• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA DAKWAH BERBASIS RELIGIOTAINMENT (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah di Trans TV)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "FENOMENA DAKWAH BERBASIS RELIGIOTAINMENT (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah di Trans TV)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Jurusan Jurnalistik Pada

Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

Oleh SULFIANTO NIM. 50500107081

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2011

(2)

ii

terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain,

sebagian atau seluruhnya, maka skripsi yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 19 Desember 2011

Penyusun,

(3)

ii i

Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, setelah

dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan judul,

“Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans TV)”, memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidangmunaqasyah.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.

Makassar, 8 Desember 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Muliaty Amin, M.Ag. Ramsiah Tasruddin, S.Ag,M.Si

(4)

iv

munaqasyah yang diselenggarakan pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2011, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik ( dengan beberapa perbaikan ).

Makassar, 22 Desember 2011

DEWAN PENGUJI :

Ketua : Dr. Nurhidayat Muh. Said, M.Ag ( )

Sekretaris : Dr. Firdaus, M.Ag ( )

Munaqisy I : Dr.Mustari Mustafa, M.Pd. ( )

Munaqisy II : Drs. M. Yahya Mustafa, S.Sos.,M.si.( )

Pembimbing I : Dr. Hj. Muliati Amin, M.Ag. ( )

Pembimbing II : Ramsiah Tasruddin, S.Ag, M.Si ( )

Diketahui oleh :

Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar,

(5)

v

Alhamdulillah, seuntai kalimat yang senantiasa penulis ucapkan atas segala

limpahan karuniah dan hidayah Allah Swt. Dengan rahmatNya jualah, hingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Fenomena Dakwah Berbasis

Religiotainment (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans

TV), dan dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat selalu terpatri dalam

sanubari, sebagai haturan doa kepada reformis sejati Rasulullah Muhammad Saw, yang

telah membawa umat manusia keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan

yang diridhai oleh Allah Swt.

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas

Islam Negeri Alauddin, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan

S1 (Strata 1). Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bimbingan

dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu,

patutlah dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT., M.S. selaku rektor UIN Alauddin Makassar.

2. Prof. Dr. H. Abustani Ilyas, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Dakwah dan

Komunikasi UIN Alauddin Makassar.

3. Dr. Nurhidayat M. Said, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jurnalistik beserta

wakilnya bapak Dr. Firdaus Muhammad. Dengan segenap rasa tulus

memberikan arahan, motivasi, nasehat serta bimbingan selama penulis

menempuh kuliah di Jurusan Jurnalistik.

4. Dr. Hj. Muliati Amin, M.Ag., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan

waktu mengarahkan serta membimbing penulis sehingga skripsi ini

(6)

vi

Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Serta staf perpustakaan dan

staf tata usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.

7. Ucapan terima kasih secara pribadi penulis sampaikan kepada kedua orang tua,

Sofyan dan Syatirah, serta adinda Musfirah, atas cinta kasih, dukungan moril

dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

8. Ucapan terima kasih kepada Ustad M. Nur Maulana, Crew Islam Itu Indah,

Tomo Trans TV, Komunitas Mahasiswa Kreatif Jurnalistik, rekan

seperjuangan di jurusan Jurnalistik, junior-junior di jurusan Jurnalistik,

47.com, dan rekan seperjuangan yang tidak sempat disebutkan.

Semoga Allah Swt melimpahkan rahmatnya yang berlipat kepada seluruh pihak

atas jasa dan amal mulianya. Wassalamu Alaikum Wr, Wb.

Makassar, 6 Desember 2011

(7)

vi

C. Defenisi dan Ruang Lingkup Penelitian... ... 6

D. Tujuan dan Kegunaan...……... ... 8

E. Garis-Garis Besar Isi ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... ... 11-22 A. Pengertian dakwah dan Media Televisi ... 11

B. Komponen Dakwah dan Komunikasi ... 16

C. Religiotainment Televisi... ... 19

D. Pendekatan teori Semiotika... ... 22

BAB III METODE PENELITIAN... 28-31 A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 28

B. Metode Pendekatan ... 29

C. Metode Pengumpulan Data ... 30

(8)

vi ii

Itu Indah Trans TV ... 49

BAB V PENUTUP... .... 60-61 A. Kesimpulan... 60

B. Implikasi dan Saran ... ... 61

DAFTAR PUSTAKA... .... 61

(9)

ix

1. Unit analisis ... 30

2. Episode bertema “Kejujuran” 24 April 2011 ... 40

3. Episode bertema “Ayah dan Anak” 12 Mei 2011 ... 42

4. Episode bertema “Hidup Sebelum Mati” 19 Juni 2011 ... 44

(10)

x

2. Proses Komunikasi ... 16

3. Ustad M. Nur Maulana ... 37

4. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 4.A ... 38

5. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 4.B ... 39

6. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 4.C ... 40

7. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 5.A ... 53

8. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 5.B ... 53

9. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 5.C ... 54

10. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 6.A ... 44

11. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 6.B ... 45

12. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 6.C ... 46

13. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 7.A ... 47

14. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 7.B ... 47

15. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 7.C ... 48

16. First order (Reality)Islam Itu Indah ... 50

(11)

xi

NIM : 50500107081

Judul Skripsi : Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment (Sebuah Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans TV)

Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment merupakan tema yang diketengahkan dalam skripsi ini. Suatu studi yang menganalisis isi (konten) siaran Islam Itu Indah pada Trans TV. Metode pendekatan kajian yang digunakan adalah analisis semiotika model Roland Barthes. Analisis semiotika berorientasi terhadap pemahaman atas struktur tanda siaran Islam Itu Indah. Dari segi analisa struktur tanda, yang menjadi rujukan adalah teori pemetaan tanda (ikon, indeks dan simbol), untuk menganalisa hubungan kenyataan dan jenis dasarnya. Sementara untuk menganalisa makna sosio-kultural siaran Islam Itu Indah, proses signifikasi dua tahap (two order of signification) model Roland Barthes digunakan sebagai kerangka analitis.

Hasil penelitian menunjukkan, secara struktural program Islam Itu Indah, mengkonstruksi tanda secara fisik (physical existance of the sign) yang dilihat melalui teori pemetaan tanda antara lain; 1) ikon 2) indeks 3) simbol di mana ketiganya berkaitan dalam proses signifikasi tahap pertama (first order). Sementara, signifikasi tahap kedua (second order) menunjukkan suatu multimakna sosio-kultural dalam konteks penafsiran terhadap fenomena religiotainment Islam Itu Indah, antara lain; komunikasi lintas budaya (intercultural communication), budaya tanding (counter culture), budaya populer (popular culture) dan budaya religi (religious culture).

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media massa diharapkan dapat berperan serta dalam pembangunan sumber

daya manusia, berperan mendidik khalayak, dan berperan dalam pengembangan atau

pelestarian budaya. Media massa memang lazim berhadapan dengan harapan dari

berbagai pihak. Sebagai institusi sosial, sudah kodratnya menjalankan fungsi yang

dilekatkan oleh pihak lain atas dirinya. Inilah yang menandai fungsi imperatif media

massa. Dengan demikian media massa dapat menjalankan fungsi sebagai bagian

dalam proses institusionalisasi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Akselerasi teknologi dalam bidang penyiaran (televisi), merupakan

pendukung utama bagi terselenggaranya proses institusionalisasi tersebut. Dengan

dukungan teknologi mutakhir dalam berbagai bentuk dan berbagai kepentingan dapat

disebarluaskan begitu rupa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi cara

pandang dan gaya hidup khalayak. Namun, yang menjadi fokus dalam bahasan ini

bukan mengukur (output) sejauhmana bentuk pengaruh media terhadap khalayak, melainkan menelaah konten/isi siaran televisi mencakup konteks sosial budaya yang

melingkupinya.

Studi semiotika adalah salah satu alternatif metodologi yang dimaksud untuk

menelaah konten yang terkandung dalam siaran pertelevisian. Dengan kata lain,

pendekatan semiotika meniscayakan penafsiran yang holistik dan kontekstual

terhadap muatan ideologi, politik, dan budaya yang diasosiasikan melalui konstruk

symbols dalam siaran televisi. James P. Spradley dan Clifford Geertz, mengatakan,

(13)

semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.1 Senada

dikemukakan oleh Tomlinson yang dikutip Idi Subandy, bahwa budaya dapat

dipahami sebagai tatanan kehidupan yang di dalamnya manusia membangun makna

melalui praktik-praktik reperesentasi simbolik, yakni dengan berkomunikasi satu

sama lain.2

Dalam konten siaran televisi sebenarnya terdapat berbagai simbol yang sering

dijumpai, signifikan dengan makna kebudayaan tertentu. Produksi budaya televisi,

yang oleh Alex Sobur mengatakan, “membudayakan televisi berarti menjadikan televisi bagian yang fungsional dari perkembangan kebudayaan”.3

Konstruksi sebuah

program televisi merupakan wujud menelevisikan atau mengasosiasikan nilai-nilai

budaya, selain sebagai wahana transformasi pendidikan, hiburan, dan informasi.4

Salah satu trend yang fenomenal dalam program televisi adalah siaran dakwah yang dikemas bernuansa hiburan (religiotainment). Program ini menjadi semacam komoditas baru untuk mengangkat image sebuah stasiun televisi. Belum lengkap terasa jika sebuah stasiun televisi tidak memiliki program dibidang keagamaan.

Karena itu, stasiun televisi tidak segan menanamkan investasi besar untuk program

ini, dengan sasaran income yang berlipat pula dari klien pengiklan.5

1

Lihat, Alex Sobur., Semiotika Komunikasi, (Cet. 3; Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006), h.

176-177. 2

Lihat, Idi Subandy., Budaya Populer Sebagai Komunikasi, (Cet. 1; Jogjakarta; Jalasutra,

2007), h. xx-xxi. 3

Alex Sobur., op. cit, h. 185

4

Uraian lengkap tentang fungsi pers-media massa, lihat, Onong Uchjana Effendy., Dinamika

Komunikasi (Bandung; Rosdakarya, 2008), h. 64-65

5

Asumsi ini didasarkan atas observasi awal yang diadakan penulis terhadap mekanisme siaran

(14)

Implikasi nilai komoditas informasi di balik sebuah program secara tidak

langsung dapat memicu setiap stasiun televisi untuk memunculkan inovasi terbaru

dalam programnya, termasuk di sini maraknya program religiotainment (dakwah plus

hiburan).6 Menyoal dakwah via televisi menjadi menarik untuk dikaji, tentu analisa

yang diangkat bukan sekedar menyoal fenomenanya secara tekstual, namun konteks

makna yang dibangun dalam program religiotainment itu perlu dilihat secara kausal sejauh mana ia berkontribusi dalam pengembangan komunikasi-dakwah.

Idealnya kegiatan dakwah bisa dilakukan dalam formulasi/bingkai

entertainment, yaitu dakwah hiburan yang menginternalisai pesan-pasan dakwah ke dalam dimensi hiburan sehingga lebih persuasif dan dipahami oleh seluruh lapisan

masyarakat.7 Seperti ungkapan Geertz, bahwa kekuatan sebuah agama dalam

menyangga nilai-nilai sosial, terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk

merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu menjadi bahan dasarnya.8 Karena itu,

program dakwah berbasis religiotainment (untuk tidak mengatakan seluruhnya) cenderung dapat dimaknai sebagai representasi suatu budaya religi yang dihadirkan

melalui teknologi visualisasi simbol-simbol yang signifikan dengan realitas sosial.

Namun pada kenyataan, dakwah berbasis entertainment pada stasiun televisi tertentu, muatannya cenderung lebih bernuansa hiburan dari pada dakwah. Sehingga

problemnya terletak pada sulitnya menemukan titik temu dualisme, yakni formulasi

6

Sebagai contoh; Realigi, dan Islam Itu Indah di Trans TV yang mulai tayang perdana 12

Desember 2010, Kemudian Indosiar juga mempunyai program bernuansa religi “Mama Dede dan Aa”, Ustadz Solmed di SCTV, Qurratul Uyun di MNC TV, Pemilihan Da‟I Cilik (Pildacil) di ANTV, dan

sinetron bernuansa religi misalnya Islam KTP, Para Pencari Tuhan dan lainnya. 7

Lihat, Firdaus Muhammad., Dakwah Dalam Bingkai Religiotainment. (Orasi Ilmiah yang

disajikan Dalam Kuliah Umum Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar) 8 September 2011).

8

(15)

dakwah via televisi yang subtantif tanpa harus menepikan aspek hiburan di dalamnya.

Disinilah terlihat suatu dilema, menunjukkan bahwa kegiatan dakwah seolah-olah

menjadi stimuli media (baca; mesin kapitalisme) agar tetap eksist di mata khalayak

atau sekedar menarik pengiklan melalui upaya peningkatan “rating”program.

Sebagai contoh, program siaran “Islam Itu Indah” di Trans TV, termasuk

program televisi yang membingkai dakwah dengan dimensi entertainment. Dalam pandangan sepintas masyarakat awam, boleh jadi kemasan program tersebut menjadi

lebih menarik, konstruk dakwah dengan materi normatif bernuansa hiburan

bertaburan simbol-simbol religius.

Menelisik daya tarik Islam Itu Indah, tidak terlepas dari pemilihan figur utama

(Ustad Muh. Nur Maulana) yang mengisi program Trans TV tersebut. Semarak

dakwah melalui media Trans TV kian diminati karena personafikasi sang ustad yang

sifatnya humoris, menghadirkan sejumlah majelis taklim dan kalangan selebriti

papan atas. Jika dianalisa pada konteks sosial budaya, Trans TV mencoba

mengkonstruksi simbol budaya tertentu sebagai ikon komersial. Dari segi bahasa

(misalnya kata iye; baca iya) dan dialek ustadz Maulana (jama‟aaah, oooh,

jama‟aaah), menampilkan kultur Makassar secara simbolis.9

Littlejohn yang dikutip H. Santoso, mengatakan “komunikasi terjadi dengan

perantaraan tanda-tanda (sign), basis seluruh komunikasi adalah tanda-tanda”.10 Karena itu, konstruk bahasa ustadz Maulana merupakan representasi kultur Makassar

secara simbolis yang tersaji dalam program Siaran Islam Itu Indah. Unsur-unsur

simbolis (tanda) dalam program tersebut secara struktural dapat diidentifikasi melalui

9

Asumsi ini didasarkan atas observasi awal yang diadakan penulis terhadap konten siaran

“Islam Itu Indah” pada stasiun Trans TV. Jakarta, Juli-Sepetember 2011. 10

(16)

tema, narasi-bahasa, karakter penokohan, busana yang digunakan, dan lainnya

sebagai mencerminkan nilai-nilai keagamaan.11

Meski demikian, isi program religiotainment sekalipun sarat dengan culture and religious symbolic, namun hal itu (terutama dalam analisis wacana media) merupakan sebuah agenda media mengkonstruksi realitas sosial bahkan reproduksi

makna budaya massa. Dalam kasus ini, konfigurasi program Islam Itu Indah

dikonstruksi sedemikian rupa oleh tim kreatif Trans TV agar dapat menarik

antusiasme pemirsa,12 tentu dengan logika rating-isme media. Di balik proses konstruksi inilah nampak terjadi pertarungan entitas, antara idealisme dakwah dan

logika kapitalisme (money-commodity-more money).

Implikasi yang cenderung terjadi adalah dan reduksi atau pembiasan makna

ajaran Islam, dengan kata lain publik digiring kepada pemahaman (redefenisi)

dakwah sebagai entertaint semata. Hakikatnya aktifitas dakwah identik dengan keikhlasan demi ketajaman spiritual dan kesalehan sosial, berhadapan dengan entitas

media yang menganut ideologi pasar yang menitikberatkan pada keuntungan

finansial.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, dibutuhkan suatu interpretasi alternatif

untuk menyingkap makna dibalik fenomena dakwah berbasis entertain

(religiotainment), kemudian menjadi titik tolak bagi penulis untuk mengadakan penelitian secara komprehensif dengan mengangkat judul; “Fenomena Dakwah

11

Bandingkan, menurut Thompson; Budaya adalah pola-pola makna yang tertancap dalam bentuk-bentuk simbolik, termasuk tindakan, ujaran dan objek-objek yang bermakna. Lihat, Idi

Subandy., loc. cit, h. xx-xxi.

12

(17)

Berbasis Religiotainment” Suatu Analisis Semiotika terhadap Siaran Islam Itu Indah di Trans TV.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan ditelaah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana struktur tanda dalam program Siaran Islam Itu Indah Trans TV?

2. Bagaimana konstruksi makna sosio-kultural dalam konten Siaran Islam Itu Indah Trans TV?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

Judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Fenomena Dakwah Berbasis

Religiotainment; Suatu Analisis Semiotika terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans

TV”, untuk menghindari kesalahpahaman tentang judul tersebut, terlebih dahulu

penulis memberikan pengertian secara operasional:

1. Fenomena

Fenomena adalah sesuatu yang dapat disaksikan atau dilihat dengan panca

indra; kenyataan yang ada, tanda-tanda, gejala; sesuatu yang luar biasa, keajaiban;

fakta.13 Dalam konteks penelitian ini, fenomena yang dimaksud adalah program

dakwah yang dikonstruksi bernuansa hiburan, atau disebut Religiotainment.

13

Lihat, Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Balai

(18)

2. Dakwah Berbasis Religiotainment

Dakwah berbasis relgiotainment yang dimaksud dalam bahasan ini adalah salah satu genre dalam program pertelevisian, dalam arti, dakwah yang dikonstruksi

oleh stasiun TV bernuansa hiburan. Dikatakan bernuansa hiburan karena konfigurasi;

karakter tokoh (da‟i), bintang tamu, efek audio, dan konten/pesan dakwahnya

dikemas secara kreatif untuk menarik antusiasme pemirsa.

3. Analisis Semiotika

Analisis semiotik merupakan suatau upaya untuk menganalisis tanda pada

objek/konten media. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobyekkan tanda dan

menganalisisnya menjadi ide, obyek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai

lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang

mengacu kepada obyek tertentu.14 Fokus objek atau ruang lingkup penelitian yang

dimaksud adalah dakwah berbasis relgiotainment (Islam Itu Indah) yang dipublikasi oleh Trans TV dalam kurun waktu yang telah ditetapkan sebelumnya (lihat

Lihat, Burhan Bungin., Penelitian Kualitatif (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 169.

Lihat juga, Alex Sobur., Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

(19)

5. Trans TV

Trans TV atau Televisi Transformasi Indonesia adalah sebuah stasiun televisi

swasta Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup

Para-nya. Stasiun ini melakukan siaran pertama kali pada tahun 2001. Dengan motto

"Milik Kita Bersama", konsep tayangan stasiun ini tidak banyak berbedah dengan

stasiun televisi swasta lainnya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans

Corporation. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre

Tendean, Jakarta Selatan Direktur Utama Trans TV saat ini adalah Wishnutama.

Trans TV memperoleh izin siaran didirikan pada tanggal 1 Agustus 1998

Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001 meski baru terhitung siaran

percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TV-nya di Jakarta dan

Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa

pukul 19.00 WIB malam. Trans TV kemudian pertama mengudara mulai diluncurkan

diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tanggal 15 Desember 2001 sejak

sekitar pukul 19.00 WIB Malam, Trans TV memulai siaran secara resmi.15

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki sasaran yang hendak dicapai dengan maksud untuk

mencari titik temu atau jawaban yang ada relevansinya dengan permasalahan yang

telah disebutkan.

15

(20)

1.Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui struktur tanda dalam program Siaran Islam Itu Indah

Trans TV

b. Untuk mengetahui konstruksi makna sosio kultural dalam konten siaran

Islam Itu Indah Trans TV

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis hasil penelitian ini untuk menambah khasanah ilmu

pengetahuan jurnalistik dan komunikasi terkait analisa semiotika terhadap

dakwah berbasis religoitainment.

b. Adapun secara praktis hasil penelitian diharapkan berguna bagi mahasisiwa

dan para profesional sebagai referensi pengembangan dakwah via televisi

dan menjadi bahan informasi bagi para peneliti selanjutnya.

E. Garis-Garis Besar Isi

Bab pertama, yaitu bab pendahuluan, dalam bab ini akan dijelaskan pokok

pikiran yang melatar belakangi timbulnya suatu masalah, defenisi operasioanl, tujuan

dan kegunaan penelitian dan outline penelitian.

Bab kedua, yaitu kajian pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai

pendekatan teoritis yang berkenaan dengan permasalahan penelitian.

Bab ketiga, akan dijelaskan tentang metodologi penelitian (tipe penelitian),

teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan oleh penulis.

Bab keempat, berupa hasil penelitian yaitu struktur tanda dalam program

Siaran Islam Itu Indah Trans TV, dan konstruksi makna sosio kultural dalam konten

(21)

Bab kelima, adalah penutup yang merumuskan intisari penelitian dalam

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dakwah dan Media Televisi

Ajaran yang dikandung dalam agama Islam merupakan jalan hidup (way of life) bagi seluruh umat di dunia, menjadi pedoman dalam segala aktivitas, interaksi antar manusia (hablumminannas) maupun hubungan manusia dengan Allah SWT (hablumminAllah). Oleh sebab itu, eksistensi dakwah tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, karena kegiatan dakwah sebagai proses penyelematan umat manusia dari

berbagai persoalan yang merugikan kehidupannya, merupakan bagian dari tugas dan

fungsi manusia yang sudah direncanakan sejak awal penciptaan manusia sebagai

khalifah fi al-ardh.

1. Etimologi dan Terminologi Dakwah

Menurut Kamus besar bahasa Indonesia Dakwah adalah 1; Penyiaran,

Propoganda. 2; Penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat,

seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.16

Secara etimologi, dakwah yang berasal dari bahasa Arab; da’a, yad’u,

da’watann, yang berarti seruan, panggilan, undangan atau doa.17 Dalam konteks

pengertian bahasa Al-Qur‟an menunjukkan beberapa contoh penggunaan kata

dakwah, antara lain dalam Q.S. Yusuf/12 : 33, dan Q.S Yunus/10 : 25.



Lihat, Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Balai

Pustaka, Jakarta, 1990), h. 232.

17

Lihat, Enjang AS, dan Aliyuddin., Dasar-Dasar ilmu Dakwah; Pendekatan Filosofis dan

Praktis (Bandung; Widya Padjajaran, 2009), h. 3.

(23)

Terjemahan :

Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.18 dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).19

Sementara pengertian dakwah secara teminologi dapat ditelusuri dari teks

Al-Quran, antara lain; Q.S. Ali-Imran/3: 104 dan A-Nahl/16: 125.



serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantulah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.21

18

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Intermasa, 1993), h. 353.

19

Arti kata Darussalam ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan. Pimpinan

(hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, ibid. h. 310.

20

Arti kata Ma'ruf ialah: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan

Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya, ibid. h. 93.

21

Arti kata Hikmah ialah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan

(24)

Berdasarkan kedua ayat tersebut, dipahami bahwa aktifitas dakwah

merupakan upaya untuk mengajak manusia kepada jalan Allah secara menyeluruh,

baik dengan lisan, tulisan, perbuatan sebagai ikhtiar seorang Muslim

mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan individu, keluarga,

dan masyarakat. Barangkali dakwah melalui media massa (misalnya siaran Islam Itu

Indah) juga termasuk dalam kategori yang dimaksud, jika orientasi dakwah yang

dikehendaki bersifat universal dan subtantif sesuai ajaran Islam.

Dakwah secara terminologi, mengandung ragam pengertian. Pakar dibidang

ilmu dakwah, memberi tafsiran yang beragam tentang apa yang dimaksud dakwah

dalam segi operasional kegiatannya. Dalam pada itu, Enjang dan Aliyuddin

berpendapat;

perbedaan yang terdapat pada setiap penjelasan para pakar dan cendikia itu, kelihatannya lebih pada aspek orientasi dan penekananan bentuk kegiatannya, bukan pada aspek esensinya.22

Menurut Moh Natsir, dakwah adalah tugas para muballigh untuk meneruskan

risalah yang diterima dari Rasulullah SAW. Sedangkan risalah adalah tugas yang

dipikulkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan wahyu Allah yang diterimanya

kepada umat manusia. Ringkasnya menurut Natsir “Risalah merintis, sedangkan

dakwah melanjutkan.23 Terminologi dakwah yang diketengahkan dalam uraian ini,

adalah pendapat Syekh Ali Mahfud dan Sayyid Qutb yang memberi penegasan

Lihat, RB. Khatib Pahlaman Kayo., Manajemen Dakwah; Dari Dakwah Konvensional

(25)

Sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.24

Dibandingkan dengan pengertian dakwah yang diterangkan Syekh Ali

Mahfud di atas, Sayyid Qutb menjelaskan pengertian dakwah secara universal,

dengan penegasan kalimat “… dakwah adalah mengajak atau mendorong orang untuk

masuk ke dalam sabilillah, bukan untuk mengikuti da‟i atau bukan pula untuk

mengikuti sekelompok orang”.25

Kendatipun tidak secara eksplisit, pengertian kedua

lebih cenderung menekankan suatu proses dakwah (tabligh).

Dakwah tersebut dalam konteks prosesnya, dapat dilihat pada wilayah empiris

yang tidak terlepas dari penggunaan sarana atau media tertentu yang digunakan oleh

para da‟i (komunikator). Media sebagaimana bentuk dakwah (bil hal, bil qalam, bil

yadh, dan seterusnya) yang dimaksud juga diartikan dalam segala bentuknya, misal,

media cetak surat kabar, radio, majalah, dan khususnya media televisi yang di

manfaatkan sebagai media dakwah.

2. Defenisi Televisi

Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian Televisi adalah pesawat

penerima siaran berupa suara dan gambar.26 Televisi, memiliki karakter berbeda

dengan media cetak dan radio, dengan akselerasi teknologi audio visual. Berdasarkan

24

Cikal bakal lahirnya ilmu dakwah untuk kali pertama dirintis di Universitas Al-Azhar

(Mesir, tanpa penyebutan Tahun) oleh akademisi; Syekh Ali Mahfudz, buku berjudul Hidayat

al-Mursyidin. Kemudian pada tahun 1960-an, Ahmad Ghalwusy menulis buku berjudul Al-Da’wah al -Islamiyah, dengan asumsinya bahwa dakwah Islamiyah merupakan disiplin yang mandiri dan sebagai

bagian dari bidang ilmu Islam. Lihat, Enjang AS, dan Aliyuddin., op. cit. h. 6-16.

25

Ibid., h. 6. Pendapat Sayyid Qutb ini didukung oleh defenisi yang diungkapkan Masdar F. Mashudi yang (dikutip Enjang dan Aliyuddin) mengartikan dakwah Islamiyah ialah sebagai suatu proses penyadaran untuk mendorong manusia agar tumbuh danberkembang sesuai dengan fitrahnya.

26

(26)

catatan sejarah, Paul Nipkow merupakan seorang ahli dari Jerman yang pertama kali

mencetuskan teknologi pertelevisian.27

Media massa televisi meskipun sama dengan radio dan film sebagai media

massa elektronik, tetapi mempunyai cirri dan sifat yang berbeda, terlebih lagi dengan

media massa cetak seperti surat kabar dan majalah, untuk itulah dalam

menyampaikan pesan-pesannya juga mempunyai kekhususan. Media cetak dapat

dapat dibaca kapan saja tetapi untuk televisi dan radio hanya dapat dilihat sekilas dan

tidak dapat diulang.

Televisi dan radio dapat dikelompokkan sebagai media yang menguasai ruang

tetapi tidak menguasai waktu, sementara media cetak menguasai waktu tetapi tidak

menguasai ruang. Artinya, siaran dari suatu media televisi atau radio dapat diterima

dimana saja dalam jangkauan pancarannya (menguasai ruang) tetapi siaranya tidak

dapat dilihat kembali (tidak menguasai waktu). Media cetak untuk sampai kepada

pembacanya memerlukan waktu (tidak menguasai ruang) tetapi dapat dibaca kapan

saja dan dapat diulang-ulang (menguasai waktu).28

Meskipun demikian, eksistensi televisi dengan segala kelebihan yang

menyertainya (dapat didengar, daya rangsang sangat tinggi, dan daya jangkauannya

yang luas),29 dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam dakwah. Karena itu, program

dakwah melalui televisi dipandang sebagai salah satu bagian dari bentuk kegiatan

dakwah, dengan lain perkataan dakwah dilihat sebagai kegiatan komunikasi.

27

Lihat, Deddy Iskandar Muda., Jurnalistik Televisi; Menjadi Reporter Profesional,

(Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005), h. 4-5. 28

Lihat, Morissan., Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Jakarta; Prenada Media Group, 2008), h.

3-4. 29

(27)

B. Komponen Dakwah dan Komunikasi

Dakwah menekankan pada proses pemberian motifasi untuk melakukan pasan

dakwah (ajaran Islam). Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Ali Mahfudz

terdahulu, setidaknya unsur dan proses dakwah30 dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar. 1. Proses Dakwah menurut Ali Mahfudz

Unsur dakwah tersebut menunjukkan dan memberikan sebuah pemahaman

bahwa dakwah memiliki urutan dan unsur atau komponen yang terdiri dari da‟i,

pesan, metode, mad‟u dan tujuan yang akan dicapai. Unsur-unsur itu merupakan satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tetapi bia dibedakan, berdasarkan definisi atau

proses kegiatan dakwah lebih bersifat secara liniear, menyerupai model komunikasi

Harold D. Lasswell; Who, What, Channel, Whom, Effect,31atau dengan formula S-M-C-R-E (Source, Message, Channel, Receiver and Effect).32

Gambar. 2. Proses Komunikasi

Sementara istilah komunikasi sendiri (communication) berasal dari bahasa latin, yaitu communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya

30

Ibid. h. 6.

31

Lihat, Wiryanto., Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta; Grasindo, 2006), h. 17.

32

Ibid., h. 8.

DAI PESAN METODE MAD‟U TUJUAN

(28)

communis, yang bermakna umum atau bersama-sama.33 Onong Uchjana mengemukakan; komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang

kepada orang lain, dengan tujuan memberi tahu atau untuk mengubah sikap,

pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui

media tertentu.34

Dakwah demikian halnya komunikasi identik dalam konteks maknanya

sebagai komunikasi manusia. Namun keduanya memiliki dimensi-dimensi dan

model-model yang beragam, meliputi keseluruhan aktifitas komunikasi manusia

(human communication) bahkan komunikasi transenden (meta communication). Namun, yang menjadi pokok dalam bahasan ini adalah bagaimana tujuan yang

terkandung dalam suatu komunikasi atau dakwah.

Tujuan komunikasi yang dimaksud yaitu; memberi tahu atau untuk mengubah

sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior). Pengertian itu jelas

adalah sebentuk tindakan berdakwah, misal Rusydi Hamka menjelaskan, dakwah

merupakan kegiatan penyampaian petunjuk Allah kepada seseorang atau sekelompok

masyarakat, agar terjadi perubahan pengertian, cara berpikir, pandangan hidup, dan

keyakinan, perbuatan, sikap, tingkah laku, maupun tata nilainya, yang pada gilirannya

akan mengubah tatanan masyarakat dalam proses yang dinamik.35

Lebih lajut, Ali Mahfudz mengemukakan penjelasan bahwa tujuan dakwah

sebagai proses mendorong manusia agar melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk,

33

Ibid., h. 5.

34

Lihat, Onong Uchjana., Dinamika Komunikasi, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), h. 5.

Paradigma komunikasi mendeskripsikan suatu tujuan (intentional), maupun wujud komunikasi; baik

secara langsung (direct communication) maupun tidak langsung (indirect communication).

35

(29)

menyeruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari berbuat munkar agar

mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam tataran realitas, artikulasi dakwah lebih menekankan pada

pengorganisasian dan pemberdayaan sumber daya manusia daya manusia (khalayak

dakwah dalam melakukan berbagai petunjuk ajaran Islam (pesan dakwah),

menegakkan norma sosial budaya (ma’ruf) dan membebaskan kehidupan manusia

dari berbagai penyakit sosial (munkar). Definisi ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Mutawakil, Menurutnya, dakwah adalah ;

Mengorganisasikan kehidupan manusia dalam menjalankan kebaikan, menunjukkannya ke jalan yang benar dengan menegakkan norma sosial budaya dan menghindarkannya dari penyakit sosial.36

Definisi dakwah tersebut menekankan pada sistem dalam menjelaskan

kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran, menganalisis tantangan problema kebatilan

dengan berbagai macam pendekatan, metode media agar mad’u mendapatkan

keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, belum ditemukan sebuah literatur

yang komprehensif membahas tentang bagaimana pandangan Islam jika dakwah itu

berbingkai entertainment, atau dakwah via televisi sebagaimana munculnya wacana dakwah bil-qalam (jurnalisme Islam) sebagai karya para jurnalis muslim yang mengelaborasi dakwah ke dalam media massa. Demikian pun istilah religiotainment

atau dakwahtainment, merupakan suatu istilah baru dalam dunia pertelevisian yang belum dapat dijelaskan secara ilmiah batasan-batasan atau bagaimana kriteria spesifik

yang melingkupi defenisi atas penggabungan dua kata tersebut (dakwah plus entertainment).

36

(30)

C. Religiotainment Televisi

Televisi, secara teknis dianggap memiliki nilai lebih karena daya publikasi

yang mampu menembus batas territorial suatu Negara, dan sekalipun pelosok daerah

terpencil dengan akses audio visualnya, jika dibandingkan radio (hanya audio/suara)

maupun media cetak yang sekedar visual teks/tulisan.37 Terdapat banyak stasiun

televisi komersial, baik yang berskala nasional maupun lokal di Indonesia, yaitu

Cakrawala Andalas Televisi (antv), Global TV (GTV), Indosiar Visual Mandiri

(Indosiar), TV One, Metro TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra

Televisi (SCTV), MNC TV, Televisi transformasi Indonesia (Trans TV), Trans 7, dan

Televisi Republik Indonesia (TVRI).38

Keberadaan televisi dewasa ini dianggap sebagai agama masyarakat industri,

karena eksistensi televisi dapat menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya

didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dari jamaah agama apapun.

Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi, ritus-ritusnya diikuti dengan

penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan agama-agama yang

ada.39

Demikian halnya kebangkitan semangat keberagamaan atau kegandrungan

spiritual di tanah air merupakan fenomena yang menarik untuk diamati. Pada bulan

Ramadhan misalnya, televisi berlomba-lomba menayangkan program-program

37

Lihat, Wawan Kuswandi., Komunikasi Massa; Sebuah Analisis Isi Media Televisi, dengan

kata pengantar oleh Rusdi Muchtar. (Jakarta; Rineka Cipta, 1996), h. v. 38

Lihat, Rahmad Setiadi., Perkembangan Teknologi Televisi dan Industri Penyiaran. http:

//www.scribd.com(akses 10 Oktober 2010).

39

Lihat, Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei., Metode Pengembangan Dakwah,

(31)

program yang bernafaskan Islam seperti kuis ramadhan, dialog interaktif (saat sahur

dan menjelang berbuka), sinetron bertema Islam dan beberapa program yang dikemas

dengan nuansa Islam, tapi setelah bulan Ramadhan berakhir, maka berakhir pula

program-program Islam tersebut.

Bagi sejumlah pengamat, gejala Islamisasi ruang publik atau meminjam

istilah Idi Subandi “Islamisasi tempat-tempat sekular” dipandang mulai mengimbangi “sekularisasi kesadaran” yang telah memoles batin manusia modern.40

Program

keagamaan diharapkan (dassein) menjadi suatu penetrasi terhadap hegemoni program televisi yang lebih mementingkan sisi komersial semata dan selera pasar yang ansich.

Namun konten dakwah berbasis religiotainment, tidak hanya memaparkan ceramah-ceramah monolog tentang halal-haram, baik-jahat, surga-neraka, dan

sinetron-senetron padat-moral. Akan tetapi, menurut Idi Subandi:

… ada semacam upaya untuk menerjemahkan kebangkitan kesadaran religius … kedalam fenomena “Islamisasi televisi” atau bahkan “Islamisasi iklan”. Tentu saja, betapapun kita menafsirkan kata “Islamisasi” itu.41

Fenomena yang menarik, misalnya, artis mulai berbondong-bondong

melakukan umroh dan haji plus di bawah bimbingan para kiai populer pujaan umat.

Ada pula kiai menjadi bintang iklan makanan instan. Fenomena yang disebut para

kritikus budaya pop sebagai pengheroan atau atau “heroisasi para artis“ tampaknya

mulai trendi dalam acara-acara berbau keagamaan.42

Dalam kaitannya dengan objek penelitian ini, dakwah via televisi dengan

(32)

nampaknya belum lengkap kalau tidak didampingi oleh seorang artis atau pelawak

yang lagi ngepop sebagai acara bincang-bincang atau sebagai presenter yang

memandu acara. Idy Subandi menyebut pengemasan acara tersebut sebagai

religiotainment”, yang artinya hiburan dengan sentuhan agama atau agama dengan

bumbu hiburan.43

Media populer, terutama televisi, dengan canggih memanfatkan potensi artis,

kiai, ulama, mubaligh, tukang obat, dan melakukan “selebritisasi” pengalaman keagamaan mereka dalam “paket-paket” tontonan yang sebagian besar mengisi

program acara keagamaan yang rutin dan terutama pada momen hari besar

keagamaan.44 Sebagai contoh; Islam Itu Indah di Trans TV, Mama Dede dan Aa di

Indosiar, Ustadz Solmed di SCTV, Qurratul Uyun di MNC TV, Pemilihan Da‟i Cilik (Pildacil) di ANTV, Realigi, Islam KTP dan pelbagai sinetron bertema religi lainnya.

Maraknya program religiotainment di televisi ini seolah-olah merepresentasikan realitas kondisi masyarakat yang haus akan sentuhan spiritual.

Terlepas dari efektif atau tidak sajian tersebut, setiap tayangan itu tidak lepas dari

agenda penyutradaraan. Tentu saja, isinya sesuai yang dikehendaki sang sutradara

dan para pemilik modal. Saat ini, religiotainment memang cenderung pada pengaburan makna dakwah dan tujuan dakwah. Niat menyampaikan dakwah yang

dibalut domain binis (mengikuti selera pasar) justru akan berdampak pada

kemunduran dakwah itu sendiri. Apalagi yang dikhawatirkan jika dakwah itu

diartikan sebatas hiburan.

43

Ibid. h. 155.

44

Asumsi tersebut dikaitan dengan kontradiksi-kontradiksi budaya yang disebabkan

(33)

D. Pendekatan Teori Semiotika

Menurut John Fiske, tanda merupakan fokus studi dalam studi semiotika.45

Mengacu pada asumsi Fiske itu, studi semiotika dalam konteks ini digunakan sebagai

pendekatan untuk menganalisis teks media (baca; program televisi). Teks media

dalam arti dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, dimana seperangkat tanda

tersebut tidak pernah membawa makna tunggal, melainkan diversitas makna di

dalamnya.46

1. Pengertian Semiotika

Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata yunani semion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi

sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain hal.

Secara terminologis, semiotik dapat diidentifikasai sebagai ilmu yang

mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

sebagai tanda, sebagai “ilmu” tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan

penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.47

Lebih lanjut Mc Quil mengatakan, semiotik adalah ilmu umum tentang tanda

dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenisnya, yang karenanya semua

hal yang berkaitan dengan signifikasi (signification), meskipun tidak terstruktur, beraneka ragam, dan terpisah-pisah. Konsep “sistem tanda” dan “signifikasi” telah

biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotik terutama berasal dari de

(34)

Sassure. Tanda adalah setiap “kesan bunyi” yang berfungsi sebagai “signifikasi” sesuai yang “berarti”, suatu obyek atau konsep dalam dunia pengalaman yang ingin

dikomunikasikan.48

Menurut Roland Barthes, semiotik adalah “ Ilmu mengenai bentuk (form)”.

Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari isinya (content). Lebih lanjut, Inglis mengatakan, semiotik tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka (tanda), yang berhubungan secara

keseluruhan. Teks yang dimaksud Roland Bartes adalah dalam arti luas. Teks tidak

hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat meneliti teks dimana

tanda tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem.49 Karena itu, semiotik dapat meneliti

bermacam-macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, drama, dan

termasuk program televisi sebagai representasi dari teks media massa (televisi).

2. Model Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

memperaktikkan model linguistik dan semiologi Sassurean. Ia berpendapat bahasa

adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat

tertentu dalam waktu tertentu.50

Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte, bukan hanya untuk membangun

suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak

48

Aliran strukturalisasi modern pun menekankan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawa kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar-gambar material (van Peursen, 1991:240).

ibid., h. 108-109.

49

Ibid., h. 123.

50

Roland Barthes mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj. Inggris

(35)

untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling

meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan

bukan tiruan dari yang nyata.51

Dalam buku “The Death of Author” (Kematian Sang Pengarang), ia banyak

memaparkan tentang peran pengarang, buku, dan teksnya. Dikatakan, penggusuran

pengarang, peran sang pengarang yang makin mengecil (seperti pemain yang

meninggal pada ujung panggung) bukan hanya suatu fakta sejarah atau suatu tindakan

penulis saja: hal ini sama sekali mengubah teks modern (atau, dengan lain perkataan,

teks diproduksi, dibaca, dan pengarang tidak hadir disana, pada setiap tingkat).

Kita tau bahwa suatu teks terdiri bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan satu “makna teologis” (artinya, pesan dan tuhan pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.52

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda

adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar

mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemakanaan tataran ke-dua, yang

dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemakanan tataran ke-dua

dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes

disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari

51

Ibid., h. 66-67.

52

(36)

denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev,

Barthes menciptakan peta53 tentang bagaimana tanda bekerja:

a. Signifier (penanda)

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah

juga petanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:

hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,

kegerangan, dan keberanian menjadi mungkin.54

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti dari

penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran

denotatif.

Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E)

dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan dalam sebuah relasi (R). kesatuan

dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (REC). Sistem

(37)

sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes

sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian.55

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian

secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam

pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfia, makna yang

“sesungguhnya”, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan.

Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya

mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang

terucap.56

Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya,

denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi

merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan

ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi

yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes

mencoba menyingkirkan dan menolaknya.57

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di

dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun

sebagai sistem yang unik, mitos dibangun sebagai suatu rantai pemaknaan yang telah

Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini terasa mungkin

berlebihan, namun ia tetap beguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”

(38)

ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan

tataran ke-dua.58

Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos

maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi

secar termotivasi. Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran

palsu yang membuat orang hidup dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas

hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan

ada, dan itulah sebabnya didalam Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu

ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan

demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes

masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar,

sudut pandang, dan lain-lain.

58

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah

interpretative atau deskriprif kualitatif. Secara metodologis, kritisme yang terkandung

dalam teori-teori interpretatif, merupakan cara berfikir mazhab kritis (Frankfurt school) terbawa pula dalam kajian semiotik.59 Sesuai dengan paradigma kritis, analisis semiotik bersifat kualitatif. Menurut Bungin, jenis penelitian ini memberi

peluang yang besar bagi interpretasi alternatif.

Dalam penerapannya metode semiotik ini menghendaki pengamatan secara

menyeluruh dari semua teks, termasuk cara penyajian (frame) maupun istilah-istilah yang di gunakannya. Dengan memperhatikan koherensi makna antar bagian dalam

teks dan koherensi teks dengan konteksnya.60 Karena itu dalam penelitian ini, analisis

dilakukan terhadap rangkaian program Islam Itu Indah, baik itu penokohan, judul,

konfigurasi tema, dan cara penyajian yang digunakan Trans TV dalam

mengkonstruksi program tersebut.

59

Aliran Frankfurt terkenal kritis dengan persoalan lambang atau simbol, yang di pakai sebagai alat persekongkolan dan hegemoni. Kekuasaan hegemonik merupakan kekuasaan dari satu kelompok masyarakat yang di terima atau di anggap sah oleh kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Misalnya ideologi media massa di sorot tajam dalam mazhab ini. Lihat, Bungin, Penelitian Kualitatif.

(Jakarta : Kencana Pranada Media Group. 2007), h. 173. Lihat juga Alex sobur., op. cit, h. 147-148.

60

Ibid., h. 173.

(40)

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini (analisis teks) dilaksanakan di wilayah Makassar-Sulawesi

Selatan. Sementara penelitian yang sifatnya observasional dan wawancara

dilaksanakan di studio Trans TV Jl. Kapten Tendean Jakarta Selatan. Adapun waktu

tentatif yang digunakan dalam mengumpulkan data dan menganalisa program Siaran

Islam Itu Indah berkisar dua bulan, sejak 8 Oktober s/d November 2011.

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan diarahkan kepada pengungkapan pola pikir yang

dipergunakan peneliti dalam menganalisis sasarannya, atau dalam ungkapan lain

pendakatan ialah disiplin ilmu yang dijadikan acuan dalam menganalisis objek yang

diteliti sesuai dengan logika ilmu itu.

Metode pendekatan biasanya disesuaikan dengan bidang profesi peneliti.

Namun tidak tertutup kemungkinan peneliti menggunakan multidisipliner. Dilihat

dari inti permasalahan yang dikaji, penulis menggunakan pendekatan multidisipliner

seperti uraian dibawah ini:

1. Pendekatan Teori Jurnalistik-Komunikasi

Pendekatan teori yang dimaksud memiliki relevansi dengan aplikasi penyiaran

dan konten program televisi. Dalam arti, mengkaji persoalan dari sudut pandang

hukum pers, dan normatifitas ajaran Islam terkait program dakwah berbasis

entertainment (religiotainment).

2. Pendekatan Analisis Teks/Wacana Media

Dalam hal ini semiotika, yakni mengkaji struktur tanda dalam program

(41)

menelusuri kontekstualisasi makna dibalik program dakwah religiotainment, signifikasi dua tahap model Roland Barthes digunakan sebagai kerangka analitis.61

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis menggunakan varian metode

pengumpulan data, antara lain:

1. Data Pustaka

Dalam hal ini mengadakan penelusuran data pustaka yang bertujuan untuk

mendapatkan keterangan data bersifat teori, dari literatur-literatur yang relevan

dengan materi penulisan ini. Termasuk di sini Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang

diterbitkan UIN Alauddin Makassar, yang menjadi acuan dasar secara teknis

penulisan sebuah karya ilmiah.

2. Bahan Visual

Menurut Bungin, bahan visual (program televisi) merupakan bahan yang

menyimpan berbagai informasi yang sangat berguna di dalam suatu penelitian.62

Berdasarkan asumsi tersebut, program dakwah berbasis religiotainment (Islam Itu Indah) menjadi fokus dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan

adalah camcorder (kamera digital) untuk merekam program Trans TV, tape recorder

untuk merekam wawancara, dan bahan visual yang diperoleh pasca penelitian.

3. Wawancara dan Dokumentasi

Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh keterangan langsung dan

objektif terhadap elemen Trans TV (pihak program Islam Itu Indah) maupun dengan

(42)

diperoleh baik berupa profil Islam Itu Indah, Ustadz Maulana dan dokumen resmi

atau laporan-laporan tertulis dari pihak Trans TV, yang relevan dengan

pengembangan data penelitian.

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data

1. Unit Analisis

Unit Analisis adalah objek makro penelitian ini adalah program

religiotainment Trans TV (Islam Itu Indah). Mengingat dan mempertimbangkan rangkaian program Islam Itu Indah berjalan per-episode (± 2 tahun) yang berarti hal

itu membutuhkan waktu penelitian relatif lama, maka objek mikro yang dipilih untuk

dianalisa adalah empat serial/episode, sebagai berikut.

Tabel. 1. Unit Analisis

No Tema Waktu Tayang & Lokasi Audience & Bintang tamu

1. Kejujuran 24 April 2011 - Masjid

(43)

2. Analisis Data

Menurut van Zoest, pemahaman terhadap struktur semiotik menjadi dasar

yang tidak bisa ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme.

Lebih lanjut, van Zoest mengatakan, bahwa seorang penafsir adalah yang

berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji obyek yang dipahaminya.63

Menurut Hamad, semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas

sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis. Berpijak

pada asumsi tersebut, metode analisis semiotik dikorelasikan dengan hasil

pengumpulan data. Dari segi analisa struktur tanda, yang menjadi rujukan adalah teori

pemetaan tanda, untuk menganalisa hubungan kenyataan dan jenis dasarnya.64

Pemetaan tanda terdiri atas :

1. Ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (program Islam itu Indah).

2. Indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya.

3. Simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konfensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.

Berkenaan dengan pertanyaan kedua penelitian, yang berfokus pada analisis

makna secara denotatif maupun konotatif atas program religiotainment, semiotika model Roland Barthes, yang disebut sebagai proses signifikasi dua tahap (two order of signification) digunakan sebagai kerangka analitis. Adapun aspek yang dianalisis

(44)
(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Sekilas Tentang Trans TV dan Siaran Islam Itu Indah

1. Profil Trans TV

Trans TV atau Televisi Transformasi Indonesia adalah sebuah stasiun televisi

swasta Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup

Para-nya. Stasiun ini melakukan siaran pertama kali pada tahun 2001. Dengan motto

"Milik Kita Bersama", konsep tayangan stasiun ini tidak banyak berbedah dengan

stasiun televisi swasta lainnya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans

Corporation. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre

Tendean, Jakarta Selatan Direktur Utama Trans TV saat ini adalah Wishnutama.

Trans TV memperoleh izin siaran didirikan pada tanggal 1 Agustus 1998

Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001 meski baru terhitung siaran

percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TV-nya di Jakarta dan

Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa

pukul 19.00 WIB malam. Trans TV kemudian pertama mengudara mulai diluncurkan

diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tanggal 15 Desember 2001 sejak

sekitar pukul 19.00 WIB Malam, Trans TV memulai siaran secara resmi.65

65

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Trans_TV

(46)

2. Struktur Program Islam Itu Indah

Pengarah Produksi : Wishnutama

Penaggung Jawab Produksi : Roan y. Anprira

Penanggung Jawab Program Produksi : Gina Mayangsari Firmansyah

Perangcang Eksekutif : Nur Asfin Mardini

Prancing Acara/Produser : Sunka Da Ferri

Pengarah Acara/FD : Wiranto

Kreatif : Gina Herlianawati & C. Permata S

Asisten Produksi : Gina Sagita & Maulani Nurseha

Pusat Pengembangan Kreatifitas Produksi : Nova Wahyudi & Lulu

Penanggung Jawab Operasional Produksi : Qilla Jozal Sangikilawang

Penanggung Jawab Lapangan/Acara : Dadang Sofyan

Pengarah Lapangan : Mike Alwayini

Pinata Musik : Daud Sakty

Penanggung Jawab Sekretariat Produksi : Azmi Yansyah Siregar

Manager Unit Produksi : Marina N, Yoanita Adesti, Agung

Penanggung Jawab Penunjang Produksi : Faturrahchman

Unit riset Produksi : Maytha Adriani

Unit Artis : Gregori Umar, Bambang Acil

Unit Sponsor Produksi : Nurwulan, Maruhal P. Simanjuntak

P.J Teknik dan Servis Produksi : Azijan Syahril

Penanggung Jawab Servis Produksi : Imam Martono

Penanggung Jawab Studio dan Ob Van : Rachmat Hidayat

(47)

Penyunting Gambar : Tim Grahandika

Perancang Teknik : Sofyan

Peñata Gambar : Ilman (spv), Roni Jondro, Dwi

Artatilar,Nur Muhammad, Budi

Wijaya

Peñata Cahaya : Sadmoko (spv), Tri Prio, Roki

Peñata Suara : Hendri A. (spv), Suhawi, Ardiansya

Juru Rekam : Yulianto

Penyelaras Kamera : Noeman P.

Penanggung Jawab Artistik : Dni C. Sapoerto

Peñata Artistik : Indra Adiansyah, Adela Tirsananda,

Doli Gali

Penata grafis : Triono Budi (spv), Dhimas

Penanggung Jawab Transmisi : Wawan Julianto

Promosi Siaran : T. Andarwan, M. Hamdar, Kristin,

Edgar, Deni Stanzal

Penanggung Jawab Teknologi Informasi : Winno W.A.

Penanggung Jawab Program : A. Ferisko Irwan, Ichwan Muri,

Wisyarani

3. Biografi Ustadz Muh. Nur Maulana

Ustadz Muhammad Nur Maulana Sejak tiga tahun terakhir ini mengaku

jadwal dakwahnya semakin padat. Sehari, ia kadang menghadiri lima undangan untuk

(48)

di rumah-rumah warga, sekolah, hingga di kantor-kantor

pemerintah dan swasta. Mereka yang mengundangnya pun

tidak hanya berasal dari Makassar, Gowa, dan Maros atau di

daerah Sulawasi Selatan saja. Tetapi juga sering dari luar

wilayah Sulawesi Selatan, misalnya, Kabupaten Morowali

di Sulawesi Tengah dan Kendari di Sulawesi Tenggara.

Bahkan beberapa kali Ustadz Maulana menghadiri undangan untuk berdakwah di

Kalimantan seperti di Samarinda, Tarakan, Balikpapan dan Kaimena Irian Barat.

Umumnya yang mengundang dari Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan yang ada di

daerah tersebut.66

Ustadz Nur Maulana mulai berdakwa sejak usia 14 tahun saat masih duduk di

SMP DDI Galesong Beru, Makassar. Aktivitas berdakwahnya terasah saat menjadi

santri di Pondok Pesantren An-Nahdah (setingkat SMA) Makassar. Di pesantren

inilah Ustadz Maulana banyak belajar dengan pimpinan pondok pesantren, KH.

Muhammad Harisah. Di pesantren ini pula Ustadz mendapat jodoh yang kini menjadi

istrinya bernama Nur Aliah dan dinikahinya pada 8 Agustus 2008 lalu. Selain

pelajaran dari pesantren, Nur Maulana mengaku banyak belajar tentang Islam melalui

buku-buku Islam, media massa, dan beragam literatur lainnya. Sedangkan referensi

humor-humor yang kerap diselipkan di sela-sela dakwahnya, diperolehnya dari

membaca koran, majalah, dan televisi.67

Ustad Maulana dengan istilah ”Jamaah oh Jamaah”, menjadi ciri khas dalam

memberikan ceramah. Ustad Maulana demikian namanya semakin populer, yang

66

Muhammad Nur Maulana., Pemeran Utama Islam Itu Indah, wawancara oleh penulis di Jl. Sibula Dalam Makassar, 17 Oktober 2011.

67

Ibid.

(49)

dahulu hanya berceramah dari kampung ke kampung di kota asalnya, Makassar.

Berawal dari seseorang yang meng-upload video ceramahnya ke jejaring internet (youtube) membawa Ustad Maulana ke dalam industri pertelevisian (TransTV) dengan mengisi program siaran ”Islam Itu Indah”.68

Nama : Muh. Nur Maulana

Lahir : Makassar, 20 September 1974

Anak ke : keempat dari tujuh bersaudara

Ayah : Maulana

Ibu : Masyita

Istri : Nur Aliah

Anak : Munawwara dan Munira

Pendidikan : Pesantren An-Nahdlah Makassar (lulus 1994)

Alamat : Jl. Sibula Dalam No 15, Makassar Sulawasi Selatan.

Profesi :

- Guru Agama Islam SD Mangkura Makassar

- Guru SD Islam Athirah Makassar

- Pesantren An-Nahdlah Makassar

68

(50)

B. Struktur Tanda Program Siaran Islam Itu Indah Trans TV

Dakwah via televisi, memang bukan fenomena baru dalam industri

pers-media massa. Namun publikasi dakwah tersebut banyak mendapat perhatian

dikalangan kritkus media, akademisi, berkaitan dengan dakwah yang dikonstruksi

dengan entertainment (baca; religiotainment) terutama kehadiran para Da‟i yang memang berpotensi sebagai ikon komersial incaran media massa. Eksistensi para da‟i

yang berdakwah melalui televisi ini membangun suatu citra tersendiri di ranah publik.

Pelbagai potensi yang dimaksud di atas, misalnya ciri khas yang menonjol dan

marketable pada metode penyampaian dakwah oleh para Da‟i. Misalnya, K.H. Zainuddin MZ, AA Gymnastiar, Soleh Muhammad (Ustadz Solmed), Ustadz Jefri

(Uje‟), Quraish Sihab, masing-masing memiliki karakter dalam berdakwah, yang

boleh jadi di mata produser dan visualizer adalah sebuah potensi komersial yang akan dikodifikasi dalam konstruksi program televisi.

Upaya yang dilakukan pihak media untuk membingkai suatu siaran, tidak

lepas dari proses industrialisasi atau komersialisasi, dimana iklan menjadi faktor yang

determinan dalam lanskap media massa. Dalam perkembangan lebih lanjut,

indutrialisasi tidak hanya memungkinkan proses massifikasi, yang menuntut

standarisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa (taste), tapi juga telah membawa perkembangan baru dengan semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah

yang menandai komersialisasi atas produk religiotainment. Ironinya, publikasi pernak-pernik simbol religiusitas melalui layar kaca cenderung mendominasi

dibanding penyampaian materi dakwah yang berbasis “amar makruf nahyi munkar.

Pada gilirannya problem yang muncul bersifat dualisme, antara dakwah dan

(51)

sama lainnya, bukan sebaliknya eksklusifitas dakwah yang sekedar berbungkus

hiburan. Karena itu, pendekatan semiotika paling tidak menjadi sebuah alternatif

penafsiran atas fenomena religiotainment (Islam Itu Indah), sekaligus menjabarkan diversitas makna yang terkandung di dalamnya.

Pada level struktural, konstruksi tanda (signs) dalam program religiotainment

Islam Itu Indah dapat diretas melalui sudut pandang teori pemetaan tanda,69 yang

terdiri atas ikon, indeks, dan simbol sebagaimana berikut.

Tabel. 2. Episode bertema “Kejujuran” 24 April 2011

Signs Description

Ikon : dalam episode ini Trans TV menampilkan beberapa ikon yang

menarik, antara lain; Ustadz Muh. Nur Maulana dengan busana

Muslim sebagai narasumber, Briptu Norman berpakaian seragam

kepolisian, Anisa dan sejumlah Majelis Taklim yang berbusana

Muslim dengan setting lokasi di dalam Masjid.

Gambar 4.A. Ikon Islam Itu Indah Trans TV

69

Gambar

Tabel. 1. Unit Analisis
Gambar 4.A. Ikon Islam Itu Indah Trans TV
Gambar 4.B. Indeks Islam Itu Indah Trans TV
Gambar 4.C. Simbol Islam Itu Indah Trans TV
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dan kelas prenatal (kelas ibu hamil) yang merupakan metode untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil terkait dengan perawatan kehamilan, persalinan nifas dan bayi baru

Penelitian analisa prospek bisnis budidaya pembesaran ikan bandeng ( Chanos chanos ) di Kecamatan Tugu perlu dilakukan untuk menganalisa dalam bagaimana prospek

Dari hasil penelitian tentang Pengaruh penambahan bahan pengencer sperma terhadap fertilitas spermatozoa Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus ) dengan menggunakan

Dalam Kondisi saat ini banyak orang tua siswa yang protes ketika sekolah tetap mengutip uang Sekolah atau biaya Lainnya, Jika kita berbicara Marketing Word Of

Karena solvabilitas merupakan rasio yang menghitung se- berapa jauh dana yang disediakan oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan total u- tang terhadap keseluruhan

Secara keseluruhan pengaruh komposisi campuran biosolar dan minyak jelantah terhadap kualitas batubara hasil proses upgrading ialah bertambahnya zat terbang

Dengan sendirinya terbuka kembali hubungan dengan Belanda, mereka sudah berani menunjukan sikap penolakan tehadap dominasi elite daerah lain terutama elite politik dari Jawa