• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DENGAN KEKAMBUHAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

PADA BALITA di WILAYAH KERJA PUSKESMAS MARTUBUNG MEDAN

SKRIPSI Oleh

Eva Maretta Habeahan 051101050

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan

Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009

Tanggal Lulus :

Pembimbing Penguji I

... ... Farida Linda Sari Siregar, M.Kep Iwan Rusdi, S.Kp, MNS NIP. 19780320 200501 2 003 NIP. 19730909 200003 1 001

Penguji II

...

Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep NIP. 19740505 200212 2 001

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Medan, 9 Januari 2010 Pembimbing,

... Erniyati S.Kp, MNS

(3)

Prakata

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan hidayahNya yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan

skripsi dengan judul ” Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan”.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah

memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian Skripsi

ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU

dan Ibu Erniyati sebagai pembantu dekan I Fakultas Keperawatan USU.

2. Ibu Farida Linda Sari Siregar S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing

skripsi penulis yang selalu sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis

dalam proses penulisan skripsi ini.

3. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS selaku dosen penguji I dan dosen pembimbing

akademik penulis yang telah banyak mendidik penulis selama proses

perkuliahan.

4. Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji II dan

bersedia menguji validitas kuisioner yang disusun penulis.

5. dr. Heva Julietta Sinaga selaku kepala Puskesmas Martubung Medan yang

telah memberikan izin untuk pengumpulkan data yang dibutuhkan dalam

(4)

6. Kepada seluruh orang tua balita yang telah bersedia meluangkan waktunya

menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Teristimewa kepada orang tua ku tercinta Ayahanda M. Habeahan dan Ibunda

Ibu R. Siregar yang telah memberikan cinta, doa, bimbingan, serta motivasi.

Serta kepada adek-adekku Dejortas Utomo, Agustina dan Nicholas yang

memberikan motivasi.

8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2005 yang senantiasa memberikan

semangat kepada penulis. Sahabat-sahabatku (Renata, Mindo, Polma,

Sondang, Domi, fransiska, nancy, evi) dan semua sobat pelajar yang belajar

bersama si kampus yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkatNya pada semua pihak yang

telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat

demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi Keperawatan.

Medan, 8 Januari 2010

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Prakata ... ii

Daftar Isi ... iv

Dartar Tabel ... vi

Abstrak ... vii

BAB 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Hipotesa Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut ... 8

2.1.1 Defenisi ... 8

2.1.2 Etiologi ... 8

2.1.3 Klasifikasi ... 9

2.1.4 Penularan ... 10

2.1.5 Tanda dan Gejala ... 11

2.1.6 Faktor Resiko ... 12

2.2 Kekambuhan ISPA ... 13

2.3 Peran Orang Tua Terhadap Upaya Pencegahan ISPA ... 13

2.3.1 Mengetahui penyakit ISPA ... 15

2.3.2 Mengatur pola makan anak ... 16

2.3.3 Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah... 18

2.3.4 Menghindari faktor pencetus ... 20

BAB 3. Kerangka Penelitian 3.1 Kerangka Konseptual ... 23

3.2 Defenisi Operasional ... 24

BAB 4. Metode Penelitian 4.1. Desain Penelitian ... 26

4.2. Populasi dan Sampel ... 26

4.3 Lokasi dan Waktu Pemelitian ... 27

4.4 Pertimbangan Etik ... 27

4.5 Instrumen Penelitian ... 28

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen... 29

4.7 Pengumpulan Data ... 30

(6)

BAB 5. Hasil dan Pembahasan

5.1 Hasil Penelitian ... 33

5.1.1 Distribusi Karakteristik Responden ... 33

5.1.2 Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA ... 34

5.1.3 Riwayat Kekambuhan ISPA ... 36

5.1.4 Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada Balita ... 37

5.2 Pembahasan ... 38

5.2.1 Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA ... 38

5.2.2 Kekambuhan ISPA ... 42

5 2.3 Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada Balita ... 43

BAB 6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 48

Daftar Pustaka ... 50 Lampiran-lampiran

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 2. Instrumen Penelitian

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defensi Operasional ... 24 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden ... 34 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase peran orang tua dalam

pencegahan ISPA ... 35 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase balita

yang mengalami kekambuhan ISPA ... 36 Tabel 5.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA

(8)

Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan

Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan penyakit yang sering terjadi pada balita dan cenderung meningkat setiap tahun. Di puskesmas Martubung Medan, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang setiap tahun menempati urutan pertama dari sepuluh pola penyakit rawat jalan dan mengalami peningkatan setiap tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tehnik pengambilan sample yang digunakan adalah total sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 107 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuesioner.

Hasil penelitian ini di analisa dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (p<0,05). Hasil uji Chi square diperoleh taraf signifikan 0,03 (p< 0,05) dengan nilai OR= 3,050. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.

(9)

Judul :Hubungan Peran Orang Tua dalam Pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Medan

Nama Mahasiswa : Eva Maretta Habeahan NIM : 051101050

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2009

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan penyakit yang sering terjadi pada balita dan cenderung meningkat setiap tahun. Di puskesmas Martubung Medan, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang setiap tahun menempati urutan pertama dari sepuluh pola penyakit rawat jalan dan mengalami peningkatan setiap tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tehnik pengambilan sample yang digunakan adalah total sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 107 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuesioner.

Hasil penelitian ini di analisa dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 (p<0,05). Hasil uji Chi square diperoleh taraf signifikan 0,03 (p< 0,05) dengan nilai OR= 3,050. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di

negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi

pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga,

Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah

kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada

anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di

negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan

ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di

dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan

oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA

dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2

kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003).

Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan

yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh

kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat

ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti

ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban

perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5

(11)

Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat

ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah mencapai

paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia.

Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang

diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena

daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru.

Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat

pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal. Perawatan yang

dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan balita, menciptakan

lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan, menghindari

faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga kebersihan diri balita.

(Depkes, 2002).

Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh

tingginya frekuensi kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang

anak di pedesaan dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan

sampai 6-8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan

banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang

berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk,

status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti

ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu

padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah

(Arsyad, 2000; Raharjoe, 2008; Yuwono, 2007; Warouw, 2002). Pencemaran

(12)

nyamuk yang digunakan di dalam rumah, sementara polusi udara di luar rumah

berasal dari gas buangan trasportasi, asap dari pembakaran sampah dan asap dari

pabrik (Astuti, 2006).

Thamrin (2001) mengatakan bahwa ISPA pada balita berhubungan dengan

status gizi balita yang buruk. Balita yang memiliki status gizi yang buruk sekitar

71,50% mengalami ISPA, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang

berkurang. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Arsyad (2003) yang

menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan

mempengaruhi ISPA pada balita. Keadaan lingkungan balita juga behubungan

dengan ISPA pada balita. Peluang balita yang tinggal dalam rumah dengan

pencemaran dalam ruangan akan terkena ISPA sebesar 6,09 kali dibandingkan

dengan balita tanpa pencemaran ruangan. Balita yang tinggal dilingkungan rumah

dengan penggunaan bahan bakar biomassa mempunyai resiko 10,9 kali menderita

ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan rumah tanpa

menggunakan bahan bakar biomassa (Chin, 2000 dalam Agustama, 2005).

Disamping itu paparan asap rokok juga sangat mempengaruhi timbulnya ISPA

pada balita. Dewa (2001) mengatakan balita yang terpapar asap rokok mempunyai

resiko 7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. disamping itu, keadaan sanitasi

fisik rumah (suhu, kelembaban penerangan, ventilasi dan kepadatan hunian)

berhubungan dengan ISPA pada balita. Balita yang tinggal di dalam lingkungan

rumah dengan keadaaan sanitasi fisik rumah yang buruk mempunyai resiko

terkena ISPA 1,23 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dilingkungan

(13)

Untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan yang dapat

meningkatkan potensi anak terkena ISPA, maka diperlukan upaya pencegahan.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan

mengenai penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), mengatur pola makan

dengan tujuan memenuhi nutrisi balita, menciptakan lingkungan yang nyaman

serta menghindari faktor pencetus.

Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab

itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari

keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan

suatu penyakit. Orang tua yang memiliki peran yang buruk dalam menjaga

kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga

terutama anggota keluarga yang masih balita (Notoadmojo, 2003).

Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cukup mendapat

perhatian bidang kesehatan adalah usia balita. Upaya pembangunan dan

pembinaan kesehatan pada usia balita merupakan periode transisi tumbuh

kembang. Secara fisik usia balita merupakan usia pertumbuhan dimana usia ini

semua sel termasuk sel-sel yang sangat penting seperti sel otak mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat. Sedangkan secara psikologis usia balita

merupakan usia perkembangan mental, emosional dan intelektual yang pesat juga.

Pertumbuhan dan perkembangan pada usia balita ini akan berjalan secara optimal

dan serasi jika kondisi kesehatan balita dalam keadaan optimal pula (Depkes,

(14)

Anak adalah aset bagi orang tua dan ditangan orang tua anak dapat tumbuh

dan berkembang secara sehat baik fisik maupun mental. Secara sosiologis anak

balita sangat tergantung pada lingkungan, karena itu keterlibatan orang tua

diperlukan sebagai mekanisme untuk menurunkan dampak masalah kesehatan

pada anak dan keluarganya (Nelson, 2003). Anak adalah individu yang masih

bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan

lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan

untuk belajar mandiri, lingkungan yang dimaksud adalah orang tua (Supartini,

2004)

Dari survei awal yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2009 di Puskesmas

Martubung menunjukkan angka kejadian ISPA pada tahun 2008 di wilayah kerja

puskesmas ini terjadi sebanyak 10.735 kasus (57,90%) dan sebanyak 4849 kasus

terdiri dari balita (Laporan tahunan puskesmas Martubung, 2008)

Berdasarkan data yang di dapat dan pentingnya peran orang tua dalam

pencegahan kejadian ISPA maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan peran

orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja

(15)

2. Bagaimana kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Martubung Medan.

3. Apakah ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martubung

Medan

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Martubung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja

puskesmas Martubung Medan

2. Mengetahui kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas

Martubung Medan

3. Menguji hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung

(16)

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif

(Ha) yaitu ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Marubung Medan

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1.5.1 Praktek Keperawatan

Sebagai masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat

dalam pemberian penyuluhan dan asuhan keperawatan terhadap upaya

pencegahan ISPA.

1.5.2 Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan

khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait

dengan peran orang tua terhadap pencegahan ISPA pada balita dan sebagai

informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui pentingnya peran orang tua terhadap

upaya pencegahan ISPA.

1.5.3 Peneliti Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan

perbandingan bagi penelitian sejenis seperti hubungan karakteristik balita dan

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut

2.1.1 Defenisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran

pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah

masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang

biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ

mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,

rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung

sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari

Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran

pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah

organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti

(18)

2.1.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai

penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. ISPA bagian

atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat

disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat

sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,

Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan corynobacterium.

Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus (termasuk di dalamnya

virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus campak), Adenovirus, Coronavirus,

Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Di negara-negara berkembang umunya

kuman penyebab ISPA adalah Streptocococcus pneumonia dan Haemopylus

influenza.

2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut a. Berdasarkan lokasi anatomik

Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu:

ISPA atas (ISPaA) dan ISPA bawah (ISPbA). Contoh ISPA atas adalah batuk

pilek (Common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalesma, Sinusitis, dan lain-lain.

ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan Pneumonia yang sangat berbahaya

karena dapat mengakibatkan kematian (WHO, 2003).

(19)

Berdasarkan golongan umur, ISPA dapat diklasifikasikan atas 2 bagian,

yaitu sebagai berikut:

1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: Pneumonia berat dan

bukan Pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas

cepat, yaitu pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau

adanya tarikan dinding dada yang kuat pada dinding dada bagian

bawah ke dalam ( severe chest indrawing), sedangkan bukan

pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah

dan tidak ada nafas cepat (WHO,2003).

2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun dibagi atas:

pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia berat,

bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia

didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai

adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih.

Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan terikan dinding dada bagian

bawah dan tidak ada nafas cepat (WHO, 2003).

2.1.4 Penularan ISPA

Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalui udara. Jasad

renik yang ada di udara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan

dan menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita

(20)

karier. Jika jasad renik berasal dari tubuh manusia, maka umumnya dikeluarkan

melalui sekresi saluran pernafasan dan berupa saliva dan sputum.

Oleh karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk

ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk

golongan air bone disease.

Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni

susupensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau

hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut

yakni:

a. Droplet nuclei, yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan

dari tubuh yang berbentuk droplet dan melayang di udara.

b. Dust, yaitu campuran antara bibit penyakit yang melayang.

2.1.5 Tanda dan Gejala klinis ISPA

ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau

lebih saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran

bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan

pleura. Secara umum gejala dan tanda-tanda ISPA adalah terjadi demam, batuk,

pilek dan disertai nafas cepat ataupun tarikan dinding dada ke bagian bawah

dalam.

Menurut Hundak dan Galo (1997) yang dikutip dari Agustama (2005),

penyakit paru atau saluran nafas dengan gejala umum maupun gejala pernafasan

(21)

Pertama, batuk merupakan gejala paling umum akibat penyakit pernafasan.

Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik dan

kimia. Inhalasi debu, asap dan benda-benda asing berukuran kecil merupakan

penyebab batuk yang paling sering. Kedua sputum, orang dewasa normal

membentuk sputum sekitar 100 ml per hari dalam saluran pernafasan, sedangkan

dalam keadaan gangguan saluran pernafasan sputum dihasilkan melebihi 100 ml

per hari. Ketiga, Hemoptisis, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan

batuk darah atau sputum berdarah. Keempat, dispnea atau sesak nafas yaitu

perasaan sulit bernafas dan nyeri dada.

2.1.6 Faktor Resiko ISPA

Menurut Depkes (2004) faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas dua

kelompok yaitu:

a. Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita (balita)

yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA

yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, status ASI, dan status

imunisasi.

b. Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri

penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi

yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent)

meliputi: polusi asap rokok, polusi asap dapur, kepadatan tempat tinggal,

(22)

2.2 Kekambuhan ISPA pada Balita

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai

kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe

(2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara

berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai

negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam

satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan

balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali. Penyebab tingginya

kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan

dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain

usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi

lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat,

kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di

dalam rumah maupun di luar rumah.

2.3 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi

sosial yang diberikan atau posisi individu didalam masyarakat. Dalam setiap

posisi terdapat sejumlah peran yang masing-masing terdiri dari kesatuan perilaku

yang kurang lebih bersifat homogen dan didefenisikan menurut kultur

sebagaimana yang diharapkan dalam posisi atau status (Friedman, 1998).

Kozier (1995) mendefenisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang

(23)

sistem. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran orang tua adalah perilaku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap orang tua sesuai dengan kedudukannya dalam

keluarga.

Menurut Nye dan Gecas (1976) dalam Friedman (1998) mengidentifikasi

peran dasar yang membentuk posisi sebagai orang tua yaitu:

1. Peran sebagai provider (penyedia) yaitu peran untuk memenuhi kebutuhan

keluarga secara ekonomi dan mengembangkan kemampuan individu

meningkatkan penghasikan untuk memenihi kehidupan.

2. Peran perawatan anak yaitu peran untuk mempertahankan keadaan

kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.

Orang tua diharapkan dapat melindungi dan mencegah terhadap penyakit

yang mungkin dialami keluarga.

3. Peran sosialisasi anak yaitu peran mengembangkan dan melatih anak

untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

4. Peran pendidikan yaitu orang tua berperam dan bertanggung jawab yang

besar terhadap pendidikan anak-anaknya untuk menghadapi kebutuhan

dewasanya.

5. Peran afektif yaitu peran memenuhi kebutuhan psikososial sebelum

anggota keluarga berada di luar rumah.

Peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada balita termasuk dalam peran

orang tua dalam perawatan anak. Peran aktif orang tua dalam pencengahan ISPA

(24)

anak-anak yang kekebalan tubuhnya masih rentan terkena infeksi. Sehingga

diperlukan peran orang tua dalam menangani hal ini. Orang tua harus mengerti

tentang dampak negatif dari penyakit ISPA seperti ISPA ringan bisa menjadi

Pneumonia yang kronologisnya dapat mengakibatkan kematian, jika tidak segera

ditangani.

Menurut Dinkes (2003) pencegahan kejadian ISPA ini tidak terlepas dari

peran orang tua yang harus mengetahui cara-cara pencegahan ISPA. ISPA dapat

dicegah dengan mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan balita,

menciptakan lingkungan yang nyaman, dan menghindar faktor pencetus.

2.3.1 Mengetahui penyakit ISPA pada anak

Mengetahui masalah kesehatan anak merupakan suatu hal yang sangat

penting diketahui oleh orang tua karena dengan mengenal tanda/gejala dari suatu

gangguan kesehatan bisa memudahkan orang tua dalam melakukan pencegahan

terhadap terjadinya penyakit (Notoatmojo, 1997).

Dalam pencegahan ISPA pada balita, orang tua harus mengerti tanda dan

gejala ISPA, penyebab, serta faktor-faktor yang mempermudah balita untuk

terkena ISPA. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit ISPA

menyebabkan tingginya kejadian ISPA pada balita dan membuat orang tua tidak

mengobati anaknya ketika terkena ISPA sehingga memperburuk keadaan infeksi

yang dialami oleh anak (Rahajoe, 2008)

(25)

2.3.2 Mengatur pola makan anak

Menurut Sumirta (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi

balita adalah pola pemberian makanan. Suatu pola makan yang seimbang dan

teratur akan menyajikan semua makanan yang berasal dari setiap kelompok

makanan dengan jumlahnya sehingga zat gizi yang dikonsumsi seimbang satu

sama lain (Grodner et al, 2000).

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan

penyakit infeksi . Anak dengan status gizi yang buruk memiliki daya tahan tubuh

terhadap tekanan dan stress menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang

sehingga akan mudah terkena penyait infeksi (Almatsier, 2001). Sebaliknya

penyakit infeski pada balita akan mempengaruhi pertumbuhan balita seperti

berkurangnya berat badan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya nafsu makan

penderita infeksi sehingga masukan atau intake zat gizi dan energi kurang dari

kebutuhan tubuh. Keadaan infeksi juga dapat meningkatkan eksisi nitrogen

melalui kencing yang diakibatkan oleh mobilisasi asam amino jaringan perifer

sehingga menimbulkan berkurangnya jumlah protein didalam tubuh (Solihin,

2003). Untuk itu balita yang telah terkena infeksi memerlukan zat gizi yang tinggi

agar dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pemulihan kondisi tubuh.

Almatsier (2001) menyebutkan ada tiga fungsi zat gizi yaitu: (1) memberi

energi, (2) pertumbuhan dan pemulihan jaringan tubuh, (3) mengatur proses

tubuh. Sedangkan menurut Sediaoetomo (1987) ada lima fungsi zat gizi yaitu: (1)

sumber energi atau tenaga, (2) menyokong pertumbuhan badan, (3) memelihara

(26)

keseimbangan dalam cairan tubuh (keseimbangan air, asam basa dan mineral),

dan (5) berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap pelbagai penyakit

sebagai antioksidan dan antibodi. Jadi, fungsi zat gizi dalam penanganan

kekambuhan ISPA diperlukan untuk fungsi pemulihan jaringan tubuh dan

mekanisme pertahanan tubuh.

Anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri dengan baik dan belum

dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukan untuk makanannya.

Makanan dengan rasa manis, biasanya paling disukai misalnya cokelat, permen

dan es krim. Jenis makanan ini menimbulkan rasa kenyang dan dapat mengurangi

nafsu makan sehingga pada masa balita sering terjadi malnutrisi (Kartasurya, 1999

& Grigsbby, 2003). Orang tua khususnya ibu berperan dalam pengaturan makanan

bagi balita dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita dan mengelola makanan yang

sehat untuk balita (Santoso & Ranti, 1999; Sulistijani & Herlianty, 2001; Siregar,

2004).

Sulistijani & Herlianty (2001) pemberian makan pada anak harus

disesuaikan dengan usia anak. Pemenuhan kebutuhan gizi balita makanan harus

memenuhi syarat yaitu: makanan harus mengandung energi dan semua zat gizi

yang dibutuhkan pada tingkat umurnya seperti karbohidrat, protein, lemak,

vitamin, mineral dan air; susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu

seimbang; makanan harus bersih dan bebas dari kuman.

Kebutuhan energi bagi balita dapat diperoleh dari berbagai makanan

seperti: beras, jagung, gandum, ubi, talas, kentang, dan kacang-kacangan. Sumber

(27)

minyak kelapa, lemak sapi, mentega, dan coklat. Sumber protein dapat diperoleh

dari protein hewani (telur ayam, telur bebek, udang segar, ikan segar) dan protein

nabati (kacang kedelai, kacang merah, kacang hijau, tahu, tempe, keju. Disamping

kebutuhan akan karbohidrat, lemak dan protein kebutuhan vitamin, mineral, air

dan serat balita juga harus terpenuhi (Almatsier, 2001).

2.3.3 Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah

Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam

menentukan proses interaksi antara penjamu dan unsur penyebab dalam proses

terjadinya penyakit (Syahril,2006). Kondisi lingkungan yang kurang sehat akan

mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Salah satu penyakit yang ditimbulkan

oleh lingkungan yang kurang bersih adalah ISPA (Iswarini, 2006). Adapun faktor

lingkungan yang dimaksud adalah faktor fisik rumah seperti kepadatan hunian,

dan ventilasi.

1. Kepadatan hunian

Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi

apabila penggunaannya tidak disesuaikan dengan peruntukannya, maka dapat

terjadi gangguan kesehatan (Suhandayani, 2007). Setiap rumah harus mempunyai

bagian ruangan yang sesuai dengan fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan

jumlah ruangan perlu memperhatikan standart minimal jumlah ruangan. Sebuah

rumah tinggal harus mempunyai ruangan kamar tidur, ruangan tamu, ruangan

makan, dapur, kamar mandi, dan kakus (Syahril, 2006).

Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan

(28)

maka ukuran ruang tidur minimal 9 m3 untuk setiap orang yang berumur diatas 5

tahun. Untuk umur dibawah 5 tahun ukuran ruang tempat tidur 4,5 m3. Luas lantai

minimal 3,5 m2 untuk setiap orang dengan tinggi langit-langit tidak kurang dari

2,75 m2 (Agustama, 2005).

Untuk dapat mengurangi kepadatan hunian rumah orang tua harus dapat

memosifikasi lingkungan rumah agar tidak terlalu padat. Barang-barang yang

tidak diperlukan sebaiknya disingkarkan karena hanya akan mempersempit

ruangan. Disamping itu juga orang tua harus dapat membagi jumlah anak yang

tidur dalam satu kamar dengan balita tidak terlalu banyak karena semakin banyak

jumlah orang yang tidur dalam satu kamar akan meningkatkan jumlah bakteri

patogen sehingga mempermudah penularan bakteri atau virus penyebab ISPA

melalui droplet ataupun kontak langsung.

2. Ventilasi

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas

penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanent minimal 10% dari luas lantai.

Pertukaran hawa (ventilasi) yaitu proses penyediaan udara segar dan pertukaran

udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan peraturan

pembangunan nasional, lubang hawa suatu bangunan harus memenuhi aturan

sebagai berikut: luas bersih dari jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10

dari luas lantai ruangan, jendela/ruang hawa harus meluas kearah atas sampai

(29)

berlokasi di bawah langit-langit sekurang-kurangnya 0,35% luas lantai yang

bersangkutan.

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Yang pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

Kurang ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 didalam rumah yang berarti

kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan kelembaban udara didalam udara akan naik karena terjadinya

proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini merupakan

media yang baik untuk bakteri-bakteri dan patogen. Fungsi kedua dari ventilasi

adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri dan patogen karena

terjadi aliran udara terus-menerus. Fungsi lain adalah menjaga agar ruangan

rumah berada dalam kelembaban yang optimum.

Untuk itu orang tua diharapkan dapat menciptakan kondisi rumah yang

mempunyai ventilasi yang cukup agar kelembaban udara didalam ruangan tidak

mengganggu kesehatan balita. Salah satu hal sederhana yang dapat dilakukan oleh

orang tua adalah membuka jendela setiap pagi hari agar udara dapat bersirkulasi

dan dapat membebaskan udara dari bakteri dan patogen.

2.3.4 Menghindari faktor pencetus (Pencemaran udara)

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas

penghuninya, antara lain: penggunaan bahan bakar biomassa untuk memasak

(30)

minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok, penggunaan insektisida

semprot maupun bakar (Syahril, 2006). Namun keberadaan asap dalam ruangan

ini tidak terlepas dari keadaan ventilasi rumah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, dapur yang

sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak memiliki lubang asap

dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah dan kondisi ini akan

berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan dapat

mengiritasi saluran pernafasan. Untuk itu dianjurkan orang tua yang

menggunakan bahan bakar biomassa didalam rumah membuat cerobong asap

untuk pengekuaran asap dan ibu tidak mengendong balita ketika sedang memasak

didalam dapur.

Keberadaan anggota keluarga yang merokok juga sangat mempengaruhi

kejadian ISPA pada balita. Polusi udara oleh CO akan terjadi selama merokok.

Asap yang berterbangan tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya

sehingga dapat membahayakan orang disekitarnya. Asap rokok sangat berbahaya

bagi balita karena balita masih mempunyai daya tahan tubuh yang masih rendah.

Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberi

resiko ISPA khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu. Dewa (2001)

menunjukkan bahwa bayi dan balita yang terpapar asap rokok mempunyai resiko

7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. Oleh sebab itu, dianjurkan kepada orang

(31)

dapat mengiritasi saluran pernafasan balita disamping itu juga kandungan zat

kimia yang terdapat dalam asap rokok yang sangat berbahaya.

Paparan debu baik di dalam rumah maupun di luar rumah juga

berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Debu yang setiap harinya kita hirup

dalam konsentrasi tinggi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan

kesehatan manusia. Akibat menghirup debu yang langsung dapat dirasakan adalah

rasa sesak dan keinginan untuk bersin atau batuk dikarenakan adanya gangguan

pada saluran pernafasan. Debu termasuk dalam subtansi yang bersifat toksik dan

dapat memberikan efek iritan pada saluran pernafasan (Riyadina, 1996). Untuk

menghindari paparan debu di dalam rumah orang tua harus selalu membersihkan

rumah secara teratur dan menghindari anak terpapar dari debu di luar lingkungan

rumah (Zang, 2004).

Keberadaan anggota keluarga yang terkena ISPA juga sangat

mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Penyebaran ISPA ditularkan kepada

orang lain melalui udara pernafasan atau percikan air ludah. Pada prinsipnya

kuman ISPA yang ada diudara terhisap oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh

saluran pernafasan. Oleh sebab itu salah satu upaya pencegahan ISPA dilakukan

dengan menutup mulut pada waktu bersin untuk mennghindari penyebaran kuman

(32)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka penelitian yang dilakukan pada penelitian ini mengambarkan

hubungan peran orang tua dalam pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) dengan kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita

di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan. Peran orang tua dalam penelitian

ini menjadi variabel bebas sedangkan kekambuhan ISPA menjadi variabel terikat.

Secara skematis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema 1.1 Kerangka Konsep pengaruh peran orang tua dalam pencegahan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan

Peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada Balita

• Mengetahui penyakit ISPA • Mengatur pola makan • Menciptakan kenyamanan

lingkungan rumah

• Menghindar faktor pencetus

Kekambuhan ISPA pada balita

(33)
[image:33.595.108.516.169.755.2]

3.2 Defenisi Operasional Tabel 1.1 Defenisi Operasional No Variabel Defenisi

Operasional

Alat Ukur Skala Hasil Ukur 1. Variabel

Independen Peran orang tua

Segala usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk menghindari kekambuhan ISPA pada balita yang terdiri dari mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan, menciptakan lingkungan yang nyaman serta menghindari faktor pencetus. • Mengetahui penyakit ISPA

(34)

Variabel Dependen Kekambuhan ISPA jumlah makanan, serta frekuensi makan anak sehingga anak mempunyai gizi yang seimbang. • Menciptakan kenyamanan lingkungan rumah

(35)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan adalah deskriptif korelasi yang bertujuan

untuk mengidentifikasi hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA

dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Martubung

Medan.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Setiadi,

2007). Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak yang

menderita ISPA pada bulan Maret-Mei 2009 dan pernah berobat ke puskesmas

dengan masalah ISPA dan di dapat jumlahnya 116 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Dempsey,

2002). Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Total Sampling. Namun dalam pengumpulan data, tidak semua orang tua balita

bersedia menjadi responden. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini hanya

berjumlah 107 orang. Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria

(36)

a. Orang tua yang mempunyai anak balita yang pernah menderita ISPA dan

berobat ke puskesmas Martubung pada bulan Maret-Mei 2009

b. Bersedia menjadi responden

c. Dapat membaca dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.

4.3 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Martubung

Medan dengan alasan bahwa wilayah kerja puskesmas Martubung berada di

wilayah kawasan pabrik dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya

terkait dengan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2009.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan etik. Setelah mendapatkan

surat izin untuk melaksanakan penelitian dari dinas kesehatan kota Medan,

peneliti meminta izin kepada kepala puskesmas Martubung Medan. Setelah

mendapatkan data dan alamat-alamat pasien yang pernah menderita ISPA, peneliti

kemudian mendatangi rumah calon responden. Peneliti kemudian memberi

penjelasan kepada calon responden tentang tujuan penelitian dan prosedur

palaksanaan penelitian. Responden yang bersedia dipersilahkan menandatangani

informed consent. Responden juga diberi penjelasan bahwa penelitian ini tidak

menimbulkan resiko fisik maupun psikis. Kerahasiaan catatan mengenai data

responden dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrumen dan

(37)

4.5 Instrumen penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden peneliti menggunakan alat

pengumpul data berupa kuisioner yang disusun sendiri oleh peneliti yang terdiri

dari 2 bagian yaitu data demografi klien dan kuisioner peran orang tua. Pada

bagian pertama terdiri dari data demografi klien yang meliputi umur, pendidikan,

suku, status perkawianan, pekerjaan, riwayat anak penderita ISPA dan umur anak

saat menderita ISPA. Bagian kedua berupa kuisioner peran orang tua terhadap

upaya pencegahan kekambuhan ISPA yang berisi 27 pertanyaan, yang bertujuan

untuk mengukur sejauh mana peran orang tua terhadap upaya pencegahan ISPA

yang berulang kepada anak balita. Untuk melihat peran orang tua dalam hal

mengetahui penyakit ISPA peneliti memberi kuisioner yang terdiri dari 6

pertanyaan dengan pilihan ganda. Setiap jawaban diberi nilai. Jawaban a diberi

nilai 4, jawaban b diberi nilai 3, jawaban c diberi nilai 2 dan jawaban d diberi nilai

1. untuk melihat peran oaran tua dalam hal mengatur pola makan, menciptakan

kenyamanan lingkungan dan menghindari faktor pencetus, peneliti memberikan

kuisioner dengan pilihan jawaban yang diberikan menggunakan skala likert yaitu

tidak pernah nilai 1, kadang-kadang nilai 2, sering nilai 3 dan selalu nilai 4.

Untuk melihat peran orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja puskesmas Martubung dilakukan pengolahan data dengan statistik

deskriptif yang terdiri dari frekuensi dan persentase.

Untuk menghitung panjang kelas dalam penelitian ini, maka digunakan

(38)

Rentang 108-27 81

P = = = = 27 Banyak kelas 3 3

Rentang kelas adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah. Rentang

kelas yang diperoleh adalah 81 dan banyak kelas dalam penelitian ini adalah 3

kelas yaitu baik, cukup dan kurang. Sehingga diperoleh nilai P = 27. Dari

perhitungan ini maka peran orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita

dikategorikan baik apabila skor 81-108 diberi kode 3, dikategorikan cukup apabila

skor 54-80 diberi kode 2, dikategorikan kurang apabila skor 27-53 diberi kode 1.

4.6 Uji Validitas dan Reabilitas 4.6.1 Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen

pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan

data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk

menguji validitas pengukuran pada penelitian ini digunakan validitas isi yaitu

validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya dikonsultasikan kepada yang

berkompeten dibidang tersebut (Setiadi, 2007).

Uji validitas dilakukan oleh Bagian Keperawatan Anak Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara yaitu Ibu Nur Asnah S.Kep, Ns, M.Kep.

Oleh beliau, peneliti diarahkan untuk memperbaiki instrumen penelitian sesuai

dengan tinjauan pustaka agar dicapai nilai valid dari instrumen penelitian. Hasil

(39)

4.6.2 Uji Reliabilitas

Kuisioner peran orang tua terhadap upaya pencegahan kekambuhan ISPA

dibuat oleh peneliti sendiri, oleh karena itu penting dilakukan uji reliabilitas. Uji

Reliabilitas instrument adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui

konsistensi dari instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya

dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian ini digunakan reliabilitas

konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian

instrument hanya satu kali dengan bentuk instrument kepada satu subjek studi

(Dempsey & Dempsey, 2002).

Uji reliabilitas pada instrument hubungan peran orang tua terhadap

kekambuhan ISPA dilakukan pengumpulan data terhadap 15 orang responden

yaitu kepada orang tua yang membawa balita kepuskesmas Martubung Medan

pada bulan Juni dengan keluhan ISPA yang memenuhi kriteria sampel. Uji

reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan formula Cronbach Alpha dalam

system komputerisasi, sehingga diperoleh hasil 0,83. Menurut Polit & Hungler

(1999) menyatakan bahwa suatu instrument dikatakan reliable jika memiliki nilai

reliabilitas > 0,7. Oleh karena itu, instrumen dalam penelitian ini dikatakan

reliabel.

4.7 Pengumpulan Data

Peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan izin pelaksanaan

penelitian melalui bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan Dinas

(40)

surat izin penelitian ke Puskesmas Martubung Medan. Setelah itu peneliti

langsung mengumpulkan data kerumah masing-masing responden sesuai dengan

alamat-alamat yang diperoleh peneliti dari puskesmas Martubung Medan.

penelitian dilakukan pada pagi hari sampai dengan sore hari selama 3 minggu.

Setelah mendapatkan calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat

penelitian serta proses pengisian kuisioner. Kemudian calon responden yang

bersedia diminta untuk menandatangani surat persetujuan sebagai responden

dalam penelitian ini. Responden yang menolak tidak dipaksa untuk mengisi

kuisioner. Responden yang menolak karena ada kecurigaan kepada peneliti dan

alasan orang tua sibuk bekerja. Responden yang bersedia diminta untuk mengisi

kuisioner yang diberikan peneliti selama ± 15 menit. Responden diberi

kesempatan bertanya selama pengisian kuisioner tentang hal yang tidak

dimengerti sehubungan dengan pertanyaan yang ada dalam kuisioner. Setelah

responden mengisi seluruh kuisioner penelitian, peneliti terlebih dahulu

memeriksa kelengkapan jawaban responden sesuai dengan pertanyaan kuisioner

kemudian seluruh data dikumpulkan untuk dianalisa.

4.8 Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka penelitian melakukan analisi data

melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan identitas dan data

responden dan memastikan bahwa semua jawaban terisi. Setelah itu

menklarifikasi data dengan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan

(41)

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Statistik Univariat

Statisitik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari satu

variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit & Hungler,

1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat

digunakan untuk menganalisa variabel independen yaitu data demografi dan peran

orang tua dan variabel dependen yaitu kekambuhan ISPA pada balita di wilayah

kerja puskesmas Martubung Medan. Analisa variabel peran orang tua dan

kejadian ISPA dianalisis dengan menggunakan skala ordinal dan ditampilkan

dalam distribusi frekuensi.

2. Statistik Bivariat

Statistik bivariat adalah suatu prosedur untuk menganalisis hubungan

antara variabel. Untuk melihat hubungan antara variabel independen (peran orang

tua ) dan variabel dependen (kekambuhan ISPA), akan digunakan uji Chi Square

dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Maka hasil diinterpretasikan dengan

membandingkan nilai p dengan nilai α. Bila p < α maka keputusannya Ha gagal

(42)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian

mengenai hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

Penelitian ini dimulai pada tanggal 19 Oktober – 14 November 2009 di daerah

Martubung Medan dengan jumlah responden 107 orang.

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dibagi atas tiga bagian, yaitu data demografi

responden, kekambuhan ISPA pada balita serta peran orang tua dalam pencegahan

ISPA yang seterusnya dianalisa ada atau tidaknya hubungan peran orang tua

dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita.

5.1.1 Distribusi Karakteristik Responden

Berdasarkan usia sebagian besar responden berada dalam kelompok usia

21-30 tahun sebanyak 55 orang (51,40%), tingkat pendidikan SLTA sebanyak 60

orang (56,07%), pekerjaan IRT sebanyak 70 orang (65,42%) dan penghasilan

(43)
[image:43.595.106.516.140.465.2]

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden (n= 107)

No Karakteristik Frekuensi Persentase

1 Umur

21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 55 43 9 51,40 40,18 8,41 2 Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2 12 28 60 15 1,86 11,21 26,16 56,07 4,67 3 Pekerjaan

IRT Wiraswasta Pegawai Swasta PNS TNI 70 21 7 8 1 65,42 19,62 6,54 7,47 0,93 4 Penghasilan

< Rp900.000

Rp 900.000-Rp 1.300.000 Rp1.300.000-Rp1.800.000 > Rp 1.800.000

37 31 16 23 34,57 28,97 14,95 21,49

5.1.2 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA

Peran orang tua dalam pencegahan ISPA dibagi dalam 4 bagian yaitu

mengetahui penyakit ISPA, mengatur pola makan, menjaga kenyamanan

lingkungan serta menghindari faktor pencetus.

Berdasarkan hasil analisa data sebanyak 15 responden (14%) memiliki

pengetahuan yang kurang mengenai ISPA, sebanyak 53 responden (49,5 %)

memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ISPA, sebanyak 39 responden

(36,4%) memiliki pengetahuan yang baik mengenai ISPA.

Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang

(44)

responden (0,9%) memiliki peran yang kurang dalam mengatur pola makan anak,

sebanyak 44 responden (41,1%) rsponden memiliki peran yang cukup dalam

mengatur pola makan serta sebanyak 62 responden (57,9) memiliki peran yang

baik dalam mengatur pola makan balita

Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang

tua dalam hal menjaga kenyamanan lingkungan maka diperoleh hasil sebanyak

10 responden (9,34%) memiliki peran yang kurang dalam menjaga kenyamanan

lingkungan, sebanyak 44 responden (41,12%) memiliki peran yang cukup dalam

menjaga kenyamanan lingkungan dan sebanyak 53 responden (49,52%) memiliki

peran yang baik dalam menjaga kenyamanan lingkungan.

Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengetahui peran orang

tua dalam hal menghindari faktor pencetus maka diperoleh hasil sebanyak 2

responden (1,86%) memiliki peran yang kurang dalam menghindari faktor

pencetus, sebanyak 57 responden (53,27%) memiliki peran yang cukup dalam

menghindari faktor pencetus dan sebanyak 48 responden (44,85%) memiliki peran

yang baik dalam menghindari faktor pencetus.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap responden di wilayah kerja

puskesmas Martubung Medan maka frekuensi dan persentase peran orang tua

dalam pencegahan ISPA secara keseluruhan:

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentasi peran orang tua dalam pencegahan ISPA (n=107)

No Peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA

Frekuensi Persentase

1 Kurang 0 0

2 Cukup 71 66,35%

(45)

Berdasarkan perhitungan yang digunakan untuk mengukur peran orang tua

dalam pencegahan ISPA, maka peran orang tua dalam pencegahan ISPA pada

balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan mayoritas dikategorikan

cukup (66,35%).

5.1.3 Riwayat Kekambuhan ISPA

Tabel 5.3 memperlihatkan riwayat mengalami kekambuhan ISPA pada

balita di wilayah kerja puskesmas. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa

balita yang mengalami kekambuhan ISPA sebanyak 85 orang (79,4%) sedangkan

balita yang tidak mengalami kekambuhan ISPA sebanyak 22 orang (20.6%).

Balita yang menderita ISPA 3 kali dalam setahun terdapat 15 balita (15,88%),

balita yang menderita ISPA 4 kali dalam setahun terdapat 26 balita (24,29%),

balita yang menderita ISPA 5 kali dalam setahun terdapat 7 balita (6,54%), balita

yang menderita ISPA 6 kali dalam setahun terdapat 16 balita (14,95%), balita

yang mengalami ISPA 12 kali dalam setahun terdapat 13 balita (12,14%) dan

balita yang menderita ISPA 24 kali dalam setahun terdapat 7 balita (6,54%).

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase balita yang mengalami kekambuhan ISPA di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan (n=107)

No Pengalaman kekambuhan Frekuensi Persentase 1

2

Kambuh

Tidak Kambuh

85

22

79,4

(46)

5.1.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

Analisa hubungan peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA

dengan kekambuhan ISPA pada balita diukur dengan menggunakan uji Chi

Square. Hasil penelitian didapat p=0,038 yang berarti bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara peran orang tua dalam pencegahan kekambuhan ISPA

dengan kekambuhan ISPA pada balita.

Tabel 5.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

Peran Kekambuhan Total OR

(95%CI) P Value Kambuh Tidak kambuh

n % n % n %

Cukup Baik 61 24 71,8 28,2 10 12 45,5 54,5 71 36 66,4 33,6 3,050 1,1-7,9 0,038

Jumlah 75 100 22 100 107 100

Hasil analisis hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan

diperoleh nilai p= 0,038 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi

kekambuhan ISPA pada balita antara orang tua yang berperan baik dengan orang

tua yang berperan cukup (ada hubungan yang sifnifikan antara peran orang tua

dengan kekambuhan ISPA pada balita). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai

OR=3,050, artinya balita yang orang tuanya berperan cukup dalam pencegahan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mempunyai peluang 3,05 kali terkena

[image:46.595.109.516.365.493.2]
(47)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Peran orang tua dalam pencegahan ISPA

Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 39 responden (36,4%) memiliki

pengetahuan yang baik mengenai ISPA, sebanyak 53 responden (49,5 %)

memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ISPA dan sebanyak 15 responden

(14%) memiliki pengetahuan yang kurang mengenai ISPA. Masih adanya orang

tua yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang informasi ISPA

kemungkinan karena responden tidak mendapatkan informasi yang lengkap dari

petugas kesehatan puskesmas serta penyuluhan tentang ISPA tidak pernah

dilakukan didaerah mereka. Disamping itu, masih ada responden yang memiliki

pendidikan yang rendah yakni responden yang tidak sekolah terdapat sebanyak 2

responden (1,86%), responden yang hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat

Sekolah Dasar terdapat 12 responden (11,21%) dan responden yang

menyelesaikan pendidikan ditingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

terdapat 28 orang (26,16%) sehingga para orang tua memiliki informasi yang

kurang mengenai ISPA.

Handayani (2008) mengatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang

ISPA sangat penting karena berhubungan erat dengan perawatan balita didalam

rumah untuk mencegah kekambuhan serta mencegah komplikasi dari ISPA. Hasil

penelitian Ayu (2006) juga menyatakan bahwa pengetahuan orang tua yang baik

sangat perlu untuk mengurangi frekuensi kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan hasil penelitian peran orang tua dalam hal mengatur pola

(48)

yang baik dalam mengatur pola makan balita, sebanyak 44 responden (41,1%)

memiliki peran yang cukup dalam mengatur pola makan dan sebanyak 1

responden (0,9%) memiliki peran yang kurang dalam mengatur pola makan anak.

Peran orang tua dalam hal mengatur pola makan balita bertujuan untuk

pemenuhan nutrisi balita. Balita yang pernah terserang infeksi memiliki daya

tahan tubuh yang lemah karena protein yang tersimpan didalam tubuhnya akan

berkurang disebabkan meningkatnya eksisi nitrogen melalui kencing selama

proses infeksi. Balita yang memiliki nutrisi yang baik akan memiliki status gizi

yang baik sehingga memiliki daya tahan terhadap penyakit (Solihin, 2003;

Almatsier, 2001). Thamrin (2001) dan Arsyad (2003) mengatakan bahwa status

gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan mempengaruhi ISPA pada

balita hal ini dibukt ikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Balita

yang memiliki status gizi yang buruk sekitar 71,50% mengalami ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian, peran orang tua dalam hal menciptakan

kenyamanan lingkungan maka diperoleh hasil sebanyak 53 responden (49,52%)

memiliki peran yang baik dalam menjaga kenyamanan lingkungan rumah,

sebanyak 44 responden (41,12%) memiliki peran yang cukup dalam menjaga

kenyamanan lingkungan rumah dan sebanyak 10 responden (9,34%) memiliki

peran yang kurang dalam menjaga kenyamanan lingkungan rumah. Dalam hal

menciptakan kenyamanan lingkungan rumah masih ada responden yang tidak

pernah mengatur kepadatan kamar balita sebanyak 31 responden (28,97%), serta

masih ada orang tua yang tidak pernah membuka jendela sebanyak 9 responden

(49)

yang lancar akan menyebabkan meningkatnya kuman patogen didalam rumah.

Sirkulasi udara yang tidak lancar serta kurangnya cahaya yang masuk kedalam

rumah akan meningkatkan kelembaban rumah sehingga menjadi media yang baik

untuk pekembangan bakteri dan patogen (Notoatmojo, 1997).

Menurut Lubis (1989) pemeliharaan lingkungan rumah yang baik di dalam

maupun di luar rumah harus tetap dijaga supaya tetap sehat, karena pemeliharaan

rumah dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya. Segala fasilitas yang tersedia

apabila tidak terpelihara dengan baik dapat menjadi media bagi penyakit.

Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara memelihara kebersihan, mengatur

kepadatan rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah dan mengusahakan

sinar matahari masuk kedalam rumah di siang hari dapat menurunkan terjadinya

ISPA pada anggota keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian peran orang tua dalam hal menghindari faktor

pencetus diperoleh hasil sebanyak 48 responden (44,85%) memiliki peran yang

baik dalam menghindari faktor pencetus, sebanyak 57 responden (53,27%)

memiliki peran yang cukup dalam menghindari faktor pencetus dan sebanyak 2

responden (1,86%) memiliki peran yang kurang dalam menghindari faktor

pencetus. Namun, jika dilihat dari setiap item pertanyaan bahwa masih ada orang

tua yang merokok didekat balita ketika berada didalam rumah 73 responden

(68,22%), masih menggunakan obat nyamuk bakar setiap kali tidur sebanyak 26

responden (24,49%), orang tua (keluarga) yang tidak menutup mulut ketika bersin

dan batuk sebanyak 54 responden(50,46%) dan orang tua (keluarga) yang

(50)

Menurut Aditama (1997) asap dari satu batan rokok mengandung sekitar

4.000 jenis bahan kimia seperti nikotin, gas CO, NOX, Hydrogencianide, Amonia,

Acrolen, 4ethylcatecnol, artoresol, perylen, dan lain-lain. Asap yang berterbangan

juga mengandung bahan yang berbahaya, dan apabila asap itu dihisap oleh orang

yang berada disekitar perokok maka orang itu juga akan menghisap bahan kimia

berbahaya kedalam dirinya, walaupun ia sendiri tidak merokok. Terdapat seorang

perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga

menderita sakit, seperti gangguan pernafasan, memperburuk asma dan

memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk

mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya

perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernafasan. Gas berbahaya dalam

rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak

dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di

jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan

diparu-paru (Dachroni, 2002). Sedangkan efek penggunaan obat nyamuk bakar maupun

semprot yang bisa dirasakan langsung akibat obat anti nyamuk bakar maupun

semprot akan berbeda pada setiap anak. Tetapi umumnya anak akan merasa sesak

nafas, batuk-batuk, pusing, mual dan bahkan pingsan (Sastrawijaya, 2000) .

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah suatu penyakit saluran

pernafasan yang ditularkan melalui udara. Oleh karena itu, orang tua maupun

anggota keluarga yang lain sangat dianjurkan untuk menutup mulut ketika bersin

(51)

kuman yang terkandung didalam dahak tersebut jika mengering akan beterbangan

diudara sehingga berbahaya jika dihirup.

Berdasarkan hasil penelitian, peran orang dalam pencegahan ISPA di

wilayah kerja puskesmas Martubung medan sebanyak 71 responden (66,35%)

berperan cukup dan 36 responden (33,64%) berperan baik. Ini menunjukkan

bahwa orang tua yang berada didalam lingkungan wilayah kerja puskesmas

Martubung Medan sudah berperan dengan hampir baik dan tidak ada orang tua

yang memiliki peran yang buruk dalam mencegah penyakit ISPA. Hal ini

dimungkinkan karena orang tua sudah menyadari pentingnya peran orang tua

dalam pencegahan penyakit infeksi pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Yamin (2007) diwilayah kerja puskesmas Najung

Mekar kabupaten Bandung yang mengatakan bahwa orang tua sudah memiliki

peran yang baik (55,17%) dalam pencegahan ISPA.

5.2.2 Kekambuhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Dari hasil pengumpulan data diperoleh bahwa sebanyak 85 balita

(79,43%) mengalami kekambuhan ISPA, sedangkan 22 balita (20,56%) tidak

mengalami kekambuhan ISPA. Balita yang menderita ISPA 3 kali dalam setahun

terdapat 15 balita (15,88%), balita yang menderita ISPA 4 kali dalam setahun

terdapat 26 balita (24,29%), balita yang menderita ISPA 5 kali dalam setahun

terdapat 7 balita (6,54%), balita yang menderita ISPA 6 kali dalam setahun

(52)

terdapat 13 balita (12,14%) dan balita yang menderita ISPA 24 kali dalam setahun

terdapat 7 balita (6,54%).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) kambuh definisikan sebagai

kondisi jatuh sakit lagi yang biasanya lebih parah dari dahulu. Dalam Raharjoe

(2008) dikatakan bahwa angka kekambuhan ISPA pada balita di negara

berkembang 2-10 kali lebih tinggi dari pada di negara maju. Indonesia sebagai

negara berkembang memiliki angka kekambuhan ISPA yang cukup tinggi. Dalam

satu tahun rata-rata anak balita di perkotaan menderita ISPA 6-8 kali sedangkan

balita yang tinggal di pedesaan dapat terkena ISPA 3-5 kali.

5.2.3 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Martubung Medan.

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit

infeksi yang paling sering dialami oleh balita dan masih menempati urutan

pertama dari keseluruhan penyakit infeksi yang terjadi dimasyarakat.. Angka

kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi

kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan

dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan sampai 6-8 kali.

Oleh sebab itu diperlukan peran orang tua dalam pencegahan ISPA. Orang tua

yang memiliki peran yang baik diharapkan dapat mencegah kekambuhan ISPA.

Hasil analisis hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan

(53)

diperoleh nilai p= 0,03 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi

kekambuhan ISPA pada balita antara orang tua yang berperan baik dengan orang

tua yang berperan cukup (ada hubungan yang sifnifikan antara peran orang tua

dengan kekambuhan ISPA pada balita).

Orang tua berperan dalam upaya meningkatkan kesehatan dan mengurangi

resiko timbulnya penyakit bagi para anggota keluarga yang tujuannya adalah

melindungi keluarga dari penyakit tertentu dan mengurangi kemungkinan mereka

mendapat penyakit atau masalah kesehatan (Friedman, 1998). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa peran orang tua yang baik dalam pencegahan ISPA dapat

mencegah kekambuhan ISPA (ISPA berulang) pada balita.

Upaya pencegahan yang dilakukan oleh orang tua seperti mengetahui

penyakit ISPA, mengatur pola makan, menciptakan kenyamanan lingkungan, dan

menghindari faktor pencetus merupakan hal yang sangat mendasar untuk

mencegah kekambuhan ISPA pada balita serta relevan dengan

penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya. Ayu (2006) mengatakan

bahwa pengetahuan ibu (p=0,01) memiliki pengaruh terhadap kejadian ISPA.

Pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh orang tua akan membantu orang tua

dalam m

Gambar

Tabel 1.1 Defenisi Operasional
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden  (n= 107)
Tabel 5.4 Hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita diwilayah kerja puskesmas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan telah melakukan Penelitian, Evaluasi, Klarifikasi dan Pembuktian oleh Panitia Pengadaan Barang / Jasa menurut ketentuan yang berlaku, yang dituangkan dalam Berita Acara

Universitas Sumatera

For other rows, transform Pivot Column to leaving basic variable column... Divide Right Side value by

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Group Investigation berbantu permainan ular tangga dapat meningkatkan keterampilan guru dan hasil belajar siswa pada mata

[r]

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan augerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menuangkan apa yang dirancang didalam laporan

BPR Bank Karanganyar kepada pelaku UMKM untuk mendukung upaya pengembangan UMKM di Kabupaten Karanganyar, dan (3) untuk mengetahui berapa besar pengaruh variabel