• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA

PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013

TESIS

Oleh

MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF THE COMMUNITY ON THE PREVENTION FROM ISPA (ACUTE

RESPIRATRORY TRACT INFECTION) DISEASE IN THE POST-FLOOD AT KELURAHAN AEK NAULI, SOUTH

SIANTAR SUBDISTRICT, PEMATANGSIANTAR, IN 2013

THESIS

By

MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA

PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)
(5)

Telah diuji

pada Tanggal : 01 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si

2. dr. Heldy BZ, M.P.H

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA

PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Oktober 2013

(7)

ABSTRAK

Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).

Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.

(8)

ABSTRACT

ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.

The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.

The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).

It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadapan Allah Bapa, atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA

(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar

Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013” Penulisan tesis ini merupakan salah satu

persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Peneliti mendapatkan banyak dukungan, masukan dan saran dari berbagai

pihak selama proses penulisan tesis ini. Untuk itu penghargaan setinggi-tingginya

serta terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

(10)

4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Suherman, S.K.M, M.Si, selaku dosen

pembimbing yang telah menyediakan waktu, arahan, dan masukan dalam

penyelesaian tesis ini.

5. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku penguji tesis

yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan

tesis ini.

6. dr. Ronald Saragih dan dr. Dorlyn Sirait selaku Kepala Dinas Kota

Pematangsiantar dan Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Dinas Kesehatan

Kota Pematangsiantar yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti

untuk dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana di Fakultas Kesehatan

Masyarakat USU Medan.

7. Ir. Reinward Simanjuntak, M.M selaku Kepala Badan Penanggulangan

Bencana Daerah (BPBD) Kota Pematangsiantar yang telah bekerja sama

memberikan informasi dan data dalam rangka penyusunan tesis ini.

8. E. Sibagariang selaku Lurah Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota

Pematangsiantar yang telah bersedia memberikan izin penelitian di Kelurahan

Aek Nauli.

9. Kedua mertuaku S.E Saragih dan P. Girsang dan kedua orangtuaku M. Purba,

B.E dan S. Saragih, S.H, atas segala dukungan moral dan doa yang tidak

henti-hentinya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

10.Teristimewa buat suami tercinta dr. Rajin Sanvritz Saragih, Sp.B, FINACS

(11)

moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini dan anak-anakku Rama

Maleakhi Saragih, Kezia Theofani Saragih, dan Ezra Bonardo Saragih yang

sabar dan memberikan semangat sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

11.Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

12.Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2011, khususnya Minat Studi Manajemen

Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang

telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Peneliti menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu saran dan kritik

yang membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan

harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

penelitian lanjutan.

Medan, Oktober 2013

(12)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Medan, pada tanggal 26 Oktober tahun 1970 dari

pasangan M. Purba, B.E dan Sahmaulina Saragih, S.H Peneliti beragama Kristen

Protestan dan bertempat tinggal di Jalan H. Adam Malik 38 C Pematangsiantar . Pada

tahun 1977 menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD St. Antonius 1 Medan dan

menamatkannya pada tahun 1983. Pada tahun 1983 melanjutkan pendidikan di SMP

St. Thomas 1 Medan dan tamat tahun 1986. Dilanjutkan pada tahun 1986 di SMA

Negeri 1 Medan dan tamat tahun 1989.

Peneliti melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran USU Medan pada

tahun 1989 dan selesai pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 1996 sampai dengan

1999, peneliti bekerja sebagai dokter PTT di Kabupaten Sarolangun Bangko Provinsi

Jambi dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2000 lulus

tes PNS di Medan dan ditempatkan di Puskesmas Pembantu Asam Kumbang

Kecamatan Medan Selayang. Pada November 2007 pindah tugas ke Puskesmas

Kartini Kota Pematangsiantar. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 2011

melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

(13)

DAFTAR ISI

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi ... 17

2.2Sikap ... 21

2.7.2 Klasifikasi Penyakit ISPA ... 33

2.7.3 Etiologi ISPA ... 34

2.7.4 Faktor Risiko ISPA ... 34

2.7.5 Tanda dan Gejala ... 35

2.7.6 Cara Penularan Penyakit ISPA ... 37

2.7.7 Pencegahan ISPA ... 38

2.8Landasan Teori ... 41

(14)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46

3.5Variabel dan Definisi Operasional ... 50

3.5.1 Variabel Penelitian ... 50

3.5.2 Definisi Operasional ... 51

3.6Metode Pengukuran ... 51

3.7Metode Analisis Data ... 52

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ... 55

4.2.Karakteristik Responden ... 55

4.2.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 55

4.2.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden ... 56

4.3.Analisis Univariat ... 56

4.3.1 Pengetahuan Kepala Keluarga ... 56

4.2.3 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57

4.2.4 Sikap Kepala Keluarga ... 58

4.2.5 Pencegahan Kepala Keluarga terhadap Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 60

4.4.Analisis Bivariat ... 61

4.4.1 Hubungan Pengetahuan Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62

4.4.2 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62

4.5. Analisis Multivariat ... 63

BAB 5. PEMBAHASAN ... 65

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 65

5.2. Pengaruh Sikap terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 67

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

(15)

6.2. Saran ... 69

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 47

3.2. Aspek Pengukuran Variabel ... 49

4.1. Distribusi Umur Responden ... 55

4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden... 56

4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 57

4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57

4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 58

4.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Pada Variabel Sikap Kepala Keluarga ... 58

4.7 Distribusi Frekuensi Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60

4.8 Distribusi Frekuensi Responden pada Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60

4.9 Hubungan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62

4.10 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Kerangka Kerja L.Green ... 42

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 75

2 Master Tabel ... 80

3 Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 82

4 Hasil Bivariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 92

(19)

ABSTRAK

Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).

Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.

(20)

ABSTRACT

ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.

The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.

The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).

It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana dalam UU No. 24 tahun 2007 didefinisikan sebagai peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam,

maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Menurut Undang-Undang ini, bencana dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu

bencana alam (misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan dan tanah longsor), bencana non alam (misalnya gagal

teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit) dan bencana sosial

(misalnya konflik sosial antara kelompok atau antar komunitas masyarakat dan

terorisme) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Bencana banjir merupakan bencana alam yang terjadi secara mendadak,

mengakibatkan kerusakan lingkungan pemukiman, perubahan kualitas lingkungan

oleh karena cemaran yang ditimbulkan dan kerawanan masalah kesehatan pada

masyarakat yang terkena. Usia pasien yang berobat ke posko kesehatan, berkisar

(22)

dan 4% lanjut usia. Penyakit yang diderita balita terbanyak adalah ISPA dan diare,

sedangkan lanjut usia adalah ISPA dan kulit (Kompas, 2012).

Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi besar di Indonesia bagian barat,

berpotensi mengalami pola gangguan cuaca, adanya sungai yang melintasi penduduk

yang padat sehingga daerah Sumatera Utara rawan terjadinya bencana banjir. Kondisi

tersebut memberi dampak kepada masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.

Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, kehutanan, ketahanan pangan dan lain-lain

turut mengalami kerugian saat kondisi memburuk atau bahkan menjadi ekstrim.

Berdasarkan laporan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), banjir

merupakan bencana yang sering dialami oleh daerah-daerah yang secara topografi

terletak di kawasan rawan bencana banjir seperti di provinsi Aceh, Sumatera Utara

dan beberapa provinsi di pulau Jawa merupakan provinsi yang memiliki risiko

dampak terbesar terkena bencana banjir (BPBD, 2011).

Di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya

berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup oleh

sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan,

banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal.

Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan

berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang

sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi

(23)

pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya

(BPBD, 2007).

Pada kuartal pertama tahun 2012 telah terjadi sekitar 91 kasus banjir di

Indonesia, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sementara jika dihitung dari

pertengahan tahun 2011, telah terjadi sekitar 129 kasus banjir di Indonesia. Sebagian

kasus juga diikuti oleh peristiwa longsor (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

2012).

Kota Pematangsiantar pada tahun 2012 terjadi 5 kali banjir dalam setahun,

sedangkan pada Kecamatan Siantar Selatan, yang dilintasi oleh sungai Bah Bolon dan

sungai Sibarambang terjadi banjir setahun sekali dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam

setahun (BPBD, 2012).

Pada Kelurahan Aek Nauli, banjir merupakan bencana yang sering terjadi,

dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam setahun. Banjir yang melanda wilayah Kelurahan

Aek Nauli memberikan implikasi lanjutan seperti kesulitan memperoleh air bersih

untuk minum dan mandi.

Kejadian bencana alam terkait erat dengan apa yang dilakukan manusia

terhadap lingkungannya dalam mengelola kualitas lingkungan. Apabila masyarakat

tidak peduli dengan kualitas lingkungan sekitarnya, maka bencana akan datang

(Kusumaratna, 2003).

Tiga jenis penyakit utama yang menyerang pasca banjir adalah 47,4% infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA), 22,5% penyakit kulit dan 11,1% diare dan penyakit

(24)

18% menderita diare sedangkan pada lanjut usia 50% menderita infeksi saluran

pernafasan akut dan 14% menderita penyakit kulit. Penyakit kulit umumnya

menyerang tangan dan kaki. Hal ini berkaitan dengan kondisi tangan dan kaki yang

selalu basah oleh karena terendam air dan air kotor di sekitarnya selama berhari-hari

(Kusumaratna, 2012).

Risiko pasca bencana banjir adalah terjadinya wabah penyakit. Secara historis,

banyak orang telah meninggal pasca banjir karena infeksi penyakit termasuk malaria,

infeksi saluran pernapasan, dan diare (Lignen, 2006). Namun, wabah yang terkait

dengan banjir jarang terjadi di negara yang lebih maju.

Kondisi ini diperburuk dengan keadaan cuaca yang dingin sehingga

mengakibatkan warga mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi-kondisi ini

mempermudah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan salah satu

dampaknya adalah menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Utomo,

2012).

Suhu udara yang dingin mempermudah munculnya koloni kuman di

dalam tubuh manusia. Hal ini merupakan salah satu penyebab adanya

kemungkinan korban banjir yang meninggal akibat ISPA yang berujung pada

pneumonia, yang merupakan proses infeksi akut yang merusak jaringan paru-paru

atau alveoli. Oleh karena itu ISPA harus ditangani dengan baik dan cepat,

disamping daya tahan tubuh tetap dijaga dengan suplai makanan yang cukup

(25)

Selain itu, ada ribuan jenis jamur di lingkungan udara yang dingin dan lembab

yang dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Sebagai bagian dari lingkungan

alam kita, sebagian besar jamur ini tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Masalah

akan muncul ketika banjir memberikan lingkungan yang ideal untuk jamur untuk

cepat tumbuh di dalam gedung (rumah) (Clements,2009).

Tergantung pada jenis jamur, dapat menyebabkan masalah bagi mereka yang

membersihkan setelah banjir dan bagi mereka yang menempati kembali

gedung/rumah pasca banjir. Beberapa orang sensitif terhadap jamur

dan mengalami reaksi alergi sedangkan yang lain yang sebelumnya sudah ada

gangguan pernafasan akan berisiko untuk mendapat akibat yang lebih parah. Mereka

yang sensitif biasanya memiliki reaksi alergi termasuk hidung tersumbat, bersin,

iritasi mata dan kulit. Kondisi dapat parah pada mereka dengan paparan yang banyak

atau dengan kondisi gangguan pernafasan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya,

orang dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Clements, 2009).

Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

yang utama di Indonesia hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena

ISPA terutama pada bayi dan anak balita. Salah satu faktor pencetus munculnya

kejadian ISPA adalah buruknya kondisi lingkungan rumah pada suatu pemukiman

penduduk. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok

hidup manusia. Rumah yang sehat dan layak huni sangat penting bagi setiap orang.

(26)

fisiologis, kebutuhan psikologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah

kecelakaan (Ariningsih, 2011).

Infeksi saluran pernafasan akut dan penyakit kulit merupakan penyakit utama

yang diderita di daerah dengan kedalaman air lebih dari 2 meter.Dari tiga kali

observasi di lapangan setelah hujan lebat, ternyata makin dalam air menyebabkan

insidens penyakit juga bertambah besar dari sebelumnya, contohnya ISPA naik

hingga 2 kali dan penyakit kulit naik 10 kali. Hal ini terlihat dari angka kasus ISPA

pada bulan Juni sebanyak 194 kasus, sedangkan setelah banjir pada bulan Juli yaitu

sebanyak 233 kasus dan bulan Agustus sebanyak 185 kasus. Jenis penyakit dalam

kelompok lain yang diderita adalah mialgia, gejala reumatik (ngilu-ngilu sendi),

hipertensi dan sariawan. Kedalaman air membuat kondisi seseorang sangat rentan

karena kedinginan, terendam air bagi yang tetap bertahan di rumahnya, menggunakan

pakaian basah dan kelembaban yang tinggi (Laporan Puskesmas Aek Nauli, 2012).

Infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA adalah penyakit yang disebabkan

oleh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui udara. Gejalanya batuk, pilek, panas

atau demam serta sakit dada (Amirullah, 2009).

Transmisi penyakit menular akibat dari banjir dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu

Water borne disease (penyakit yang menyebar melalui perantaraan air), seperti

demam tifoid, kolera, leptospirosis dan hepatitis A, Vector-borne disease

(penyakit yang menyebar melalui perantaraan hewan) seperti malaria, demam

dengue dan demam berdarah dengue, demam kuning dan demam west nile dan

(27)

bronkhitis. Masing-masing dari penyakit ini memiliki karakteristik yang berbeda.

Diare dan gatal-gatal disebabkan oleh kurang baiknya sanitasi, sementara ISPA

muncul akibat udara yang dingin yang memicu aktifnya koloni kuman di dalam

tubuh sehingga menimbulkan infeksi saluran pernafasan (Utomo, 2012).

Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak

sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai

terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa

oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah

atau internal (Wardhana, 2004).

Menurut Wardhana (2004), pencemaran partikel seperti debu pada pasca banjir,

merupakan dampak pencemaran partikel yang disebabkan karena peristiwa alamiah

(faktor internal). Secara umum partikel - partikel yang mencemari udara dapat

merusak lingkungan dan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel -

partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan.

Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk

kedalam paru-paru. Ukuran debu partikel yang masuk kedalam paru - paru akan

menetukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang

berukuran sedang dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas,

sedangkan partikel 3 - 5 mikron tertahan dibagian tengah, partikel lebih kecil 1 - 3

mikron akan masuk ke kantung paru – paru, menempel pada alveoli. Partikel yang

(28)

Terdapat 3 faktor penting yang berperan dalam penularan penyakit seperti

ISPA yaitu kuman penyakit, kondisi lingkungan dan daya tahan tubuh. Secara

umum, proses perjalanan penyakit dapat dijabarkan dalam beberapa tahapan.

Tahap pre-patogenesis (Stage of Susceptibility) merupakan tahap dimana terjadi

interaksi antara host, bibit penyakit dan lingkungan. Tahap inkubasi (Stage of

Presymtomatic Disease) merupakan tahap dimana bibit penyakit sudah masuk ke

dalam tubuh inang (host) dan gejala penyakit belum tampak. Tahap timbulnya

gejala penyakit dan terakhir tahap terjadinya kecacatan apabila penyakit yang ada

tidak dapat tertolong dan menimbulkan gejala sisa.

Sanitasi rumah menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu

digunakan sebagai tempat berlindung yang memengaruhi derajat kesehatan manusia.

Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian,

penerangan alami, sarana pembuangan sampah dan sarana pembuangan kotoran

(Azwar, 2000). Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan

penyakit menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada

terjadi dan tersebarnya ISPA.

Rumah yang jendelanya kurang proporsional ukurannya, menyebabkan

pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang lembab

dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar

masuk dalam rumah juga memudahkan anak- anak terserang ISPA (Ranuh, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut menunjukkan masih banyaknya

(29)

pada saat pasca bencana banjir, maka oleh karena itu penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana

banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar

tahun 2013.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh pengetahuan dan sikap

masyarakat terhadap pencegahanpenyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota

Pematangsiantar tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di

Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan

penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan

(30)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan khususnya masyarakat untuk menambah wawasan dalam

meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca

bencana banjir.

2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar untuk

meningkatkan perannya dalam perencanaan penanggulangan bencana untuk

meminimalisir dampak bencana khususnya penyakit ISPA.

3. Untuk menambah ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah wawasan

keilmuan yang berkaitan dengan pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers

(1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat

adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi.

Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1)

atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type

of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4)

kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change

agents).

2.1.2 Proses Putusan Inovasi

Rogers (1983) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya

seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut proses putusan inovasi. Proses

(32)

melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah

sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak

inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi

keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses

keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari

inovasi tersebut.

Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan

pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini

merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang

menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.

Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang

mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan

mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan

memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan

memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana

mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari

berbagai segi, seperti :

1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi

dengan tingkat ketidakpastian yang besar?

2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari?

3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?

(33)

Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya

perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai

tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :

1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat

suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.

2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau

sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut

sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.

3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia

menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai

mengevaluasi.

4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang

telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.

5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau

mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi

perilaku baru tersebut.

Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera

setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai

akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983,

(34)

1. Knowledge (Pengetahuan)

Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan

mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa?

merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu

akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?.

Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:

a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan

keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu

untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan

mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada

masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut.

Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa

memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk

menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui

media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat

akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.

b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang

bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers

memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan

inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka

individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan

(35)

c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang

prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi

dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang

mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan

kampanye kesehatan.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Centre for

the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi

pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:

a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang

bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.

b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang

juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.

c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau

produk tersebut dikemas dan disalurkan.

d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk

dimaksud.

2. Persuasion (Kepercayaan)

Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap

inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah

individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan

membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung

(36)

lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan

bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini

individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi

inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan

individu terhadap inovasi.

3. Decision (Keputusan)

Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak

suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada

keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena

biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut

pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut.

Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses

keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan

passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi

dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak

inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir

untuk mengadopsi inovasi.

4. Implementation (Penerapan)

Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi

sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya

akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan

(37)

memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat

ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan

berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang

mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi

jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih

banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.

5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)

Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas

keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik

apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang

inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari

hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang

memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih

krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan

dan sikap individu.

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi

Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi

inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional.

Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:

1. Umur

Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif

(38)

kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau

menerima perubahan untuk orang lain.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman

tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang

dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi.

3. Karakteristik Psikologi

Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang

nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap

situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan

cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan

memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.

Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari:

1. Keluarga

Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil

keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan

bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem

keluarga.

2. Tetangga dan Lingkungan Sosial

Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang

telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung

(39)

dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang

tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi.

3. Kelompok Referensi

Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang

lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan

dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan

masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.

4. Budaya

Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses

difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang

sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap

merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang

ada.

Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah:

1. Status Sosial

Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses

difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam

masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang

ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi

(40)

2. Sumber Informasi

Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya

berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang

enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan

informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi.

Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan

perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:

a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Synthesis), menujukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

(41)

f. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh

Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki

pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.

2.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau

ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari

orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau

menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi

sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi

lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan

mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.

Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan

kesediaan dan kesiapan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif

tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap

secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

(42)

Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap

menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif

sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative.

Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu

kecenderungan jiwa atau perasaan yang relatif terhadap kategori tertentu dari objek,

orang atau situasi.

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan

seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap

objek atau stimulus.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor

penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada

pertimbangan - pertimbangan individu.

3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap

positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan

kebutuhan daripada individu tersebut.

4. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang

(43)

5. Praktek atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan

faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).

2.3. Bencana

2.3.1.Definisi Bencana

Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.

W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management

memberikan definisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai

sudden or great misfortune, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s

Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet

material damage, loss, and distress” (Nunung, dkk, 2012).

Definisi lain menurut International Strategy For Disaster Reduction

(UN-ISDR-2002, 24) adalah:“ Aserious disruption of the fuctioning of a community or a

(44)

which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own

resources” (Nunung, dkk, 2012).

2.4. Bencana Banjir

Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi

karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran

sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena

curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan

manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan

bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini

dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. Saat banjir

terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah

yang besar, muatan sedimen itu berasal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan

atau perbukitan.

Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu

pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk.

Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air.

Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air

permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).

Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka

air normal sehingga melimpah dari palung sungai menyebabkan adanya genangan

(45)

meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air.

Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis (Mistra, 2007).

Menurut Dibyosaputro (1998) banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi

di alam ini dimana air menggenangi lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai

akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga

meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.

Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan

tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:

1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran

sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase

buatan manusia.

2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang

laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.

3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti

bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.

4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat

runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat

menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang terbendung

(46)

2.4.1. Faktor – faktor Penyebab Banjir

Menurut Margono (2005), faktor – faktor yang dapat menyebabkan banjir,

antara lain:

1. Faktor Hujan

Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan

menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya. Terjadi atau tidaknya banjir justru

sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan

sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari hujan yang telah terjadi di masa

lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi

dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, ngarai, danau,

cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian

memperlihatkan secara jelas lokasi – lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.

2. Faktor DAS (Daerah Aliran Sungai)

Daerah aliran sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir

ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh

langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS

dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan

tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan atau lapangan

golf akan menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis. Seluruh air hujan

akan dilepaskan DAS ke hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin

baik, karena air hujan dapat dengan baik di resapkan (diretensi) di DAS ini dan secara

(47)

Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di

DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk

tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat

ditingkatkan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan,

pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resevoir reservoir alamiah, pembuatan

resapan – resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh

mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air

hujan meresap ke tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah

memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap ke dalam tanah sebelum masuk

ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara

massal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran massal yang intensif

dan terus menerus.

3. Faktor Kesalahan Pembangunan Alur Sungai

Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad 16 hingga akhir abad 20 di

seluruh dunia adalah hampir sama; yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan

tanggul, pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai. Sungai sungai di

Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya pola ini adalah

mengusahakan air banjir secepatnya di kuras ke hilir.

Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan

aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume yang jauh lebih

besar dibanding sebelumnya. Jika tampang sungai di tempat ini tidak mencukupi

(48)

bahkan mungkin telah penuh dengan rumah–rumah penduduk, maka akan terjadi

penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau

bahkan alirannya dapat berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada

hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi

alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat

dengan cara ini pada hakekatnya merupaka penciptaan masalah banjir baru di tempat

lain di bagian hilirnya. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River.

Implikasinya dalam penanggulangan banjir , justru sungai alamiah yang bermeander,

bervegetasi lebat dan memiliki retensi alur tinggi ini, perlu di jaga kelestariannya

karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi (Margono, 2005 ).

4. Faktor Pendangkalan

Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor yang penting pada kejadian banjir.

Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai

tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap (banjir).

Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses sedimentasi terus menerus.

Proses sedimetasi di bagian hilir ini dapat disebabkan karena erosi intensif di bagian

hulu. Material tererosi ini akan tebawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir

hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai di

Indonesia. Untuk itu perlu digunakan perbaikan DAS secara besar-besaran dengan

peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran penjarahan hutan dan

peninjauan kembali proyek–proyek pelurusan dan sudetan– sudetan yang tidak perlu

(49)

5. Faktor Tata Wilayah dan Pembangunan Sarana–Prasarana

Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah untuk

konservasi air tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan

persentase besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Demikian juga untuk

areal perkebunan dan areal industri. Cara kolam konservasi ini sebenarnya merupakan

koreaksi total terhadap cara lama yang berprinsip pada pengaturan wilayah.

Pengaturan wilayah atau drainase konvesional adalah upaya untuk mengalirkan air

hujan secepatnya menuju sungai, cara ini sudah waktunya ditinggalkan, karena

pengendalian banjir bukan berarti pengaturan wilayah.

Tiga cara ini perlu sepenuhnya didukung dengan cara keempat yaitu

pembentukan karakter sosio–hidraulik atau water cultur. Sosio–hidraulik adalah suatu

pendekatan penyelesaian masalah keairan, lingkungan dan banjir dengan membangun

kesadaran sosial massal, bagaimana masyarakat berperilaku terhadap air. Jika

perilaku masyarakat terhadap air beserta seluruh komponen ekologisnya sudah benar

secara massal maka peyelesaian banjir dan juga masalah lingkungan yang terkait akan

semakin mudah. Water Culture dalam masalah banjir dapat diartikan dengan kesiapan

masyarakat yang terkena banjir atau yang sering terkena banjir (langganan banjir)

untuk menguasai cara–cara penyelamatan barang atau jiwa, sehingga kerugian

material dan jiwa dapat ditekan serendah– rendahnya. Untuk itu penyuluhan, dialog

dan usaha pembelajaran dengan masyarakat ini tentang cara–cara menyelamatkan

jiwa dan harta benda ketika banjir datang. Menurut pengalaman usaha pembelajaran

(50)

Sehubungan dengan besarnya masalah banjir, kekeringan dan kerusakan

lingkungan di Indonesia, maka keempat upaya ini sebaiknya dilakukan secara paralel,

baik penanganan masalah teknis, ekologi dan sosial. ( Maryono, 2005 ).

2.4.2.Dampak Bencana Banjir

Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek

dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:

1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam,

luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah penyakit yaitu

pneumonia dan penduduk terisolasi.

2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen,

arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya

pemerintahan.

3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak

berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan

terganggunya perekonomian masyarakat.

4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk,

jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas

umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.

5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata,

persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan

(51)

2.5. Daerah Rawan Bencana

Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik

geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik,

ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang

mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi

kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).

2.6. Penyakit Pasca Bencana

Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan

masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan

vektor penyebar penyakit yang merupakan beberapa potensi timbulnya beberapa

penyakit menular yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa. Bencana selalu

menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat baik secara langsung maupun

mengakibatkan kerusakan/perubahan lingkungan. Masalah kesehatan akibat bencana

harus dapat diminimalkan sehingga tidak menimbulkan bencana lain.

2.7. ISPA

2.7.1. Pengertian

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiraiory Infections (ARI).

Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan

(52)

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak dengan baik sehingga menimbulkan gejala

penyakit.

2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan

di bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adeksa saluran pernafasan.

Dengan batasan ini, jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan

(respiration tract)

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14

hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa

penyakit yang dapat digolong pada ISPA proses ini dapat berlangsung lebih

dari 14 hari.

Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek

dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300

lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain

golongan miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan

virus campak), dan adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus

Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertussis,

(53)

2.7.2. Klasifikasi Penyakit ISPA

Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke

dalam (chest indrawling).

2. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya nafas cepat.

3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk, pilek, bisa disertai demam,

tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa nafas cepat. Rinofaringitis, faringitis

dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA.

Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan

umur 2 bulan sampai 5 tahun.

Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :

1. Pneumonia berat : perlu diisolasi, dijumpai retraksi dinding dada pada bagian

bawah atau nafas cepat. Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan

yaitu 60 kali per menit atau lebih.

2. Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat

dinding dada bagian bawah atau nafas cepat.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :

1. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada

bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak

(54)

2. Pneumonia : bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia 2 -12

bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali

per menit atau lebih.

3. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada

bagian bawah dan tidak ada nafas cepat(Rasmaliah, 2004).

2.7.3. Etiologi ISPA

Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus

(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan

adenovirus. Virus para-infulensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk

rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus

influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali

hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influensa

merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari

pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulani, 2005).

2.7.4. Faktor Risiko ISPA

Faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA adalah umur di

bawah dua bulan, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu

rendah, rendahnya tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan, lingkungan

(55)

2.7.5. Tanda dan Gejala

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan

gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah

memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada.

Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya

dengan mudah (Harsono dkk, 1994). Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat

dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih besar dari 38,50

Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan

yaitu (Suyudi, 2002):

C dan

disertai nafas yang cepat (PD PERSI, 2002).

a. ISPA ringan bukan Pneumonia

b. ISPA sedang, Pneumonia

c. ISPA berat, Pneumonia barat

Khusus untuk bayi dibawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA

ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat bayi kurang dari dua bulan

adalah bila frekuensi nafas cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan

dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA

sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang

mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien yang sangat kurang. Gejala

ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan

(56)

a. Gejala ISPA Ringan

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai

berikut :

1. Batuk

2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada

waktu berbicara atau menangis)

3. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

4. Panas atau demam, suhu badan lebih tinggi dari 370

Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di rumah

tidak perlu dibawa ke dokter atau Pukesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun

panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi jika dalam dua hari gejala

belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Pukesmas terdekat.

C atau jika dahi anak diraba

dengan punggung tangan terasa panas.

b. Gejala ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA

ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

1. Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau

lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.

2. Suhu lebih dari 390

3. Tenggorokan berwarna merah. C.

4. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Kerja L.Green
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Tabel 3.1 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang Tahun

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang.. ISPA menyebabkan empat dari 15

Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan tentang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan perilaku pencegahan pada balita,

Skripsi berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)” ini telah diuji dan disahkan oleh Fakultas

Skripsi berjudul “Analisis Faktor -faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Sekunder pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ” ini telah diuji dan

Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.. Adapun

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISPA Dengan Kekambuhan ISPA Pada Balita, maka dapat ditarik