• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LANDASAN HUKUM PERWALIAN. dalam frase walīyullah. Dalam konteks al-qur an makna wali juga mengandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III LANDASAN HUKUM PERWALIAN. dalam frase walīyullah. Dalam konteks al-qur an makna wali juga mengandung"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

LANDASAN HUKUM PERWALIAN

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak “awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman", "klien",

"sanak", "pelindung".1 Umumnya kata tersebut menunjukkan arti "sahabat Allah"

dalam frase walīyullah. Dalam konteks al-Qur’an makna wali juga mengandung arti sebagai penolong. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”2

Wali dapat juga dipahami sebagai orang suci suci. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Tahawi: “Kami tidak memilih salah satu dari orang suci di antara umat atas salah satu nabi melainkan kita mengatakan bahwa salah satu dari para nabi adalah lebih baik daripada semua “awliya'. Kami nyakin pada apa yang dinamakan Karamat, kehebatan dari “awliya” dan dalam cerita otentik tentang mereka dari sumber terpercaya.3

Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian ini adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 50-54 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi

1 Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Alumnus University of Porstmoth England, UK.

2 QS.At-Taubah, ayat (71).

3 Imam Abu Ja'far al-Tahawi al-Hanafi. al-Tahawiyya. Diterjemahkan oleh Iqbal Ahmad Azami.

Hal. 98. Oktober 30, 2010.

(2)

kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum”.4

Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni : (1) Perwalian jiwa (diri pribadi); (2)Perwalian harta; (3) Perwalian jiwa dan harta. Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak dalam hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini artinya si wali berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah perwaliannya.

Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim5, yaitu perwalian terhadap anak menurut hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.

Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali.

Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.

Sementara pengertian perwalian menurut KUHPerdata, sebagaimana disebutkandalam pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa “Perwalian (voogdij) perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada

4 50-54 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

5 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.

(3)

dibawah kekuasaan orang tua”. Anak yang berada dibawah perwalian adalah: (1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua

;(2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai; (3)Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).

Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut Undang-undang Orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak- anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut Undang- undang (Wettelijke Voogdij).

Dalam KUHPerdata, setidaknya terdapat 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:6 1) Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama. Hal ini sebagaimana

disebutkan dalam pasal 345 KUHPerdata: “Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.”

Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

2) Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta

6 Sunarto Edi Wibowo, Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No.1 Tahun 1974, didownload dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1520/1/perdata-sunarto2.pdf, Oktober 2010

(4)

tersendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :“Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”. Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

3) Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 359 KUH Perdata menentukan: “Semua anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”

Adapun landasan hukum mengenai perwalian, dapat dibagi dalam beberapa kategori, diantara:

A. Landasan Hukum Menurut Syariat

Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu

(5)

makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.7

Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Dimana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya.

Allah berfirman: “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.

Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”.8

Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap

7 QS.An-Nisa; ayat 2.

8 QS. An-Nisa; Ayat 6

(6)

harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.9

Selain itu, dalam berbagai hadis Nabi Saw, juga telah menjelaskan mengenai ketentuan dan dasar hukum mengenai perwalian. Nabi saw bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan, para sahabat bertanya, “Apa sajakah dosa-dosa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “ Mempersekutukan Allah, Sihir, Membunuh Jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita mukmin yang memelihara kehormatannya”.10

Di dalam hadis lain Rasulullah juga menyatakan tentang kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi saw bersabda : “Sesungguhnya Nabi saw memutuskan wali bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibunya, beliau bersabda: “Saudara perempuan ibu menempati kedudukan ibu”

(HR. Bukhari). Inilah landasan hukum dalam Al-Quran dan hadis Nabi saw mengenai perwalian dalam Islam.

9 QS. An-Nisa; ayat 10.

10 HR Abu Hurairah, dalam Ringkasan Shahih Bukhari – Muslim (Nashiruddin Al-Bani). Jilid III, 2008.

(7)

B. Landasan Hukum Menurut KHI dan UU No.1 Tahun 1974

Selain Al-Qur’an dan hadis sebagai landasan ketentuan mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan tersebut juga telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap perwalian tersebut, diatur dalam BAB XV mengenai perwalian.

Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa:

“(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan; (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan; (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.”11

Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110 KHI, yaitu:

a. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya;

11 Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama, 2004,. Hal.52

(8)

b. Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari;

c. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya;

d. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) UU No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Sementara dalam Pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: (1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu; (2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut; (3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya;

(4)Larangan Bagi Wali.

Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di dalam Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum

(9)

berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.

Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim.

C. Landasan Hukum Menurut KUH Perdata

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa landasan hukum tentang perwalian dalam KUHPerdata telah disebutkan dalam pasal 330. Secara umum, dalam KUHPerdata terdapat beberapa asas mengenai perwalian, yaitu

1. Asas Tak Dapat Dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid )

Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal, yaitu:

a) Dalam pasal 351 KUHPerdata disebutkan bahwa jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta;

b) Dalam pasal 361 KUHPerdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia

2. Asas Persetujuan Dari Keluarga.

Asas persetujuan keluarga merupakan asas dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika keluarga tidak ada maka

(10)

tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata.

Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang perwalian bagi seorang perempun. Dimana dalam pasal 332 b (1) dikatakan mengenai wewenang wali: “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya."

Namun jika suami tidak memberika izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal332 b ayat 2 KUHPerdata:

"Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula".

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali. Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365 a (1) KUH Perdata

(11)

dinyatakan bahwa: "dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan." Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali.

Selain itu, pasal 379 KUHPerdata mengatur tentang golongan orang yang tidak boleh menjadi wali, yaitu: (1) mereka yang sakit ingatan (krankzninngen); (2)mereka yang belum dewasa (minderjarigen); (3)mereka yang berada dibawah pengampuan; (4) mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan; (5)para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.

D. Landasan Hukum Perwalian Menurut Hukum Adat

Dalam konteks ke Acehan, khususnya setelah bencana tsunami, sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas. Dengan demikian, pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, berdasarkan kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan penunjukan wali tidak memiliki suatu kepastian hukum.

(12)

Proses ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat adat, bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya dilakukan melalui musyawarah pihak keluarga, dan atau melibatkan petua kampung (adat) dalam menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan.

Sehingga seringkali antara satu daerah (gampong) dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda.

Dalam kasus tertentu, penunjukan wali dapat melibatkan proses adat.

Dalam menetapkan status wali tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di Meunasah di perdesaan tersebut.

Tujuan dari pertemuan dan perlibatan para petua kampung ini adalah untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali dalam keluarga tertentu. Hanya dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik dan/atau imeum meunasah.

Dalam beberapa kasus seperti yang pernah ditemukan oleh IDLO12, dimana Kasus ini terjadi terjadi di gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, misalnya. Disini ada banyak anak-anak yang terkena dampak tsunami yang kehilangan orangtua mereka dan kemudian diasuh oleh anggota keluarga mereka. Proses perwalian anak-anak tersebut berlangsung secara adat di gampong saja.

Meskipun demikian, dalam praktek, seringkali proses perwalian adalah hal yang rumit. Di Aceh, wali yang ditunjuk (biasanya saudara laki-

12 IDLO (International Development Law Organization), Lembaga bantuan hukum International yang membantu proses penyelesaian hukum tentang tanah, kewarisan dan perwalian di Aceh setelah bencana Tsunami, lihat di http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf

(13)

laki pada pihak ayah dari keluarga anak) yang akan bertanggung jawab untuk mengelola aset dan harta yang ditinggalkan. Wali tersebut disebut sebagai 'wali warisan'. Sementara untuk hal kesejahteraan, dan atau perawatan sehari- hari terhadap anak tersebut biasanya akan diberikan pada ibu atau keluarga dari pihak perempuan.13 Hal ini seringkali mengakibatkan pertentangan dan konflik dalam pengelolaan harta yang ditinggalkan. Apalagi jika pihak wali dari pihak laki-laki (ayah) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali secara baik dan amanah.

Melihat kondisi penetapan tentang kewalian di atas, khususnya dalam konteks Aceh, dimana setelah bencana gempa – tsunami, terdapat banyak sekali anak-anak yatim yang membutuhkan suatu kepastian hukum dalam kedudukan perwalian, maka diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat.

Dalam kondisi demikian pengadilanlah yang berwenang dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara mengenai perihal perwalian tersebut, dalam hal ini adalah Mahkamah Syar'iyah.

Dalam menerapkan ketentuan hukum tersebut, Mahkamah Syariah juga berlandaskan pada ketentuan KHI, serta Qanun yang relevan. Begitu juga ada beberapa fatwa (pendapat hukum) yang telah dikeluarkan oleh MPU berkenaan dengan perwalian, dimana fatwa tersebut sangat berpengaruh dalam penentuan hukum tersebut.

Dalam menetapkan perwalian, Mahkamah Syariah memiliki wewenang untuk menunjuk seorang wali, di mana orang tua anak itu sudah

13 Badruzzaman Ismail ‘Wali perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi NAD’ paper dipresentasikan pada wokshop Pewalian Anak, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Prov.Aceh, Putroe Kande Foundation dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005.

(14)

meninggal atau belum cakap hukum.14 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa golongan yang dapat dikategorikan bahwa ia belum memiliki kecakapan hukum, diantaranya; (1) Orang dewasa yang memiliki ketidakmampuan dalam perihal hukum (tidak cakap hukum), Seorang anak yang masih di bawah 21 tahun, atau seseorang yang memiliki cacat secara mental.

D. Penunjukan Wali

Jika seorang anak memiliki warisan, seperti tanah atau uang.

Maka seringkali terjadi persoalan, terutama banyaknya klaim dan pengakuan sebagai wali. Hal ini sering dilakukan untuk memungkinkan wali untuk dapat menikmati harta yang diwariskan, seperti rekening bank, dan lain-lain.

Dalam kondisi demikian, si ahli waris dapat mengajukan pengajuan penetapan wali kepada pengadilan. Di Aceh pengadilan yang relevan mengenai hal tersebut adalah Mahkamah Syar'iyah. Penetapan wali tersebut, dapat diberikan kepada seseorang, atau badan hukum seperti yayasan, lembaga pemerintah atau lembaga non-pemerintah.15 Di Aceh, badan hukum tersebut adalah lembagai Baitul Mal dapat ditunjuk sebagai wali sah dari anak tersebut.16

14 Pasal 33(1) Undang-Undang No.23/2002

15 Art 107(4) KHI; Art 31(1) and (3) Law No.23/2002.

16 Armia Ibrahim ‘Perwalian Anak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif’ paper presented at Faraidh Workshop III conducted by Yayasan Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006. See also Al- Indzar Dinas Syariat ‘Perwalian Atas Harta Anak Yatim dalam Praktek Masyarakat Aceh dan Peraturan Perundang-undangan’ Publication No. 4 (15 September 2005)

(15)

Baitul Mal adalah suatu lembaga keuangan dalam Islam, yang berwenang dalam pengumpulan dan pendistribusian harta zakat, infak, sedekah, dan harta agama lainnya. Lembaga ini didirikan sebagai lembaga formal di Aceh melalui Surat Keputusan Gubernur di 2003.17 Saat ini Baitul Mal hanya didirikan di tingkat Propinsi dan Kabupaten.

Namun untuk kewenangan sebagai wali, Baitul Mal belum melakukan peran sebagai perwalian dari harta anak yatim di Aceh.

Setelah bencana tsunami, data dari Mahkamah Syariah menunjukkan terdapat sekitar 20.000 anak yatim di Aceh tidak memiliki kepastian hukum terhadap perwalian.18 Sementara menurut hukum Indonesia, di mana seorang yatim piatu memiliki hak warisan tapi tidak ditunjuk sebagai wali, warisan ini harus dikelola oleh Balai Harta Peninggalan (Public Trust) atau lembaga lainnya yang berwenang.19 Sementara, warisan anak yatim yang tidak memiliki wali tersebut sudah seharusnya dikelola oleh Baitul Mal.20 Namun karena Baitul Mal belum secara resmi dibentuk di tingkat desa, sehingga fungsi ini tidak dapat dilakukan.

Fatwa MPU No 3 tahun 2005 menyatakan bahwa anak yatim yang memiliki warisan dan tidak mempunyai wali, maka dengan keputusan

17 Keputusan Gubernur No.18 tahun 2003 tentang Pendirian Baitul Mal di Nanggroe Aceh Darussalam

18 Wawancara dengan Rosmawardani, Hakim di Mahkamah Syariah Aceh, May 2006, di download dari http://www.idlo.int/Publications/19.pdf, 2010

19 Pasal 35(1)-(3) Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak

20 Bab 2(3) Fatwa MPU 3/2005.

(16)

Mahkamah Syar'iyah, maka harta tersebut harus dipelihara oleh Baitul Mal, dan dalam prosesnya akan diawasi oleh Mahkamah Syar'iyah.21

Namun dalam prakteknya, kebanyakan anak yatim diasuh oleh orang yang tidak mempunyai kaitan kekeluargaan. Wali tersebut umumnya tidak memiliki hubungan keluarga dengan anak yatim piatu.

Mengingat tidak adanya kriteria yang jelas dan kurangnya perlindungan secara hukum formal, maka sangat sedikit sekali pengawasan yang dilakukan oleh badan resmi negara untuk memastikan bahwa wali tersebut (informal) dapat melaksanakan kewajibannya secara baik dan bertanggungjawab.

1). Pengeloalan Manageman Harta (Aset) dalam Perwalian

Undang-Undang Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa wali mengelola kekayaan lingkungan mereka untuk kepentingan yang anak tersebut. Dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa seorang wali bertanggungjawab atas pengelolaan aset (harta) dan harus membayar jika dalam pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena segaja maupun karena kelalaian.22

Pada awal penetapan perwalian, maka diperlukan upaya inventarisasi semua aset (harata) dari anak yatim tersebut, dan wali wajib mendokumentasikan semua perubahan terhadap asset tersebut.23 Begitu juga harta tersebut harus diaudi secara annual (tahunan) untuk

21 Ibid

22 Pasal51(5) UU No. 1/1974.

23 Pasal 51 (4) UU No.1/ 1974

(17)

mengetahui nilai dari aset dari anak yang diperwalikan itu, dan untuk memastikan bahwa hartanya tetap terjaga.

Selain itu, wali dilarang menjual, mengalihkan atau menggadaikan aset anak perwalian, kecuali dalam keadaan yang darurat (memaksa).24 Wali juga dilarang mengikat, membebani atau membagi aset (harta) tersebut kecuali tindakan tersebut akan meningkatkan (menambah) nilai aset. Kemudian, jika dalam hal wali terpaksa menjual harta (tanah) milik anak perwalian tersebut, maka seorang wali wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Mahkamah Syar'iyah.

Sementara proses pengalihan asset, seorang wali diharuskan untuk mengalihkan semua harta (asset) kepada anak di bawah perwalian ketika ia telah berusia 21 tahun, atau telah menikah.25 Namun jika ditemukan adanya asset (harta) yang hilang atau disalahgunakan oleh wali, maka Mahkamah Syariah dapat memutuskan perkara tersebut, didasrkan para proses verifikasi dan inventarisir harta yang dikelola oleh wali. Jika ditemukan adanya penyalahgunaan, maka wali harus mengganti rugi terhadap kerugian tersebut.

2). Pengawasan Perwalian

Dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Balai Harta Peninggalan (Public Trustee) atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan serupa dapat bertindak sebagai 'wali pengawas' untuk memastikan bahwa kepentingan anak di bawah perwalian adalah

24 Art 52 Law No. 1/1974.

25 Pasal 111(1) Kompilasi Hukum Islam.

(18)

dilindungan dan dipelihara secara baik. Fatwa MPU No.3/2005, menyatakan bahwa Makamah Syar'iyah berwenang dalam mengawasi perwalian anak-anak yatim piatu akibat tsunami. Namun dalam masyarakat adat di Aceh, proses pengawasan biasanya dilakukan oleh pihak gampong (keuchik), tuha peut dan para tetua adat dan tokoh agama lainnya.

Namun jika wali tidak memenuhi kewajiban mereka, maka pihak keluarga si anak tersebut atau Baitul Mal dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk dapat mencabut hak perwalian terhadap wali tersebut. Pengadilan akan mencabut kekuasaan wali dan mengalihkan kekuasaan tersebut kepada orang lain atau badan hukum jika terbukti bahwa wali: (1) Telah mengabaikan kewajibannya sebagai wali; (2).

Telah bertindak secara tidak tepat atau menyalahgunakan kekuasaan mereka; (3) Mengkonsumsi alkohol, berjudi atau boros; (4) mengalami cacat mental;(5) Telah meninggal atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

3). Prosedur Pengangkatan Seorang Wali

Dalam pengangkatan seorang wali terhadap pengeleloaan dan pemeliharaan jiwa dan harta seorang anak yatim, maka ada beberapa prosedur pengangkatan yang harus dilakukan, yaitu:

(1) Untuk mendapatkan pengangkatan seorang wali, maka pemohon terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari Geuchik (kepala desa). Pemohon harus memohon kepada geuchik untuk mengeluarkan

(19)

surat yang menjelaskan hubungannya dengan anak dan merekomendasi agar pemohon diakui secara resmi sebagai walinya.

(2) Memperoleh Persetujuan dari Camat: Pemohon harus pergi ke kantor (Sub- distrik) Kecamatan dan meminta camat (Sub-Distrik Administrator) untuk mendukung aplikasi untuk perwalian. camat yang bisa menandatangani surat yang ada geuchik atau mengeluarkan surat terpisah yang mendukung aplikasi perwalian.

(3) Permohonan dikirim ke Pengadilan: Pemohon harus mengambil dokumen- dokumen tersebut ke kantor panitera pengadilan (panitera) di tingkat kabupaten mereka Mahkamah Syar'iyah dan melampirkan surat yang menjelaskan situasi. Tidak ada biaya yang dikenakan untuk aplikasi ini. Hakim Ketua kemudian akan menunjuk seorang hakim untuk mengadili kasus itu yang akan menetapkan tanggal dan waktu sidang. Panitera akan menghubungi pemohon dan memberitahukan tentang kapan sidang akan berlangsung. Sidang harus dilaksanakan dalam waktu 30 hari dari tanggal permohonan diajukan kepada pengadilan dan biasanya melalui acara cepat, dan bukan acara resmi yang lengkap.

(4) Sidang di Pengadilan: Hakim akan meneliti permohonan dan dokumentasi pendukung dan mendengar keterangan para saksi.

Pemohon harus membawa saksi-saksi seperti sanak keluarga, anggota komunitas atau geuchik untuk memberi kesaksian yang mendukung permohonan. Hakim akan memberikan penjelasan tentang, tanggung

(20)

jawab hak dan kewajiban wali terhadap anak. Jika permohonan ini dikabulkan, maka hakim akan mengeluarkan perintah tertulis (Penetapan surat) secara resmi menunjuk pemohon sebagai wali dan akan memerintahkan wali untuk melaksanakan tanggung jawab tertentu yang dipersyaratkan dalam hukum Indonesia. Hakim dapat mewajibkan pemohon untuk menyediakan inventarisasi harta dari anak. Bahkan apabila hakim tidak meminta dokumen tersebut, seringkali bijaksana untuk melakukannya karena hal ini akan memberikan perlindungan atas sengketa atau klaim masa depan bahwa wali telah menyalahgunakan harta lingkungan mereka.

(5) Untuk semua kasus perwalian yang berhubungan dengan tsunami, pemohon tidak perlu membayar biaya kepada pengadilan atau kepada hakim. Mengingat proses ini cukup sederhana, pemohon seharusnya tidak perlu bantuan dari seorang pengacara. Jika diperlukan, pengadilan dapat melaksanakan sidang dalam bahasa Aceh.

F. Landasan Hukum Perwalian menurut Al-Quran

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyinggung permasalahan tentang perwalian antara lain dalam QS al-Nisa/4: 5:



































dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan

(21)

Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.26

Allah swt melarang memberikan wewenang kepada orang-orang yang lemah akalnya dalam mengelola keuangan yang dijadikan Allah swt sebagai sumber penghidupan. Artinya, dengan pengelolaan harta tersebut kehidupan mereka menjadi tegak (berkesinambungan) seperti dikelola untuk perdagangan atau yang lainnya. Dari sinilah diambil hukum, bahwa pelimpahan wewenang dalam pengelolaan harta terhadap orang- orang safih (yang belum sempurna akalnya) harus ditangguhkan.

Penangguhan itu sendiri memiliki berbagai bentuk. Ada penangguhan untuk anak-anak (karena belum cukup umur). Hal ini karena anak-anak itu tidak dapat dipertangungjawabkan perkataannya.

Ada pula penangguhan disebabkan pailit, yaitu apabila utang-piutangnya telah melilitnya, sedangkan harta yang dimiliki tidak dapat menutupi pembayarannya. Sehingga, disaat para kreditur (yang memberikan pinjaman) memita hakim untuk menyita harta tersebut, niscaya hakim pun akan melakukan penyitaan.27

Kalimat “yang belum sempurna akalnya” hal ini memang dialamatkan kepada anak yatim, tetapi ungkapannya umum sekali, dan menetapkan dasar-dasar seperti mereka yang berada di bawah chancery (mahkamah tinggi) dalam Undang-Undang Inggris atau court of words (dibawah perwalian) dalam Undang-Undang India. Harta itu tidak saja menjadi haknya, tetapi juga menjadi tanggung jawabnya. Mungkin si

26 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78

27 Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006), h. 425-426

(22)

pemilik tidak bertindak sebagaimana mestinya apa yang sebenarnya dikehendaki; haknya itu dibatasi demi kebaikan masyarakat umumnya yang dia sendiri salah seorang anggotanya, dan bila dia tidak mampu mengatasi hal itu maka kepengawasannya harus dialihkan. Ini tidak berarti dia dapat diperlakukan sewenang-wenang. Sebaliknya segala kepentingannya harus tetap dilindungi, dan justru karena ketidakmampuannya itu dia harus diperlakukan dengan cara yang lebih bijaksana.28

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra tentang firman Allah swt:

(ﻢﻜﻟاﻮﻣاءﺎﮭﻔﺴﻟا ﻮﺗﻮﺗا وﻻ ) “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaannmu),”ia berkata: “mereka adalah anak-anak dan kaum wanita.”29

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra. Al-Hakam bin

‘Uyainah, al-Hasan dan adh-Dahhak mengatakan: “Mereka adalah anak- anak yatim.30 Adapun Mujahid, ‘Ikrimah dan Qatadah mengatakan:

“Mereka adalah kaum wanita.31

Sedangkan kata “harta kamu; pada dasarnya semua harta menjadi milik masyarakat, dan dimaksudkan untuk menunjang kamu juga, yakni masyarakat. Harta itu harus dipegang oleh orang yang tahu benar arti

28 Abdullah yusuf ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirannya JUZ I s/d XV, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 179

29 Ath- Thabari (VII/563) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, h. 426

30 Ath-Thabari (VII/563) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, h. 426

31 Ath-Thabari (VII/564) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, h. 426

(23)

amanat. Kalau dia tidak mampu, dikeluarkan, tetapi dengan baik-baik dan bijaksana. Sementara ia masih belum mampu melakukan segala tugas dan tanggung jawab akan beralih kepada walinya yang bahkan akan lebh ketat daripada ketika ditangan pemilik aslinya; sebab dia tidak boleh mengambil keuntungan apapun untuk dirinya sendiri, kecuali ia memang orang yang tidak mampu, dan dalam keadaan yang demikian upah yang akan diterima atas jerih payahnya harus dalam ukuran yang tidak lebih daripada sekedar pantas dan masuk akal.32

Dapat dipahami bahwa ayat ini pun berarti ditujukan juga kepada mereka. Karena itu pula, walaupun ayat ini pada dasarnya melarang para wali memberi kepada orang-orang yang tidak mampu mengelola harta mereka, tetapi redaksi yang digunakan ayat ini dalam

( ﻢﻜﻟ ا ﻮﻣ ا )

amwalakum harta kamu, itu untuk menunjukkan bahwa harta mereka atau harta siapapun sebenarnya merupakan “milik” bersama, dalam arti ini ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang membeli sesuatu dengan harta ini mendapatkan untung, demikian juga penjual, demikian pula penyewa dan yang menyewakan barang, penyedekah dan penerima sedekah, dan lain-lain. Semua hendaknya meraih keuntungan, karena harta itu “milik” manusia sekalian, dan dia telah dijadikan Allah

(ﺎﻣﺎﯿﻗ)

, yakni sebagai pokok kehidupan.

32 Abdullah Yusuf Ali , Qur’an Terjemahan dan Tafsirannya JUZ I s/d XV, h. 179

(24)

Apabila harta berkurang dalam suatu masyarakat, maka kebutuhan hidup mereka pasti serba kekurangan pula. Jika anggaran belanja dan pendapatan perkapitanya pun rendah, demikian pula sebaliknya, dan ketika itu, kemiskinan akan melanda mereka, dan ini pada gilirannya menjadikan mereka tergantung pada masyarakat/Negara lain yang tidak mustahil merendahkan martabat masyarakat bangsa itu, bahkan menjajahnya. Itulah sebabnya ayat ini menyatakan harta kamu, yakni kamu semua, wahai manusia. Ini diperkuat lagi dengan firman-Nya pada lanjutan ayat yang menyifati harta tersebut sebagai yang dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan.

“Saya tidak menduga ada seorang pakar ekonomi yang mendahului al-Qur’an menjelaskan hakikat ini”. Demikian tulis Muhammad Thahir ibn Asyur, setelah menguraikan pendapat diatas.33

Ali bin Abi Thalhah rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Janganlah kamu mengandalkan kepada hartamu dan apa yang Allah anugerahkan untuk kehidupanmu (tanpa mengelolanya dengan baik, sehingga hartamu akan habis) karena kamu memberikannya kepada isteri atau anak-anakmu. Sehingga akhirnya kamu hanya memperhatikan harta milik mereka. Akan tetapi kelolalah dengan baik hartamu itu, dan hendaklah engkau sendiri yang memberikan nafkah kepada mereka

33 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur;an, volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 330

(25)

berupa pakaian, makanan dan rizki (biaya hidup) mereka.34” Firman-Nya:

war zuquhum fiha, bukan minha, menurut para pakar tafsir bertujuan untuk memberi isyarat bahwa harta hendaknya dikembangkan. Modal yang ada hendaknya tidak dibiarkan begitu saja, tetapi harus produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga biaya hidup mereka yeng belum mampu mengelola harta itu diambil keuntungan pengelolaan, bukan modal. Seandainya ayat ini menggunakan kata minha yang berarti darinya, maka biaya hidup itu diambil dari modal dan isyarat di atas tidak akan tergambar.

Memang, pada prinsipnya dalam pandangan al-Qur’an, modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tapi hasilnya harus dari usaha baik manusia. Karena itu, riba dan perjudian dilarang, dan itu pula salah satu hikmah ditetapkannya kadar tertentu dari zakat terhadap uang (walau tidak digunakan) agar mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, sekaligus mengurangi spekulasi dan penimbunan. Kendati uang merupakan modal dan salah satu faktor produksi yang penting, tetapi ia bukan yang terpenting. Manusia menempati posisi tertinggi. Hubungan harmonis antar warga harus terus dipelihara, dan karena itu pula ayat ini ditutup dengan perintah ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.35

34 Ath-Thabari (VII/565) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, h. 426

35M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 2, h. 330

(26)

Mujahid berkata (mengenai ayat ini): (

ﺎﻓ و ﺮﻌﻣ ﻻﻮﻗ ﻢﮭﻟ ا ﻮﻟﻮﻗ و )

Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” yaitu dalam kebaikan dan silaturrahim.

Ayat yang mulia ini memerintahkan untuk berbuat ihsan (kebaikan) kepada keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya dengan memberikan nafkah berupa pakaian dan rizki (biaya hidup), serta dengan kata-kata dan akhlak yang baik.

Sebelumnya ayat kedua dan ketiga surah ini memerintahkan memberi harta anak yatim, serta larangan mengawininya kalau karena kecantikan dan hartanya dengan tidak berlaku adil terhadap mereka.

Selanjutnya, ayat ini memerintahkan memberi maskawin yang merupakan hak seorang istri. Demikian ayat ayat yang lalu memerintahkan memberi harta kepada pemiliknya. Kedua perihal tersebut boleh jadi menimbulkan dugaan dalam benak para wali bahwa semua pemilik harta harus diberi hartanya. Untuk menghapus kesan itu, maka ayat ini melarang member harta kepada para pemilik yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Ini agaknya sengaja ditempatkan disini bukan sebelum perintah yang lalu agar larangan ayat ini tidak menjadi dalih bagi siapapun yang enggan memberi harta itu kepada mereka dan semua orang bahwa Allah memerintahkan.

Dan janganlah kamu, wahai para wali, suami atau siapa saja, menyerhakan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, baik

(27)

yatim, anak kecil, orang dewasa, pria atau wanita, harta kamu atau harta mereka yang ada dalam kekuasaan atau wewenang kamu, karena harta itu dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan sehingga harus dipelihara dan tidak boleh diboroskan atau digunakan bukan pada tempatnya.

Pelihara dan kembangkan harta itu tanpa mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemiliknya yang tidak mampu mengelola harta itu. Karena itu, berilah mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Adalah tindakan yang bijkasana bila menjelaskan mengapa kamu menempuh jalan itu sehingga hati mereka tenang dan hubungan kalian tetap harmonis.













































































Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,

(28)

Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.

dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).36

Setelah melarang pemberian harta kepada yang tidak mampu mengelolanya seperti anak-anak yatim maka dalam ayat ini ditegaskan bahwa larangan itu tidak terus menerus. Wali hendaknya memperhatikan keadaan mereka, sehingga bila para pemilik itu telah dinilai memapu mengelola harta dengan baik, maka harta mereka harus segera diserahkan.

Selanjutnya, karena dalam rangkaian ayat-ayat yang lalu anak yatim yang pertama disebut sebab merekalah yang paling lemah, maka disini mereka pun yang pertama disebut. Kepada para wali diperintahkan: ujilah anak yatim itu dengan memperhatikan keadaan mereka dalam hal penggunaan

harta, serta latihlah mereka sampai hampir mencapai umur yang menjadikan mereka mampu memasuki gerbang perkawinan.

Mengenai firman Allah swt (wabtalul yatam)”dan ujilah anak yatim itu.” Ibnu “Abbas, Mujahid, al-Hasan, as-Saudi dan Muqatil bin Hayyan berkata: “Artinya ujilah mereka.37 (hatta idza balagunnikaha)”

sampai mereka cukup umur untuk kawin,” Mujahid berkata: “Yakni ketika baligh.

Maka ketika itu, jika kamu telah mengetahui, yakni pengetahuan yang menjadikan kamu tenang karena adanya pada mereka kecerdasan, yakni kepandaian memelihara harta serta kestabilan mental. Maka

36 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77

37 Ath-Thabari (VII/574) dalam Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, h. 427

(29)

serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka, karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahan harta mereka.

Boleh jadi ada diantara wali yang tamak, maka ayat ini melanjutkan tuntunannya dengan menegaskan bahwa janganlah kamu, para wali, memakan, yakni memanfaatkan untuk kepentingan kamu harta anak yatim dengan kamu yang mengelolanya sehingga memanfaatkannya untuk kepentingan kamu harta anak yatim dengan kamu yang mengelolanya sehingga memanfaatkannya lebih dari batas kepatutan, dan jangan juga kamu membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesa- gesa sebelum mereka dewasa, karena kamu kahwatir bila mereka dewasa kamu tidak dapat mengelak untuk tidak menyerahkannya. Barangsiapa diantara pemelihara itu yang mampu, maka hendaknya ia menahan diri, yakni tidak mengunakan harta anak yatim itu dan mencukupkan dengan anugerah Allah yang diperolehnya, dan barang siapa yang miskin, maka hendaklah bolehlah ia makan dan memanfaatkan harta itu, bahkan mengambil upah atau imbalan menurut yang patut. Lalu apabila kamu menyerahkan harta mereka yang sebelumnya berada dalam kekuasaan kamu kepada mereka, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas mereka tentang penyerahan itu bagi mereka. Dan cukuplah Allah menjadi pengawas atas persaksian itu.

Ulama sepakat bahwa ujian yang dimaksud adalah dalam soal pengelolaan harta, misalnya dengan memberi yang diuji itu sedikit harta sebagai modal. Jika dia berhasil memelihara dan mengembangkannya,

(30)

maka ia dapat dinilai telah lulus dan wali berkewajiban menyerahkan harta miliknya itu kepadanya. Ujian itu dilaksanakan sebelum yang bersangkutan dewasa. Ada juga yang berpendapat sesudahnya. Sebagian ulama menambahkan bahwa diuji yakni diamati juga pengalaman agamanya.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak yatim yang telah dewasa tidak otomatis diserahkan kepadanya hartanya, kecuali setelah terbukti kemampuannya mengelola harta. Ini berdasar ayat ini dan ayat sebelumnya. Imam Abu Hanifah menolak pendapat itu. Menurutnya, apa dan bagaimanapun keadaan anak yatim , bila dia telah mencapai usia dua puluh tahun lima tahun, maka wali harus menyerahkan harta itu kepadanya, walau dia fasik atau boros. Pendapatnya didasarkan pada pertimbangan bahwa usia dewasa adalah delapan belas tahun. Tujuh tahun setelah dewasa yang menggenapkan usia menjadi dua puluh lima tahun adalah waktu yang cukup untuk terjadinya perubahan-perubahan dalam diri manusia.

Makna kata (

ﺪﺷ ر

) rasyada adalah ketepatan dan kelurusan jalan.

Dari sini lahir kata rusyd yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah pemberi petunjuk/bimbingan yang tepat. Orang yang telah menyandang sifat itu secara sempurna dinamai rasyid yang oleh Imam Ghazail diartikan sebagai “dia yang mengalir penanganan dan

(31)

usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk pembenaran atau bimbingan dari siapapun”.

Kata (

ارا ﺪﺑ

) bidaran terambil dari kata al-badru yang berarti

“bersegara menuju sesuatu”. Patron kata bidaran menunjukkan adanya dua pihak yang saling bersegera. Ayat ini bermaksud menggambarkan keinginan pihak yang berwenang (wali) untuk segera membelanjakan harta anak yatim, dan di pihak lain, keinginan anak yatim untuk segera dewasa agar dapat mengambil hartanya dari dan selama ini berwenang mengelolanya.

Ayat diatas tidak menyifati anak itu sebagai seorang yang rasyid, tetapi memiliki rusyd. kata rusyd yang digunakan pun bukan dalam bentuk definite/ma’rifah. Atas dasar itu, kecerdasan dan kestabilan mental yang dimaksud adalah yang sesuai dengan usianya, yakni usia seorang anak yang sedang memasuki gerbang kedewasaan.

Kata (

ﺎﺒﯿﺴﺣ

) hasiban yang diterjemahkan diatas dengan

“Pengawas” ada juga yang memahaminya dalam arti “yang memberi kecukupan” yang mengandalkannya”.

Imam Ghazali menguraikan bahwa al-Hasib bermakna” dia yang mencukupi siapa yang mengandalkannya”. Sifat ini tidak dapat disandang secara sempurna kecuali oelh Allah sendiri, karena hanya Allah saja yang dapat mencukupi lagi dihandalkan oleh setiap makhluk. Allah sendiri yang dapat mencukupi semua makhluk, mewujudkan kebutuhan mereka,

(32)

melanggengkannya bahkan menyempurnakannya”. Jangan duga jika anda membutuhkan makanan, minuman, bumi, langit, dan matahari bahwa anda membutuhkan selain-Nya sehingga bukan lagi Allah yang mencukupi kebutuhan anda, karena pada hakikatnya Dia juga yang Maha Mencukupi itu, yang menciptakan makanan, minuman, bumi, langit dan lain- lain. Jangan duga bayi yang membutuhkan ibu yang menyusukan dan memeliharanya, bukan Allah yang mencukupinya, karena Allah yang menciptakan ibunya serta air susu yang diisapnya, Allah pula yang mengilhaminya mengisap, serta menciptakan rasa kasih sayang di kalbu ibu kepadanya”. Demikian al-Ghazali.

Seseorang yang meyakini bahwa Allah adalah Hasib bagi dirinya akan merasa tentram, tidak terusik oleh gangguan, tidak kecewa oleh kehilangan materi atau kesempatan, karena dia selalu merasa cukup dengan Allah.

Nasehat ini harus dicamkam oleh setiap orang, khususnya yang tadi mengelola harta anak yatim yang boleh jadi mengandalkannya, tetapi setelah sang anak dewasa ia harus menyerahkan kembali harta itu.

Kata hasiban juga dapat dipahami dalam arti ”menghitung”. Allah yang menyandang sifat ini, antara lain dia yang melakukan perhitungan menyangkut amal- amal baik dan buruk manusia secara amat teliti lagi amat cepat perhitungan-Nya, sebagaimana firman-Nya: “kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah

(33)

dirugikan seseorang barang sedikitpun. Jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat Perhitungan”(QS. al-Anbiya/21:47)

Jika kita memahami penggalan ayat diatas dalam makna ini, maka ia merupakan ancaman bagi setiap orang termasuk para wali yang menggunakan harta anak yatim bukan pada tempat yang dibenarkan Allah dan rasul-Nya.38 QS. Al-Ma’un/107: 1-2





















Artinya:

tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.39

Dalam surah ini, Allah swt, ingin memberitahu kita tentang siapa- siapa yang layak disebut sebagai pendusta agama, agar orang-orang yang membenarkan agama dapat mengetahu secara jelas. Surah ini dimulai dengan pertanyaan,” tahukah kamu siapa itu orang yang mendustakan agama? Ini untuk mengingatkan si pendengar bahwa hakikat hal tersebut tersembunyi bagi orang yang tertutup dari bisikan hati nuraninya sendiri, dan terkelabui oleh khayalannya yang sesat. Pertanyaan tersebut ditujukan kepada siapa saja yang mampu memahaminya,” Adakah jelas bagimu siapa si pendusta agama? Yaitu orang yang menghardik anak yatim…

Yakni yang mengusir si yatim atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukannya semata-

38 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 2, h.

330-335

39 tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah orang yang menghardik anak yatim.

(34)

mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa orang yang mendustakan agama, adalah tidak mau mengakui hak orang lain, disebabkan merasa kuat dengan harta maupun kedudukannya. Dan setiap manusia yang berprilaku zalim dan suka melanggar hak-hak orang lain adalah pendusta agama, baik yang kezalimannya banyak atau sedikit.40

G. Landasan Hukum Perwalian menurut Hadist

Ciri-ciri seseorang telah cukup umur atau dewasa adalah: telah bermimpi, tumbuh kumis serta bulu kemaluannya, selain itu, kata dewasa sering dikaitkan dengan jumlah umur seseorang, karena seperti yang kita ketahui, bahwa dalam KUH Perdata, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan KHI juga menetapkan hal itu, akan tetapi ketiga peraturan tersebut berbeda pendapat tentang penentuan batas usia di bawah umur, ada yang menetapkan 18 tahun dan ada yang menetapkan 21 tahun.

Dalam hadis berikut dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. tidak memberi izin kepada seseorang anak untuk berperang hingga umurnya mencapai 15 tahun. Ibnu ‘Umar r.a. menerangkan:

ﻢﻠﻓ ﺔﻨﺳةﺮﺸﻋ ﻊﺑار ﻦﺑا ﺎﻧوا ﺪﺣا مﻮﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻰﺒﻨﻟا ﻰﻠﻋ ﺖﺿﺮﻋ

40 Muhammad ‘Abduh, TAFSIR JUZ ‘AMMA, (Bandung: Mizan, 2001), h. 330-331

(35)

41ﻰﻧ زﺎﺟﺎﻓ ﺔﻨﺳ ةﺮﺸﻋ ﺲﻤﺧ ﻦﺑاﺎﻧوا قﺪﻨﺨﻟا مﻮﯾ ﺖﺿﺮﻋو ,ﻰﻧﺰﺠﯾ Artinya:

“Aku dihadapkan kepada Nabi saw. Pada waktu perang uhud, sedang waktu itu aku adalah seorang anak yang berumur empat belas tahun, maka beliau tidak mengizinkan aku ikut perang. Lalu aku dihadapkan lagi kepada beliau pada waktu perang Khandak, sedang pada waktu itu aku adalah seorang anak yang berumur 15, maka beliau memberikan izin kepadaku untuk ikut perang.’’(HR. Abu Daud)

Jumhur ulama berpendapat bahwa salah satu ciri orang dianggap telah baligh, adalah bila dia sudah bermimpi. Seseorang baru bisa dibebani hukum, bila sudah berusia dewasa. dan menyatakan bahwa apabila seseorang anak lelaki telah berusia lima belas tahun, atau telah tumbuh kumis dan bulu kemaluannya, dipandang telah dewasa.

Sedangkan Menurut Abu Hanifah, anak lelaki dianggap baligh pada saat dia berusia 18 tahun, sedangkan anak perempuan pada saat dia memasuki 17 tahun.42 Mengingat perkembangan masyarakat saat ini, kami condong dengan pendapat Abu Hanifah yang menetapkan usia dewasa seseorang lelaki jika dia telah memasuki usia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.43

41 Abu Daud Ibn Sulaiman al-Asyats al-Sijistan, Sunan Abi Daud, (Lebanon: Dar Al-Fikr, t.th), h.

152/2

42 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum Jilid 7, cet. Ke-3, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 156

43 Nailul Authar V: 370, 373 dalam Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis- Hadis Hukum Jilid 7, h. 157

(36)

Berdasarkan beberapa hadis diatas, belum ada yang menjelaskan secara rinci dan memiliki persepsi yang sama dengan peraturan perundang-undangan mengenai batas usia di bawah umur, akan tetapi pendapat Abu Hanifah mempunyai kesamaan walau hanya sebagian dari pendapatnya yaitu mengenai batas usia anak di bawah umur bagi anak lelaki.

Adapun hadis yang berkaitan dengan wali nikah adalah hadis dari

‘Aisyah ra. yang sebagai berikut:

اﺬﻧﺮﯿﻐﺑ ﺖﺤﻜﻧ اةﺮﻣ اﺎﻤﯾا) :ﻢﻠﺳ وﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳل رﺎﻗ :ﺖﻟﺎﻗ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ واﺮﺠﺘﺷن اﺎﻓ ,ﺎﮭﺟﺮﻓ ﻦﻣ ﻞﺤﺘﺳ اﺎﻤﺑ ﺮﮭﻤﻟ اﺎﮭﻠﻓ ﺎﮭﺑ ﻞﺧن دﺎﻓ ,ﻞطﺎﺑ ﺎﮭﺣﺎﻜﻨﻓ ﺎﮭﯿﻟو ﻦﺑ و ا,ﺔﻧاﻮﻋ ﻮﺑ اﮫﺤﺤﺻ و,ﻰﺋﺎﺴﻨﻟ اﻻ اﺔﻌﺑﺮﻌﻟ اﮫﺟﺮﺧ ا(ﮫﻟ ﻲﻟ وﻻ ﻦﻣ ﻲﻟن وﺎﻄﻠﺴﻟﺎﻓ

44.ﻢﻛﺎﺤﻟن واﺎﺒﺣ

Artinya:

Dari ‘Aisyah ra. berkata: Bersabda Rasulullah saw, siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal, maka jika ia telah dicampuri maka baginya mahar yang menghalalkan farjinya, jika ia tidak mempunyai wali maka penguasa (hakimah) walinya wanita yang tidak punya wali”.

dan hadis dari ‘Imran Ibn Husaini sebagai berikut:

45.[ﻲﻟﻮﺑ ﻻح إﺎﻜﻧ ﻻ] :ﻢﻠﺳ وﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳل رﺎﻗ : لﺎﻗ ﻰﺳﻮﻣ ﻲﺑ أﻦﻋ Artinya:

44 Muhammad ben Isa al-Tirmidi, Sunan al-Tirmidi, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008), h. 285

45 Muhammad ben Isa al-Tirmidi, Sunan al-Tirmidi, h. 283

(37)

dari Abi Musa berkata: Nabi bersabda saw. “tidak ada nikah melainkan dengan wali”. (HR. Tirmidzi)

Pernyataan “tidak” pada hadis ini maksudnya “tidak sah”, yang merupakan arti yang terdekat dari pokok persoalan ini, jadi nikah tanpa wali adalah batal,46 sebagaimana yang dijelaskan pada hadis sebelumnya.

46 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 2, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1988), h. 131

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut, Polres Semarang sebagai penegak hukum di Kabupaten

juga mempelajari cara membatik menggunakan alat tradisional yang kemudian konsep pengembangan secara spasial terbagi menjadi tiga, yaitu menyediakan rute perjalanan

Sedangkan kelompok kedua adalah segelintir orang-orang yang hanya mementingkan rasa ego yang tinggi akibat kurang di dasari dengan nilai-nilai moral dan adat istiadat yang telah

PEMBERIAN MINYAK IKAN LEMURU (Sardinella longiceps) SEBAGAI ANTI DISLIPIDEMIA MELALUI PENINGKATAN HDL PADA TIKUS WISTAR..

1) Meskipun dari kasus ini telah menunjukkan efektivitas dan manfaat memaafkan bagi korban, namun peneliti melihat perlu ada usaha menuju ke arah yang lebih baik, karena

Berdasarkan pada permasalah dan perkembangan teknologi yang telah dipaparkan, maka muncul ide untuk merancang dan membuat suatu aplikasi Virtual Tour,

Penelitian lanjutan yang dibutuhkan untuk memaksimalkan akurasi dari hasil identifikasi adalah dengan menambah data citra dari lebah, menambah fitur baru, atau