• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka dan Hasil Penelitian yang Relevan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka dan Hasil Penelitian yang Relevan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Belajar dan Pembelajaran Biologi

a. Belajar Biologi

Belajar dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Usaha untuk mencapai kepandaian atau ilmu yang dimaksud yaitu usaha manusia untuk mencapai kepandaian yang belum dimiliki sebelumnya, dengan belajar manusia menjadi tahu tentang sesuatu. Baharuddin (2007) menjelaskan bahwa belajar dapat membawa perubahan bagi manusia, baik perubahan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Perubahan tersebut dapat membantu manusia dalam memecahkan suatu permasalahan dalam hidupnya, sehingga bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannnya. Slameto (2003) memaparkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan manusia untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.

Biologi merupakan bagian dari sains yang memiliki pengaruh besar terhadap IPTEK pada abad ke 21. Biologi memiliki beberapa karakteristik antara lain: 1) berasal dari keingintahuan manusia tentang dirinya, lingkungan, dan kelangsungan jenisnya; 2) studi yang mempelajari tentang alam; dan 3) memiliki kekhasan dalam berpikirnya, yaitu mengembangkan berpikir rasional dan logis. Belajar Biologi secara bermakna baru akan dialami siswa apabila siswa terlibat aktif secara intelektual, manual, dan sosial atau melalui keterampilan proses. Belajar Biologi diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Proses pembelajaran Biologi menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah. Belajar Biologi bukan hanya sekedar usaha pemahaman terhadap suatu pengetahuan melainkan usaha untuk

(2)

6

menumbuhkembangkan keterampilan berpikir, sikap ilmiah, dan penguasaan Keterampilan Proses Sains (KPS) (Rustaman, 2005).

b. Pembelajaran Biologi

Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Arikunto (2010) memaparkan bahwa pembelajaran adalah bantuan pendidikan kepada siswa agar mencapai kedewasaan di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap. Berdasarkan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran Biologi pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk menghantarkan siswa ke tujuan belajarnya. Biologi sebagai ilmu dapat diidentifikasikan melalui objek, benda alam, persoalan/gejala yang ditunjukkan oleh alam, serta proses keilmuan dalam menemukan konsep-konsep biologi. Pembelajaran Biologi memiliki ciri khusus yang bertujuan untuk mengembangkan KPS melalui kegiatan yang didesain sedemikian rupa, misalnya: dengan pemecahan masalah melalui kegiatan praktikum. Pembelajaran Biologi yang merupakan pembelajaran sains idealnya mengajak siswa untuk belajar pengetahuan secara prosedural, berupa cara perolehan informasi melalui keterampilan ilmiah, keterampilan berpikir, dan mengembangkan sikap ilmiah, sebagaimana Hakikat Sains yang mencakup aspek produk, proses, sikap, dan teknologi (Cain dan Evans, 1990).

Tujuan Pembelajaran pada Kurikulum 2013 salah satunya adalah mengedepankan proses pembelajaran melalui pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik berpotensi meningkatkan kinerja siswa selama proses pembelajaran. Pembelajaran saintifik dibangun oleh kegiatan penyelidikan yang didasarkan pada banyak fenomena dan sedikit teori. Pembelajaran saintifik merupakan salah satu proses pembelajaran yang melatih siswa dalam mengkonstruksi konsep melalui berbagai tahapan. Tahapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran terdiri atas mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data,

(3)

7

menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan. Penerapan pendekatan saintifik melibatkan berbagai KPS siswa (Daryono, 2014).

c. Teori Belajar 1) Teori Piaget

Teori perkembangan Piaget merupakan salah satu teori yang mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses yang secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas anak melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi sosial mereka. Teori Piaget menjelaskan bahwa setiap anak memiliki urutan perkembangan yang sama, dengan kecepatan yang berbeda (Trianto, 2007). Piaget menjelasakan bahwa setiap individu tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat tahap perkembangan kognitif disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Tahap Rentang Usia Karakter Perkembangan

Sensorimotor 0 sampai 2 tahun Proses pematangan motorik, mengembangkan kemampuan persepsi, sentuhan, gerakan, dan belajar mengkoordinasikan tindakannya.

Praoperasional 2 sampai 7 tahun Bersifat egosentris, perkembangan kognitif yang intuitif, operasi matematis irreversible.

Operasional Konkret 7 sampai 12 tahun Egosentris berkurang dan lebih sosiosentris dalam berkomunikasi, operasi matematis reversible, mengenali masalah dan objek konkret.

Operasional Formal 11 tahun sampai dewasa

Mampu melakukan pemikiran yang abstrak, kiasan, simbolik, dan memecahkan permasalahan.

(Sumber: Dahar, 2011)

Teori Piaget dalam model pembelajaran, memusatkan perhatian pada proses berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya, kemudian siswa dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan pengetahuan sendiri, dan dapat menerima adanya kemajuan perkembangan

(4)

8

sehingga guru perlu membentuk kelompok-kelompok kecil. Tahapan perkembangan proses pembelajaran pada anak rentang usia SMA (16 s/d 18 tahun), dalam teori ini masuk ke dalam tahap operasional formal. Siswa memasuki tahap operasional formal telah memiliki kemampuan memecahkan masalah sendiri, sehingga penerapan pembelajaran discovery learning yang berbasis penemuan di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banyudono, terutama pada materi Sistem Pertahanan Tubuh Manusia melalui sintaks orientation, hypothesis generation, dan hypothesis testing, sangatlah sesuai. Siswa merumuskan masalah melalui fenomena yang ditampilkan terkait Sistem Pertahanan Manusia, kemudian merumuskan hipotesis dan membuktikan hipotesis. Melalui serangkaian kegiatan tersebut, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berkembang sehingga siswa dapat menemukan konsep dari pengetahuan baru yaitu tentang Mekanisme Pertahanan tubuh Manusia. 2) Teori Bruner

Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Siswa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar, 2006). Diperkuat dengan pendapat Trianto (2010), dalam pembelajaran discovery learning siswa akan berproses secara konstruktif tentang suatu peristiwa. Proses konstruktif tersebut ditandai dengan siswa meyusun hipotesis dari sebuah rumusan masalah dan melakukan pengamatan terlebih dahulu kemudian menguji hipotesisnya. Peranan guru harus menciptakan situasi yang mengakibatkan siswa dapat belajar sendiri daripada pemberian informasi. Siswa dapat belajar melalui kegiatan mereka sendiri dengan memasukkan konsep-konsep yang dibantu melalui pengalaman, sehingga menemukan konsep tersebut.

Teori belajar Bruner relevan dengan model discovery learning yaitu pada prinsip mementingkan partisipasi aktif dari siswa dan mengenal dengan baik adanya kemampuan peningkatan proses belajar. Kegiatan yang dilakukan

(5)

9

siswa dalam tahapan-tahapan pembelajaran discovery learning terutama pada sintaks orientation, hypothesis generation, dan hypothesis testing dapat menciptakan lingkungan yang membuat siswa melakukan eksplorasi penemuan-penemuan baru yang belum atau sudah diketahui. Fenomena tentang Sistem Pertahanan Tubuh Manusia yang ditampilkan pada sintaks orientation memantik siswa untuk melakukan kegiatan mengamati. Siswa melakukan eksplorasi terhadap pengetahuan baru yaitu Sistem Pertahanan tubuh Manusia berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya (Sistem Koordinasi). Siswa mengamati fenomena yang disajikan dalam bentuk gambar pada Lembar Kerja Siswa (LKS) berupa dua gambar orang yang mudah tertular penyakit cacar dan yang tidak mudah tertular penyakit cacar. Kegiatan yang dirancang dalam LKS mendorong siswa untuk melakukan serangkaian proses penemuan mulai dari mengamati, merumuskan hipotesis, dan menguji hipotesis, sehingga siswa dapat menemukan konsep baru yaitu tentang Mekanisme Pertahanan tubuh Manusia. 3) Teori Dewey

John Dewey menyebutkan lima langkah yang melandasi proses berpikir siswa menuju ke arah kesimpulan yang definitif, antara lain: 1) mengenali masalah yang datang dari luar diri siswa; 2) menyelidiki, menganalisis kesulitan dan menentukan masalah yang dihadapinya; 3) menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya; 4) menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis; 5) mempraktikkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dianggap terbaik. Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. Prinsip dari teori Dewey adalah learning by doing and experiencing, yaitu siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran (pemecahan masalah) dan membiasakan siswa untuk berbuat daripada hanya mengamati (Arends, 2007).

Teori Dewey relevan dengan model discovery learning dalam sintaks orientation, hypothesis generation, dan hypothesis testing karena pada tahapan tersebut siswa memperoleh pengalaman langsung dengan melakukan pemecahan masalah melalui kegiatan mengamati fenomena penyakit cacar berkaitan dengan Sistem Pertahanan Tubuh Manusia. Kegiatan pembelajaran

(6)

10

yang dilakukan secara langsung, membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan.

4) Teori Ausubel

Ausubel dalam Dahar (2011) menyatakan bahwa belajar terbagi menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, informasi materi pembelajaran dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyampaikan informasi langsung maupun melalui belajar penemuan yang mengharuskan siswa menemukan sendiri materi pembelajaran yang diajarkan. Dimensi kedua, yaitu belajar bermakna terjadi apabila siswa dapat menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya.

Teori Ausubel relevan dengan model discovery learning dalam sintaks orientation, hypothesis generation, dan hypothesis testing yang selalu menekankan pada pengetahuan yang sudah dimiliki siswa untuk dikaitkan dengan pengetahuan baru. Materi yang didapatkan siswa berkaitan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya dapat mengakomodasi siswa untuk belajar bermakna, sehingga tidak belajar secara hafalan. Belajar bermakna dapat dilakukan siswa dengan cara terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Melalui kegiatan mengamati fenomena penyakit cacar yang ditampilkan, siswa terlibat langsung dalam menemukan pemecahan permasalahan. Siswa melakukan rangkaian kegiatan pembelajaran mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, dan menguji hipotesis secara langsung. Proses yang dialami sendiri oleh siswa menjadikan konsep yang telah ditemukan tertanam kuat, sehingga pembelajaran menjadi bermakna.

2. Model Pembelajaran Discovery Learning

1) Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning

Discovery learning merupakan model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan siswa dalam menemukan konsep. Siswa belajar seperti para ilmuwan dalam menemukan ilmu pengetahuan (Cruickshank, Jenkins, & Metcalf, 2009). Ilahi (2012) menyatakan discovery learning menekankan kegiatan aktif siswa meliputi mengumpulkan, mengorganisasi, mengolah dan

(7)

11

menganalisis data ya ng ditemukan. Siswa melakukan kegiatan penemuan yang dirancang sendiri. Guru tidak menyampaikan materi pelajaran secara langsung, tetapi memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan pemecahan masalah terkait materi yang dipelajari. Siswa berusaha sendiri untuk menemukan pemecahan sebuah masalah dan pengetahuan yang melandasi sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bermakna dan mudah diingat (Dahar, 2011).

Discovery learning lebih mengutamakan pada kerja siswa yang dirancang dan dialami sendiri dalam memperoleh pengetahuan (Cohen, 2008). Siswa mengeksplorasi, memecahkan masalah, dan mensintesis pengetahuan baru (Castronova, 2013). Kegiatan yang dilakukan siswa dalam discovery learning dapat mengembangkan KPS siswa. Siswa mengamati fenomena-fenomena yang terjadi, memberikan penilaian terhadap sebuah kondisi untuk mendapatkan pengalaman belajar. Pembelajaran inquiry pada discovery learning mendorong siswa untuk berpikir melalui partisipasi dan melakukan interaksi lebih banyak, tantangan bagi siswa adalah menemukan sesuatu bagi diri sendiri tanpa diberi jawaban oleh guru, sehingga siswa merasa diberdayakan dan bekerja. Discovery learning menganut teori konstruktivistik yang menekankan pada kegiatan siswa dalam membangun konsep sendiri. Discovery learning memiliki tujuan terkait keefektifan kegiatan belajar siswa melalui penemuan. Ketercapaian tujuan dalam pembelajaran dipengaruhi oleh keterlaksanaan sintaks discovery yang dialami oleh siswa (Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2009).

2) Karakteristik Pembelajaran Discovery Learning

Discovery learning merupakan pembelajaran menggunakan pendekatan scientific yang berpotensi meningkatkan kinerja siswa selama proses pembelajaran (Akanmu & Fajemidagba, 2013). Karakteristik discovery learning menurut Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2009) adalah sebagai berikut : 1) guru mengatur proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan pengetahuan; 2) guru mengapresiasi kegiatan eksplorasi dan kemandirian belajar siswa; 3) siswa terlibat dalam pengalaman-pengalaman belajar dalam menemukan

(8)

12

pengetahuan; 4) terjadi partisipasi dan interaksi antar siswa yang tinggi. Karakteristik discovery learning dapat dituangkan ke dalam proses pembelajaran. Proses penerapan discovery learning mencakup tiga hal pokok yaitu : 1) Guru menentukan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran yang berupa konsep, fakta, teori. Guru mengumpulkan referensi sumber belajar dan bahan-bahan yang dapat digunakan oleh siswa. Guru merencanakan skenario pembelajaran dimana siswa melakukan kegiatan penemuan dengan metode ilmiah (scientific methods); 2) Guru memancing rasa ingin tahu siswa dengan bertanya tentang sebuah situasi dan fenomena baik yang bersifat nyata maupun kemungkinan. Pertanyaan mengarahkan siswa untuk menemukan jawaban. Pertanyaan dapat berupa konsep, fakta, dan sebuah kesimpulan. Guru membimbing siswa dalam menentukan langkah-langkah pemecahan masalah/pertanyaan secara tepat. Guru melakukan kegiatan monitoring ketika siswa melakukan pengamatan, mengkoleksi dan mengolah data; 3) Guru membimbing siswa merumuskan kesimpulan dari hasil/data yang telah dikumpulkan dari pengamatan dan percobaan. Guru memberikan tugas/soal untuk mengetes kemampuan siswa tentang pengetahuan yang telah ditemukan.

3) Sintaks Pembelajaran Discovery Learning

Discovery learning dapat diterapkan melalui beberapa langkah. Langkah-langkah pembelajaran discovery learning disajikan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Sintaks Discovery Learning

No. Sintaks Kegiatan Belajar

1. Orientation Siswa mengeksplorasi dan membangun pengetahuan awal tentang konsep materi. Siswa melakukan kegiatan seperti mempelajari materi sebelumnya yang berkaitan, mengidentifikasi variabel-variabel, merumuskan masalah berdasarkan topik materi yang dipilih.

2. Hypothesis

generation Siswa merumuskan hipotesis berupa keterkaitan antar variabel yang dipilih. Siswa melakukan kajian literatur dan berpikir secara deduktif dalam menyusun hipotesis.

3. Hypothesis

testing Siswa menguji hipotesis dengan pengamatan terhadap objekyang diteliti dan melakukan eksperimen. Selanjutnya menginterpretasikan data yang diperoleh.

(9)

13

Lanjutan Tabel 2.3 Sintaks Discovery Learning

No. Sintaks Kegiatan Belajar

4. Conclusion Siswa menyimpulkan proses pengujian hipotesis.

5. Regulation Kegiatan mengevaluasi proses dan kegiatan penemuan yang telah dilakukan.

(Sumber : Veermans, 2003)

Pembelajaran discovery diawali dari siswa menggunakan pengetahuan awal dan pengalaman yang pernah dialami untuk menemukan fakta dan keterkaitan dengan teori (Jiang & Perkins, 2013). Guru membimbing siswa untuk membangun konsep berdasarkan fakta-fakta dan fenomena di lapangan (Kyriasis, Psycharis, & Korres, 2009).

4) Kelebihan dan Kekurangan Discovery Learning

Kelebihan discovery learning dalam proses pembelajaran sebagaimana penelitian yang telah dilakukan Balim (2009) tentang dampak penerapan discovery learning pada tahun 2006-2007 di Turki, menunjukkan bahwa penerapan discovery learning berpengaruh positif terhadap kemampuan menemukan konsep, prestasi akademik, interpretasi masalah, dan daya ingat siswa terhadap pengetahuan yang telah ditemukan sendiri. Discovery learning mampu mengakomodasi siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau berpikir kritis melalui proses mengkonstruksi pengetahuan yang dipelajari (Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2009). Discovery learning dipandang sebagai cara belajar yang menjanjikan karena beberapa alasan, yang utama adalah bahwa keterlibatan aktif siswa dengan domain kognitif, psikomotorik, dan afektif, sehingga menghasilkan pengetahuan dasar yang lebih terstruktur dalam diri siswa (Van Joolingen, 1999). Discovery learning menurut Zhang, Chen, and Reid (2000) dianggap sebagai proses penalaran ilmiah yang melibatkan kegiatan menyusun hipotesis dan menguji hipotesis melalui bukti yang dikumpulkan.

Kekurangan discovery learning diungkapkan oleh Cruickshank, Jenkins and Metcalf (2009) yaitu siswa membutuhkan waktu yang banyak untuk

(10)

14

menemukan pengetahuan yang kompleks, selain itu discovery learning kurang mengakomodasi materi yang terlalu luas.

3. Keterampilan Proses Sains a. Pengertian KPS

Dahar (2011) mendefinisikan KPS sebagai kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan, dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sebagai acuan yang digunakan siswa dalam menerapkan metode ilmiah untuk mengembangkan sains serta diharapkan dapat memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. KPS menurut Rustaman (2005) meliputi keterampilan-keterampilan: mengobservasi, menggunakan alat, mengklasifikasi, menginterpretasi, mengkomunikasikan, memprediksi, berhipotesis, dan merencanakan penyelidikan.

b. Karakteristik KPS

Di dalam melatihkan KPS melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif, manual, dan sosial. Keterampilan kognitif menjadi bagian dari keterampilan proses, karena dengan melakukan keterampilan proses siswa melibatkan pikiran atau aspek kognitif. Keterampilan manual menjadi bagian dari keterampilan proses karena melibatkan penggunaan alat dan bahan, pengukuran, penyusunan atau perakitan alat. Keterampilan sosial dimaksudkan bahwa siswa berinteraksi dengan sesama dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan keterampilan proses, misalnya mendiskusikan hasil pengamatan (Rustaman, et al., 2005).

Kartikasari (2011) menyatakan bahwa terdapat empat alasan penerapan pendekatan KPS dalam proses pembelajaran, yaitu: 1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung semakin cepat sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep dan fakta pada siswa; 2) ada kecenderungan bahwa siswa lebih memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh yang konkret; 3) penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berifat mutlak tetapi bersifat relatif; 4) pengembangan konsep tidak terlepas dari pengembangan

(11)

15

sikap dan nilai dalam diri anak didik selama proses belajar mengajar. Diperkuat Indarwati (1999) yang mengemukakan bahwa KPS perlu dilatihkan dan dikembangkan dalam proses pembelajaran karena KPS mampu membantu siswa belajar mengembangkan pemikirannya.

c. Klasifikasi dan Indikator KPS

Dimyati dan Mudjiono (2010) mengemukakan bahwa berbagai keterampilan proses dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu keterampilan proses dasar (basic skill) dan keterampilan terintegrasi (integrated skill). Keterampilan proses dasar meliputi mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Keterampilan dasar dalam keterampilan keterampilan proses menjadi landasan untuk keterampilan proses terintegrasi. Keterampilan terintegrasi merupakan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melakukan penelitian. Keterampilan proses terintegrasi terdiri dari mengidentifikasi dan mengontrol variabel, memformulasikan dan menguji hipotesis, membuat definisi operasional atau mendefinisikan pelaksanaan secara detail, melaksanakan eksperimen, dan mengintrepretasikan data. Nur (2011) menambahkan bahwa keterampilan mengkomunikasikan merupakan keterampilan dalam menyampaikan hasil keterampilan proses lain baik secara lisan maupun tulisan berbentuk rangkuman, grafik, tabel, gambar, poster dan lain-lain. Klasifikasi aspek KPS yang diterapkan antara lain:

1) Keterampilan Mengamati

Keterampilan mengamati yaitu keterampilan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari objek dan fenomena alam dengan menggunakan satu atau lebih indera yang dimiliki. Informasi yang diperoleh dari keterampilan mengamati dapat menuntut keingintahuan, mempertanyakan, memikirkan, melakukan interpretasi tentang lingkungan dan meneliti lebih lanjut. Kemampuan mengamati merupakan keterampilan paling dasar dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan untuk mengembangkan keterampilan proses yang lain (Dimyati dan Mudjiono, 1999). Keterampilan mengamati dapat berupa pengamatan kualitatif maupun kuantitatif. Pengamatan kualitatif berupa

(12)

16

deskripsi tanpa menggunakan angka, misalnya pengamatan terhadap warna, tekstur, rasa, atau suara. Pengamatan kuantitatif terdapat unsur angka. Pengamatan kuantitatif menggunakan panca indera dan menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat (Nur, 2011).

2) Keterampilan Menyusun Hipotesis

Keterampilan menyusun hipotesis yaitu keterampilan memberikan penjelasan yang konsisten sesuai dengan hasil pengamatan. Keterampilan berhipotesis dititikberatkan pada perkiraan atas penyebab sebuah fenomena. Keterampilan berhipotesis melibatkan proses penjelasan sesuatu yang relevan dengan ide dari penelitian-penelitian yang sudah ada (Rustaman, 2005)

3) Keterampilan Memprediksi

Keterampilan memprediksi meliputi keterampilan mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan suatu pola yang sudah ada. Keterampilan memprediksi didefinisikan sebagai menyusun ramalan atau perkiraan tentang hal atau kejadian yang terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan hubungan antara fakta, konsep dan prinsip dalam ilmu pengetahuan. Salah satu cara untuk melakukan prediksi adalah dengan cara mencari atau menemukan pola berdasarkan bukti yang ada atau pengalaman masa lalu (Nur, 2011). Keterampilan memprediksi menjadi salah satu dasar dan bekal yang dilakukan siswa. Prediksi didasarkan pada observasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan dari hubungan variabel-variabel yang diamati. Prediksi yang tidak didasarkan dari observasi awal, hanya dikatakan sebagai dugaan. Observasi dan pengukuran diperlukan untuk mendapatkan prediksi yang akurat (Dimyati dan Mudjiono, 1999).

4) Keterampilan Interpretasi

Keterampilan interpretasi atau menafsirkan data pengamatan diartikan sebagai keterampilan menghubung-hubungkan hasil pengamatan dengan keadaan lingkungan sekitar yang saling mempengaruhi. Kegiatan yang dapat digolongkan dalam keterampilan interpretasi adalah mendiskusikan data atau informasi yang telah diperoleh, membandingkan penemuan dengan prediksi

(13)

17

yang telah dibuat. Contoh dari kegiatan interpretasi adalah menghubungkan hasil pengamatan tentang bentuk alat gerak dengan habitatnya (Rustaman, 2005). 5) Keterampilan Mengajukan Pertanyaan

Keterampilan mengajukan pertanyaan mencakup keterampilan bertanya meminta penjelasan menggunakan kata tanya apa, mengapa, dan bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan mengarah pada jawaban yang berupa penjelasan proses dan pembahasan suatu peristiwa. Contoh dari kegiatan keterampilan mengajukan pertanyaan diantaranya mengajukan pertanyaan mengenai latar belakang suatu hipotesis. Pertanyaan meminta penjelasan latar belakang suatu hipotesis menunjukkan bahwa siswa yang mengajukan pertanyaan telah memiliki gagasan atau perkiraan untuk menguji atau koreksi. Keterampilan bertanya tidak hanya sekedar mengajukan pertanyaan tetapi juga melibatkan aspek kognitif atau berpikir (Rustaman, 2005).

6) Keterampilan Mengkomunikasikan

Keterampilan mengkomunikasikan merupakan keterampilan untuk menyampaikan fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual atau suara visual (Dimyati dan Mudjiono, 1999). Nur (2011) menyatakan bahwa komunikasi dapat disampaikan secara lisan, maupun secara tertulis. Keterampilan menkomunikasikan berguna pada saat ilmuwan dituntut untuk menguraikan secara jelas dan cermat tentang kegiatan yang dilakukan sehingga dapat diuji oleh ilmuwan lain. Keterempilan mengkomunikasikan secara tulisan dapat diamati melalui kegiatan siswa dalam melaporkan hasil percobaan secara sistematis, mendiskusikan, dan menggambarkan hasil pengamatan baik dalam bentuk tabel, grafik, maupun diagram. Menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel, atau diagram juga termasuk keterampilan mengkomunikasikan. Dimyati dan Mudjiono (1999) memberikan contoh kegiatan keterampilan mengkomunikasikan secara lisan yaitu kegiatan mendiskusikan suatu masalah, membaca peta, dan mempresentasikan hasil diskusi.

(14)

18

B. Kerangka Berpikir

Hakikat pembelajaran biologi merupakan pembelajaran sains yang mencakup tiga aspek pokok penilaian yaitu aspek proses, aspek produk, dan aspek sikap. Pembelajaran sains yang baik adalah pembelajaran yang mampu melibatkan keterampilan proses dalam proses belajar mengajar. Siswa dalam proses pembelajaran berperan sebagai subjek dan objek sedangkan guru berperan sebagai motivator. Siswa dituntut untuk terlibat dalam proses menemukan materi yang dipelajari kemudian menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga siswa dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran Biologi di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banyudono menunjukkan bahwa KPS siswa belum optimal. KPS siswa yang rendah diketahui dari hasil observasi, siswa tidak terlibat dalam proses pembelajaran. Keberhasilan dalam proses pembelajaran tidak hanya dilihat dari aspek kognitif tetapi juga aspek psikomotor dan afektif. Aspek KPS lebih ditekankan karena pembelajaran yang telah berjalan selalu mengutamakan aspek produk dan mengesampingkan keterampilan proses. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah model pembelajaran yang diterapkan guru. Penggunaan model pembelajaran yang kurang bervariasi dan kurang melibatkan siswa menyebabkan siswa menjadi pasif dan kurang tertarik terhadap materi yang diajarkan. Proses pembelajaran yang mengacu pada produk menyebabkan materi yang disampaikan oleh guru tidak bermakna pada diri siswa. Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di kelas XI IPA 1 SMA N 1 Banyudono adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang mampu melatihkan KPS siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasi KPS siswa adalah model pembelajaran discovery learning. Discovery learning dapat meningkatkan KPS siswa dari berbagai aspek. Discovery learning menekankan pada kerja siswa secara mandiri dalam menemukan konsep yang dipelajari. Penerapan discovery learning berdasarkan teori konstruktivistik diyakini mampu meningkatkan kualitas siswa dalam proses belajar. Penerapan discovery learning menuntut siswa belajar sendiri dalam menemukan konsep. Siswa menggunakan KPS seperti mengamati,

(15)

19

berhipotesis, memprediksi, interpretasi, mengajukan pertanyaan, mengkomunikasikan dan menyimpulkan.

Berdasarkan uraian di atas, dilakukan kolaborasi bersama guru Biologi siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banyudono untuk meningkatkan KPS siswa. Kolaborasi diwujudkan dalam proses pembelajaran Biologi melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning. Alur kerangka berpikir dalam melaksanakan kegiatan penelitian secara sederhana disajikan pada Gambar 2.1

(16)

20

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Sintaks Discovery Learning

Orientation

Hypothesis generation Hypothesis testing Conclusion

Regulation

Discovery learning: cara belajar yang efektif karena ada keterlibatan aktif siswa pada aspek kognitif,

psikomotorik, dan afektif, shg menghasilkan

pengetahuan yg terstruktur (Van Joolingen, 1999).

Fakta  Siswa cenderung pasif  KPS siswa rendah (Mengamati 57,95%; Mengajukan pertanyaan 51,72%; Berhipotesis 41,38%; Memprediksi 51,72%; Interpretasi 51,72%; Mengkomunikasikan 51,72%)  Pembelajaran belum mengakomodasi KPS Ideal

 Tuntutan kurikulum 2013, siswa dituntut aktif dalam pembelajaran, melalui pendekatan saintifik  Tuntutan abad 21, siswa dituntut

memiliki soft skills dan hard skill  Tuntutan kurikulum 2013, model

pembelajaran yang digunakan yang dapat mengakomodasi KPS.

SOLUSI

Diperlukan Model pembelajaran yang mangakomodasi KPS

Didukung dengan Teori Belajar yang relevan:

 Piaget (Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran: hypothesis testing)  Bruner (Pembelajaran

berbasis penemuan, siswa melakukan eksplorasi penemuan-penemuan baru: orientation, hypothesis generation, hypothesis testing)

 Dewey (Siswa memperoleh pengalaman dengan mencoba langsung: orientation, hypothesis generation, hypothesis testing KPS Siswa meningkat 20%

(Mengamati, Mengajukan pertanyaan, Berhipotesis, Memprediksi, Interpretasi, Mengkomunikasikan)

Akar permasalahan, yaitu:

1) Model pembelajaran yang belum efektif 2) Proses pembelajaran kurang mendorong siswa

untuk mengembangkan KPS

Penerapan Model Discovery Learning

(17)

21

C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dihubungkan dengan permasalahan yang ada pada proses pembelajaran biologi, dirumuskan hipotesis tindakan yaitu penerapan model discovery learning dapat meningkatkan KPS siswa di kelas XI IPA1 SMA Negeri I Banyudono.

Gambar

Tabel 2.1 Tahap-tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Sintaks Discovery Learning

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini adalah penelitian kuasi yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran siklus belajar hipotetikal deduktif terhadap keterampilan berpikir kritis

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung

Langkah-langkah dalam pengecekkan televisi yang rusak adalah sebagai berikut , Pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa bagian catu dayanya, apakah sudah ada tegangan yang

pembelajaran probing promting sendiri akan diberikan kepada kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol akan menggunakan model pembelajaran scramble. Dari jumlah

1. Paradigma penelitian Kuantitatif adalah positivism, bahwa dunia kehidupan social dapat diteliti berdasarkan prinsip-prinsip hukum sebab akibat seperti

Bakteri asam laktat termasuk di dalamnya bakteri homofermentatif yang memproduksi sebagian besar utamanya adalah asam laktat, dan heterofermentatif yang selain memproduksi