Dr. Ir. Iwan Kustiwan, MT
Program Studi PWK SAPPK ITB
Modul 4
DAYA DUKUNG
LINGKUNGAN
Modul 4:
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
1.
Pengertian dan Konsep Daya Dukung Lingkungan (DDL)
2.
Tragedy of the Commons
3.
Konsep Dan Penerapan Daya Dukung Lingkungan untuk Kehidupan Manusia
4.
Kaitan DDL, SDA, dan Ekosistem
5.
Jejak Ekologis sebagai Indikator DDL
Pengertian
Daya Dukung Lingkungan (DDL)-1
• DDL: Kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (UU 32/2009)
• DDL: Jumlah individu suatu spesies yang dapat didukung secara tak terbatas dalam suatu ruang atau kawasan tertentu (Miller, 1986)
• DDL: kemampuan untuk mendapatkan hasil dan produk di suatu kawasan dari sumber daya alam yang terbatas, dengan mempertahankan jumlah dan kualitas
sumber dayanya (Khanna, 1999)
This Photois licensed underCC BY-SA-NC
Pengertian
Daya Dukung Lingkungan (DDL) -2
• Pengertian daya dukung (carrying capacity) dalam ekologi dasar adalah ukuran maksimum populasi jenis tertentu yang dapat disangga oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuannya dalam menyangga populasi jenis yang sama pada masa yang akan datang (Cohen, 1996)
• Suatu ukuran dari jumlah sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable resources) yang diperlukan untuk mendukung kehidupan sejumlah organisme di suatu lingkungan (Roughgarden, 1979)
• Daya dukung merupakan fungsi dari karakteristik area maupun
organisma. Makin besar dan kaya suatu area, ceteris paribus, memiliki daya dukung yang lebih besar. Atau suatu area tertentu akan Lebih
mampu menyangga populasi jenis yang memerlukan energi yang relative lebih rendah (Daily & Ehrlich, 1992).
Pengertian
Daya Dukung Lingkungan (DDL) -3
This Photois licensed underCC BY
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
• Kemampuan maksimal suatu
wilayah/kawasan untuk mendukung kehidupan beserta kegiatan yang ada di dalamnya.
• Asal mula konsep DDL:
→ dari pengelolaan hewan ternak dan satwa liar (ilustrasi: Tragedy of
commons)
Daya Dukung Lingkungan (DDL)
• Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu wilayah untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingkat kebutuhan sumberdaya yang diperlukan.
→ Kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan tingkat kebutuhan sumberdaya oleh suatu organisme.
→ Kemampuan wilayah yang
bersangkutan tidak pernah berkurang, jika secara terus menerus terpelihara.
This Photois licensed underCC BY
Tragedy of the Commons
PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya Alam
PL 2101_04_DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
The Tragedy of The Commons
(Hardin, 1968) Kasus peternak
yang menggembalakan ternak di padang rumput
• Padang rumput merupakan sumber daya dianggap
sebagai milik umum.
• Setiap peternak merasa mempunyai hak.
• Ketika jumlah peternak semakin bertambah
sedangkan pertumbuhan rumput tidak setara maka akan menyebabkan bencana.
The Tragedy of The Commons & Carrying Capacity
• Konsep milik umum seringkali dihubungkan dengan pemanfaatan sumber daya oleh banyak individu.
• Seringkali rasa kepemilikan dan hak orang dalam
memanfaatkan sumber daya milik umum tidak dibarengi dengan usaha untuk menjaga keseimbangan yang harmonis antara intervensi manusia dengan lingkungannya.
→ Akibatnya kehilangan keseimbangan di antara keduanya dan menyebabkan bencana bagi si pelaku maupun alam.
• Teori dan konsep yang dikemukakan oleh Hardin (1977), secara tidak langsung menjelaskan bahwa timbulnya
kerugian atau bencana disebabkan karena kurang hati-hati atau pengabaian dari pemakai sumber daya lingkungan.
→ Keputusan yang dilakukan individu untuk memanfaatkan sumber daya lingkungan milik umum itu merupakan
keputusan secara mikro, yang hasilnya menyebabkan bencana secara makro.
The Tragedy of The Commons (2)
→ Perilaku manusia dalam memanfaatkan SDA• Manusia bertendensi
menganggap SDA adalah milik umum, sehingga dalam
memanfaatkan serta mengelolanya mereka
berpegangan pada nilai-nilai milik umum tsb.
→ mengakibatkan terjadinya eksploitasi yang tidak terkendali, sehingga
menimbulkan dampak negatif yang tidak diduga.
This Photo is licensed under CC BY-SA
• Dampak tsb dapat berakibat terhadap
penyusutan bahkan kepunahan SDA yang ada.
• Bencana lain berpengaruh terhadap pemakai SDA tsb, yaitu menurunnya kualitas SDA
→ keberlanjutan hidup si pemakai turut terancam.
• Terjadinya bencana di antara para
pemakai, karena tidak adanya mekanisme terkendali dalam menggunakan SDA
→ tersisihnya sekelompok pemakai yang tidak kuat dan mampu bersaing dengan si pemakai lain.
→ Fenomena tragedy of the commons
This Photo is licensed under CC BY-NC-ND
Konsep dan Penerapan Daya Dukung Lingkungan untuk Kehidupan Manusia
PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya Alam
PL 2101_04_DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Penerapan Konsep DDL untuk Kehidupan Manusia?
• Konsep daya dukung yang berasal dari kehidupan bukan manusia kurang sesuai diterapkan untuk manusia.
• Dalam hal daya dukung terhadap kehidupan manusia, terjadi kompleksitas penetapan daya dukung yang disebabkan
adanya perbedaan yang sangat besar dalam hal jenis dan jumlah sumberdaya yang digunakan oleh masing-masing
individu dan perubahan budaya (teknologi) yang sangat cepat memengaruhi, sehingga daya dukung sangat bervariasi antara budaya dan tingkat pembangunan ekonomi masyarakat.
• Mobilitas manusia yang sangat tinggi memengaruhi batas wilayah pemenuhan kebutuhan manusia menjadi tidak terbatas.
Penerapan Konsep DDL
untuk Kehidupan Manusia(2)
• Konsep daya dukung terhadap populasi manusia mulai
diterapkan pada tahun 1960an.
→ Pola konsumsi manusia sangat bervariasi
dibandingkan dengan jenis hewan
• Persamaan IPAT (Commoner, 1972): menjelaskan bahwa daya dukung terhadap manusia
merupakan fungsi tidak hanya dari jumlah populasi, tetapi juga perbedaan tingkat konsumsi
yang dipengaruhi oleh teknologi produksi dan konsumsi.
Persamaan IPAT
I = P x A x T
I Impact, dampak lingkungan P Population, ukuran populasi manusia
A Affluence, tingkat konsumsi oleh populasi
T Technology, proses yang
digunakan untuk mendapatkan sumberdaya dan mengubahnya
menjadi barang berguna dan limbah.
Pentingnya DDL bagi Manusia
• Pertambahan jumlah penduduk dengan aktivitasnya menyebabkan kebutuhan akan SDA (al. lahan dan air) bagi
kegiatan sosial ekonominya makin bertambah.
➢ Pertambahan jumlah penduduk juga
dibarengi dengan peningkatan konsumsi SDA yang semakin besar sejalan dengan peningkatan status sosial ekonomi
masyarakat.
➢ Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat akan mempengaruhi DDL
Konsep DDL untuk kehidupan Manusia (1)
Penerapan konsep daya dukung lingkungan pada populasi manusia
• Untuk kelompok manusia yang hidupnya dari mengumpulkan tumbuhan dan berburu (masih primitif) penerapan konsep itu tidak banyak membawa masalah.
• Daya dukung lingkungan ini pada hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomass
tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu.
• Sistem dengan daya dukung lingkungan alamiah disebut sistem tak tersubsidi, karena tidak mendapatkan subsidi energi dari luar sistem itu.
• Dengan makin meningkatnya kebudayaan, penerapan
konsep daya dukung makin sulit, karena:
➢ Orang mulai melakukan intensifikasi pertanian dengan memasukkan energi dari luar (pupuk buatan, air irigasi dan zat racun hama).
➢ Dengan kemajuan
kebudayaan, berkembang pula sistem pasar
This Photo is licensed under CC BY
• Faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah
1. Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumberdaya yang dikonsumsi.
2. Perubahan yang cepat dalam hal pola konsumsi sumberdaya 3. Perubahan teknologi dan budaya lainnya.
(Ranganathan & Daily 2003)
Konsep DDL untuk kehidupan manusia (2)
• Daya dukung lingkungan tidak hanya diukur dari kemampuan lingkungan dan SDA mendukung kehidupan manusia, tetapi juga
dari kemampuan menerima beban pencemaran dan pembangunan.
• DDL terbagi menjadi 2 (dua) komponen:
• kapasitas penyediaan (supportive capacity)
• kapasitas tampung limbah (assimilative capacity)
(Khanna, 1999)
• DDL dan DTL dalam UU 32/2009
Populasi SDA
Tahun Populasi
SDA
Populasi cenderung bertambah menurut deret ukur (geometris)
Produksi pangan (SDA) cenderung bertambah menurut deret hitung (aritimatik)
Level subsistensi
C
Pertumbuhan penduduk, SDA dan subsistensi
Hukum Malthus
Perilaku Model Dunia (Meadow, 1992)
DDL tidak statis?
1. Sifat penting dari daya dukung yang perlu diketahui adalah daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia.
2. Daya dukung lingkungan dapat meningkat bila ditambahkan atau dimasukkan ilmu dan teknologi ke dalam suatu lingkungan.
3. Subsidi energi ke dalam lingkungan juga dapat meningkatkan DDL.
Penurunan/Kerusakan DDL
Faktor internal
• Kerusakan yang berasal dari alam/lingkungan sendiri.
• Kerusakan karena faktor internal sulit untuk dicegah karena merupakan proses alami yang terjadi pada alam yang sedang mencari keseimbangan dirinya (misal letusan gunung berapi, gempa bumi, dan badai).
Faktor eksternal
• Kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan
hidupnya
misal: kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan industri: pencemaran darat, air, laut, dan udara.
This Photo is licensed under CC BY-ND This Photo is licensed under CC BY-NC-ND
DDL vs Peningkatan IPTEK
• Apakah pemasukan Iptek dan subsidi energi dalam usaha meningkatkan daya dukung tidak ada
batasnya?
• Penggunaan Iptek yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung.
• Beban yang diberikan manusia kepada DDL yang melampaui potensi atau daya lentingnya akan dapat menurunkan DDL tsb misalnya disebabkan oleh:
➢ Jumlah penduduk yang harus didukung telah melampaui kemampuannya.
➢ Cara pemanfaatan SDA dan ekosistem dalam lingkungan yang salah dapat menimbulkan kerusakan.
• Peningkatan Iptek dalam cara
pemanfaatan suatu SDA akan dapat meningkatkan DDL
• Karena keterbatasan dari potensi SDA, ekosistem, dan Iptek yang dikuasai , maka peningkatan DDL dapat pula bersifat sigmoid, bahkan pada ujung grafik sigmoid dapat menurun.
DDL vs Peningkatan IPTEK
Kaitan DDL, SDA, dan Ekosistem
PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya Alam
PL 2101_04_DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Kaitan DDL, SDA dan Ekosistem (1)
• Daya dukung, SDA dan ekosistem memiliki keterkaitan satu sama lain.
• Pada dasarnya daya dukung suatu lingkungan ditentukan oleh dua hal pokok, yaitu potensi SDA dan kondisi ekosistem.
• Untuk dapat memanfaatkan daya dukung suatu lingkungan haruslah diketahui potensi dan batasan dari SDA dan
ekosistemnya.
• Pada saat pemanfaatan SDA yang melampaui potensinya dan menimbulkan tekanan pada ekosistem yang melampaui
kemampuannya akan merusak potensi SDA dan ekosistemnya berarti pemanfaatannya tidak akan dapat berkelanjutan.
Kaitan DDL, SDA dan Ekosistem (2)
•
Karakteristik SDA: terbarukan dan tak-terbarukan
• Tekanan yang salah pada SDA yang terbarukan dapat
mengakibatkan degradasi pontensinya, bahkan menghancurkan sama sekali sehingga menjadi tidak dapat diperbaharui.
• Strategi pemanfaatan SDA tak-terbarukan di masa lalu berprinsip pada penggunaan selama mungkin, dewasa ini berubah ke arah penggunaan untuk menghasilkan nilai atau manfaat setinggi mungkin dan tidak menimbulkan pencemaran.
Kaitan DDL, SDA dan Ekosistem (3)
• Ekosistem suatu lingkungan mempunyai ketahanan (daya lenting) terhadap tekanan yang berbeda-beda.
• Jika potensi ekosistem dilampaui maka daya lenting
ekosistem akan tidak kuat untuk menahannya dan terjadi kerusakan ekosistem yang akan merusak kelestarian daya dukung.
• Daya dukung lingkungan merupakan fungsi dari SDA dan ekosistem, sehingga jika ingin memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia haruslah diketahui
terlebih dahulu potensi dan batasan SDA dan ekosistemnya secara detail sehingga potensi daya dukung tidak terlampaui,
Kaitan DDL, SDA dan Ekosistem (4)
• Batasan kenaikan daya dukung sulit diketahui karena sangat ditentukan oleh Iptek yang dikuasai manusia, energi yang dimasukkan dan dan sifat-sifat SDA dan ekosistem dari daya dukung yang digunakan.
• Secara teoretik, apabila potensi SDA dan daya lenting ekosistem dilampaui atau terjadi degradasi maka daya dukung akan terganggu,
→ kecuali kalau sebagian atau seluruhnya dari SDA
dikorbankan dan ekosistemnya diganti bentuk ekosistem yang baru maka daya dukung akan dapat berubah lagi
tetapi lingkungan aslinya akan berubah.
the law of limiting factors
di alam dikenal adanya minimum limits dan maximum limits, Di luar batas tersebut akan terjadi perusakan SDA dan
ekosistemnya yang berarti perusakan daya dukung
DINAMIKA SISTEM
AKTIVITAS MANUSIA DAN DDL-DTL
+ +
+
Aktivitas Manusia Konsumsi SDA
Limbah yang dibuang ke lingkungan
Daya Tampung lingkungan
Kualitas lingkungan Daya Dukung lingkungan
SDA Yang Tersedia
Kesehatan dan Kesejahteraan Manusia
Beda besar dampak terhadap berbagai kelompok masyarakat
Di dalam atau di luar kawasan perkotaan
-
+
+
+ +
+
-
L1 (-)
L2 (-)
L3 (-)
DDL Alamiah dan DDS
• Lingkungan tidak hanya merupakan lingkungan alamiah saja, namun juga lingkungan sosial dan lingkungan binaan.
• Daya dukung lingkungan dapat diperluas menjadi:
• daya dukung alamiah (lingkungan alam)
• daya dukung lingkungan binaan
• daya dukung sosial (yang berupa ketersedian sumber daya manusia dan kemampuan finansial).
• Dengan adanya pengelolaan lingkungan yang baik dan input teknologi, maka daya dukung lingkungan secara
keseluruhan dapat ditingkatkan, sehingga dapat menyokong kualitas hidup manusia pada tingkat yang layak.
Daya Dukung Lingkungan
dalam konteks Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sumber:
Undang-undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Jejak Ekologis sebagai Indikator DDL
PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya Alam
PL 2101_04_DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
• Aktivitas manusia bergantung pada
biosfir, yang memberikan sejumlah besar pasokan sumberdaya secara terus-
menerus untuk mendukung
pembangunan ekonomi dan kehidupan sehari-hari.
• Konsumsi sumberdaya alam dan dampaknya terhadap ekosistem didefinisikan sebagai ecological footprint.
→ Dalam gambaran visual, EF atau JE adalah jejak-kaki (tapak) dari kaki besar yang memuat jumlah penduduk , kota- kota, pabrik-pabrik yang diciptakan
manusia .
Konsep dasar Jejak Ekologis (JE)
• Gagasan analisis JE menempatkan bahwa manusia mengkonsumsi berbagai produk, sumberdaya dan jasa untuk bertahan hidup,
→ jumlah konsumsi setiap sumberdaya dapat ditelusuri ke belakang sebagai luas lahan
produktif secara ekologis yang menyediakan materi dan energi.
• JE secara lebih sederhana merupakan ukuran luas lahan yang diperlukan oleh manusia.
Konsep dasar Jejak Ekologis (JE)
JE sebagai indikator keberlanjutan (1)
• JE sebagai indikator keberlanjutan dibangun oleh W. Rees dan M. Wackernagel (1990-an)
• JE merupakan alat ukur dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan alami, sebagai ukuran konsumsi SDA yang dapat diperbaharui (atau equivalensinya).
• JE didasarkan pada premis bahwa dimungkinkan untuk mengukur ketergantungan manusia dan dampaknya
terhadap lingkungan alami melalui perhitungan sederhana terhadap SDA yang dikonsumsi (lahan di mana SDA yang dikonsumsi berasal).
JE sebagai indikator keberlanjutan (2)
• Rees (1992) menyatakan bahwa jejak ekologis merupakan
metode sederhana untuk membandingkan keberlanjutan SDA pada berbagai tipe masyarakat.
• Kebutuhan hidup manusia dikonversikan ke dalam satu indeks tunggal, yaitu luas lahan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan
• Luas lahan yang dibutuhkan dibandingkan dengan luas aktual dari lahan produktif
• Tingkat keberlanjutan dihitung dari perbandingan antara lahan yang dibutuhkan dan lahan yang tersedia.
• Masyarakat yang memiliki kehidupan tidak berkelanjutan (unsustainable) adalah masyarakat yang jejak ekologinya melampaui lahan yang tersedia
Asumsi umum Perhitungan JE
1. Semua sumber daya yang dikonsumsi dan
limbah/buangan yang dihasilkan dapat ditelusuri asal muasalnya.
2. Sebagian besar aliran sumber daya dan buangan dapat diukur dengan menggunakan luasan bioproduktif untuk menjaga pasokan sumber daya dan absorpsi buangan.
3. Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi menjadi satu ukuran tunggal: global hektar (gha).
4. Luasan yang dibutuhkan dapat lebih besar dari luasan pasokan, jika permintaan pada suatu ekosistem melebihi kemampuan ekosistem untuk menyediakannya.
EF-demand vs Biocapacity (EF-supply)
EF-demand
• JE (EF) didefinisikan sebagai luas lahan dan perairan produktif secara ekologis yang dapat menopang dan mendukung
populasi tertentu dengan gaya hidup yang dapat diterima.
Jenis lahan produktif secara ekologis:
• Lahan untuk pembangkit energi fosil
• Lahan basah
• Padang rumput
• Hutan
• Kawasan terbangun
• Laut
Besarnya jejak ekologis bergantung pada konsumsi terhadap SDA dan limbah yang timbul karena aktivitas manusia dengan gaya hidup tertentu
JEJAK EKOLOGIS dihitung mulai dari
skala individu, rumah tangga, kominutas,
kota, wilayah, negara, hingga global.
Biocapacity (EF supply)
• Kapasitas hayati (biocapacity=BC) menggambarkan
kemampuan ekosistem untuk memproduksi biomassa yang dibutuhkan manusia dan menyerap limbah, dengan
pengelolaan dan kondisi eksploitasi tertentu. BC dapat berubah tergantung pada kondisi iklim, pengelolaan, dan nilainya bagi ekonomi.
• Untuk mencerminkan karakteristik ini digunakan faktor panen yang mencerminkan produktivitas lahan (rasio produktivitas jenis lahan tertentu terhadap rata-rata produktivitas global untuk jenis lahan yang sama).
Biocapacity Global
• Dalam menyediakan daya dukung pada kehidupan, hanya ekosistem produktif tertentu yang dianggap dapat memberikan dukungan.
→ ekosistem yang produktif lahan dan perairan yang ada mampu menyokong keberlanjutan populasi (manusia, flora dan fauna).
• GFN menggunakan satuan global hektar (gha)
→ sebagai produktivitas rata-rata dari areal produktif (bioproductive) dunia.
• Total areal produktif dunia (2001) adalah 11,2 milyar ha → hanya merupakan seperempat permukaan bumi atau hanya memberi jatah paling tinggi 1,8 gha per orang.
Penghitungan JE dan Biocapacity (BC)
• Global Footprint Network (GFN) mengembangkan perhitungan DDL dalam perhitungan National Footprint and Biocapacity Accounts (Wackernagel et al., 2005).
Status keberlanjutan
• Jika EF demand lebih kecil dari BC (EF supply), berarti pola pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan
• Jika EF demand lebih besar dari BC (EF supply), pola pembangunan tidak berkelanjutan.
Faktor konversi
dalam penghitungan EF dan Biocapacity
• Faktor penyama (equivalent factor)
Faktor yang mengkonversi satuan lokal lahan tertentu menjadi satuan yang universal, yaitu hektar global (gha). Global Footprint Network menentukan untuk 6 kategori lahan:
lahan pertanian (2,64), lahan perikanan (0,40), lahan peternakan (0,50), lahan kehutanan
(1,33), lahan terbangun (2,64) dan lahan penyerapan karbon (1,33).
• Faktor panen (yield factors)
menggambarkan perbandingan antara luasan lahan bioproduktif di suatu wilayah dengan luasan lahan bioproduktif yang sama di
wilayah lain untuk tiap komoditas yang sama.
Perbandingan JE antar Negara
• WWF (2005) telah menghitung bahwa jejak ekologis perkapita di bumi adalah 2,2 gha.
➔ selama ini secara rata-rata penduduk bumi mengalami defisit 0,4 gha (karena bumi hanya mempunyai biokapasitas 1,8 gha perkapita).
Perbandingan JE antar Negara
• Rata-rata jejak ekologis tertinggi per kapita:
• Amerika Serikat: 9,5 gha)
• Inggris (5,45 gha), (Swiss 4 gha)
• Indonesia diperkirakan 1,2 gha.
• Bangladesh: 0,5 gha.
• Pendekatan EF menunjukkan bahwa semakin kaya suatu negara dan
bangsa, semakin besar jejak ekologi mereka dalam menguras sumber
daya di bumi.
JEJAK EKOLOGIS ANTAR NEGARA
JE dan Biokapasitas Indonesia
Dari hasil perhitungan menunjukkan penduduk di Jawa dan Bali telah
menggunakan SDA melebihi kapasitas alam dalam penyediannya dengan
nilai defisit ekologis (ED): 0,81 gha/orang dan 1,52 gha/orang.
JE dan Biokapasitas Indonesia
• Daya dukung wilayah yang belum terlampaui (surplus) yang berada di Papua (ED=6,64) dan Kalimantan
(ED=2,79)
• Jika melihat nilai JE dan biokapasitas untuk tiap pulau di Indonesia, nilai JE tertinggi terdapat di P Bali dengan (1,76 gha/orang), terendah di Nusa Tenggara (0,45 gha/orang).
• Nilai biokapasitas tertinggi terdapat di Papua (7,43 gha/orang), terendah di P Jawa (0,20 gha/orang).
• Secara keseluruhan nilai biokapasitas Indonesia (1,12 gha/orang) masih lebih tinggi (surplus) dibandingkan dengan
nilai JE-nya (1,07 gha/orang), meskipun nilainya tidak terlalu berbeda jauh
(signifikan).
Wilayah Jabodetabekjur
mengalami defisit ekologis
Implikasi Kebijakan
Kebijakan makro
• Pelaksanaan pembangunan perlu diarahkan untuk
mendistribusikan beban secara lebih merata sehingga tidak terdapat wilayah yang mengalami defisit terlalu dalam (P.
Jawa dan Bali)
• Meskipun relatif sulit dilaksanakan , namun beban terhadap lingkungan tetap dapat dikurangi dengan mendorong
pengembangan wilayah di luar P. Jawa dan Bali
• diharapkan dapat menarik penduduk
• mewujudkan pola koleksi-distribusi barang yang lebih efisien, serta penggunaan teknologi.
Kebijakan mikro
• Perlu diterapkan kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan biokapasitas wilayah dan efisiensi pemanfaatan SDA.
→ Peningkatan biokapasitas dimaksudkan agar lingkungan dapat
menyediakan sumber daya dalam jumlah yang memadai, termasuk dalam menyediakan jasa-jasa lingkungan.
→ efisiensi pemanfaatan sumber daya untuk mengurangi “tekanan” kepada lingkungan.
• Kebijakan di satu wilayah dapat difokuskan pada komponen yang menjadi dasar perhitungan biokapasitas dan telapak ekologis (pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, lahan penyerap karbon dan lahan terbangun).
→ peningkatan produktivitas (yield factor) dari tiap komponen.
• Perlu dilakukan upaya untuk mengubah pola konsumsi masyarakat agar tidak boros sumber daya, termasuk dalam menggunakan energi dan
membuang emisi dalam berbagai bentuk.
Kebijakan berbasis Jejak Ekologis
1. Penataan ruang berbasis jejak ekologis
2. Peningkatan produktivitas lahan, mengurangi pembukaan hutan untuk kegiatan budidaya
3. Peningkatan pengetahuan dan penguasaan teknologi produksi
4. Peningkatan kesejahteraan tanpa menaikkan tingkat/pola konsumsi 5. Pengendalian kegiatan ekspor.
Bahan bacaan (1)
• Enger, E.D., B.F. Smith. 2004. Environmental Science: A Study of Interrelationships. Mc. Graw Hill, Boston
• Hadi, S. P., 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
• Kupchella, C.C., Hyland, M.C. 1993. Environmental Science: Living within the System of Nature.
London: Prentice-Hall
• Marten, G.G. 2001. Human Ecology: Basic Concept for Sustainable Development. Earthscan, London.
• Miller, Jr. 1986. Environmental Science: An Introduction. Wodsworth Publishing Company. Belmont, California.
• Wackernagel, M., W.E. Rees. 1995. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth.
New Society Publishers, Gabriola Island.
• Kementrian Lingkungan Hidup. 2010. Konsep Awal Naskah Akademik RPP tentang Tata cara Penetapan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup.
• Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Kementerian Pekerjaan Umum. 2010. Kajian Telapak Ekologis di Indonesia