PERJANJIAN KERJA SAMA Nomor: 102 TAHUN 2020 Nomor: 378/UN8.1.11/KS/2020
ANTARA
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT TENTANG
PENELITIAN BERSAMA PERGURUAN TINGGI DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROGRAM
ANTI-CORRUPTION SUMMIT-4 2020
PADA
DEPUTI BIDANG INFORMASI DAN DATA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Perjanjian Kerja Sama ini dibuat dan ditandatangani pada hari Kamis tanggal Sembilan bulan Juli tahun Dua Ribu Dua Puluh (09-07-2020), oleh pihak-pihak sebagaimana tersebut dibawah ini, yaitu :
1. Nama : Sugihartono
Alamat : Komisi Pemberantasan Korupsi
Gedung Merah Putih, Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Setiabudi Jakarta Selatan 12920
Jabatan : Bertindak selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat PJKAKI berdasarkan Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran KPK Nomor: 141.1 tahun 2020 tanggal 20 Januari 2020 tentang Penunjukan Pejabat Perbendaharaan Negara Untuk Jabatan Pejabat Pembuat Komitmen Deputi Informasi Dan Data selanjutnya
disebut sebagai Pihak Pertama.
2. Nama : Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., H.Hum.
Alamat : Jl. Brigjen H. Hasan Basri, Komplek ULM, Kayutangi, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jabatan : Dekan Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat Universitas : Lambung Mangkurat
selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua
Pihak Pertama dan Pihak Kedua secara bersama-sama selanjutnya disebut sebagai Para Pihak dan masing-masing disebut sebagai Pihak.
Dengan mengacu pada:
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);
3. Surat Pihak Pertama Nomor: B/3033/PJKA.02.01/30-33/06/2020 Tanggal 25 Juni 2020 Perihal Kerjasama Penelitian Bersama Anti-Corruption Summit-4 (ACS-4);
4. Surat Pihak Kedua Tanggal 25 Juni 2020 Perihal Penerimaan Penawaran Kerjasama Penelitian Bersama Anti-Corruption Summit-4 (ACS-4);
Selanjutnya Para Pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian kerja sama dengan menerangkan terlebih dahulu ketentuan sebagai berikut:
a. bahwa Pihak Pertama dalam perjanjian kerja sama ini merupakan pihak yang memberi kewenangan penuh kepada Pihak Kedua untuk melakukan suatu pekerjaan sebagaimana tersebut dalam judul perjanjian kerja sama ini;
b. bahwa Pihak Kedua dalam perjanjian kerja sama ini merupakan Pihak yang menerima kewenangan melaksanakan pekerjaan sebagaimana tersebut dalam ketentuan huruf a di atas;
untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam huruf a dan b di atas, dan untuk menjamin hak dan kewajiban didalam pelaksanaan kegiatan ini, Para Pihak bersepakat untuk menuangkan syarat dan ketentuan tersebut secara lebih rinci kedalam suatu Perjanjian Kerja Sama, berdasarkan ketentuan pasal-pasal sebagaimana tersebut di bawah ini:
Pasal 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
(1) Kerja sama ini dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya khususnya Bab V mengenai Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan dengan cara Swakelola yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah Lain.
(2) Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melakukan Penelitian Bersama Perguruan Tinggi Dalam Rangka Pelaksanaan Anti-Corruption Summit-4 2020 yang selanjutnya disebut "Pekerjaan" dengan bentuk perikatan Perjanjian Kerja Sama.
(3) Kerja sama yang dimaksud dalam angka 2 adalah bahwa Pihak Pertama menyerahkan atau setidak-tidaknya melibatkan Pihak Kedua secara terbatas untuk melaksanakan
“Pekerjaan” dengan pembiayaan ditanggung oleh Pihak Pertama berdasarkan DIPA KPK tahun 2020.
(4) Dalam mengerjakan pekerjaan tersebut, Pihak Kedua akan mengerahkan tenaga ahli, dan sub ahli untuk pelaksanaan Pekerjaan dengan kualifikasi memadai serta dalam jumlah yang disepakati Para Pihak.
Pasal 2 RUANG LINGKUP
(1) Adapun Lingkup Pekerjaan yang diserahkan atau melibatkan Pihak Kedua meliputi : a. Penyusunan Tim Peneliti yang setidaknya terdiri dari Ketua dan Anggota;
b. Menyampaikan Curriculum Vitae seluruh anggota tim peneliti;
c. Penyusunan Proposal Penelitian, RAB, rencana kerja dan pemanfaatan;
d. Penyusunan Rancangan Laporan Akhir Penelitian;
e. Diseminasi Publik;
f. Penyusunan Laporan Akhir Penelitian; dan Rekomendasi Hasil Penelitan.
(2) Penentuan Tim Peneliti
Tim Peneliti yang ditentukan dan ditugaskan oleh Pihak Kedua untuk melakukan penelitian yang ditetapkan oleh Pihak Kedua baik persyaratan kualifikasi maupun jumlahnya disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan tema pekerjaan sesuai dengan arahan Pihak Pertama.
(3) Penyusunan Proposal Penelitian, RAB, dan Rencana Kerja
Pihak Kedua menyusun proposal penelitian, RAB, dan rencana kerja untuk pelaksanaan Pekerjaan.
(4) Penelitian dan Penyusunan Rancangan Laporan Akhir
Pihak Kedua melakukan penelitian sesuai dengan proposal yang telah disetujui, dan menyusun rancangan laporan akhir yang akan digunakan sebagai materi diseminasi publik.
(5) Diseminasi Publik
Pihak Kedua mendiseminasikan hasil penelitian pada seminar/FGD yang diselenggarakan Pihak Pertama sebagai rangkaian kegiatan Anti-Corruption Summit-4.
(6) Penyusunan Laporan Akhir
Pihak Kedua menyusun laporan akhir pekerjaan untuk diserahkan kepada Pihak Pertama.
Pasal 3
MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja sama dalam melakukan Pekerjaan diatur sebagai berikut : (1) Pihak Pertama melakukan tugas sebagai berikut :
a. Melakukan pemeriksaan terhadap hasil Pekerjaan yang diserahkan oleh Pihak Kedua b. Melakukan proses pembayaran biaya pelaksanaan pekerjaan kepada Pihak Kedua
sesuai ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama ini.
(2) Pihak Kedua melakukan tugas sebagai berikut :
a. Melaksanakan pekerjaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Menjalin kerja sama dengan Pihak Pertama dan Pihak lainnya dalam rangka mendapatkan data sesuai proposal penelitian yang diberikan oleh Pihak Pertama;
Pasal 4
PELAKSANAAN PEKERJAAN
(1) Pelaksanaan Pekerjaan dimulai pada bulan Juli 2020 sampai dengan Oktober 2020.
(2) Pihak Pertama akan melakukan pemeriksaan terhadap hasil Pekerjaan yang diberikan oleh Pihak Kedua sebagai dasar untuk memberikan persetujuan.
(3) Hasil pekerjaan Pihak Kedua berupa laporan penelitian dan laporan kegiatan dikirimkan dan atau diserahkan kepada Pihak Pertama sesuai jadwal pelaksanaan pekerjaan di kantor Pihak Pertama, yang beralamat di Komisi Pemberantasan Korupsi, Gedung Merah Putih, Jl. Kuningan Persada Kav. 4, Setiabudi, Jakarta Selatan 12920.
Pasal 5 PEMBIAYAAN
Para Pihak sepakat bahwa kompensasi atas penyerahan atau pelibatan Pihak Kedua dalam kegiatan operasional pelaksanaan tugas Pihak Pertama sebagaimana tersebut pada pasal 2 adalah sebesar paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sudah termasuk pajak-pajak yang berlaku untuk pelaksanaan pekerjaan.
Pasal 6
PEMBAYARAN DAN PENGEMBALIAN
(1) Keseluruhan Pembiayaan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal 5 di atas dibayarkan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu : a. Tahap Pertama sebesar 40 (empat puluh) persen atau sebesar paling banyak
Rp20.000.000,00 (Dua Puluh Juta Rupiah) akan dibayarkan setelah Pihak Kedua menyerahkan kepada Pihak Pertama berupa Surat Konfirmasi Kesediaan Kerjasama, CV tim peneliti, proposal penelitian dan rencana kerja dan pemanfaatan, serta Rencana Anggaran Biaya sesuai dengan tema penelitian yang telah disetujui Pihak Pertama;
b. Tahap Kedua sebesar 40 (empat puluh) persen atau sebesar paling banyak Rp20.000.000,00 (Dua Puluh Juta Rupiah) akan dibayarkan setelah Pihak Kedua menyerahkan rancangan laporan akhir penelitian;
c. Tahap Ketiga sebesar 20 (dua puluh) persen atau maksimal sebesar paling banyak Rp10.000.000,00 (Sepuluh Juta Rupiah) akan dibayarkan setelah Pihak Kedua menyerahkan laporan akhir penelitian (softcopy dalam bentuk cakram digital) yang dilengkapi dengan absensi kegiatan, notulensi kegiatan, dan dokumentasi kegiatan;
serta melaksanakan diseminasi publik.
(2) Pembayaran kepada Pihak Kedua dilakukan oleh Pihak Pertama dengan cara mentransfer melalui :
a. Nomor Rekening : 0436178444
b. Nama Bank : Bank Negara Indonesia c. Atas Nama : Mirza Satria Buana, Ph.D
(3) Pembayaran tersebut akan dilakukan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, apabila Pihak Pertama telah menerima Permintaan Pembayaran dari Pihak Kedua dengan disertai :
a. Kuitansi yang diberi materai secukupnya;
b. Dokumen lain yang dipersyaratkan pada Pasal 6 ayat (1).
(4) Pihak Kedua berkewajiban membuat dan menyimpan laporan pertanggungjawaban keuangan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang disertai bukti-bukti pendukung pengeluaran biaya berupa tanda terima honor/upah, bon pembelian, atau bukti pengeluaran lainnya atas biaya tersebut.
(5) Pajak-pajak yang berkaitan dengan pekerjaan ini sudah termasuk di dalam nilai pembiayaan tersebut, dan dipungut dan disetorkan sendiri ke kas negara oleh Pihak Kedua.
(6) Apabila ternyata dari bukti pendukung pengeluaran biaya tersebut sebagaimana ayat (4) terdapat sisa uang yang diserahkan Pihak Pertama kepada Pihak Kedua, maka Pihak Kedua berkewajiban menyetorkan sisa tersebut kepada kas negara melalui rekening Pihak Pertama yang akan diinformasikan kemudian.
Pasal 7
PERUBAHAN DAN ADDENDUM PERJANJIAN KERJA SAMA
1. Pekerjaan dinyatakan selesai apabila Pihak Kedua telah melaksanakan pekerjaan 100%
(seratus per seratus) sesuai ketentuan Perjanjian Kerja Sama ini;
2. Perjanjian Kerja Sama ini hanya dapat diubah melalui addendum perjanjian kerja sama.
3. Perubahan Perjanjian Kerja Sama bisa dilaksanakan apabila disetujui oleh Para Pihak, yang antara lain meliputi:
a. Perubahan pekerjaan disebabkan oleh sesuatu hal yang dilakukan oleh Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Sama sehingga mengubah lingkup pekerjaan dalam Perjanjian Kerja Sama;
b. Perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan sebagai akibat terjadinya kejadian dan/atau keadaan diluar kendali salah satu pihak dalam Perjanjian Kerja Sama ini.
c. Perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan sebagai akibat adanya perubahan pekerjaan;
Pasal 8
PEMUTUSAN PERJANJIAN KERJASAMA
1. Perjanjian Kerja Sama ini dapat berakhir dan/atau batal dengan sendirinya apabila ada ketentuan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah yang tidak memungkinkan berlangsungnya Perjanjian Kerja Sama ini.
2. Apabila salah satu dari Para Pihak mengundurkan diri setelah penandatanganan Perjanjian Kerja Sama ini atau tidak bersedia untuk melanjutkan pekerjaan berdasarkan yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama ini tanpa alasan yang dapat diterima oleh Pihak lainnya, maka Pihak lainnya tersebut berhak memutuskan Perjanjian Kerja Sama secara sepihak dan kepada Pihak yang mengundurkan diri tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Apabila salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kerja Sama ini, maka Pihak lain berhak untuk memutus Perjanjian Kerja Sama ini secara sepihak, baik sebagian atau seluruhnya, dengan pemberitahuan secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelumnya dan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
Pasal 9
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEUR)
1. Dalam hal Para Pihak tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Perjanjian Kerja Sama yang disebabkan oleh : bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, badai dan banjir); keadaan perang, huru-hara, pemberontakan dan epidemi; serta kebakaran (selanjutnya disebut keadaan memaksa) yang dinyatakan secara tertulis oleh pihak yang berwenang, maka segala keterlambatan atau kegagalan tidak dianggap sebagai kesalahan Para Pihak, sehingga Pihak yang mengalami kerugian tidak dikenakan sanksi atau denda;
2. Pihak yang terkena akibat adanya keadaan memaksa memberitahukan secara tertulis kepada Pihak lainnya, bahwa telah terjadi keadaan memaksa dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak terjadinya keadaan memaksa tersebut dengan melampirkan surat keterangan tertulis dari pihak yang berwenang demikian juga pada waktu keadaan memaksa berakhir;
3. Tindakan yang diambil untuk mengatasi terjadinya keadaan kahar/force majeur dan yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar/force majeur, ditentukan berdasar kesepakatan dari Para Pihak.
4. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini Pihak Kedua tidak memberitahukan terjadinya keadaankahar/force majeur tersebut kepada Pihak Pertama, maka keterlambatan pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini dianggap bukan sebagai akibat dari terjadinya keadaan kahar/force majeur.
5. Pemberitahuan terjadinya keadaan kahar/force majeur sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal ini harus disertai dengan keterangan dari pihak yang berwenang mengenai peristiwa tersebut dan Pihak Kedua dapat sekaligus mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyerahan pekerjaan kepada Pihak Pertama.
Pasal 10
HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
Jika diperlukan, Para Pihak sepakat akan mengatur lebih lanjut di dalam sebuah kontrak tersendiri sesuai ketentuan yang berlaku hal-hal yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual/Intelectual Property Rights (HKI/IPR) yang timbul dari pelaksanaan kerjasama ini.
Pasal 11 KERAHASIAAN
Para PIHAK sepakat bahwa seluruh data, dokumen dan informasi yang terkait dengan Perjanjian ini dalam bentuk apapun tidak terbatas dalam bentuk tertulis, lisan, maupun elektronik (selanjutnya disebut Informasi Rahasia), sifatnya adalah rahasia, sehingga Para PIHAK wajib merahasiakan dan dilarang serta tidak diperkenankan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membahas, membagi, memperlihatkan, menyebarluaskan, memberikan, memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer, dan/atau membiarkan terjadinya pengalihan, memberitahukan dan/atau mengkomunikasikan kepada pihak lain manapun, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pasal 12
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1. Segala perselisihan atau perbedaan pendapat yang timbul sebagai masalah dalam implementasi Perjanjian Kerja Sama ini, akan diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh Para Pihak.
2. Bilamana perselisihan sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya masalah tersebut, maka Para Pihak sepakat menyelesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Perjanjian Kerja Sama ini tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, segala sengketa, pertentangan dan/atau perselisihan yang timbul dari/atau sehubungan dengan ditandatanganinya Perjanjian Kerja Sama ini, atau pelanggarannya yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah (jalan damai), akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.
4. Selama penyelesaian atas sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Para Pihak sepakat akan tetap memenuhi kewajibannya berdasarkan segala sesuatu yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama ini.
Pasal 13 DOKUMEN
Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama ini, termasuk lampiran-lampiran didalamnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kerja Sama ini, berkekuatan hukum sama dan mengikat Para Pihak yang terdapat di dalamnya.
Pasal 14 KORESPONDENSI
Seluruh pelaksanaan pekerjaan yang disepakati dalam PERJANJIAN KERJASAMA ini akan menggunakan alamat sebagai berikut :
1. PPK Deputi Bidang Informasi dan Data Gedung Merah Putih KPK
Jl. Kuningan Persada Kav. 4 Jakarta Selatan 12920 Telp : (021) 2557 8300
Fax : (021) 02125578411
Contact Person : Budi Santoso (email: [email protected]) 2. Universitas Lambung Mangkurat
Telp : 081351471008
Contact person : .Mirza Satria Buana, Ph.D (email: [email protected])
Pasal 15 LAIN-LAIN
1. Segala ketentuan dan syarat-syarat dalam Perjanjian Kerja Sama ini berlaku serta mengikat bagi pihak-pihak yang menandatanganinya.
2. Perjanjian Kerja Sama ini terdiri dari beberapa dokumen dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3. Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Perjanjian Kerja Sama ini diselesaikan bersama melalui perundingan antara Pihak Pertama dan Pihak Kedua, yang dituangkan dalam Addendum/Amandemen yang ditandatangani bersama, serta merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Perjanjian Kerja Sama ini.
4. Perubahan terhadap Perjanjian Kerja Sama ini hanya berlaku apabila disetujui dan ditandatangani oleh Para Pihak.
Pasal 16 PENUTUP
Perjanjian Kerja Sama ini dibuat sebanyak 3 (tiga) rangkap bermaterai cukup serta masing- masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan dipegang oleh PARA PIHAK.
Pihak Pertama Pihak Kedua
SUGIHARTONO
PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DIREKTORAT PJKAKI
Prof. Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., H.Hum.
DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMNUNG MANGKURAT
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) Kalsel [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
This research analyses political education on anti-corruption and gender equality in political parties. Political education for female politicians is ineffective because women are still considered merely as an ‘object’ to perpetuate patriarchy political dynasty. Most of political parties are centralized and dependent with political figure as a ‘strong leader’. As a result, political education’s curriculum is a sort of doctrinization of parties’ political figures. It lacks of anti-corruption and gender equality perspectives. Reform should start from within by changing its paradigm into member-based and mass political party. In doing so, political education can leverage female politicians.
Keywords: political education, anti-corruption, gender equality, oligarchy-patriarchy, mass- party.
Abstrak
Penelitian ini melakukan analisis terhadap pendidikan politik antikorupsi dan kesetaraan gender di beberapa partai-partai politik. Pendidikan politik terutama bagi politisi perempuan belum maksimal karena perempuan masih dianggap sebagai ‘alat’ guna melanggengkan politik dinasti. Makna kesetaraan gender terdegradasi oleh kepentingan oligarki-patriarkis di partai politik. Partai politik harus direformasi menjadi partai berbasis anggota (member-based) dan massa (mass party), agar pendidikan politik dalam dilakukan secara konsisten dan berdampak emansipatoris terhadap kader politisi perempuan. Jejaring OSP perempuan di partai politik perlu diperkuat dengan lembaga swadaya masyarakat untuk memberi penguatan pendidikan antikorupsi dan memberi subsidi real cost politik kepada politisi perempuan.
Kata Kunci: pendidikan politik, antikorupsi, kesetaraan gender, oligarki-patriarkis, mass- party.
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
Pendahuluan oligarki. Dengan kata lain, kesetaraan gender alih-alih membawa peningkatan substantif terhadap indeks demokrasi dan negara hukum, malah menjadi ‘alat’ yang dipakai untuk melanjutkan kekuasaan politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Semakin bertambahnya kuantitas perempuan dalam arena politik, sayangnya tidak berbanding lurus dengan penguatan kebijakan-kebijakan pro-kelompok rentan, advokasi keadilan afirmasi dan sensitif gender, malah tetap menghamba pada kepentingan oligarki yang predatorik.
Dengan kata lain, kesetaraan gender semata menjadi gimmick atau tokenism yang dipajang, tanpa diberi makna substantif.
1. Latar Belakang Masalah
Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu penyebab lambatnya akselerasi pembangunan negara hukum Indonesia.
Korupsi sebagai kejahatan destruktif tidaklah semata berjangkar pada syahwat individu semata, yang kemudian terkristalisasi menjadi ‘budaya’ politik.
Namun merupakan sebuah bentuk kejahatan yang lahir dari struktur yang despotik, elitis sekaligus diskriminatif.
Dalam konstruksi pemikiran Winters (2011), ketidakadilan struktural tersebut menciptakan hierarki kekuasaan yang dipegang oleh pemilik modal yang berkelindan dengan penguasaan kapital politik, perpaduan keduanya menciptakan kekuasaan oligarki yang predatorik.
Kesetaraan gender di partai politik memerlukan penguatan substantif lewat pendidikan politik yang sejatinya merupakan tanggung-jawab utama dari partai politik. Lewat pendidikan politik yang inklusif dan memahami serta menerapkan esensi antikorupsi dan kesetaraan gender, partai politik dapat efektif berfungsi sebagai ‘jembatan’ antara idealitas demokrasi dan aspirasi rakyat dengan realitas politik. Pendidikan politik dengan bobot antikorupsi dan kesetaraan gender dapat meningkatkan kualitas politisi perempuan dan menghindarkan diri dari jebakan kooptasi kelompok oligarkis- partiarkis yang semata memandang mereka sebagai ‘alat’. Namun analisis terhadap pendidikan politik, sebagai salah satu sub- sistem dari sistem partai politik, tidak dapat menafikan konteks partai politik secara umum dan paradigma politik yang menaunginya.
Dalam tataran praktiknya, perempuan tidak semata menjadi ‘korban’
dari struktur partiarkis-oligarkis, namun juga dapat menjadi penyambung aspirasi kepentingan oligarki yang patriarkis. Data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 hingga saat ini tercatat sebanyak 29 perempuan tersangkut masalah korupsi, baik itu terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, ada yang sudah ditahan maupun yang masih dalam proses di persidangan.
Fenomena tersebut dapat menggambarkan bagaimana penetrasi kekuasaan patriarkis oligarkis sudah terlampau merusak sehingga mampu mengubah, merekayasa dan pada akhirnya mendegradasi makna dari kesetaraan gender untuk kepentingan kekuasaan patriarkis-oligarkis.
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan menganalisa beberapa permasalahan-permasalahan, sebagai berikut:
Kebijakan kesetaraan gender yang bersifat afirmatif dengan memberi kelonggaran dan kemudahan bagi perempuan, sebagai kelompok rentan untuk beraktualisasi dalam arena politik telah terdegradasi maknanya oleh kekuasaan
1. Bagaimana relasi dan realitas antara Pendidikan Politik Antikorupsi dan Kesetaraan Gender di Partai Politik?
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
2. Bagaimana strategi penguatan Pendidikan Politik Antikorupsi dan Kesetaraan Gender di Partai Politik?
dipilih sebagai responden adalah representasi dari partai politik mereka.
Untuk memberi pola pandang yang berbeda dan bahkan dapat memberi tambahan informasi dan klarifikasi, penelitian ini itu juga melibatkan kelompok dan organisasi masyarakat madani (civil society) sebagai responden. Aktivis perempuan yang dipilih sebagai responden adalah aktivis yang bergelut dalam bidang elektoral, keadilan masyarakat marginal dan gender. Perludem, YLBHI dan Komnas Perempuan adalah organisasi yang akan menjadi responden penting dalam penelitian ini.
3. Metodologi Penelitian
Guna menjawab problematika struktural diatas, penelitian ini memakai metode penelitian hukum interdisipliner atau dikenal dengan socio-legal methodology (Banakar dan Travers, 2005).
Fenomena degradasi makna atas kesetaraan gender yang bermuara pada penggunaan konsep tersebut untuk melanggengkan dinasti kekuasaan oligarki, dan relasi kesetaraan gender dengan antikorupsi dalam pendidikan politik di partai politik diteliti dengan mengkaji beberapa norma baik dalam perundang- undangan maupun dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai-partai politik. Pemahaman terhadap konteks digali lewat tulisan dan penelitian- penelitian terdahulu yang mengakat tema serupa, wawancara semi-terstuktur dan observasi lapangan.
4. Tinjauan Pustaka
a. Partai Politik dan Pendidikan Politik Antikorupsi
Namun, partai politik tetaplah sebagai ‘pemakai utama’ dari kader-kader partai tersebut untuk mewujudkan tujuan politik dari partai politik, yakni kekuasaan dalam arena parlementarian. Lewat relasi ini sejatinya, kader dan partai politik memiliki hubungan yang saling menyokong secara politis.
Penelitian ini memilih 5 (lima) partai politik: Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai obyek kajian. Pemilihan didasarkan pada alasan- alasan, sebagai berikut: pertama, kelima partai tersebut memiliki struktur dan jejaring kelembagaan yang kuat mengakar ditingkat akar rumput (grassroot); kedua, kelima partai politik tersebut memiliki karakter politik-ideologis yang beragam dan memiliki lama pengalaman politik yang berbeda. Dengan kemajemuknya karakter dari partai- partai politik tersebut, diharapkan temuan penelitian lebih kaya akan perspektif. Dari kelima partai politik diatas, akan dipilih responden, yakni politisi perempuan yang dipilih berdasarkan pengalaman dan pengetahuan terkait pendidikan politik, antikorupsi dan kesetaraan gender. Politisi perempuan yang
Namun relasi partai politik dengan kader partainya tidak semata bersifat politis. Dalam cita negara hukum dan demokrasi, partai politik adalah instrumen krusial dalam memberikan pendidikan politik kepada warga negara. Dalam konteks ini, partai politik sejatinya memiliki peran ideologis untuk mencerdaskan pendidikan politik bangsa, hal tersebut sebagaimana peran dan tujuan mulia dari pembentukan negara hukum Indonesia.
Sayangnya potensi strategis partai politik diatas tidak diikuti dengan pelembagaan pendidikan politik antikorupsi. Lewat data KPK diperoleh gambaran sekitar 35-87% tersangka suap dan korupsi pada kuartal 3 tahun 2018 adalah politisi dari partai politik. Data tersebut merupakan sinyalemen kuat, bahwa partai politik, terutama pendidikan
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
politik gagal menghasilkan politisi partai yang berintegritas. Kegagalan membangun politik berintegritas dan antikorupsi di partai politik, setidaknya berjangkar pada 4 (empat) variabel berikut: tidak adanya standar etik dan politis, proses rekrutmen politik dan kaderisasi yang buruk; serta sistem pendanaan partai politik yang tidak akuntabel dan transparan. (Haris dan Nurhasim et al, 2018).
membership fee and collateral activities, party cooperatives and unions). Keempat, menekankan pentingnya ideologi partai (stress on ideology). Dan yang kelima, partai politik menjadi ‘payung’ bagi organisasi sayap yang bersifat aktif dan militan (an umbrella organization of several active and milia smaller groups).
Sistem rekrutmen yang tidak demokratis sebagaimana tersebut kemudian memperkuat relasi politik dinasti-keluarga di partai politik yang berdampak sistemik pada tergerusnya mereka yang kompeten, memiliki kemampuan dan rekam jejak integritas yang baik. Salah satu kelompok rentan yang terdampak signifikan adalah politisi perempuan yang tidak memiliki sumber daya ekonomi dan relasi politik. Mereka harus berhadapan lewat kontestasi yang tidak adil dengan politisi laki-laki dan perempuan yang disokong oleh kekuatan oligarkis.
Pendidikan politik dalam partai politik merupakan hulu dari sistem rekrutmen dan kaderisasi partai. Partai politik merupakan peserta pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR dan DPRD, dan pengusung pasangan calon dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam ranah politik lokal partai politik juga merupakan pengusung pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Selain itu partai politik melalui DPR, adalah lembaga penentu akhir seleksi beberapa jabatan publik di komisi- komisi negara.
Kaderisasi partai politik merupakan tujuan menengah dari pendidikan politik.
Dengan hadirnya sistem pendidikan politik antikorupsi yang terlembaga dan terstruktur secara hierarkis dengan metode berbasis meritokrasi, maka partai politik menjadi institusi politik yang berbasis massa sekaligus programatik atau mass- programmatic party.
b. Perspektif Kesetaraan Gender dalam Partai Politik
Dalam mencandra fenomena terkooptasinya politisi perempuan dalam relasi oligarkis-partiarkis di partai politik, penelitian ini memakai pendekatan teoritik dari Elinor Ostrom (1990) yang menyoroti terjadinya Tragedy of the Commons atau Tragedi Kolektif yang berdampak pada semua lapisan masyarakat. Tragedi tersebut terjadi karena hasrat dan keinginan berlebih untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan individu atau golongan tertentu saja.
Dengan menafikan aspek proporsionalitas dan distribusi kekayaan kepada masyarakat atau kelompok rentan lain, termasuk dalam hal ini perspektif kesetaraan gender dan antikorupsi. Dalam konteks politik, relasi oligarki yang melahirkan budaya koruptif yang berujung pada tindak korupsi mendekatkan manusia pada Tragedy of the Commons.
Partai massa programatik memiliki beberapa karakter spesifik, sebagai berikut:
pertama, memiliki jumlah keanggotaan yang baik secara kuantitas dan kualitas kuat, relasi vertikal kuat dan keterikatan horizontal yang kuat bagi anggotanya untuk memilih partai tersebut (strong membership party, strong vertical organizational ties and has ‘electorate of belonging’). Kedua, memiliki kepemimpinan kolegial, tidak bertumpu pada satu tokoh semata (collegial leadership). Ketiga, pembiayaan partai politik lewat iuran dan sumbangan anggota, dan lewat usaha mandiri, koperasi partai dan usaha-usaha lain (financing through
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
Candraningrum (2020)
menambahkan bahwa relasi dominasi tersebut menitikberatkan pada perbedaan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
Relasi tersebut memelihara narasi publik bahwa posisi laki-laki superior dibandingkan dengan perempuan dan minoritas seksual lain, dengan tujuan untuk memelihara dan merawat kekuasaan yang diskriminatoris.
maskulin. Perempuan dipersepsikan hanya cocok dengan kerja domestik dan pengurusan (domestic and care works).
Wong (2012) berargumen perlunya dekonstruksi pemahaman dari kerja domestik dan pengurusan tersebut, karena pemahaman tersebut secara fisik, mental/emosional dan politik/ideologis menjauhkan perempuan dari pemberdayaan diri perempuan. Selama masih ada pemahaman dalam dunia politik, bahwa perempuan seharusnya bertugas di dapur, bukan memimpin partai politik dan laki-laki harus menghindari kerja dan peran domestik pengurusan rumah tangga, maka kesetaraan gender tidak akan pernah dapat terealisasi dengan baik.
Paradigma netral terhadap gender mempengaruhi banyak aspek-aspek krusial dalam partai politik, semisal memperlakukan perempuan hanya sebagai voters, semata sebagai pendukung suami dalam kontestasi politik dan melanjutkan
‘amanah’ suami dalam relasi politik dinasti.
Peran-peran diatas dianggap sebagai suatu keniscayaan bagi seorang perempuan (natural to being a woman).
Kerangka teori diatas juga perlu dipahami dalam konteks pandemi Covid-19 yang tidak terkecuali melanda Indonesia.
Mietzner (2020), memberi pemaparan bernas terkait dampak Covid-19 terhadap demokrasi dan negara hukum (rule of law) di Indonesia. Setidaknya ada beberapa aspek-aspek yang terpengaruh, misalnya:
semakin menebalnya politik populisme dan semakin tajamnya polarisasi antar elit-elit negara yang berkorelasi dengan meningkatnya klientalianisme dan korupsi politik. Herlambang (2020) memberi penegasan bahwa pemerintah alih-alih fokus menyelesaikan isu kesehatan publik, malah menekan kebebasan sipil dan aspirasi masyarakat ditengah pandemi yang semakin mengganas. Penurunan kualitas demokrasi di masa pandemi diatas tentu yang paling mengalami dampak adalah kelompok perempuan.
Erlina dan Normadilla (2020) menyatakan kesetaraan gender di Parlemen bertujuan untuk memastikan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki.
Parlemen diharapkan mampu membuat model kebijakan dan memajukan kepekaan gender dalam penyusunan kebijakan dan anggaran yang responsif gender. Telah cukup banyak peraturan perundang- undangan yang ada di Indonesia, khususnya di tingkat nasional yang merupakan bagian dari upaya untuk pengimplementasian hak konstitusional perempuan, namun masih banyak pula peraturan perundang- undangan, khususnya di tingkat daerah
yang justru menghambat
pengimplementasian hak konstitusional perempuan. Disinilah diharapkan politisi perempuan mempunyai akses, partisipasi, kontrol dan manfaat di parlemen dan juga di partai politiknya sendiri.
Candraningrum (2020) menyatakan dengan munculnya pandemi COVID-19 dan berubahnya tatanan dunia dalam berbagai mantranya, perempuan di berbagai belahan dunia mengalami krisis dan kerentanan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Perempuan dan kelompok minoritas seksual semakin terpinggirkan dan mengalami pemiskinan struktural, krisis Perubahan paradigmatik dalam
partai politik idealnya berjangkar pada beberapa pemahaman-pemahaman berbasis gender. Perempuan secara kultural telah terlanjur diasosiasikan tidak cocok dengan dunia politik kepartaian yang
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
kesehatan bermetafora menjadi krisis ekonomi, politik dan sosial budaya. Krisis kesehatan melahirkan krisis gender, antara lain rentannya perempuan mengakses kesehatan tubuh, reproduksi dan seksualnya, dan kekerasan domestik yang semakin intensif di masa lockdown.
(Candraningrum, Hunga dan Dhewy, 2020).
memastikan kesenjangan struktur-kultural tersebut terkikis secara bertahap dalam masyarakat pasca-otoritarian yang transisional.
Kesetaraan gender dianggap dapat menjadi salah satu ‘terapi’ bertahap untuk memperbaiki bobroknya tata kelola pemerintahan pasca-otoritarian yang koruptif dan kolusif akibat warisan sistem kultural-politis patrimonial yang patriarkis.
Perempuan lebih banyak dirugikan dalam sistem yang korup dibandingkan laki-laki.
Di banyak negara, orang-orang yang memenangkan kasus hukum cenderung terlibat dengan jaksa dan hakim yang korup. Sementara kebanyakan perempuan enggan terlibat dengan cara ini. Prosedur peradilan dan sistem yang korup membuat perempuan dalam banyak kasus sulit untuk memenangkan proses hukum secara transparan dan terbuka. Sebuah sistem hukum yang korup memperkuat diskriminasi gender yang ada di banyak negara. Hak-hak sipil perempuan banyak yang diperlakukan tidak adil, terutama yang berkaitan dengan perkawinan/perceraian, hukum keluarga, hak asuh anak, kemandirian finasial dan warisan dan hak milik. (Buku Saya Perempuan Anti Korupsi, 5).
Pembahasan
1. Relasi Pendidikan Politik Antikorupsi dan Kesetaraan Gender dalam Partai Politik
Dalam konteks pasca-otoritarian, Indonesia masih dalam proses transisi demokrasi yang merupakan fase rawan dalam pembangunan demokrasi: suatu negara dapat melesat indeks demokrasinya atau malah kembali terjeramba dalam kubangan otoriter gaya baru (neo- authoritarianism). Cita negara demokrasi haruslah dijaga oleh sistem hukum yang kuat dan terpercaya. Disinilah relevansi atau pentingnya prinsip- prinsip ‘negara hukum’ (rule of law). Prinsip negara hukum setidaknya berjangkar pada 2 (dua) postulat penting: penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan lahirnya sistem pembatasan kekuasaan.
Pencitraan pemimpin maskulin (personalism) tergambar pada cita diri Presiden Soekarno, terutama dimasa Demokrasi Terpimpin, sebagai ‘Bapak Revolusi’ dan Presiden Soeharto sebagai
‘Bapak Pembangunan’ di era Orde Baru.
Berdasar pada penalaran diatas, lewat perjuangan aktivisme yang panjang dan melelahkan, pemerintah akhirnya bersepakat untuk memasukkan norma affirmative action untuk 30 % kuota perempuan di UU No. 12 Tahun 2013 tentang Pemilu.1 Pasal 65 Ayat (1) UU Berjangkar pada Pasal 28D yang
memberi ruang kebebasan yang anti terhadap struktur-kultural yang diskriminatif tersebut, kesetaraan gender menjadi aspek yang sangat krusial dalam ikhtiar reformasi hukum dan politik di Indonesia. Kebebasan dan HAM haruslah dimaknai sebagai keharusan adanya peran dan persepsi yang setara antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam ranah publik. Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengawasi sekaligus
1 Wawancara dengan Eva Sundari, Politisi Senior PDI-P, 12 Juli 2020. Dalam beberapa dokumentasi, tercatat bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lewat ketua umumnya sekaligus Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri pernah menolak wacana kuota 30% perempuan. “Mengapa harus 30 %, mengapa tidak 20 % atau 50 %, bahkan 100% pun kalau memang mampu mengapa tidak?
Tidak ada yang menghalangi, silakan saja bersaing!”
“Tidak perlu minta-minta belas kasihan, jatah 30 % malah merendahkan derajat dan martabat perempuan. “Penyataan ini adalah yang disampaikan
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
Pemilu menyatakan, “Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mencalonkan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%.”
politik yang sejatinya merupakan awal mula proses pembinaan kader dan rekrutmen politisi di partai politik. Partai politik bisa berperan strategis untuk memutus anasir negatif dari liberalisasi elektoral tersebut dengan melaksanakan pendidikan politik yang efektif (untuk semua politisi, baik laki- laki maupun perempuan), proses kaderisasi dengan internalisasi nilai-nilai antikorupsi, dan proses penjaringan dan pencalonan yang taat nilai integritas dan meritokrasi.
Dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif bahkan ditegaskan bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan (zipper system).
Selain itu, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan UU No 2 Tahun 2011 juga menegaskan pemenuhan persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat (DPP).
a. Perempuan dan Korupsi
Berdasarkan data statistik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) posisi atau jabatan yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi diduduki oleh jabatan DPR dan DPRD, sebagaimana berikut:
Sebuah lembaga survei di Republik Georgia mengeluarkan temuan penelitian terkait data statistik yang menyebutkan 93,4 % korupsi dilakukan oleh laki-laki.
Perusahaan dengan pemilik atau manajer laki-laki membayar suap sebesar lebih kurang 11%. Sedangkan, perusahaan- perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh perempuan membayar suap sebanyak lebih kurang 5% dari kesempatan yang datang ketika berhubungan dengan lembaga pemerintah. Perempuan dianggap memiliki standar perilaku etis dan kepedulian pada kepentingan umum yang lebih tinggi. (Buku Saya Perempuan Anti Korupsi, 13).
Indonesia, alih-alih bicara kesetaraan gender, keterwakilan perempuan dalam politik saja belum mencapai target.2 Hukum tentang perwakilan perempuan diatas merupakan wujud afirmasi atau persetujuan kolektif- politis dari de facto equality menjadi de jure equality.3 Politik yang pro kesetaraan gender haruslah diatur dalam kebijakan hukum perundang-undangan yang transparan, rinci dan konsisten agar perempuan dapat berkontestasi secara setara untuk mendapatkan kekuasaan politik (Paxton et al, 2010: 28).
Pendapat ini sebenarnya bisa diperdebatkan karena seolah hanya menyalahkan sistem pemilihan yang terkesan ‘liberal’ semata, namun abai terhadap fakta bobroknya sistem dan paradigma pendidikan politik di partai
Namun perlu juga digaris bawahi bahwa, beban moril sebagai ‘penyelamatan demokrasi’ kepada politisi perempuan sejatinya merupakan muara dari ekspektasi yang dibangun oleh ‘asumsi- asumsi’
feminisme diatas juga. Dengan kata lain,
‘asumsi-asumsi’ tersebutlah yang menjadi sumber beban moril tambahan bagi politisi perempuan itu sendiri.
oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dalam pidato- pidato resmi.”
2 Wawancara dengan Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Partai Golkar, 24 Juli
2020. Adapun ‘beban sosial’ perempuan
tersebut juga dapat bermakna konstruktif dengan membentuk karakter perempuan menjadi lebih teliti dan hati-hati, sehingga
3 Scholastica Gerintya, "Kuota 30% Perempuan di Parlemen Belum PernahTercapai", diakses 12 Juli 2020, https://tirto.id/kuota-30-perempuan-di- parlemen-belum-pernah-tercapai-cv8q.
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
cenderung menjauhkan perempuan dari praktik korupsi. Pendapat diatas perlu dicerna dengan baik bahwa bukan berarti perempuan imun terhadap perilaku koruptif dan praktik korupsi. Korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, hanya saja pada akhirnya memang lebih banyak laki-laki yang melakukan korupsi.4 Hal ini karena kebanyakan para pengambil kebijakan politik adalah laki-laki.
kesempatan yang lebih banyak dan lebih besar dalam melakukan pendidikan integritas kepada anak-anaknya. Potensi inilah yang kemudian menjadi peluang strategis dalam mengadvokasi gerakan perempuan untuk mencegah korupsi, salah satunya adalah gerakan SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi).5
Namun kembali ditekankan bahwa praktek korupsi terbuka untuk semua, baik perempuan ataupun laki-laki memiliki potensi yang sama, karena menyangkut persoalan relasi kuasa, kesempatan, integritas dan pendidikan karakter di usia muda.6 Dalam konteks pendidikan politik di partai politik perlu dipertanyakan secara kritis, nilai-nilai apa yang ditanamkan oleh partai politik? dan kemudian ketika kadernya telah terpilih menjadi seorang pejabat publik, sanksi apa yang diberikan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran, termasuk melakukan tindak pidana korupsi?
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh ICW pada tahun 2019, tercatat 5 (lima) sektor yang paling banyak di korupsi dalam periode tahun 2018, kelima sektor tersebut antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan kelima sektor tersebut, satu diantaranya merupakan sektor kesehatan, dimana jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan dari tingginya korupsi di sektor kesehatan, maka perempuan lah yang akan mendapat dampak lebih besar dibanding dengan laki-laki. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan perempuan di sektor kesehatan yang lebih besar, misalnya berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Berdasarkan data yang didapat dari ASEAN Secretariat (2017), Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada tahun 2015 merupakan 2 (dua) terbesar jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Salah satu penyebab terjadinya adalah dikarenakan minimnya fasilitas kebidanan di daerah pedesaan yang membuat pertolongan pada ibu hamil tidak dapat ditangani secepatnya.
b. Antikorupsi dan Kesetaraan Gender
Halloran (1998) menyorot politik dinasti sebagai kontruksi pembusukan politik, dimana institusi politik gagal mencipta pemimpin yang sesungguhnya (rotten organization incapable of producing a real leader). Dalam perspektif strukturalis, ketidaksetaraan pasti menimbulkan dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain (Underkuffler, 2009: 32).
Dominasi tersebut kemudian menimbulkan relasi turunan yang menjadi awal relasi koruptif yaitu: relasi patron- klien. Rasma Karklins (2002, 24) menyatakan bahwa korupsi yang paling Meskipun demikian, perempuan
juga sekaligus memiliki potensi memberi penguatan terhadap pendidikan politik antikorupsi. Perempuan sebagai pendidik yang pertama dan utama memiliki peluang dan peran penting dalam pendidikan politik terutama di usia dini. Perempuan memiliki
5 Wawancara dengan Alimatul Qibtiyah, 5 September 2020, Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Agen SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi) Yogyakarta, 5 September 2020
6 Wawancara dengan Mariatul Asiyah, Aktivis Perempuan dan Interfaith dan Ketua Komunitas Pelangi Banjarmasin, 1 September 2020.
4 Wawancara dengan Firliana Purwanti, Politisi Partai Demokrat, 11 Agustus 2020.
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
berbahaya dan merusak tatanan kehidupan bernegara adalah korupsi yang membajak infrastuktur politik negara lewat jejaring kelompok korup (state capture by corrupt network). Jejaring kelompok korup ini sepadan dengan istilah oligarki (Winters, 2011) yang membajak institusi politik negara secara de facto, walaupun secara de jure negara masih dianggap sebagai negara yang konstitusional. Dengan kata lain, konstitusi dan citra negara hukum tetap dipakai negara sebagai legitimasi, namun pengambilan kebijakan-kebijakan strategis negara tetaplah diatur kelompok-kelompok dominan tersebut. Struktur ini kerap disebut sebagai rezim prerogatif (prerogative regime). Lewat relasi struktural seperti ini, relasi patron-klien di internal partai politik menjadi sangat dominan; politisi perempuan dipakai sebagai ‘alat’ melanggengkan kekuasaan lewat politik dinasti dengan tujuan-tujuan yang jauh dari aspirasi perempuan.
Dengan mengkapitalisasi gerakan antikorupsi, terutama dalam pendidikan politik, politisi perempuan akan lebih berdaya dan pada akhirnya akan mampu setara secara kualitas dan integritas dengan politisi laki-laki. Perlu dilihat dan dicermati bagaimana realitas pendidikan politik di beberapa partai-partai politik.
2. Realitas Pendidikan Politik Antikorupsi dan Kesetaraan Gender dalam Partai Politik
Kembali kepada pendapat dari Iwanaga (2008) yang mengetengahkan postulat idealis bahwa partai politik seharusnya menjadi ‘fasilitator’ untuk mewujudkan aspirasi publik akan pranata pemerintahan yang anti-KKN dan berperspektif kesetaraan gender. UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Partai politik secara normatif mengatur tentang fungsi partai politik sebagai “sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara” (Pasal 1 Ayat 1 angka 4). Selain itu, partai politik juga bercita-cita untuk meningkatkan “partisipasi politik anggota masyarakat” (Pasal 10), dengan “penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara” (Pasal 11 Ayat 1 huruf c).
Goetz dan Jenkins (2018) berargumen bahwa keterwakilan perempuan dalam ranah politik tidak hanya harus dimaknai sebagai ketersediaan
‘akses’, namun ‘akses’ tersebut harus diikuti dengan kebermaknaan yang substantif.
Keterwakilan perempuan harus membuka jalan kepada proses emansipasi dan kesetaraan gender yang benar- benar berorientasi pada nilai keadilan, tanpa embel-embel asumsi-asumsi bahwa perempuan lebih bersih (less corrupt).
Dengan kata lain, perempuan harus terwakilkan dan setara hak dan kewajibannya dengan laki-laki karena hal tersebut adalah idealitas dari nilai-nilai keadilan dan non-diskriminatif (justice and fairness).
a. Norma pengaturan Affirmative Action dan Sensitivitas Gender PDI-P merupakan partai politik yang paling tegas mengatur kebijakan affirmative action kepada politisi perempuan, terutama dalam struktur dan komposisi keseluruhan DPP, DPD dan DPC (Pasal 60 Ayat 1 dan 2), walaupun kebijakan afirmasi tersebut masih memakai pilihan kata ‘memperhatikan’ dan
‘mempertimbangkan’ yang masih sumir.
Pilihan kata yang tepat seharusnya
‘mensyaratkan’. Namun dibandingkan Dengan membangun jejaring
perempuan antikorupsi dalam beberapa sektor publik, perempuan memiliki pemberdayaan kolektif (power within) untuk memberi makna substantif atas kesetaraan gender (Dyer, 2016/2017, 14).
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
dengan PDI-P, partai-partai lain, semisal Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat dan PKS tidak secara jelas dan tegas mengatur kebijakan afirmasi tersebut.
kader yang koruptif dan manipulatif.
Semisal di Partai Gerindra, hanya pelanggaran terkait AD/ART dan etika partai yang dapat diajukan kepada Majelis Kehormatan Partai (Pasal 19 Ayat 2 huruf j). Pelanggaran yang dapat ditindak dengan sanksi pemberhentian hanya pada keabaian anggota DPR dan DPRD tidak memenuhi kewajiban membayar sumbangan penghasilan sebesar 25% dari penghasilan yang diterima sebagai anggota DPR dan DPRD (Pasal 28).
Upaya afirmasi dilakukan semisal dengan adanya kewajiban di PDI-P bahwa dalam struktur kepengurusan partai secara berjenjang dari pusat sampai kelurahan harus mematuhi kebijakan 30%
perempuan. Apabila jumlah perempuan tidak mencukupi maka Surat Keputusan (SK) dapat dibatalkan.7 Kebijakan yang sama juga telah dipraktikkan oleh Partai Demokrat, hasil dari Muscab maupun Musda tidak akan disetujui oleh DPP jika tidak memenuhi 30% kepengurusan oleh perempuan. Pimpinan partai (SBY dan AHY) juga sangat mendukung politisi perempuan.8
c. Keterbukaan Proses Kaderisasi dan Rekrutmen Politik
Proses kaderisasi dan rekrutmen politik merupakan aspek yang saling berkelindan dengan pendidikan politik.
Kaderisasi merupakan wadah pendidikan politik, namun pendidikan politik sendiri merupakan esensi substantif sekaligus mekanisme strategis untuk membangun proses kaderisasi yang dapat dipertanggung- jawabkan. Dalam tataran idealis, hanya kader-kader terbaik yang kemudian di rekrut untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di internal partai.
Dengan kata lain, rekrutmen politik yang baik adalah yang memperhatikan dengan seksama proses pendidikan politik dan kaderisasi.
b. Otoritas dan Kontrol pada Partai Politik dan Struktur OSP Perempuan
Hampir semua partai-partai politik di Indonesia berkarakter sentralistik dan ketokohan, bahkan cenderung menjadi partai milik keluarga yang menjadi patron utama partai. Semisal di PDI-P, Ketua Umum adalah sentral kekuatan politik partai yang berwenang, bertugas, bertanggung jawab dan bertindak baik ke dalam maupun keluar atas nama Partai (Pasal 28 Ayat 1). Bahwa Ketua Partai sekaligus memiliki hak prerogatif (Pasal 28 Ayat 2) yang memiliki hak menetapkan peraturan-peraturan diluar hierarki aturan partai (Pasal 85).
Dalam AD PDI-P, dijelaskan tentang mekanisme pengkaderan secara berjenjang (Pasal 15 Ayat 2). Namun terbuka juga kesempatan bagi anggota kehormatan partai yang dianggap berjasa luar biasa kepada partai (Pasal 16). Dalam penempatan anggota partai dalam jabatan politik dan jabatan publik, AD menegaskan bahwa partai lah yang menugaskan mereka untuk menduduki jabatan/posisi tersebut (Pasal 20 Ayat 1 dan 2). Dengan kata lain, pejabat publik dan politik dari PDI-P adalah petugas partai, yang mana mereka harus selalu tunduk dan patuh pada aturan partai.
Namun mekanisme internal penegakan integritas dan antikorupsi tidak ditegaskan secara eksplisit dalam peraturan internal partai-partai politik. Selain itu kontrol kuat partai terhadap pelanggaran- pelanggaran tersebut tidak secara eksplisit terhubung dengan tindakan anggota dan
Dalam pengaturan internal Partai Golkar, tidak dijelaskan tentang jenjang pendidikan kaderisasi, hanya dijelaskan
7 Wawancara dengan Wa Ode Herlina, Ketua DPC PDIP Jakarta Pusat, 29 Juli 2020.
8 Wawancara dengan Firliana Purwanti, Politisi Partai Demokrat, 11 Agustus 2020.
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
tentang beberapa kriteria-kriteria untuk menjadi kader, anggota dan pengurus partai, yang mana salah satunya adalah tidak pernah terlibat G 30 S/PKI (Pasal 12).
Lebih lanjut dalam pengkaderan, dalam ART dijelaskan bahwa DPP dapat menetapkan seseorang sebagai kader berdasarkan jalur prestasi (Pasal 5 Ayat 2).
untuk berebut peluang 30% kuota dan kuasa elektoral, namun yang paling dimudahkan adalah tentu politisi perempuan yang disokong oleh kuasa oligarki dan jejering keluarga yang sudah mapan di suatu partai politik. Lewat sistem rekrutmen dengan relasi dinasti keluarga, aspirasi perempuan akan terus menjadi aspirasi ‘pinggiran’. Kebutuhan politik dinasti keluarga dianggap hal yang lumrah, dimana sudah sewajarnya anak (perempuan) atau istri mengikuti jejak ayah atau suami mereka di politik, selama mendapat dukungan internal partai.10 Di Partai Golkar, sebagai wujud loyalitas terhadap partai, setiap kader Golkar diminta untuk memberi anjuran kepada keluarga untuk bergabung dan memilih Partai Golkar.11
Semua partai politik memiliki anomali dalam proses rekrutmen politik.
Proses persetujuan dan pencalonan semuanya berjangkar pada ‘hak veto’ ketua, dewan pembina serta ‘logika elektoral’.
Proses-proses yang tidak transparan tersebut cenderung abai terhadap mekanisme akuntabilitas publik dan sistem merit. Proses pengambilan keputusan pada Musyawarah dan/atau Rapat Partai Golkar didasarkan pada asas musyawarah untuk mufakat (Pasal 36). Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut tentang bagaimana
‘musyawarah mufakat’ tersebut dilakukan.
Kesumiran makna ‘musyawarah mufakat’
malah dapat membuka celah praktek candidacy buying di tubuh partai politik.
Begitu juga dalam AD Partai Demokrat, rekrutmen atau pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi, dengan memperhatikan integritas, rekam jejak dan kesetaraan (Pasal 13 Ayat 5). Namun, kata
‘memperhatikan’ tidak memiliki sifat memaksa atau keharusan.
Argumentasi bahwa dinasti politik yang akan memberi ‘keberlanjutan pembangunan’ tentu sangat lemah, karena praktek tersebut malah semakin mempertebal dominasi politik oligarkis sembari menggerus kompetisi dalam kontestasi internal partai maupun eksternal di pemilu. Klaim ‘bernilai manfaat’ untuk publik pun merupakan klaim yang terlalu optimis, yang masih ‘jauh panggang dari api.’ Politik dinasti memang tidak dilarang (pasca Putusan MK), namun praktek tersebut mencederai moral politik, dimana politik seharusnya memberi kemanfaatan kepada semua pihak, bukan kepada satu keluarga atau kelompok (dinasti) tertentu saja.
Kuasa kepentingan oligarki yang menunggangi partai politik sangat kentara terutama dalam proses penjaringan bakal calon kepala daerah, sering terjadi konflik atau ketidak sepahaman kepentingan politik antara DPP dengan DP Provinsi, Kota/Kabupaten. Hal ini membuat arena politik menjadi tidak bersih (unfair) dan manipulatif, yang berujung pada pembusukan demokrasi.9
Kegagalan tersebut berkecambah menjadi dominasi laki-laki dan diskriminasi terhadap perempuan melalui proses politik- struktural yang determinan. Namun ada celah agenda reformasi dalam internal partai politik, sensitivitas gender yang Lewat politik afirmasi, politisi
perempuan saling bersaing antara sesama 10 Wawancara dengan Hj. Novita Wijayanti, Anggota Komisi V DPR-RI dari Partai Gerindra, 27 Juli 2020.
11 Wawancara dengan Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Partai Golkar, 24 Juli 2020.
9 Wawancara dengan Anonim, 20 September 2020.
PARADIGMA PENDIDIKAN POLITIK ANTIKORUPSI DAN KESETARAAN GENDER DI PARTAI POLITIK
belum terlembaga harus dikapitalisasi oleh gerakan perempuan. Relasi kelindan antara pendidikan politik dengan mekanisme kaderisasi dan rekrutmen politik perlu dipertegas lewat rekayasa hukum dan gerakan aktivisme di internal partai politik.
strategis di parlemen dan pemerintahan (office-seeking party). Sulit disangkal bahwa hampir semua partai-partai politik di Indonesia telah terpenetrasi oleh anasir- anasir kontra demokrasi diatas. Strategi harus bermula dari struktur normatif partai politik dalam perundang-undangan.
3. Strategi Penguatan Pendidikan Politik Kesetaraan Gender dan Antikorupsi di Partai Politik
a. Revisi Undang-Undang tentang Partai Politik
Salah satu elemen yang hilang dari karakter partai politik pasca otoriter adalah redupnya semangat ideologis partai.
Aspinall (2005) menyatakan bahwa ideologi partai politik telah tergerus secara sistematis oleh paradigma stabilitas politik pembangunan di zaman Orde Baru yang memuja pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.
Undang-Undang No 2 Tahun 2008 telah memberi penegasan tentang politik afirmasi 30% bagi politisi perempuan di partai politik, bahkan dalam UU Perubahan tentang Partai Politik diatur tentang rekrutmen calon anggota legislatif yang memperhatikan keterwakilan politisi perempuan. UU tentang Partai Politik juga telah menyebutkan perlunya perhatian kepada aspek keadilan dan kesetaraan gender dalam pendidikan politik (Pasal 31).
Namun, norma afirmasi alih-alih benar- benar memberi peluang kepada politisi perempuan, malah menjadi pintu masuk
‘politik dinasti’. Hal tersebut terjadi karena:
pertama, minimnya kualitas dan integritas politisi perempuan, politisi perempuan yang memiliki kualitas terkadang tidak memiliki askes politik dan sumber daya ekonomi dan elektoral yang cukup. Dan kedua, tidak hadirnya intervensi dan/atau bantuan afirmasi kepada politisi perempuan yang kurang memiliki sumber daya ekonomi dan politik dalam berkontestasi. Pemberdayaan politisi perempuan harus dimulai dari tahapan awal kaderisasi dengan pendidikan politik yang memberdayakan dan didukung dengan memberikan hak-hak krusial kepada anggota partai politik.
Fenomena pragmatism terjadi dalam tataran global, semisal di Italia, Partai Forza Italia yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi menjadi semata ‘kendaraan politik’ Berlusconi untuk mempertahankan kekuasaaan elit neoliberal masculinity (Hopkin dan Paolucci, 1999; 311). Di Thailand. Perdana Menteri Thailand, Thaksin Swinawatra menghidupkan partai politik lewat subsidi kapital tunggal dari dirinya seorang. Partai tersebut juga semata menjadi ‘kendaraan politik’, dan abai terhadap politik kerakyatan (Nelson, 2006).
Karakteristik elite-centred party disokong oleh business firm party’ atau capital- intensive party (Hopkin dan Paolucci, 1999;
311).
Katz and Mair (1993; 599) mengatakan bahwa karakter pragmatis dari partai ini dapat berkembang menjadi cartel party yang berhenti menjadi wadah aspirasi rakyat, malah partai politik menjadi agen pemerintah. Tipologi partai-partai ini semata bertujuan untuk memenangkan pemilu dengan suara terbanyak (vote- seeking party), dan menguasai ruang-ruang
Guna menjawab feasibilitas pemberian stimulus pembiayaan real cost politik kepada politisi perempuan, diperlukan sumber daya tambahan dari partai politik. Buana (2015) menyarankan hadirnya subsidi pemerintah untuk partai politik (political funding) dalam upaya untuk mentransformasi partai politik menjadi lebih bertanggung jawab dan
Mirza Satria Buana, Erlina, Eka Yulia Rahmah
memberi bantuan finansial kepada politisi perempuan (electoral financing). Kebijakan ini secara bertahap dapat mengikis pengaruh oligarki dan praktek kartelisasi politik. Dengan memberi subsidi secara sah dan terbuka, pemerintah memiliki alasan untuk menjalankan sistem monitoring atau pengawasan internal partai politik.
hanya diaktifkan menjelang pemilu. Padahal dalam lingkup ideologis partai massa, OSP memainkan peran stretegis mengembangkan potensi dan kualitas kader-kader berkualitas, sekaligus membangunan jejaring dengan ormas, LSM dan media. Dalam konteks penguatan politisi perempuan, OSP perempuan di masing-masing partai politik harus diberdayakan secara lebih substantif.
Dalam setting internal partai politik yang dikuasai oleh oligarki, kontestasi riil politisi perempuan adalah antara; politisi perempuan yang disokong oleh relasi dinasti politik dengan politisi perempuan yang termarginal dengan tidak atau kurang memiliki sumber daya politik dan ekonomi.
Intervensi haruslah diberikan kepada kelompok perempuan yang rentan. Oleh karena itu makna ‘kesetaraan’ juga harus dimaknai secara internal kelompok perempuan sendiri, bahwa tidak ada perlakuan khusus dan keistimewaan terhadap politisi perempuan yang sudah memiliki ‘modal’ politik dan ekonomi dengan kader atau politisi perempuan yang tidak memiliki keuntungan ‘modal’ diatas.
Partai politik harus mendukung, secara moral maupun finansial terhadap politisi perempuan yang memiliki potensi dan niat baik dalam berpolitik, namun kurang memiliki modal real cost untuk berkontestasi di pemilu atau menduduki posisi strategis di internal partai politik.
Begitu juga pentingnya peranan media dalam mengartikulasikan paradigma pendidikan politik oleh partai politik dalam rangka pendidikan antikorupsi dan kesetaraan gender. Beberapa riset menunjukkan media berperan dalam proses mendikotomi ranah politik sebagai ranah laki-laki, bahwa konstruksi media terhadap perempuan yang terlibat kasus korupsi lebih banyak dibelokkan ke isu-isu domestik. Dalam pandangan kritis, media merupakan wujud pertarungan ideologi antar kelompok yang ada di dalam masayrakat. Kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang kemudian akan muncul dalam pemberitaan-pemberitaan (Hadiaty Erry, dkk, 2013). Tantangannya adalah bagaimana peran strategis media ini justru dapat berkontribusi positif terhadap pendidikan antikorupsi dan kesetaraan gender.
Partai politik lewat kuasa modal oligarki (business politics) dan politik dinasti jelas telah melakukan peminggiran rakyat dari proses politik (political process), karena hanya orang-orang yang memiliki kuasa modal, politik dan elektoral, semisal selebriti yang dapat mendaki karier politik.
Penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja yang diproses dan disahkan tanpa melalui aspirasi publik, merupakan momentum bagi gerakan reformis, termasuk gerakan perempuan untuk membentuk blok politik untuk membentuk blok politik untuk melawan oligarki dalam partai politik.
Semua elemen masyarakat mempunyai peran untuk memperbaiki tata kelola negara dan pemerintahan yang semuanya dimulai dari partai politik.
Berkaca pada pengalaman negara- negara Skandinavia yang mampu mengakselerasi jumlah dan kualitas politisi perempuan dalam waktu satu dekade terakhir, perlu pengaturan yang tegas dalam perundang-undangan tentang subsidi pemerintah kepada partai politik yang mana 50% dari subsidi tersebut harus masuk ke departemen pemberdayaan perempuan dan Organisasi Sayap Partai (OSP) perempuan.
b. Aliansi OSP Perempuan, LSM dan KPK
Dalam realitas politik kepartaian, OSP kerap dipandang sebelah mata, dianggap hanya sebagai alat untuk menghimpun massa, mobilisasi pemilih dan