• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS/RELIGIUSITAS DENGAN PERILAKU BERISIKO PADA REMAJA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Baskoro SR Suhadiyono 089114091

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

"I consider human affection, or compassion, to be the universal religion."

- Dalai Lama –

“A man asked Gautama Buddha, "I want happiness."

Buddha said, "First remove "I," that's Ego, then remove "want," that's Desire.

See now you are left with only "Happiness.”

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Pertama, Saya mengucapkan puji syukur kepada “Tuhan Yang Maha Oke”, karena Dia adalah sumber kebenaran hidup.

Kemudian keluarga saya, terima kasih atas unconditional love –nya. Kalian bentuk nyata dari Kasih Tuhan. I love you, Nonon B. Suhadiyono, Maria Undari,

Puraditya Bayu Suhadiyono, Bintang Suhadiyono, dan Badra Mambuka Suhadiyono.

Ketiga, calon pendamping hidup saya, Felicia Anindita Sunanto Putri.

Terima kasih atas semangat dan perhatian yang tulus menemani saya selama mengerjakan skripsi.

Keempat, untuk dosen pembimbing saya C. Siswa Widyatmoko yang selalu membantu saya dalam pengerjaan skripsi.

Terima kasih untuk seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman Psikologi: Ochy, Dita, Budi, Plenthonk, Parto, Albert, Richard, Rio Yatim, dan Anak-anak UKF Basket. Terima kasih untuk teman-teman satu bimbingan; Mbak Tia, Martha, Dita, Novi, Didi, Fiona, Vero, dan Vinda. Dukungan kalian membuat lengkap

(6)
(7)

vii

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara spiritualitas/religiusitas dengan perilaku-perilaku berisiko pada remaja. Penelitian ini melibatkan 108 orang subyek remaja yang berasal dari SMP dan SMA di beberapa daerah seperti Yogyakarta, Bali, dan Solo. Hipotesis penelitian ini adalah spiritualitas/religiusitas berkorelasi negatif dengan perilaku-perilaku berisiko (seperti konsumsi alkohol, perilaku makan, obat-obatan terlarang, kebersihan diri, kesehatan mental, aktivitas fisik, perilaku seksual, konsumsi tembakau, kekerasan dan cedera tidak disengaja, serta faktor protektif) pada remaja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala The Brief Multidimensional Measure of Religiousness/Spirituality (BMMRS), dimensi Beliefs untuk variabel spiritulaitas/religiusitas dan Global School-Based Student Health Survey (GSHS) versi Indonesia untuk variabel perilaku berisiko. Hasil penelitian ini 1) spiritualitas/religiusitas berkorelasi positif dan signifikan dengan kebersihan diri (r= .297, ρ=.002; ρ< 0,05), aktivitas fisik (r= .191, ρ=.052; ρ< 0,05), dan faktor pelindung pada remaja (r= .302, ρ=.002; ρ< 0,05) 2) spiritualitas/religiusitas berkorelasi positif dan tidak signifikan dengan perilaku makan (r= .044, ρ=.675;ρ< 0,05), konsumsi tembakau (r= .074, ρ=.497;ρ< 0,05), dan kekerasan dan cedera tidak disengaja (r= .016, ρ=.875; ρ< 0,05) 3) spiritualitas/religiusitas berkorelasi negatif dan tidak signifikan dengan kesehatan mental (r= -.003, ρ=.976; ρ< 0,05) 4) hubungan antara spiritualitas/religiusitas dengan konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang dan perilaku seksual tidak muncul karena data bersifat konstan.

(8)

viii

THE RELATION BETWEEN SPIRITUALITY / RELIGIOUSNESS WITH

RISK BEHAVIOR IN ADOLESCENT

Study in Psychology Departement of Sanata Dharma University

Baskoro SR Suhadiyono

ABSTRACT

This research is intended specifically to find out the relationship between spirituality/ religiousness and risk behaviors in adolescents. The study involved 108 adolescent subjects from junior and senior high schools in some areas, consists of Yogyakarta, Bali and Solo. The hypothesis of this study was spirituality / religiousness has negatively correlated with risk behaviors (such as alcohol consumption, dietary behavior, drug use, personal hygiene, mental health, physical activity, sexual behavior, tobacco consumption, violence and unintentional injury, and protective factors) in adolescents. Measurements used in this study are the Brief Multidimensional Measure scale of Religiousness / Spirituality (BMMRS), dimensions variable used was Beliefs spirituality / religiousness and the Global School-Based Student Health Survey (GSHS) Indonesian version for risky behavior variables. As the results, this research indicated that 1) spirituality / religiousness correlated positively and significantly

with personal hygiene (r = .297, ρ = .002; ρ <0.05), physical activity (r = .191, ρ = .052; ρ <0, 05), and protective factors in adolescence (r = .302, ρ = .002; ρ

<0.05) 2) spirituality / religiousness correlated positively and not significant with dietary behavior (r = .044, ρ = .675; ρ <0.05), tobacco consumption (r = .074, ρ

= .497; ρ <0.05), and violence and unintentional injury (r = .016, ρ = .875; ρ

<0.05). 3) spirituality / religiousness and not significant with mental health (r = -

.003, ρ = .976; ρ <0.05), 4) spirituality / religiousness with alcohol consumption,

drug use and sexual behavior did not arise because the data were constant.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat dan karunia-Mu selalu menyertaiku dalam setiap keputusan yang saya ambil.

Terima kasih yang sebesar-besarnya, saya ucapkan kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas seluruh ilmu, keramahan, dan rasa kekeluargaan yang telah diberikan kepada saya.

Terima kasih saya ucapkan untuk papa dan mama tersayang. Terima kasih menjadi orang tua yang sabar dan percaya terhadap kelebihan dan menerima kekurangan saya. Terima kasih juga sudah mengajari saya untuk memaknai kehidupan.

Terima kasih saya ucapkan kepada adik-adik dan kakak tercinta. Terima kasih sudah menjadi saudara-saudara yang ceria dan periang sehingga menambah kebahagiaan keluarga kita.

Terima kasih saya ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi. Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Siswo dan Mbak Haksi atas kebijaksanaan dan pemikiran yang kritis terhadap skripsi saya.

Terima kasih saya ucapkan kepada dosen pembimbing akademik. Terima kasih saya ucapkan kepada Bu Agnes atas kepedulian dan bantuannya terhadap para angkatan 2008.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

(13)

xiii

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

BAB II ... 8

A. Perilaku Berisiko ... 8

1. Definisi Perilaku Berisiko ... 8

2. Aspek-Aspek Perilaku Berisiko... 8

3. Perilaku Berisiko dalam Rentang Hidup Remaja ... 11

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Berisiko pada Remaja ... 11

5. Dampak Negatif dari Perilaku Berisiko... 13

B. Spiritualitas/Religiusitas ... 14

1. Definisi Spiritualitas dan Religiusitas ... 14

2. Alat Ukur Spiritualitas/Religiusitas ... 16

C. Remaja ... 20

1. Definisi Remaja ... 20

2. Teori Perkembangan Remaja... 21

3. Karakteristik Ketidakmatangan Pemikiran Remaja ... 25

D. Kaitan Antara Spiritualitas/Religiusitas dengan Perilaku Berisiko pada Remaja ... 27

(14)

xiv

BAB III ... 31

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Identitas Variabel Penelitian ... 31

C. Definisi Operasional ... 31

1. Perilaku Berisiko ... 31

2. Spiritualitas/Religiusitas ... 32

D. Subjek Penelitian ... 33

E. Prosedur Penelitian ... 34

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 35

1. Metode ... 35

2. Alat Pengumpulan Data ... 35

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data ... 37

1. Validitas Skala Beliefs dan GSHS ... 37

2. Reliabilitas Skala Beliefs dan GSHS ... 39

H. Metode Analisis Data ... 43

1. Uji Asumsi ... 43

2. Uji Hipotesis ... 43

BAB IV ... 45

A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 45

(15)

xv

C. Hasil Penelitian ... 46

1. Uji Normalitas ... 46

2. Uji Linearitas ... 55

3. Uji Hipotesis ... 56

D. Pembahasan ... 58

E. Keterbatasan Penelitian ... 60

BAB V ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran Penelitian ... 62

1. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 62

2. Saran Bagi Orang Tua dan Pendidik di Lingkungan Remaja ... 63

3. Saran Bagi Remaja ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

TABEL 1 RELIABILITY STATISTICS ... 42

TABEL 2 DESKRIPSI JENIS KELAMIN SUBYEK PENELITIAN ... 45

TABEL 3 DESKRIPSI USIA SUBYEK PENELITIAN ... 45

TABEL 4 DESKRIPSI JENJANG PENDIDIKAN SUBYEK PENELITIAN... 45

TABEL 5 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK KONSUMSI ALKOHOL ... 47

TABEL 6 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK PERILAKU MAKAN ... 49

TABEL 7 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK OBAT-OBATAN TERLARANG ... 49

TABEL 8 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK KEBERSIHAN DIRI ... 50

TABEL 9 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK KESEHATAN MENTAL ... 51

TABEL 10 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK AKTIVITAS FISIK ... 51

TABEL 11 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK PERILAKU SEKSUAL ... 52

(17)

xvii

TABEL 13 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK KEKERASAN DAN CEDERA TIDAK DISENGAJA ... 54

TABEL 14 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ASPEK FAKTOR PELINDUNG ... 54

TABEL 15 ANOVA UJI LINEARITAS ... 55

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

1.SKEMA 1 KAITAN ANTARA VARIABEL ... 29 2.GAMBAR 1 UJI OUTLIER ASPEK ALKOHOL DARI SEBARAN DATA . 47

3.GAMBAR 2 UJI OUTLIER ASPEK PERILAKU MAKAN DARI SEBARAN DATA ... 48

4.GAMBAR 3 UJI OUTLIER ASPEK KONSUMSI OBAT-OBATAN

TERLARANG DARI SEBARAN DATA ... 49

5.GAMBAR 4 UJI OUTLIER ASPEK KESEHATAN MENTAL DARI

SEBARAN DATA ... 50

6.GAMBAR 5 UJI OUTLIER ASPEK PERILAKU SEKSUAL DARI

SEBARAN DATA ... 52

7.GAMBAR 6 UJI OUTLIER ASPEK KONSUMSI TEMBAKAU DARI

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

1. INFORMED CONSENT ... 70

2. SKALA PENELITIAN ... 71

3. UJI RELIABILITAS ... 85

4. UJI ASUMSI ... 88

5. UJI DEMOGRAFIS ... 99

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku berisiko merupakan salah satu perilaku yang membahayakan kesehatan dan cenderung muncul pada masa remaja (Santrock, 2007). Pada tahun 2011 di Indonesia, siswa SMP pengguna napza berjumlah 1.345 orang. Tahun 2012 naik menjadi 1.424 orang, sedangkan pengguna baru pada Januari-Februari 2013 tercatat 262 orang. Di kalangan SMA, pada 2011 tercatat 3.187 orang sedangkan tahun berikutnya menjadi 3.410 orang. Pada tahun 2013 tercatat 519 orang pelajar SMA pengguna napza (Kompas, 2013). Selain itu, jumlah perokok di Indonesia juga sudah sangat memprihatinkan bahkan sudah merambah ke kalangan pelajar di sekolah. Di jalanan, warung-warung kecil, dan tempat nongkrong sering sekali sekumpulan pelajar SMA sedang berkumpul sambil menghisap rokok (Riau Pos, 2013).

(21)

Insiden perilaku berisiko cenderung lebih tinggi untuk populasi remaja dibandingkan tahap kehidupan lainnya (Schulenberg & Maggs; Somerville, Jones, & Casey; Steinberg, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012). Perilaku berisiko juga terkait dengan banyak konsekuensi negatif jangka pendek dan jangka panjang. Contoh, penggunaan alkohol lebih dini secara signifikan memprediksi tingkat pemakaian yang lebih tinggi baik pada masa remaja dan pada masa dewasa (Chassin, Pitts, & Prost; Wilson, Battistich, Syme, & Boyce, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor risiko yang disebutkan sebelumnya cenderung meningkat selama transisi dari remaja, kemudian muncul ke dewasa (Arnett; White, McMorris, Catalano & Fleming, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012) sehingga diperlukan faktor yang dapat melindungi remaja dari kemungkinan melakukan perilaku-perilaku berisiko.

(22)

Forman; Benson et. al.; Bridges & Moore; Masten & Reed; Regnerus, Smith, & Fritsch, dalam Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006).

Secara kognitif, remaja sedang mengalami perubahan yang signifikan, dengan mulai dapat berpikir abstrak dan memiliki potensi untuk mengembangkan salah satu ciri pemikiran operasional formal yaitu melakukan hipotesis penalaran (Steinberg, dalam Cotton, McGrady, Rosenthal, 2010). Namun, tidak semua remaja mencapai tahap ini atau menunjukkannya dalam segala situasi (Steinberg, dalam Cotton, McGrady, Rosenthal, 2010). Remaja yang telah memperoleh keterampilan kognitif dapat memikirkan dan bertindak atas hidup mereka baik di rumah maupun di sekolah dengan menggunakan pemikiran tingkat tertinggi yang mendorong pemahaman mereka terhadap dunia dan lingkungan mereka (Cotton, McGrady, Rosenthal, 2010). Perkembangan kognitif seperti ini mungkin terkait dengan bagaimana agama mempengaruhi kesehatan remaja. Remaja mungkin dapat merefleksikan pilihan dan bagaimana / nilai-nilai agamanya dapat memberikan suatu sistem kepercayaan yang berhubungan dengan kesehatan (misalnya, keterlibatan dalam perilaku berisiko kesehatan) (Steinberg, dalam Cotton, McGrady, Rosenthal, 2010).

(23)

telah mengidentifikasi remaja sebagai periode "kebangkitan spiritual" ditandai dengan pencarian makna eksistensial, memiliki kapasitas untuk meningkatkan pengalaman spiritual, dan proses menantang nilai-nilai keagamaan tradisional (Fowler; Good & Willoughby; Groeschel, dalam Kim, & Esquivel, 2011).

Secara umum, remaja yang memiliki tingkat spiritualitas dan religiusitas yang lebih tinggi, memiliki perilaku berisiko kesehatan yang rendah dan masalah kesehatan mental yang lebih sedikit dan menggunakan koping spiritual untuk mengelola penyakit fisik (Smith, Denton, Faris, Regnerus; Pendleton, Cavali, Pargament, Nasr; Miller & Gur; Cochran; Wright, Frost, Wisecarver; Pearce, Little, & Perez; Donahue, dalam Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006).

Salah satu teori yang menghubungkan antara religiusitas dan kesehatan mental adalah terror management (Greenberg et al., dalam Hackney & Sanders, 2003). Teori terror management memiliki suatu gagasan bahwa ketaatan akan membagi pandangan dunia mengenai budaya (termasuk agama) yang memberikan suatu “penyangga” sehingga melindungi individu dari

(24)

yaitu korelasi negatif antara religiusitas dan kecemasan yang berhubungan dengan kesehatan mental (Hackney & Sanders, 2003).

Studi empiris telah menunjukkan bahwa spiritualitas dan religiusitas memiliki keunikan dan keterpaduan (Zinnbauer et al., dalam Cotton, McGrady, & Rosenthal, 2010). Menurut Koenig et al. dan Hill & Pargament (dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012) menyarankan untuk menggabungkan spiritualitas dan religiusitas sehingga keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain. Menurut Koenig, McCullough & Larson (dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012), spiritualitas seringkali mengacu pada pencarian individual, terbuka, membebaskan, dan subjektif, sedangkan konsep agama bergerak menuju karakterisasi lebih sempit yang menggambarkan aspek seperti doktrin, institutional, ritual, dan otoriter dari keyakinan yang spesifik.

(25)

atau kedamaian bagimu, kebaikan dan kasih Tuhan lebih besar dari yang bisa kita bayangkan, dan lain-lain) sehingga peneliti berharap remaja mampu memahami aitem-aitem dalam alat ukur tersebut.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku berisiko cenderung meningkat selama masa remaja dan masih dibutuhkan faktor pelindung yang dapat menjaga remaja. Melalui penelitian sebelumnya ditemukan bahwa spiritualitas/religiusitas mampu melindungi remaja untuk berperilaku lebih sehat. Akan tetapi, masih dibutuhkan penelitian kembali dengan penggunaan alat ukur yang sesuai dengan tingkat kognitif remaja. Beliefs sebagai tolak ukur spiritualitas/religiusitas diharapkan mampu

dipahami oleh para remaja dan memiliki pengaruh terhadap perilaku berisiko. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti tentang hubungan antara spiritualitas/religiusitas terhadap perilaku-perilaku berisiko (seperti konsumsi alkohol, perilaku makan, obat-obatan terlarang, kebersihan diri, kesehatan mental, aktivitas fisik, perilaku seksual, konsumsi tembakau, kekerasan dan cedera tidak disengaja, serta faktor protektif) pada remaja.

B. Rumusan Masalah

(26)

tembakau, kekerasan dan cedera tidak disengaja, serta faktor protektif) pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan spiritualitas/religiusitas memiliki hubungan dengan perilaku-perilaku berisiko (seperti konsumsi alkohol, perilaku makan, obat-obatan terlarang, kebersihan diri, kesehatan mental, aktivitas fisik, perilaku seksual, konsumsi tembakau, kekerasan dan cedera tidak disengaja, serta faktor protektif) pada remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teroritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi positif, sosial dan perkembangan pada remaja.

2. Manfaat praktis

(27)

8 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Berisiko

1. Definisi Perilaku Berisiko

Perilaku berisiko adalah segala perilaku yang dianggap tidak mengindahkan kesehatan dan dapat berujung pada kematian (WHO & CDC, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007). Santrock (2007) menambahkan bahwa perilaku berisiko merupakan perilaku yang membahayakan kesehatan dan cenderung muncul pada masa remaja. Perilaku berisiko ini juga bisa berasal dari diri sendiri dan orang lain.

2. Aspek-Aspek Perilaku Berisiko

Menurut Global School-based Health Survey (GSHS) (WHO & CDC, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007), terdapat beberapa aspek perilaku berisiko pada remaja antara lain:

a) Konsumsi alkohol,

(28)

b) Perilaku yang berhubungan dengan makanan,

Perilaku yang berhubungan dengan makanan adalah suatu perilaku tidak mengonsumsi makanan seperti buah-buahan (nanas, pepaya, pisang atau semangka dll), dan sayur-sayuran (wortel, kol, bayam atau kangkung dll).

c) Konsumsi obat-obatan terlarang,

Aspek ini berhubungan dengan perilaku mengonsumsi obat-obatan terlarang seperti putaw atau sabu-sabu.

d) Kebersihan diri,

Aspek ini berkaitan dengan kebersihan seperti perilaku menyikat gigi, dan mencuci tangan (sebelum makan, sesudah buang air kecil/besar, dan penggunaan sabun cuci tangan).

e) Kesehatan mental,

Aspek ini berkaitan dengan perasaan individu (kesepian, kekhawatiran, dan kesedihan), keinginan untuk melakukan bunuh diri, dan hubungan individu terhadap teman.

f) Aktivitas fisik,

(29)

Beberapa contoh aktifitas fisik adalah lari, jalan cepat, bersepeda, menari, bermain bola, menyapu, mengepel, menyetrika, dll.

Aktivitas fisik tidak termasuk pelajaran olah raga atau senam di sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler olah raga di sekolah.

g) Perilaku seksual yang berkontribusi terhadap infeksi HIV, penyakit seksual menular lainnya, dan kehamilan yang tidak diharapkan

Aspek ini berkaitan dengan perilaku individu dalam melakukan hubungan seksual (pemakaian kondom dan berhubungan seksual terhadap dua orang atau lebih selama hidup).

h) Konsumsi tembakau

Konsumsi tembakau adalah suatu perilaku mengonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya seperti sirih atau cerutu dll.

i) Kekerasan dan cedera yang tidak disengaja.

Pada aspek kekerasan dibagi menjadi 2 bagian yaitu kekerasan fisik dan pelecehan/perlakuan tidak baik/diskriminasi.

(30)

Pelecehan/perlakuan tidak baik/diskriminasi muncul apabila seorang pelajar atau sekelompok pelajar mengatakan atau bersikap tidak menyenangkan terhadap pelajar lain. Termasuk juga apabila seorang pelajar sering diganggu dengan cara yang tidak menyenangkan, atau dikucilkan secara sengaja. Tidak termasuk apabila dua orang pelajar dengan kekuatan yang sama berdebat atau mengolok-olok dengan cara yang akrab atau ceria.

Di sisi lain, aspek cedera yang tidak disengaja berkaitan dengan cedera yang serius. Cedera bisa dianggap serius apabila cedera tersebut membuat individu tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari (seperti ke sekolah, olah raga, atau bekerja) setidaknya selama satu hari, ataupun cedera yang memerlukan perawatan dokter atau perawat.

3. Perilaku Berisiko dalam Rentang Hidup Remaja

Kesehatan remaja merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting dalam hidup manusia. Status kesehatan pada orang dewasa cenderung bermula dari gaya hidup sehat saat remaja. Perilaku sehat kaum muda adalah salah satu aspek penting untuk membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan produktif di masa mendatang (WHO & CDC, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007).

(31)

Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa faktor pelindung bagi remaja di Indonesia berfokus pada keterlibatan peran orang tua, dan keterlibatan sekolah (WHO, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007). Selain itu, lingkungan sosial yang menyediakan

hubungan yang bermakna, adanya keterlibatan ekspresi diri, dan juga kejelasan akan struktur dan batasan-batasan (WHO, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007).

(32)

b) Faktor risiko dari perilaku berisiko

Menurut Jessor (1991), terdapat 5 domain pembahasan mengenai perilaku berisiko secara umum dari segi kerangka sosial dan psikologis yaitu:

 Biologis : Riwayat keluarga mengenai minum-minuman alkohol.

 Lingkungan sosial : Anomi normatif (suatu keadaan tanpa peraturan), perbedaan ras, dan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang menyimpang.

 Penerimaan lingkungan: Model untuk berperilaku menyimpang, dan konflik antara aturan orang tua terhadap aturan teman-teman.

 Kepribadian: Kesempatan hidup yang rendah, harga diri rendah, dan kecenderungan mengambil risiko.

 Perilaku: Masalah minuman alkohol dan rendahnya kegiatan di sekolah.

5. Dampak negatif dari perilaku berisiko

(33)

dari perilaku berisiko (DiClemente, Hansen, & Ponton, 1996). Meskipun secara jelas perilaku berisiko remaja mengancam kesehatan remaja, dewasa awal dan masa yang akan datang, hal ini juga penting untuk dicatat bahwa perilaku berisiko secara kuat behubungan signifikan dengan kesejahteraan sosial dan psikologis, termasuk performasi dalam sekolah dan pekerjaan, kualitas keluarga dan hubungan sosial, dan stabilitas ekonomi (DiClemente, Hansen, & Ponton, 1996).

B. Spiritualitas/Religiusitas

1. Definisi Spiritualitas/Religiusitas

Studi empiris telah menunjukkan bahwa spiritualitas dan religiusitas memiliki keunikan dan keterpaduan (Zinnbauer et al., dalam Cotton, McGrady, & Rosenthal, 2010). Menurut Koenig et al. dan Hill & Pargament (dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012) menyarankan untuk menggabungkan spiritualitas dan religiusitas sehingga keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain.

(34)

Menurut Hill et al. (2000), spiritualitas dan religiusitas memiliki kesamaan kriteria yaitu konsep terhadap keilahian. Disitu terdapat perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilaku yang timbul dari pencarian terhadap keilahian. Oleh karena itu, spiritualitas dan religiusitas tidak dilihat sebagai hal yang berbeda melainkan overlapping (Reich, Oser, & Scarlet, 1999).

Menurut Zinnbauer et. al. (dalam Hill et. al., 2000) definisi religiusitas meliputi 2 kepercayaan personal, yaitu kepercayaan kepada Tuhan atau kekuatan tertinggi, dan kepercayaan institutional dalam menjalankan kebiasaan seperti keanggotaan gereja, kehadiran di gereja, dan komitmen terhadap sistem kepercayaan gereja atau organisasi keagamaan. Sedangkan, spiritualitas paling sering digambarkan dalam istilah pribadi atau pengalaman, seperti belief in (atau memiliki hubungan dengan) Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, konsisten dengan banyak literatur yang baru-baru ini sudah diulas (Zinnbauer et. al. dalam Hill et. al., 2000).

(35)

2. Alat Ukur Spiritualitas/Religiusitas

Menurut Cotton, McGrady, & Rosenthal (2010), terdapat 5 alat ukur yang sering digunakan untuk mengukur spiritualitas dan religiusitas, antara lain:

Brief Multidimensional Measure of Religiousness/Spirituality

(BMMRS)

BMMRS dikembangkan oleh Fetzer Institute and the National Institute on Aging working group untuk menilai domain kesehatan

yang relevan dengan religiusitas dan spiritualitas. Alat ukur tersebut digunakan dalam penelitian yang berdampak pada kesehatan (Fetzer Institute, 1999). Alat ukur ini terdiri dari 38 aitem (40 termasuk 2 aitem yang disarankan) dan menggunakan skala tipe Likert.

(36)

dimengerti seorang remaja (namun, seperti biasa, perhatian khusus harus diberikan kepada remaja yang lebih muda atau remaja yang memiliki kemampuan baca yang rendah) (Cotton, McGrady, & Rosenthal, 2010).

Spiritual Well-Being Scale (SWBS)

Alat ini dikembangkan oleh Paloutzian dan Ellison. SWBS mengukur spiritual well-being dan sudah digunakan dalam ratusan studi dengan sampel orang dewasa (Compton & Furman, 2005; Dunn & Shelton, 2007; Sherman dkk., 2005).

Secara kognitif, aitem-aitem dalam SWBS dapat dimengerti oleh remaja (contoh, Saya menemukan arti /tujuan dalam hidup saya). Namun, sekali lagi dibutuhkan pengujian formal untuk membuktikan hal ini.

Religious Coping Questionnaire (RCOPE)

RCOPE terdiri dari 105 aitem yang berbasis secara teoritis mengukur metode koping religious positif dan negatif dengan lima fungsi religious yaitu: meaning, control, comfort/spirituality, intimacy/spirituality, and life transformation (Pargament et al.2000).

(37)

Namun, dibutuhkan tingkat abstraksi yang baik seperti aitem “Mempertanyakan kekuatan Tuhan”.

Religious Orientation Scale

Alat ini dikembangkan oleh Allport dan Ross (Allport & Ross, 1967) yang memeriksa individual’s intrinsic dan extrinsic. Terdiri dari 10 aitem untuk subskala intrinsic dan 10 aitem untuk subskala ekstrinsik.

Meskipun skala ini telah digunakan dalam 4 studi remaja, menurut Gorsuch dan Venable (1983), skala ini kemungkinan tidak cocok untuk mengevaluasi orientasi religious pada anak-anak/remaja karena membutuhkan tingkat pemahaman membaca individu. Selain itu, tingkat perkembangan emosi dan kognitif juga diperlukan untuk menjawab sebagian besar pertanyaan yang masuk akal (Cotton, McGrady, & Rosenthal, 2010).

Systems of Beliefs Inventory (SBI)

Holland dkk (1998) menggembangkan Systems of Beliefs Inventory yang digunakan untuk penelitian mengenai kualitas hidup

(38)

Pengukuran ini memang membutuhkan tingkat perkembangan emosi dan kognitif, misalnya, mengajukan pertanyaan tentang perspektif eksistensial pada kehidupan dan kematian dan merenungkan hubungan seseorang dengan Higher Power (Baider dkk., 1999).

Dari beberapa skala yang telah dijabarkan diatas, hanya satu dari empat skala yang bisa didapatkan yaitu BMMRS. Kemudian, peneliti melihat aitem-aitem dan mencoba melakukan translate aitem-aitem ke Bahasa Indonesia. Namun, terdapat beberapa aitem yang dirasa sulit untuk dijawab oleh remaja seperti „„I am spiritually touched by the beauty of creation‟‟ mungkin akan sulit untuk beberapa remaja (McGrady, & Rosenthal, 2010).

Oleh karena itu, peneliti hanya memilih salah satu subskala pada BMMRS yaitu Beliefs. Hal ini juga dikarenakan beberapa skala di BMMRS cenderung mengukur spiritualitas atau religiusitas saja sehingga peneliti memilih alat ukur seperti beliefs yang dapat mengukur keduanya. Idler (Fetzer Institute, 1999) membuat suatu alat ukur yang mengukur spiritualitas/religiusitas berdasarkan dimensi kognitif yaitu Beliefs.

Beliefs dapat berhubungan dengan kesehatan dan penyembuhan. Hal

(39)

Working Group: Multidimensional Measurement of Religiousness, Spirituality for Use in Health Research, 2003).

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut WHO (dalam Sarwono, 2011), remaja adalah suatu masa saat: a) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980:9).

WHO (dalam Sarwono, 2011) membagi kurun usia remaja dalam 2 bagian, yaitu remaja awal 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20 tahun.

Hurlock (dalam Sarwono, 2011) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun).

(40)

2. Teori Perkembangan Remaja

a) Perkembangan Psikososial Remaja

Menurut Erikson (dalam Papilia, 2009), tugas utama dari masa remaja adalah menghadapi “krisis” dari identitas vs kekacauan

identitas. Pada tahap ini remaja mencoba mengembangkan pemahaman diri yang koheren dan memiliki peran yang bernilai dalam masyarakat.

Identitas yang terbentuk saat remaja menyelesaikan tiga persoalan besar: pilihan pekerjaan, pemilihan nilai-nilai untuk diterapkan dalam hidup, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan.

b) Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2007), remaja mengalami tahap operasional formal yang merupakan tahap perkembangan kognitif keempat dan terakhir. Dalam tahap ini, individu mengalami pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir lebih abstrak. Individu memiliki pemikiran yang banyak mengandung idealisme dan kemungkinan.

(41)

dugaan, mengenai bagaimana memecahkan masalah, seperti menyelesaikan perhitungan aljabar.

c) Perkembangan Moral dan Religi Remaja

Moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri untuk remaja karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri (Sarwono, 2011). Pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian matang dengan unifying philosophy of life dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran

yang selalu terjadi dalam masa transisi ini (Sarwono, 2011). Dengan kurang aktifnya orang tua dalam membimbing remaja (bahkan pada beberapa remaja sudah terjadi hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua), maka pedoman berupa moral ini makin diperlukan oleh remaja (Sarwono, 2011). Salah satu moral yang penting di Indonesia adalah agama (Sarwono, 2011). Agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya (Adams & Gullota, dalam Sarwono, 2011).

(42)

Sarwono, 2011) mengikuti perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget tersebut, makin tinggi pula tingkat penalaran seseorang.

Kohlberg (dalam Sarwono, 2011) membagi perkembangan moral dalam tiga tahap yaitu:

1) Tahap I (tingkat 1 dan 2): Tahap Pra-konvensional, 2) Tahap II (tingkat 3 dan 4): Tahap Konvensional, dan

3) Tahap III (tingkat 5 dan 6): Tahap Pasca Konvensional (Lickona dalam Sarwono 2011).

Konvensional berarti setuju pada aturan dan harapan masyarakat dan penguasa, hanya karena memang sudah demikianlah keadaannya. Tahap ini dimiliki oleh remaja dan sebagian orang dewasa dalam masyarakat (Sarwono, 2011).

Tingkat ketiga dari perkembangan moral Kohlberg (dalam Santrock, 2007) adalah ekspektasi interpersonal timbal-balik, relasi, dan konformitas interpersonal (mutual interpersonal expectations, relationships, and interpersonal conformity). Pada tingkat ini,

individu menilai kepercayaan, kepedulian, dan loyalitas terhadap orang lain sebagai dasar dari penilaian moral. Disini anak-anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral dari orang tua; mencari apa yang oleh orang tua akan dianggap sebagai “anak baik”

(43)

Tingkat keempat dari teori perkembangan moral Kohlberg (dalam Santrock, 2007) adalah moralitas sistem sosial (social system morality). Dalam tingkat ini, penilaian moral didasarkan pada

pemahaman mengenai keteraturan sosial, hukum, keadilan, dan tugas. Sebagai contoh, remaja mungkin bernalar bahwa agar komunitas dapat bekerja secara efektif, maka komunitas perlu dilindungi oleh hukum yang ditaati oleh para anggotanya (Kohlberg, dalam Santrock, 2007).

(44)

menurut Kohlberg) dan belum mampu menganalisis ideologi alternatif secara memadai. Iman remaja sering kali melibatkan sebuah relasi pribadi dengan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai sosok yang “selalu

hadir untukku”.

3. Karakteristik Ketidakmatangan Pemikiran Remaja

Menurut David Elkind (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008), pemikiran remaja masih terlihat kurang matang. Pemikiran belum matang ini memanifestasikan dirinya sendiri ke dalam, paling tidak, enam karakteristik:

1) Idealisme dan kekritisan

Para remaja memimpikan dunia yang ideal, mereka menyadari betapa jauhnya mereka dengan dunia nyata, di mana mereka memegang tanggung jawab orang dewasa, mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan (hypocrisy). Remaja lebih mengetahui bagaimana menjalankan dunia ketimbang orang dewasa dan mereka sering mengkritik orang tua mereka.

2) Argumentativitas

Para remaja senantiasa mencari kesempatan untuk mencoba atau menunjukkan kemampuan penalaran formal baru mereka. Mereka menjadi argumentatif ketika mereka menyusun fakta dan logika untuk mencari alasan, misalnya, begadang.

(45)

Remaja juga dapat menyimpan berbagai alternatif dalam pikiran mereka pada waktu yang sama, namun karena kurangnya pengalaman, mereka kekurangan strategi efektif untuk memilih.

4) Menunjukkan hypocrisy

Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara mengekspresikan sesuatu yang ideal dan membuat pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkannya, seperti menghemat energi dengan mengurangi mengendarai mobil.

5) Kesadaran diri

Remaja yang berada dalam tahap operasional formal dapat berpikir mengenai berpikir, baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan tetapi, remaja terlalu berfokus pada keadaan mental mereka sendiri, remaja sering kali menganggap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan diri mereka sendiri. Kesadaran ini disebut sebagai imaginary audience, konseptualisasi “pengamat” yang peduli terhadap

pemikiran dan perilaku remaja tersebut seperti dirinya sendiri. 6) Keistimewaaan dan kekuatan

(46)

pemikiran bahwa remaja “secara optimis bias” dalam persepsi risiko mereka atau remaja merasa bahwa mereka kebal atau tak terkalahkan (DiClemente, Hansen, & Ponton, 1996).

D. Kaitan antara Spiritualitas/Religiusitas dengan Perilaku Berisiko pada Remaja

Insiden perilaku berisiko cenderung lebih tinggi untuk populasi remaja dibandingkan tahap kehidupan lainnya (Schulenberg & Maggs; Somerville, Jones, & Casey; Steinberg, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012). Perilaku berisiko juga terkait dengan banyak konsekuensi negatif jangka pendek dan jangka panjang. Contoh, penggunaan alkohol lebih dini secara signifikan memprediksi tingkat pemakaian yang lebih tinggi baik pada masa remaja dan pada masa dewasa (Chassin, Pitts, & Prost; Wilson, Battistich, Syme, & Boyce, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012). Perilaku berisiko cenderung meningkat selama masa remaja. Hal tersebut disebabkan karena remaja memiliki pemikiran kurang matang sehingga masih dibutuhkan faktor pelindung yang dapat menjaga remaja dari perilaku berisiko.

(47)

yang berlaku di masyarakat. Namun, remaja juga memiliki egosentrisme khusus sehingga remaja cenderung untuk tidak menaati peraturan-peraturan yang ada. Egosentrisme tersebut juga mendasari perilaku berisiko yang dapat menghancurkan diri remaja sendiri.

Perilaku sehat kaum muda adalah salah satu aspek penting untuk membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan produktif di masa mendatang (WHO & CDC, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007). Spiritualitas/religiusitas juga dapat melindungi individu terhadap penyakit yang secara tidak langsung berhubungan dengan gaya hidup sehat. Kelompok agama tertentu menganjurkan diet sehat dan menyarankan agar menentang perilaku merokok (Cochran, Beeghley, dan Bock, dalam Fetzer Institute, 1999).

Secara umum, remaja yang memiliki tingkat spiritualitas dan religiusitas yang lebih tinggi, memiliki perilaku berisiko terhadap kesehatan yang rendah dan masalah kesehatan mental yang lebih sedikit dan menggunakan koping spiritual untuk mengelola penyakit fisik (Smith, Denton, Faris, Regnerus; Pendleton, Cavalli, Pargament, Nasr; Miller & Gur; Cochran; Wright, Frost, Wisecarver; Pearce, Little, & Perez; Donahue, dalam Cotton, Zebracki, Rosenthal, Tsevat, & Drotar, 2006).

(48)
(49)

E. Hipotesis

(50)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian yang berlandaskan atas filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data menggunakan statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2011). Sedangkan penelitian korelasional adalah penelitian yang bersifat untuk melihat hubungan antara variasi suatu variabel dengan variasi suatu variabel lain yang didasarkan koefisien korelasi (Sugiyono, 2011). Penelitian ini ingin melihat hubungan spiritualitas/religiusitas dengan perilaku berisiko pada remaja.

B. Identitas Variabel Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Variabel Dependen : Perilaku Berisiko

2) Variabel Independen : Spiritualitas/Religiusitas

C. Definisi Operasional

(51)

Perilaku berisiko adalah segala perilaku yang cenderung muncul pada masa dan dianggap membahayakan kesehatan sehingga dapat berujung pada kematian (WHO & CDC, dalam Indonesia Ministry of Health, 2007; Santrock, 2007). Perilaku sehat pada remaja penting karena

dapat membangun remaja menjadi lebih berkualitas dan menjadi sumber produktifitas kedepannya. Dalam penelitian ini perilaku berisiko diukur dengan Global School-Based Student Health Survey (GSHS) versi Indonesia. Semakin tinggi skor pada skala ini, maka perilaku-perilaku

berisiko (seperti konsumsi alkohol, perilaku makan, obat-obatan terlarang, kebersihan diri, kesehatan mental, aktivitas fisik, perilaku seksual, konsumsi tembakau, kekerasan dan cedera tidak disengaja, serta faktor protektif) pada remaja semakin tinggi pula.

2) Spiritualitas/Religiusitas

Spiritualitas/religiusitas adalah kepercayaan kepada Tuhan dan menjalankan kepercayaan tersebut melalui agama. Dalam penelitian ini spritualitas/religiusitas diukur dengan The Brief Multidimensional Measure of Religiousness/Spirituality (BMMRS), bagian dimensi Beliefs –

Long Form. Kepercayaan spiritual/religius memberikan sumber daya

(52)

pemahaman yang memberi rasa nyaman dan menopang orang yang percaya (believers), meskipun berada pada suatu peristiwa yang menyedihkan atau menderita. Pada skala ini semakin tinggi skor mengindikasikan bahwa spiritualitas/religiusitas remaja semakin tinggi. Apabila skornya rendah maka spiritualitas/religiusitas remaja juga rendah.

D. Subyek Penelitian

Pengambilan subyek dilakukan dengan teknik kuota sampling, yaitu peneliti dalam menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan karakteristik subyek dalam penelitian ini hingga jumlah kuota yang diinginkan (Sugiyono, 2011). Jumlah kuota yang diinginkan peneliti adalah 100 subyek. Kriteria subyek dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 13 – 17 tahun, serta mereka menyatakan kesediaannya dalam mengisi angket penelitian ini.

(53)

walaupun kognitif mereka berkembang pesat, sehingga mereka akan cenderung sulit untuk menggunakan sudut pandang lebih luas untuk menyaring perilaku yang baik untuk dilakukan karena adanya kenikmatan yang mereka miliki (Elkind, dalam papilia 2009).

Di sisi lain, menurut Piaget (dalam Santrock, 2007), masa remaja mengalami perkembangan kognitif menuju tahapan operasional formal. Pada tahapan ini ditandai remaja sudah mampu untuk berpikir abstrak dan mulai dapat melakukan penalaran. Kemampuan akan berpikir abstrak dan melakukan penalaran dapat memampukan remaja untuk juga dapat lebih merefleksikan bagaimana nilai-nilai agama dan keyakinan yang mereka anut (Piaget, dalam Santrock 2007).

E. Prosedur Penelitian

(54)

Selain itu, proses pengumpulan data juga dilakukan secara langsung dengan menyebarkan angket ke remaja-remaja. Proses pengerjaannya sendiri, responden yang telah mendapatkan angket, diminta untuk membaca mengenai informed consent atau permohonan kesediaan untuk mengisikan angket dan

memberikan tanda tangan bila responden bersedia untuk mengisikan, setelah itu responden diminta untuk mengisikan angket dengan jawaban yang sesuai dengan kesesuaian diri responden.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1) Metode

Metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini. Metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah dengan menggunakan skala. Menurut Azwar (1997), skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang disesuaikan dengan karakteristik variabel.

Peneliti memilih menggunakan skala karena dengan metode ini memungkinkan untuk peneliti memenuhi kuota subyek yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

2) Alat pengumpulan data

(55)

mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu fenomena. (Sugiyono, 2011). Di sisi lain, skala Guttman adalah skala pengukuran yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan (Sugiyono, 2011). Fenomena ini telah ditentukan oleh peneliti menjadi sebuah variabel (Sugiyono, 2011). Kemudian indikator dari penelitian ini menjadi titik tolak untuk munculnya suatu aitem-aitem instrumen yang dapat menjadi suatu pernyataan atau pertanyaan (Sugiyono, 2011). Jawaban setiap aitem instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif (Sugiyono, 2011). Aitem yang menggunakan skala Guttman hanya menggunakan dua interval yaitu “ya atau tidak” (Sugiyono, 2011).

a) Skala Brief Multidimensional Measurement of Religiousness-Sprituality – Dimensi Beliefs – Long Form.

Selain itu, skala ini terdiri atas 7 aitem favorable. Pada aitem pertama memiliki rentang 1 sampai dengan 3. Rentang skala 1 berarti sama sekali tidak, rentang skala 2 berarti cukupan, dan rentang skala 3 berarti sangat. Pada aitem kedua juga memiliki rentang angka 0 sampai dengan 2. Rentang skala 0 berarti tidak tahu, rentang skala 1 berarti tidak, dan rentang skala 2 berarti ya.

(56)

berarti tidak setuju, rentang skala 3 berarti netral, rentang skala 4 berarti setuju, dan rentang skala 5 berarti sangat setuju.

b) Skala Global School-Based Student Health Survey (GSHS)- versi Indonesia

Skala ini terdiri dari 54 aitem favorable. Skala ini terdiri dari beberapa aspek seperti: konsumsi alkohol, penggunaan obat-obat terlarang, perilaku yang berhubungan dengan makanan, kebersihan diri, kesehatan mental, aktivitas fisik, perilaku seksual (yang berkontribusi kepada infeksi HIV, penyakit seksual lainnya, dan kehamilan dini), konsumsi tembakau, kekerasan dan kecelakaan yang tidak disengaja, dan faktor protektif. Skala ini terdiri dari aitem 1 sampai dengan 5 yang merupakan pertanyaan demografis. Selain itu, skala ini memiliki 5 aitem yang berupa skala Guttman. Di sisi lain, 44 aitem lainnya merupakan skala Likert.

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data 1) Validitas Skala Beliefs dan GSHS

(57)

dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana skala Brief Multidimensional Measurement of Religiousness/Spirituality

Dimensi Beliefs – Long Form yang akan diadaptasi oleh peneliti dapat benar-benar memiliki ketepatan dan kecermatan untuk menggambarkan tingkat spiritualitas/religiusitas pada subyek. Selain itu, uji ini juga dilakukan pada skala Global School-Based Student Health Survey - Indonesia version yang diadaptasi peneliti agar benar-benar dapat

mengungkapkan tingkat perilaku berisiko pada subyek.

Validitas yang dilakukan oleh peneliti adalah validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang diestimasi melalui analisis dari professional judgement, dalam hal ini dosen pembimbing (Gregory, 2000).

Skala Beliefs dalam penelitian ini diterjemahkan akan melalui teknik back-translation oleh 2 orang dengan ketentuan, 2 orang adalah orang Indonesia yang lama tinggal di luar negeri dalam hal ini negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris seperti Australia. Dari proses penerjemahan ini akan memperoleh dua versi skala yang diterjemahkan. Professional judgement dalam hal ini akan membantu memberikan

(58)

dilakukan proses revisi terhadap terjemahan skala dengan pertimbangan dosen pembimbing.

Skala GSHS Indonesia Version dikembangkan oleh Tim GSHS Indonesia dari Menteri Kesehatan berkolaborasi dengan Menteri Pendidikan dan WHO Jakarta. Kemudian skala ini dikirim ke CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Atlanta, setelah itu skala tersebut diterjemahkan ke Bahasa (Bahasa Indonesia). Lalu, versi Bahasa diterjemahkan kembali ke Bahasa Inggris oleh penerjemah yang berbeda, dan dikirim ke CDC Atlanta untuk ditinjau. Kemudian CDC Atlanta memberi konfirmasi bahwa tidak ada gap antara versi Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Proses penyelesaian terjemahan tersebut membutuhkan waktu 2 minggu.

2) Reliabilitas Skala Beliefs dan GSHS

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2010). Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah (Azwar, 2010).

a) Reliabilitas Alat Ukur

(59)

(Nunnaly, 1981). Reliabilitas konsistensi internal menggunakan teknik yang berasal dari formula Alpha Cronbach (Nunnaly, 1981). Teknik ini dapat mengestimasi konsistensi internal dengan menghitung rata-rata dari interkorelasi di antara butir-butir pernyataan skala (Nunnaly, 1981). Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisis data SPSS 21.00 for windows.

Koefisien reliabilitas berada pada rentang 0 sampai dengan 1. Bila koefisien skala semakin mendekati 1 maka dapat dikatakan skala tersebut memiliki koefisien reliabilitas yang baik (Azwar, 2010; Gregory, 2000). Dalam hal ini skala Brief Multidimensional Measurement of Religiousness-Sprituality – Dimensi Beliefs – Long

Form memiliki konsistensi internal sebesar 0,24 (Johnstone,

McCormack, Yoon, & Smith, 2012).

(60)

perilaku berisiko (yaitu, reliabilitas test-retest, Breneret al, dalam Becker et. al., 2010). Reliabilitas test-retest dari Middle School Youth Risk Behavior Survey (MSYRBS) juga telah dinilai (Zulliget al.,

dalam Becker et. al., 2010). Koefisien Cohen kappa (menunjukkan chance-corrected agreement) dan perkiraan prevalensi pada Waktu 1

dan Waktu 2 (14 hari terpisah) dihitung sebagai ukuran reliabilitas. Estimasi prevalensi di Waktu 1 dan Waktu 2 tidak berbeda secara signifikan baik untuk tahun 1992 YRBS atau 2005 MSYRBS, dan mayoritas dari 72 item dievaluasi dalam 1999 YRBS memiliki koefisien Cohen kappa minimal 41 % yang berarti reliabilitas memiliki nilai sedang (Landis & Koch, dalam Becker et. al., 2010). b) Reliabilitas Skala Setelah Diterjemahkan.

Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan reliabilitas konsistensi internal. Reliabilitas konsistensi internal ini diestimasi dengan ukuran-ukuran konsistensi internal masing-masing skala (Nunnaly, 1981). Reliabilitas konsistensi internal menggunakan teknik yang berasal dari formula Alpha Cronbach (Nunnaly, 1981). Teknik ini dapat mengestimasi konsistensi internal dengan menghitung rata-rata dari interkorelasi di antara butir-butir pernyataan skala (Nunnaly, 1981). Teknik ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisis data SPSS 21.00 for windows.

(61)

tersebut memiliki koefisien reliabilitas yang baik (Azwar, 2010; Gregory, 2000).

Menurut Nurgana (Ruseffendi, 2005:144) terdapat kriteria interpretasi koefisien reliabilitas yaitu:

 0,80 ≤ r ≤ 1,00 tergolong dalam korelasi yang sangat tinggi

(sangat baik)

 0,60 ≤ r11 < 0,80 tergolong dalam korelasi yang tinggi (baik)

 0,40 ≤ r11 < 0,60 tergolong dalam korelasi yang sedang (cukup)

 0,20 ≤ r11 < 0,40 tergolong dalam korelasi yang rendah (kurang)

 0,00 ≤ r11 < 0,20 tergolong dalam korelasi yang sangat rendah (sangat kurang)

Berikut hasil dari reliabilitas setiap skala, setelah dilakukan try-out terhadap kedua skala:

Tabel 1

Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha (α)

Beliefs .581

GSHS .696

(62)

H. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Normalitas

Uji ini dilakukan untuk melihat apakah sampel berasal dari populasi yang memiliki sebaran yang terdistribusi normal atau tidak (Ghozali, 2009). Sampel atau data penelitian dapat dikatakan normal jika p>0,1 (Ghozali, 2009). Sebaliknya, data penelitian memiliki sebaran data tidak normal jika p<0,1 (Ghozali, 2009).

b. Linearitas

Uji ini dilakukan untuk melihat apakah antara variabel independen dan dependen memiliki hubungan yang membentuk garis lurus atau tidak (Ghozali, 2009). Itu berarti kuantitas data pada variabel dependen akan meningkat dan menurun bersama dengan variabel independen secara linear (Santoso, 2010). Data yang linear memiliki nilai p<0,05 (Ghozali, 2010).

2. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan product momen pearson correlation pada SPSS 21.0 for windows. Product momen

pearson correlation melihat keberadaan hubungan 2 variabel yang didasari

(63)
(64)

45 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 13 – 17 tahun. Subyek adalah para remaja dengan jenjang pendidikan SMP dan SMA di beberapa daerah seperti Yogyakarta, Bali, dan Solo. Subyek penelitian telah memenuhi karakteristik subyek dan kuota penelitian sebanyak 108 orang. Setelah proses penyaringan data, hanya 104 subyek yang datanya dapat digunakan dalam penelitian ini. Berikut gambaran subyek secara umum yang disajikan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 2.

Deskripsi Jenis Kelamin Subyek Penelitian Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Tidak

Teridentifikasi

Deskripsi Jenjang Pendidikan Subyek Penelitian Jenjang Pendidikan

SMP SMA

27 77

(65)

B. Pelaksanaan Penelitian

Dalam proses pengumpulan data, peneliti menyebarkan secara langsung dan juga menggunakan fasilitas internet berupa link yang berasal dari sebuah situs google docs. Proses pengumpulan data melalui internet dilakukan peneliti dengan cara menyebarkan link melalui media sosial dan juga memohon bantuan bagi teman-teman remaja yang peneliti kenal untuk membantu menginformasikan mengenai dirinya.

Sebelum proses pengambilan data, peneliti mencari tahu teman-teman peneliti tentang subyek remaja yang mereka kenal. Apabila ada yang memiliki kenalan subyek remaja, peneliti memberikan angket atau link sesuai dengan kebutuhan teman peneliti dalam pengambilan data. Peneliti juga menjelaskan tentang informed consent pada angket penelitian dan link terhadap teman peneliti. Seminggu kemudian, peneliti menanyakan kepada teman peneliti tentang angket penelitian. Total angket yang disebarkan adalah 110 dan angket yang kembali sejumlah 108.

C. Hasil Penelitian

Sebelum melakukan uji hipotesis, harus dilakukan pengujian asumsi terhadap data penelitian bahwa data tersebut telah memenuhi syarat-syarat data yang tepat yang disesuaikan dengan analisis data yang dilakukan.

1. Uji Normalitas

(66)

dikarenakan ada data yang bersifat outlier (Ghozali, 2009). Kaidah normal untuk uji normalitas ini adalah jika p > 0,10 maka sebaran normal, sedangkan jika p < 0,10 maka sebaran tidak terdistribusi normal (Santoso, 2010). Dalam hal ini, uji normalitas dilakukan dengan melihat

outlier dan uji Kolmogrov-Smirnov menggunakan SPSS 21.00 for

windows.

Gambar 1.

Uji Outlier Aspek Alkohol Dari Sebaran Data

Tabel 5

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z -

Asymp. Sig (2-Tailed) -

(67)

menghapus 25 data tersebut agar data terdistribusi normal. Kemudian setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 5 tidak bisa menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov karena datanya konstan atau tidak ada variasi.

Gambar 2.

(68)

Tabel 6.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 1,304

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,067

a. Test distribution is normal

Berdasarkan gambar 2 di atas, terdapat 9 data yang residualnya menjadi outlier sehingga data tidak terdistribusi normal, sehingga peneliti

menghapus 9 data tersebut agar data terdistribusi normal. Kemudian setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 6 menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov bahwa nilai p < 0,10 yaitu (p=0,067) sehingga data tidak

terdistribusi dengan normal.

Gambar 3.

Uji Outlier Aspek Konsumsi Obat-obat Terlarang Dari Sebaran Data

Tabel 7

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z -

(69)

Berdasarkan gambar 3 di atas, terdapat 1 data yang residualnya menjadi outlier sehingga data tidak terdistribusi normal, sehingga peneliti

menghapus 1 data tersebut agar data terdistribusi normal. Kemudian setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 7 tidak bisa menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov karena datanya konstan atau tidak ada variasi.

Uji Normalitas Aspek Kebersihan Dari Sebaran Data Tabel 8.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 0,843

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,476

Berdasarkan tabel 8, data menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov bahwa nilai p > 0,10 yaitu (p=0,843) sehingga data telah terdistribusi dengan normal.

Gambar 4.

(70)

Tabel 9.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 1,650

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,009

Berdasarkan gambar 4, terdapat 1 data yang residualnya menjadi outlier sehingga data tidak terdistribusi normal, sehingga peneliti menghapus 1 data tersebut agar data terdistribusi normal. Kemudian setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 9 menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov bahwa nilai p < 0,10 yaitu (p=0,009) sehingga data telah terdistribusi dengan normal.

Uji Normalitas Aspek Aktivitas Fisik Dari Sebaran Data Tabel 10.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 1,189

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,118

(71)

Gambar 5.

Uji Outlier Aspek Perilaku Seksual Dari Sebaran Data

Tabel 11.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z -

Asymp. Sig (2-Tailed) -

Berdasarkan gambar 5 di atas, terdapat 13 data yang residualnya menjadi outlier sehingga data tidak terdistribusi normal, sehingga peneliti

(72)

setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 11 tidak bisa menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov karena datanya konstan atau tidak ada variasi.

Gambar 6.

Uji Outlier Aspek Konsumsi Tembakau Dari Sebaran Data

Tabel 12.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 1,564

(73)

Berdasarkan gambar 6 di atas, terdapat 17 data yang residualnya menjadi outlier sehingga data tidak terdistribusi normal, sehingga peneliti

menghapus 17 data tersebut agar data terdistribusi normal. Kemudian setelah outlier tersebut dihilangkan, tabel 12 menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov bahwa nilai p < 0,10 yaitu (p=0,015) sehingga data

tidak terdistribusi dengan normal.

Uji Normalitas Aspek Kekerasan & Cedera Dari Sebaran Data Tabel 13.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 1,927

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,001

Berdasarkan tabel 13, data menunjukkan uji Kolmogrov-Smirnov bahwa nilai p < 0,10 yaitu (p=0,001) sehingga data telah terdistribusi dengan normal.

Uji Normalitas Aspek Faktor Protektif Dari Sebaran Data Tabel 14.

One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test

Unstandarized Residual

Kolmogrov-Smirnov Z 0,691

Asymp. Sig (2-Tailed) 0,726

(74)

2. Uji Linearitas

Salah satu uji asumsi yang harus terpenuhi adalah hubungan antara variabel bebas dan tergantung membentuk model yang linear atau membentuk garis lurus (Ghozali, 2009). Kaidah untuk uji ini adalah jika p < 0,05 maka hubungan antara variabel bebas dan tergantung linear (Ghozali, 2009). Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Compare Mean pada SPSS 21.00 for windows.

Tabel 15.

ANOVA Uji Linearitas Between Groups (Combined)

Linearity (Sig)

(75)

Sedangkan, 4 data lainnya tidak linear atau tidak berada pada satu garis lurus. Hal ini terlihat dari nilai p > 0,05, yaitu data antara spiritualitas/religiusitas dengan perilaku makan (p=0,681), spiritualitas/religiusitas dengan kesehatan mental (p=0,976), spiritualitas/religiusitas dengan konsumsi tembakau (p=0,502), dan spiritualitas/religiusitas dengan kekerasan dan cidera tidak disengaja (p=0,876).

3. Uji Hipotesis

Uji Hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode korelasi product moment. Koefisien korelasi berkisar antara -1,0 sampai dengan +1,0,

yang menunjukkan hubungan negatif maupun hubungan positif. Sedangkan taraf signifikansi yang digunakan ialah p < 0,05 (Ghozali, 2009). Perhitungan koefisien korelasi antara dua variabel akan dilakukan menggunakan SPSS 21.00 for Windows.

Tabel 16.

Beliefs dan Perilaku Makan 0,044 0,675

Beliefs dan Obat-obatan terlarang - -

Beliefs dan Kebersihan Diri 0,297** 0,002

Beliefs dan Kesehatan Mental -0,003 0,976

Beliefs dan Akitivitas Fisik 0,191* 0,052

Beliefs dan Konsumsi tembakau 0,074 0,497

Beliefs dan Perilaku Seksual - -

Beliefs dan Kekerasan & Cedera Tidak Disengaja

0,016 0,876

Beliefs dan Faktor Protektif 0,302** 0,002

(76)

*. Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed).

Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara spiritualitas/religiusitas dengan kebersihan diri (ρ = 0,002; ρ <0,05), spiritualitas/religiusitas dengan aktivitas fisik (ρ=0,052), dan spiritualitas/religiusitas dengan faktor protektif remaja (ρ=0,002). Dengan demikian, hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara spiritualitas/religiusitas dengan kebersihan diri, aktivitas fisik, dan faktor protektif.

(77)

D. Pembahasan

Dari penelitian ini, peneliti ingin mencari tahu hubungan antara spiritualitas/religiusitas dan dimensi pada perilaku berisiko pada remaja. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara spiritualitas/religiusitas dengan kebersihan diri, aktivitas fisik, dan faktor protektif. Hal tersebut menunjukkan apabila spiritualitas/religiusitas tinggi maka kebersihan diri, aktivitas fisik, dan faktor protektif juga tinggi.

Menurut Kohlberg (dalam Santrock, 2007), remaja mengalami tahap kedua dalam perkembangan moral. Pada tahap ini, internalisasi yang dilakukan individu bersifat menengah. Individu mengikuti standar-standar tertentu (internal), namun standar-standar itu ditetapkan oleh orang lain (eksternal), misalnya oleh orang tua atau pemerintah (Kohlberg, dalam Santrock, 2007).

Remaja masih dipengaruhi oleh standar-standar yang ditetapkan oleh orang lain (orang tua). Hal tersebut membuat remaja mengembangkan perilaku yang awalnya dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang dikontrol secara internal yaitu diri mereka sendiri. Hal tersebut juga didukung faktor protektif bagi remaja di Indonesia yang berfokus pada keterlibatan peran orang tua dan keterlibatan sekolah (WHO, dalam Indonesia Ministry of Health 2007).

Spiritualitas/religiusitas yang berasal dari orang lain juga

(78)

juga dapat berhubungan dengan internalisasi standar-standar tertentu dari orang lain, sehingga hal tersebut mempengaruhi standar kebersihan diri dan aktivitas fisik pada remaja. Oleh karena itu, remaja yang memiliki spiritualitas/religiusitas tinggi cenderung memiliki gaya hidup sehat seperti menjaga kebersihan diri dan aktif secara fisik.

Menurut penelitian sebelumnya, aturan-aturan tentang perilaku yang diterima/pantas (acceptable behavior) berhubungan dengan kebanyakan mata pelajaran S/R yang melarang atau secara kuat mengurangi perilaku minum dibawah umur dan berlebihan, penggunaan narkoba, perilaku menyimpang, dan hubungan seks sebelum menikah, dengan demikian menyatakan pesan yang kuat sehingga terinternalisasi oleh remaja (Regnerus & Uecker, dalam Yonker, Schnabelrauch, & DeHaan, 2012). Hasil penelitian juga membuktikan bahwa spiritualitas/religiusitas berhubungan negatif dengan kesehatan mental remaja. Hal ini menunjukkan bahwa apabila remaja memiliki spiritualitas/religiusitas yang tinggi maka perasaan individu (kesepian, kekhawatiran, dan kesedihan), dan keinginan untuk melakukan bunuh diri rendah.

(79)

juga memiliki personal fable yang menunjukkan bahwa mereka istimewa, mereka unik, dan mereka tidak harus menaati peraturan yang memerintah seluruh dunia (Elkind dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Bentuk egosentrisme khusus ini mendasari perilaku berisiko dan dapat menghancurkan diri sendiri sehingga proses internalisasi terhadap acceptable behavior pun berubah.

E. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak lepas dari adanya keterbatasan akan penelitian. Penelitian ini hanya menggunakan satu tahapan perkembangan yaitu pada remaja, sehingga masih diperlukan penelitian mengenai spiritualitas/religiusitas terhadap perilaku berisiko pada dewasa awal. Pada masa dewasa awal, individu masih mengalami transisi dari masa remaja ke dewasa, sehingga individu cenderung rentan terhadap perilaku berisiko.

Gambar

TABEL 15 ANOVA UJI LINEARITAS ..............................................................
Tabel 1 Reliability Statistics
Tabel 2. Deskripsi Jenis Kelamin Subyek Penelitian
Gambar 1. Uji Outlier Aspek Alkohol Dari Sebaran Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sutrisno Hadi, metode interview adalah metode untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan

The stem structure consist of epidermal (one layer), cortex (7-8 cell layers), extra xilary fiber (I-2 cell layers) and vascular bundles (amphicribral type) in three circum-ference.

yang mengikuti semua standarisasi peralatan listrik seperti cara penggambaran dan kode- kode pengaman dalam pemasangannya, maka menjadi tanggung jawab kita untuk. menggunakan

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen