• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR JARINGAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR JARINGAN SKRIPSI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PERTUMBUHAN KALUS DAUN LEMBAGA BIJI

TANAMAN JATROPHA CURCAS PADA MEDIA WHITE

DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR

JARINGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christophorus Aditya Nugraha NIM: 028114135

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Pergilah ke Rakyat, mulailah dari apa yang

mereka punya, bekerjalah bersama mereka,

hasilkanlah sesuatu yang berguna bagi mereka,

dan apabila mereka sudah mendapatkan atas apa

yang mereka butuhkan, biarlah mereka yang

berkata : “kami sudah bekerja dan menghasilkan

sesuatu bagi kami”

(Mao Tse)

“Jika anda berpikir ke depan, taburlah benih. Jika

anda berpikir 10 tahun ke depan, tanamlah

sebatang pohon. Jika anda berpikir 100 tahun ke

depan, didiklah Rakyat.”

(Kuan Tsu)

”Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu

lakukan untuk salah seorang dari yang paling

hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk

Aku.” Sebab, Iman tanpa perbuatan itu kosong.

(5)
(6)

INTISARI

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Indonesia saat ini masih belum digunakan secara luas untuk bahan pengobatan. Masyarakat Indonesia sering menggunakan tanaman ini sebagai antiseptik, laksatif dan purgatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang golongan terpenoid antara kalus hasil budidaya in-vitro dengan biji dari tanaman asalnya.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan acak lengkap pola searah. Eksplan yang berasal dari daun lembaga biji tanaman Jatropha curcas ini ditumbuhkan pada media White dengan penambahan zat pangatur tumbuh yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) : Benzylaminopurine (BAP) (2:2). Pengamatan dilakukan terhadap waktu inisiasi kalus, ukuran bobot kalus basah awal dan akhir, grafik pertumbuhan dan hasil KLT kalus dengan biji tanaman asalnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu inisiasi kalus pada media White dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2 : 2 (NAA : BAP) yakni 4 hari. Pada hari ke-20 terjadi pertumbuhan maksimum kalus dimana hal ini juga memperlihatkan fase stasioner. Kandungan air dalam kalus menunjukkan peningkatan saat waktu tanam dan mulai tetap pada hari ke-4 hingga ke-32. Kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas memiliki bercak kromatografi lapis tipis yang sama dengan biji tanaman asalnya dengan menggunakan teknik multiple elution sebanyak 3 kali dengan harga Rf pada kalus sebesar 0,275.

Kata kunci : Jatropha curcas, kalus, kultur jaringan.

(7)

ABSTRACT

In Indonesia, at present “jarak pagar” (Jatropha curcas) still widely used as a medicine yet. Indonesian people used this plant as an antiseptic, lacsative and also purgative. The goal of this research is to get some information about the comparison of terpenoid between callus from in-vitro cultivation and seed from the original plant.

This research was a non-experimental descriptive observation using complete randomly arrangement. And then, the explant from cotyledon of Jatropha curcas seed was planted at White medium with concentration of growth hormone 2: 2 for Naphthalene acetic acid: Benzylaminopurine. The variable of observation for this research are time of initiate callus, weight of callus after planted and after harvest and also Thin Layer Chromatography profile of callus and seed from the plant.

The result shows that the time of initiate callus in White medium with the concentration of NAA and BAP (2: 2) are 4 days. At the 20th day there was maximum growth of callus, and it means the stationer phase. The callus water contains get increased when planting and then get stationer from day 4th till 32nd days. The callus from cotyledon of Jatropha curcas has Thin Layer Chromatography spot which is similar with the seed from the plant using multiple elution technique at 3 times with Rf about 0,275.

Keyword : Jatropha curcas, callus, tissue culture.

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih ke Hadirat Sang Pencipta atas segala rahmat

tuntunan dan pendampingan serta kasih yang telah dilimpahkan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Profil Pertumbuhan Kalus Daun Lembaga Biji Tanaman Jatropha Curcas Pada Media White Dengan Menggunakan Teknik Kultur Jaringan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi.

Penelitian hingga tahap penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai,

tanpa bantuan serta doa dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Keluarga besar terutama BAPAK dan IBU atas segala doa, nasehat dan

pengorbanannya yang telah mendorong dan menyemangati. Bayu dan Topan

atas doa, pengertian, bantuan dan selalu mengingatkan hingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Ignatius Yulius Kristio Budiasmoro, M.Si., selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak masukan

pengetahuan, kesabaran dan diskusi dalam membimbing selama penelitian dan

penulisan skripsi ini.

3. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah

bersedia menguji dan memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah

bersedia menguji dan memberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

(9)

5. Seluruh dosen (khususnya Bpk. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Bpk Dr. Sabikis

dan Bpk Dr. Pudjono, S.U., Apt.) dan karyawan (terutama Bpk Kasiran)

Fakultas Farmasi atas bimbingan selama 4 tahun ini.

6. Seluruh laboran Fakultas Farmasi, terutama laboran Laboratorium Biologi

(Mas Sigit, Mas Wagiran, Mas Andri dan Mas Sarwanto) atas segala bantuan

dan dukungannya selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan yang penelitiannya di Laboratorium Kultur

Jaringan (Pak Eko, Vicky, Dony, Melisa dan Ancol). Vero, Mina, Ratna dan

Christin yang telah bersedia membagikan pengetahuan selama penelitian

8. Tjun Liong S.Farm., dan Valentino Dhiyu Asmoro, S.Farm., yang telah ambil

bagian dalam proses dan dinamika melalui diskusi dan debat selama di

Fakultas Farmasi serta seluruh teman-teman kelompok E angkatan 2002 atas

kebersamaan dan bekerjasamanya dalam segala hal dan teman-teman kelas C

yang lain.

9. Sahabat dan teman yang selalu mengingatkan dan mengajarkan arti

kedewasaan dan perjuangan. Heni (atas segala dukungan, perhatian dan kasih

sayang serta telah memberi “warna dan rasa” hidupku). Tedy, Mbatu, Okhi

dan Yoyo (yang telah mengajariku arti sebuah perjuangan untuk berbuat bagi

sesama). Teman-teman BEMU 2005, Insadha 2004 dan seluruh civitas

akademika Universitas Sanata Dharma (yang telah mendewasakanku untuk

mengerti apa arti sebuah kepemimpinan), Bayu, Sumin, Bani, Felix dan Ibu

Bapak kost (yang telah bersedia berbagi keceriaan selama berada di kost).

(10)

10.Bangsa dan Negara Republik Indonesia atas keindahan alam, keanekaragaman

hayati dan masyarakat yang plural serta para Pahlawan Nasional (Bung Karno,

Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Rm. Magunwijaya dll) yang telah

memberikan inspirasi bagiku.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung,

membantu dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Hyang Maha Kuasa selalu memberikan dan membalas rahmat kasih,

kebaikan dan ketulusan yang telah dirasakan penulis selama ini.

Dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan yang

masih harus diperbaiki. Maka dari itu, penulis masih mengharapkan banyak

masukan saran dan kritik demi kesempurnaan karya skripsi ini sehingga dapat

lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.

Yogyakarta, 10 Februari 2007

Penulis.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v

INTISARI………... vi

ABSTRACT………. vii

KATA PENGANTAR………... viii

DAFTAR ISI………... xi

DAFTAR TABEL………... xvi

DAFTAR GAMBAR……….. xvii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii

BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang………... 1

B. Permasalahan………... 2

C. Keaslian Penelitian………... 3

D. Manfaat Penelitian………... 3

E. Tujuan Penelitian………... 4

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA A. Tanaman Jatropha curcas………... 5

(12)

1. Nama daerah……… 5

2. Nama ilmiah……… 5

3. Morfologi……… 5

4. Kandungan kimia………... 7

5. Khasiat dan Kegunaan………... 8

B. Terpenoid ………... 10

C. Kultur Jaringan Tanaman………12

1. Kultur jaringan……… 12

2. Kalus………... 14

3. Eksplan……….... 15

4. Menabur eksplan………. 16

5. Sub kultur………... 18

6. Pertumbuhan kalus……….. 18

D. Media Kultur Jaringan………. 19

1. Unsur makro………... 20

2. Unsur mikro……… 21

3. Vitamin………... 22

4. Zat pengatur tumbuh dan hormon...………... 23

5. Bahan pemadat media………... 25

6. Sukrosa……….... 26

7. Lingkungan………... 26

E. Sterilisasi ………... 28

F. Kromatografi Lapis Tipis………... 31

(13)

1. Fase diam……… 32

2. Fase gerak………... 33

3. Penempatan cuplikan………... 33

4. Elusi……… 34

5. Deteksi……… 34

6. Penilaian kromatografi…..………... 35

G. Keterangan Empiris.……… 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian………. 38

B. Definisi Operasional….……….. 38

C. Bahan dan Alat……….……….. 39

1. Bahan……….. 39

2. Alat………... 41

D. Tata Cara Penelitian….……….. 42

1. Determinasi tanaman……….. 42

2. Pemilihan eksplan………... 42

3. Pengumpulan bahan……… 42

4. Pembuatan stok………... 43

5. Pembuatan media……….... 44

6. Sterilisasi………. 45

7. Penanaman eksplan………... 46

8. Inisiasi kalus……….... 47

9. Subkultur………. 47

(14)

10.Pemanenan kalus………. 48

11.Analisis pertumbuhan kalus……….... 48

12.Pembuatan serbuk………... 49

13.Uji KLT ekstrak kalus daun lembaga dan biji tanaman Jatropha curcas.. 50

E. Analisis Hasil……….. 51

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Jatropha curcas…...……… 52

B. Penentuan Eksplan………... 52

C. Waktu Inisiasi Kalus..……….. 55

D. Deskripsi Kalus……….... 57

E. Subkultur……….. 59

F. Analisis Profil Pertumbuhan Kalus……….. 60

1. Pola pertumbuhan kalus………... 60

2. Persen kadar air...………... 62

G. Pengeringan dan Pembuatan Serbuk……….... 64

H. Kromatografi Lapis Tipis………... 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 76

B. Saran………... 76

DAFTAR PUSTAKA………... 78

LAMPIRAN………... 81

BIOGRAFI PENULIS………... 89

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak

n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika

gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO3 2,5%

di semprot dengan reagen vanillin-sulfat... 70

Tabel II. Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak

n-hexane : aseton : methanol (80:15:5) dan fase diam silika

gel GF 254 yang dicelupkan pada larutan AgNO3 2,5%

di semprot dengan reagen antimon-triklorida ... 72

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Foto pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu………. 58

Gambar 2. Pola pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu……….. 60

Gambar 3. Persen kadar air………..………... 63

Gambar 4. Struktur isoprene………... 68

Gambar 5. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen vanillin-sulfat……….. 74

Gambar 6. Kromatogram kalus dan biji Jatropha curcas setelah di semprot dengan reagen antimon-triklorida………... 75

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat determinasi tanaman……….……….….. 81

Lampiran 2. Foto-foto hasil penelitian……….……. 82

Lampiran 3. Komposisi media white……….….... 86

Lampiran 4. Hasil penimbangan pemanenan kalus dari hari ke hari... 87

Lampiran 5. Persen kadar air... 88

(18)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian besar penelitian untuk

mengeksplorasi budidaya tanaman Jatropha curcas khususnya dengan

menggunakan metode kultur jaringan. Pengembangan budidaya tanaman Jatropha

curcas ini dilakukan dalam rangka penggunaannya sebagai tanaman obat.

Jatropha curcas berpotensi menghasilkan jenis metabolit sekunder yang

bermanfaat dalam bidang farmasi salah satunya yakni terpenoid yang dapat

digunakan sebagai bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Masyarakat

Indonesia biasanya menggunakan daun tanaman ini untuk penyakit eksim, jamur

dan mencegah masuk angin bagi bayi.

Untuk membudidayakan kalus tanaman Jatropha curcas yang nantinya

dapat menghasilkan terpenoid yang diharapkan, maka digunakan dua macam ZPT

yakni Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) merupakan

golongan hormon sintetis (zat pengatur tumbuh) dimana NAA mempunyai fungsi

untuk menginisiasi dan BAP untuk mendorong pertumbuhan kalus. NAA

merupakan golongan ZPT auksin sedangkan BAP adalah golongan ZPT sitokinin.

NAA dan BAP mempunyai kelebihan dibandingkan dengan ZPT golongan auksin

dan sitokinin yang lain, diantaranya yaitu NAA dan BAP relatif tahan terhadap

pemanasan terutama saat proses sterilisasi media, sifat kimia NAA dan BAP stabil

(19)

terhadap penguraian yang dilakukan oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Profil pertumbuhan kalus merupakan salah satu parameter untuk

mengetahui fase pertumbuhan dari kalus yang sedang dikulturkan yakni fase lag,

eksponensial dan penuaan (George dan Sherrington, 1984). Pengolahan kultur

kalus dengan menggunakan sistem bioreaktor memerlukan profil pertumbuhan

kalus untuk mengetahui waktu yang tepat saat pemanenan ataupun penggantian

media kultur sehingga metabolit sekunder yang dihasilkanpun dalam keadaan

optimal (Misawa, M., 1994). Dalam dunia kefarmasian, teknik kultur jaringan

sangat bermanfaat dalam produksi metabolit sekunder yang bernilai ekonomi

dengan cara mengambil metabolit sekunder yang dihasilkan dengan melakukan

pada suatu bioreaktor dimana sistem ini dapat menghasilkan sejumlah besar

metabolit sekunder dalam waktu yang singkat (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Biji tanaman ini mengandung banyak terpenoid (Sinaga, 2005) sehingga

daun lembaga biji digunakan sebagai eksplan untuk dikembangkan secara kultur

jaringan. Media White merupakan medium dasar dengan konsentrasi

garam-garam mineral yang rendah dimana tanaman berkayu lebih suka media yang

berkonsentrasi rendah (Rao dan Lee cit Katuuk, 1979).

B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah potongan daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dapat

(20)

2. Seperti apakah profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman

Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu

Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) ?

3. Apakah kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman Jatropha curcas

mengandung golongan terpenoid yang sama dengan biji tanaman asalnya?

C. Keaslian penelitian

Sejauh pengamatan peneliti hingga penelitian ini disusun, belum ada

penelitian tentang profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman

Jatropha curcas L. pada media White dengan menggunakan teknik kultur

jaringan.

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasilnya dapat membantu

pengembangan ilmu farmasi khususnya mengenai kultur kalus daun lembaga dari

biji tanaman Jatropha curcas untuk menghasilkan metabolit sekunder yang

diinginkan yakni golongan terpenoid.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana informasi untuk

memproduksi metabolit sekunder daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas

secara cepat dan efisien dengan menggunakan teknik kultur jaringan yakni dengan

(21)

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan teknik kultur jaringan

pada daun lembaga dari bijitanaman Jatropha curcas.

2. Tujuan khusus

Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan

dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui bahwa daun lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas dapat

membentuk kalus dengan teknik kultur jaringan.

b. Mengetahui bentuk profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji tanaman

Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu

Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP)

c. Membandingkan hasil KLT kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman

Jatropha curcas dengan biji tanaman asalnya untuk mengetahui kesamaan

(22)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman Jatropha curcas L. 1. Nama daerah

Nawaih nawas (Aceh); Jarak kosta (Melayu); Jirak (Minangkabau); Jarak

gundul, Jarak iri, Jarak pager, Jarak cina (Jawa); Bintalo (Gorontalo); Bindalo

(Buwol, Sulawesi); Malate, Maka male (Seram) (Sinaga, 2005).

2. Nama ilmiah

Tanaman Jatropha curcas termasuk dalam familia Euphorbiacea. Genus

dari tanaman ini adalah Jatropha L. (Anonim, 2005a).

3. Morfologi

Jatropha curcas sangat baik untuk beradaptasi pada daerah dengan

kondisi yang kering atau kurang subur. Pertumbuhan Jatropha curcas yang baik

justru pada daerah yang panas yaitu pada daerah tropis. Jatropha curcas ini

mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim dan tidak sensitif

terhadap lama waktu penyinaran matahari. Tanaman ini merupakan spesies yang

sangat mudah untuk beradaptasi, namun ketangguhan tanaman ini berasal dari

kemampuannya untuk dapat tumbuh pada lahan kritis dan kondisi iklim yang

kering (Anonim, 2005a).

Tanaman Jatropha curcas merupakan tanaman perdu atau pohon kecil,

bercabang-cabang tidak teratur, tinggi sekitar 1–7 meter. Batangnya berkayu,

silindris, bercabang, berkulit licin, memiliki tonjolan-tonjolan bekas tangkai daun

(23)

yang gugur. Bila dipatah-patahkan atau terluka, batangnya akan mengeluarkan

getah putih, kental dan agak keruh (Sinaga, 2005).

Tanaman ini merupakan tanaman berdaun tunggal, tersebar di sepanjang

batang. Permukaan atas dan bawah daun berwarna hijau, tetapi permukaan bawah

lebih pucat dari permukaan atas. Daun lebar, berbentuk jantung atau bulat telur

melebar, dengan panjang dan lebar hampir sama, yaitu sekitar 5–15 cm. Helai

daun bertoreh, berlekuk bersudut 3 atau 5. Pangkal daun berlekuk dan ujung dari

pangkal daun meruncing. Tulang daun menjari dengan 5–7 tulang utama. Tangkai

daun panjang, sekitar 4–15 cm (Sinaga, 2005).

Tanaman ini mempunyai bunga majemuk bentuk malai, berwarna kuning

kehijauan, berkelamin tunggal, berumah satu. Baik bunga jantan maupun betina

Jatropha curcas ini tersusun dalam rangkaian berbentuk cawan, muncul di ujung

batang atau di ketiak daun. Jatropha curcas memiliki bunga dengan kelopak 5

buah berbentuk bulat telur, panjang sekitar 4 mm. Benang sari dari tanaman

Jatropha curcas mengelompok pada pangkal, warna kuning. Jatropha curcas

pada tangkai putik berukuran pendek berwarna hijau, dan kepala putik

melengkung keluar berwarna kuning. Mahkota pada putik Jatropha curcas

berjumlah 5 buah, berwarna agak keunguan (Sinaga, 2005).

Buah Jatropha curcas ini berupa buah kotak berbentuk bulat telur,

diameter 2–4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika sudah

masak. Buah tanaman ini terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi

(24)

Ketika biji Jatropha curcas sudah masak ditandai dengan adanya

perubahan warna dari hijau menjadi kuning, sekitar 2 hingga 4 bulan dari masa

fertilisasi. Lapisan kulit yang tipis hitam tersebut didalamnya terdapat biji

Jatropha curcas (Anonim, 2005b), tiap buah terdapat 3 biji, berbentuk elips,

ruang biji berbentuk segitiga elips, 1.5-2 x 1-1.1 cm (Anonim, 2005a). Biji

berbentuk bulat telur memanjang agak bengkok. Sisi cekung dibagi dua di tengah

oleh rafe. Panjang 1.5 cm sampai 2 cm, diameter 10 mm hingga 12 mm. Pada

pangkal biji terdapat tonjolan seperti karunkula. Kulit luar biji (testa) agak rapuh,

warna hitam, tidak rata, agak kasar. Kulit dalam (tegmen) berwarna putih, tipis

berkerut dan beralur-alur. Inti biji berwarna putih sampai kekuning-kuningan.

Lembaga berupa selaput tipis yang lebar, terdapat di antara keping biji (Anonim,

1995a).

4. Kandungan kimia

Pada genus Jatropha secara keseluruhan mempunyai senyawa metabolit

sekunder lainnya yakni lignan, diterpen, triterpen dan peptida siklik (Roberto et

all, 2004). Tanaman Jatropha curcas mengandung bahan kimia diantaranya

triakontranol, kaempesterol, stigmasterol, iteksin, dan asam sianida (HCN). Pada

daun tanaman ini mengandung saponin, flavonoida, tannin, terpenoid dan

senyawa polifenol. Sedangkan batang tanaman ini mengandung sponin,

flavonoida, tannin dan senyawa–senyawa polifenol. Getah Jatropha curcas

mengandung tannin 11–18 persen. Pada bagian biji tanaman Jatropha curcas

mengandung berbagai senyawa alkaloid, saponin, terpenoid dan sejenis protein

(25)

5. Khasiat dan kegunaan

Berdasarkan jurnal yang diacu dalam penelitian ini dikatakan bahwa

terpenoid yang berasal dari daun dan akar tanaman jarak dapat digunakan sebagai

bahan anti-bakteri (Roberto Can Aké, dkk, 2004). Bagian dari akar, batang, daun

dan buah dari tanaman ini sudah digunakan secara luas pada pengobatan

tradisional di banyak daerah belahan Afrika barat. Biji dari Jatropha curcas sudah

digunakan sebagai bahan purgatif, anti-helmantik, dan baik digunakan untuk

mengatasi penyakit kulit, asam urat, ascites dan paralisis. Minyak dari biji

tanaman ini sudah digunakan sebagai bahan tambahan pada terapi penyakit

rematik, gatal-gatal dan penyakit parasit kulit serta terapi pada demam, jaundice

dan gonorrhoea, sebagai diuretik dan larutan penyegar mulut. Pada beberapa

daerah tertentu di Afrika, masyarakat mengunyah biji untuk mendapatkan efek

laksatif. Biji Jatropha curcas juga sudah mulai disarankan dalam pengobatan

sebagai bahan chemotherapeutic yang tersedia pada dosis non-letal (Adam, 1974).

Keadaan ini mungkin dilaporkan karena biji Jatropha curcas mempunyai aktivitas

anti-helmantik. Terdapat laporan dari Gabon bahwa 1-2 buah biji cukup untuk

mempunyai aktivitas sebagai bahan purgatif; bila dosis ditingkatkan maka dapat

mengakibatkan kematian (Anonim, 2003). Penyebab kematian diantaranya

disebabkan oleh adanya senyawa toksik yakni cursin dengan cara merusak

dinding pembuluh darah (Perry dan Metzger, 1980).

Getah dari Jatropha curcas diaplikasikan secara langsung pada luka dan

bahan pembalut luka serta sebagai bahan astrigen untuk membersihkan mulut,

(26)

cara dikunyah. Getah mempunyai daya antibiotik melawan Candida albicans,

Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyrogens. Selain itu juga mempunyai efek sebagai bahan

anti-koagulasi pada darah (Anonim, 2005a). Getah dari Jatropha curcas mengandung

sebuah alkaloid yang dikenal dengan sebutan jatrophine, dimana dipercayai

mempunyai efek anti-kanker. Juga digunakan secara eksternal pada penyakit kulit

dan rematik serta luka terbuka pada daerah tertentu (Anonim, 2006b). Getah juga

digunakan secara topikal untuk bee dan wasp stings (Duke, 1983).

Ekstrak metanol dari daun Jatropha curcas menghasilkan perlindungan

pada kultur sel lymphoblastoid manusia melawan efek sitopatik dari plasma HIV.

Infusa daun digunakan sebagai bahan diuretik, untuk mandi, terapi batuk, dan

sebagai terapi konvulsan serta penangkal serangan penyakit. Daun juga digunakan

untuk terapi jaundice, demam, sakit rematik, cacingan dan pertumbuhan janin

yang buruk pada ibu hamil. Daun memproduksi getah yang mempunyai efek

haemostasis; daun ini digunakan untuk membungkus luka. Di Ghana, abu bakaran

daun diaplikasikan melalui injeksi rektal untuk terapi haemorrhoids (Anonim,

2005a).

Akar dari Jatropha curcas memperingan pembengkakkan akibat tetanus

dan rasa sakit akibat luka, disentri dan jaundice. Dilaporkan bahwa akar

digunakan sebagai bahan anti-bisa dari gigitan ular. Akar juga digunakan dalam

bentuk sediaan dekok yang mempunyai fungsi sebagai cairan penyegar mulut

(27)

digunakan untuk mengobati penyakit skabies, cacing pita dan eksim (Duke,

1983).

B. Terpenoid

Terpen merupakan senyawa hasil kondensasi linear asam asetat dengan

dua atom karbon. Asam asetat melalui berbagai cara akan menjadi asam malonat

yang akhirnya akan menjadi beberapa senyawa terpen. Senyawa ini banyak

terdapat dalam berbagai jenis tanaman sebagai komponen minyak atsiri. Terpen

merupakan senyawa hidrokarbon jenuh atau tidak jenuh dengan jumlah atom

karbon (C) kelipatan 5 (Soemarno cit. Mursyidi, 1990).

Menurut Soemarno (cit. Mursyidi, 1990), istilah terpen kemudian diganti

dengan terpenoid mengingat senyawa hidrokarbon tersebut mempunyai gugus

fungsional yang mengandung atom O dan diketahui bahwa biosintetik terpenoid

merupakan polimerisasi senyawa isopren. Terpenoid biasanya digolongkan

menjadi :

1. Monoterpenoid dengan jumlah atom C = 10.

2. Seskuiterpenoid dengan jumlah atom C = 15.

3. Diterpenoid dengan jumlah atom C = 20.

4. Sesterpenoid dengan jumlah atom C = 25.

5. Triterpenoid dengan jumlah atom C = 30.

6. Tetraterpenoid dengan jumlah atom C = 40.

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di

(28)

sel kelenjar khusus pada permukaan daun, sedangkan karotenoid terutama

berhubungan dengan kloroplas didalam daun dengan kromoplas di dalam daun

bunga (petal). Biasanya ekstraksi terpenoid dari jaringan tanaman dilakukan

dengan cara memakai petroleum eter, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan

secara kromatografi pada silika gel atau alumina. Pemeriksaan golongan terpenoid

dilakukan dengan cara dilakukan penyemprotan dengan asam sulfat pekat dan

kemudian diteruskan dengan pemanasan (Harbone, 1987).

Banyak jenis macam terpenoid sudah diidentifikasi dan diketahui peran

aktif dalam berbagai macam tanaman. Sifat yang cukup kelihatan yaitu dalam

mengatur pertumbuhan. Dua dari golongan utama pengatur tumbuh ialah

seskuiterpenoid absisin dan giberelin yang mempunyai kerangka dasar

diterpenoid. Selain itu golongan karotenoid juga turut berperan bagi tanaman

yakni sebagai pigmen pembantu pada fotosintesis. Golongan terpenoid lain yang

turut membantu tanaman yakni mono- dan seskuiterpen dimana berfungsi untuk

memberi bau dan wangi khas yang sudah diketahui (Harbone, 1987).

Masih dalam dugaan bahwa terpenoid ini turut berperan pada antaraksi

antara tanaman dengan hewan, misalnya sebagai alat komunikasi dan pertahanan

pada serangga. Pada suatu terpenoid tertentu yang tidak mudah menguap telah

diimplikasikan sebagai hormon kelamin pada fungus (Harbone, 1987). Terpenoid

diminati untuk diteliti lebih jauh yakni untuk mengetahui sejauh mana peran

terpenoid sebagai pelindung terhadap serangga yang pada akhirnya dapat

(29)

Pada golongan diterpenoid, perhatian besar telah diberikan kepada

segolongan ester diterpenoid rumit yang diisolasi dari tanaman sekeluarga

Euphorbiaceae yang mempunyai aktivitas sebagai antimikrobial, anti tumor

karena efek sitotoksiknya (Roberto et all, 2004), antileukimia dan senyawa

pengiritasi kulit kuat yang pada akhirnya juga sangat bermanfaat sebagai bahan

penelitian sebagai kontrol positif terhadap proses iritasi kulit dan tentunya juga

tingkat iritasi ini telah di standarisasi terlebih dahulu (Robinson, 1991).

Manusia telah melakukan penelitian dan pengembangan terpenoid dalam

rangka untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat terutama digunakan

sebagai tanaman obat-obatan. Diantaranya telah menunjukkan berbagai macam

aktivitas fisiologis manusia yakni gangguan menstruasi, malaria, kerusakan hati,

fungisida, patukan ular, diabetes dan sebagainya (Robinson, 1991).

C. Kultur Jaringan Tanaman 1. Kultur jaringan

Jenis pembiakan secara vegetatif yang paling mutakhir dan terus

dikembangkan adalah kultur jaringan. Menurut Suryowinoto (1991) cit Katuuk

(1989), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel

cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah

sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur

jaringan adalah membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil

atau planlet yang mempunyai sifat seperti induknya dalam lingkungan aseptis.

(30)

oleh Schleiden dan Schwann, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom

yaitu kemampuan tiap sel untuk tumbuh tanpa harus berdiferensiasi namun tiap

sel tadi secara otomatis terkarakterisasi untuk tumbuh menjadi organ baru bagi

tanaman; bahkan memiliki kemampuan totipotensi (Hendaryono dan Wijayani,

1994) yakni kemampuan tiap sel, darimana saja bagian sel itu diambil dan apabila

diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman

yang sempurna (Suryowinoto, 1991 cit Hendaryono dan Wijayani 1994). Kultur

jaringan merupakan salah satu jenis pembiakan vegetatif dan termasuk dalam

kultur in vitro (Katuuk, 1989).

Dari teori sel Schleiden dan Schwann, umumnya kemampuan totipotensi

ini lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang juvenil, muda, dan banyak

dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman (Santoso dan Nursandi, 2002).

Sebab, jaringan meristem keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan

mempunyai zat hormon yang mengatur pembelahan (Hendaryono dan Wijayani,

1994).

Macam-macam jenis kultur jaringan yang telah berkembang dan

digunakan secara luas saat ini antara lain : kultur meristem yaitu budidaya

jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem; kultur

pollen yaitu kultur jaringan dengan menggunakan eksplan dari pollen atau benang

sari; kultur protoplas yaitu kultur jaringan dengan menggunakan eksplan dari

protoplas, dimana protoplas itu sendiri yakni sel hidup yang telah dihilangkan

dinding selnya; kultur kloroplas yaitu kultur jaringan dengan menggunakan

(31)

membuat varietas baru); Silangan protoplas/fusi protoplas yaitu menyilangkan dua

macam protoplas menjadi satu, kemudian dibudidayakan sampai menjadi tanaman

kecil yang mempunyai sifat baru (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Budidaya meristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari

eksplan yang ditanam. Eksplan merupakan potongan jaringan atau organ yang

dikulturkan (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989 ).

Beberapa keunggulan pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan adalah

dapat memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel

untuk kegunaan komersil, dapat menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit

yang disebabkan oleh virus, dapat memperbanyak tanaman yang sukar

diperbanyak dengan memakai biji, dapat memperoleh tanaman induk yang sama

sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak, dan dapat menghasilkan tanaman

baru sepanjang tahun (Katuuk, 1989).

2. Kalus

Kalus sebenarnya adalah proliferasi massa jaringan yang belum

terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan,

sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin

banyak kalus yang terbentuk. Dengan pengambilan metabolit sekunder dari kalus,

biasanya malah dapat diperoleh kandungan lain yang lebih banyak jenisnya,

karena seringkali timbul zat-zat terpenoid atau persenyawaan-persenyawaan

lainnya yang sangat berguna khususnya dalam bidang pengobatan (Hendaryono

dan Wijayani, 1994). Teknik kultur jaringan dicirikan oleh kondisi kultur aseptik,

(32)

Pengatur Tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya

terkontrol (Yustina, 2003).

Kumpulan sel pada kalus ini belum diketahui jelas apa fungsinya. Kalus

yang terbentuk ini diharapkan terjadi morfogenesis dengan cara pengkulturan

yang berulang-ulang dari media lama ke media yang baru. Teknik pemindahan

eksplan ini disebut subkultur (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Katuuk, 1989).

Benzilaminopurin (kelompok sitokinin) dan Naftalen Asam Asetat

(kelompok auksin sintesis) merupakan dua kelompok ZPT yang sering

ditambahkan dalam media kultur. Penggunaan bersama kedua jenis ZPT ini dapat

memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Kombinasi ZPT

antara sitokinin group dengan auksin group dengan metode Mohr merupakan

kunci keberhasilan dalam kultur jaringan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui

berapa dosis kombinasi ZPT auksin dan sitokinin yang dapat memberikan

pertumbuhan yang paling baik terhadap eksplan yang digunakan (Hendaryono dan

Wijayani, 1994).

3. Eksplan

Eksplan adalah bagian tanaman yang sesuai, yang kemudian dijadikan

semacam benih untuk membentuk pertumbuhan selanjutnya (Wetherell, 1982).

Besarnya ukuran eksplan yang ditanam dalam beberapa kasus menentukan

terbentuknya kalus atau tidak. Eksplan yang berukuran kecil akan cenderung

kalus, sedangkan eksplan yang ukurannya lebih besar potensial untuk

(33)

Menurut Soegihardjo (1990), bahan eksplan dapat dipilih sebagai berikut

dengan tumbuhan yang dimaksud :

a. Gymnospermae : tunas kecambah steril atau bagian floem

b. Graminal : lembaga, mesokotil, akar atau bagian batang

c. Dicotyledoneae : kecambah steril (akar, hipokotil, keping biji), batang, umbi

dan daun

d. Zingiberaceae dapat digunakan rimpang muda yang bertunas atau biji.

Menurut George dan Sherington (1984), semakin besar eksplan yang

digunakan maka semakin besar kemungkinan eksplan akan terkontaminasi oleh

mikroorganisme. Oleh karena itu perlu dicari ukuran eksplan yang minimun dan

efektif. Eksplan yang terlalu kecil tidak akan tumbuh secepat eksplan yang

ukurannya terlalu besar. Biasanya eksplan yang terlalu kecil daya tahannya

kurang. Ukuran yang paling baik adalah jika sel berjumlah sekitar 20.000-25.000

buah (Thorpe cit. Katuuk, 1989).

Macam eksplan, ukuran, umur dan cara pembudidayaan akan

mempengaruhi berhasil tidaknya kultur jaringan tanaman dan apakah

morfogenesis akan dapat diimbas dari kultur jaringan tanaman tersebut. Aturan

sederhana yang mungkin dapat digunakan sebagai pegangan adalah bahwa kita

harus menggunakan tanaman sumber eksplan yang sehat dan tumbuh kuat,

memilih jaringan yang muda dan menggunakan eksplan yang cukup besar

(34)

4. Menabur eksplan

Menabur eksplan dilakukan didalam laminar air flow dengan kondisi

aseptik. Sebelum kita bekerja di dalam laminar air flow ini, semua perhiasan yang digunakan seperti cincin, jam tangan dan sebagainya harus dilepas, dan tangan

harus dibasuh dahulu dengan alkohol 70%. Dalam menabur eksplan, pekerja harus

menggunakan masker penutup mulut atau hidung (Hendaryono dan Wijayani,

1994).

Penanaman eksplan atau penaburan eksplan dilakukan secara aseptik pada

media padat dan ditekan pelan-pelan agar terjadi persinggungan yang baik antara

eksplan dan media. Selanjutnya media ditutup dengan penutup botol media

erat-erat untuk mencegah penguapan dan inkubasi dilakukan ditempat gelap dengan

penyinaran pada suhu (25±3)0C (Dixon, 1985).

Untuk eksplan yang berupa daun diletakkan telungkup atau telentang,

tetapi berdasarkan pengalaman posisi terbaik adalah bagian dorsal menghadap ke

atas atau ditelungkupkan. Untuk batang atau tunas yang melekat di batang

(cabang) ditancapkan atau diletakkan horisontal. Eksplan yang berupa kepingan

atau irisan tipis dapat diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian permukaan

yang luas melekat erat pada media (Soegihardjo, 1990).

Beberapa hari kemudian akan terbentuk kalus pada permukaan eksplan.

Terbentuknya kalus karena pembelahan sel yang cepat dari sel-sel tanaman. Kalus

juga terbentuk karena adanya luka dari bagian tanaman (George dan Sherrington,

(35)

5. Subkultur

Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sub kultur adalah usaha untuk

mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga

kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus atau protokormus dapat dipenuhi.

Dengan pertumbuhan kalus pada tempat yang tertutup, lama kelamaan akan dapat

menyebabkan terjadinya akumulasi dari metabolit toksis serta dapat menyebabkan

pengeringan dalam media sehingga dapat pecah. Cara pemindahan dilakukan

dengan cara memindahkan kalus ke media baru (segar) dalam keadaan aseptik

(Soegihardjo, 1989).

Subkultur dilakukan setiap 4 minggu untuk media yang tersedia 30 ml.

Pada dasarnya pemindahan kalus sangat beragam tergantung dari kecepatan

pertumbuhan kalus (Soegihardjo, 1989).

6. Pertumbuhan kalus

Mulai dari waktu subkultur atau penaburan inokulum, ada tiga tahap

perkembangan dari kalus, yaitu induksi pembelahan sel, tahap pembelahan sel

aktif dan tahap pembelahan sel lambat atau sel berhenti membelah. Laju

pertumbuhan kalus biasanya ditetapkan secara kuantitatif dengan parameter

indeks pertumbuhan atau pertambahan bobot kalus basah. Pertambahan bobot

kalus basah merupakan selisih antara bobot kalus basah pada periode tertentu

dikurangi bobot kalus mula-mula atau bobot inokulum.

Selanjutnya dari kurva pertumbuhan kalus yang menyatakan hubungan

antara pertumbuhan bobot kalus basah dengan umur kalus dapat diketahui

(36)

a. fase lag, yaitu fase dimana belum terjadi pertumbuhan kalus secara nyata. Ini

terjadi beberapa waktu setelah kalus di subkultur serta merupakan masa

adaptasi kalus dengan media yang baru. Pada fase ini pertambahan bobot

kalus hanya sedikit dan hampir terlihat mendatar pada kurva.

b. fase eksponensial, yaitu fase dimana mulai terjadi pertumbuhan kalus.

Pertambahan bobot kalus mulai terlihat nyata dan diikuti fase linier dimana

pertumbuhan kalus terus menaik secara eksponensial seperti garis lurus ke atas

dan berhenti.

c. fase penuaan, yaitu fase dimana pertumbuhan kalus mulai menurun dan

menjadi berhenti. Kalus tidak dapat tahan hidup pada fase ini dalam waktu

yang lama. Sel-sel mulai mati media pertumbuhan kelebihan muatan dan

nutrien telah habis digunakan, sehingga kematian sel menjadi lebih cepat

(George dan Sherrington, 1984).

D. Media Kultur Jaringan

Nutrisi atau unsur- unsur yang dibutuhkan oleh jaringan tanaman

dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Garam-garam anorganik yang dibedakan lagi menjadi dua, yaitu unsur makro

(unsur yang dibutuhkan dalam jumlah besar) dan unsur mikro (unsur yang

dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi harus tersedia).

Jenis- jenis yang termasuk unsur makro adalah Nitrogen, Fosfor, Kalium,

Sulfur, Kalsium, dan Magnesium. Sedangkan unsur mikro meliputi Klor,

(37)

b. Garam- garam organik yang terdiri dari sukrosa, vitamin, dan zat pengatur

tumbuh (ZPT).

1. Unsur makro

Kegunaan masing-masing unsur makro yang diperlukan bagi tumbuhan

untuk dapat bertahan hidup dan mendukung pertumbuhannya akan dijabarkan

berikut ini :

a. nitrogen (N). Nitrogen berpengaruh dalam menaikkan daya tumbuh tanaman.

Unsur ini sangat penting dalam proses pembentukan klorofil, terpenoid, asam inti,

beberapa hormon tumbuhan serta asam amino. Bila tanaman kekurangan nitrogen,

akan terlihat pada warna daun yang ada yakni menguning, sedangkan bila terlalu

banyak menyebabkan perkembangan vegetatif akan lebih besar daripada

perkembangan buah. Sumber nitrogen pada media kultur berasal dari amonium

(NH4+) dan yang paling penting nitrat (NO3-). Jumlah amonium yang digunakan

berkisar 2-8 mM sedang nitrat sekitar 25-40 mM.

b. fosfor (P). Dalam jaringan meristematik serta daerah yang cepat pertumbuhan

biasanya banyak terdapat fosfor. Terlalu banyak fosfor dalam media dapt

menghambat pertumbuhan eksplan. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan

penyerapan unsur lainnya seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu). Sumber

fosfor dalam media diberikan dalam bentuk natrium hidrofosfat (NaH2PO4.H2O)

atau kalium hidrofosfat (KH2PO4).

c. potasium (K). Potas adalah unsur yang berguna untuk pembelahan sel, sintesa

karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat. Potas

(38)

melebihi lagi. Bentuk ikatan potasium yang banyak digunakan dalam media kultur

yakni KNO3 dan KH2PO4.

d. magnesium (Mg). Magnesium adalah elemen utama dalam molekul klorofil.

Selain itu magnesium bekerja sebagai aktivator enzim. Dalam media kultur sering

diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O.

e. belerang (S). Belerang terdapat dalam beberapa molekul protein, berguna

untuk perkembangan akar. Belerang diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O atau

{Ca(NO3)2.4H2O}.

2. Unsur mikro

Kegunaan masing-masing unsur mikro yang diperlukan bagi tumbuhan

untuk dapat bertahan hidup dan mendukung pertumbuhannya akan dijabarkan

berikut ini :

a. besi (Fe). Besi berperan dalam sintesis klorofil. Dalam media kultur zat besi

terlebih dahulu dicampurkan dengan EDTA (Asam Etilen Diamin Tetraasetik).

Zat besi tidak boleh dicampurkan secara langsung ke dalam media dikarenakan

sifat zat besi yang tidak mudah larut sehingga dapat menimbulkan endapan.

b. mangan (Mn). Pada tanaman yang tumbuh di tanah, kekurangan mangan dapat

menyebabkan klorotik (tanaman berwarna pucat) dan sering menunjukkan

bintik-bintik hitam yang tidak lain adalah kematian setempat. Dalam media kultur

jaringan, unsur ini berguna untuk membentuk membran kloroplas.

c. boron (B). Memegang peranan penting dalam perombakan gula. Media kultur

yang kekurangan boron dapat mengakibatkan sintesa sitokinin dalam media

(39)

d. seng (Zn). Seng merupakn unsur yang penting dalam pembentukan protoplas.

Tanaman yang berkecukupan seng mampu memproduksi auksin IAA endogenous.

e. kobalt (Co). Kegunaan kobalt dalam kultur jaringan adalah untuk

pembentukan asam inti dan juga untuk mengikat unsur nitrogen.

f. tembaga (Cu). Tembaga berperan dalam proses konversi energi.

g. yodium (I). Unsur yodium tidak terlalu diperlukan dalam media, namun sering

digunakan. Beberapa asam amino sering juga mengandung yodium.

h. molibdenum (Mo). Zat ini berguna dalam proses pengikatan nitrogen dari

atmosfer menjadi nitrat dengan bantuan bakteri pengikat N. Selain itu juga

berguna dalam proses pembentukan klorofil. Bila diberikan secara berlebihan

dapat merusakkan jaringan tanaman.

3. Vitamin

Walaupun dalam jumlah kecil, pemberian vitamin dalam media kultur

merupakan suatu keharusan lantaran tanaman yang dikulturkan tersebut belum

mampu untuk membuat vitaminnya sendiri. Adapun jenis vitamin yang sering

diberikan : thiamin HCl dimana berfungsi sebagai koenzim yang membantu daur

asam organik dalam proses respirasi; nicotinamida yaitu suatu koenzim yang

menjadi aktif dalam reaksi cahaya; myo-inositol adalah alkohol gula; asam

panthothenik adalah suatu jenis vitamin B yang bekerja aktif sebagai koenzim dan

berfungsi dalam metabolisme zat lemak; vitamin B6 adalah koenzim yang

membantu reaksi kimia dalam proses metabolisme; choline sebagai terpenoid

yang ada dalam vitamin B kompleks dan riboflavin dimana dikenal dengan

(40)

4. Zat pengatur tumbuh (ZPT) dan hormon

Terdapat sebuah perbedaaan antara hormon dan zat pengatur tumbuh.

Moore (1989) (cit. Santoso dan Nursandi 2004) mencirikan atau membedakan zat

tersebut yakni :

a. hormon tanaman adalah senyawa organik dan bukan merupakan nutrisi yang

aktif dalam jumlah kecil (< 1mM) yang disintesis pada bagian tertentu, umumnya

ditranslokasikan ke bagian lain tanaman di mana senyawa tersebut menghasilkan

suatu respon secara biokimia, fisiologis dan morfologis.

b. zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik dan bukan merupakan

nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (<1 mM) mampu mendorong, menghambat

atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Selain dari zat makanan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan diatur

oleh hormon tumbuh. Tidak semua sel yang dikulturkan dapat memproduksi

sendiri hormon pengatur tumbuhnya. Eksplan yang terlalu kecilpun juga belum

mampu untuk memproduksi hormon tumbuhnya. Berikut ini akan diberikan

keterangan mengenai beberapa zat pengatur tumbuh yang telah dikenal :

a. golongan auksin. Auksin merupakan hormon tumbuhan yang diproduksi

secara alamiah oleh tumbuhan. Pada pemberian auksin dengan kadar yang relatif

tinggi, kalus cenderung ke arah pembentukan primordia akar. Pengaruh auksin

terhadap perkembangan sel menunjukkan adanya indikasi bahwa auksin dapat

meningkatkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan

permeabilitas sel terhadap air dan melunakkan dinding sel yang diikuti dengan

(41)

dengan kenaikan volume sel. Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka dapat

digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan (Hendaryono dan

Wijayani, 1994). Pengaruh auksin dalam mikropropagasi antara lain adalah untuk

menginduksi pertumbuhan kalus, pembentukan klorofil serta morfogenesis

(Katuuk, 1989). Mekanisme kerja dari auksin yang dapat merangsang

pertumbuhan yaitu auksin merangsang sekresi H+. Ion K+ diambil masuk ke

dalam sel untuk mengimbangi pengeluaran H+ yang menurunkan potensial air

dalam sel sehingga mengakibatkan pengembangan sel. Jenis auksin sintetik yang

sudah ada diantaranya NAA (a-naphtalene acetic acid), 2.4-D (2.4

Dichlorophenoxy acetic acid), IBA (3-indole butyric acid), PCPA

(P-chlorophenoxy acetic acid), IAA (3-indole acetic acid). IAA adalah juga hormon

tumbuhan yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon alami).

b. Sitokinin. Dalam alam terbuka, sitokinin diantaranya berfungsi mengatur

pertumbuhan melalui pembelahan sel, membantu mengawasi perkecambahan biji

dan menunda penuaan. Sedangkan pada kultur jaringan sitokinin berfungsi

mengatur pertumbuhan serta morphogenesis. Pemberian sitokinin dengan kadar

yang relatif tinggi, differensiasi kalus akan cenderung ke arah pembentukan

primordia batang atau tunas (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Sitokinin

diproduksi didalam akar, namun demikian penambahan di dalam media masih

tetap diperlukan. Jika yang akan dikulturkan yakni akar, maka sebaiknya sitokinin

tidak ditambahkan. Sebaliknya apabila eksplan yang akan dikulturkan adalah

pucuk tunas dimana produksi sitokininnya sedikit, maka diperlukan penambahan

(42)

amino purine), BA (benzyl adenin) dan FAP (N6-furfurylamino purine) (Katuuk,

1989).

5. Bahan pemadat media

Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat dimana eksplan tumbuh.

Media tanam sangat mutlak keberadaannya karena pada media ini terdapat semua

zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan (Hendaryono dan

Wijayani, 1994). Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan dengan

medianya, tetapi tidak boleh tenggelam sehingga aerasinya baik. Media tanam

tersebut dapat berbentuk cair atau padat. Pada media padat diperlukan bahan

pemadat media. Idealnya, bahan pemadat media harus dapat disterilkan dengan

autoklaf dan gel yang terbentuk ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim tanaman

serta tidak bereaksi dengan komponen media yang lainnya (Yusnita, 2003).

Zat pemadat media yang sering digunakan yakni berupa agar-agar. Agar

adalah berupa campuran polisakarida dari galaktosa yang diekstrak dari ganggang

laut. Umumnya dapat membentuk gel atau memadat pada suhu 40-450C dengan

titik cair 80-900C. Bentuk cair atau padat dari agar dapat bersifat balik (Yusnita,

2003). Menurut Katuuk (1989) agar memiliki sifat dapat mengikat air. Dengan

semakin tinggi konsentrasi dari agar tadi maka makin kuat dalam mengikat air.

Kepekatan agar yang terlalu tinggi mengakibatkan sulitnya bagi eksplan untuk

mengambil sumber hara yang terlarut dalam media. Kepekatan yang biasa

digunakan yaitu berkisar antara 0.6-0.8%. media yang kurang kadar garam dan

(43)

dan hormonnya. Penggunaan agar biasanya sebanyak 8-10 g/l air suling

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

6. Sukrosa

Sukrosa adalah sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus

(Hendaryono dan Ari, 1994), karena dalam kondisi in-vitro tanaman tidak bersifat

autotrof. Hal ini disebabkan botol tempat tumbuh kultur bukan ditempat yang

ideal untuk mendukung proses pertumbuhan yakni proses fotosintesis karena

ditempatkan di tempat yang gelap (Pierik, 1987).

Konsentrasi sukrosa optimum yang sering digunakan dalam proses

pengkulturan berkisar 2-3% atau 20.000-30.000 mg/l (Yusnita, 2003). Tetapi

konsentrasi sukrosa ini juga tergantung pada tipe dan umur eksplan (Pierik, 1987). 7. Lingkungan

Bagi tanaman yang hidup in-vitro, 5 faktor lingkungan utama yang harus

dipenuhi ialah cahaya, suhu, pH, kelembaban dan wadah/botol kultur.

a. cahaya. Cahaya sangat penting bagi kehidupam mikroorganisme. Bagi tanaman

in-vitro cahaya berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang disebut

fotomorfogenesis. Sehubungan dengan fotosintesis, cahaya belum begitu terlalu

penting bagi kultur jaringan tanaman. Pertumbuhan sel kultur jaringan yang

teratur pada dasarnya tidak dihambat oleh cahaya, malah sebaliknya pembelahan

sel mula-mula pada eksplan serta pertumbuhan jaringan kalus acapkali

dihambat/dibatasi oleh persoalan cahaya.

b. suhu. Pada umumnya kultur jaringan memerlukan suhu sebesar 25-300C.

(44)

serta jenis eksperimen yang dilakukan. Suhu yang rendah dapat mempengaruhi

perkembangan embrio.

c. pH. Keasaman dan kebasan media juga merupakan faktor lingkungan eksplan

yang sangat menentukan. Pada umumnya pH yang paling disukai untuk

pertumbuhan sel adalah antara 5-6. Tetapi menurut penelitian dilaporkan bahwa

walaupun sudah diatur, pH akan turun sebanyak 0.5 sesudah autoklaf. Kultur

menjadi asam disebabkan oleh pembentukan asam-asam organik.

d. kelembaban. George dan Sherrington (1984) melaporkan bahwa dalam

penelitian Lane tentang kelembaban relatif, dia menemukan pertumbuhan tidak

normal yang menyebabkan matinya sel. Hal ini bisa terjadi bila kelembaban

dalam botol turun sampai 95%.

e. wadah/botol kultur. Ukuran wadah kultur biasanya juga mempengaruhi

pertumbuhan serta morfogenesis in-vitro. Hal ini barangkali disebabkan oleh

perbedaan konsentrasi CO2 yang tersedia, etilen, gas lain yang berada dalam

wadah (Katuuk, 1989).

Beberapa media dasar yang pada umumnya diberi nama sesuai dengan

nama penemunya, antara lain adalah :

a. Medium dasar Murashige dan Skoog (MS) : digunakan untuk hampir semua

macam tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai konsentrasi

garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.

b. Medium dasar B5 atau Gamborg : digunakan untuk kultur susupensi sel

(45)

c. Medium dasar White : Medium ini merupakan medium dasar dengan

konsentrasi garam-garam mineral yang rendah.

d. Medium Vacin Went (VW) : digunakan khusus untuk medium anggrek.

e. Medium dasar Nitsch dan Nitsch : digunakan untuk kultur tepungsari (pollen)

dan kultur sel.

f. Medium dasar Schenk dan Hildebrandt : digunakan untuk kultur jaringan

tanaman monokotil.

g. Medium dasar Woody Plant Medium (WPM) : digunakan untuk tanaman yang

berkayu.

h. Medium dasar N6 : digunakan untuk tanaman serelia terutama padi

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

E. Sterilisasi

Pekerjaan yang paling berat dalam kultur jaringan yakni menciptakan serta

memelihara kondisi aseptis. Jalan yang paling baik untuk mengatasi kehadiran

mikrobial adalah dengan menciptakan semua yang berhubungan dengan kegiatan

kultur jaringan bebas mikrobial, mulai dari material tanaman, perlengkapan,

lingkungan hingga pada cara kerja. Alat maupun teknik aseptik ada

bermacam-macam :

1. Sterilisasi basah

Cara sterilisasi panas basah adalah dengan menggunakan uap air. Alat yang

digunakan pada sterilisasi ini adalah autoklaf. Alat ini biasanya digunakan

(46)

proses pengkulturan. Hampir semua mikroba mati sesudah diberi uap air

dengan suhu 1210C selama 10-20 menit. Lama sterilisasi ada aturannya yakni

media 20-75 ml selama 15-20 menit dengan suhu 1210C, media 75-500 ml

selama 20-25 menit dengan suhu 1210C, media 500-5000 ml selama 25-35

menit dengan suhu 1210C dan peralatan gelas/kertas selama 30 menit dengan

suhu 1300C. Manfaat mensterilkan dengan menggunakan autoklaf adalah

prosesnya cepat, sederhana serta sanggup membasmi virus tertentu. Namun

selain itu ada kekurangan yakni dapat menurunkan pH sekitar 0.3-0.5 unit,

dapat merusak substansi yang mudah menguap, bila pemanasan terlau tinggi

gula akan membatu sehingga dapat menjadi racun dalam media.

2. Sterilisasi panas kering

Untuk mensterilkan dengan suhu tinggi dan kering dipakai oven. Biasanya

oven digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang tidak mudah terbakar

misalnya bahan yang terbuat dari bahan gelas atau logam. Namun tidak semua

alat dari bahan logam harus disterilkan dengan cara ini, alat-alat seperti mata

pisau serta skapel tidak dapat disterilkan dengan cara ini sebab dapat merusak

ketajaman pisau/alat. Biasanya sterilisasi untuk suhu 1600C memerlukan

waktu 45 menit, 1700C selama 18 menit, 1800C selama 7.5 menit dan 1900C

selama 1.5 menit. Suhu harus selalu tetap di kontrol karena pada suhu 1700C

kertas mulai hancur.

3. Sterilisasi memakai nyala

Instrumen yang telah disterilkan dari oven, dikeluarkan dari bungkusnya

(47)

nyala, baru boleh dipakai. Setelah beberapa saat instrumen harus dicelupkan

ke dalam etanol kemudian dibakar. Perlakuan ini berjalan terus selama

kegiatan inokulasi yang berlangsung di dalam kotak transfer.

4. Ultra filtrasi

Beberapa komponen dalam media tanaman tidak stabil dan dapat terurai pada

suhu yang tinggi. Bahan itu meliputi protein, vitamin, asam amino serta sari

tanaman. Untuk sterilisasi, bahan ini ditapis dengan filter. Ayakan mempunyai

lobang dengan ukuran bermacam-macam 0.2-1.0 mikron. Hasil filtrasi

kemudian dituang dalam media.

5. Bahan kimia

Bahan kimia digunakan untuk membasmi mikrobial. Biasanya bahan kimia

yang digunakan hanya untuk mensterilkan bagian permukaan saja meliputi

material tanaman, instrumen, tangan pekerja serta ruangan/kotak transfer.

Bahan yang biasa dipakai :

a. Alkohol digunakan untuk mensterilkan material tanaman, instrumen,

permukaan ruang dan kotak kultur. Untuk material tanaman dipakai alkohol

tujuh puluh persen.

b. Kalsium hipoklorida (Ca(OCl)2) merupakan salah satu bahan pencuci yang

paling efektif dan kurang merusakkan jaringan.

c. H2O2 adalah bahan pencuci yang baik karena sifatnya yang mudah terurai,

sehingga material tanaman hanya dibilas satu kali saja.

d. Sublimat (HgCl2) adalah bahan yang sangat beracun baik bagi tanaman,

(48)

6. Cahaya

Ruang dan kotak transfer sukar untuk disterilkan hanya dengan menggosok

alkohol atau bahan kimia pada permukaan. Untuk itu dipakai lampu

germicidal dengan sinar ultraviolet. Keterbatasan menggunakan sinar

ultraviolet yakni untuk bagian yang tidak terkena cahaya maka tidak bisa

disterilisasi, sinar ultraviolet hanya mampu mematikan bentuk bakteri dan

jamur bukan untuk spora (Katuuk, 1989).

F. Kromatografi Lapis Tipis

Teknik identifikasi dan pemisahan senyawa fisikokimia yang paling

banyak dipakai adalah teknik kromatografi. Selain menggunakan teknik

kromatografi kertas (KKt), cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi

senyawa fenol sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Kelebihan

KLT adalah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya (Harborne, 1987).

Senyawa fenol dideteksi setelah hidrolisis jaringan tanaman (segar atau

kering) dalam suasana asam, basa, atau setelah pemekatan ekstrak tanaman

(Harborne, 1987). Senyawa yang dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada fase

diam dalam bentuk bercak atau garis. Fase diam yang terdiri atas bahan butiran

halus, ditempatkan pada pelat penyangga gelas atau logam. Campuran akan

dipisahkan berupa larutan akan ditotolkan dan menghasilkan bercak. Fase diam

ini kemudian diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan

(49)

kapiler (pengembangan), dan bercak pemisahan dideteksi dengan pereaksi-

pereaksi yang lazim untuk senyawa yang dimaksud (Stahl, 1985).

1. Fase diam

Lapisan dibuat dari salah satu fase diam yang khusus digunakan untuk

kromatografi lapis tipis yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Dua sifat yang

penting dari fase diam adalah besar partikel serta homogenitasnya, karena adesi

terhadap penyokong sangat tergantung pada mereka. Partikel yang butirannya

sangat besar tidak akan memberikan hasil yang baik dan salah satu alasan untuk

menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan fase diam yang butirannya

halus. Sebelum digunakan lapisan disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab

serta bebas dari uap laboratorium (Sastrohamidjojo, 2002).

Kebanyakan fase diam yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang

digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder), yang dimaksudkan untuk

memberi kekuatan pada lapisan, serta menambah adesi pada gelas penyokong.

Pengikat yang paling sering digunakan yaitu kalsium sulfat. Tetapi biasanya

dalam perdagangan, silika gel telah diberi pengikat dan diberikan nama dengan

kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 2002).

Untuk memisahkan terpena berdasarkan jumlah ikatan rangkap ialah

menggunakan plat KLT silika gel yang waktu penyaputannya menggunakan

bubur silika gel yang dibuat dengan larutan 2.5% AgNO3 dalam air, sebagai

(50)

2. Fase gerak

Pada kromatografi lapis tipis, fase gerak biasanya terdiri dari atas satu atau

beberapa pelarut. Fase ini bergerak terhadap fase diam, yaitu suatu lapisan

berpori, karena ada gaya kapiler. Pelarut yang digunakan harus mempunyai

kualitas analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus

berupa suatu campuran sesederhana mungkin dengan maksimum tiga komponen

(Stahl, 1969).

Pada saat penggunaan fase gerak campuran beberapa pelarut organik

sebaiknya mempunyai kepolaran yang serendah mungkin. Salah satu alasan

penggunaan itu untuk mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran

pelarut. Pelarut mempunyai sifat kepolaran yang tinggi dalam campuran akan

mengakibatkan perubahan sistem menjadi sistem partisi dan campuran larutan

fase gerak dapat dikatakan baik jika dapat memberikan kekuatan bergerak sedang

(Sastrohamidjojo, 2002).

3. Penempatan cuplikan

Penotolan sampel pada kromatografi lapis tipis menggunakan alat

mikropipet berujung runcing. Pada penotolan sampel diusahakan sedekat mungkin

dengan lempeng. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan cuplikan sedapat

mungkin larutan yang mudah menguap dan mempunyai polaritas rendah. Garis

akhir dapat dibuat dengan menandai lapisan dengan jarak rambat fase gerak

(51)

4. Elusi

Bila sampel telah ditotolkan, lapisan kemudian dimasukkan ke dalam

bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap pelarut fase

gerak yang digunakan. Lempeng fase diam dicelupkan dalam fase gerak sedalam

kira-kira 0.5-1.0 cm. Bejana kromatografi ditutup rapat untuk meyakinkan

homogenitas atmosfer dalam bejana, maka dinding dalam bejana dilapisi dengan

lembaran kertas saring yang ujungnya direndam dalam fase gerak

(Sastrohamidjojo, 2002).

Dalam kromatografi lapis tipis terdapat dua metode pengembangan yaitu :

a. Pengembangan sinambung, yakni membiarkan bagian atas lempeng menjulur

keluar melalui sebuah celah pada tutup bejana kromatografi. Bila fase gerak telah

mencapai celah itu maka akan terjadi penguapan yang sinambung, mengakibatkan

aliran pelarut yang tetap pada lempeng (Anonim, 1995b).

b. Pengembangan berulang, yakni setelah dilakukan pengembangan kemudian

dikeringkan lalu dikembangkan lagi pada sistem pelarut yang sama ataupun yang

berbeda hingga didapatkan pemisahan yang baik. Ini sangat berguna pada

pemisahan senyawa yang mempunyai perbedaan polaritas (Moffat, 1986).

5. Deteksi

Pada kromatografi lapis tipis, bercak dari senyawa umumnya tidak

berwarna sehingga untuk menentukan bercak tersebut dapat dilakukan secara

fisika dan kimia.

a. Fisika. Metode-metode fisika yang sering digunakan meliputi fluoresensi sinar

(52)

berfluoresensi maka bercak akan terlihat di bawah sinar ultraviolet. Namun jika

senyawa tersebut tidak berfluoresensi ditentukan dengan indikator fluoresensi

pada fase diam sehingga pada bercak akan terlihat hitam sedangkan tempat yang

tanpa bercak berfluoresensi (Stahl, 1969).

b. Kimia. Metode kimia yang sering digunakan untuk mendeteksi bercak pada

kromatografi lapis tipis dengan menyemprotkan suatu pereaksi kimia.

Senyawa-senyawa organik dapat dilakukan dengan penyemprotan H2SO4 pekat. Untuk

pembentukan warna yang optimal diperlukan suhu 2000C kurang lebih selama 10

menit, noda yang akan teramati berwarna hitam. Cara ini efektif untuk

menentukan bercak tetapi tidak baik untuk identifikasi (Sastrohamidjojo, 2002).

6. Penilaian kromatografi

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi lapis tipis biasanya

dinyatakan dengan angka Rf atau hRf .

Jarak rambat bercak Rf =

Jarak rambat fase gerak

Angka Rf berjarak antara 0.00-1.00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal.

Sedangkan hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 menghasilkan nilai berjarak

0-100.

Dalam mengidentifikasi bercak pada pelat kromatogram lazimnya

menggunakan harga Rf (retardation factor). Rf didefinisikan sebagai jarak yang

ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan

(53)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf dalam kromatografi

lapis tipis adalah :

a. sifat dari penyerap serta derajat aktivitasnya.

b. tebal serta kerataan lapisan; ketidakrataan lapisan penyerap akan

menyebabkan aliran pelarut menjadi tidak rata pada daerah plat sehingga harga Rf

juga tidak sama.

c. kemurnian fase gerak; pelarut yang tidak murni akan memberikan pemisahan

yang tidak baik. Demikian pula jika fase gerak yang digunakan berupa campuran,

maka perbandingan yang dipakai harus diperhatikan.

d. kejenuhan bejana kromatografi; pemisahan yang dilakukan dalam bejana yang

mempunyai kejenuhan tidak sama mengakibatkan harga Rf tidak sama.

e. suhu; pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini untuk

mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh

penguapan atau perubahan fase. Jumlah cuplikan yang berlebihan memberikan

tendensi noda berbentuk ekor yang akan mengakibatkan kesalahan harga Rf.

f. kesetimbangan; pada bejana kromatografi yang tidak jenuh dengan uap pelarut

akan menyebabkan pada saat pengembangan untuk permukaan pelarut yang

cekung dan ini akan mengakibatkan fase gerak lebih cepat merambat pada bagian

tepi daripada bagian tengah. Hal ini mengakibatkan kesalahan dalam penentuan

(54)

G. KETERANGAN EMPIRIS

Penelitian tentang profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji

tanaman Jatropha curcas L. pada media White dengan menggunakan teknik

kultur jaringan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai daun

lembaga dari biji tanaman Jatropha curcas yang dapat membentuk kalus dengan

teknik kultur jaringan, bentuk profil pertumbuhan kalus daun lembaga dari biji

tanaman Jatropha curcas dalam media White dengan konsentrasi tertentu

Naphthaleneacetic acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) serta

membandingkan hasil KLT kalus daun lembaga yang berasal dari biji tanaman

Jatropha curcas dengan biji tanaman asalnya untuk mengetahui kesamaan

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian profil pertumbuhan kalus daun lembaga biji tanaman Jatropha

curcas pada media White dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini,

termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental deskriptif dengan rancangan

acak lengkap pola searah yakni subjek uji tidak mendapatkan perlakuan selama

penelitian dan setiap sampel mempunyai kesempatan yang sama untuk dilakukan

pencuplikan dimana sifat penelitian ini adalah melaporkan (mendeskripsikan)

hasil data yang ada selama penelitian.

B. Definisi Operasional

1. Daun lembaga yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun lembaga dari

biji yang terdapat di dalam buah tanaman Jatropha curcas yang berusia ± 2

bulan dari saat berbunga, bagian yang dipergunakan adalah daun lembaga tidak

termasuk mata tunasnya. Daun lembaga inilah sebagai subjek uji penelitian.

2. Inisiasi kalus adalah terbentuknya kalus pertama kali yang ditandai dengan

bintik putih pada pinggir eksplan.

3. Bobot kalus basah awal adalah hasil pengurangan bobot media + botol + kalus

dengan bobot botol + media pada saat subkultur.

4. Bobot kalus kering adalah bobot kalus pada saat pemanenan dan sudah

mengalami proses pengeringan di dalam oven pada suhu 40-500C, sampai

Gambar

Tabel II.  Data kromatografi lapis tipis dengan fase gerak
Gambar 1.  Foto pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu………………. 58
grafik pola pertumbuhan kalus, dimana dilakukan dengan menghubungkan antara
Gambar 1. Foto pertumbuhan kalus dari waktu ke waktu
+7

Referensi

Dokumen terkait

/DZUHQFH0)ULHGPDQ 7KH/HJDO6\VWHP$6RFLDO6FLHQFH3HUVSHFWLYH 1HZ&lt;RUN5XVVHO6DJH)RXQGDWLRQ KOP/LKDWMXJD*XQWHU7HXEQHUHG 'LOHPDVRI/DZLQWKH:HOIDUH6WDWH

6 rt 01/ rw 03 Rembang (Jawa Tengah) Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya berjudul : “PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MENURUT UNDANG – UNDANG

Menurut status kelembagaan lahan, produktivitas lahan petani pemilik penggarap lebih tinggi dibandingkan dengan penyewa sedangkan produktivitas lahan penyewa lebih tinggi

Tanaman nilam diperlakukan dengan bakteri endofit dengan cara menyi- ramkan populasi bakteri OD600=1 pada pot yang berisi tanaman nilam yang berumur 1 bulan.. Satu

molecule. As shown by the Western blot in Fig. 1, this We next examined the interaction of synapsin I with our spectrin antibody, termed Ab 921, demonstrated specific b SpII S 1

[r]

Sementara itu, di daker Mekah dibentuk pula satuan petugas yang tergabung dalam sektor khusus untuk memberikan pelayanan keamanan kepada seluruh jemaah haji Indonesia

Puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya serta izin- Nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul ”Implementasi