• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN YURIDIS SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN YURIDIS SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Serta untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Pegawai Negeri Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.).

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. pendekatan penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah melalui studi kepustakaaan. Analisis bahan hukum menggunakan metode deduktif.

Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh masyarakat umum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pegawai negeri sipil yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika juga mendapatkan sanksi administratif yang sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.Pertimbangan hakim dalam menjatuhakan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.) Pertama, unsur setiap orang. Kedua, unsur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Unsur ketiga dalam pertimbangan hakim yaitu melakukan percobaan atau pemufakatan jahat. Sesuai keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti serta adanya pertimbangan-pertimbangan yuridis, hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan telah sesuai.

Kata Kunci : Pegawai Negeri Sipil, Penyalahgunaan Narkotika, Sanksi Pidana

Abstract

This study aimed to understand legal instruments dealing with crime of substance abuse committed by civil servant as well as to investigate the judges’ consideration in imposing criminal sanction against crime of substance abuse committed by civil servant (Case study on Supreme Court Decision No. 155/ Pid.Sus/2014/PN.Jbi.).

This study is a normative or prescriptive legal study with statutory and case approach. The legal resources are primary and secondary legal materials. The collection of legal resources was using library research. Then, legal materials were analyzed using deductive method.

Legal instrument that stipulate the crime of substance abuse committed by civil servant is no different than an abuse committed by citizen, in accordance with Law No. 35/2009 on Narcotics. Civil servant who commits crime of substance abuse also receives administrative sanction in accordance with Law on State Civil Apparatus. The judges’ consideration in imposing criminal sanctions against crime of substance abuse by civil servant (Case study on Supreme Court Decision No. 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.) Firstly, “person” element. Secondly, “without authority or unlawfully possess, store, control, or provide Category 1 Narcotic in the form instead of plantation” element. Thirdly, “commit experiment or conspiracy” element. According to witnesses’ testament, defendant’s testament, evidence and certain juridical considerations, both incriminating and relieving legal facts complied with all the laws.

Keywords : Civil servant, Substance abuse, Criminal sanction Devan Filia Pratama

Mahasiswa Progam Studi S1 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

(2)

A. Pendahuluan

Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia seutuhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib, dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Untuk hal tersebut perlu untuk meningkatkan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, selain itu narkotika juga berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan (Soedjono Dirjosisworo, 1990 : 3).

Disisi lain narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan serta pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar kesehatan membahayakan bagi kesehatan. Terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara ilegal akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan pertahanan nasional (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 40).

Narkotika dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang mengkonsumsinya secara ilegal. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, semangat yang berlebihan dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang ditemukan dalam dunia medis bertujuan bagi pengobatan dan kepentingan manusia.

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penggunaan dari narkotika haruslah dibatasi hanya pada kalangan tertentu. Hal ini dikarenakan pemakaian narkotika dapat menyebabkan hilangnya kesadaran seseorang bahkan rasa seseorang dan juga dapat menyebabkan ketergantungan, dimana ketergantungan terhadap narkotika tersebut akan menimbulkan gangguan kesehatan jasmani dan rohani, yang lebih jauh lagi dapat menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan sampai pada kematian. Pemakaian diluar pengawasan dan pengendalian dinamakan penyalahgunaan nerkotika yang akibatnya dapat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan Negara (Soedjono Dirdjosisworo, 1987 : 9). Penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena adanya interaksi antara faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor-faktor kontribusi (kondisi keluarga dan teman kelompok sebaya).

Berkembangnya zaman penyalahgunaan narkotika tidak lagi merupakan kejahatan tanpa korban, melainkan sudah merupakan kejahatan yang memakan banyak korban dan bencana berkepanjangan kepada seluruh umat manusia di dunia. Penggunaan dan pengedaran narkotika secara ilegaldiseluruh dunia menunjukkan peningkatan yang tajam serta mewabah memasuki semua bangsa, serta menelan banyak korban. Upaya untuk menangani penyebaran narkotika maka diperlukan beberapa perangkap hukum, sebagai acuan aparat penegak hukum dalam menangani penyebaran dan pemberantasan peredaran ilegal narkotika.

Peningkatan pengedaran dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan. Di samping itu kejahatan narkotika, perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi, ancaman yang serius bagi kehidupan umat manusia. Demi meningkatkan pengendalian dan pengawasan dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika diperlukan upaya kolektif antara aparat penegak hukum dengan masyarakat. Karena tanpa adanya koordinasi, peredaran ilegal narkotika mengakibatkan masyarakat merasakan pengaruh dan akibatnya secara nyata, bahkan dalam tingkat terhadap kepentingan dan kesejateraan masyarakat. Gejalanya antara lain narkotika sudah memasuki lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan-lingkungan tradisional pun telah tersusupi (Fuad Hasan, 1996 : 19).

Pegawai Negeri Sipil yang kemudian disebut dengan PNS berkedudukan sebagai pegawai negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Negara dan Pemerintah, serta menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan pelaksanaan tugas aparat negara. PNS sebagai unsur utama sumber daya manusia pegawai negara mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan. Adanya PNS yang melakukan penyalahgunaan narkoba tersebut tentunya tidak sesuai dengan program pemerintah, yaitu program Gerakan Disiplin Nasional (GDN) yang mewajibkan kepada semua PNS untuk disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Semakin maraknya kasus aparat pemerintah yang mengkonsumsi narkotika sangat memprihatinkan. Aparat negara perwakilan pemerintah yang memiliki kedekatan dengan masyarakat tetepi justru jadi

(3)

perusak tata nilai dan menjadi pelanggar hukum. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah kasus narkotika di kalangan PNS ada 64 orang pada tahun 2004 dan melonjak sepuluh kali lipat menjadi 678 dalam kurun waktu tiga tahun. Sementara itu, di kalangan TNI/Polri sebanyak 112 orang pada tahun 2004 menjadi 827 orang pada tahun 2007 (http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2008/07/25/74519/pns-pengguna-narkoba-meningkat diakses pada 20/09/2015 pukul 21.15).

Menurut data yang dirilis oleh situs Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 1 juli 2011 yang lalu, Komisi Nasional Pengawasan Kinerja Pemerintahan (Komnas PKP) mensinyalir, kurang lebih 30 persen aparatur negara atau pegawai negeri sipil (PNS), baik di pusat dan daerah, mengkonsumsi zat adiktif yang mengandung narkotika dan obat terlarang. Jika total jumlah PNS di Indonesia mencapai 4,7 juta jiwa, maka ada sekitar 1,5 juta aparatur negara yang terlibat kasus penggunaan narkotika di Indonesia (http://www.kompasiana.com/valentino/data-pengguna-narkoba-_5510e1f3813311ae36bc7045 diakses pada 20/09/2015 pukul 21.15)

Hukum positif yang sekiranya dapat menjerat perbuatan penyalahgunaan narkotika adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membawa nuansa baru, paradigma baru, dan harapan baru bagi banyak orang, sebab undang-undang narkotika memiliki perbedaan atau spesifikasi dalam penanganan kasus narkotika. Undang-undang narkotika tidak lagi berpatokan kepada penjatuhan hukuman kepada setiap penyalahgunaan narkotika yang ternyata selama ini dirasakan kurang efektif untuk memberantas atau mengurangi kejahatan narkotika. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 juga semakin memaksimalkan upaya mencegah, memberantas, dan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika.

Berdasarkan uraian diatas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil dan apakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/ PN.Jbi.).

B. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau dikenal juga sebagai penelitian hukum doktrinal. (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 55-56). Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi yang merupakan data sekunder dengan jenis bahan hukum primer. Sifat penelitian ini bersifat preskriptif, karena akan memberikan argumentasi mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum mengenai penerapan hukum oleh Pengadilan Negeri Jambi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.). Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan kasus dan Pendekatan undang-undang. Sumber hukum berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Peter Mahmud Marzuki, 20011 : 141). Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kepustakaan. Silogisme yang terdapat dalam penelitian hukum terdiri dari silogisme dengan metode deduktif dan silogisme dengan metode induktif. Penulis menggunakan metode deduktif dimana berpangkal dari prinsip-prinsip dasar (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 47).

C. Pembahasan

1. Pengaturan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil

Hukum, menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game). Dalam konsteks ini, aturan tersebut diistilahkan dengan substansi hukum. Fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Menurut Parson dikutip dalam bukunya Bernard L Tanya menjelaskan bahwa hukum sebagai unsur utama dalam integrasi sistem. Hal ini juga didukung oleh Steemanyang membenarkan bahwa apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah struktur yang terintegrasi. Dalam kerangka pemikiran Bredemeier, hukum difungsikan untuk menyelesaikan

(4)

konflik-konflik yang timbul di masyarakat (Bernard L. dkk, 2010 : 152). Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika sangat bergantung pada ketentuan normatif yang menjadi payung hukum bagi penegak hukum dalam menegakkan hukum.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan tindak pidana khusus yang diatur oleh undang-undang yang khusus yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang tersebut yang digunakan untuk menuntut terdakwa yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan payung hukum dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika. Ketentuan tersebut telah memenuhi kaidah keberlakuan yuridis, sosiologis dan filosofis. Pengaturan mengenai penggunaan narkotika juga sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni ketentuan dalam Undang-undang Dasar yang memberikan hak asasi bagi setiap orang untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan pelayanan kesehatan yang optimal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-undang Dasar yang menyatakan :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan definisi pasti mengenai narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa zat atau narkotika dibagi menjadi beberapa golongan, narkotika dengan golongan I merupakan narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu dan tidak digunakan dalam terapi atau pengobatan. Pengertian pengembangan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian serta pengembangan. Bahkan di dalam penelitian pun jenis narkotika golongan I ini hanya dapat digunakan secara terbatas. Sedangkan, golongan II narkotika memiliki fungsi menjadi alternatif pengobatan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi tetapi mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan dan memiliki kebermanfaatan dari segi medis. Golongan III narkotika memiliki manfaat seperti golongan II tetapi tidak berpotensi ketergantungan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika.

Dalam penjatuhan sanksi pidana peneliti mengenal beberapa sistem. Peneliti beranggapan bahwa hakim seharusnya menganut Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar berubah.

Dalam hal kebijakan kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang ini terbukti telah mengatur tindak pidana narkotika dari hulu ke hilir. Seperti yang termuat dalam undang-udang ini diantaranya yaitu menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman) yang diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 112. Usaha memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I diatur dalam Pasal 113. Kegiatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I diatur dalam Pasal 114. Selanjutnya didalam undang-undang ini juga mengatur mengenai kegiatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I yang termuat dalam Pasal 115. Sedangkan yang dapat sebagai seseorang pelaku tindak pidana narkotika golongan I di dalam undang-undang ini harus terbukti dalam salah satu unsur berikut yaitu setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain yang diatur dalam Pasal 116.

(5)

Selain hal-hal tersebut Undang-Undang ini mengatur kegiatan yang dapat dikategorikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana narkotika golongan II yaitu ataupun yang terbukti tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II diatur dalam Pasal 117, maupun yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II diatur dalam Pasal 118. Kegiatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan II diatur dalam Pasal 119, selanjutnya mengenai kegiatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan II diatur dalam Pasal 120. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain diatur dalam Pasal 121.

Sedangkan yang dapat sebagai seseorang pelaku tindak pidana narkotika golongan III di dalam undang-undang ini harus terbukti dalam salah satu unsur berikut yaitu, juga terhadap setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III diatur dalam Pasal 122, selanjutnya terhadap setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III diatur dalam Pasal 123, dan Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dalam golongan III diatur dalam Pasal 124. Selanjutnya, mengenai kegiatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan III yang diatur dalam Pasal 125. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain diatur dalam Pasal 126.

Berdasarkan uraian mengenai ketentuan beberapa pasal diatas dapat dilihat bahwa pidana mati masih merupakan ancaman pidana yang dianggap paling dapat memuaskan tujuan pemidanaan. Berbicara tentang sanksi pidana memang tidak dapat dipisahkan dengan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan yang dijatuhkan negara sebagai reaksi keras terhadap perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undang-undang.

Oleh karena itu, penjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan-kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau sanksi administasi yang hanya berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. J.E Sahetapy telah memperingatkan bahwa “Pembebanan pidana (een strafpleggen), menurut hemat saya harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai-nilai kesadaran hukum, nilai-nilai mana bergerak menurut perkembangan ruang, waktu dan keadaan yang mewajibkan pengenaan suatu nestapa yang istimewa sifatnya, sebagai suatu reaksi terhadap aksi yang memperkosa tata (hukum) yang sedang menjatuhkan pidana (J.E. Sahetapy, 2007 : 37).

Selain mengenai sanksi pidana, Undang-Undang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi tindakan, dijelaskan pada Pasal 54 mengenai pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apabila pecandu narkotika sudah cukup umur maka wajib melaporkan kepada lembaga rehabilitasi yang ditunjuk untuk mendapatkan perawatan dan pecandu yang belum cukup umur dapat diwakili oleh orang tua atau wali. Pengaturan pelaksanaan wajib lapor diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Dari ketentuan tersebut dapat dipahami, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menggunakan pendekatan humanistik dan penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar hukum harus sesuai dengan nilai-nilai hukum yang berlaku. Bertolak dari pendekatan humanistik Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa berkaitan dengan pendekatan humanistik, patut kiranya di kemukakan konsepsi kebijakan pidana dari aliran social defence (the penal policy of social defence) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggung jawaban yang bersifat pribadi. Hal ini di anggap perlu di kemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering di gunakan di Indonesia (Barda Nawawi Arief, 2005 : 38)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang seharusnya memberikan peran lebih di bidang pendekatan kesehatan dan sosial bagi pengguna narkotika dan menjadikan pemidanaan sebagai saran terakhir bagi pengguna narkotika, justru pada kenyataannya hal tersebut menjadi kebalikannya. Selama ini pengguna narkotika selalu dilihat sebagai pelaku kejahatan bukan sebagai korban. Pendekatan Undang-Undang Narkotika pun lebih kepada pemidanaan, dengan unsur-unsur yang tidak jelas membedakan antara pengguna, distributor, bandar dan produsen

(6)

narkotika. Padahal, Undang-Undang Narkotika seharusnya lebih mengedepankan aspek kesehatan dan sosial dari penindakannya. Tingginya ancaman hukuman bagi pengguna narkotika dengan kurangnya pengaturan akses pendekatan kesehatan dan sosial melalui rehabilitasi bagi pengguna, mengakibatkan banyak pengguna narkotika yang harus dihukum tanpa diberikan akses pendekatan kesehatan dan sosial melalui rehabilitasi bagi pengguna, mengakibatkan banyak pengguna narkotika yang harus dihukum tanpa diberikan akses kesehatan dan rehabilitasi.

Setelah mengidentifikasi mengenai ketentuan pidana undang-undang narkotika, peneliti memiliki hipotesis bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku. Pasal dalam undang-undang narkotika mengutamakan bentuk sanksi pidana berupa penderitaan atau nestapa yang mengakibatkan efek jera.

Sanksi pidana bagi Pegawai Negeri Sipil yang turut serta dalam peredaran maupun pemakain narkotika tetap berdasar pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penerapan ketentuan hukum pidana terhadap Pegawai Negeri Sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan masyarakat umum. Akan tetapi terdapat sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada bagian ketiga penjelasan mengenai manajemen pegawai negeri sipil Paragaf 12 Pasal 87 dijelasakan bahwa ayat (1) PNS dapat diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia, atas permintaan sendiri, mencapai batas usia pensiun, tidak cakap jasmani dan/atau rohani. Ayat (2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana, ayat (3) menjelaskan bahwa PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat dan pada ayat (4) menjelaskan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum, dan dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Apabila terdapat PNS yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan mendapatkan putusan pengadilan berupa rehabilitasi medis atau rehabilitasi sosial maka pejabat yang berwenang dapat menggunakan Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara untuk melakukan pengobatan. Pasal tersebut mengatakan bahwa :

“PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.”

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhakan sanksi pidana terhadap pelaku tindak Pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014/PN.Jbi.).

Kronologi kasusnya yaitu Muhammad Amin alias Amin Bin M. Toha adalah seorang PNS di Dinas Kesehatan Tanjab Timur. Hari sabtu tanggal 16 november 2013 sekitar pukul 09.00 WIB terdakwa Muhammad Amin telah memesan 1 (satu) jenis narkotika sabu-sabu yang dibagi menjadi 5 (lima) paket kecil dari Botak di depan SMEA 2 Kelurahan Talang Bakung Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi dan menyerahkan uang kepada Botak uang sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan terdakwa juga menyerahkan uang sebesar Rp. 1.800.000,- (satu juta delapan ratus ribu rupiah) untuk membeli sabu pesanan teman terdakwa yaitu Olek beserta 1 (satu) buah bong terbuat dari kaca, kemudian semua narkotika jenis sabu-sabu yang telah dibeli dari Botak (DPO) tersebut dibawa terdakwa menuju rumah mak tuo yang beralamat di Jalan Majapahit Rt. 06 Kel. Payo Selincah Kec. Jambi Timur Kota Jambi.

Pada pukul 13.00 WIB, Sumarni alias Ani Binti Dutar datang ke rumah orang tua angkat terdakwa yang terletak di Jalan Majapahit RT. 06 Kel. Payo Selincah Kec. Jambi Timur Kota Jambi, kedatangan Sumarni dikarenakan ingin mengambil pinjaman uang untuk biaya berobat mata ibunya, saat Sumarni

(7)

datang, terdakwa sedang mengkonsumsi narkotika jenis sabu-sabu dan terdakwa menyuruh Sumarni mencoba menghisab bong tersebut. Sehingga Sumarni mencoba dengan 3 (tiga) kali hisapan, namun beberapa saat kemudian terdengar ada orang yang masuk kedalam rumah, Sumarni dan terdakwa terkejut, sehingga Sumarni langsung berusaha melarikan diri dengan cara meloncat dari jendela kamar, namun diluar sudah ada 2 (dua) orang anggota polri yang langsung menangkap Sumarni.

Berdasarkan hasil pengujian dari Badan POM RI di Jambi Nomor : PM.01.05.891.11.13.1978 tanggal 22 november 2013 yang ditandatangani oleh penyelidik obat dan napza Sri Rahmawati, S.farm, Apt terhadap barang bukti yang dikirim oleh penyidik berupa 1 (satu) klip plastik bening tanda 4 (empat) berisi kristal putih bening netto 0,057 (nol koma nol lima puluh tujuh) gram milik terdakwa. Hasil pengujian pemerian kristal, bening, tidak berbau positif mengandung methafetamin termasuk narkotika golongan I bukan tanaman dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tuntutan hukum dari Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa meminta kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa agar memutus sebagai berikut. Pertama, menyatakan terdakwa Muhammad Amin alias Amin bin Muhammad Toha terbukti bersalah “melakukan percobaan atau permufakatan jahat memiliki, menyimpan, menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 112 ayat (1) jo pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang didakwakan.Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhammad Amin alias Amin bin Muhammad Toha berupa pidana selama 8 (delapan) tahun penjara dikurangi selama Terdakwa dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan dan denda Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan apabila Terdakwa tidak mampu membayar denda tersebut maka Terdakwa dikenakan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Menyatakan barang bukti berupa :

(1) 1 (satu) bungkus paket sabu-sabu berisi 6 (enam) paket kecil sabu-sabu; (2) 1 (satu) bungkus paket besar sabu-sabu;

(3) 1 (satu) bungkus paket sabu-sabu berisi 2 (dua) paket kecil sabu-sabu; (4) 5 (lima) butir obat diduga dextro;

(5) 2 (dua) buah mancis;

(6) 1 (satu) unit hp mito warna hitam; dan

(7) 1 (satu) buah bong yang terbuat dari botol obat warna putih.

Menetapkan agar Terdakwa Muhammad Amin alias Amin bin Muhammad Toha membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).

Pertimbangan pengambilan putusan hakim dalam kasus tersebut adalah Pertama, menyatakan terdakwa Muhammad Toha alias Amin bin Muhammad Toha terbukti bersalah “melakukan percobaan atau permufakatan jahat memiliki, menyimpan, menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman”. Mengenai percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP dan diatur dalam Pasal 132 undang-undang narkotika.

Undang-undang narkotika dijelaskan pula mengenai permufakatan jahat dimana perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberikan konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika. Terdakwa muhammad amin dan botak telah melakukan transaksi narkotika. Kedatangan sumarni yang memiliki niat awal mengambil pinjaman uang untuk biaya berobat mata ibunya mendapat nasib buruk yaitu terdakwa menyuruh Sumarni mencoba menghisap bong tersebut dan mencoba dengan 3 (tiga) kali hisapan.

Kedua, menetapkan masa penahanan yang telah diajalani terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Ketiga, memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan. Keempat, menetapkan barang bukti yaitu 1 (satu) bungkus paket sabu berisi 6 (enam) paket kecil sabu-sabu, 1 (satu) bungkus paket besar sabu-sabu-sabu, 1 (satu) bungkus paket sabu-sabu berisi 2 (dua) paket kecil sabu-sabu, 5 (lima) butir obat diduga dextro, 2 (dua) buah mancis, 1 (satu) unit HP mito warna hitam, 1 (satu) buah bong yang terbuat dari botol obat warna putih dan membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

(8)

Pengambilan keputusan sangatlah diperlukan oleh hakim dalam membuat keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan setelah proses pemeriksaan dan persidangan selesei maka hakim harus mengambil keputusan yang sesuai. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, hakim melakukan tindakan untuk menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya dengan melihat bukti-bukti yang ada (fakta persidangan) dan disertai keyakinannya setelah itu mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkan hukum yang berlaku dan selanjutnya memberikan kesimpulan dengan menetapkan suatu sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan.

Dalam pertimbangan ini, hakim wajib memperhatikan ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang pengadaan prekursor. Prekursor dalam ketentuan umum yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Hakim harus memeriksa narkotika jenis metafetamine termasuk ke dalam prekursor atau tidak.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan menentukan apakah putusan seorang hakim dianggap adil atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat digunakan sebagai bahan analisis tentang orientasi yang dimiliki hakim dalam menjatuhkan putusan dan melihat bagaimana putusan yang dijatuhkan itu relevan dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan.

Penerapan ketentuan hukum pidana terhadap Pegawai Negeri Sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur pidana menurut Pasal 112 ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut. Pertama, unsur setiap orang berarti dalam perkara ini “setiap orang” yang dimaksudkan menunjukkan kepada terdakwa Muhammad Amin. Dipersidangan terdakwa telah membenarkan identitasnya sebagaimana tersebut di dalam surat dakwaan, dengan demikian unsur ke 1 (satu) ini, telah terbukti terpenuhi.

Kedua, unsur tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi Medeis dan Rehabilitasi Sosial pada Pasal 2 huruf b yang dikatakan bahwa penyalahgunaan pada saat tertangkap tangan batas toleransi barang bukti methafetamin (sabu) hanya seberat 1 (satu) gram, sedangkan dalam kasus ini melebihi batas yang ditentukan yaitu 2,110 gram. Pertimbangan hakim dalam menguatkan putusan berdasarkan fakta tersebut unsur ke 2 (dua) telah terpenuhi.

Unsur ketiga dalam pertimbangan hakim yaitu melakukan percobaan atau pemufakatan jahat. Pemufakatan jahat dalam Undang-Undang Narkotika dijelaskan bahwa perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tundak pidana narkotika.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jambil dengan Nomor 155/Pid. Sus/2014 menyatakan bahwa penjatuhan pidana penjara selama 6 (Enam) Tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah). Setelah putusan tersebut kuasa hukum terdakwa menyatakan permintaan banding dan telah diberitahukan dengan seksama kepada jaksa penuntutan umum dan jaksa penuntut umum juga menyatakan permintaan banding.

Pada Putusan Nomor : 36/Pid.Sus/2014/PT.JMB hakim mengadili bahwa menerima permintaan banding dari terdakwa dan jaksa penuntut umum dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor : 155/Pid.Sus/2014. Pada tanggal 16 Oktober 2014 penasihat hukum terdakwa mengajukan Kasasi. Putusan Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi, memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jambi dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jambi. Dengan menjatuhakan sanksi pidana 6 (enam) tahun penjara dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan Pidana penjara selama 3 (tiga) bulan yang diterima oleh terdakwa sudah mencakup antara minimal khusus dan maksimal khusus sehingga sanksi tersebut sudah memberatkan terdakwa. Oleh karena itu adanya faktor pemberat yaitu karena terdakwa adalah aparatur negara dalam kasus ini Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan ini telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan pada semua fakta-fakta serta bukti-bukti yang terungkap di persidangan.

(9)

D. Kesimpulan

1. Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh masyarakat umum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana pengaturan sanksi pidananya terdapat pada Pasal 111 hingga Pasal 126. Undang-Undang Narkotika juga mengatur mengenai rehabilitasi yang tedapat pada Pasal 54 yang menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengaturan pelaksanaan wajib lapor diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Pegawai negeri sipil yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika juga mendapatkan sanksi administratif yang sudah diatur oleh Undang-Undang Aparatur Sipil Negara mengenai pegawai negeri sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh Pegawai Negeri Sipil (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2233/K/Pid.Sus/2014) telah sesuai dikarenakan penjatuhan sanksi mencakup antara minimal khusus dan maksimal khusus sehingga sanksi tersebut sudah memberatkan terdakwa dan hakim tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan sanski pidana.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak, Markus Y. Hage. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi.Yogyakarta : Genta Publishing.

Fuad Hasan dalam Herie. 1996. Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika serta Penanggulangannnya. Pekalongan : Bahagia.

J.E. Sahetapy. 2007. Pidana Mati Dalam Negara Pancasila.Bnadung : Citra Aditya Bakti Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum.Jakarta : Kencana

2013. Penelitian Hukum.Jakarta : Kencana

Soedjono Dirjosisworo. 1987. Hukum Narkotika Indonesia.Bandung : Alumni 1990. Hukum Narkotika Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya

Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Liberty.

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2008/07/25/74519/pns-pengguna-narkoba-meningkat diakses pada 20/09/2015 pukul 21.15 WIB

http://www.kompasiana.com/valentino/data-pengguna-narkoba-tidak-jelas-entah-mana-yangbenar_551 0e1f3813311ae36bc7045 diakses pada 20/09/2015 pukul 21.20 WIB

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Referensi

Dokumen terkait

Profil pengaturan hukum tentang penyelidikan tindak pidana narkoba melalui pembelian terselubung diatur dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika,

“ Walaupun anak telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan harus dihadapkan di depan sidang anak maka yang dipertimbangkan dalam penjatuhan sanksi Tindakan

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun menurut hakim Pengadilan Militer

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Yuridis Putusan Pengadilan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anak Dalam

Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil tindak pidana

Hasil penelitian yang diperoleh adalah Penerapan hukum pidana meteril terhadap kasus penyalahgunaan narkotika golongan 1 oleh pegawai negeri sipil, penerapan

67 Tindak pidana di bidang Narkotika diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika yang merupakan

PENUTUP Pengaturan hukum mengenai pemusnahan barang bukti dari penyalahgunaan narkotika yaitu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia