HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DENGAN KEKAMBUHAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA BALITA di WILAYAH KERJA PUSKESMAS MARTUBUNG MEDAN
SKRIPSI Oleh
Eva Maretta Habeahan 051101050
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan
Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009
Tanggal Lulus :
Pembimbing Penguji I
... ... Farida Linda Sari Siregar, M.Kep Iwan Rusdi, S.Kp, MNS NIP. 19780320 200501 2 003 NIP. 19730909 200003 1 001
Penguji II
...
Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep NIP. 19740505 200212 2 001
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Medan, 9 Januari 2010 Pembimbing,
... Erniyati S.Kp, MNS
Prakata
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan hidayahNya yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan
skripsi dengan judul ” Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan”.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian Skripsi
ini, sebagai berikut:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU
dan Ibu Erniyati sebagai pembantu dekan I Fakultas Keperawatan USU.
2. Ibu Farida Linda Sari Siregar S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing
skripsi penulis yang selalu sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis
dalam proses penulisan skripsi ini.
3. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS selaku dosen penguji I dan dosen pembimbing
akademik penulis yang telah banyak mendidik penulis selama proses
perkuliahan.
4. Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji II dan
bersedia menguji validitas kuisioner yang disusun penulis.
5. dr. Heva Julietta Sinaga selaku kepala Puskesmas Martubung Medan yang
telah memberikan izin untuk pengumpulkan data yang dibutuhkan dalam
6. Kepada seluruh orang tua balita yang telah bersedia meluangkan waktunya
menjadi responden dalam penelitian ini.
7. Teristimewa kepada orang tua ku tercinta Ayahanda M. Habeahan dan Ibunda
Ibu R. Siregar yang telah memberikan cinta, doa, bimbingan, serta motivasi.
Serta kepada adek-adekku Dejortas Utomo, Agustina dan Nicholas yang
memberikan motivasi.
8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2005 yang senantiasa memberikan
semangat kepada penulis. Sahabat-sahabatku (Renata, Mindo, Polma,
Sondang, Domi, fransiska, nancy, evi) dan semua sobat pelajar yang belajar
bersama si kampus yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkatNya pada semua pihak yang
telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat
demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi Keperawatan.
Medan, 8 Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ... i
Prakata ... ii
Daftar Isi ... iv
Dartar Tabel ... vi
Abstrak ... vii
BAB 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ... 5
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Hipotesa Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 7
BAB 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut ... 8
2.1.1 Defenisi ... 8
2.1.2 Etiologi ... 8
2.1.3 Klasifikasi ... 9
2.1.4 Penularan ... 10
2.1.5 Tanda dan Gejala ... 11
2.1.6 Faktor Resiko ... 12
2.2 Kekambuhan ISPA ... 13
2.3 Peran Orang Tua Terhadap Upaya Pencegahan ISPA ... 13
2.3.1 Mengetahui penyakit ISPA ... 15
2.3.2 Mengatur pola makan anak ... 16
2.3.3 Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah... 18
2.3.4 Menghindari faktor pencetus ... 20
BAB 3. Kerangka Penelitian 3.1 Kerangka Konseptual ... 23
3.2 Defenisi Operasional ... 24
BAB 4. Metode Penelitian 4.1. Desain Penelitian ... 26
4.2. Populasi dan Sampel ... 26
4.3 Lokasi dan Waktu Pemelitian ... 27
4.4 Pertimbangan Etik ... 27
4.5 Instrumen Penelitian ... 28
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 29
4.7 Pengumpulan Data ... 30
BAB 5. Hasil dan Pembahasan
5.1 Hasil Penelitian ... 33
5.1.1 Distribusi Karakteristik Responden ... 33
5.1.2 Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA ... 34
5.1.3 Riwayat Kekambuhan ISPA ... 36
5.1.4 Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada Balita ... 37
5.2 Pembahasan ... 38
5.2.1 Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA ... 38
5.2.2 Kekambuhan ISPA ... 42
5 2.3 Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada Balita ... 43
BAB 6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan ... 47
6.2 Saran ... 48
Daftar Pustaka ... 50 Lampiran-lampiran
1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 2. Instrumen Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Defensi Operasional ... 24 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden ... 34 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase peran orang tua dalam
pencegahan ISPA ... 35 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase balita
yang mengalami kekambuhan ISPA ... 36 Tabel 5.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA
Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan
Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan penyakit yang sering terjadi pada balita dan cenderung meningkat setiap tahun. Di puskesmas Martubung Medan, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang setiap tahun menempati urutan pertama dari sepuluh pola penyakit rawat jalan dan mengalami peningkatan setiap tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tehnik pengambilan sample yang digunakan adalah total sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 107 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian ini di analisa dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (p<0,05). Hasil uji Chi square diperoleh taraf signifikan 0,03 (p< 0,05) dengan nilai OR= 3,050. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.
Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan
Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan penyakit yang sering terjadi pada balita dan cenderung meningkat setiap tahun. Di puskesmas Martubung Medan, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang setiap tahun menempati urutan pertama dari sepuluh pola penyakit rawat jalan dan mengalami peningkatan setiap tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tehnik pengambilan sample yang digunakan adalah total sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 107 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian ini di analisa dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (p<0,05). Hasil uji Chi square diperoleh taraf signifikan 0,03 (p< 0,05) dengan nilai OR= 3,050. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di
negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi
pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga,
Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah
kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada
anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di
negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan
ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di
dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan
oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA
dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2
kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003).
Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan
yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh
kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat
ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti
ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban
perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5
Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat
ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah mencapai
paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia.
Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang
diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena
daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru.
Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat
pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal. Perawatan yang
dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan balita, menciptakan
lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan, menghindari
faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga kebersihan diri balita.
(Depkes, 2002).
Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh
tingginya frekuensi kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang
anak di pedesaan dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan
sampai 6-8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan
banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk,
status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu
padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah
(Arsyad, 2000; Raharjoe, 2008; Yuwono, 2007; Warouw, 2002). Pencemaran
nyamuk yang digunakan di dalam rumah, sementara polusi udara di luar rumah
berasal dari gas buangan trasportasi, asap dari pembakaran sampah dan asap dari
pabrik (Astuti, 2006).
Thamrin (2001) mengatakan bahwa ISPA pada balita berhubungan dengan
status gizi balita yang buruk. Balita yang memiliki status gizi yang buruk sekitar
71,50% mengalami ISPA, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang
berkurang. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Arsyad (2003) yang
menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan
mempengaruhi ISPA pada balita. Keadaan lingkungan balita juga behubungan
dengan ISPA pada balita. Peluang balita yang tinggal dalam rumah dengan
pencemaran dalam ruangan akan terkena ISPA sebesar 6,09 kali dibandingkan
dengan balita tanpa pencemaran ruangan. Balita yang tinggal dilingkungan rumah
dengan penggunaan bahan bakar biomassa mempunyai resiko 10,9 kali menderita
ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan rumah tanpa
menggunakan bahan bakar biomassa (Chin, 2000 dalam Agustama, 2005).
Disamping itu paparan asap rokok juga sangat mempengaruhi timbulnya ISPA
pada balita. Dewa (2001) mengatakan balita yang terpapar asap rokok mempunyai
resiko 7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. disamping itu, keadaan sanitasi
fisik rumah (suhu, kelembaban penerangan, ventilasi dan kepadatan hunian)
berhubungan dengan ISPA pada balita. Balita yang tinggal di dalam lingkungan
rumah dengan keadaaan sanitasi fisik rumah yang buruk mempunyai resiko
terkena ISPA 1,23 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dilingkungan
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan yang dapat
meningkatkan potensi anak terkena ISPA, maka diperlukan upaya pencegahan.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan
mengenai penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), mengatur pola makan
dengan tujuan memenuhi nutrisi balita, menciptakan lingkungan yang nyaman
serta menghindari faktor pencetus.
Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab
itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari
keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan
suatu penyakit. Orang tua yang memiliki peran yang buruk dalam menjaga
kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga
terutama anggota keluarga yang masih balita (Notoadmojo, 2003).
Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cukup mendapat
perhatian bidang kesehatan adalah usia balita. Upaya pembangunan dan
pembinaan kesehatan pada usia balita merupakan periode transisi tumbuh
kembang. Secara fisik usia balita merupakan usia pertumbuhan dimana usia ini
semua sel termasuk sel-sel yang sangat penting seperti sel otak mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat. Sedangkan secara psikologis usia balita
merupakan usia perkembangan mental, emosional dan intelektual yang pesat juga.
Pertumbuhan dan perkembangan pada usia balita ini akan berjalan secara optimal
dan serasi jika kondisi kesehatan balita dalam keadaan optimal pula (Depkes,
Anak adalah aset bagi orang tua dan ditangan orang tua anak dapat tumbuh
dan berkembang secara sehat baik fisik maupun mental. Secara sosiologis anak
balita sangat tergantung pada lingkungan, karena itu keterlibatan orang tua
diperlukan sebagai mekanisme untuk menurunkan dampak masalah kesehatan
pada anak dan keluarganya (Nelson, 2003). Anak adalah individu yang masih
bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan
lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan
untuk belajar mandiri, lingkungan yang dimaksud adalah orang tua (Supartini,
2004)
Dari survei awal yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2009 di Puskesmas
Martubung menunjukkan angka kejadian ISPA pada tahun 2008 di wilayah kerja
puskesmas ini terjadi sebanyak 10.735 kasus (57,90%) dan sebanyak 4849 kasus
terdiri dari balita (Laporan tahunan puskesmas Martubung, 2008)
Berdasarkan data yang di dapat dan pentingnya peran orang tua dalam
pencegahan kejadian ISPA maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan peran
orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di
wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja
2. Bagaimana kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Martubung Medan.
3. Apakah ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martubung
Medan
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di
wilayah kerja puskesmas Martubung.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja
puskesmas Martubung Medan
2. Mengetahui kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas
Martubung Medan
3. Menguji hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
kekambuhan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif
(Ha) yaitu ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Marubung Medan
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.5.1 Praktek Keperawatan
Sebagai masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
dalam pemberian penyuluhan dan asuhan keperawatan terhadap upaya
pencegahan ISPA.
1.5.2 Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan
khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait
dengan peran orang tua terhadap pencegahan ISPA pada balita dan sebagai
informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui pentingnya peran orang tua terhadap
upaya pencegahan ISPA.
1.5.3 Peneliti Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan
perbandingan bagi penelitian sejenis seperti hubungan karakteristik balita dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut
2.1.1 Defenisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory
Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang
biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun
untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari
Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah
organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti
2.1.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. ISPA bagian
atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat
disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat
sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan corynobacterium.
Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus (termasuk di dalamnya
virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus campak), Adenovirus, Coronavirus,
Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Di negara-negara berkembang umunya
kuman penyebab ISPA adalah Streptocococcus pneumonia dan Haemopylus
influenza.
2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut a. Berdasarkan lokasi anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu:
ISPA atas (ISPaA) dan ISPA bawah (ISPbA). Contoh ISPA atas adalah batuk
pilek (Common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalesma, Sinusitis, dan lain-lain.
ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan Pneumonia yang sangat berbahaya
karena dapat mengakibatkan kematian (WHO, 2003).
Berdasarkan golongan umur, ISPA dapat diklasifikasikan atas 2 bagian,
yaitu sebagai berikut:
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: Pneumonia berat dan
bukan Pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas
cepat, yaitu pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau
adanya tarikan dinding dada yang kuat pada dinding dada bagian
bawah ke dalam ( severe chest indrawing), sedangkan bukan
pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
dan tidak ada nafas cepat (WHO,2003).
2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun dibagi atas:
pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia berat,
bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia
didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai
adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih.
Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan terikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada nafas cepat (WHO, 2003).
2.1.4 Penularan ISPA
Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalui udara. Jasad
renik yang ada di udara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan
dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita
karier. Jika jasad renik berasal dari tubuh manusia, maka umumnya dikeluarkan
melalui sekresi saluran pernafasan dan berupa saliva dan sputum.
Oleh karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk
ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk
golongan air bone disease.
Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni
susupensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau
hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut
yakni:
a. Droplet nuclei, yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan
dari tubuh yang berbentuk droplet dan melayang di udara.
b. Dust, yaitu campuran antara bibit penyakit yang melayang.
2.1.5 Tanda dan Gejala klinis ISPA
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan
pleura. Secara umum gejala dan tanda-tanda ISPA adalah terjadi demam, batuk,
pilek dan disertai nafas cepat ataupun tarikan dinding dada ke bagian bawah
dalam.
Menurut Hundak dan Galo (1997) yang dikutip dari Agustama (2005),
penyakit paru atau saluran nafas dengan gejala umum maupun gejala pernafasan
Pertama, batuk merupakan gejala paling umum akibat penyakit pernafasan.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik dan
kimia. Inhalasi debu, asap dan benda-benda asing berukuran kecil merupakan
penyebab batuk yang paling sering. Kedua sputum, orang dewasa normal
membentuk sputum sekitar 100 ml per hari dalam saluran pernafasan, sedangkan
dalam keadaan gangguan saluran pernafasan sputum dihasilkan melebihi 100 ml
per hari. Ketiga, Hemoptisis, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan
batuk darah atau sputum berdarah. Keempat, dispnea atau sesak nafas yaitu
perasaan sulit bernafas dan nyeri dada.
2.1.6 Faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes (2004) faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas dua
kelompok yaitu:
a. Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita (balita)
yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA
yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, status ASI, dan status
imunisasi.
b. Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri
penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi
yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent)
meliputi: polusi asap rokok, polusi asap dapur, kepadatan tempat tinggal,
2.2 Kekambuhan ISPA pada Balita
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai
kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe
(2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara
berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai
negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam
satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan
balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali. Penyebab tingginya
kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan
dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain
usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi
lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat,
kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di
dalam rumah maupun di luar rumah.
2.3 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan atau posisi individu didalam masyarakat. Dalam setiap
posisi terdapat sejumlah peran yang masing-masing terdiri dari kesatuan perilaku
yang kurang lebih bersifat homogen dan didefenisikan menurut kultur
sebagaimana yang diharapkan dalam posisi atau status (Friedman, 1998).
Kozier (1995) mendefenisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang
sistem. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran orang tua adalah perilaku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap orang tua sesuai dengan kedudukannya dalam
keluarga.
Menurut Nye dan Gecas (1976) dalam Friedman (1998) mengidentifikasi
peran dasar yang membentuk posisi sebagai orang tua yaitu:
1. Peran sebagai provider (penyedia) yaitu peran untuk memenuhi kebutuhan
keluarga secara ekonomi dan mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasikan untuk memenihi kehidupan.
2. Peran perawatan anak yaitu peran untuk mempertahankan keadaan
kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.
Orang tua diharapkan dapat melindungi dan mencegah terhadap penyakit
yang mungkin dialami keluarga.
3. Peran sosialisasi anak yaitu peran mengembangkan dan melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
4. Peran pendidikan yaitu orang tua berperam dan bertanggung jawab yang
besar terhadap pendidikan anak-anaknya untuk menghadapi kebutuhan
dewasanya.
5. Peran afektif yaitu peran memenuhi kebutuhan psikososial sebelum
anggota keluarga berada di luar rumah.
Peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada balita termasuk dalam peran
orang tua dalam perawatan anak. Peran aktif orang tua dalam pencengahan ISPA
anak-anak yang kekebalan tubuhnya masih rentan terkena infeksi. Sehingga
diperlukan peran orang tua dalam menangani hal ini. Orang tua harus mengerti
tentang dampak negatif dari penyakit ISPA seperti ISPA ringan bisa menjadi
Pneumonia yang kronologisnya dapat mengakibatkan kematian, jika tidak segera
ditangani.
Menurut Dinkes (2003) pencegahan kejadian ISPA ini tidak terlepas dari
peran orang tua yang harus mengetahui cara-cara pencegahan ISPA. ISPA dapat
dicegah dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan balita,
menciptakan lingkungan yang nyaman, dan menghindar faktor pencetus.
2.3.1 Mengetahui penyakit ISPA pada anak
Mengetahui masalah kesehatan anak merupakan suatu hal yang sangat
penting diketahui oleh orang tua karena dengan mengenal tanda/gejala dari suatu
gangguan kesehatan bisa memudahkan orang tua dalam melakukan pencegahan
terhadap terjadinya penyakit (Notoatmojo, 1997).
Dalam pencegahan ISPA pada balita, orang tua harus mengerti tanda dan
gejala ISPA, penyebab, serta faktor-faktor yang mempermudah balita untuk
terkena ISPA. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit ISPA
menyebabkan tingginya kejadian ISPA pada balita dan membuat orang tua tidak
mengobati anaknya ketika terkena ISPA sehingga memperburuk keadaan infeksi
yang dialami oleh anak (Rahajoe, 2008)
2.3.2 Mengatur pola makan anak
Menurut Sumirta (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi
balita adalah pola pemberian makanan. Suatu pola makan yang seimbang dan
teratur akan menyajikan semua makanan yang berasal dari setiap kelompok
makanan dengan jumlahnya sehingga zat gizi yang dikonsumsi seimbang satu
sama lain (Grodner et al, 2000).
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan
penyakit infeksi . Anak dengan status gizi yang buruk memiliki daya tahan tubuh
terhadap tekanan dan stress menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang
sehingga akan mudah terkena penyait infeksi (Almatsier, 2001). Sebaliknya
penyakit infeski pada balita akan mempengaruhi pertumbuhan balita seperti
berkurangnya berat badan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya nafsu makan
penderita infeksi sehingga masukan atau intake zat gizi dan energi kurang dari
kebutuhan tubuh. Keadaan infeksi juga dapat meningkatkan eksisi nitrogen
melalui kencing yang diakibatkan oleh mobilisasi asam amino jaringan perifer
sehingga menimbulkan berkurangnya jumlah protein didalam tubuh (Solihin,
2003). Untuk itu balita yang telah terkena infeksi memerlukan zat gizi yang tinggi
agar dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pemulihan kondisi tubuh.
Almatsier (2001) menyebutkan ada tiga fungsi zat gizi yaitu: (1) memberi
energi, (2) pertumbuhan dan pemulihan jaringan tubuh, (3) mengatur proses
tubuh. Sedangkan menurut Sediaoetomo (1987) ada lima fungsi zat gizi yaitu: (1)
sumber energi atau tenaga, (2) menyokong pertumbuhan badan, (3) memelihara
keseimbangan dalam cairan tubuh (keseimbangan air, asam basa dan mineral),
dan (5) berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap pelbagai penyakit
sebagai antioksidan dan antibodi. Jadi, fungsi zat gizi dalam penanganan
kekambuhan ISPA diperlukan untuk fungsi pemulihan jaringan tubuh dan
mekanisme pertahanan tubuh.
Anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri dengan baik dan belum
dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukan untuk makanannya.
Makanan dengan rasa manis, biasanya paling disukai misalnya cokelat, permen
dan es krim. Jenis makanan ini menimbulkan rasa kenyang dan dapat mengurangi
nafsu makan sehingga pada masa balita sering terjadi malnutrisi (Kartasurya, 1999
& Grigsbby, 2003). Orang tua khususnya ibu berperan dalam pengaturan makanan
bagi balita dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita dan mengelola makanan yang
sehat untuk balita (Santoso & Ranti, 1999; Sulistijani & Herlianty, 2001; Siregar,
2004).
Sulistijani & Herlianty (2001) pemberian makan pada anak harus
disesuaikan dengan usia anak. Pemenuhan kebutuhan gizi balita makanan harus
memenuhi syarat yaitu: makanan harus mengandung energi dan semua zat gizi
yang dibutuhkan pada tingkat umurnya seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral dan air; susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu
seimbang; makanan harus bersih dan bebas dari kuman.
Kebutuhan energi bagi balita dapat diperoleh dari berbagai makanan
seperti: beras, jagung, gandum, ubi, talas, kentang, dan kacang-kacangan. Sumber
minyak kelapa, lemak sapi, mentega, dan coklat. Sumber protein dapat diperoleh
dari protein hewani (telur ayam, telur bebek, udang segar, ikan segar) dan protein
nabati (kacang kedelai, kacang merah, kacang hijau, tahu, tempe, keju. Disamping
kebutuhan akan karbohidrat, lemak dan protein kebutuhan vitamin, mineral, air
dan serat balita juga harus terpenuhi (Almatsier, 2001).
2.3.3 Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan proses interaksi antara penjamu dan unsur penyebab dalam proses
terjadinya penyakit (Syahril,2006). Kondisi lingkungan yang kurang sehat akan
mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Salah satu penyakit yang ditimbulkan
oleh lingkungan yang kurang bersih adalah ISPA (Iswarini, 2006). Adapun faktor
lingkungan yang dimaksud adalah faktor fisik rumah seperti kepadatan hunian,
dan ventilasi.
1. Kepadatan hunian
Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi
apabila penggunaannya tidak disesuaikan dengan peruntukannya, maka dapat
terjadi gangguan kesehatan (Suhandayani, 2007). Setiap rumah harus mempunyai
bagian ruangan yang sesuai dengan fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan
jumlah ruangan perlu memperhatikan standart minimal jumlah ruangan. Sebuah
rumah tinggal harus mempunyai ruangan kamar tidur, ruangan tamu, ruangan
makan, dapur, kamar mandi, dan kakus (Syahril, 2006).
Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan
maka ukuran ruang tidur minimal 9 m3 untuk setiap orang yang berumur diatas 5
tahun. Untuk umur dibawah 5 tahun ukuran ruang tempat tidur 4,5 m3. Luas lantai
minimal 3,5 m2 untuk setiap orang dengan tinggi langit-langit tidak kurang dari
2,75 m2 (Agustama, 2005).
Untuk dapat mengurangi kepadatan hunian rumah orang tua harus dapat
memosifikasi lingkungan rumah agar tidak terlalu padat. Barang-barang yang
tidak diperlukan sebaiknya disingkarkan karena hanya akan mempersempit
ruangan. Disamping itu juga orang tua harus dapat membagi jumlah anak yang
tidur dalam satu kamar dengan balita tidak terlalu banyak karena semakin banyak
jumlah orang yang tidur dalam satu kamar akan meningkatkan jumlah bakteri
patogen sehingga mempermudah penularan bakteri atau virus penyebab ISPA
melalui droplet ataupun kontak langsung.
2. Ventilasi
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas
penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanent minimal 10% dari luas lantai.
Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan udara segar dan pertukaran
udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan peraturan
pembangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan
sebagai berikut: luas bersih dari jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10
dari luas lantai ruangan, jendela/ruang hawa harus meluas kearah atas sampai
berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai yang
bersangkutan.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Yang pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurang ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 didalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara didalam udara akan naik karena terjadinya
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini merupakan
media yang baik untuk bakteri-bakteri dan patogen. Fungsi kedua dari ventilasi
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri dan patogen karena
terjadi aliran udara terus-menerus. Fungsi lain adalah menjaga agar ruangan
rumah berada dalam kelembaban yang optimum.
Untuk itu orang tua diharapkan dapat menciptakan kondisi rumah yang
mempunyai ventilasi yang cukup agar kelembaban udara didalam ruangan tidak
mengganggu kesehatan balita. Salah satu hal sederhana yang dapat dilakukan oleh
orang tua adalah membuka jendela setiap pagi hari agar udara dapat bersirkulasi
dan dapat membebaskan udara dari bakteri dan patogen.
2.3.4 Menghindari faktor pencetus (Pencemaran udara)
Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas
penghuninya, antara lain: penggunaan bahan bakar biomassa untuk memasak
minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida
semprot maupun bakar (Syahril, 2006). Namun keberadaan asap dalam ruangan
ini tidak terlepas dari keadaan ventilasi rumah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, dapur yang
sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak memiliki lubang asap
dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah dan kondisi ini akan
berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan dapat
mengiritasi saluran pernafasan. Untuk itu dianjurkan orang tua yang
menggunakan bahan bakar biomassa didalam rumah membuat cerobong asap
untuk pengekuaran asap dan ibu tidak mengendong balita ketika sedang memasak
didalam dapur.
Keberadaan anggota keluarga yang merokok juga sangat mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita. Polusi udara oleh CO akan terjadi selama merokok.
Asap yang berterbangan tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya
sehingga dapat membahayakan orang disekitarnya. Asap rokok sangat berbahaya
bagi balita karena balita masih mempunyai daya tahan tubuh yang masih rendah.
Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberi
resiko ISPA khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu. Dewa (2001)
menunjukkan bahwa bayi dan balita yang terpapar asap rokok mempunyai resiko
7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. Oleh sebab itu, dianjurkan kepada orang
dapat mengiritasi saluran pernafasan balita disamping itu juga kandungan zat
kimia yang terdapat dalam asap rokok yang sangat berbahaya.
Paparan debu baik di dalam rumah maupun di luar rumah juga
berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Debu yang setiap harinya kita hirup
dalam konsentrasi tinggi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan
kesehatan manusia. Akibat menghirup debu yang langsung dapat dirasakan adalah
rasa sesak dan keinginan untuk bersin atau batuk dikarenakan adanya gangguan
pada saluran pernafasan. Debu termasuk dalam subtansi yang bersifat toksik dan
dapat memberikan efek iritan pada saluran pernafasan (Riyadina, 1996). Untuk
menghindari paparan debu di dalam rumah orang tua harus selalu membersihkan
rumah secara teratur dan menghindari anak terpapar dari debu di luar lingkungan
rumah (Zang, 2004).
Keberadaan anggota keluarga yang terkena ISPA juga sangat
mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Penyebaran ISPA ditularkan kepada
orang lain melalui udara pernafasan atau percikan air ludah. Pada prinsipnya
kuman ISPA yang ada diudara terhisap oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh
saluran pernafasan. Oleh sebab itu salah satu upaya pencegahan ISPA dilakukan
dengan menutup mulut pada waktu bersin untuk mennghindari penyebaran kuman
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Kerangka penelitian yang dilakukan pada penelitian ini mengambarkan
hubungan peran orang tua dalam pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dengan kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita
di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Peran orang tua dalam penelitian
ini menjadi variabel bebas sedangkan kekambuhan ISPA menjadi variabel terikat.
Secara skematis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 1.1 Kerangka Konsep pengaruh peran orang tua dalam pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan
Peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada Balita
• Mengetahui penyakit ISPA • Mengatur pola makan • Menciptakan kenyamanan
lingkungan rumah
• Menghindar faktor pencetus
Kekambuhan ISPA pada balita
3.2 Defenisi Operasional Tabel 1.1 Defenisi Operasional No Variabel Defenisi
Operasional
Alat Ukur Skala Hasil Ukur 1. Variabel
Independen Peran orang tua
Segala usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk menghindari kekambuhan ISPA pada balita yang terdiri dari mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan, menciptakan lingkungan yang nyaman serta menghindari faktor pencetus. • Mengetahui penyakit ISPA
Variabel Dependen Kekambuhan ISPA jumlah makanan, serta frekuensi makan anak sehingga anak mempunyai gizi yang seimbang. • Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang dilakukan adalah deskriptif korelasi yang bertujuan
untuk mengidentifikasi hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA
dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martubung
Medan.
4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Setiadi,
2007). Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak yang
menderita ISPA pada bulan Maret-Mei 2009 dan pernah berobat ke puskesmas
dengan masalah ISPA dan di dapat jumlahnya 116 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Dempsey,
2002). Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Total Sampling. Namun dalam pengumpulan data, tidak semua orang tua balita
bersedia menjadi responden. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini hanya
berjumlah 107 orang. Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria
a. Orang tua yang mempunyai anak balita yang pernah menderita ISPA dan
berobat ke puskesmas Martubung pada bulan Maret-Mei 2009
b. Bersedia menjadi responden
c. Dapat membaca dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
4.3 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Martubung
Medan dengan alasan bahwa wilayah kerja puskesmas Martubung berada di
wilayah kawasan pabrik dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya
terkait dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2009.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan etik. Setelah mendapatkan
surat izin untuk melaksanakan penelitian dari dinas kesehatan kota Medan,
peneliti meminta izin kepada kepala puskesmas Martubung Medan. Setelah
mendapatkan data dan alamat-alamat pasien yang pernah menderita ISPA, peneliti
kemudian mendatangi rumah calon responden. Peneliti kemudian memberi
penjelasan kepada calon responden tentang tujuan penelitian dan prosedur
palaksanaan penelitian. Responden yang bersedia dipersilahkan menandatangani
informed consent. Responden juga diberi penjelasan bahwa penelitian ini tidak
menimbulkan resiko fisik maupun psikis. Kerahasiaan catatan mengenai data
responden dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrumen dan
4.5 Instrumen penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden peneliti menggunakan alat
pengumpul data berupa kuisioner yang disusun sendiri oleh peneliti yang terdiri
dari 2 bagian yaitu data demografi klien dan kuisioner peran orang tua. Pada
bagian pertama terdiri dari data demografi klien yang meliputi umur, pendidikan,
suku, status perkawianan, pekerjaan, riwayat anak penderita ISPA dan umur anak
saat menderita ISPA. Bagian kedua berupa kuisioner peran orang tua terhadap
upaya pencegahan kekambuhan ISPA yang berisi 27 pertanyaan, yang bertujuan
untuk mengukur sejauh mana peran orang tua terhadap upaya pencegahan ISPA
yang berulang kepada anak balita. Untuk melihat peran orang tua dalam hal
mengetahui penyakit ISPA peneliti memberi kuisioner yang terdiri dari 6
pertanyaan dengan pilihan ganda. Setiap jawaban diberi nilai. Jawaban a diberi
nilai 4, jawaban b diberi nilai 3, jawaban c diberi nilai 2 dan jawaban d diberi nilai
1. untuk melihat peran oaran tua dalam hal mengatur pola makan, menciptakan
kenyamanan lingkungan dan menghindari faktor pencetus, peneliti memberikan
kuisioner dengan pilihan jawaban yang diberikan menggunakan skala likert yaitu
tidak pernah nilai 1, kadang-kadang nilai 2, sering nilai 3 dan selalu nilai 4.
Untuk melihat peran orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja puskesmas Martubung dilakukan pengolahan data dengan statistik
deskriptif yang terdiri dari frekuensi dan persentase.
Untuk menghitung panjang kelas dalam penelitian ini, maka digunakan
Rentang 108-27 81
P = = = = 27 Banyak kelas 3 3
Rentang kelas adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah. Rentang
kelas yang diperoleh adalah 81 dan banyak kelas dalam penelitian ini adalah 3
kelas yaitu baik, cukup dan kurang. Sehingga diperoleh nilai P = 27. Dari
perhitungan ini maka peran orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita
dikategorikan baik apabila skor 81-108 diberi kode 3, dikategorikan cukup apabila
skor 54-80 diberi kode 2, dikategorikan kurang apabila skor 27-53 diberi kode 1.
4.6 Uji Validitas dan Reabilitas 4.6.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen
pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan
data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk
menguji validitas pengukuran pada penelitian ini digunakan validitas isi yaitu
validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya dikonsultasikan kepada yang
berkompeten dibidang tersebut (Setiadi, 2007).
Uji validitas dilakukan oleh Bagian Keperawatan Anak Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara yaitu Ibu Nur Asnah S.Kep, Ns, M.Kep.
Oleh beliau, peneliti diarahkan untuk memperbaiki instrumen penelitian sesuai
dengan tinjauan pustaka agar dicapai nilai valid dari instrumen penelitian. Hasil
4.6.2 Uji Reliabilitas
Kuisioner peran orang tua terhadap upaya pencegahan kekambuhan ISPA
dibuat oleh peneliti sendiri, oleh karena itu penting dilakukan uji reliabilitas. Uji
Reliabilitas instrument adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui
konsistensi dari instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian ini digunakan reliabilitas
konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian
instrument hanya satu kali dengan bentuk instrument kepada satu subjek studi
(Dempsey & Dempsey, 2002).
Uji reliabilitas pada instrument hubungan peran orang tua terhadap
kekambuhan ISPA dilakukan pengumpulan data terhadap 15 orang responden
yaitu kepada orang tua yang membawa balita kepuskesmas Martubung Medan
pada bulan Juni dengan keluhan ISPA yang memenuhi kriteria sampel. Uji
reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan formula Cronbach Alpha dalam
system komputerisasi, sehingga diperoleh hasil 0,83. Menurut Polit & Hungler
(1999) menyatakan bahwa suatu instrument dikatakan reliable jika memiliki nilai
reliabilitas > 0,7. Oleh karena itu, instrumen dalam penelitian ini dikatakan
reliabel.
4.7 Pengumpulan Data
Peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan izin pelaksanaan
penelitian melalui bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan Dinas
surat izin penelitian ke Puskesmas Martubung Medan. Setelah itu peneliti
langsung mengumpulkan data kerumah masing-masing responden sesuai dengan
alamat-alamat yang diperoleh peneliti dari puskesmas Martubung Medan.
penelitian dilakukan pada pagi hari sampai dengan sore hari selama 3 minggu.
Setelah mendapatkan calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat
penelitian serta proses pengisian kuisioner. Kemudian calon responden yang
bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan sebagai responden
dalam penelitian ini. Responden yang menolak tidak dipaksa untuk mengisi
kuisioner. Responden yang menolak karena ada kecurigaan kepada peneliti dan
alasan orang tua sibuk bekerja. Responden yang bersedia diminta untuk mengisi
kuisioner yang diberikan peneliti selama ± 15 menit. Responden diberi
kesempatan bertanya selama pengisian kuisioner tentang hal yang tidak
dimengerti sehubungan dengan pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Setelah
responden mengisi seluruh kuisioner penelitian, peneliti terlebih dahulu
memeriksa kelengkapan jawaban responden sesuai dengan pertanyaan kuisioner
kemudian seluruh data dikumpulkan untuk dianalisa.
4.8 Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, maka penelitian melakukan analisi data
melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan identitas dan data
responden dan memastikan bahwa semua jawaban terisi. Setelah itu
menklarifikasi data dengan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Statistik Univariat
Statisitik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari satu
variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit & Hungler,
1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat
digunakan untuk menganalisa variabel independen yaitu data demografi dan peran
orang tua dan variabel dependen yaitu kekambuhan ISPA pada balita di wilayah
kerja puskesmas Martubung Medan. Analisa variabel peran orang tua dan
kejadian ISPA dianalisis dengan menggunakan skala ordinal dan ditampilkan
dalam distribusi frekuensi.
2. Statistik Bivariat
Statistik bivariat adalah suatu prosedur untuk menganalisis hubungan
antara variabel. Untuk melihat hubungan antara variabel independen (peran orang
tua ) dan variabel dependen (kekambuhan ISPA), akan digunakan uji Chi Square
dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Maka hasil diinterpretasikan dengan
membandingkan nilai p dengan nilai α. Bila p < α maka keputusannya Ha gagal
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian
mengenai hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.
Penelitian ini dimulai pada tanggal 19 Oktober – 14 November 2009 di daerah
Martubung Medan dengan jumlah responden 107 orang.
5.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dibagi atas tiga bagian, yaitu data demografi
responden, kekambuhan ISPA pada balita serta peran orang tua dalam pencegahan
ISPA yang seterusnya dianalisa ada atau tidaknya hubungan peran orang tua
dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.
5.1.1 Distribusi Karakteristik Responden
Berdasarkan usia sebagian besar responden berada dalam kelompok usia
21-30 tahun sebanyak 55 orang (51,40%), tingkat pendidikan SLTA sebanyak 60
orang (56,07%), pekerjaan IRT sebanyak 70 orang (65,42%) dan penghasilan
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden (n= 107)
No Karakteristik Frekuensi Persentase
1 Umur
21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 55 43 9 51,40 40,18 8,41 2 Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2 12 28 60 15 1,86 11,21 26,16 56,07 4,67 3 Pekerjaan
IRT Wiraswasta Pegawai Swasta PNS TNI 70 21 7 8 1 65,42 19,62 6,54 7,47 0,93 4 Penghasilan
< Rp900.000
Rp 900.000-Rp 1.300.000 Rp1.300.000-Rp1.800.000 > Rp 1.800.000
37 31 16 23 34,57 28,97 14,95 21,49
5.1.2 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA
Peran orang tua dalam pencegahan ISPA dibagi dalam 4 bagian yaitu
mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan, menjaga kenyamanan
lingkungan serta menghindari faktor pencetus.
Berdasarkan hasil analisa data sebanyak 15 responden (14%) memiliki
pengetahuan yang kurang mengenai ISPA, sebanyak 53 responden (49,5 %)
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ISPA, sebanyak 39 responden
(36,4%) memiliki pengetahuan yang baik mengenai ISPA.
Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang
responden (0,9%) memiliki peran yang kurang dalam mengatur pola makan anak,
sebanyak 44 responden (41,1%) rsponden memiliki peran yang cukup dalam
mengatur pola makan serta sebanyak 62 responden (57,9) memiliki peran yang
baik dalam mengatur pola makan balita
Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang
tua dalam hal menjaga kenyamanan lingkungan maka diperoleh hasil sebanyak
10 responden (9,34%) memiliki peran yang kurang dalam menjaga kenyamanan
lingkungan, sebanyak 44 responden (41,12%) memiliki peran yang cukup dalam
menjaga kenyamanan lingkungan dan sebanyak 53 responden (49,52%) memiliki
peran yang baik dalam menjaga kenyamanan lingkungan.
Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang
tua dalam hal menghindari faktor pencetus maka diperoleh hasil sebanyak 2
responden (1,86%) memiliki peran yang kurang dalam menghindari faktor
pencetus, sebanyak 57 responden (53,27%) memiliki peran yang cukup dalam
menghindari faktor pencetus dan sebanyak 48 responden (44,85%) memiliki peran
yang baik dalam menghindari faktor pencetus.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap responden di wilayah kerja
puskesmas Martubung Medan maka frekuensi dan persentase peran orang tua
dalam pencegahan ISPA secara keseluruhan:
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentasi peran orang tua dalam pencegahan ISPA (n=107)
No Peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA
Frekuensi Persentase
1 Kurang 0 0
2 Cukup 71 66,35%
Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengukur peran orang tua
dalam pencegahan ISPA, maka peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada
balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan mayoritas dikategorikan
cukup (66,35%).
5.1.3 Riwayat Kekambuhan ISPA
Tabel 5.3 memperlihatkan riwayat mengalami kekambuhan ISPA pada
balita di wilayah kerja puskesmas. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
balita yang mengalami kekambuhan ISPA sebanyak 85 orang (79,4%) sedangkan
balita yang tidak mengalami kekambuhan ISPA sebanyak 22 orang (20.6%).
Balita yang menderita ISPA 3 kali dalam setahun terdapat 15 balita (15,88%),
balita yang menderita ISPA 4 kali dalam setahun terdapat 26 balita (24,29%),
balita yang menderita ISPA 5 kali dalam setahun terdapat 7 balita (6,54%), balita
yang menderita ISPA 6 kali dalam setahun terdapat 16 balita (14,95%), balita
yang mengalami ISPA 12 kali dalam setahun terdapat 13 balita (12,14%) dan
balita yang menderita ISPA 24 kali dalam setahun terdapat 7 balita (6,54%).
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase balita yang mengalami kekambuhan ISPA di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan (n=107)
No Pengalaman kekambuhan Frekuensi Persentase 1
2
Kambuh
Tidak Kambuh
85
22
79,4
5.1.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas Martubung Medan.
Analisa hubungan peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA
dengan kekambuhan ISPA pada balita diukur dengan menggunakan uji Chi
Square. Hasil penelitian didapat p=0,038 yang berarti bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA
dengan kekambuhan ISPA pada balita.
Tabel 5.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas Martubung Medan.
Peran Kekambuhan Total OR
(95%CI) P Value Kambuh Tidak kambuh
n % n % n %
Cukup Baik 61 24 71,8 28,2 10 12 45,5 54,5 71 36 66,4 33,6 3,050 1,1-7,9 0,038
Jumlah 75 100 22 100 107 100
Hasil analisis hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan
diperoleh nilai p= 0,038 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi
kekambuhan ISPA pada balita antara orang tua yang berperan baik dengan orang
tua yang berperan cukup (ada hubungan yang sifnifikan antara peran orang tua
dengan kekambuhan ISPA pada balita). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
OR=3,050, artinya balita yang orang tuanya berperan cukup dalam pencegahan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mempunyai peluang 3,05 kali terkena
[image:46.595.109.516.365.493.2]5.2 Pembahasan
5.2.1 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA
Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 39 responden (36,4%) memiliki
pengetahuan yang baik mengenai ISPA, sebanyak 53 responden (49,5 %)
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ISPA dan sebanyak 15 responden
(14%) memiliki pengetahuan yang kurang mengenai ISPA. Masih adanya orang
tua yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang informasi ISPA
kemungkinan karena responden tidak mendapatkan informasi yang lengkap dari
petugas kesehatan puskesmas serta penyuluhan tentang ISPA tidak pernah
dilakukan didaerah mereka. Disamping itu, masih ada responden yang memiliki
pendidikan yang rendah yakni responden yang tidak sekolah terdapat sebanyak 2
responden (1,86%), responden yang hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat
Sekolah Dasar terdapat 12 responden (11,21%) dan responden yang
menyelesaikan pendidikan ditingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
terdapat 28 orang (26,16%) sehingga para orang tua memiliki informasi yang
kurang mengenai ISPA.
Handayani (2008) mengatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang
ISPA sangat penting karena berhubungan erat dengan perawatan balita didalam
rumah untuk mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi dari ISPA. Hasil
penelitian Ayu (2006) juga menyatakan bahwa pengetahuan orang tua yang baik
sangat perlu untuk mengurangi frekuensi kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan hasil penelitian peran orang tua dalam hal mengatur pola
yang baik dalam mengatur pola makan balita, sebanyak 44 responden (41,1%)
memiliki peran yang cukup dalam mengatur pola makan dan sebanyak 1
responden (0,9%) memiliki peran yang kurang dalam mengatur pola makan anak.
Peran orang tua dalam hal mengatur pola makan balita bertujuan untuk
pemenuhan nutrisi balita. Balita yang pernah terserang infeksi memiliki daya
tahan tubuh yang lemah karena protein yang tersimpan didalam tubuhnya akan
berkurang disebabkan meningkatnya eksisi nitrogen melalui kencing selama
proses infeksi. Balita yang memiliki nutrisi yang baik akan memiliki status gizi
yang baik sehingga memiliki daya tahan terhadap penyakit (Solihin, 2003;
Almatsier, 2001). Thamrin (2001) dan Arsyad (2003) mengatakan bahwa status
gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan mempengaruhi ISPA pada
balita hal ini dibukt ikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Balita
yang memiliki status gizi yang buruk sekitar 71,50% mengalami ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian, peran orang tua dalam hal menciptakan
kenyamanan lingkungan maka diperoleh hasil sebanyak 53 responden (49,52%)
memiliki peran yang baik dalam menjaga kenyamanan lingkungan rumah,
sebanyak 44 responden (41,12%) memiliki peran yang cukup dalam menjaga
kenyamanan lingkungan rumah dan sebanyak 10 responden (9,34%) memiliki
peran yang kurang dalam menjaga kenyamanan lingkungan rumah. Dalam hal
menciptakan kenyamanan lingkungan rumah masih ada responden yang tidak
pernah mengatur kepadatan kamar balita sebanyak 31 responden (28,97%), serta
masih ada orang tua yang tidak pernah membuka jendela sebanyak 9 responden
yang lancar akan menyebabkan meningkatnya kuman patogen didalam rumah.
Sirkulasi udara yang tidak lancar serta kurangnya cahaya yang masuk kedalam
rumah akan meningkatkan kelembaban rumah sehingga menjadi media yang baik
untuk pekembangan bakteri dan patogen (Notoatmojo, 1997).
Menurut Lubis (1989) pemeliharaan lingkungan rumah yang baik di dalam
maupun di luar rumah harus tetap dijaga supaya tetap sehat, karena pemeliharaan
rumah dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya. Segala fasilitas yang tersedia
apabila tidak terpelihara dengan baik dapat menjadi media bagi penyakit.
Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara memelihara kebersihan, mengatur
kepadatan rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah dan mengusahakan
sinar matahari masuk kedalam rumah di siang hari dapat menurunkan terjadinya
ISPA pada anggota keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian peran orang tua dalam hal menghindari faktor
pencetus diperoleh hasil sebanyak 48 responden (44,85%) memiliki peran yang
baik dalam menghindari faktor pencetus, sebanyak 57 responden (53,27%)
memiliki peran yang cukup dalam menghindari faktor pencetus dan sebanyak 2
responden (1,86%) memiliki peran yang kurang dalam menghindari faktor
pencetus. Namun, jika dilihat dari setiap item pertanyaan bahwa masih ada orang
tua yang merokok didekat balita ketika berada didalam rumah 73 responden
(68,22%), masih menggunakan obat nyamuk bakar setiap kali tidur sebanyak 26
responden (24,49%), orang tua (keluarga) yang tidak menutup mulut ketika bersin
dan batuk sebanyak 54 responden(50,46%) dan orang tua (keluarga) yang
Menurut Aditama (1997) asap dari satu batan rokok mengandung sekitar
4.000 jenis bahan kimia seperti nikotin, gas CO, NOX, Hydrogencianide, Amonia,
Acrolen, 4ethylcatecnol, artoresol, perylen, dan lain-lain. Asap yang berterbangan
juga mengandung bahan yang berbahaya, dan apabila asap itu dihisap oleh orang
yang berada disekitar perokok maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia
berbahaya kedalam dirinya, walaupun ia sendiri tidak merokok. Terdapat seorang
perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga
menderita sakit, seperti gangguan pernafasan, memperburuk asma dan
memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk
mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya
perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernafasan. Gas berbahaya dalam
rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak
dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan
diparu-paru (Dachroni, 2002). Sedangkan efek penggunaan obat nyamuk bakar maupun
semprot yang bisa dirasakan langsung akibat obat anti nyamuk bakar maupun
semprot akan berbeda pada setiap anak. Tetapi umumnya anak akan merasa sesak
nafas, batuk-batuk, pusing, mual dan bahkan pingsan (Sastrawijaya, 2000) .
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah suatu penyakit saluran
pernafasan yang ditularkan melalui udara. Oleh karena itu, orang tua maupun
anggota keluarga yang lain sangat dianjurkan untuk menutup mulut ketika bersin
kuman yang terkandung didalam dahak tersebut jika mengering akan beterbangan
diudara sehingga berbahaya jika dihirup.
Berdasarkan hasil penelitian, peran orang dalam pencegahan ISPA di
wilayah kerja puskesmas Martubung medan sebanyak 71 responden (66,35%)
berperan cukup dan 36 responden (33,64%) berperan baik. Ini menunjukkan
bahwa orang tua yang berada didalam lingkungan wilayah kerja puskesmas
Martubung Medan sudah berperan dengan hampir baik dan tidak ada orang tua
yang memiliki peran yang buruk dalam mencegah penyakit ISPA. Hal ini
dimungkinkan karena orang tua sudah menyadari pentingnya peran orang tua
dalam pencegahan penyakit infeksi pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yamin (2007) diwilayah kerja puskesmas Najung
Mekar kabupaten Bandung yang mengatakan bahwa orang tua sudah memiliki
peran yang baik (55,17%) dalam pencegahan ISPA.
5.2.2 Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Dari hasil pengumpulan data diperoleh bahwa sebanyak 85 balita
(79,43%) mengalami kekambuhan ISPA, sedangkan 22 balita (20,56%) tidak
mengalami kekambuhan ISPA. Balita yang menderita ISPA 3 kali dalam setahun
terdapat 15 balita (15,88%), balita yang menderita ISPA 4 kali dalam setahun
terdapat 26 balita (24,29%), balita yang menderita ISPA 5 kali dalam setahun
terdapat 7 balita (6,54%), balita yang menderita ISPA 6 kali dalam setahun
terdapat 13 balita (12,14%) dan balita yang menderita ISPA 24 kali dalam setahun
terdapat 7 balita (6,54%).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai
kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe
(2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara
berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai
negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam
satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan
balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali.
5.2.3 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
infeksi yang paling sering dialami oleh balita dan masih menempati urutan
pertama dari keseluruhan penyakit infeksi yang terjadi dimasyarakat.. Angka
kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi
kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan
dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan sampai 6-8 kali.
Oleh sebab itu diperlukan peran orang tua dalam pencegahan ISPA. Orang tua
yang memiliki peran yang baik diharapkan dapat mencegah kekambuhan ISPA.
Hasil analisis hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan
diperoleh nilai p= 0,03 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi
kekambuhan ISPA pada balita antara orang tua yang berperan baik dengan orang
tua yang berperan cukup (ada hubungan yang sifnifikan antara peran orang tua
dengan kekambuhan ISPA pada balita).
Orang tua berperan dalam upaya meningkatkan kesehatan dan mengurangi
resiko timbulnya penyakit bagi para anggota keluarga yang tujuannya adalah
melindungi keluarga dari penyakit tertentu dan mengurangi kemungkinan mereka
mendapat penyakit atau masalah kesehatan (Friedman, 1998). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa peran orang tua yang baik dalam pencegahan ISPA dapat
mencegah kekambuhan ISPA (ISPA berulang) pada balita.
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh orang tua seperti mengetahui
penyakit ISPA, mengatur pola makan, menciptakan kenyamanan lingkungan, dan
menghindari faktor pencetus merupakan hal yang sangat mendasar untuk
mencegah kekambuhan ISPA pada balita serta relevan dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya. Ayu (2006) mengatakan
bahwa pengetahuan ibu (p=0,01) memiliki pengaruh terhadap kejadian ISPA.
Pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh orang tua akan membantu orang tua
dalam m