan Barit
Ketika dipegang oleh Petala Bumi, seraya berkata, "Jika engkau tiadamasuk, sekarang juga kutikam!"
Maka Barit Ketika pun takut lalu berkata, "Apa akan jadinya jika
aku masuk bersama-sama engkau?"
Maka kata Petala Bumi, "Mari juga dahulu masuk, supaya kita
lihat kelakuannya."
Maka tatkala itu Raja Melaka berkira-kira hendak kembali ke
Ma-laka, lagi duduk bermusyawarat dengan Laksamana. Maka Barit Ketika
dilihat oleh Barit Ketika, Raja Melaka dihadap oleh Laksamana dan
segala pegawai. Maka Petala Bumi dan Barit Ketika pun masuk
bersem-bunyi di bawah balairung Raja itu, mengmtai Laksamana berkata-kata dengan Raja Melaka.
Maka titah Raja, "Hai Laksamana, pada bicara kita, tatkala Seri
Batara marah akan Laksamana, sedang membinasakan taman yang
dahulu itu, maka Seri Batara menitahkan penggawa beribu-ribu pergi
membunuh itu, bicara kita matilah Laksaniana sekali ini. Demikian kita
pun sebagai meniandang Tun Bijaya Sura, kita hendak mengamuk rasanya dengan segaia pegawai daripada kita mati sahaja."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku, pada bicara patik lima
miskin pun meminta doa akan Laksamana datang kepada anak cucu
menjadi hulubalang juga.
bersaudara ini jangankan seribu itu dititahkan membunuh patik lima
bersaudara ini, jika sebanyak penggawa dan priyayi di daiam negeri
Ma-japahit ini pula dititahkan membunuh patik-patik ini, tiada patik
in-dahkan, Dengan berkat tinggi daulat Tuan sahaya patik bunuh segala
penggawa itu, seorang pun tiada lepas daripada tangan patik kelima ber
saudara ini. Jika hendak mengamuk di dalam negeri Majapahit ini
sekalipun, boleh patik alahkan serta menjadi seperti negeri Melayu,
karena Tuanku Besar pada tanah Melayu dapat dipindanya."
Setelah Raja mendengar sembah Laksamana demikian itu, maka
Baginda pun tersenyum-senyum.
Maka segala kata Laksana itu, habis didengar oleh Barit Ketika.
Maka kata Petala Bumi, "Hai Barit Ketika, siapa namanya yang
berkata-kata keras di hadapan Raja itu?"
Maka kata Barti Ketika, "Itulah yang bernama Laksamana, yang
disuruh Seri Batara bunuh itu."Setelah Petala Bumi mendengar kata Barit Ketika itu, maka Petala Bumi pun mengintai Laksamana dari bawah balairung, diperamat-amatinya. Maka dipandang kelakuan Laksamana itu. Setelah, sudah dilihatnya, maka di dalam hatinya; sukar aku mengenai' Laksamana ini, karena ia penjerit besar, banyak tahunya. Tetapi aku sudah bercakap kepada Seri Batara, kucoba juga pengajaran guruku itu.
Hatta maka hari pun hampir tengah malam. Maka Baginda pun beradulah. Maka Laksana pun tahu akan penjurit datang itu hendak mengenai dia. Maka: kata Laksamana kepada Hang Jebat dan Hang Kesturi, "Adapun pada malam ini hendaklah kita beringat, karena di
Maka kata Hang Jebat, Hang Kesturi, "Jika demikian, apatah
bicara kita, maulah diperhamba duduk di muka pintu."
Maka kata Laksamana, "Sabarlah dahulu, kita lihat mainnya,
tetapi jangan kita tidur, karena penjurit itu berani rupanya."
Setelah Tun Jebat dan Tun Kesturi dan segala pegawai mendengar kata Laksamana demikian itu, maka sekaliannya pun beringatlah dan berjaga^jaga, sambil berkata-akata akan Patih Gajah Mada hendak mengenai Laksamana itu. Maka kata Tun Bijaya Sura, "Sedang orang kaya Laksamana dan Tun Jebat, Tun Kesturi, Tun Lekir, dan Tun Lekiu disuruh bunuh pada segala penggawa yang seribu pengawinan itu, beta pun ternanti-nanti akan duli yang dipertuan bertitah juga, karena segala pegawai dan pertuanan hadir."
Maka kata Laksamana, "Begitulah hendaknya segala hulubalang yang berani, tetapi baik-baiklah, pikir juga."
Maka dilihat oleh Petala Bumi dan Barit Ketika akan kelakuan Lak samana dan segala pegawia yang bertunggu itu lambat tidur, maka
Petala Bumi pun menjadikan dirinya kucing dan Barit Ketika pun
men-jadikan dirinya tikur. Maka tikus itu pun melompat naik balairung itu,
melompat ke hadapan Laksamana.
Maka dilihat oleh Laksamana seeker kucing dan seeker tikus datang
berlempat-lempatan ke hadapannya. Maka kata Tun Bijaya Sura,
"Lihat juga kucing dan tikus ini melempat-lempat. Syahdan rupanya lain daripada tikus yang banyak dan kucing yang banyak."
Maka kata Laksamana, "Diam juga erang kaya, kita lihatkan
mainnya dan beraninya penjurit ini, masakan tahunya dan bernainya
lebih daripada aku."
Maka Laksamana pun pura-pura bertinggung; tangannya yang
kanan menghunus keris panjangnya, tangan kiri menghunus penduanya.
Setelah terhunus, maka Laksamana pun melompat serta diparangnya
kucing itu, kena kepalanya. Maka tikus itu pun melompat lalu lari, tiada
sempat akan Laksamana datang itu dari sebab deras larinya. Maka
ku-ing itu pun menjadikan dirinya tunggul. Maka Laksamana pun berke-liling mencahari tiada juga bertemu. Maka Laksamana pun kembali duduk pada tempatnya pula. Setelah dilihat oleh Petala Bumi,Laksamana sudah kembali, maka ia pun menjadikan dirinya manusia
pula.
Maka kata Barit Ketika, "Nyaris manira mati, bersembunyi di
bawah kedai."
"Masakan engkau seorang merasai, aku pun nyaris mati, baik sempat
aku menjadikan diriku tunggul."
Setelah Barit Ketika mendengar kata Petala Bumi demikian itu, maka ia pun tertawa-tawa gelak-gelak. Setelah Petala Bumi melihat Barit Ketika mentertawakan dia, maka kata Petala Bumi, "Mengapa
engkau tertawa-tawa aku?"
Maka kata Barit Ketika, "Bohongkah akan kataku, pakanira tiada percaya!"
Maka Petala Bumi pun terlalu marah katanya, "Cih! Mengapa pula aku takutkan. SSkarang juga Melayu itu kubunuh."
Setelah sudah katanya demikian, maka Petala Bumi pun menjadi kan dirinya seekor anjing terlalu besar dengan hebatnya. Maka anjing itu pun berjalan masuk ke balairung itu, hendak mendapatkan Laksama-na. Maka Laksamana pun segera melompat, lalu diparangnya. Anjing itu pun berteriak, lalu terjun lari, maka diusir oleh Laksamana. Anjing itu pun menjadikan dirinya harimau, lalu diusirnya akan Laksamana. Maka Laksamana pun berdiri menantikan harimau itu. maka harimau itu pun datang ke hadapan Laksamana dengan suaranya terlalu hebat hendak menerkam Laksamana. Maka Laksamana pun melompat, dipa rangnya akan harimau itu. Tatkala melompat salah parangnya Laksa mana itu. Maka Laksamana pun menjadikan dirinya seekor harimau pula, lalu bertangkap keduanya, terlalu gempita bunyinya. Maka dilihat oleh Barit Ketika harimau itu bertangkap, maka tewas Petala Bumi oleh Laksamana. Maka Petala Bumi pun menjadikan dirinya raksasa, mulut-nya ternganga dan matamulut-nya seperti api bermulut-nyala-mulut-nyala lakumulut-nya. Maka diusirnya Laksamana, seperti ribut datangnya. Maka Laksamana men jadikan dirinya manusia, lalu menghunus keris panjangnya, lalu dipa rangnya. Maka Laksamana memarang itu dengan marahnya, kena kepala Petala Bumi, belah dua. Maka Petala Bumi pun lari mendapat
kan Barit Ketika.
Maka kata Barit Ketika, "Sudahkah mati Laksamana itu?" Maka kata Petala Bumi, "Jangankan ia mati, aku pun nyaris putus
kepala olehnya. Maka banyaklah aku membunuh orang, tiada kulihat yang seperti Laksamana ini."
Maka Barit Ketika pun tertawa gelak-gelak katanya, "Bohongkah kataku, pakanira tiada percaya, karena Laksamana itu penjurit besar, lagi banyak tahunya."
perut, melainkan mati oleh senjata. Hai Barit Ketika, persembahkanlah pada Seri Batara, yang aku ini matilah dengan pekerjaan Seri Batara. Adapun anakku seorang yang bernama Kertala Sari, maka sekarang ini iagi kusuruh mencuri ke Daha. Apabila ia datang, hendaklah Seri Batara kasihi dan peliharakan baik-baik, banyak ilmunya, lebih daripadaku." Setelah sudah ia berpesan kepada Barit Ketika, maka ia pun me-nyingsing kainnya, lalu masuk ke kampung Raja Meiaka. Maka ditikam-nya segala orang yang bertunggu itu dua tiga orang. Maka Laksamana pun tahulah, bahwa penjurit itu datang pula. Maka Laksamana pun menghunus penduanya. Maka Petala Bumi pun datang berlari-lari serta ditikamnya akan Laksamana. Laksamana pun tiada sempat melompat, karena Petala Bumi itu terlaiu deras datangnya seperti baling-baling. Maka Laksamana pun merebahkan dirinya, lalu berguling-guling di atas balairung itu. Sungguhpun ia berguling, mata kerisnya ke atas juga. Maka ditikam oleh Petala Bumi bersungguh-sungguh. Maka dipertubi-tubikannya tikaman itu, tiada juga kena. Maka oleh Laksamana diten-dangnya dada Petala Bumi, maka Petala Bumi pun terjatuh. Maka Lak samana pun bangun, lalu ditikam oleh Laksana Petala Bumi, terus ke belakang. Setelah Petala Bumi merasai luka itu, maka ia pun terjun lari ke bawah berdiri menantikan Laksamana di tengah halaman. Maka Lak samana pun datang, lalu memengkis katanya, "Cih! Mati engkau
oleh-ku," serta diparangnya kepala Petala Bumi, belah dua. Maka tubuhnya pun berguling-guling ke luar. Maka Laksamana pun menyarungkan keris panjangnya, lalu berjalan kembali. Maka Petala Bumi pun matilah di luar kampung Raja Meiaka. Setelah Barit Ketika melihat Petala Bumi mati itu, maka ia pun larilah mendapatkan Patih Gajah Mada itu.
Maka kata Patih Gajah Mada, "Sudahkah Laksamana itii mati?" Maka tiadalah disahutinya, karena ia ternganga-nganga seperti anj-ing kelelahan. Setelah berhenti lelahnya, maka kata Barit Ketika,
"Petala Bumi mati, akan Laksamana tiada mati. Ada suatu pesannya
paa manira." Maka segala pesan Petala Bumi itu semuanya
diberi-tahukan kepada Patih Gajah Mada.
Maka patih Gajah Mada pun terkejut heran tercengang-cengang, tiada terkata-kata mendengar Petala Bumi sudah mati itu.
Maka hari pun sianglah. Maka Petala Bumi pun bengkaklah tubuh
nya; lalu dilihat oranglah akan seorang perlintih mati di muka pintu Ra
ja Meiaka.
Maka segala hal ihwalnya kesemuanya itu dipersembahkan oleh Patih Gajah Mada pada Seri Batara. Maka Seri Batara pun tunduk tiada terkata-kata lagi. Maka pada tatkala itu Raja Melaka pun datang meng-hadap Seri Batara. Setelah dilihat oleh Seri Batara Raja Melaka datang itu, maka titah Seri Batara, "Sungguhkah kampung anakku dimasukkan pelintih? Bagaimana gerangannya itu?"
Maka jawab Raja Melaka, "Patih tiada periksa, Tuanku." Maka sahut Laksamana, "Sungguh, Tuanku, patik membunuh dia, tetapi perlintih itu mati atau tiada mati patik tiada tahu."
Maka titah Seri Batara, "Sabariah Laksamana! Kita pun suka akan Laksamana membunuh perlintih itu, karena dalam negeri ini banyak penjurit yang jahat-jahat."
Maka hidangan pun diangkat oranglah. maka makanlah masing-masing pada hidangannya. Setelah sudah makan, maka minuman pula datang pelbagai rupanya dan rasanya. Maka minumlah segala pegawai dan pertuanan. Maka Laksamana pun berasa khayali. Maka ia pun n.e-nyingsing tangan bajunya, lalu menggamak-gamak hulu kerisnya. Maka Seri Batara pun takutlah, lalu masuk ke dalam istana. Maka Raja Melaka pun kembali ke istananya. Maka Baginda pun musyawarat
hen-dak bermohon kembali ke Malaka.
Syahdan maka tersebutlah perkataan Bendahara Paduka Raja di negeri Malaka. Maka Bendahara Paduka Raja pun menyuruhkan Tun
Utama pergi ke Majapahit membawa.sura tmengatakan Raden Bahar
gering, karena rindu dendam akan ayahanda Baginda. Hatta maka Tun Utama pun berlayarlah. Beberapa lamanya, maka sampailah ke Tuban. Maka Tun Utama pun berjalanlah ke Majapahit. Setelah sampai ke Ma japahit, maka Tun Utama pun masuk menghadap Raja Melaka. Maka
Tun utama pun datang membawa surat.
Setelah Raja Melaka melihat Tun Utama datang itu, lalu bertitah, "Mari Tun Utama duduk. Apa pekerjaan Tun Utama datang ini?"
Maka Tun Utama pun duduk menyembah, seraya mengunjukkan surat kepada bentara Tun Jebat. Maka disambut oleh bentara Tun
Jebat, lalu dibacanya di hadapan Baginda. Setelah Raja mendengar isi surat itu, yang mengatakan paduka anakanda gering, maka Raja pun cucur air matanya, seperti buah bemban yang masak. Maka Baginda pun
bertitah kepada Laksamana, "Mari kita bermohon dan surat itu pun kita suruh baca di hadapan Seri Batara."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku."
di-iringkan oleh segala pegawai dan pertuanan. Maka tatkala itu Seri Batara pun sudah hadir di hadap orang. Maka Raja Melaka pun datang.
Maka titah Seri Batara, "Mari anakku duduk, dekat ayahanda di slni."
Maka Raja Melaka pun duduk menyembah. Maka surat itu puu
dibaca oleh Tun Jebat di hadapan Seri Batara dan Patih Gajah Mada.
Setelah seri Batara mendengar bunyi di dalam surat itu, maka titah Seri Batara, '^Jikalau demikian, baiklah anakku segera kembali, akrena cucuku sangat rindu akan anakku, itulah se'oabnya dia gering."
Maka sembah Raja Melaka, "Jikalau ada kurnia, esok hari patik
berjalan ke Tuban."
Maka titah Seri Batara, "Baiklah, mana bicara anakkulah. Jika
demikian nantilah ayahanda berlengkap."
Maka Seti Batara pun memberi anugerah akan segala raja-raja.
Melaka itu emas tiga bahara dan akan segala pegawai dan pertuanansekalian diberinya persalinan dan anugerah emas dan perak. Setelah
sudah maka Raja Melaka pun bermohonlah pada Seri Batara dan Patih
Oajah Mada.
Maka kata Patih Gajah Mada, "Hai anak Laksamana, jangan
lupa-kan ayahanda. Jika ada salah paham pada anak Laksamana, jangan
anak Laksamana ambil kecil hati.'
Maka sahut laksamana, "Kalau-kalau paman Patih juga lupa akan
maniru; oleh sahaya sehari-hari pun tiada lupa akan pamanku, siang
hari malam pun manira ingatlingat juga akan kasih paman kepada ktia
itu."Setalah Patih Gajah Mada mendengar sembah Laksamana demi
kian itu, maka Patih pun kemalu-maluanlah. Setelah itu, maka Raja
Melaka pun menyembah, lalu kembali ke istananya berlengkap.Maka titah Seri Batara, "Hai Patih Gajah Mada, jika selaku ini,
Laksamana itu tiadalah ia mati, sudah sekali, sekali pula."
Maka sembah Patih Gajah Mada, "Mudah-mudahan juga akan Ra
ja dan Laksamana itu mati. Ke negeri Melaka kita suruhkan penjurit
yang baik-baik tujuh orang, pergi mengalahkan negeri Melaka itu.
Disuruh curi hartanya orang negeri itu dan suruh bunuh Laksamana
itu."
Makin titah seri Batara, "Benarlah seperti kata Patih itu, bawalah kemari penjurit itu, kulihat."
Maka Patih pun menyuruh memanggil penjurit tujuh orang itu.
Merga Paksi, dapatkah engkau ketujuh bersaudara ini kusuruh mengalahkan sebuah negeri?"
Maka Merga Paksi pun tertawa sraya menyembah, katanya, "Tak-kan kuindah"Tak-kan mengalah"Tak-kan negeri sebuah itu. Patih seorang pun dapat mengalahkan negeri Malaka itu."
Maka titah Seri Batara, "Pergilah engkau ketujuh bersaudara mengalahkan negeri Malaka itu dan hulubalang yang bernama Laksamana itu bunuh olehmu, beri mati. Jika sudah engkau kerjakan, engkau ketujuh bersaudara ini kujadikan penggawa, di atas segala
peng-gawa yang banyak ini."
Setelah Merga Paksi mendengar titah Seri Batara, maka ketujuh beradiknya bercakaplah. Maka Sri Batara pun memberi anugerah akan dia emas dan perak dan pitis berpuluh-puluh laksa dan anak bininya diberinya anugerah. Maka Merga Paksi pun terlalu sukacita melihat
anugerah Seri Batara itu terlalu banyak akan dia. Maka Merga Paksi
pun bermohon pada Seri Batara, lalu berjalan ke Tuban menyamar
kepada rakyat Melaka.
Beberapa lamanya berjalan maka sampailah ke Tuban. Maka Raja Melaka pun bermohonlah kepada Adipati Tuban, lalu naik Sirulalamin,
lalu berlayar. Maka Merga Paksi ketujuh beradik pun menunipang
kepada Patih Karma Wijaya. Maka ia mengatakan dirinya orang Tuban, }iendak mendapatkan keluarganya di Melaka.Hatta beberapa lamanya berlayar, maka Raja pun sampailah ke kuala Melaka. Maka terdengarlah kepada Bendahara Paduka Raja,
Baginda sudah sampai ke kuala. Maka Bendahara Paduka Raja pun
datanglah ke kuala serta dengan Temenggung dan dibawanya gajahkenaikan serta dengan pegawai menyambut Raja. Setelah sampai Benda
hara pun sujud pada kaki Raja. Maka Raja pun memeluk Bendahara,
se-raya bertitah, "Apa kabar cucuanda itu?"
Maka sembah Bendahara, "Daulat Tuanku, insya Allah Taala paduka anakanda pun sehatlah dari gering itu."
Maka Raja pun turun dari atas kenaikan, lalu naik gajah kenaikan Baginda, lalu berangkat ke negeri, diiringkan oleh Bendahara dan
Laksamana dan segala pegawai dan pertuanan, '.alu ..lasuk ke istana
Raden Mas Ayu mendapatkan anakanda baginda Raden Bahar. Apabiia
Raden Bahar melihat ayahanda baginda datang itu, maka Raden Bahar
santaplah. Maka Baginda pun beradulah di istana Raden Mas Ayu
keempat berputra, tiga malam di istana Raden Mas Ayu. Maka Baginda
pun berhikayatkan hal Baginda di Majapahit, akan perbuatan Sri Batata
dan Patih Gajah Mada hendak membunuh Laksamana itu. Setelah
Raden mas Ayu mendengar hikayat Raja demikian itu, maka Raden MasAyu pun terlalu belas akan Laksamana.
Maka Raja pun pergilah ke istana Tun Teja. Tun Teja pun sudah
hadir persantapan dan persalinan serta bau-bauan. Setelah Raja datang,
LAKSAMANA DIBUANG RAJA MELAKA
Sebermula maka Merga Paksi tujuh beradik itu pun naik ke darat mencahari tempat singgah. Maka dilihatnya sebuah bukit di luar negeri itu, terlalu balk tempat bersembunyi dan tempat menaruh harta. Maka Merga Paksi pun pergilah ke bawah bukit itu. Maka dilihatnya banyak lembu kerbau. Maka penjurit itu mengambil seekor seorang, lalu diban-tainya. Setelah hari malam, maka pergilah dua orang mencuri arak di dalam negeri itu setempayan. Maka ia pun minumlah ketujuh bersau-dara itu. Setelah hari siang, maka ia .pun masuk menyamar ke dalam
negeri bermain-main, setlah temasa pada segenap pintu orang kaya-kaya
dan saudagar-saudagar. Setelah ratalah, maka ia pun kembali duduk pada tempatnya di bukit Cina itu. Setelah hari malam, maka MergaPaksi pun berjalanlah ke dalam negeri. maka masuklah pada kampung
seorang saudagar yang kaya. Maka dicurinya hartanya dan istri saudagar itu pun dicabulinya. Maka ketujuhnya pun sarat membawaharta itu. Maka ditaruhnya di bukit Cina itu. Maka ia duduk makan
minum bersuka-sukaan. Setelah hari malam, maka ia pun masuk men
curi. Maka banyaklah harta yang diperolehnya.Hatta dengan demikian, maka banyaklah saudagar di dalam negeri
itu yang hilang hartanya kecurian. Maka sekalian saudagar itu pun
datanglah menghadap Raja. Maka dipersembahkannya segala hal ihwal
ia kehilangan dengan kecurian itu. maka Raja pun tercengang seketika.
Maka kata Temenggung, "Sehari-hari patik menyuruh berkawal.
Baik-lah pada malam sekarang ini, patik sendiri turut berkawal pada segala
rumah satidagar itu."
Maka Merga Paksi pun masuklah ke dalam negeri itu. Maka dilihat
nya orang berkawal dengan lembing perisai masing-masing itu, maka
Merga Paksi pun masuk ke dalam orang yang berkawal itu; maka dicuri
nya pula di rumah saudagar yang lain.
Maka hari pun sianglah. Maka saudagar itu pun ma.snHah
Maka titah Raja, "Hai Temenggung, manatah diri berkawal, maka
saudagar ini kecurian semalam?"
Maka sembah Temenggung, "Patik mohonkan ampun dan kunia,
patik sendirilah yang berkawal, patik pun heran akan diri patik." Maka titah Baginda, "Bala apa yang datang atas negeriku ini?" Maka Baginda pun menyuruh memanggil Bendahara dan Laksa-mana;-serta datang, maka titah Baginda, "Apatah hal negeri kita ini,
binasalah segala saudagar-saudagar dan orang kaya-kaya habis kecuri
an. Apatah bicara Bendahara dan Laksamana?"
Maka Bendahara pun memandang pada Laksamana, serta berda-tang sembah, "Ya Tuanku, sudah patik menyuruh Temenggung ber
kawal."
Maka titah Raja, "Makin berkawal, makin kecurian."
Maka sembah Laksamana, "Daulat Tuanku Syah Alam, patik
mohonkan ampun dan kurnia, jika ada kurnia, patik hendak bermohon
ke bawah duli Tuanku tujuh hari juga, tiada patik jauh, sekadar patik
duduk di dalam negeri ini juga."
Maka titah Raja, "Laksamana pergi, siapatah teman kita?" Maka sembah Laksamana, "Tiada mengapa, Tuanku, patik hendak coba main penjurit itu juga."
Maka titah Raja, "Baiklah, jangan lama."
Maka Laksamana pun bermohonlah kepada Raja dan Bendahara, lalu kembali ke rumahnya. Maka diambillah irung dua biji. Maka dibu-buhnya obat bins dan beras sesumpit. Setelah hari malam, maka Laksa mana pun memakai serba hitam, lalu berjalan menggandar irung arak
dan sumpat beras itu berkeliling negeri. Maka tatkala itu, Merga Paksi
pun masuk berkeliling negeri, masuk ke kota hendak mencuri. Maka dilihatnya seorang menggandar irung arak dua buah .maka dikerumuninya, katanya, "Siapa engkau ini?"
Maka kata Laksamana, "Hamba ini orang lepas dari penjara, hen dak lari membawa diri, karena hamba ini orang berdosa."
Maka kata Merga Paksi, "Jika sungguh engkau hendak lari, mari-lah engkau bersama-sama aku ini?"
Maka kata Laksamana, "Baiklah."
Maka Laksamana pun pergilah mencuri bersama-sama dengan Merga Paksi itu ke rumah saudagar. Maka kata Laksamana, "Marilah hamba naik ke rumah saudagar ini."
Maka kata Merga Paksi, "Baiklah."
rumah saudagar itu. Maka diambilnya peti delapan biji. Maka dibawa-nya kepada Merga Paksi. Maka ia pun terlalu suka cita, lalu ke