• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan pendorong didalam tingkah laku manusia dalam hidupnya. Kebudayaanpun menyimpan nilai-nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentu sikap terhadap dunia luar, Bahkan menjadi dasar setiap tingkah laku yang dilakukan sehubungan dengan pola hidup dimasyarakat (Cassirer:1987). Nilai-nilai luhur dari kebudayaan inilah yang telah di wariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya melalui berbagai adat istiadat yang khusus.

Berkaitan dengan hal di atas, setiap kelompok masyarakat pada umumnya mempunyai konsep bahwa tiap-tiap individu terbagi dalam tingkatan hidup. Tingkat demi tingkat itu akan dilalui dan akan dialami oleh individu-individu yang bersangkutan di sepanjang hidupnya, dalam Antropologi di sebut sebagai stages along the life sycle. pada tiap tingkat hidup itu individu yang bersangkutan di anggap dalam kondisi dan lingkungan tertentu. Karena itu setiap peralihan dari satu tingkat ketingkat lainnya dapat di katakan sebagai peralihan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain.

Lingkungan sosial individu mulai terbentuk sejak ia masih dalam kandungan ibunya hingga akhirnya ia meninggal dunia. Lingkungan sosial yang harus dilalui dalam perjalanan hidup seseorang meliputi masa dalam rahim atau kandungan ibunya (kehamilan), kelahiran bayi, masa anak-anak, masa remaja, dewasa, tua dan mati (Koentjaraningrat:1985). Masa peralihan ini pada dasarnya akan di lalui oleh hampir semua manusia yang hidup di dunia,walaupun tidak

(2)

semua masa peralihan itu sama, karena ada yang hanya melalui masa bayi hingga anak-anak saja kemudian meninggal dan ada pula yang melalui seluruh tahapan peralihan tersebut.

Pada berbagai kebudayaan ada anggapan bahwa masa peralihan manusia yaitu peralihan dari satu tingkat kehidupan atau lingkungan sosial ketingkat kehidupan atau lingkungan sosial yang lain merupakan saat-saat penuh bahaya, baik bahaya yang nyata maupun gaib. Oleh karena itu dalam beberapa kebudayaan sering di lakukan suatu upacara daur hidup (life cycle) yang di maksudkan untuk menghindari bahaya nyata maupun gaib yang mungkin datang. Upacara ini sering di sebut dengan upacara kritis hidup (Crities rites).

Di dalam kebudayaan Jawa juga mengenal upacara-upacara daur hidup, yaitu mulai dari upacara masa hamil, upacara kelahiran, upacara perkawinan, hingga upacara kematian (Darori, 2000). Masyarakat Jawa percaya bahwa rentang waktu lahir hingga mati bagi manusia merupakan saat-saat manakala dunia dan kehidupannya tergelar dan terpapar, oleh karena itu beberapa ritus hidup mesti di laksanakan. Pelaksanaan upacara-upacara tersebut bagi masyarakat Jawa pada dasarnya untuk memenuhi krenteg dan karep (niat dan kehendak) di dalam tanggapan dunia bahwa pada dasarnya kehidupan manusia itu sakral (Linus Suryadi AG : 1993 )

Perubahan status seseorang yaitu pertumbuhan kearah kehidupan berikutnya menuju kearah kedewasaan, bagi masyarakat Jawa merupakan serangkaian babak yang rawan untuk di serang atau di rasuki oleh roh-roh jahat (Geertz : 1985). Bagi masyarakat Jawa Kehidupan di bumi dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa gaib dan mahluk halus yang menembus perjalanan sehari-hari

(3)

manusia, dimana kekuatan mahluk gaib tersebut bisa merusak atau bermanfaat. Namun yang jelas kekuatan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan nyata manusia. Untuk itu didalam tahapan peralihan manusia di perlukan suatu upacara khusus, agar kekuatan mahluk gaib tersebut tidak mengganggu atau merugikan manusia, namun di harapkan kekuatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi manusia.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa upacara daur hidup yang mereka lakukan dipenuhi dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh secara turun temurun. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut di gunakan untuk mencari keseimbangan tatanan kehidupan mereka (Mulder dalam Soeseno: 1992). Salah satu upacara yang di lakukan oleh masyarakat Jawa ketika memasuki babak baru dalam tingkat kehidupannya adalah upacara yang berkenaan dengan kelahiran seorang anak.

Setelah seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan pernikahan, seorang anak merupakan dambaan bagi setiap rumah tangga. Karena seorang anak mempunyai nilai-nilai khusus, misalnya nilai ekonomis status sosial, memberi suasana tenteram dalam keluarga membahagiakan orang tua, serta memberikan harapan dimasa mendatang, sebagai payung dimana orang tuanya sudah jompo karena tidak bisa bekerja lagi (Geertz : 89). Hadirnya seorang anak juga sebagai bukti nyata hasil perkawinan antar kelompok dan sering di anggap sebagai hadiah kehidupan yang jelas dari pihak wanita pada pihak suaminya.

Pengharapan tinggi terhadap seorang anak (terutama anak pertama) merupakan kebahagian tersendiri. Untuk itu setelah anak tersebut lahir selalu ada upacara-upacara yang di lakukan sebagai usaha penjagaan terhadap anak, di

(4)

antaranya adalah upacara ketika anak menginjakan tanah untuk yang pertama kalinya atau yang sering disebut dengan upacara Tedhak Siten.

Upacara Tedhak Siten adalah suatu acara memperkenalkan anak untuk pertama kalinya pada bumi atau tanah dengan maksud anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupannya kelak. Bagi masyarakat Jawa upacara ini merupakan wujud pengharapan orang tua terhadap buah hatinya agar kelak siap dan sukses dalam menapaki kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan dengan bimbingan orang tuanya (Bratawijaya : 1997). Selain itu upacara ini juga sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi sebagai tempat berpijak sekaligus yang telah memberikan banyak hal dalam kehidupan manusia. Di katakan bahwa manusia hidup dan mati berada di bumi, makan minum, rumah, kendaraan semua berasal dari bumi, maka manusia perlu menghormatinya. Sebab dengan cara seperti ini maka manusia akan mendapatkan keselarasan terhadap alam, karena dalam konsep masyarakat Jawa manusia menemukan hidupnya tergantung dari alam dan apabila hidupnya selaras akan memperoleh kebaikan (Salamun dkk, 200). Jadi dapat dikatakan bahwa upacara Tedhak Siten merupakan peringatan bagi manusia akan pentingnya hidup diatas bumi yang mempunyai hubungan yakni, hubungan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya (Wibowo, 200).

Pada dasarnya setiap pelaksanaan upacara di kalangan masyarakat menunjukan adanya kandungan makna di balik upacara itu sediri, dimana makna tersebut sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakatnya. Biasanya hal itu diberikan melalui simbol-simbol dalam upacara, lambang atau simbol inilah yang sebenarnya mempunyai nilai cukup penting bagi kehidupan manusia (Rostyati :

(5)

1984). Demikian pula pelaksanaan upacara Tedhak Siten pada masyarakat Jawa, pelaksanaan upacara ini tidak hanya sebagai ungkapan terima kasih telah di beri anugrah oleh Tuhan berupa hadirnya seorang anak akan tetapi juga mempunyai makna tertentu baik bagi anak orang tua maupun bagi masyarakat. Makna upacara inilah yang akan di kemukakan pada tulisan ini.

Makna adalah arti atau penilaian yang di berikan pada sesuatu. Sedangkan upacara dalam hal ini adalah tingkah laku resmi yang di bakukan untuk peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan tehnis sehari-hari akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia.

Berkaitan dengan upacara tedhak siten tersebut ternyata perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi begitu pesatnya sangat berpengaruh terhadap pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa dalam melanjutkan tradisi nenek moyangnya. Sehingga ada kecendrungan untuk tidak lagi melaksanakan tradisi seketat dan sedisiplin semula. Masyarakat Jawa khususnya di Sumatra Utara mulai cenderung meninggalkan segala sesuatu yang berbau tradisional. Sementara mereka lebih suka meniru hal yang bergaya moderen yang tidak jarang kabur pemahamannya. Tentu saja kecendrungan ini lebih banyak timbul karena ketidak tahuan mereka, sehingga mereka kurang menghargai dan memahami secara tepat dan benar makna serta nilai luhur yang terdapat pada pelaksanaan upcara Tedhak Siten tersebut. Padahal makna yang terbentuk dari suatu tradisi tidak akan terlepas dari masyarakat pendukugnya dan akan menemukan manfaat bagi masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Jawa itu sendiri.

(6)

1. 2. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi perluasan masalah dan sasaran penelitian ini dapat tercapai sesuai dengan rencana maka akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya yaitu terbatas pada:

1. Menggambarkan pelaksanaan upacara Tedhak Siten yang di lakukan oleh masyarakat

2. Mengetahui makna unsur-unsur atau perlengkapan yang di gunakan dalam pelaksanaan upacara Tedhak Siten

3. Mengetahui makna upacara Tedhak Siten bagi masyarakat pendukungnya 1. 3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di desa perkebunan Tanjung Jati kecamatan Binjai kabupaten Langkat Sumatra Utara. Desa ini merupakan sebuah desa yang berada dalam kawasan perkebunan milik PTPN II kebun Tanjung Jati yang merupaka badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan.

Pemilihan lokasi ini sebagai wilayah penelitian mengenai makna Tedhak Siten, karena 85% penduduk desa ini merupakan etnis Jawa. di desa ini upacara Tedhak Siten masih ada yang melakukan dibandingkan desa-desa lain yang hampir tidak ada lagi. Selain itu desa Tanjung Jati adalah desa yang sebahagian besar masyarakatnya pendatang asli dari Jawa yang masih mempartahankan tradisi adat istiadat warisan leluhur sehingga nilai-nilai asli dapat kita temukan terutama tentang makna upacara Tedhak Siten.

(7)

1.4. Tujuan dan manfaat penelitian.

Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk memberi gambaran tentang seberapa besar pengetahuan masyarakat Jawa yang ada di desa Tanjung Jati tentang upacara Tedhak Siten.

2. Untuk mengetahui makna unsur-unsur atau perlengkapan yang di gunakan sehingga dapat kemudian mengerti dan memahami makna yang di kandungnya.

3. Untuk mengetahui makna upacara Tedhak Siten tersebut bagi masyarakat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Dengan penelitian ini di harapkan agar masyarakat luas di luar etnik Jawa dapat mengenal dan mengerti tentang budaya Jawa sebagai bagian dari budaya nasional

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan studi khususnya bagi mereka yang berminat mengenai budaya Jawa.

1. 5. Tinjauan Pustaka

Masa krisis yang ditandai dengan perubahan status bagi manusia merupakan masa saat manusia berhadapan dengan ketidakpastian. Itulah sebabnya masa krisis sangatlah mencemaskan manusia tanpa pandang bulu. Keadaan demikian tidak mungkin diatasi hanya dengan dikuasainya ilmu pengetahuan dan teknologi saja tetapi juga dengan keyakinan dan iman yang terwujud melalui berbagai upacara-upacara religi dan keagamaan (Wibowo : 2000).

Dalam kaitannya dengan upacara religi dan agama Robertson Smith mengemukakan 3 gagasan penting:

(8)

1. Disamping sistem keyakinan dan doktrin sistem upacara merupakan perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus.

2. Upacara religi atau agama yang biasa dilakukan oleh banyak masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.

3. Berkaitan dengan upacara bersaji, dimana sajiannya dianggap sebagai suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas pada dewa. Upacara bersaji digambarkan suatu upacara gembira, meriah dan keramat.

Dalam pelaksanaan upacara religi ada 5 komponen upacara yaitu tempat upacara, saat upacara (waktu upacara), benda-benda upacara orang-orang yang melakukan upacara dan pemimpin upacara. Orang yang memimpin upacara terbagi atas 3 golongan yaitu Pendeta, Dukun dan Shaman (Koentjaraningrat: 1987).

Manusia sebagai warga masyarakat membutuhkan keyakinan-keyakinan dan sentimen-sentimen serta kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan memperkuat kebutuhan moralnya. Hal-hal tersebut sebaliknya memerlukan upacara-upacara yang ditentukan oleh gagasan-gagasan kolektif yang tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat (Durkheim dalam Keesing, 2000).

Upacara dianggap mempertebal perasaan kolektif dan intergrasi sosial (Brown dan Durkheim dalam Keesing, 1992). Upacara merupakan cara bertindak yang terlaksana ditengah-tengah kelompok yang berkumpul tersebut, yang dipersiapkan untuk membangkitkan, melestarikan atau menciptakan kembali

(9)

keadaan mental tertentu dalam kelompok itu. Dikatakan kolektif karena kelompok mengekspresikan dan melambangkan suatu keadaan mental, kekaguman yang tumbuh dari kehidupan sosial yang intensif.

Menurut Durkheim, aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat desa berkaitan dengan mata pencaharian hidup, berpegang pada tradisi yang dilandasi oleh kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya, kemudian ditransformasikan dengan situasi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya. Upacara atau selametan adalah tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang untuk menegaskan dan memperingati kembali kebudayaan umum serta untuk menghilangkan kekuatan yang mengacau (Geertz, 1986).

Untuk mencegah datangnya kekuatan yang datang mengganggu biasanya dilakukan beberapa ritual khusus yang dimaksudkan agar suatu bahaya yang berasal dari kekuatan diluar diri manusia tidak mengganggu kehidupannya. Dalam beberapa kebudayaan ada anggapan bahwa manusia akan mengalami masa-masa bahaya terutama pada masa peralihan dari satu tingkat kehidupan ketingkat kehidupan yang lain. Yaitu mulai masa bayi, masa remaja, dewasa, hingga meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun nyata. Untuk menghindari bahaya tersebut maka diperlukan upacara-upacara (ritus) ataupun untuk memberitahukan kepada orang banyak bahwa seseorang telah memasuki tahapan kehidupan tertentu (Koentjaraningrat, 1998).

Van Gennep mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia memerlukan regenerasi semangat kehidupan sosial yang menurun dalam masa-masa peralihan. Untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar masyarakat

(10)

diperlukan ritus dan upacara religi. Lebih lanjut Van Gennep mengatakan bahwa dalam tahap-tahap peralihan manusia yaitu sejak dia lahir kemudian masa anak-anak, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, hingga meninggal manusia mengalami proses-proses perubahan biologi serta pertumbuhan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan dapat menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru maka dalam tahap perubahan itu diperlukan serangkaian ritus dan upacara peralihan, yang dimaksudkan untuk meregenerasi kembali semangat kehidupan masyarakat tersebut. Upacara ini merupakan rangkaian ritus dan upacara paling tua yang paling penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan (Daeng, 2000).

Van Gennep menyatakan bahwa upacara pergantian musim, upacara kelahiran dan upacara perkawinan di sebut sebagai upacara integrasi dan pengukuhan. Upacara ini juga merupakan bagian dari upacara relegi (Daeng, 2000). Menurutnya upacara yang di lakukan merupakan keyakinan sosial yang melibatkan anggota masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara itu merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya, ini dikarenakan setiap upacara selalu memiliki makna tertentu yang berkaitan dengan masyarakat pendukungnya. Makna-makna dan gagasan tersebut di nyatakan dalam berbagai simbol-simbol upacara. Sebagai contoh dapat di kemukakan penelitian yang di lakukan oleh Bambang Sularto dkk, mengenai upacara Sekaten daerah istimewa Yogyakarta. Di katakan bahwa upacara sekaten masih terus di lakukan karena mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya, yaitu memberikan makna keberuntungan. Bagi mereka dengan ikut melibatkan diri dalam pelaksanaan upacara Sekaten, seperti keikutsertaan

(11)

mereka menginang (mengunyah kinang) bersamaan dengan pertama kali di bunyikan gemelan Sekaten, mempunyai makna pengharapan akan meraih keberuntungan yang membuat diri mereka menjadi awet muda.

Demikian pula pada upacara Garebeg Mulud, keikutsertaan masyarakat membunyikan pecut-pecut (Cambuk) bagi laki-laki dan bagi perempuan menyelipkan ane-ane (alat memotong padi) pada sanggul mereka bersamaan dengan drel (bunyi tembakan) mempunyai makna pengharapan akan meraih keberuntungan dalam usaha pertanian dan peternakan mereka. Bunyi pecut akan berpengaruh baik pada binatang piaraan atau ternak yaitu dapat memicu berkembang biaknya hewan ternak. sedang ane-ane yang di selipkan pada sanggul dapat melipatkan hasil panen yang di petiknya.

Dari contoh diatas kita dapat melihat bahwa keberadaan suatu upacara di karenakan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Apakah itu makna keberuntungan, makna keselamatan, ekonomi, keindahan dan lain-lain (Landmen dalam Poespowardojo, 1977). Makna dan nilai-nilai inilah yang menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang terperangkap dalam jaring-jaring makna yang di tenunnya sendiri (Geertz, 1992). Manusia selalu hidup dalam emosi-emosi, imajinasi, kerinduan dan kecemasan, ilusi dan dis ilusi, fantasi dan impian.

Untuk memahami makna tersebut kita harus menggambarkan bukan saja apa yang sebenarnya terjadi tetapi apa yang sebenarnya di harapkan orang itu terjadi, tentang suatu gejala ataupun suatu ritual yang tujuannya untuk menelusuri

(12)

makna, untuk mengungkapkan niat di balik apa yang di lakukan orang, artinya bagi kehidupan dan penilaian, ritual, dan kepercayaan mereka (Fadhil, 2000).

Dalam memahami makna akan berkaitan dengan sebuah paradigma yaitu simbol, karena makna hanya terdapat pada simbol misalnya sebuah salib, sebuah bulan sabit atau seekor ulat berbulu (Geertz, 1992). Melalui simbol-simbol tersebut masyarakat meringkas apa yang mereka katakan tentang kehidupan mereka, kualitas emosi, dan hal-hal yang seharusnya mereka perbuat. Simbol menurut Geertz adalah hal yang mempunyai arti yang sama bagi orang lain, bisa hal tersebut adalah objek tindakan, peristiwa dan lain-lain. Simbol-simbol tersebut adalah sumber informasi yang ekstrinsik melalui pemahaman bersama (Geertz, 1992).

1.6. Metode penelitian 1.6.1. Tipe penelitian

Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif yang bermaksud memberi gambaran secara terperinci mengenai makna upacara Tedhak Siten bagi masyarakat Jawa di desa Tanjung Jati. Untuk mendeskripsikan makna upacara Tedhak Siten tersebut maka di lakukan penelitian lapangan dalam mendapatkan data primer. Selain itu dalam penelitian ini peneliti juga memerlukan data sekunder yang di peroleh melalui studi kepustakaan, berupa jurnal buku-buku, dan hasil penelitian para ahli sebelumnya.

(13)

1. 6. 2. Tehnik pengumpulan data

Penelitian mengenai makna Tedhak Siten bagi masyarakat Jawa ini di lakukan dengan menggunakan penelitian yang bersifat kualitatif untuk mendapatkan data primernya. Penelitian yang bersifat kualitatif ini di lakukan dengan menggunakan metode observasi (pengamatan) dan wawancara.

1. Observasi (Pengamatan)

Metode observasi yang di gunakan di sini adalah metode observasi partisipasi (pengamatan terlibat) pengamatan yang dilakukan peneliti di sini adalah mengamati secara langsung pelaksanaan upacara Tedhak Siten yang di laksanakan oleh masyarakat Jawa. Peneliti mengamati alat-alat yang di gunakan dan tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Tedhak Siten. Gunanya agar peneliti memperoleh gambaran langsung tentang upacara Tedhak Siten tersebut. Selain itu peneliti juga mengamati aktifitas yang di lakukan oleh masyarakat Jawa dalam kesehariannya, terutama yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini untuk memperoleh gambaran apakah adat istiadat Jawa masih di lakukan di dalam keseharian atau tidak.

Dalam melakukan pengamatan (observasi) ini peneliti menggunakan alat bantu berupa kamera fhoto untuk mempublikasikan hal-hal yang penting yang berkaitan dengan masalah penelitian. Hal ini untuk memudahkan peneliti dalam memberikan gambaran tentang pelaksanaan upacara Tedhak Siten.

(14)

2. Wawancara

Metode wawancara dalam penelitian ini adalah metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan. Wawancara ini di lakukan dengan cara tatap muka dalam bentuk dialog dan percakapan. Wawancara mendalam ini di lakukan guna mendapatkan sebanyak mungkin gambaran dan keterangan dari informan yang berkaitan dengan topik penelitian, hal ini khususnya mengenai makna Tedhak Siten. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan interview guide yaitu berupa daftar pertanyaan yang telah disusun sebelum di lakukan pengumpulan data lapangan. Interview guide ini di perlukan untuk mengantisipasi agar pertanyaan yang disampaikan tidak menyimpang dari topik penelitian

Dalam melakukan wawancara penulis melakukan tiga tahap. Tahap pertama, penulis mengidentifikasi masyarakat desa Tanjung Jati yang terlibat aktif sebagai pemimpin atau secara langsung memiliki pengetahuan mendalam terhadap upacara tersebut. Tahap kedua, peneliti melakukan wawancara mendalam kepada informan dengan menggunakan tehnik snow ball yaitu mencari informan secara berjenjang. Informan pertama menentukan informan kedua dan seterusnya, berhenti jika data telah mencukupi. Tahap ketiga, penulis mencoba menggali lebih dalam lagi mengenai upacara Tedhak Siten pada saat wawancara dengan menganalisa makna pelaksanaan upacara Tedhak Siten bagi masyarakat.

Pada saat wawancara penulis menggunakan alat bantu semacam catatan lapangan. catatan lapangan di sini di gunakan untuk mencatat poin-poin penting dari hasil wawancara. Hal tersebut di maksudkan agar peneliti dapat lebih mudah dalam penyusunan data.

(15)

1.7. Analisa data

Dalam penelitian ini, peneliti akan bersikap objektif terhadap data yang diperoleh di lapangan. Data-data tersebut akan diperlakukan sebagaimana adanya tanpa adanya penambahan dan pengurangan sehingga tidak mempengaruhi keaslian data. Data-data tersebut selanjutnya akan diperiksa dan akan di edit ulang untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan.

Data yang telah dikumpulkan kemudian di analisis secara kualitatif. Semua data yang di peroleh baik dari lapangan yaitu melalui pengamatan dan wawancara ataupun studi kepustakaan di susun sesuai dengan pemahaman, fokus-fokus dan kategori-kategori tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Referensi

Dokumen terkait

- Guru meminta peserta didik , membaca, menuliskan ayat dan hadits serta membuat kosa kata /mufradat, dan menjelaskan kandungan QSE. Alkhairaat Maleni Guru

• Sistem telah mampu menghasilkan nilai yang tepat sama dengan 1 untuk dokumen yang sama dengan dokumen COBIT, nilai 0 untuk dokumen yang berbeda dengan dokumen COBIT, dan nilai

Penggunaan Agregat Kasar Daur Ulang dari Limbah Beton Padat dengan Mutu K350-K400 terhadap Kuat Tekan, Kuat Lentur, dan Susut pada Beton. Pengaruh Penggunaan Limbah Beton

Karena pada umumunya masyarakat menganggap sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara sebagaimana diatur dalam pasal

Hal ini menggambarkan bahwa hasil yang dicapai mencakup ketiga ranah hasil belajar (kognitif, afektif, psikomotorik). Sedangkan menurut Soedijarto hasil belajar adalah

asa anak kelompok erbatasan bercerita m menyampaikan n bahasa daerah. enyusun rencana Menyiapkan materi gamatan yang akan ng.Dalam kegiatan at jadwal kegiatan lakukan

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan, ada perbedaan pengaruh antara pembelajaran pendekatan bermain dan konvensional terhadap peningkatan kemampuan sprint 60

Value Added Intellectual Coefficient (VAIC TM ) yang diproksi dengan Value Added of Capital Employed (VACA), Value Added Human Capital (VAHU), dan Structural Capital