PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Oleh
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF THE COMMUNITY ON THE PREVENTION FROM ISPA (ACUTE
RESPIRATRORY TRACT INFECTION) DISEASE IN THE POST-FLOOD AT KELURAHAN AEK NAULI, SOUTH
SIANTAR SUBDISTRICT, PEMATANGSIANTAR, IN 2013
THESIS
By
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah diuji
pada Tanggal : 01 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si
2. dr. Heldy BZ, M.P.H
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Oktober 2013
ABSTRAK
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).
Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
ABSTRACT
ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.
The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.
The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).
It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadapan Allah Bapa, atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA
(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar
Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013” Penulisan tesis ini merupakan salah satu
persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Peneliti mendapatkan banyak dukungan, masukan dan saran dari berbagai
pihak selama proses penulisan tesis ini. Untuk itu penghargaan setinggi-tingginya
serta terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi
S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Suherman, S.K.M, M.Si, selaku dosen
pembimbing yang telah menyediakan waktu, arahan, dan masukan dalam
penyelesaian tesis ini.
5. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku penguji tesis
yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan
tesis ini.
6. dr. Ronald Saragih dan dr. Dorlyn Sirait selaku Kepala Dinas Kota
Pematangsiantar dan Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Dinas Kesehatan
Kota Pematangsiantar yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti
untuk dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana di Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU Medan.
7. Ir. Reinward Simanjuntak, M.M selaku Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Pematangsiantar yang telah bekerja sama
memberikan informasi dan data dalam rangka penyusunan tesis ini.
8. E. Sibagariang selaku Lurah Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota
Pematangsiantar yang telah bersedia memberikan izin penelitian di Kelurahan
Aek Nauli.
9. Kedua mertuaku S.E Saragih dan P. Girsang dan kedua orangtuaku M. Purba,
B.E dan S. Saragih, S.H, atas segala dukungan moral dan doa yang tidak
henti-hentinya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
10.Teristimewa buat suami tercinta dr. Rajin Sanvritz Saragih, Sp.B, FINACS
moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini dan anak-anakku Rama
Maleakhi Saragih, Kezia Theofani Saragih, dan Ezra Bonardo Saragih yang
sabar dan memberikan semangat sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
11.Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
12.Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2011, khususnya Minat Studi Manajemen
Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang
telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Peneliti menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
penelitian lanjutan.
Medan, Oktober 2013
RIWAYAT HIDUP
Peneliti dilahirkan di Medan, pada tanggal 26 Oktober tahun 1970 dari
pasangan M. Purba, B.E dan Sahmaulina Saragih, S.H Peneliti beragama Kristen
Protestan dan bertempat tinggal di Jalan H. Adam Malik 38 C Pematangsiantar . Pada
tahun 1977 menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD St. Antonius 1 Medan dan
menamatkannya pada tahun 1983. Pada tahun 1983 melanjutkan pendidikan di SMP
St. Thomas 1 Medan dan tamat tahun 1986. Dilanjutkan pada tahun 1986 di SMA
Negeri 1 Medan dan tamat tahun 1989.
Peneliti melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran USU Medan pada
tahun 1989 dan selesai pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 1996 sampai dengan
1999, peneliti bekerja sebagai dokter PTT di Kabupaten Sarolangun Bangko Provinsi
Jambi dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2000 lulus
tes PNS di Medan dan ditempatkan di Puskesmas Pembantu Asam Kumbang
Kecamatan Medan Selayang. Pada November 2007 pindah tugas ke Puskesmas
Kartini Kota Pematangsiantar. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 2011
melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
DAFTAR ISI
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi ... 17
2.2Sikap ... 21
2.7.2 Klasifikasi Penyakit ISPA ... 33
2.7.3 Etiologi ISPA ... 34
2.7.4 Faktor Risiko ISPA ... 34
2.7.5 Tanda dan Gejala ... 35
2.7.6 Cara Penularan Penyakit ISPA ... 37
2.7.7 Pencegahan ISPA ... 38
2.8Landasan Teori ... 41
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.5Variabel dan Definisi Operasional ... 50
3.5.1 Variabel Penelitian ... 50
3.5.2 Definisi Operasional ... 51
3.6Metode Pengukuran ... 51
3.7Metode Analisis Data ... 52
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55
4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ... 55
4.2.Karakteristik Responden ... 55
4.2.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 55
4.2.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden ... 56
4.3.Analisis Univariat ... 56
4.3.1 Pengetahuan Kepala Keluarga ... 56
4.2.3 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57
4.2.4 Sikap Kepala Keluarga ... 58
4.2.5 Pencegahan Kepala Keluarga terhadap Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 60
4.4.Analisis Bivariat ... 61
4.4.1 Hubungan Pengetahuan Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.4.2 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.5. Analisis Multivariat ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 65
5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 65
5.2. Pengaruh Sikap terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 67
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
6.2. Saran ... 69
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 47
3.2. Aspek Pengukuran Variabel ... 49
4.1. Distribusi Umur Responden ... 55
4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden... 56
4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 57
4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57
4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 58
4.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Pada Variabel Sikap Kepala Keluarga ... 58
4.7 Distribusi Frekuensi Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60
4.8 Distribusi Frekuensi Responden pada Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60
4.9 Hubungan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.10 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Kerja L.Green ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 75
2 Master Tabel ... 80
3 Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 82
4 Hasil Bivariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 92
ABSTRAK
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).
Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
ABSTRACT
ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.
The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.
The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).
It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana dalam UU No. 24 tahun 2007 didefinisikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam,
maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Menurut Undang-Undang ini, bencana dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu
bencana alam (misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor), bencana non alam (misalnya gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit) dan bencana sosial
(misalnya konflik sosial antara kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
terorisme) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Bencana banjir merupakan bencana alam yang terjadi secara mendadak,
mengakibatkan kerusakan lingkungan pemukiman, perubahan kualitas lingkungan
oleh karena cemaran yang ditimbulkan dan kerawanan masalah kesehatan pada
masyarakat yang terkena. Usia pasien yang berobat ke posko kesehatan, berkisar
dan 4% lanjut usia. Penyakit yang diderita balita terbanyak adalah ISPA dan diare,
sedangkan lanjut usia adalah ISPA dan kulit (Kompas, 2012).
Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi besar di Indonesia bagian barat,
berpotensi mengalami pola gangguan cuaca, adanya sungai yang melintasi penduduk
yang padat sehingga daerah Sumatera Utara rawan terjadinya bencana banjir. Kondisi
tersebut memberi dampak kepada masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.
Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, kehutanan, ketahanan pangan dan lain-lain
turut mengalami kerugian saat kondisi memburuk atau bahkan menjadi ekstrim.
Berdasarkan laporan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), banjir
merupakan bencana yang sering dialami oleh daerah-daerah yang secara topografi
terletak di kawasan rawan bencana banjir seperti di provinsi Aceh, Sumatera Utara
dan beberapa provinsi di pulau Jawa merupakan provinsi yang memiliki risiko
dampak terbesar terkena bencana banjir (BPBD, 2011).
Di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya
berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup oleh
sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan,
banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan
berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang
sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya
(BPBD, 2007).
Pada kuartal pertama tahun 2012 telah terjadi sekitar 91 kasus banjir di
Indonesia, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sementara jika dihitung dari
pertengahan tahun 2011, telah terjadi sekitar 129 kasus banjir di Indonesia. Sebagian
kasus juga diikuti oleh peristiwa longsor (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
2012).
Kota Pematangsiantar pada tahun 2012 terjadi 5 kali banjir dalam setahun,
sedangkan pada Kecamatan Siantar Selatan, yang dilintasi oleh sungai Bah Bolon dan
sungai Sibarambang terjadi banjir setahun sekali dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam
setahun (BPBD, 2012).
Pada Kelurahan Aek Nauli, banjir merupakan bencana yang sering terjadi,
dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam setahun. Banjir yang melanda wilayah Kelurahan
Aek Nauli memberikan implikasi lanjutan seperti kesulitan memperoleh air bersih
untuk minum dan mandi.
Kejadian bencana alam terkait erat dengan apa yang dilakukan manusia
terhadap lingkungannya dalam mengelola kualitas lingkungan. Apabila masyarakat
tidak peduli dengan kualitas lingkungan sekitarnya, maka bencana akan datang
(Kusumaratna, 2003).
Tiga jenis penyakit utama yang menyerang pasca banjir adalah 47,4% infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA), 22,5% penyakit kulit dan 11,1% diare dan penyakit
18% menderita diare sedangkan pada lanjut usia 50% menderita infeksi saluran
pernafasan akut dan 14% menderita penyakit kulit. Penyakit kulit umumnya
menyerang tangan dan kaki. Hal ini berkaitan dengan kondisi tangan dan kaki yang
selalu basah oleh karena terendam air dan air kotor di sekitarnya selama berhari-hari
(Kusumaratna, 2012).
Risiko pasca bencana banjir adalah terjadinya wabah penyakit. Secara historis,
banyak orang telah meninggal pasca banjir karena infeksi penyakit termasuk malaria,
infeksi saluran pernapasan, dan diare (Lignen, 2006). Namun, wabah yang terkait
dengan banjir jarang terjadi di negara yang lebih maju.
Kondisi ini diperburuk dengan keadaan cuaca yang dingin sehingga
mengakibatkan warga mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi-kondisi ini
mempermudah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan salah satu
dampaknya adalah menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Utomo,
2012).
Suhu udara yang dingin mempermudah munculnya koloni kuman di
dalam tubuh manusia. Hal ini merupakan salah satu penyebab adanya
kemungkinan korban banjir yang meninggal akibat ISPA yang berujung pada
pneumonia, yang merupakan proses infeksi akut yang merusak jaringan paru-paru
atau alveoli. Oleh karena itu ISPA harus ditangani dengan baik dan cepat,
disamping daya tahan tubuh tetap dijaga dengan suplai makanan yang cukup
Selain itu, ada ribuan jenis jamur di lingkungan udara yang dingin dan lembab
yang dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Sebagai bagian dari lingkungan
alam kita, sebagian besar jamur ini tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Masalah
akan muncul ketika banjir memberikan lingkungan yang ideal untuk jamur untuk
cepat tumbuh di dalam gedung (rumah) (Clements,2009).
Tergantung pada jenis jamur, dapat menyebabkan masalah bagi mereka yang
membersihkan setelah banjir dan bagi mereka yang menempati kembali
gedung/rumah pasca banjir. Beberapa orang sensitif terhadap jamur
dan mengalami reaksi alergi sedangkan yang lain yang sebelumnya sudah ada
gangguan pernafasan akan berisiko untuk mendapat akibat yang lebih parah. Mereka
yang sensitif biasanya memiliki reaksi alergi termasuk hidung tersumbat, bersin,
iritasi mata dan kulit. Kondisi dapat parah pada mereka dengan paparan yang banyak
atau dengan kondisi gangguan pernafasan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya,
orang dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Clements, 2009).
Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena
ISPA terutama pada bayi dan anak balita. Salah satu faktor pencetus munculnya
kejadian ISPA adalah buruknya kondisi lingkungan rumah pada suatu pemukiman
penduduk. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok
hidup manusia. Rumah yang sehat dan layak huni sangat penting bagi setiap orang.
fisiologis, kebutuhan psikologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah
kecelakaan (Ariningsih, 2011).
Infeksi saluran pernafasan akut dan penyakit kulit merupakan penyakit utama
yang diderita di daerah dengan kedalaman air lebih dari 2 meter.Dari tiga kali
observasi di lapangan setelah hujan lebat, ternyata makin dalam air menyebabkan
insidens penyakit juga bertambah besar dari sebelumnya, contohnya ISPA naik
hingga 2 kali dan penyakit kulit naik 10 kali. Hal ini terlihat dari angka kasus ISPA
pada bulan Juni sebanyak 194 kasus, sedangkan setelah banjir pada bulan Juli yaitu
sebanyak 233 kasus dan bulan Agustus sebanyak 185 kasus. Jenis penyakit dalam
kelompok lain yang diderita adalah mialgia, gejala reumatik (ngilu-ngilu sendi),
hipertensi dan sariawan. Kedalaman air membuat kondisi seseorang sangat rentan
karena kedinginan, terendam air bagi yang tetap bertahan di rumahnya, menggunakan
pakaian basah dan kelembaban yang tinggi (Laporan Puskesmas Aek Nauli, 2012).
Infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA adalah penyakit yang disebabkan
oleh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui udara. Gejalanya batuk, pilek, panas
atau demam serta sakit dada (Amirullah, 2009).
Transmisi penyakit menular akibat dari banjir dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu
Water borne disease (penyakit yang menyebar melalui perantaraan air), seperti
demam tifoid, kolera, leptospirosis dan hepatitis A, Vector-borne disease
(penyakit yang menyebar melalui perantaraan hewan) seperti malaria, demam
dengue dan demam berdarah dengue, demam kuning dan demam west nile dan
bronkhitis. Masing-masing dari penyakit ini memiliki karakteristik yang berbeda.
Diare dan gatal-gatal disebabkan oleh kurang baiknya sanitasi, sementara ISPA
muncul akibat udara yang dingin yang memicu aktifnya koloni kuman di dalam
tubuh sehingga menimbulkan infeksi saluran pernafasan (Utomo, 2012).
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak
sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai
terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa
oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah
atau internal (Wardhana, 2004).
Menurut Wardhana (2004), pencemaran partikel seperti debu pada pasca banjir,
merupakan dampak pencemaran partikel yang disebabkan karena peristiwa alamiah
(faktor internal). Secara umum partikel - partikel yang mencemari udara dapat
merusak lingkungan dan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel -
partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan.
Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk
kedalam paru-paru. Ukuran debu partikel yang masuk kedalam paru - paru akan
menetukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang
berukuran sedang dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas,
sedangkan partikel 3 - 5 mikron tertahan dibagian tengah, partikel lebih kecil 1 - 3
mikron akan masuk ke kantung paru – paru, menempel pada alveoli. Partikel yang
Terdapat 3 faktor penting yang berperan dalam penularan penyakit seperti
ISPA yaitu kuman penyakit, kondisi lingkungan dan daya tahan tubuh. Secara
umum, proses perjalanan penyakit dapat dijabarkan dalam beberapa tahapan.
Tahap pre-patogenesis (Stage of Susceptibility) merupakan tahap dimana terjadi
interaksi antara host, bibit penyakit dan lingkungan. Tahap inkubasi (Stage of
Presymtomatic Disease) merupakan tahap dimana bibit penyakit sudah masuk ke
dalam tubuh inang (host) dan gejala penyakit belum tampak. Tahap timbulnya
gejala penyakit dan terakhir tahap terjadinya kecacatan apabila penyakit yang ada
tidak dapat tertolong dan menimbulkan gejala sisa.
Sanitasi rumah menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu
digunakan sebagai tempat berlindung yang memengaruhi derajat kesehatan manusia.
Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian,
penerangan alami, sarana pembuangan sampah dan sarana pembuangan kotoran
(Azwar, 2000). Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan
penyakit menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada
terjadi dan tersebarnya ISPA.
Rumah yang jendelanya kurang proporsional ukurannya, menyebabkan
pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang lembab
dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar
masuk dalam rumah juga memudahkan anak- anak terserang ISPA (Ranuh, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut menunjukkan masih banyaknya
pada saat pasca bencana banjir, maka oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana
banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar
tahun 2013.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap pencegahanpenyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota
Pematangsiantar tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di
Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan
penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan
1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan khususnya masyarakat untuk menambah wawasan dalam
meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca
bencana banjir.
2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar untuk
meningkatkan perannya dalam perencanaan penanggulangan bencana untuk
meminimalisir dampak bencana khususnya penyakit ISPA.
3. Untuk menambah ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah wawasan
keilmuan yang berkaitan dengan pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers
(1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat
adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.
Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1)
atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type
of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4)
kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change
agents).
2.1.2 Proses Putusan Inovasi
Rogers (1983) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya
seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut proses putusan inovasi. Proses
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah
sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak
inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi
keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses
keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari
inovasi tersebut.
Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan
pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini
merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang
menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.
Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang
mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan
mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan
memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan
memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana
mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari
berbagai segi, seperti :
1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi
dengan tingkat ketidakpastian yang besar?
2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari?
3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?
Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya
perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai
tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :
1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat
suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.
2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau
sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut
sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia
menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai
mengevaluasi.
4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang
telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau
mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi
perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera
setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai
akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983,
1. Knowledge (Pengetahuan)
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan
mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa?
merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu
akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?.
Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan
keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu
untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan
mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada
masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut.
Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa
memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk
menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui
media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat
akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang
bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers
memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan
inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka
individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang
prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi
dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang
mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan
kampanye kesehatan.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Centre for
the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi
pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang
bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang
juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau
produk tersebut dikemas dan disalurkan.
d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud.
2. Persuasion (Kepercayaan)
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap
inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah
individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan
membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung
lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan
bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini
individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi
inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan
individu terhadap inovasi.
3. Decision (Keputusan)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak
suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada
keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena
biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut
pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut.
Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses
keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan
passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi
dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak
inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir
untuk mengadopsi inovasi.
4. Implementation (Penerapan)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya
akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan
memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan
berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang
mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi
jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih
banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas
keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik
apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang
inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari
hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang
memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih
krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan
dan sikap individu.
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi
Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi
inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional.
Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Umur
Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif
kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau
menerima perubahan untuk orang lain.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman
tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang
dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi.
3. Karakteristik Psikologi
Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang
nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap
situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan
cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan
memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.
Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari:
1. Keluarga
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan
bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem
keluarga.
2. Tetangga dan Lingkungan Sosial
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang
telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung
dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang
tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi.
3. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang
lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan
dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan
masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.
4. Budaya
Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses
difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang
sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap
merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang
ada.
Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Status Sosial
Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses
difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam
masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang
ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi
2. Sumber Informasi
Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya
berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang
enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan
informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi.
Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan
perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis), menujukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
f. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh
Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki
pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.
2.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau
ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari
orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau
menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi
sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi
lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan
mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.
Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan
kesediaan dan kesiapan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap
menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif
sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative.
Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu
kecenderungan jiwa atau perasaan yang relatif terhadap kategori tertentu dari objek,
orang atau situasi.
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :
1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan
seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap
objek atau stimulus.
2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor
penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada
pertimbangan - pertimbangan individu.
3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap
positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan
kebutuhan daripada individu tersebut.
4. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang
5. Praktek atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan
faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).
2.3. Bencana
2.3.1.Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.
W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management”
memberikan definisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai
“sudden or great misfortune, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s
Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet
material damage, loss, and distress” (Nunung, dkk, 2012).
Definisi lain menurut International Strategy For Disaster Reduction
(UN-ISDR-2002, 24) adalah:“ Aserious disruption of the fuctioning of a community or a
which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own
resources” (Nunung, dkk, 2012).
2.4. Bencana Banjir
Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi
karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran
sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena
curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan
manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan
bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini
dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. Saat banjir
terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah
yang besar, muatan sedimen itu berasal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan
atau perbukitan.
Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu
pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk.
Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air.
Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air
permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).
Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka
air normal sehingga melimpah dari palung sungai menyebabkan adanya genangan
meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air.
Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Mistra, 2007).
Menurut Dibyosaputro (1998) banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi
di alam ini dimana air menggenangi lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai
akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga
meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.
Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan
tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:
1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran
sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase
buatan manusia.
2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang
laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.
3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti
bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.
4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat
runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat
menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang terbendung
2.4.1. Faktor – faktor Penyebab Banjir
Menurut Margono (2005), faktor – faktor yang dapat menyebabkan banjir,
antara lain:
1. Faktor Hujan
Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan
menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya. Terjadi atau tidaknya banjir justru
sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan
sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari hujan yang telah terjadi di masa
lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi
dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, ngarai, danau,
cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian
memperlihatkan secara jelas lokasi – lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.
2. Faktor DAS (Daerah Aliran Sungai)
Daerah aliran sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir
ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh
langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS
dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan
tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan atau lapangan
golf akan menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis. Seluruh air hujan
akan dilepaskan DAS ke hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin
baik, karena air hujan dapat dengan baik di resapkan (diretensi) di DAS ini dan secara
Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di
DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk
tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat
ditingkatkan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan,
pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resevoir reservoir alamiah, pembuatan
resapan – resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh
mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air
hujan meresap ke tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah
memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap ke dalam tanah sebelum masuk
ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara
massal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran massal yang intensif
dan terus menerus.
3. Faktor Kesalahan Pembangunan Alur Sungai
Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad 16 hingga akhir abad 20 di
seluruh dunia adalah hampir sama; yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan
tanggul, pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai. Sungai sungai di
Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya pola ini adalah
mengusahakan air banjir secepatnya di kuras ke hilir.
Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan
aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume yang jauh lebih
besar dibanding sebelumnya. Jika tampang sungai di tempat ini tidak mencukupi
bahkan mungkin telah penuh dengan rumah–rumah penduduk, maka akan terjadi
penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau
bahkan alirannya dapat berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada
hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi
alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat
dengan cara ini pada hakekatnya merupaka penciptaan masalah banjir baru di tempat
lain di bagian hilirnya. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River.
Implikasinya dalam penanggulangan banjir , justru sungai alamiah yang bermeander,
bervegetasi lebat dan memiliki retensi alur tinggi ini, perlu di jaga kelestariannya
karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi (Margono, 2005 ).
4. Faktor Pendangkalan
Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor yang penting pada kejadian banjir.
Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai
tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap (banjir).
Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses sedimentasi terus menerus.
Proses sedimetasi di bagian hilir ini dapat disebabkan karena erosi intensif di bagian
hulu. Material tererosi ini akan tebawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir
hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai di
Indonesia. Untuk itu perlu digunakan perbaikan DAS secara besar-besaran dengan
peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran penjarahan hutan dan
peninjauan kembali proyek–proyek pelurusan dan sudetan– sudetan yang tidak perlu
5. Faktor Tata Wilayah dan Pembangunan Sarana–Prasarana
Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah untuk
konservasi air tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan
persentase besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Demikian juga untuk
areal perkebunan dan areal industri. Cara kolam konservasi ini sebenarnya merupakan
koreaksi total terhadap cara lama yang berprinsip pada pengaturan wilayah.
Pengaturan wilayah atau drainase konvesional adalah upaya untuk mengalirkan air
hujan secepatnya menuju sungai, cara ini sudah waktunya ditinggalkan, karena
pengendalian banjir bukan berarti pengaturan wilayah.
Tiga cara ini perlu sepenuhnya didukung dengan cara keempat yaitu
pembentukan karakter sosio–hidraulik atau water cultur. Sosio–hidraulik adalah suatu
pendekatan penyelesaian masalah keairan, lingkungan dan banjir dengan membangun
kesadaran sosial massal, bagaimana masyarakat berperilaku terhadap air. Jika
perilaku masyarakat terhadap air beserta seluruh komponen ekologisnya sudah benar
secara massal maka peyelesaian banjir dan juga masalah lingkungan yang terkait akan
semakin mudah. Water Culture dalam masalah banjir dapat diartikan dengan kesiapan
masyarakat yang terkena banjir atau yang sering terkena banjir (langganan banjir)
untuk menguasai cara–cara penyelamatan barang atau jiwa, sehingga kerugian
material dan jiwa dapat ditekan serendah– rendahnya. Untuk itu penyuluhan, dialog
dan usaha pembelajaran dengan masyarakat ini tentang cara–cara menyelamatkan
jiwa dan harta benda ketika banjir datang. Menurut pengalaman usaha pembelajaran
Sehubungan dengan besarnya masalah banjir, kekeringan dan kerusakan
lingkungan di Indonesia, maka keempat upaya ini sebaiknya dilakukan secara paralel,
baik penanganan masalah teknis, ekologi dan sosial. ( Maryono, 2005 ).
2.4.2.Dampak Bencana Banjir
Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek
dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:
1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam,
luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah penyakit yaitu
pneumonia dan penduduk terisolasi.
2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen,
arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya
pemerintahan.
3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak
berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan
terganggunya perekonomian masyarakat.
4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk,
jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas
umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata,
persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan
2.5. Daerah Rawan Bencana
Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik
geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).
2.6. Penyakit Pasca Bencana
Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan
masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan
vektor penyebar penyakit yang merupakan beberapa potensi timbulnya beberapa
penyakit menular yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa. Bencana selalu
menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat baik secara langsung maupun
mengakibatkan kerusakan/perubahan lingkungan. Masalah kesehatan akibat bencana
harus dapat diminimalkan sehingga tidak menimbulkan bencana lain.
2.7. ISPA
2.7.1. Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiraiory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak dengan baik sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
di bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adeksa saluran pernafasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiration tract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolong pada ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek
dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300
lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain
golongan miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan
virus campak), dan adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus
Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertussis,
2.7.2. Klasifikasi Penyakit ISPA
Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke
dalam (chest indrawling).
2. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya nafas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk, pilek, bisa disertai demam,
tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa nafas cepat. Rinofaringitis, faringitis
dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA.
Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan
umur 2 bulan sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
1. Pneumonia berat : perlu diisolasi, dijumpai retraksi dinding dada pada bagian
bawah atau nafas cepat. Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
2. Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau nafas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
1. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
2. Pneumonia : bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia 2 -12
bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali
per menit atau lebih.
3. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah dan tidak ada nafas cepat(Rasmaliah, 2004).
2.7.3. Etiologi ISPA
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan
adenovirus. Virus para-infulensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk
rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus
influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali
hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influensa
merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari
pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulani, 2005).
2.7.4. Faktor Risiko ISPA
Faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA adalah umur di
bawah dua bulan, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu
rendah, rendahnya tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan, lingkungan
2.7.5. Tanda dan Gejala
Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan
gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah
memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada.
Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya
dengan mudah (Harsono dkk, 1994). Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat
dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih besar dari 38,50
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu (Suyudi, 2002):
C dan
disertai nafas yang cepat (PD PERSI, 2002).
a. ISPA ringan bukan Pneumonia
b. ISPA sedang, Pneumonia
c. ISPA berat, Pneumonia barat
Khusus untuk bayi dibawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA
ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat bayi kurang dari dua bulan
adalah bila frekuensi nafas cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan
dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA
sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang
mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien yang sangat kurang. Gejala
ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan
a. Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada
waktu berbicara atau menangis)
3. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4. Panas atau demam, suhu badan lebih tinggi dari 370
Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di rumah
tidak perlu dibawa ke dokter atau Pukesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun
panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi jika dalam dua hari gejala
belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Pukesmas terdekat.
C atau jika dahi anak diraba
dengan punggung tangan terasa panas.
b. Gejala ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
1. Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau
lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
2. Suhu lebih dari 390
3. Tenggorokan berwarna merah. C.
4. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.