• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR BERSIH UNIT 1 SUNGAI CIAPUS DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR DINANTI TRI RESTIO PUTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR BERSIH UNIT 1 SUNGAI CIAPUS DI KAMPUS IPB DRAMAGA BOGOR DINANTI TRI RESTIO PUTRI"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR

BERSIH UNIT 1 SUNGAI CIAPUS DI KAMPUS IPB

DRAMAGA BOGOR

DINANTI TRI RESTIO PUTRI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih Unit 1 Sungai Ciapus di Kampus IPB Dramaga Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Dinanti Tri Restio Putri

(4)

ABSTRAK

DINANTI TRI RESTIO PUTRI. Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih Unit 1 Sungai Ciapus di Kampus IPB Dramaga Bogor. Dibimbing oleh ASEP SAPEI dan SUTOYO.

Air merupakan kebutuhan penting bagi kehidupan manusia yang diperlukan secara terus-menerus dalam kegiatan sehari-hari. Kampus IPB menggunakan sungai Cihideung dan Ciapus sebagai sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan air kampus. IPB memiliki sembilan Instalasi Pengolahan Air Bersih (Water Treatment Plant – WTP). Salah satu WTP yang kurang berfungsi secara optimal, yaitu WTP Ciapus Unit I dengan kapasitas produksi sebesar 20 liter/detik. Tujuan dari penelitian ini, yaitu mengevaluasi kriteria desain WTP Ciapus dengan membandingkan kriteria desain berdasarkan SNI 6774-2008 tentang Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air. Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data primer, analisa laboratorium, serta evaluasi hasil berdasarkan kriteria desain. Kinerja bangunan pengolahan air secara keseluruhan dapat dikatakan masih berjalan cukup baik, karena sudah memenuhi kriteria desain yang berlaku dalam hal ini SNI 6774-2008. Namun terdapat beberapa unit yang belum memenuhi kriteria desain, antara lain koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi sehingga menyebabkan proses pengolahan air kurang optimal dan parameter yang berada diatas standar baku mutu dapat mengindikasikan bahwa terjadi penurunan kemampuan dalam mereduksi konsentrasi.

Kata kunci: air baku, kualitas air, water treatment plant

ABSTRACT

DINANTI TRI RESTIO PUTRI. Evaluation of Unit I River Ciapus Water Treatment Plant Performance at Campus IPB Dramaga Bogor. Supervised by ASEP SAPEI and SUTOYO.

Water is an important resource for human life needed continually in its daily activity. IPB uses river Cihideung and river Ciapus as the main water resource for fulfilling the campus water need. IPB has nine Water Treatment Plant (WTP). One of the WTP which is not optimally functioned enough is Unit 1 river Ciapus WTP with the capacity for about 20 liters/second. The aims of the research are to evaluate Ciapus WTP design criteria by comparing the design criteria based on SNI 6774-2008 concerning WTP package unit plan system. This research was carried out by collecting primary data, laboratory analysis, and based design criteria result evaluation. As a whole, it can be said that WTP performance still worked well enough because it had fulfilled the applicable criteria design, that is SNI 6774-2008. However, there were some units which had not yet fulfilled the criteria design, among others is coagulation, flocculation, and sedimentation, therefore it caused the process of water treatment was not quite optimal and the parameter above the quality fixed standard was able to indicate that there was a decrease of capability in reducing concentration.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

EVALUASI KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR

BERSIH UNIT 1 SUNGAI CIAPUS DI KAMPUS IPB

DRAMAGA BOGOR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(6)
(7)

Judul Skripsi : Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih Unit 1 Sungai Ciapus di Kampus IPB Dramaga Bogor

Nama : Dinanti Tri Restio Putri

NIM : F44090029

Disetujui oleh

ProfDr.Ir. Asep Sapei, MS. Sutoyo, STP. MSi

Pembimbing I Pembimbing II

M.A r

(8)

Judul Skripsi : Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih Unit 1 Sungai Ciapus di Kampus IPB Dramaga Bogor

Nama : Dinanti Tri Restio Putri NIM : F44090029

Disetujui oleh

Prof.Dr.Ir. Asep Sapei, MS. Pembimbing I

Sutoyo, STP. MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan segala karunia-Nya sehingga penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih Unit I Sungai Ciapus di Kampus IPB Dramaga Bogor yang dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2013. Karya ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. selaku pembimbing akademik pertama yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini, Bapak Sutoyo, STP, M.Si. selaku pembimbing akademik kedua yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini, orang tua dan keluarga besar yang selalu memberikan doa yang tulus untuk kelancaraan pelaksanaan rangkaian penelitian, serta rekan-rekan mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 2009. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak atau instansi terkait yang telah membantu kelancaran proses penelitian, diantaranya kepala Fasilitas dan Properti IPB, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, dan seluruh dosen serta staf laboratorium WTP Cihideung dan Ciapus IPB. Semoga karya ilmiah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kualitas Air Baku dan Air Bersih 2

Unit Pengolahan Air 4

METODOLOGI PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Tahapan Penelitian 7

Alat dan Bahan 8

Analisa Kualitas Air 8

Evaluasi Unit Pengolahan Air Bersih 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Gambaran Umum Proses Pengolahan Air Baku 9

Evaluasi Kualitas Air 10

Evaluasi Unit Pengolahan Air Bersih 15

Rekomendasi Peningkatan Kinerja Unit Pengolahan Air Bersih 22

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

(11)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan penelitian 8

2 Analisa jar test 17

3 Kriteria unit koagulasi (pengadukan cepat) 17

4 Kriteria unit flokulasi (pengadukan lambat) 19

5 Kriteria unit sedimentasi 20

6 Kriteria unit filtrasi 22

7 Hasil perhitungan unit flokulasi 23

8 Hasil perhitungan unit sedimentasi 24

9 Hasil perhitungan unit filtrasi 24

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 7

2 Proses pengolahan air di WTP Ciapus unit 1 10

3 Hasil analisa konsentrasi warna 11

4 Hasil analisa konsentrasi kekeruhan 12

5 Hasil analisa suhu 12

6 Hasil analisa konsentrasi TDS 13

7 Hasil analisa pH 14

8 Hasil analisa konsentrasi besi 14

9 Intake WTP Ciapus unit 1 16

10 Unit prasedimentasi 16

11 Skema pengadukan tipe buffle channel horizontal 18

12 Ground Water Tank (GWT) 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peraturan Menteri Kesehatan R.I No. 416 Tahun 1990 tentang

Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air 27

2 Diagram alir perhitungan unit koagulasi 29

3 Diagram alir perhitungan unit flokulasi 30

4 Diagram alir perhitungan unit sedimentasi 31

5 Diagram alir perhitungan unit filtrasi 32

6 Sistem plumbing pada unit pengolahan koagulasi, flokulasi,

sedimentasi, dan filtrasi 33

7 Unit pra-sedimentasi 34

8 Unit pra-sedimentasi tampak atas 35

9 Tampak depan luar WTP 36

10 Tampak Samping WTP 37

11 Ground Water Tank (GWT) 38

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia yang diperlukan secara terus-menerus dalam kegiatan sehari-hari. Kebutuhan air bersih sangat sulit didapatkan, karena sumber penyediaan air tidak didukung oleh teknologi yang menunjang hal tersebut. Selain itu, pemantauan terhadap kualitas air merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan untuk memenuhi standar kesehatan.

Sebagai sebuah institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, Institut Pertanian Bogor (IPB) membutuhkan ketersediaan air bersih untuk menunjang segala aktivitas yang berlangsung di sekitar lingkungan kampus. Saat ini, Kampus IPB menggunakan sungai Cihideung dan sungai Ciapus yang merupakan sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan air kampus. Kampus IPB Dramaga mempunyai sembilan Instalasi Pengolahan Air Bersih (Water Treatment Plant – WTP), yaitu tiga WTP Ciapus yang mulai dibangun pada tahun 1972 dan enam WTP Cihideung yang mulai dibangun pada tahun 1986.

Salah satu WTP yang dibangun pada tahun 1972 saat ini kurang berfungsi secara optimal, yaitu WTP Ciapus Unit I dengan kapasitas sebesar 20 liter/detik. Hasil monitoring yang telah dilakukan oleh pihak IPB menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan, yaitu nilai kekeruhan yang didapatkan seringkali berada di atas standar baku mutu dan hal tersebut dapat mempengaruhi nilai parameter terukur lainnya. Melihat penggunaan air bersih di Kampus IPB Dramaga ternyata tidak terlepas dengan permasalahan seputar kualitas dan kuantitasnya, maka dalam rangka meningkatkan hal tersebut dibutuhkan adanya instalasi pengolahan air yang sesuai dengan standar baku mutu. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis dan evaluasi mengenai sistem pengolahan air bersih sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan dari instalasi tersebut.

Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah tersebut di atas maka penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apa saja permasalahan yang ada di Instalasi Pengolahan Air (IPA) IPB yang sudah berusia 41 tahun?

2. Apakah kualitas air baku yang digunakan di IPA IPB sudah memenuhi persyaratan kualitas air bersih pada Peraturan Pemerintah Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air?

3. Apakah unit instalasi pengolahan air tersebut sudah memenuhi kriteria desain perencanaan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang terbaru, yaitu SNI 6774-2008?

(13)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja instalasi pengolahan air bersih unit I sungai Ciapus Kampus IPB Dramaga dengan membandingkan kriteria desain unit pengolahan terhadap SNI 6774-2008 tentang Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi atau data mengenai kondisi kualitas air yang ditinjau dari parameter terukur pada WTP Ciapus Unit 1, serta dapat mengetahui sejauh mana efektifitas setiap unit pengolahan tersebut berfungsi.

2. Memberikan rekomendasi mengenai unit pengolahan air yang sesuai dengan keadaan saat ini.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini difokuskan pada perbandingan kualitas air terhadap baku mutu, serta melakukan perhitungan evaluasi setiap unit pengolahan berdasarkan kriteria desain perencanaan SNI 6774-2008 yang difokuskan pada unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Kualitas Air Baku dan Air Bersih

Air baku adalah air yang digunakan sebagai sumber dalam penyediaan air bersih. Sumber air baku yang dapat digunakan untuk penyediaan air bersih yaitu air hujan, air permukaan (air sungai, air danau/rawa), air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam, mata air) (Sutrisno, 2002 dalam Afriani, 2008). Pengertian air bersih menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/PER/IX/1990 adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan dapat diminum setelah dimasak, sedangkan pengertian air minum menurut Kepmenkes RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002 adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan (bakteriologis, kimiawi, radioaktif, dan fisik) dan dapat diminum langsung. Adapun syarat-syarat kesehatan air bersih adalah:

1. Persyaratan Biologis

Persyaratan biologis berarti air bersih itu tidak mengandung mikroorganisme yang nantinya menjadi infiltran tubuh manusia. Mikroorganisme itu dapat dibagi dalam empat grup, yakni parasit, bakteri, virus, dan kuman.

2. Persyaratan Fisik

Persyaratan fisik air bersih terdiri dari kondisi fisik air, seperti : - Kekeruhan

(14)

3 Kekeruhan yang terjadi pada air disebabkan karena air mengandung bahan suspensi yang dapat menghambat sinar menembus air dan berbagai macam partikel yang bervariasi ukurannya mulai koloid sampai yang kasar. Kekeruhan disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisne lain (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi 2003). Bahan organik yang masuk ke dalam air sungai juga menyebabkan kekeruhan air bertambah, hal ini disebabkan karena bahan organik merupakan makanan bagi bakteri, akibatnya bakteri berkembang dan mikroorganisme yang memakan bakteri juga bertambah. Alat ukur yang digunakan adalah turbidimeter dengan satuan NTU (Nephelometer Turbidity Unit) (Reynold, 1982 dalam Saputri, 2011).

- Warna

Penyebab warna dalam air adalah sisa-sisa bahan organik seperti daun, dahan-dahan, dan kayu yang telah membusuk. Zat besi kadang-kadang juga merupakan penyebab warna yang tinggi potensinya. Air permukaan yang berwarna kuat basanya disebabkan oleh partikel tersuspensi yang berwarna (Saputri, 2011). Warna pada air dapat disebabkan oleh materi tersuspensi dan materi organik terlarut. Warna yang disebabkan oleh materi tersuspensi adalah warna semu (apparent color) dan warna yang disebabkan oleh material organik dalam bentuk koloid disebut warna sejati (true color) (Sawyer, 1994 dalam Saputri, 2011).

- Rasa dan Bau

Rasa dan bau dalam air sering disebabkan adanya bahan-bahan organik dan memungkinkan adanya mikroorganisme penghasil bau yang mempengaruhi kenyamanan air. Penyebab bau umumnya tidak terdapat dalam jumlah konsentrasi yang cukup untuk bias dideteksi kecuali hasil baunya sendiri.

- Suhu

Suhu untuk air minum yang diizinkan adalah sesuai dengan suhu normal atau dengan kondisi setempat. Perubahan suhu mempengaruhi proses fisika, kimia, dan biologi pada badan air. Suhu berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, volatilisasi, serta menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air (gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya) (Haslam, 1995 dalam Effendi, 2003). Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.

- Total Dissolved Solids (TDS)

TDS merupakan bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003).

3. Persyaratan Kimia

Persyaratan kimia menjadi penting karena banyak sekali kandungan kimiawi air yang memberi akibat buruk pada kesehatan karena tidak sesuai dengan proses biokimiawi tubuh. Air bersih tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam jumlah yang melampaui batas. Persyaratan kimia salah satunya, yaitu :

(15)

4

- PH (tingkat keasaman).

Khususnya pada pH  6,5 dan pH 9,5 akan mempercepat terjadinya reaksi korosi pada pipa distribusi air bersih. Apabila nilai pH jumlah mikroorganisme patogen semakin banyak, maka hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia.

- Besi dan Mangan

Zat-zat lain yang selalu ada dalam air adalah besi dan mangan. Besi merupakan logam yang menghambat proses desinfeksi. Hal ini disebabkan karena daya pengikat chlor, selain digunakan untuk mengikat zat organik, juga digunakan untuk mengikat besi dan mangan, sehingga sisa chlor menjadi lebih sedikit dan hal ini memerlukan desinfektan yang semakin besar pada proses pengolahan air. Besi dan mangan menyebabkan warna air menjadi keruh. 4. Persyaratan Radioaktif

Persyaratan radioaktif sering juga dimasukkan sebagai bagian persyaratan fisik, namun sering dipisahkan karena jenis pemeriksaannya sangat berbeda, dan pada wilayah tertentu menjadi sangat serius seperti di sekitar reaktor nuklir.

Unit Pengolahan Air

Pengolahan air adalah usaha teknis yang dilakukan untuk mengubah sifat-sifat suatu zat sesuai standar air minum yang diinginkan. Proses pengolahan air pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga bagian pengolahan (Reynolds, 1982 dalam Dini P.R, 2011), yaitu:

- Pengolahan fisik, yaitu tingkat pengolahan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kotoran- kotoran yang kasar, penyisihan lumpur dan pasir, serta mengurangi kadar zat-zat organik yang ada dalam air yang akan diubah - Pengolahan kimia, yaitu tingkat pengolahan dengan menggunakan zat-zat

kimia untuk membantu proses pengolahan selanjutnya

- Pengolahan bakteriologis, yaitu tingkat pengolahan untuk membunuh atau memusnahkan bakteri-bakteri yang terkandung didalam air.

Unit-unit pengolahan air yang biasa digunakan dalam proses pengolahan air diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Intake

Bangunan intake berfungsi sebagai bangunan pertama untuk masuknya air dari sumber air, yaitu air sungai. Pada bangunan ini terdapat bar screen

(penyaring kasar) yang berfungsi untuk menyaring benda-benda yang ikut tergenang dalam air, misalnya sampah. Kondisi intake sangat berpengaruh dalam mensuplai air yang akan diolah. Untuk menjamin suplai air yang cukup, intake

harus diletakkan di lokasi yang mudah dicapai dan dirancang untuk mensuplai sejumlah kuantitas air pada kualitas optimal yang memungkinkan. Ada beberapa tipe bangunan penyadap air baku yang banyak digunakan yakni tipe saluran yang biasanya digunakan untuk air sungai, tipe pintu (intake gate) dan tipe menara (intake tower) yang biasa digunakan untuk penyadapan air baku dari danau, bendungan atau dam.

2. Prasedimentasi

Prasedimentasi merupakan salah satu jenis pengolahan pendahuluan untuk meremoval padatan tersuspensi penyebab kekeruhan dengan pengendapan dan

(16)

5 mengumpulkannya secara alami akibat gravitasi dalam unit tanpa penggunaan koagulan. Prasedimentasi bisa juga disebut sebagai plain sedimentation karena prosesnya bergantung dari gravitasi dan tidak termasuk koagulasi dan flokulasi. Oleh karena itu prasedimentasi merupakan proses pengendapan grit secara gravitasi sederhana tanpa penambahan bahan kimia koagulan. Tipe ini biasanya diletakkan di reservoir, grit basin, debris dam, atau perangkap pasir pada awal proses pengolahan. Untuk mendapatkan kondisi pengendapan yang mendekati ideal, perencanaan mengikuti persyaratan bilangan Reynolds (Nre) dan bilangan Froud (Nfr). Zona pengendapan ideal mempunyai kondisi aliran laminer (Nre < 2000), serta stabil dan tidak terjadi aliran pendek (Nfr > 10-5).

3. Koagulasi dan flokulasi

Proses koagulasi merupakan suatu proses destabilisasi koloid dan partikel-partikel yang tersuspensi didalam air baku karena adanya pencampuran yang merata dengan senyawa kimia tertentu (koagulan) melalui pengadukan cepat sehingga cenderung untuk membentuk gumpalan yang lebih besar. Bentuk alat pengaduk cepat dapat bervariasi, selain rapid mixing, dapat menggunakan hidrolis (hydrolic jump atau terjunan) atau mekanis (menggunakan batang pengaduk). Faktor yang menentukan keberhasilan suatu proses koagulasi yaitu jenis koagulan yang digunakan, dosis pembubuhan koagulan, dan pengadukan dari bahan kimia (Darmasetiawan, 2001). Dalam penentuan koagulan dapat dilakukan percobaan

jartest. Jartest merupakan suatu metode penentuan dosis koagulan yang akan digunakan. Pada tes ini sampel dari air baku yang akan diuji dimasukkan dalam

beaker glass, kemudian masing-masing ditambahkan koagulan dengan variasi dosis yang berbeda. Isi beaker glass kemudian diaduk secara cepat dan kemudian secara perlahan untuk menstimulasi flokulasi. Setelah beberapa saat, pengadukan dihentikan dan dibiarkan mengendap (Dini, P.R. 2011). Bila pembubuhan koagulan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan maka proses pembentukan inti flok akan berjalan dengan baik. Gangguan- gangguan yang terjadi dalam proses koagulasi akan menyebabkan flok yang terbentuk tidak sempurna, sedimentasi lambat dan penurunan turbiditas yang rendah.

Proses flokulasi merupakan suatu proses dengan pengadukan lambat yang dilakukan setelah proses koagulasi, yang berfungsi untuk mempercepat penggabungan partikel-partikel koloid sehingga terbentuk partikel-partikel berukuran besar yang dengan mudah dan cepat mengendap secara gravitasi. Flok-flok kecil yang sudah terbentuk di koagulator diperbesar disini. Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk flok yaitu kekeruhan pada air baku, tipe dari suspended solids, pH, alkalinitas, bahan koagulan yang dipakai, dan lamanya pengadukan (Sutrisno, 2002 dalam Afriani, 2007). Beberapa tipe flokulator adalah channel floculator (buffle channel horizontal, buffle channel vertical, buffle channel vertical dengan diputar, melalui plat berlubang, dalam Cone, dan dengan pulsator), pengadukan secara mekanik, pengadukan melalui media, pengadukan secara pneumatik (dengan udara) (Darmasetiawan, 2001).

4. Sedimentasi

Unit sedimentasi merupakan peralatan yang berfungsi untuk memisahkan solid dan liquid dari suspensi untuk menghasilkan air yang lebih jernih dan konsentrasi lumpur yang lebih kental melalui pengendapan secara gravitasi. Secara keseluruhan, fungsi unit sedimentasi dalam instalasi pengolahan

(17)

6

adalah mengurangi beban kerja unit filtrasi dan memperpanjang umur pemakaian unit penyaring selanjutnya serta mengurangi biaya operasi instalasi pengolahan. 5. Filtrasi

Filtrasi berfungsi sebagai penyaring flok-flok halus yang masih terdapat dalam air yang tidak terendapkan pada sedimentasi yang dapat menyaring bakteri atau mikroorganisme yang ada dalam air. Proses filtrasi merupakan penyaring air dari partikel-partikel koloid yang tidak terendapkan selama proses sedimentasi melalui media butiran yang berpori. Dilihat dari segi desain kecepatan, filtrasi dapat digolongkan menjadi saringan pasir cepat (filter bertekanan dan filter terbuka) dan saringan pasir lambat (Darmasetiawan, 2001 dalam Arifiani,N.F., 2007). Setelah filter digunakan beberapa saat, filter akan menglami penyumbatan. Untuk itu perlu pembersihan, yang dapat dilakukan dengan pencucian dengan udara dan pencucian dengan air (pencucian permukaan filter dengan penyemprotan dan pencucian dengan backwash).

6. Desinfektan

Desinfeksi air bersih dilakukan untuk menghilangkan bakteri pathogen yang biasanya menggunakan khlor, sehingga proses ini dikenal juga dengan khlorinasi. Keefektifan desinfektan dalam membunuh dan menonaktifkan mikroorganisme berdasarkan pada tipe desinfektan yang digunakan, tipe mikroorganisme yang dihilangkan, waktu kontak air dengan desinfektan, temperature air, dan karakter kimia air (Qasim, Motley, & Zhu, 2000 dalam Saputri, 2011). Kholrin biasanya disuplai dalam bentuk cairan. Salah satu khlorin yang umum digunakan adalah

sodium hipoklorit. Sodium hipoklorit hanya bisa berada dalam fase liquid, biasanya mengandung konsentrasi khlorin sebesar 12,5-17% (Tchobanoglous, 2003 dalam Saputri, 2011). Sodium hipoklorit bersifat tidak stabil, mudah terbakar, dan korosif, sehingga dibutuhkan pemeliharaan dalam pengangkutan, penyimpanan, dan penggunaannya. Metode yang dapat digunakan untuk mencampur khlorin dengan air adalah dengan metode mekanis, penggunaan buffle,

hydraulic jump, dan pompa booster pada saluran. 7. Reservoir

Sistem reservoir distribusi adalah sistem pembagian air kepada konsumen dengan menggunakan reservoir, baik menggunakan sistem transmisi gravitasi maupun sistem transmisi pompa. Fungsi reservoir distribusi adalah penyimpan air pada waktu debit air yang masuk ke reservoir lebih besar daripada yang keluar dari reservoir, pusat distribusi untuk disalurkan ke jaringan lain, pemerataan aliran dan tekanan akibat perbedaan perbedaan pemakaian didaerah distribusi. Fluktuasi atau variasi penggunaan air ini terjadi setiap hari sehingga permukaan air di reservoir distribusi naik turun antara level maksimum dan minimumnya, dengan demikian, volume atau dimensi reservoir bisa diperoleh. Jenis pompa penyediaan air yang banyak digunakan adalah jenis putar (pompa sentrifugal, pompa diffuser

atau pompa turbin meliputi pompa turbin untuk sumur dan pompa submersibel

untuk sumur dalam), pompa jenis langkah positif (pompa torak, pompa tangan, pompa khusus meliputi pompa vortex atau pompa kaskade, pompa gelembung udara atau air lift pump, pompa jet, dan pompa bilah).

(18)

7

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan yang dimulai pada bulan Maret hingga bulan Juni 2013. Lokasi penelitian ini dilakukan di WTP Ciapus Unit I yang berada di dekat pintu 3 IPB. Pengukuran, perhitungan serta analisis data dilakukan di Laboratorium WTP Cihideung.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, seperti yang tertera pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Mulai

Kesimpulan dan Saran Studi Literatur

Pengumpulan Data Primer

Analisa Kualitas Air Evaluasi Unit Pengolahan Air

Pengambilan Sampel di Lapangan

Pengukuran Dimensi Unit Pengolahan di Lapangan

Pengolahan Data Analisis Laboratorium

Analisis Data

(19)

8

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan diterangkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan penelitian

Alat Bahan

Turbidity Meter Bahan-bahan kimia

pH Meter Data sekunder berupa :

TDS Meter - Debit air WTP

Photometer Palintest 8000 - Kapasitas unit pengolahan

Jar Test - Wilayah pelayanan WTP Ciapus

Tape SNI 6774-2008

Kalkulator dan alat tulis Permenkes No. 416 Tahun 1990

Software Microsoft Office, Auto Cad 2010

Analisa Kualitas Air

Analisa dilakukan di enam titik sampling. Titik sampling satu pada intake, titik dua pada unit prasedimentasi, titik tiga pada unit koagulasi, titik empat pada unit sedimentasi, titik lima pada unit filtrasi, dan titik enam pada output. Pengambilan sampel air dilakukan dengan 6 kali pengulangan dihari yang berbeda. Pengambilan sampel dari tiap titik unit pengolahan digunakan untuk menganalisis parameter terukur seperti jumlah total zat padat terlarut (TDS) yang dianalisa menggunakan TDS meter, kekeruhan menggunakan turbidity meter, suhu dan pH dengan pH meter, sedangkan warna dan besi dianalisa menggunakan Photometer Palintest 8000. Hasil analisa tersebut kemudian akan dibandingkan dengan standar baku mutu yang berlaku, yaitu Permenkes No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

Evaluasi Unit Pengolahan Air Bersih

Setelah data-data hasil analisis laboratorium diperoleh, selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk menghasilkan data kuantitatif sebagai bahan evaluasi. Untuk mengevaluasi kinerja dari WTP Ciapus unit 1 ini, maka setiap kriteria desain unit pengolahan air akan dibandingkan dengan SNI 6774-2008. Diagram alir perhitungan untuk unit pengolahan koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4, dan 5. Hasil analisa laboratorium dan evaluasi kinerja intalasi pengolahan air bersih unit I dengan sumber air baku sungai Ciapus akan dijadikan sebagai dasar perbaikan instalasi pengolahan air bersih untuk selanjutnya.

(20)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Proses Pengolahan Air Baku

WTP Ciapus unit 1 pertama kali dibangun tahun 1972 dengan memanfaatkan Sungai Ciapus yang melintas di sebelah utara Kampus IPB Dramaga bogor sebagai air baku dengan kapasitas produksi 20 liter/detik. Sungai Ciapus merupakan salah satu anak Sungai Cisadane. WTP Ciapus unit 1 (Lampiran 9 dan 10) mengolah air secara gravitasi juga menggunakan pompa dan mendistribusikannya ke perumahan dosen IPB, Asrama Silvasari, Asrama Silva Lestari, Asrama Putri Dramaga, Wisma Amarilis, dan GOR Lama. Secara umum, instalasi pengolahan air yang bersifat konvensional dan menggunakan konstruksi baja ini dapat dikatakan masih dapat beroperasi cukup baik jika dibandingkan dengan usia 41 tahun. Namun demikian, terkait dengan kehandalannya, ditemukan beberapa kekurangan dan keterbatasan yang dikarenakan usia peralatan, ketersediaan suku cadang (spare part), serta permasalahan teknis dan non-teknis.

Proses pengolahan yang dilakukan, yaitu air sungai dipompa menuju unit prasedimentasi dengan tujuan untuk mengurangi padatan tersuspensi penyebab kekeruhan dengan pengendapan dan mengumpulkannya secara alami akibat gravitasi dalam unit tanpa penggunaan koagulan, kemudian air baku secara gravitasi mengalir menuju unit koagulasi. Pada unit koagulasi dilakukan penambahan bahan kimia berupa alumunium sulfat (tawas) yang berfungsi untuk menggumpalkan lumpur koloidal sehingga lebih mudah diendapkan, membentuk flok yang dapat mengadsorpsi zat warna atau zat pencemar dengan pengadukan secara hidrolis menggunakan sekat-sekat untuk memperlambat aliran. Air yang telah melalui unit koagulasi, mengalami overflow lalu masuk menuju proses berikutnya, yaitu flokulasi. Pada unit ini, saluran dibuat dengan saluran yang berbelok-belok (buffle channel), sedimentasi yang terdiri dari satu unit dengan menggunakan plat settler dan filtrasi menggunakan gravity filter dengan media pasir berupa pasir kuarsa. Sistem plumbing pada WTP Ciapus unit 1 dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil produksi dari WTP Ciapus unit 1 ini ditampung di dalam Ground Water Tank (GWT) dengan kapasitas 300 m3 sebelum didistribusikan ke pengguna. Di tinjau dari pengukuran debit hasil produksi di lapangan, debit yang dihasilkan sebesar 19,04 liter/detik. Proses pengolahan air pada WTP Ciapus unit 1 dapat dilihat pada Gambar 2.

(21)

10

Gambar 2 Proses pengolahan air di WTP Ciapus unit 1

Evaluasi Kualitas Air

Pengujian kualitas air dilakukan selama 3 minggu dengan 6 kali pengulangan, yaitu pada tanggal 25, 28 Maret, 2, 4, 8, dan 11 April 2013. Sampel air yang digunakan dalam pengujian ini di dapat dari air baku dan hasil olahan setiap unit pengolahan yang ada, hal ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi maupun fluktuasi konsentrasi dari masing-masing parameter yang akan diujikan dan mengetahui kemampuan tiap unit instalasi dalam mengolah air baku menjadi air bersih dilihat dari penurunan konsentrasi parameter tersebut. Hasil kualitas air yang telah diperoleh kemudian akan dibandingkan dengan standar baku mutu, yaitu Permenkes No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air (Lampiran 1). Evaluasi kualitas air dilakukan pada enam parameter, antara lain sebagai berikut.

1. Warna

Pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai konsentrasi warna cenderung menurun dalam setiap proses pengolahannya. Namun, penurunan konsentrasi yang tidak maksimal menyebabkan hasil akhir dalam proses pengolahan tersebut masih ada yang di atas standar baku mutu yang telah ditetapkan sebesar 15 mg/l. Dari 6 kali pengulangan analisa kualitas air terhadap parameter warna, terdapat satu kali ulangan, yaitu ulangan ke-5 dengan hasil konsentrasi warna yang tinggi pada unit koagulasi dibandingkan dengan pengulangan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pada saat melakukan analisa dosing pump koagulan tawas sedang tidak berfungsi dengan baik, sehingga koagulan yang masuk ke unit

(22)

11 koagulasi tidak berarturan yang menyebabkan proses penggumpalan lumpur tidak berjalan dengan baik dan flok tidak terendapkan dengan maksimal.

Gambar 3 Hasil analisa konsentrasi warna

Hasil analisa yang diperoleh dari pengujian, nilai konsentrasi dan penurunan pada setiap pengolahan berbeda-beda. Hal ini disebabkan, karena pada saat melakukan pengambilan sampel dalam kondisi yang berbeda pula. Pada saat pengambilan sampel dilakukan pada cuaca mendung dan kondisi setelah hujan, konsentrasi warna yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan pada saat pengambilan sampel dilakukan pada kondisi cerah. Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta tumbuh-tumbuhan (Hafni, 2012).

2. Kekeruhan

Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa nilai konsentrasi kekeruhan cenderung menurun dalam setiap proses pengolahannya. Namun, pada unit koagulasi dan sedimentasi terdapat peningkatan konsentrasi yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pemberian dosis koagulan yang kurang tepat dan proses pengendapan tidak maksimal yang disebabkan oleh penurunan performance, sehingga partikel tersuspensi tercampur kembali dan menyebabkan hasil akhir dalam proses pengolahan tersebut masih berada di atas standar baku mutu sebesar 5 NTU. Pada hasil analisa konsentrasi kekeruhan juga terdapat hasil yang tinggi pada unit sedimentasi, yaitu pada ulangan ke-6 di bandingkan dengan hasil yang lain. Hal ini disebabkan karena pada saat pengambilan sampel dilakukan mesin WTP baru saja dioperasikan. Oleh karena itu, lumpur maupun flok-flok yang terendapkan pada unit tersebut mengapung ke permukaan dan saat pengambilan sampel tersebut dilakukan lumpur maupun flok terbawa.

0.00 15.00 30.00 45.00 60.00 75.00 90.00 105.00 120.00 135.00 150.00 165.00 180.00

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

k o n se n tr as i w ar n a (m g/ l)

ulangan ke-1 ulangan ke-2 ulangan ke-3 ulangan ke-4

(23)

12

Gambar 4 Hasil analisa konsentrasi kekeruhan

Pada dasarnya kekeruhan air disebabkan adanya zat padat yang tersuspensi baik organik maupun anorganik. Banyaknya zat padat tersuspensi ini akan mendukung perkembangbiakan bakteri. Semakin jernih atau tidak keruhnya air maka akan menghambat perkembangbiakan bakteri yang mungkin ada dalam air. Selain itu dalam air yang keruh akan sulit dilakukan desinfeksi karena mikroba akan terlindungi zat tersuspensi tersebut. Padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi (TSS), semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut (TDS) tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Tingginya nilai kekeruhan dapat mempersulit usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.

3. Suhu

Konsentrasi suhu hasil analisa pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hasil analisa suhu 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00 55.00

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

K o n se n tr as i k e k e r u h an (N TU )

ulangan ke-1 ulangan ke-2 ulangan ke-3 ulangan ke-4

ulangan ke-5 ulangan ke-6 baku mutu

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

su h u ( °C )

ulangan ke-1 ulangan ke-2 ulangan ke-3 ulangan ke-4

(24)

13 Suhu pada air baku dan air hasil olahan pada instalasi menunjukkan angka yang masih normal, yaitu berada pada range 26,50 °C sampai 28,80 °C. Air dengan temperatur tersebut merupakan air yang hangat sehingga akan lebih mudah melarutkan bahan kimia dibandingkan dengan air dingin. Kenaikan suhu air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi (Hafni, 2012).

4. Zat padat terlarut (TDS)

TDS terdapat di dalam air sebagai hasil reaksi dari zat padat, cair, dan gas di dalam air yang dapat berupa senyawa organik maupun anorganik. Kandungan zat padat menimbulkan bau busuk, juga dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut. Konsentrasi TDS hasil analisa pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hasil analisa konsentrasi TDS

Hasil analisa yang diperoleh untuk nilai konsentrasi TDS sebesar 0,1 ppt dan masih jauh dibawah standar baku mutu yaitu 1 ppt. Hasil menunjukkan angka yang sama dalam setiap pengukuran yang disebabkan oleh alat TDS meter yang kurang memiliki ketelitian tinggi sehingga nilai konsentrasi TDS yang berada di bawah 0,1 ppt maupun 0,2 ppt akan terbaca pada alat sebesar 0,1 ppt. Menurut Arthana (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara TDS dengan Daya Hantar Listrik (DHL) dimana keduanya mempunyai hubungan linear. Semakin tinggi TDS maka DHL juga semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Total dissolved solid biasanya terdiri atas zat organik, garam anorganik dan gas terlarut. Selain itu TDS juga berhubungan dengan tingkat kesadahan dimana semakin tinggi TDS, maka kesadahan juga tinggi.

5. pH

pH berfungsi untuk menentukan kadar asam/basa dalam air. Perubahan pH air dapat menyebabkan berubahnya bau, rasa, dan warna. Pada proses pengolahan air seperti koagulasi, desinfeksi, dan pelunakan air, nilai pH harus dijaga sampai rentang dimana organisme partikulat terlibat. Hasil analisa pH pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

Ko n se n tr as i T D S (p p t)

(25)

14

Gambar 7 Hasil analisa pH

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 9, pH air baku dan air hasil olahan dari setiap unit pengolahan berada pada kisaran pH 6,5 sampai 7,1. pH standar untuk air bersih sebesar 6,5 – 8,5. pH air yang lebih besar dari 7 memiliki kecenderungan untuk membentuk kerak pada pipa dan kurang efektif dalam membunuh bakteri sebab akan lebih efektif pada kondisi netral atau bersifat asam lemah (Sururi et al, 2008 dalam Astari 2008). Pembatasan pH dilakukan karena akan mempengaruhi rasa, korosifitas air dan efisiensi klorinasi (Hafni, 2012). 6. Besi

Besi atau Ferrum (Fe) merupakan metal berwarna putih keperakan, liat, dan dapat dibentuk. Kehadiran besi dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya rasa dan bau, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia. Konsentrasi kekeruhan hasil analisa pada tiap unit pengolahan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil analisa konsentrasi besi 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

p

H

ulangan ke-1 ulangan ke-2 ulangan ke-3 ulangan ke-4

ulangan ke-5 ulangan ke-6 baku mutu baku mutu

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

intake pra-sed koagulasi sedimentasi filtrasi output

K o n se n tr as i B e si (m g/ l)

ulangan ke-1 ulangan ke-2 ulangan ke-3 ulangan ke-4

(26)

15 Dilihat dari Gambar 8, konsentrasi besi masih memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan, yaitu 1 mg/l dan konsentrasi besi cenderung mengalami penurunan dari air baku dan hasil olahan dari setiap unit pengolahannya. Untuk menurunkan kadar besi yang tinggi, dalam proses pengolahan air perlu adanya proses oksidasi dengan cara aerasi atau dengan zat oksidator (Said, 2005). Proses aerasi juga berfungsi untuk menghilangkan gas-gas beracun yang tidak diinginkan, misalnya H2S, Methan, karbon dioksida dan gas-gas lainnya. Reaksi oksidasi dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang bereaksi, dalam hal ini dipengaruhi oleh jumlah udara yang dikontakkan dengan air secara luas kontak antara gelembung udara dengan permukaan air. Selain itu, pH air juga mempengaruhi reaksi oksidasi pada pH air lebih besar dari 7. Oleh karena itu sebelum aerasi dilakukan, maka air baku harus dinaikkan sampai mencapai pH 8. Hal ini dimaksudkan agar pH air tidak menyimpang dari pH standar untuk air bersih, yaitu pH 6,5 – 8,5 (Herlambang, 2010)

Evaluasi Unit Pengolahan Air Bersih

Pada evaluasi instalasi akan dilakukan perhitungan berdasarkan dimensi dan data-data yang terkait dari masing-masing unit pengolahan yang ada pada WTP Ciapus unit 1, khususnya pada unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi. Evaluasi yang akan dilakukan meliputi debit eksisting instalasi yaitu sebesar 19,04 liter/detik, untuk mengetahui kinerja pada tiap unit pengolahan yang ada apakah sudah sesuai dengan kriteria desain. Pengukuran debit dilakukan dengan metode volumetrik, yaitu dengan menampung air hasil produksi ke dalam bak berisi 50 liter, kemudian dibagi dengan rata-rata waktu yang dihasilkan pada saat bak terisi penuh. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali dengan hasil rata-rata sebesar 2,63 detik. Setelah dilakukan perhitungan dan jika ditemui unit yang bermasalah atau tidak sesuai dengan kriteria desain, maka akan diberikan sebuah rekomendasi yang dapat di aplikasikan pada instalasi eksisting. Berikut merupakan hasil evaluasi yang dilakukan pada instalasi pengolahan air (IPA) dengan sumber air dari sungai Ciapus.

a. Intake

Intake merupakan bangunan penangkap atau pengumpul air baku dari sumber air dalam hal ini yaitu sungai ciapus sehingga air baku dapat dikumpulkan dalam suatu bak untuk selanjutnya diolah. Selain itu, unit ini berfungsi untuk mengumpulkan air dari sumber dan menjaga kuantitas debit air yang dibutuhkan oleh instalasi pengolahan, mengambil air baku sesuai dengan debit yang diperlukan oleh instalasi pengolahan, dan menyaring benda-benda kasar dengan menggunakan bar screen. Bangunan intake pada WTP Ciapus unit 1 dilengkapi dengan bar screen, dan saluran pembawa. Intake WTP Ciapus unit 1 dapat dilihat pada Gambar 9.

(27)

16

Gambar 9 Intake WTP Ciapus unit 1 b. Prasedimentasi

Pada tahapan ini terjadi proses pengendapan lumpur secara gravitasi, dimana air dialirkan dengan tenang, sehingga lumpur yang mempunyai berat jenis lebih tinggi dari air akan mengendap. Unit prasedimentasi (Gambar 10) ini memiliki kapasitas sebesar 300 m3 untuk melalui proses pengendapan lumpur sebelum memasuki unit koagulasi. Unit Prasedimentasi secara detail dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8.

Gambar 10 Unit prasedimentasi c. Koagulasi

Unit pengadukan cepat (koagulasi) yang digunakan pada WTP Ciapus unit 1 adalah tipe hidrolis dengan saluran bersekat dengan volume 1,995 m3. Air dari unit pra-sedimentasi mengalir secara gravitasi ke unit koagulasi untuk diberi tambahan koagulan dengan menginjeksikan bahan koagulan melewati selah sekat. Akibat sekat-sekat dengan penyempitan aliran maka daerah sekat akan bergolak, sehingga koagulan akan bercampur dengan air baku secara cepat dan merata hingga terjadi flok-flok yang lebih besar agar mudah mengendap. Koagulan yang digunakan pada WTP ini adalah alumunium sulfat (tawas). Tawas merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah penyimpanannya. Jumlah pemakaian

(28)

17 tawas tergantung kepada turbidity (kekeruhan) air baku. Semakin tinggi turbidity

air baku maka semakin besar jumlah tawas yang dibutuhkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan dosis optimal dari koagulan yang digunakan adalah dengan melakukan percobaan jar test. Sebelum dilakukan jar test

dilakukan pengujian kualitas air terlebih dahulu dengan minimal parameter, seperti kekeruhan, warna dan pH. Hasil percobaan jar test dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Analisa jar test

No tawas (ml)

dosis koagulan (ppm)

kekeruhan warna pH

awal akhir awal Akhir Awal Akhir

1 0,50 10 15 9,78 100 75 7,10 7 2 0,75 15 8,33 70 7 3 1 20 2,21 20 7 4 1,25 25 3,80 30 7 5 1,50 30 1,70 15 7 6 1,75 35 2,24 25 7 7 2 40 4,89 10 7 8 2,50 50 3,86 20 7

Berdasarkan percobaan jar test yang telah dilakukan, hasil analisa menunjukkan bahwa dosis optimum koagulan yang paling tepat adalah 20 ppm untuk melakukan proses pengolahan air dengan konsentrasi kekeruhan 15 NTU, konsentrasi warna 100 mg/l dan pH 7,1. Dengan dosis koagulan yang optimal flok-flok akan mengumpulkan partikel-partikel kecil dan akhirnya mengendap. Dosis yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan kondisi kekeruhan dari air baku. Kekeruhan air baku yang tinggi menyebabkan koagulan yang dibutuhkan lebih banyak untuk mendapatkan turbiditas yang optimum.

Tabel 3 Kriteria unit koagulasi (pengadukan cepat)

Parameter Kriteria Desain

(SNI 6774 : 2008) Hasil evaluasi Pengaduk cepat

- Tipe Hidrolisis :

- Terjunan

- Saluran bersekat - Dalam paket instalasi

pengolahan air bersekat Mekanis :

- Bilah (Blade), pedal (paddle)

- Flotasi

Tipe hidrolisis menggunakan saluran bersekat

Waktu pengadukan (detik) 1 – 5 104,78

(29)

18

Hasil evaluasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil tersebut dapat terlihat nilai gradien kecepatan pada unit ini tidak sesuai dengan kriteria desain, yaitu 152,85/detik. Menurut Yan, et al. (2009) dalam Amalia (2013) menyatakan bahwa peningkatan intensitas pengadukan (berhubungan dengan gradien hidrolik) hingga batas maksimum akan meningkatkan penurunan nilai kekeruhan (turbidity removal), sedangkan lama waktu pengadukan yang dibutuhkan pada unit ini selama 104,78 detik, hasil yang diperoleh sangat jauh di atas kriteria desain yang ditentukan hal tersebut terjadi karena volume bak yang terlalu besar dibandingkan dengan debit yang sangat kecil. Agar waktu pengadukan tidak terlalu lama, maka hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan debit yang masuk pada unit tersebut dengan memperbesar ukuran pipa dari outlet bak prasedimentasi sampai dengan pipa inlet unit koagulasi, dipasangkan flow meter pada saat kran dibuka, atau dapat dilakukan dengan mendesain kembali unit koagulasi agar volume bak yang dihasilkan kecil, seperti membuat jalur pada saat pengadukan cepat lebih singkat. Lamanya waktu pengadukan berbanding terbalik dengan nilai gradien kecepatan, semakin kecil nilai gradien kecepatan, maka semakin besar lamanya waktu pengadukan. Diagram alir perhitungan unit koagulasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

d. Flokulasi

Unit flokulasi pada WTP Ciapus unit 1 memiliki luas permukaan basah sebesar 3,64 m2 dan dapat menampung air dengan volume 1,995 m3. Flokulasi

buffle channel ini merupakan tipe pengadukan lambat dengan aliran yang berbelok-belok pada setiap kompartemennya yang diharapkan dapat terjadi pengadukan pada saat air mengalir dan terjadi pengadukan yang lambat atau pelan. Tipe buffle channel yang terdapat pada WTP Ciapus unit 1 adalah buffle channel

(saluran pengadukan) horizontal. Skema pengadukan tipe buffle channel horizontal dapat dilihat pada Gambar 11. Pengadukan dengan cara ini untuk flokulasi banyak diterapkan pada Instalasi Pengolahan Air yang dibangun pada tahun 1970an. Menurut Darmasetiawan (2001), keunggulan pada pengadukan dengan cara ini adalah pengendalian terhadap pengadukan jauh lebih mudah, dan kapasitas dapat ditingkatkan dengan mudah, sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan lahan yang sangat luas karena biasanya flokulasi dengan tipe tersebut membutuhkan beberapa kompartemen dalam prosesnya. Tujuan pengadukan lambat dalam pengolahan air adalah untuk menghasilkan gerakan air secara perlahan sehingga terjadi kontak antar partikel untuk membentuk gabungan partikel berukuran besar.

(30)

19 Hasil evaluasi yang tertera pada Tabel 4, tahap flokulasi yang dimiliki oleh WTP ini hanya satu kompartemen. Namun, dengan satu kompartemen ini gradien kecepatan yang dihasilkan telah sesuai dengan kriteria desain, yaitu 18.14/detik sehingga pengadukan lambat yang terjadi pada unit ini berjalan dengan baik dan akan menghasilkan flok-flok yang lebih besar kemudian akan mengendap. Pengendali energi yang digunakan pada unit ini berupa sekat. Waktu tinggal yang dibutuhkan untuk melakukan proses flokulasi ini selama 19 menit, hasil ini belum sesuai dengan kriteria desain. Waktu tinggal yang lebih singkat menyebabkan efisiensi pengendapan pada bak flokulasi tidak terlalu signifikan, sedangkan apabila waktu tinggal yang diperoleh terlalu lama pun akan menyebabkan flok yang telah terbentuk akan terpecah kembali. Hasil dari evaluasi yang diperoleh kecepatan aliran hanya 0,02 m/detik dari nilai kriteria desain untuk kecepatan aliran maksimum 0,9 m/detik, namun masih masuk ke dalam kriteria desain. Terlalu kecilnya kecepatan aliran pada proses ini mengakibatkan terjadinya endapan pada saluran pengaduk yang menyebabkan proses kurang berjalan dengan baik. Perbaikan yang dapat dilakukan agar sesuai dengan kriteria desain adalah dengan menambahkan tahapan flokulasi. Dengan bertambahnya tahapan flokulasi, maka waktu tinggal yang dibutuhkan dalam proses pada unit flokulasi ini pun akan semakin lama begitu pula dengan nilai kecepatan gradien akan semakin menurun. Diagram alir perhitungan unit flokulasi dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 4 Kriteria unit flokulasi (pengadukan lambat)

Parameter Kriteria desain

(SNI 6774 : 2008) Hasil evaluasi G (Gradien kecepatan) 1/detik 60 (menurun) - 5 18,14

Waktu tinggal (menit) 30 – 45 19

Tahap flokulasi (buah) 6 – 10 1

Pengendalian energi Bukaan pintu/sekat Sekat

Kecepatan aliran max (m/det) 0,9 0,02

e. Sedimentasi

Proses pengendapan pada bak sedimentasi berlangsung dengan menggunakan plate settler dengan sistem corrugated fiberglass dengan jarak antara plate settler 0,04 m, ketebalan 0,003 m, lebar 0,52 m, sudut inklinasi sebesar 60o, dan plate settler yang tersedia pada bak sedimentasi ini berjumlah 100 buah. Pengunaan plate settler ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengendapan kekeruhan, besi, dan mangan. Bak pengendapan memiliki kedalaman bak 2,86 m, kedalaman air 2,71 m, panjang bak 2,50 m, dan lebar bak 1,40 m.

Berdasarkan hasil evaluasi yang tertera pada Tabel 5, nilai beban permukaan bak sedimentasi tidak sesuai dengan kriteria desain yaitu 19,58 (m3/m2 .jam). Nilai beban permukaan bak sangat mempengaruhi efisiensi penghilangan partikel dari air yang pada umumnya digunakan dalam menentukan panjang dan lebar dari bak. Nilai kecepatan pada pelat pengendap yang diperoleh jauh lebih besar dari kriteria desain yaitu 0,37 m/menit. Hal ini dapat menyebabkan penggerusan pada permukaan settler. Beban pelimpah yang dihasilkan melebihi nilai maksimum dari

(31)

20

kriteria desain, yaitu 24,48 m3/m.jam. Nilai beban pelimpah ini dibutuhkan pada zona sedimentasi agar alirannya tetap laminar dan dari hasil perhitungan diketahui bahwa aliran sudah laminar (Re < 2000) yaitu 705,42 sehingga pengendapan pada proses ini dapat terjadi, begitu pula dengan nilai fraude (Fr) yang di dapat sesuai dengan kriteria desain sehingga keseragaman aliran pun terjadi. Keseragaman aliran menyebabkan partikel yang mempunyai berat jenis lebih besar daripada berat jenis air akan mengendap. Hal ini tidak dapat dicapai apabila kondisi aliran turbulen. Waktu tinggal di dalam pelat masih sesuai dengan kriteria desain yaitu 0,005 jam. Waktu tinggal di dalam pelat berpengaruh terhadap pada waktu flok-flok saat mengalir dan mengendap pada pelat. Akan tetapi karena waktu tinggal yang diperoleh tidak terlalu lama, maka dampak waktu tinggal yang lebih singkat menyebabkan efisiensi pengendapan pada bak sedimentasi tidak terlalu signifikan. Penggunaan plate settler merupakan salah satu bagian yang dapat meningkatkan perfoma dari proses sedimentasi yang dapat meningkatkan penghilangan padatan karena jarak pengendapan ke zona lumpur berkurang, sehingga beban permukaan berkurang dan padatan mengendap lebih cepat (Qasim, Motley, dan Zhu (2000) dalam Saputri (2011)). Periode pengurasan lumpur yang dilakukan pada WTP Ciapus unit 1 hanya berjalan kurang lebih satu jam, hasil tersebut tidak sesuai dengan kriteria desain yang membutuhkan waktu pengurasan lumpur dari 8 sampai 24 jam. Waktu singkat dalam pengurasan lumpur juga dapat menyebabkan lumpur di dalam unit masih tersisa sehingga saat melakukan proses berikutnya lumpur yang telah mengendap akan kembali naik. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan waktu yang cukup lama minimal 8 jam untuk melakukan pengurasan lumpur agar hasil yang didapatkan akan lebih optimal. Untuk menurunkan nilai beban permukaan dapat dilakukan dengan memperbesar luas permukaan atau dapat dilakukan dengan memperkecil debit yang masuk dalam unit ini. Jika debit yang masuk pada unit ini lebih kecil, maka nilai hasil evaluasi akan memenuhi kriteria desain. Bagian penting lainnya dalam sistem pengendapan adalah penampung lumpur. Lumpur yang dihasilkan oleh bak pengendap berasal dari hasil endapan flok pada dasar bak pengendap. Banyaknya lumpur sangat ditentukan oleh kekeruhan air baku. Bak sedimentasi memiliki ruang lumpur 4 unit dengan volume sebesar 0,57 m3 per unit. Diagram alir perhitungan unit sedimentasi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 5 Kriteria unit sedimentasi

Parameter Kriteria Desain

(SNI 6774 : 2008) Hasil evaluasi Beban permukaan (m3/m2 .jam) 3,80 – 7,50 19,58

Kedalaman (m) 3 – 6 2,86

Waktu tinggal (jam) 0,07 0,005

Beban pelimpah (m3/m.jam) < 11 24,48

Bilangan reynold <2000 705,42

Kecepatan pada pelat pengendap

(m/menit) max 0,15 0,37

Bilangan fraude >10-5 0,16

Periode antar pengurasan lumpur 8 – 24 1

(32)

21 Dari hasil survey yang dilakukan ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan, seperti plate settler yang terdapat pada zona sedimentasi sudah berlumut tebal yang dapat mengakibatkan flok-flok tidak dapat terendapkan dengan baik, tidak ada sarana untuk mengambil sampling lumpur pada saat pembuangan untuk melihat apakah setting frekuensi dan durasi buangan lumpur sudah sesuai karena hal ini sangat penting untuk mengendalikan jumlah endapan lumpur dalam ruang lumpur agar proses sedimentasi berjalan dengan baik. Selain itu, pembuangan lumpur ke saluran pembuangan lumpur yang disatukan dengan buangan hasil backwash filter dan dekat dengan saluran penyadapan air baku. f. Filtrasi

Tipe filter yang digunakan pada WTP Ciapus unit 1 ini adalah filter pasir cepat yang beroperasi secara gravitasi dengan luas permukaan 2,56 m2. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dalam air, sekaligus juga menghilangkan kandungan zat organik. Pada proses ini, padatan akan tersaring pada permukaan dengan bantuan media filter berupa pasir silika berukuran 1,44 mm yang berfungsi untuk menyaring kotoran-kotoran besar dan gumpalan besi serta mangan yang terbawa dari unit sedimentasi. Pasir silika yang terdapat dalam unit ini di desain dengan satu tumpukan pasir halus, karena beban air yang tidak terlalu berat. Tebal lapisan pasir silika adalah 90 cm dengan sphericity ( ) 0,92, berat jenis 2,65, porositas 0,42, dan kadar silika 98%. Apabila nilai kekeruhan pada unit ini masih berada di atas standar baku mutu, maka diperlukan proses pencucian (backwash) yang bertujuan untuk mengangkat endapan lumpur atau kotoran yang berupa partikel kecil. Hal tersebut terjadi karena pasir silika yang digunakan secara terus-menerus akan mengalami kejenuhan akibat banyaknya kotoran yang mengendap dan terperangkap. Backwash pada unit ini menggunakan metode aliran terbalik (dari bawah ke atas) dan air buangan hasil backwash

dialirkan melalui pipa berdiameter 58,60 mm dan 109,23 mm menuju saluran buangan lalu dibuang kembali ke sungai dimana titik pembuangannya berdekatan dengan titik pengambilan air baku di intake. Air hasil produksi dari unit filtrasi dialirkan melalui pipa berdiameter 109,23 mm dengan menggunakan pompa menuju Ground Water Tank (GWT).

Berdasarkan hasil evaluasi yang tertera pada Tabel 6, kecepatan penyaringan dalam proses filtrasi yang diperoleh lebih besar dari batas maksimum kriteria desain. Kecepatan penyaringan merupakan salah satu parameter kunci yang digunakan untuk menentukan luas permukaan bak. Semakin besar kecepatan penyaringan filtrasi, maka luas bak yang dibutuhkan semakin kecil. Begitu juga sebaliknya, semakin besar kecepatan penyaringan filtrasi, maka debit yang dibutuhkan dalam melakukan proses ini lebih kecil. Sistem pencucian dalam proses filtrasi ini dilakukan tanpa blower atau surface wash. Kecepatan aliran

backwash untuk mengekspansi media ditentukan dengan mengacu pada kecepatan pengendapan partikel terbesar, kecepatan pengendapan yang diperoleh adalah sebesar 357,01 m/jam, sedangkan kecepatan pada saat backwash sebesar 7,20 m/jam. Hasil kecepatan pada saat backwash tidak sesuai dengan kriteria desain, namun persentasi ekspansi sudah sesuai dengan kriteria desain sebesar 42,37%. Data headloss pada saat filtrasi diperlukan untuk memperkirakan apakah tinggi air

(33)

22

di bak penampung filtrasi mencukupi dan juga melihat kondisi media saat terekspansi. Diagram alir perhitungan unit filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 6 Kriteria unit filtrasi

Parameter Kriteria Desain

(SNI 6774 : 2008) Hasil evaluasi

Kecepatan penyaringan (m/jam) 6 – 11 26,75

Pencucian :

- Sistem pencucian - Kecepatan (m/jam)

- Ekspansi (%)

Tanpa/dengan blower & atau surface wash

36-50 30-50

Tanpa blower atau

surface wash 7,20

42,37 g. Reservoir

Reservoir berfungsi untuk menampung air yang telah melalui proses filtrasi (penyaringan) sebagai cadangan pengimpanan air sementara waktu sebelum air tersebut didistribusikan. Reservoir yang digunakan pada instalasi ini berjenis

Ground Water Tank (GWT) yang berjumlah satu unit dengan kapasitas 300 m3. Kondisi GWT (Gambar 12) perlu dijaga kebersihannya dengan pengukuran secara rutin sehingga air bersih dapat terjaga kualitasnya. GWT pada WTP Ciapus unit 1 dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12.

Gambar 12 Ground Water Tank (GWT)

Rekomendasi Peningkatan Kinerja Unit Pengolahan Air Bersih

Upaya peningkatan kinerja unit pengolahan air bersih pada WTP Ciapus unit 1 dapat dilakukan dengan mengoptimalkan debit yang masuk pada unit pengolahan sebesar 7 liter/detik. Dengan debit 7 liter/detik, nilai yang dihasilkan akan memenuhi kriteria desain SNI 6774-2008. Namun, pada unit koagulasi dan unit flokulasi terdapat perubahan dimensi panjang bak serta penambahan tahapan flokulasi agar waktu tinggal yang dibutuhkan dalam proses ini semakin lama.

(34)

23 Dimensi panjang bak pada unit koagulasi direncanakan sebesar 0,20 m dengan kedalaman bak 2,85 m, lebar bak 1,4 m, dan kedalaman air 2,64 m. Dengan dimensi yang direncanakan, maka volume baru dari unit ini sebesar 0,798 m3. Waktu pengadukan yang dibutuhkan saat melakukan proses ini selama 114 detik dengan gradien kecepatan 231,70 detik. Nilai yang dihasilkan dari dimensi yang telah diubah masih tidak sesuai dengan kriteria desain SNI 6774-2008. Namun, nilai ini merupakan nilai optimal yang dapat diupayakan dalam peningkatan kinerja unit pengolahan air bersih pada WTP Ciapus 1 karena dengan perubahan dimensi pada unit koagulasi dan flokulasi, serta perubahan debit nilai parameter berdasarkan kriteria desain pada unit flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi telah memenuhi SNI 6774-2008. Pada unit flokulasi, dilakukan penambahan menjadi tiga tahapan flokulasi yang terjadi. Dengan tiga tahapan ini, jumlah waktu tinggal yang dibutuhkan selama proses ini berlangsung telah memenuhi kriteria desain, yaitu 39,90 menit dan nilai gradien kecepatan yang diperoleh semakin menurun dalam setiap tahapan flokulasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengadukan lambat terjadi secara perlahan yang menyebabkan flok-flok dapat terbentuk menjadi lebih besar dan mudah untuk diendapkan. Hasil perhitungan unit flokulasi dapat dilihat pada Tabel7.

Tabel 7 Hasil perhitungan unit flokulasi Parameter Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Satuan Debit 0,007 0,007 0,007 m3/dtk Panjang 0,20 0,25 0,35 m Lebar 1,40 1,40 1,40 m kedalaman bak 2,85 2,85 2,85 m kedalaman air 2,60 2,60 2,60 m luas penampang saluran 3,64 3,64 3,64 m 2 kehilangan tekanan

pada saat aliran lurus 0,19 0,12 0,06 m Belokan

jumlah belokan (s) 6 5 5 buah

panjang (Pb) 1,34 1,34 1,34 m

lebar (Lb) 0,03 0,05 0,07 m

dalam air (Hb) 2,60 2,60 2,60 m

volume air belokan

(Vab) 0,63 0,87 1,22 m

3

luas penampang

(Ab) 0,08 0,13 0,18

m2 kecepatan air pada

belokan (Vb) 0,09 0,05 0,04 m/dtk

headloss (HL) 4,1 x 10-4 1,5 x10-4 7,5 x10-5 m kehilangan tekanan

total (Htot) 0,19 0,12 0,06 m

waktu detensi 11,40 11,87 16,63 menit

(35)

24

Begitu pula dengan unit sedimentasi dan unit filtrasi, pada debit optimal sebesar 7 liter/detik dapat mengubah parameter yang tidak sesuai dengan kriteria desain menjadi sesuai dengan kriteria desain berdasarkan SNI 6774-2008. Hasil perhitungan pada unit sedimentasi dan filtrasi dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Hasil perhitungan unit sedimentasi

Parameter SNI 6774 : 2008 Hasil

Beban permukaan (m3/m2 .jam) 3,80- – 7,50 7,20

Waktu tinggal (jam) 0,07 0,01

Beban pelimpah (m3/m.jam) < 11 9,00

Bilangan reynold <2000 259,35

Kecepatan pada pelat pengendap

(m/menit) max 0,15 0,14

Bilangan fraude >10-5 0,02

Kemiringan plate 30o /60o 60o

Tabel 9 Hasil perhitungan unit filtrasi

Parameter SNI 6774 : 2008 Hasil

Kecepatan penyaringan (m/jam) 6 – 11 9,84

Pencucian :

- Sistem pencucian - Kecepatan (m/jam)

- Ekspansi (%)

Tanpa/dengan blower & atau surface wash

36-50 30-50

Tanpa blower atau

surface wash

38,85 42,37

Dalam penyempurnaan proses pengolahan air yang terdapat di WTP Ciapus unit 1 perlu dilakukan penambahan unit pengolahan, yaitu unit desinfeksi. Unit desinfeksi ini merupakan suatu proses pengolahan untuk menyisihkan bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit yang banyak terdapat di dalam air. Proses desinfeksi dilakukan dengan cara menambahkan suatu senyawa kimia yang biasa disebut sebagai desinfektan. Desinfektan yang digunakan dapat berbentuk serbuk, larutan, maupun gas. Jenis desinfektan yang biasa digunakan adalah larutan kaporit, gas khlor, gas ozon, gelombang mikro, maupun ultraviolet. Pada pengolahan air, klorin paling banyak digunakan sehingga proses ini dapat dikatakan sebagai klorinasi. Klorin sebagai desinfektan terutama bekerja dalam bentuk asam hipoklorit (HOCL) dan sebagian kecil dalam bentuk ion hipoklorit (OCL-). Klorin dapat bekerja secara efektif sebagai desinfektan jika berada dalam air dengan pH 7. Jika nilai pH air lebih dari 8,5, maka 90% dari asam hipoklorit akan mengalami ionisasi menjadi ion hipoklorit. Dengan demikian kemampuan desinfektan yang dimiliki chlorine akan menjadi lemah atau berkurang (Andhika, Trijoko, Hanani, 2013).

Cara kerja klorin dalam membunuh kuman yaitu penambahan klorin dalam air akan memurnikannya dengan cara merusak struktur sel organisme, sehingga kuman akan mati. Namun demikian, proses tersebut hanyak akan berlangsung bila

(36)

25 klorin mengalami kontak langsung dengan organisme tersebut. Jika air mengandung lumpur, bakteri dapat bersembunyi di dalamnya dan tidak dapat dicapai oleh klorin. Klorin membutuhkan waktu untuk membunuh semua organisme. Pada air yang bersuhu lebih tinggi atau sekitar 18oC, klorin harus berada dalam air paling tidak selama 30 menit. Jika air lebih dingin, waktu kontak harus ditingkatkan. Karena itu, biasanya klorin ditambahkan ke air yang telah melewati unit filtrasi segera setelah air dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan atau pipa penyalur agar zat kimia tersebut mempunyai cukup waktu untuk bereaksi dengan air sebelum air tersebut dipompa menuju Ground Water Tank

(GWT) lalu didistribusikan kepada pengguna yang ada di lingkungan sekitar IPB.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pengujian analisis kualitas air pada parameter kekeruhan dan warna belum memenuhi standar baku mutu Permenkes No. 416 Tahun 1990. Hal ini disebabkan karena unit pengolahan berupa koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi tidak memenuhi kriteria desain berdasarkan SNI 6774-2008. Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kinerja WTP Ciapus unit 1, yaitu dengan memperkecil debit yang masuk ke unit pengolahan sebesar 7 liter/detik dan mengubah dimensi pada unit koagulasi dan flokulasi.

Saran

1. Memasangkan alat pengukur debit pada inlet sebelum air memasuki unit koagulasi untuk mengetahui seberapa besar laju aliran yang masuk pada unit tersebut.

2. Melakukan percobaan jar test setiap 2 kali dalam sehari untuk mengetahui dosis optimum koagulan yang akan digunakan pada unit koagulasi agar proses koagulasi dapat berjalan dengan baik.

3. Melakukan pemeliharaan atau perbaikan pada setiap unit pengolahan secara berkala agar tidak timbul lumut pada sekat-sekat yang terdapat pada unit pengolahan yang menyebabkan flok tidak terbentuk.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Rizka. 2013. Evaluasi dan Desain Peningkatan Kapasitas Instalasi Pengolahan Air Minum di PT. Krakatau Tirta Industri [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Andhika Duta, Trijoko, dan Hanani Yusniar. 2013. Kadar Sisa Chlor dan Kandungan Bakteri E.Coli Perusahaan Air Minum Tirta Moedal Semarang Sebelum dan Sesudah Pengolahan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol.2 No.2.

Gambar

Gambar 1  Diagram Alir Penelitian Mulai
Gambar 2  Proses pengolahan air di WTP Ciapus unit 1
Gambar 3  Hasil analisa konsentrasi warna
Gambar 4  Hasil analisa konsentrasi kekeruhan
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil keduanya menunjukkan kesimpulan yang sama yaitu pada beberapa periode tahun pengamatan mempunyai nilai rerata varian dan nilai networth yang negatif, hal ini menunjukkan

Komposisi keseimbangan pada bangunan turning torso adalah keseimbangan asimetri yang dapat terlihat dari split yang berbeda dari 4 sisi bangunan, tetapi kemudian menjadi

Sebag bagian ian be besa sar r tum tumor or se sel l rak raksa sasa sa ter terjad jadi i pa pada da tu tulan lang g pa panja njang ng, , tib tibia ia   proksimal,

Saran dalam penelitian ini kepada instansi pemerintah di Kabupaten Klaten yaitu diharapkan dapat meningkatkan aktivitas pengendalian dan diharapkan agar lebih

Sampel pertama berusia Sembilan tahun, melewati dua tahap penelusuran, terdeteksi untuk gejala kedua yang merupakan jenis perilaku kecanduan game kedua yaitu Euphoria,

+ntuk mengatasi penyakit laminitis atau pincang dapat di lakukan dengan cara memperhatikan ke&#34;ersihan lantai kandang supaya tidak licin, memisahkan ternak yang

silikon dari karbon dan pasir silika, dan proses pemanfaatan gas buang untuk menghasilkan steam tekanan tinggi yang dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik yang digunakan