Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Jurusan Jurnalistik Pada
Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
Oleh SULFIANTO NIM. 50500107081
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2011
ii
terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain,
sebagian atau seluruhnya, maka skripsi yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 19 Desember 2011
Penyusun,
ii i
Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, setelah
dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan judul,
“Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans TV)”, memandang bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidangmunaqasyah.
Demikian persetujuan ini diberikan untuk diproses lebih lanjut.
Makassar, 8 Desember 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hj. Muliaty Amin, M.Ag. Ramsiah Tasruddin, S.Ag,M.Si
iv
munaqasyah yang diselenggarakan pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2011, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik ( dengan beberapa perbaikan ).
Makassar, 22 Desember 2011
DEWAN PENGUJI :
Ketua : Dr. Nurhidayat Muh. Said, M.Ag ( )
Sekretaris : Dr. Firdaus, M.Ag ( )
Munaqisy I : Dr.Mustari Mustafa, M.Pd. ( )
Munaqisy II : Drs. M. Yahya Mustafa, S.Sos.,M.si.( )
Pembimbing I : Dr. Hj. Muliati Amin, M.Ag. ( )
Pembimbing II : Ramsiah Tasruddin, S.Ag, M.Si ( )
Diketahui oleh :
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar,
v
Alhamdulillah, seuntai kalimat yang senantiasa penulis ucapkan atas segala
limpahan karuniah dan hidayah Allah Swt. Dengan rahmatNya jualah, hingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Fenomena Dakwah Berbasis
Religiotainment (Suatu Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans
TV), dan dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan shalawat selalu terpatri dalam
sanubari, sebagai haturan doa kepada reformis sejati Rasulullah Muhammad Saw, yang
telah membawa umat manusia keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan
yang diridhai oleh Allah Swt.
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Alauddin, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan
S1 (Strata 1). Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bimbingan
dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu,
patutlah dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT., M.S. selaku rektor UIN Alauddin Makassar.
2. Prof. Dr. H. Abustani Ilyas, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
3. Dr. Nurhidayat M. Said, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jurnalistik beserta
wakilnya bapak Dr. Firdaus Muhammad. Dengan segenap rasa tulus
memberikan arahan, motivasi, nasehat serta bimbingan selama penulis
menempuh kuliah di Jurusan Jurnalistik.
4. Dr. Hj. Muliati Amin, M.Ag., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan
waktu mengarahkan serta membimbing penulis sehingga skripsi ini
vi
Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Serta staf perpustakaan dan
staf tata usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
7. Ucapan terima kasih secara pribadi penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
Sofyan dan Syatirah, serta adinda Musfirah, atas cinta kasih, dukungan moril
dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
8. Ucapan terima kasih kepada Ustad M. Nur Maulana, Crew Islam Itu Indah,
Tomo Trans TV, Komunitas Mahasiswa Kreatif Jurnalistik, rekan
seperjuangan di jurusan Jurnalistik, junior-junior di jurusan Jurnalistik,
47.com, dan rekan seperjuangan yang tidak sempat disebutkan.
Semoga Allah Swt melimpahkan rahmatnya yang berlipat kepada seluruh pihak
atas jasa dan amal mulianya. Wassalamu Alaikum Wr, Wb.
Makassar, 6 Desember 2011
vi
C. Defenisi dan Ruang Lingkup Penelitian... ... 6
D. Tujuan dan Kegunaan...……... ... 8
E. Garis-Garis Besar Isi ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... ... 11-22 A. Pengertian dakwah dan Media Televisi ... 11
B. Komponen Dakwah dan Komunikasi ... 16
C. Religiotainment Televisi... ... 19
D. Pendekatan teori Semiotika... ... 22
BAB III METODE PENELITIAN... 28-31 A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 28
B. Metode Pendekatan ... 29
C. Metode Pengumpulan Data ... 30
vi ii
Itu Indah Trans TV ... 49
BAB V PENUTUP... .... 60-61 A. Kesimpulan... 60
B. Implikasi dan Saran ... ... 61
DAFTAR PUSTAKA... .... 61
ix
1. Unit analisis ... 30
2. Episode bertema “Kejujuran” 24 April 2011 ... 40
3. Episode bertema “Ayah dan Anak” 12 Mei 2011 ... 42
4. Episode bertema “Hidup Sebelum Mati” 19 Juni 2011 ... 44
x
2. Proses Komunikasi ... 16
3. Ustad M. Nur Maulana ... 37
4. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 4.A ... 38
5. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 4.B ... 39
6. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 4.C ... 40
7. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 5.A ... 53
8. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 5.B ... 53
9. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 5.C ... 54
10. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 6.A ... 44
11. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 6.B ... 45
12. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 6.C ... 46
13. Ikon Islam Itu Indah Trans TV 7.A ... 47
14. Indeks Islam Itu Indah Trans TV 7.B ... 47
15. Simbol Islam Itu Indah Trans TV 7.C ... 48
16. First order (Reality)Islam Itu Indah ... 50
xi
NIM : 50500107081
Judul Skripsi : Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment (Sebuah Analisis Semiotika Terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans TV)
Fenomena Dakwah Berbasis Religiotainment merupakan tema yang diketengahkan dalam skripsi ini. Suatu studi yang menganalisis isi (konten) siaran Islam Itu Indah pada Trans TV. Metode pendekatan kajian yang digunakan adalah analisis semiotika model Roland Barthes. Analisis semiotika berorientasi terhadap pemahaman atas struktur tanda siaran Islam Itu Indah. Dari segi analisa struktur tanda, yang menjadi rujukan adalah teori pemetaan tanda (ikon, indeks dan simbol), untuk menganalisa hubungan kenyataan dan jenis dasarnya. Sementara untuk menganalisa makna sosio-kultural siaran Islam Itu Indah, proses signifikasi dua tahap (two order of signification) model Roland Barthes digunakan sebagai kerangka analitis.
Hasil penelitian menunjukkan, secara struktural program Islam Itu Indah, mengkonstruksi tanda secara fisik (physical existance of the sign) yang dilihat melalui teori pemetaan tanda antara lain; 1) ikon 2) indeks 3) simbol di mana ketiganya berkaitan dalam proses signifikasi tahap pertama (first order). Sementara, signifikasi tahap kedua (second order) menunjukkan suatu multimakna sosio-kultural dalam konteks penafsiran terhadap fenomena religiotainment Islam Itu Indah, antara lain; komunikasi lintas budaya (intercultural communication), budaya tanding (counter culture), budaya populer (popular culture) dan budaya religi (religious culture).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Media massa diharapkan dapat berperan serta dalam pembangunan sumber
daya manusia, berperan mendidik khalayak, dan berperan dalam pengembangan atau
pelestarian budaya. Media massa memang lazim berhadapan dengan harapan dari
berbagai pihak. Sebagai institusi sosial, sudah kodratnya menjalankan fungsi yang
dilekatkan oleh pihak lain atas dirinya. Inilah yang menandai fungsi imperatif media
massa. Dengan demikian media massa dapat menjalankan fungsi sebagai bagian
dalam proses institusionalisasi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Akselerasi teknologi dalam bidang penyiaran (televisi), merupakan
pendukung utama bagi terselenggaranya proses institusionalisasi tersebut. Dengan
dukungan teknologi mutakhir dalam berbagai bentuk dan berbagai kepentingan dapat
disebarluaskan begitu rupa, sehingga dengan mudah dapat mempengaruhi cara
pandang dan gaya hidup khalayak. Namun, yang menjadi fokus dalam bahasan ini
bukan mengukur (output) sejauhmana bentuk pengaruh media terhadap khalayak, melainkan menelaah konten/isi siaran televisi mencakup konteks sosial budaya yang
melingkupinya.
Studi semiotika adalah salah satu alternatif metodologi yang dimaksud untuk
menelaah konten yang terkandung dalam siaran pertelevisian. Dengan kata lain,
pendekatan semiotika meniscayakan penafsiran yang holistik dan kontekstual
terhadap muatan ideologi, politik, dan budaya yang diasosiasikan melalui konstruk
symbols dalam siaran televisi. James P. Spradley dan Clifford Geertz, mengatakan,
semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.1 Senada
dikemukakan oleh Tomlinson yang dikutip Idi Subandy, bahwa budaya dapat
dipahami sebagai tatanan kehidupan yang di dalamnya manusia membangun makna
melalui praktik-praktik reperesentasi simbolik, yakni dengan berkomunikasi satu
sama lain.2
Dalam konten siaran televisi sebenarnya terdapat berbagai simbol yang sering
dijumpai, signifikan dengan makna kebudayaan tertentu. Produksi budaya televisi,
yang oleh Alex Sobur mengatakan, “membudayakan televisi berarti menjadikan televisi bagian yang fungsional dari perkembangan kebudayaan”.3
Konstruksi sebuah
program televisi merupakan wujud menelevisikan atau mengasosiasikan nilai-nilai
budaya, selain sebagai wahana transformasi pendidikan, hiburan, dan informasi.4
Salah satu trend yang fenomenal dalam program televisi adalah siaran dakwah yang dikemas bernuansa hiburan (religiotainment). Program ini menjadi semacam komoditas baru untuk mengangkat image sebuah stasiun televisi. Belum lengkap terasa jika sebuah stasiun televisi tidak memiliki program dibidang keagamaan.
Karena itu, stasiun televisi tidak segan menanamkan investasi besar untuk program
ini, dengan sasaran income yang berlipat pula dari klien pengiklan.5
1
Lihat, Alex Sobur., Semiotika Komunikasi, (Cet. 3; Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006), h.
176-177. 2
Lihat, Idi Subandy., Budaya Populer Sebagai Komunikasi, (Cet. 1; Jogjakarta; Jalasutra,
2007), h. xx-xxi. 3
Alex Sobur., op. cit, h. 185
4
Uraian lengkap tentang fungsi pers-media massa, lihat, Onong Uchjana Effendy., Dinamika
Komunikasi (Bandung; Rosdakarya, 2008), h. 64-65
5
Asumsi ini didasarkan atas observasi awal yang diadakan penulis terhadap mekanisme siaran
Implikasi nilai komoditas informasi di balik sebuah program secara tidak
langsung dapat memicu setiap stasiun televisi untuk memunculkan inovasi terbaru
dalam programnya, termasuk di sini maraknya program religiotainment (dakwah plus
hiburan).6 Menyoal dakwah via televisi menjadi menarik untuk dikaji, tentu analisa
yang diangkat bukan sekedar menyoal fenomenanya secara tekstual, namun konteks
makna yang dibangun dalam program religiotainment itu perlu dilihat secara kausal sejauh mana ia berkontribusi dalam pengembangan komunikasi-dakwah.
Idealnya kegiatan dakwah bisa dilakukan dalam formulasi/bingkai
entertainment, yaitu dakwah hiburan yang menginternalisai pesan-pasan dakwah ke dalam dimensi hiburan sehingga lebih persuasif dan dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat.7 Seperti ungkapan Geertz, bahwa kekuatan sebuah agama dalam
menyangga nilai-nilai sosial, terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk
merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu menjadi bahan dasarnya.8 Karena itu,
program dakwah berbasis religiotainment (untuk tidak mengatakan seluruhnya) cenderung dapat dimaknai sebagai representasi suatu budaya religi yang dihadirkan
melalui teknologi visualisasi simbol-simbol yang signifikan dengan realitas sosial.
Namun pada kenyataan, dakwah berbasis entertainment pada stasiun televisi tertentu, muatannya cenderung lebih bernuansa hiburan dari pada dakwah. Sehingga
problemnya terletak pada sulitnya menemukan titik temu dualisme, yakni formulasi
6
Sebagai contoh; Realigi, dan Islam Itu Indah di Trans TV yang mulai tayang perdana 12
Desember 2010, Kemudian Indosiar juga mempunyai program bernuansa religi “Mama Dede dan Aa”, Ustadz Solmed di SCTV, Qurratul Uyun di MNC TV, Pemilihan Da‟I Cilik (Pildacil) di ANTV, dan
sinetron bernuansa religi misalnya Islam KTP, Para Pencari Tuhan dan lainnya. 7
Lihat, Firdaus Muhammad., Dakwah Dalam Bingkai Religiotainment. (Orasi Ilmiah yang
disajikan Dalam Kuliah Umum Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar) 8 September 2011).
8
dakwah via televisi yang subtantif tanpa harus menepikan aspek hiburan di dalamnya.
Disinilah terlihat suatu dilema, menunjukkan bahwa kegiatan dakwah seolah-olah
menjadi stimuli media (baca; mesin kapitalisme) agar tetap eksist di mata khalayak
atau sekedar menarik pengiklan melalui upaya peningkatan “rating”program.
Sebagai contoh, program siaran “Islam Itu Indah” di Trans TV, termasuk
program televisi yang membingkai dakwah dengan dimensi entertainment. Dalam pandangan sepintas masyarakat awam, boleh jadi kemasan program tersebut menjadi
lebih menarik, konstruk dakwah dengan materi normatif bernuansa hiburan
bertaburan simbol-simbol religius.
Menelisik daya tarik Islam Itu Indah, tidak terlepas dari pemilihan figur utama
(Ustad Muh. Nur Maulana) yang mengisi program Trans TV tersebut. Semarak
dakwah melalui media Trans TV kian diminati karena personafikasi sang ustad yang
sifatnya humoris, menghadirkan sejumlah majelis taklim dan kalangan selebriti
papan atas. Jika dianalisa pada konteks sosial budaya, Trans TV mencoba
mengkonstruksi simbol budaya tertentu sebagai ikon komersial. Dari segi bahasa
(misalnya kata iye; baca iya) dan dialek ustadz Maulana (jama‟aaah, oooh,
jama‟aaah), menampilkan kultur Makassar secara simbolis.9
Littlejohn yang dikutip H. Santoso, mengatakan “komunikasi terjadi dengan
perantaraan tanda-tanda (sign), basis seluruh komunikasi adalah tanda-tanda”.10 Karena itu, konstruk bahasa ustadz Maulana merupakan representasi kultur Makassar
secara simbolis yang tersaji dalam program Siaran Islam Itu Indah. Unsur-unsur
simbolis (tanda) dalam program tersebut secara struktural dapat diidentifikasi melalui
9
Asumsi ini didasarkan atas observasi awal yang diadakan penulis terhadap konten siaran
“Islam Itu Indah” pada stasiun Trans TV. Jakarta, Juli-Sepetember 2011. 10
tema, narasi-bahasa, karakter penokohan, busana yang digunakan, dan lainnya
sebagai mencerminkan nilai-nilai keagamaan.11
Meski demikian, isi program religiotainment sekalipun sarat dengan culture and religious symbolic, namun hal itu (terutama dalam analisis wacana media) merupakan sebuah agenda media mengkonstruksi realitas sosial bahkan reproduksi
makna budaya massa. Dalam kasus ini, konfigurasi program Islam Itu Indah
dikonstruksi sedemikian rupa oleh tim kreatif Trans TV agar dapat menarik
antusiasme pemirsa,12 tentu dengan logika rating-isme media. Di balik proses konstruksi inilah nampak terjadi pertarungan entitas, antara idealisme dakwah dan
logika kapitalisme (money-commodity-more money).
Implikasi yang cenderung terjadi adalah dan reduksi atau pembiasan makna
ajaran Islam, dengan kata lain publik digiring kepada pemahaman (redefenisi)
dakwah sebagai entertaint semata. Hakikatnya aktifitas dakwah identik dengan keikhlasan demi ketajaman spiritual dan kesalehan sosial, berhadapan dengan entitas
media yang menganut ideologi pasar yang menitikberatkan pada keuntungan
finansial.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, dibutuhkan suatu interpretasi alternatif
untuk menyingkap makna dibalik fenomena dakwah berbasis entertain
(religiotainment), kemudian menjadi titik tolak bagi penulis untuk mengadakan penelitian secara komprehensif dengan mengangkat judul; “Fenomena Dakwah
11
Bandingkan, menurut Thompson; Budaya adalah pola-pola makna yang tertancap dalam bentuk-bentuk simbolik, termasuk tindakan, ujaran dan objek-objek yang bermakna. Lihat, Idi
Subandy., loc. cit, h. xx-xxi.
12
Berbasis Religiotainment” Suatu Analisis Semiotika terhadap Siaran Islam Itu Indah di Trans TV.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan ditelaah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana struktur tanda dalam program Siaran Islam Itu Indah Trans TV?
2. Bagaimana konstruksi makna sosio-kultural dalam konten Siaran Islam Itu Indah Trans TV?
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Judul yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Fenomena Dakwah Berbasis
Religiotainment; Suatu Analisis Semiotika terhadap Siaran Islam Itu Indah Trans
TV”, untuk menghindari kesalahpahaman tentang judul tersebut, terlebih dahulu
penulis memberikan pengertian secara operasional:
1. Fenomena
Fenomena adalah sesuatu yang dapat disaksikan atau dilihat dengan panca
indra; kenyataan yang ada, tanda-tanda, gejala; sesuatu yang luar biasa, keajaiban;
fakta.13 Dalam konteks penelitian ini, fenomena yang dimaksud adalah program
dakwah yang dikonstruksi bernuansa hiburan, atau disebut Religiotainment.
13
Lihat, Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Balai
2. Dakwah Berbasis Religiotainment
Dakwah berbasis relgiotainment yang dimaksud dalam bahasan ini adalah salah satu genre dalam program pertelevisian, dalam arti, dakwah yang dikonstruksi
oleh stasiun TV bernuansa hiburan. Dikatakan bernuansa hiburan karena konfigurasi;
karakter tokoh (da‟i), bintang tamu, efek audio, dan konten/pesan dakwahnya
dikemas secara kreatif untuk menarik antusiasme pemirsa.
3. Analisis Semiotika
Analisis semiotik merupakan suatau upaya untuk menganalisis tanda pada
objek/konten media. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobyekkan tanda dan
menganalisisnya menjadi ide, obyek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai
lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang
mengacu kepada obyek tertentu.14 Fokus objek atau ruang lingkup penelitian yang
dimaksud adalah dakwah berbasis relgiotainment (Islam Itu Indah) yang dipublikasi oleh Trans TV dalam kurun waktu yang telah ditetapkan sebelumnya (lihat
Lihat, Burhan Bungin., Penelitian Kualitatif (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 169.
Lihat juga, Alex Sobur., Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
5. Trans TV
Trans TV atau Televisi Transformasi Indonesia adalah sebuah stasiun televisi
swasta Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup
Para-nya. Stasiun ini melakukan siaran pertama kali pada tahun 2001. Dengan motto
"Milik Kita Bersama", konsep tayangan stasiun ini tidak banyak berbedah dengan
stasiun televisi swasta lainnya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans
Corporation. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre
Tendean, Jakarta Selatan Direktur Utama Trans TV saat ini adalah Wishnutama.
Trans TV memperoleh izin siaran didirikan pada tanggal 1 Agustus 1998
Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001 meski baru terhitung siaran
percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TV-nya di Jakarta dan
Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa
pukul 19.00 WIB malam. Trans TV kemudian pertama mengudara mulai diluncurkan
diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tanggal 15 Desember 2001 sejak
sekitar pukul 19.00 WIB Malam, Trans TV memulai siaran secara resmi.15
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki sasaran yang hendak dicapai dengan maksud untuk
mencari titik temu atau jawaban yang ada relevansinya dengan permasalahan yang
telah disebutkan.
15
1.Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui struktur tanda dalam program Siaran Islam Itu Indah
Trans TV
b. Untuk mengetahui konstruksi makna sosio kultural dalam konten siaran
Islam Itu Indah Trans TV
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis hasil penelitian ini untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan jurnalistik dan komunikasi terkait analisa semiotika terhadap
dakwah berbasis religoitainment.
b. Adapun secara praktis hasil penelitian diharapkan berguna bagi mahasisiwa
dan para profesional sebagai referensi pengembangan dakwah via televisi
dan menjadi bahan informasi bagi para peneliti selanjutnya.
E. Garis-Garis Besar Isi
Bab pertama, yaitu bab pendahuluan, dalam bab ini akan dijelaskan pokok
pikiran yang melatar belakangi timbulnya suatu masalah, defenisi operasioanl, tujuan
dan kegunaan penelitian dan outline penelitian.
Bab kedua, yaitu kajian pustaka, pada bab ini akan dibahas mengenai
pendekatan teoritis yang berkenaan dengan permasalahan penelitian.
Bab ketiga, akan dijelaskan tentang metodologi penelitian (tipe penelitian),
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan oleh penulis.
Bab keempat, berupa hasil penelitian yaitu struktur tanda dalam program
Siaran Islam Itu Indah Trans TV, dan konstruksi makna sosio kultural dalam konten
Bab kelima, adalah penutup yang merumuskan intisari penelitian dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dakwah dan Media Televisi
Ajaran yang dikandung dalam agama Islam merupakan jalan hidup (way of life) bagi seluruh umat di dunia, menjadi pedoman dalam segala aktivitas, interaksi antar manusia (hablumminannas) maupun hubungan manusia dengan Allah SWT (hablumminAllah). Oleh sebab itu, eksistensi dakwah tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, karena kegiatan dakwah sebagai proses penyelematan umat manusia dari
berbagai persoalan yang merugikan kehidupannya, merupakan bagian dari tugas dan
fungsi manusia yang sudah direncanakan sejak awal penciptaan manusia sebagai
khalifah fi al-ardh.
1. Etimologi dan Terminologi Dakwah
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia Dakwah adalah 1; Penyiaran,
Propoganda. 2; Penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat,
seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.16
Secara etimologi, dakwah yang berasal dari bahasa Arab; da’a, yad’u,
da’watann, yang berarti seruan, panggilan, undangan atau doa.17 Dalam konteks
pengertian bahasa Al-Qur‟an menunjukkan beberapa contoh penggunaan kata
dakwah, antara lain dalam Q.S. Yusuf/12 : 33, dan Q.S Yunus/10 : 25.
Lihat, Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Balai
Pustaka, Jakarta, 1990), h. 232.
17
Lihat, Enjang AS, dan Aliyuddin., Dasar-Dasar ilmu Dakwah; Pendekatan Filosofis dan
Praktis (Bandung; Widya Padjajaran, 2009), h. 3.
Terjemahan :
Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.18 dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).19
Sementara pengertian dakwah secara teminologi dapat ditelusuri dari teks
Al-Quran, antara lain; Q.S. Ali-Imran/3: 104 dan A-Nahl/16: 125.
serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantulah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.21
18
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Intermasa, 1993), h. 353.
19
Arti kata Darussalam ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan. Pimpinan
(hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, ibid. h. 310.
20
Arti kata Ma'ruf ialah: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan
Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya, ibid. h. 93.
21
Arti kata Hikmah ialah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan
Berdasarkan kedua ayat tersebut, dipahami bahwa aktifitas dakwah
merupakan upaya untuk mengajak manusia kepada jalan Allah secara menyeluruh,
baik dengan lisan, tulisan, perbuatan sebagai ikhtiar seorang Muslim
mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan individu, keluarga,
dan masyarakat. Barangkali dakwah melalui media massa (misalnya siaran Islam Itu
Indah) juga termasuk dalam kategori yang dimaksud, jika orientasi dakwah yang
dikehendaki bersifat universal dan subtantif sesuai ajaran Islam.
Dakwah secara terminologi, mengandung ragam pengertian. Pakar dibidang
ilmu dakwah, memberi tafsiran yang beragam tentang apa yang dimaksud dakwah
dalam segi operasional kegiatannya. Dalam pada itu, Enjang dan Aliyuddin
berpendapat;
perbedaan yang terdapat pada setiap penjelasan para pakar dan cendikia itu, kelihatannya lebih pada aspek orientasi dan penekananan bentuk kegiatannya, bukan pada aspek esensinya.22
Menurut Moh Natsir, dakwah adalah tugas para muballigh untuk meneruskan
risalah yang diterima dari Rasulullah SAW. Sedangkan risalah adalah tugas yang
dipikulkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan wahyu Allah yang diterimanya
kepada umat manusia. Ringkasnya menurut Natsir “Risalah merintis, sedangkan
dakwah melanjutkan.23 Terminologi dakwah yang diketengahkan dalam uraian ini,
adalah pendapat Syekh Ali Mahfud dan Sayyid Qutb yang memberi penegasan
Lihat, RB. Khatib Pahlaman Kayo., Manajemen Dakwah; Dari Dakwah Konvensional
Sebagai upaya membangkitkan kesadaran manusia di atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah perbuatan munkar supaya mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.24
Dibandingkan dengan pengertian dakwah yang diterangkan Syekh Ali
Mahfud di atas, Sayyid Qutb menjelaskan pengertian dakwah secara universal,
dengan penegasan kalimat “… dakwah adalah mengajak atau mendorong orang untuk
masuk ke dalam sabilillah, bukan untuk mengikuti da‟i atau bukan pula untuk
mengikuti sekelompok orang”.25
Kendatipun tidak secara eksplisit, pengertian kedua
lebih cenderung menekankan suatu proses dakwah (tabligh).
Dakwah tersebut dalam konteks prosesnya, dapat dilihat pada wilayah empiris
yang tidak terlepas dari penggunaan sarana atau media tertentu yang digunakan oleh
para da‟i (komunikator). Media sebagaimana bentuk dakwah (bil hal, bil qalam, bil
yadh, dan seterusnya) yang dimaksud juga diartikan dalam segala bentuknya, misal,
media cetak surat kabar, radio, majalah, dan khususnya media televisi yang di
manfaatkan sebagai media dakwah.
2. Defenisi Televisi
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, pengertian Televisi adalah pesawat
penerima siaran berupa suara dan gambar.26 Televisi, memiliki karakter berbeda
dengan media cetak dan radio, dengan akselerasi teknologi audio visual. Berdasarkan
24
Cikal bakal lahirnya ilmu dakwah untuk kali pertama dirintis di Universitas Al-Azhar
(Mesir, tanpa penyebutan Tahun) oleh akademisi; Syekh Ali Mahfudz, buku berjudul Hidayat
al-Mursyidin. Kemudian pada tahun 1960-an, Ahmad Ghalwusy menulis buku berjudul Al-Da’wah al -Islamiyah, dengan asumsinya bahwa dakwah Islamiyah merupakan disiplin yang mandiri dan sebagai
bagian dari bidang ilmu Islam. Lihat, Enjang AS, dan Aliyuddin., op. cit. h. 6-16.
25
Ibid., h. 6. Pendapat Sayyid Qutb ini didukung oleh defenisi yang diungkapkan Masdar F. Mashudi yang (dikutip Enjang dan Aliyuddin) mengartikan dakwah Islamiyah ialah sebagai suatu proses penyadaran untuk mendorong manusia agar tumbuh danberkembang sesuai dengan fitrahnya.
26
catatan sejarah, Paul Nipkow merupakan seorang ahli dari Jerman yang pertama kali
mencetuskan teknologi pertelevisian.27
Media massa televisi meskipun sama dengan radio dan film sebagai media
massa elektronik, tetapi mempunyai cirri dan sifat yang berbeda, terlebih lagi dengan
media massa cetak seperti surat kabar dan majalah, untuk itulah dalam
menyampaikan pesan-pesannya juga mempunyai kekhususan. Media cetak dapat
dapat dibaca kapan saja tetapi untuk televisi dan radio hanya dapat dilihat sekilas dan
tidak dapat diulang.
Televisi dan radio dapat dikelompokkan sebagai media yang menguasai ruang
tetapi tidak menguasai waktu, sementara media cetak menguasai waktu tetapi tidak
menguasai ruang. Artinya, siaran dari suatu media televisi atau radio dapat diterima
dimana saja dalam jangkauan pancarannya (menguasai ruang) tetapi siaranya tidak
dapat dilihat kembali (tidak menguasai waktu). Media cetak untuk sampai kepada
pembacanya memerlukan waktu (tidak menguasai ruang) tetapi dapat dibaca kapan
saja dan dapat diulang-ulang (menguasai waktu).28
Meskipun demikian, eksistensi televisi dengan segala kelebihan yang
menyertainya (dapat didengar, daya rangsang sangat tinggi, dan daya jangkauannya
yang luas),29 dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam dakwah. Karena itu, program
dakwah melalui televisi dipandang sebagai salah satu bagian dari bentuk kegiatan
dakwah, dengan lain perkataan dakwah dilihat sebagai kegiatan komunikasi.
27
Lihat, Deddy Iskandar Muda., Jurnalistik Televisi; Menjadi Reporter Profesional,
(Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005), h. 4-5. 28
Lihat, Morissan., Jurnalistik Televisi Mutakhir, (Jakarta; Prenada Media Group, 2008), h.
3-4. 29
B. Komponen Dakwah dan Komunikasi
Dakwah menekankan pada proses pemberian motifasi untuk melakukan pasan
dakwah (ajaran Islam). Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Ali Mahfudz
terdahulu, setidaknya unsur dan proses dakwah30 dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar. 1. Proses Dakwah menurut Ali Mahfudz
Unsur dakwah tersebut menunjukkan dan memberikan sebuah pemahaman
bahwa dakwah memiliki urutan dan unsur atau komponen yang terdiri dari da‟i,
pesan, metode, mad‟u dan tujuan yang akan dicapai. Unsur-unsur itu merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tetapi bia dibedakan, berdasarkan definisi atau
proses kegiatan dakwah lebih bersifat secara liniear, menyerupai model komunikasi
Harold D. Lasswell; Who, What, Channel, Whom, Effect,31atau dengan formula S-M-C-R-E (Source, Message, Channel, Receiver and Effect).32
Gambar. 2. Proses Komunikasi
Sementara istilah komunikasi sendiri (communication) berasal dari bahasa latin, yaitu communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya
30
Ibid. h. 6.
31
Lihat, Wiryanto., Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta; Grasindo, 2006), h. 17.
32
Ibid., h. 8.
DAI PESAN METODE MAD‟U TUJUAN
communis, yang bermakna umum atau bersama-sama.33 Onong Uchjana mengemukakan; komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang
kepada orang lain, dengan tujuan memberi tahu atau untuk mengubah sikap,
pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui
media tertentu.34
Dakwah demikian halnya komunikasi identik dalam konteks maknanya
sebagai komunikasi manusia. Namun keduanya memiliki dimensi-dimensi dan
model-model yang beragam, meliputi keseluruhan aktifitas komunikasi manusia
(human communication) bahkan komunikasi transenden (meta communication). Namun, yang menjadi pokok dalam bahasan ini adalah bagaimana tujuan yang
terkandung dalam suatu komunikasi atau dakwah.
Tujuan komunikasi yang dimaksud yaitu; memberi tahu atau untuk mengubah
sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior). Pengertian itu jelas
adalah sebentuk tindakan berdakwah, misal Rusydi Hamka menjelaskan, dakwah
merupakan kegiatan penyampaian petunjuk Allah kepada seseorang atau sekelompok
masyarakat, agar terjadi perubahan pengertian, cara berpikir, pandangan hidup, dan
keyakinan, perbuatan, sikap, tingkah laku, maupun tata nilainya, yang pada gilirannya
akan mengubah tatanan masyarakat dalam proses yang dinamik.35
Lebih lajut, Ali Mahfudz mengemukakan penjelasan bahwa tujuan dakwah
sebagai proses mendorong manusia agar melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk,
33
Ibid., h. 5.
34
Lihat, Onong Uchjana., Dinamika Komunikasi, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2008), h. 5.
Paradigma komunikasi mendeskripsikan suatu tujuan (intentional), maupun wujud komunikasi; baik
secara langsung (direct communication) maupun tidak langsung (indirect communication).
35
menyeruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka dari berbuat munkar agar
mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam tataran realitas, artikulasi dakwah lebih menekankan pada
pengorganisasian dan pemberdayaan sumber daya manusia daya manusia (khalayak
dakwah dalam melakukan berbagai petunjuk ajaran Islam (pesan dakwah),
menegakkan norma sosial budaya (ma’ruf) dan membebaskan kehidupan manusia
dari berbagai penyakit sosial (munkar). Definisi ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Mutawakil, Menurutnya, dakwah adalah ;
Mengorganisasikan kehidupan manusia dalam menjalankan kebaikan, menunjukkannya ke jalan yang benar dengan menegakkan norma sosial budaya dan menghindarkannya dari penyakit sosial.36
Definisi dakwah tersebut menekankan pada sistem dalam menjelaskan
kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran, menganalisis tantangan problema kebatilan
dengan berbagai macam pendekatan, metode media agar mad’u mendapatkan
keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, belum ditemukan sebuah literatur
yang komprehensif membahas tentang bagaimana pandangan Islam jika dakwah itu
berbingkai entertainment, atau dakwah via televisi sebagaimana munculnya wacana dakwah bil-qalam (jurnalisme Islam) sebagai karya para jurnalis muslim yang mengelaborasi dakwah ke dalam media massa. Demikian pun istilah religiotainment
atau dakwahtainment, merupakan suatu istilah baru dalam dunia pertelevisian yang belum dapat dijelaskan secara ilmiah batasan-batasan atau bagaimana kriteria spesifik
yang melingkupi defenisi atas penggabungan dua kata tersebut (dakwah plus entertainment).
36
C. Religiotainment Televisi
Televisi, secara teknis dianggap memiliki nilai lebih karena daya publikasi
yang mampu menembus batas territorial suatu Negara, dan sekalipun pelosok daerah
terpencil dengan akses audio visualnya, jika dibandingkan radio (hanya audio/suara)
maupun media cetak yang sekedar visual teks/tulisan.37 Terdapat banyak stasiun
televisi komersial, baik yang berskala nasional maupun lokal di Indonesia, yaitu
Cakrawala Andalas Televisi (antv), Global TV (GTV), Indosiar Visual Mandiri
(Indosiar), TV One, Metro TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra
Televisi (SCTV), MNC TV, Televisi transformasi Indonesia (Trans TV), Trans 7, dan
Televisi Republik Indonesia (TVRI).38
Keberadaan televisi dewasa ini dianggap sebagai agama masyarakat industri,
karena eksistensi televisi dapat menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya
didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dari jamaah agama apapun.
Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi, ritus-ritusnya diikuti dengan
penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan agama-agama yang
ada.39
Demikian halnya kebangkitan semangat keberagamaan atau kegandrungan
spiritual di tanah air merupakan fenomena yang menarik untuk diamati. Pada bulan
Ramadhan misalnya, televisi berlomba-lomba menayangkan program-program
37
Lihat, Wawan Kuswandi., Komunikasi Massa; Sebuah Analisis Isi Media Televisi, dengan
kata pengantar oleh Rusdi Muchtar. (Jakarta; Rineka Cipta, 1996), h. v. 38
Lihat, Rahmad Setiadi., Perkembangan Teknologi Televisi dan Industri Penyiaran. http:
//www.scribd.com(akses 10 Oktober 2010).
39
Lihat, Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei., Metode Pengembangan Dakwah,
program yang bernafaskan Islam seperti kuis ramadhan, dialog interaktif (saat sahur
dan menjelang berbuka), sinetron bertema Islam dan beberapa program yang dikemas
dengan nuansa Islam, tapi setelah bulan Ramadhan berakhir, maka berakhir pula
program-program Islam tersebut.
Bagi sejumlah pengamat, gejala Islamisasi ruang publik atau meminjam
istilah Idi Subandi “Islamisasi tempat-tempat sekular” dipandang mulai mengimbangi “sekularisasi kesadaran” yang telah memoles batin manusia modern.40
Program
keagamaan diharapkan (dassein) menjadi suatu penetrasi terhadap hegemoni program televisi yang lebih mementingkan sisi komersial semata dan selera pasar yang ansich.
Namun konten dakwah berbasis religiotainment, tidak hanya memaparkan ceramah-ceramah monolog tentang halal-haram, baik-jahat, surga-neraka, dan
sinetron-senetron padat-moral. Akan tetapi, menurut Idi Subandi:
… ada semacam upaya untuk menerjemahkan kebangkitan kesadaran religius … kedalam fenomena “Islamisasi televisi” atau bahkan “Islamisasi iklan”. Tentu saja, betapapun kita menafsirkan kata “Islamisasi” itu.41
Fenomena yang menarik, misalnya, artis mulai berbondong-bondong
melakukan umroh dan haji plus di bawah bimbingan para kiai populer pujaan umat.
Ada pula kiai menjadi bintang iklan makanan instan. Fenomena yang disebut para
kritikus budaya pop sebagai pengheroan atau atau “heroisasi para artis“ tampaknya
mulai trendi dalam acara-acara berbau keagamaan.42
Dalam kaitannya dengan objek penelitian ini, dakwah via televisi dengan
nampaknya belum lengkap kalau tidak didampingi oleh seorang artis atau pelawak
yang lagi ngepop sebagai acara bincang-bincang atau sebagai presenter yang
memandu acara. Idy Subandi menyebut pengemasan acara tersebut sebagai
“religiotainment”, yang artinya hiburan dengan sentuhan agama atau agama dengan
bumbu hiburan.43
Media populer, terutama televisi, dengan canggih memanfatkan potensi artis,
kiai, ulama, mubaligh, tukang obat, dan melakukan “selebritisasi” pengalaman keagamaan mereka dalam “paket-paket” tontonan yang sebagian besar mengisi
program acara keagamaan yang rutin dan terutama pada momen hari besar
keagamaan.44 Sebagai contoh; Islam Itu Indah di Trans TV, Mama Dede dan Aa di
Indosiar, Ustadz Solmed di SCTV, Qurratul Uyun di MNC TV, Pemilihan Da‟i Cilik (Pildacil) di ANTV, Realigi, Islam KTP dan pelbagai sinetron bertema religi lainnya.
Maraknya program religiotainment di televisi ini seolah-olah merepresentasikan realitas kondisi masyarakat yang haus akan sentuhan spiritual.
Terlepas dari efektif atau tidak sajian tersebut, setiap tayangan itu tidak lepas dari
agenda penyutradaraan. Tentu saja, isinya sesuai yang dikehendaki sang sutradara
dan para pemilik modal. Saat ini, religiotainment memang cenderung pada pengaburan makna dakwah dan tujuan dakwah. Niat menyampaikan dakwah yang
dibalut domain binis (mengikuti selera pasar) justru akan berdampak pada
kemunduran dakwah itu sendiri. Apalagi yang dikhawatirkan jika dakwah itu
diartikan sebatas hiburan.
43
Ibid. h. 155.
44
Asumsi tersebut dikaitan dengan kontradiksi-kontradiksi budaya yang disebabkan
D. Pendekatan Teori Semiotika
Menurut John Fiske, tanda merupakan fokus studi dalam studi semiotika.45
Mengacu pada asumsi Fiske itu, studi semiotika dalam konteks ini digunakan sebagai
pendekatan untuk menganalisis teks media (baca; program televisi). Teks media
dalam arti dikomunikasikan melalui seperangkat tanda, dimana seperangkat tanda
tersebut tidak pernah membawa makna tunggal, melainkan diversitas makna di
dalamnya.46
1. Pengertian Semiotika
Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata yunani semion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi
sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain hal.
Secara terminologis, semiotik dapat diidentifikasai sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda, sebagai “ilmu” tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.47
Lebih lanjut Mc Quil mengatakan, semiotik adalah ilmu umum tentang tanda
dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenisnya, yang karenanya semua
hal yang berkaitan dengan signifikasi (signification), meskipun tidak terstruktur, beraneka ragam, dan terpisah-pisah. Konsep “sistem tanda” dan “signifikasi” telah
biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotik terutama berasal dari de
Sassure. Tanda adalah setiap “kesan bunyi” yang berfungsi sebagai “signifikasi” sesuai yang “berarti”, suatu obyek atau konsep dalam dunia pengalaman yang ingin
dikomunikasikan.48
Menurut Roland Barthes, semiotik adalah “ Ilmu mengenai bentuk (form)”.
Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari isinya (content). Lebih lanjut, Inglis mengatakan, semiotik tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka (tanda), yang berhubungan secara
keseluruhan. Teks yang dimaksud Roland Bartes adalah dalam arti luas. Teks tidak
hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat meneliti teks dimana
tanda tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem.49 Karena itu, semiotik dapat meneliti
bermacam-macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, drama, dan
termasuk program televisi sebagai representasi dari teks media massa (televisi).
2. Model Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
memperaktikkan model linguistik dan semiologi Sassurean. Ia berpendapat bahasa
adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu.50
Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte, bukan hanya untuk membangun
suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak
48
Aliran strukturalisasi modern pun menekankan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawa kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar-gambar material (van Peursen, 1991:240).
ibid., h. 108-109.
49
Ibid., h. 123.
50
Roland Barthes mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj. Inggris
untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling
meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan
bukan tiruan dari yang nyata.51
Dalam buku “The Death of Author” (Kematian Sang Pengarang), ia banyak
memaparkan tentang peran pengarang, buku, dan teksnya. Dikatakan, penggusuran
pengarang, peran sang pengarang yang makin mengecil (seperti pemain yang
meninggal pada ujung panggung) bukan hanya suatu fakta sejarah atau suatu tindakan
penulis saja: hal ini sama sekali mengubah teks modern (atau, dengan lain perkataan,
teks diproduksi, dibaca, dan pengarang tidak hadir disana, pada setiap tingkat).
Kita tau bahwa suatu teks terdiri bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan satu “makna teologis” (artinya, pesan dan tuhan pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya.52
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar
mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemakanaan tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.
Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemakanan tataran ke-dua
dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes
disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari
51
Ibid., h. 66-67.
52
denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev,
Barthes menciptakan peta53 tentang bagaimana tanda bekerja:
a. Signifier (penanda)
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah
juga petanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material:
hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,
kegerangan, dan keberanian menjadi mungkin.54
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti dari
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.
Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E)
dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan dalam sebuah relasi (R). kesatuan
dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (REC). Sistem
sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes
sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian.55
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian
secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam
pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfia, makna yang
“sesungguhnya”, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan.
Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya
mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang
terucap.56
Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi
yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes
mencoba menyingkirkan dan menolaknya.57
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di
dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun
sebagai sistem yang unik, mitos dibangun sebagai suatu rantai pemaknaan yang telah
Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini terasa mungkin
berlebihan, namun ia tetap beguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah”
ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan
tataran ke-dua.58
Barthes memampatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi
secar termotivasi. Seperti Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran
palsu yang membuat orang hidup dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas
hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan
ada, dan itulah sebabnya didalam Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu
ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan
demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes
masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar,
sudut pandang, dan lain-lain.
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah
interpretative atau deskriprif kualitatif. Secara metodologis, kritisme yang terkandung
dalam teori-teori interpretatif, merupakan cara berfikir mazhab kritis (Frankfurt school) terbawa pula dalam kajian semiotik.59 Sesuai dengan paradigma kritis, analisis semiotik bersifat kualitatif. Menurut Bungin, jenis penelitian ini memberi
peluang yang besar bagi interpretasi alternatif.
Dalam penerapannya metode semiotik ini menghendaki pengamatan secara
menyeluruh dari semua teks, termasuk cara penyajian (frame) maupun istilah-istilah yang di gunakannya. Dengan memperhatikan koherensi makna antar bagian dalam
teks dan koherensi teks dengan konteksnya.60 Karena itu dalam penelitian ini, analisis
dilakukan terhadap rangkaian program Islam Itu Indah, baik itu penokohan, judul,
konfigurasi tema, dan cara penyajian yang digunakan Trans TV dalam
mengkonstruksi program tersebut.
59
Aliran Frankfurt terkenal kritis dengan persoalan lambang atau simbol, yang di pakai sebagai alat persekongkolan dan hegemoni. Kekuasaan hegemonik merupakan kekuasaan dari satu kelompok masyarakat yang di terima atau di anggap sah oleh kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Misalnya ideologi media massa di sorot tajam dalam mazhab ini. Lihat, Bungin, Penelitian Kualitatif.
(Jakarta : Kencana Pranada Media Group. 2007), h. 173. Lihat juga Alex sobur., op. cit, h. 147-148.
60
Ibid., h. 173.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini (analisis teks) dilaksanakan di wilayah Makassar-Sulawesi
Selatan. Sementara penelitian yang sifatnya observasional dan wawancara
dilaksanakan di studio Trans TV Jl. Kapten Tendean Jakarta Selatan. Adapun waktu
tentatif yang digunakan dalam mengumpulkan data dan menganalisa program Siaran
Islam Itu Indah berkisar dua bulan, sejak 8 Oktober s/d November 2011.
B. Metode Pendekatan
Metode pendekatan diarahkan kepada pengungkapan pola pikir yang
dipergunakan peneliti dalam menganalisis sasarannya, atau dalam ungkapan lain
pendakatan ialah disiplin ilmu yang dijadikan acuan dalam menganalisis objek yang
diteliti sesuai dengan logika ilmu itu.
Metode pendekatan biasanya disesuaikan dengan bidang profesi peneliti.
Namun tidak tertutup kemungkinan peneliti menggunakan multidisipliner. Dilihat
dari inti permasalahan yang dikaji, penulis menggunakan pendekatan multidisipliner
seperti uraian dibawah ini:
1. Pendekatan Teori Jurnalistik-Komunikasi
Pendekatan teori yang dimaksud memiliki relevansi dengan aplikasi penyiaran
dan konten program televisi. Dalam arti, mengkaji persoalan dari sudut pandang
hukum pers, dan normatifitas ajaran Islam terkait program dakwah berbasis
entertainment (religiotainment).
2. Pendekatan Analisis Teks/Wacana Media
Dalam hal ini semiotika, yakni mengkaji struktur tanda dalam program
menelusuri kontekstualisasi makna dibalik program dakwah religiotainment, signifikasi dua tahap model Roland Barthes digunakan sebagai kerangka analitis.61
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis menggunakan varian metode
pengumpulan data, antara lain:
1. Data Pustaka
Dalam hal ini mengadakan penelusuran data pustaka yang bertujuan untuk
mendapatkan keterangan data bersifat teori, dari literatur-literatur yang relevan
dengan materi penulisan ini. Termasuk di sini Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang
diterbitkan UIN Alauddin Makassar, yang menjadi acuan dasar secara teknis
penulisan sebuah karya ilmiah.
2. Bahan Visual
Menurut Bungin, bahan visual (program televisi) merupakan bahan yang
menyimpan berbagai informasi yang sangat berguna di dalam suatu penelitian.62
Berdasarkan asumsi tersebut, program dakwah berbasis religiotainment (Islam Itu Indah) menjadi fokus dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah camcorder (kamera digital) untuk merekam program Trans TV, tape recorder
untuk merekam wawancara, dan bahan visual yang diperoleh pasca penelitian.
3. Wawancara dan Dokumentasi
Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh keterangan langsung dan
objektif terhadap elemen Trans TV (pihak program Islam Itu Indah) maupun dengan
diperoleh baik berupa profil Islam Itu Indah, Ustadz Maulana dan dokumen resmi
atau laporan-laporan tertulis dari pihak Trans TV, yang relevan dengan
pengembangan data penelitian.
D. Metode Pengolahan dan Analisis Data
1. Unit Analisis
Unit Analisis adalah objek makro penelitian ini adalah program
religiotainment Trans TV (Islam Itu Indah). Mengingat dan mempertimbangkan rangkaian program Islam Itu Indah berjalan per-episode (± 2 tahun) yang berarti hal
itu membutuhkan waktu penelitian relatif lama, maka objek mikro yang dipilih untuk
dianalisa adalah empat serial/episode, sebagai berikut.
Tabel. 1. Unit Analisis
No Tema Waktu Tayang & Lokasi Audience & Bintang tamu
1. Kejujuran 24 April 2011 - Masjid
2. Analisis Data
Menurut van Zoest, pemahaman terhadap struktur semiotik menjadi dasar
yang tidak bisa ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme.
Lebih lanjut, van Zoest mengatakan, bahwa seorang penafsir adalah yang
berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji obyek yang dipahaminya.63
Menurut Hamad, semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas
sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis. Berpijak
pada asumsi tersebut, metode analisis semiotik dikorelasikan dengan hasil
pengumpulan data. Dari segi analisa struktur tanda, yang menjadi rujukan adalah teori
pemetaan tanda, untuk menganalisa hubungan kenyataan dan jenis dasarnya.64
Pemetaan tanda terdiri atas :
1. Ikon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (program Islam itu Indah).
2. Indeks : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya.
3. Simbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konfensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.
Berkenaan dengan pertanyaan kedua penelitian, yang berfokus pada analisis
makna secara denotatif maupun konotatif atas program religiotainment, semiotika model Roland Barthes, yang disebut sebagai proses signifikasi dua tahap (two order of signification) digunakan sebagai kerangka analitis. Adapun aspek yang dianalisis
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Sekilas Tentang Trans TV dan Siaran Islam Itu Indah
1. Profil Trans TV
Trans TV atau Televisi Transformasi Indonesia adalah sebuah stasiun televisi
swasta Indonesia, yang dimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup
Para-nya. Stasiun ini melakukan siaran pertama kali pada tahun 2001. Dengan motto
"Milik Kita Bersama", konsep tayangan stasiun ini tidak banyak berbedah dengan
stasiun televisi swasta lainnya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans
Corporation. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre
Tendean, Jakarta Selatan Direktur Utama Trans TV saat ini adalah Wishnutama.
Trans TV memperoleh izin siaran didirikan pada tanggal 1 Agustus 1998
Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001 meski baru terhitung siaran
percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TV-nya di Jakarta dan
Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa
pukul 19.00 WIB malam. Trans TV kemudian pertama mengudara mulai diluncurkan
diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tanggal 15 Desember 2001 sejak
sekitar pukul 19.00 WIB Malam, Trans TV memulai siaran secara resmi.65
65
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Trans_TV
2. Struktur Program Islam Itu Indah
Pengarah Produksi : Wishnutama
Penaggung Jawab Produksi : Roan y. Anprira
Penanggung Jawab Program Produksi : Gina Mayangsari Firmansyah
Perangcang Eksekutif : Nur Asfin Mardini
Prancing Acara/Produser : Sunka Da Ferri
Pengarah Acara/FD : Wiranto
Kreatif : Gina Herlianawati & C. Permata S
Asisten Produksi : Gina Sagita & Maulani Nurseha
Pusat Pengembangan Kreatifitas Produksi : Nova Wahyudi & Lulu
Penanggung Jawab Operasional Produksi : Qilla Jozal Sangikilawang
Penanggung Jawab Lapangan/Acara : Dadang Sofyan
Pengarah Lapangan : Mike Alwayini
Pinata Musik : Daud Sakty
Penanggung Jawab Sekretariat Produksi : Azmi Yansyah Siregar
Manager Unit Produksi : Marina N, Yoanita Adesti, Agung
Penanggung Jawab Penunjang Produksi : Faturrahchman
Unit riset Produksi : Maytha Adriani
Unit Artis : Gregori Umar, Bambang Acil
Unit Sponsor Produksi : Nurwulan, Maruhal P. Simanjuntak
P.J Teknik dan Servis Produksi : Azijan Syahril
Penanggung Jawab Servis Produksi : Imam Martono
Penanggung Jawab Studio dan Ob Van : Rachmat Hidayat
Penyunting Gambar : Tim Grahandika
Perancang Teknik : Sofyan
Peñata Gambar : Ilman (spv), Roni Jondro, Dwi
Artatilar,Nur Muhammad, Budi
Wijaya
Peñata Cahaya : Sadmoko (spv), Tri Prio, Roki
Peñata Suara : Hendri A. (spv), Suhawi, Ardiansya
Juru Rekam : Yulianto
Penyelaras Kamera : Noeman P.
Penanggung Jawab Artistik : Dni C. Sapoerto
Peñata Artistik : Indra Adiansyah, Adela Tirsananda,
Doli Gali
Penata grafis : Triono Budi (spv), Dhimas
Penanggung Jawab Transmisi : Wawan Julianto
Promosi Siaran : T. Andarwan, M. Hamdar, Kristin,
Edgar, Deni Stanzal
Penanggung Jawab Teknologi Informasi : Winno W.A.
Penanggung Jawab Program : A. Ferisko Irwan, Ichwan Muri,
Wisyarani
3. Biografi Ustadz Muh. Nur Maulana
Ustadz Muhammad Nur Maulana Sejak tiga tahun terakhir ini mengaku
jadwal dakwahnya semakin padat. Sehari, ia kadang menghadiri lima undangan untuk
di rumah-rumah warga, sekolah, hingga di kantor-kantor
pemerintah dan swasta. Mereka yang mengundangnya pun
tidak hanya berasal dari Makassar, Gowa, dan Maros atau di
daerah Sulawasi Selatan saja. Tetapi juga sering dari luar
wilayah Sulawesi Selatan, misalnya, Kabupaten Morowali
di Sulawesi Tengah dan Kendari di Sulawesi Tenggara.
Bahkan beberapa kali Ustadz Maulana menghadiri undangan untuk berdakwah di
Kalimantan seperti di Samarinda, Tarakan, Balikpapan dan Kaimena Irian Barat.
Umumnya yang mengundang dari Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan yang ada di
daerah tersebut.66
Ustadz Nur Maulana mulai berdakwa sejak usia 14 tahun saat masih duduk di
SMP DDI Galesong Beru, Makassar. Aktivitas berdakwahnya terasah saat menjadi
santri di Pondok Pesantren An-Nahdah (setingkat SMA) Makassar. Di pesantren
inilah Ustadz Maulana banyak belajar dengan pimpinan pondok pesantren, KH.
Muhammad Harisah. Di pesantren ini pula Ustadz mendapat jodoh yang kini menjadi
istrinya bernama Nur Aliah dan dinikahinya pada 8 Agustus 2008 lalu. Selain
pelajaran dari pesantren, Nur Maulana mengaku banyak belajar tentang Islam melalui
buku-buku Islam, media massa, dan beragam literatur lainnya. Sedangkan referensi
humor-humor yang kerap diselipkan di sela-sela dakwahnya, diperolehnya dari
membaca koran, majalah, dan televisi.67
Ustad Maulana dengan istilah ”Jamaah oh Jamaah”, menjadi ciri khas dalam
memberikan ceramah. Ustad Maulana demikian namanya semakin populer, yang
66
Muhammad Nur Maulana., Pemeran Utama Islam Itu Indah, wawancara oleh penulis di Jl. Sibula Dalam Makassar, 17 Oktober 2011.
67
Ibid.
dahulu hanya berceramah dari kampung ke kampung di kota asalnya, Makassar.
Berawal dari seseorang yang meng-upload video ceramahnya ke jejaring internet (youtube) membawa Ustad Maulana ke dalam industri pertelevisian (TransTV) dengan mengisi program siaran ”Islam Itu Indah”.68
Nama : Muh. Nur Maulana
Lahir : Makassar, 20 September 1974
Anak ke : keempat dari tujuh bersaudara
Ayah : Maulana
Ibu : Masyita
Istri : Nur Aliah
Anak : Munawwara dan Munira
Pendidikan : Pesantren An-Nahdlah Makassar (lulus 1994)
Alamat : Jl. Sibula Dalam No 15, Makassar Sulawasi Selatan.
Profesi :
- Guru Agama Islam SD Mangkura Makassar
- Guru SD Islam Athirah Makassar
- Pesantren An-Nahdlah Makassar
68
B. Struktur Tanda Program Siaran Islam Itu Indah Trans TV
Dakwah via televisi, memang bukan fenomena baru dalam industri
pers-media massa. Namun publikasi dakwah tersebut banyak mendapat perhatian
dikalangan kritkus media, akademisi, berkaitan dengan dakwah yang dikonstruksi
dengan entertainment (baca; religiotainment) terutama kehadiran para Da‟i yang memang berpotensi sebagai ikon komersial incaran media massa. Eksistensi para da‟i
yang berdakwah melalui televisi ini membangun suatu citra tersendiri di ranah publik.
Pelbagai potensi yang dimaksud di atas, misalnya ciri khas yang menonjol dan
marketable pada metode penyampaian dakwah oleh para Da‟i. Misalnya, K.H. Zainuddin MZ, AA Gymnastiar, Soleh Muhammad (Ustadz Solmed), Ustadz Jefri
(Uje‟), Quraish Sihab, masing-masing memiliki karakter dalam berdakwah, yang
boleh jadi di mata produser dan visualizer adalah sebuah potensi komersial yang akan dikodifikasi dalam konstruksi program televisi.
Upaya yang dilakukan pihak media untuk membingkai suatu siaran, tidak
lepas dari proses industrialisasi atau komersialisasi, dimana iklan menjadi faktor yang
determinan dalam lanskap media massa. Dalam perkembangan lebih lanjut,
indutrialisasi tidak hanya memungkinkan proses massifikasi, yang menuntut
standarisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa (taste), tapi juga telah membawa perkembangan baru dengan semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah
yang menandai komersialisasi atas produk religiotainment. Ironinya, publikasi pernak-pernik simbol religiusitas melalui layar kaca cenderung mendominasi
dibanding penyampaian materi dakwah yang berbasis “amar makruf nahyi munkar”.
Pada gilirannya problem yang muncul bersifat dualisme, antara dakwah dan
sama lainnya, bukan sebaliknya eksklusifitas dakwah yang sekedar berbungkus
hiburan. Karena itu, pendekatan semiotika paling tidak menjadi sebuah alternatif
penafsiran atas fenomena religiotainment (Islam Itu Indah), sekaligus menjabarkan diversitas makna yang terkandung di dalamnya.
Pada level struktural, konstruksi tanda (signs) dalam program religiotainment
Islam Itu Indah dapat diretas melalui sudut pandang teori pemetaan tanda,69 yang
terdiri atas ikon, indeks, dan simbol sebagaimana berikut.
Tabel. 2. Episode bertema “Kejujuran” 24 April 2011
Signs Description
Ikon : dalam episode ini Trans TV menampilkan beberapa ikon yang
menarik, antara lain; Ustadz Muh. Nur Maulana dengan busana
Muslim sebagai narasumber, Briptu Norman berpakaian seragam
kepolisian, Anisa dan sejumlah Majelis Taklim yang berbusana
Muslim dengan setting lokasi di dalam Masjid.
Gambar 4.A. Ikon Islam Itu Indah Trans TV
69