• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR PERILAKU KELUARGA TERHADAP KEJADIAN ISPA PADA BALITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR PERILAKU KELUARGA TERHADAP KEJADIAN ISPA PADA BALITA"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ANALISIS FAKTOR PERILAKU KELUARGA TERHADAP KEJADIAN ISPA PADA BALITA

Cucu Herawati*

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon cucueherawatie@gmail.com

Putri Indrini**

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Iin Kristanti***

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon

Abstrak

Infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi, dan anak balita di Negara berkembang. Hampir semua kematian ISPA pada bayi dan anak balita umumnya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Salah satu faktor yang mempengaruhi ISPA pada balita adalah perilaku keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor perilaku keluarga dengan kejadian ISPA pada Balita. Jenis penelitian merupakan deskriptif analitik dengan desain cross sectional, populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh balita sebanyak 1000 balita, jumlah sampel sebanyak 75 balita yang diambil secara random sampling. Data dianalisis menggunakan uji chi Square. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA (p=0,001), ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA (p=0,003), dan ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan rumah dengan kejadian ISPA (p=0,001). Disarankan bagi masyarakat agar menerapkan PHBS, menjaga lingkungan, dan bagi puskesmas agar melaksanakan penyuluhan tentang ISPA serta Care sicking ISPA.

Kata Kunci: ISPA, merokok, obat nyamuk bakar ABSTRACT

Acute respiratory infections (ARI) are known as one of the main causes of death in infants and children under five in developing countries. Almost all ARI deaths in infants and children under five are generally caused by lower respiratory tract infections (pneumonia). One of the factors that influence ARI in toddlers is family behavior. The purpose of this study was to determine the relationship between family behavior factors and the incidence of ARI in children under five. The type of research is descriptive-analytic with a cross-sectional design, the population in this study is all 1000 toddlers, the total sample is 75 toddlers taken by random sampling. Data were analyzed using the chi- Square test. The results of this study showed that there was a significant relationship between the smoking behavior of family members and the incidence of ARI (p=0.001), there was a significant relationship between the use of mosquito coils and the incidence of ARI (p=0.003), and there was a significant relationship between house-cleaning behavior and the incidence of ARI. the incidence of ARI (p=0.001). It is recommended for the community to implement PHBS, protect the environment, and for puskesmas to carry out counseling about ARI and Care sicking ARI.

Keywords: ARI, smoking, mosquito coils

JURNALKESEHATAN

Vol. 12 No. 2 Tahun 2021 DOI: http://dx.doi.org/10.38165/jk.

e-ISSN: 2721-9518 p-ISSN: 2088-0278

LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon

(3)

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan paru dan pernapasan merupakan salah satu masalah penting di dunia, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menempati urutan ketiga dari 10 penyebab kematian di dunia dengan prevelansi angka kejadian sebesar 6,1 % atau dengan 3,46 juta kasus(1).Infeksi saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia) memerlukan perhatian yang besar oleh karena Case Fatality Rate (CFR) nya tinggi dan pneumonia merupakan infeksi yang mempunyai andil besar dalam morbiditas dan maupun mortalitas di Negara berkembang(2).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi ISPA ditemukan sebesar 25,0% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5% - 41,4%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1- 4 tahun, pada tahun 2014 kasus ISPA pada balita tercatat sebesar 657.490 kasus (29,47%). Berdasarkan pencatatan dan pelaporan di Provinsi Jawa Barat bahwa gambaran kasus penyakit ISPA terbanyak memiliki angka tertinggi sebanyak 140.000 kasus penderita ISPA(3). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA(4). Data dari Profil Dinas Kesehatan Kota Cirebon bahwa penemuan penderita pneumonia pada Balita tahun 2013-2015 terdapat lebih dari 3000 kasus yang menderita(5). Di UPT Puskesmas Jagasatru angka kesakitan ISPA menduduki urutan pertama dari 10 penyakit menular. Dari data Hasil Rekap Laporan Program Pengendalian ISPA di UPT Puskesmas Jagasatru dimana pada tahun 2017 – 2018 tercatat sebanyak 902 kasus untuk semua umur dan 704 kasus pada Balita(6).

Faktor perilaku keluarga yang bisa menyebabkan kejadian ISPA pada balita diantaranya adalah asap di dalam rumah, adanya anggota keluarga yang menderita ISPA di dalam rumah, tidak menutup mulut pada saat batuk atau bersin dekat balita, kebersihan rumah yang kurang, menggunakan obat nyamuk bakar, membawa anak pada saat memasak. Tidak adanya kemampuan menyediakan lingkungan perumahan yang sehat pada golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah akan meningkatkan kerentanan balita terhadap serangan berbagai penyakit menular, termasuk ISPA(1). Menurut penelitian Cindi Astuti tahun 2017 menunjukkan perilaku keluarga yang tidak baik dengan balita terkena ISPA sebesar 76.7 %, dengan nilai OR sebesar 7,667 artinya bahwa perilaku keluarga balita yang tidak baik berpeluang 7,667 kali untuk terjadi ISPA pada balita dari pada perilaku yang baik(7). Faktor pencemaran udara dalam rumah sebesar 69,1 % yang dapat mempengaruhi balita terkena infeksi pernapasan akut (ISPA)(8).

Kelurahan Jagasatru memiliki penduduk terpadat yang ada di Kecamatan Pekalipan Kota Cirebon, sehingga penyebaran penyakit menular sangat cepat terjadi di masyarakat. Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat menjadi perilaku sehat dan menciptakan lingkungan sehat di rumah tangga. Pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita merupakan praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau anggota keluarga lainnya(9). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor perilaku keluarga dengan kejadian ISPA pada Balita.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitik, dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) dimana pengambilan data variabel sebab (independent variabel) maupun variabel akibat (dependent variabel) dilakukan secara bersamaan(10). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Jagasatru pada bulan Juni 2018 yaitu 1000 balita. Besar sampel pada penelitian ini adalah 75 responden, dengan kriteria inklusi Responden menetap di Kelurahan Jagasatru Kota Cirebon, responden bersedia menjadi objek penelitian, dan responden dapat berkomunikasi dengan baik. Sedangkan, kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu tidak ada di tempat saat pelaksanaan penelitian. teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini propotional random sampling kemudian dilakukan teknik simple random sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan cara

(4)

wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji chi square.

HASIL PENELITIAN

Kejadian ISPA

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA

Kejadian ISPA Frekuensi Persentase

ISPA 49 65,3 %

Tidak ISPA 26 34,7 %

Total 75 100 %

Pada tabel 1. diperoleh balita yang menderita ISPA sebanyak 49 orang (65,3 %) dan Balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 26 orang (34,7 %).

Perilaku Merokok Anggota Keluarga, Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, dan Perilaku Membersihkan Rumah

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perilaku Merokok Anggota Keluarga, Penggunaan Obat NyamukBakar dan Perilaku Membersihkan Rumah Anggota Keluarga Perilaku merokok anggota

keluarga

Frekuensi Persentase

Merokok 33 44 %

Tidak merokok 42 56 %

Penggunaan obat nyamuk bakar

Menggunakan 27 36 %

Tidak menggunakan 48 64 %

Perilaku membersikan rumah

Rumah bersih 34 45,3 %

Rumah tidak bersih 41 54,7 %

Total 75 100 %

Pada tabel 2. diperoleh bahwa gambaran perilaku merokok anggota keluarga yang merokok sebanyak 33 orang (44 %) dan anggota keluarga yang tidak merokok sebanyak 42 orang (56 %).

Penggunaan obat nyamuk bakar menyatakan ada yang menggunakan obat nyamuk bakar sebanyak 27 orang (36 %) dan yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar sebanyak 48 orang (64 %).

Gambaran perilaku membersihkan rumah diperoleh rumah yang bersih sebesar 34 orang (45,3%) dan rumah yang tidak bersih sebesar 41 orang (54,7%).

Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga, Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, dan Perilaku Membersihkan Rumah Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA

Tabel 3. Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga, Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, dan Perilaku Membersihkan Rumah Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA

Kejadian ISPA Perilaku Anggota

Keluarga Merokok

ISPA Tidak ISPA Total P Value

n % n % n %

Merokok 29 87,9% 4 12,1% 33 100%

0,001

Tidak Merokok 20 47,6% 22 52,4% 42 100%

Total 49 65,3% 26 34,7% 75 100%

Penggunaan Obat

(5)

Nyamuk Bakar

Menggunakan 24 88,9% 3 11,1% 27 100% 0,003

Tidak menggunakan 25 47,6% 23 52,4% 48 100%

Total 49 65,3% 26 34,7% 75 100%

Perilaku Membersihkan Rumah

Membersihkan 15 44,1% 19 55,9% 34 100%

0,001

Tidak Membersihkan 34 82,9% 7 17,1% 41 100%

Total 49 65,3% 26 34,7% 75 100%

Berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa ibu balita yang balitanya menderita ISPA karena perilaku merokok anggota keluarganya sebanyak 29 orang (87,9%) dan balita yang tidak menderita ISPA karena perilaku merokok anggota keluarganya sebanyak 22 orang (52,4%). Diperoleh p = 0,001 (p = < 0,05), artinya ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada Balita.

Ibu balita yang balitanya menderita ISPA karena penggunaan obat nyamuk bakar di keluarganya sebanyak 24 orang (88,9%) dan balita yang tidak menderita ispa karena penggunaan obat nyamuk bakar di keluarganya sebanyak 23 orang (52,4%). Diperoleh p = 0,003 (p = < 0,05), artinya ada hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada Balita.

Didapatkan bahwa ibu balita yang balitanya menderita ISPA karena perilaku membersihkan rumahnya sebanyak 34 orang (82,9%) dan balita yang tidak menderita ispa karena perilaku membersihkan rumahnya sebanyak 19 orang (55,9%). Diperoleh p = 0,001 (p = < 0,05), artinya ada hubungan antara perilaku membersihkan rumah dengan kejadian ISPA pada Balita.

PEMBAHASAN

Hubungan antara Perilaku Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita Hasil penelitian ini ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada Balita (p=0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku merokok anggota keluarga berhubungan dengan kejadian ISPA(11), ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada Balita dengan nilai p=0,000(12), hal ini didukung oleh pendapat Syutrika (2014) didapatkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga didalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan p value 0,002(13), ada hubungan antara perilaku merokok pada orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Pulau Jambu tahun 2019 dengan p value 0,003(14).

Asap rokok dari orang tua yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa(15). Balita yang tinggal di rumah dengan adanya perokok dalam rumah lebih rentan terserang penyakit ISPA. Banyaknya jumlah perokok akan sebanding dengan banyaknya penderita gangguan kesehatan. Asap rokok tersebut akan meningkatkan risiko pada balita untuk mendapat serangan ISPA. Asap rokok bukan hanya menjadi penyebab langsung kejadian ISPA pada balita, tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat melemahkan daya tahan tubuh balita(16). Semakin banyak kebiasaan merokok anggota keluarga didalam rumah semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA pada balita(12)

Menurut asumsi peneliti maka dengan adanya anggota keluarga yang merokok terbukti merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan gangguan pernapasan pada anak balita, diantaranya penyakit ISPA. Balita ini sebagai perokok pasif akibat dari keterpaparan anggota keluarganya yang merokok, yang mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita ISPA. Asap rokok memiliki efek samping negatif karena dapat menyebabkan iritasi mukosa saluran pernafasan dan menimbulkan ISPA. Radikal bebas yang terdapat pada asap rokok bisa merusak jaringan paru.

(6)

Hubungan antara Penggunaan Obat Nyamuk Bakar Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

Dari hasil penelitian ini diperoleh p=0,003, artinya ada hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada Balita, hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan antara Kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar (p=0,000), dan kebiasaan merokok (p=0,000), dengan kejadian ISPA(17).

Risiko terbesar terdapat pada obat nyamuk bakar akibat asapnya yang dapat terhirup.

Sementara obat nyamuk elektrik lebih kecil karena bekerja dengan cara mengeluarkan asap tapi dengan daya listrik (makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pula bau yang ditimbulkan, sekaligus makin minim pula kemungkinan mengganggu kenyamanan manusia(15).

Asap obat nyamuk bakar berbahaya bagi kesehatan, penelitian menemukan kerusakan paru- paru yang diakibatkan dari satu obat nyamuk sama dengan kerusakan yang diakibatkan dari 100 batang rokok. Adanya kandungan DDVP (dichlorovynil dimetyl phosfat), zat yang berbahaya jika terus-terusan terpapar dalam jangka waktu panjang akan mengakibatkan kerusakan syaraf, gangguan pernapasan dan memicu kanker. Selain itu kandungan zat kimia yang terdapat di dalam obat nyamuk mampu membuat aktivitas enzim turun sehingga adanya pengaruh yang buruk terhadap hati dan reproduksi. Pemakaian obat nyamuk bakar tidak direkomendasikan terutama untuk anak, Selain asapnya dapat menyebabkan pedih dimata, Juga dapat menyebabkan batuk, sesak napas, alergi dan sinusitis(17).Dengan demikian merurut hasil penilitian ini bahwa asap dari penggunaaan obat nyamuk bakar berpengaruh terhadap penyakit ISPA.

Hubungan antara Perilaku Anggota Keluarga dalam Kebersihan Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Dari hasil statistik diperoleh p=0,001, artinya ada hubungan antara perilaku membersihkan rumah dengan kejadian ISPA pada Balita, hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan ada pengaruh status fisik rumah terhadap kejadian ISPA,(18) terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita,(19) dan ada hubungan yang bermakna antara kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit ISPA (ρValue= 0,016) (20).

Perilaku anggota keluarga dalam membersihkan rumah dalam penelitian ini digambarkan dengan keadaan rumah dalam keadaan bersih atau tidak. Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. ventilasi sangat penting untuk suatu rumah tinggal.

Hal ini karena ventilasi mempunyai fungsi ganda. Oleh karena itu untuk suatu rumah yang memenuhi syarat kesehatan, ventilasi mutlak harus ada. Menurut teori H.L Blum dalam notoatmodjo 2007 menjelaskan bahwa status kesehatan dipengaruhi 4 (empat) faktor yang saling berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan, perilaku (gaya hidup), keturunan dan pelayanan kesehatan(21). Dengan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan suasana di dalam rumah tidak nyaman dan merugikan kesehatan salah satunya dapat menyebabkan masalah saluran pernapasan yaitu penyakit ISPA. Lokasi penelitian merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi sehingga merupakan potensi faktor pencetus penyakit ISPA dengan kondisi lingkungan rumah sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan.

SIMPULAN

Balita yang menderita ISPA sebanyak 49 orang (65,3 %) dan balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 26 orang (34,7 %). Ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga (p=0,001), penggunaan obat nyamuk bakar (p=0,003), perilaku membersihkan rumah (p=0,001) dengan kejadian ISPA pada Balita. Sebaiknya Puskesmas memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya peranan rumah sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Orang tua dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi balita seperti

(7)

kebiasaan membuka jendela untuk mengurangi kelembaban udara, tidak merokok didekat balita, tidak menggunkan obat nyamuk bakar, membersihkan rumah setiap hari, mengganti seprei sesering mungkin dan menjaga jarak apabila menderita ISPA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhandayani I. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Pati. 2006;

2. Sri H. Gambaran Faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. J Ilmu Keperawatan [Internet]. 2014;11(1):62–7.

3. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia. 2013.

4. Depkes RI. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita [Internet]. 2004. Available from:

http://www.conflictandhealth.com/content/4/1/3

5. Dinas Kesehatan Kota Cirebon. Profil Dinas Kesehatan Kota Cirebon. 2018.

6. Puskesmas Jagastru. Laporan Tahunan Program Pengendalian ISPA. 2018.

7. Cindi Astuti. Hubungan Perilaku Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa CIjati Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap. 2017;4:9–15.

8. Namira S. Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ispa pada anak prasekolah di kampung pemulung tangerang selatan. 2013;(109104000014):1–103.

9. Sunardi J, Kriswanto ES. Perilaku hidup bersih dan sehat mahasiswa pendidikan olahraga Universitas Negeri Yogyakarta saat pandemi Covid-19. J Pendidik Jasm Indones.

2020;16(2):156–67.

10. Arikunto S. Prosedur Penelitian suatu pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta; 2013.

11. Cucu Herawati, Hety Sriwaty. Analisis Perilaku Merokok, Penggunaan Anti Nyamuk Bakar dan Penggunaan Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita. 2015;1075–9.

12. Aryani N, Syapitro H. Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Di Dalam Rumah Dengan ISPA Pada Balita Di Puskesmas Helvetia Tahun 2016. J Kesehat Masy dan Lingkung Hidup. 2018;3(1):1–9.

13. Syustrika K, Budi TR, Reiny AT, Hubungan antara status merokok anggota keluarga dengan kejadian puskesmas ongkaw kabupaten minahasa selatan ,2014.

14. Aprilla N, Yahya E, Ririn. Hubungan antara Perilaku Merokok pada Orang tua dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Pulau Jambu Wilayah Kerja Puskesmas Kuok Tahun 2019.

J Ners. 2019;3(1):112–8.

15. Syahidi MH, Gayatri D, Bantas K. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Tahun 2013. J Epidemiol Kesehat Indones.

2016;1(1):23–7.

16. Sofia S. Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. AcTion Aceh Nutr J. 2017;2(1):43.

17. Iqbal M. Hubungan Pengetahuan, Kebiasaan Menggunakan Obat Nyamuk Bakar, Dan Merokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas …. 2020; Available from:

http://eprints.uniska-bjm.ac.id/3714/

18. Mayasari E. Analisis faktor kejadian ISPA. Ikesma. 2015;11(9):161–70.

19. Claudia F. Dewi ES. Hubungan Sanitasi Lingkungan dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Dusun Perang Desa Cireng Kabupaten Manggarai Tahun 2018. 2018;(10):57–62.

20. Vidiyani. Hubungan kondisi lingkungan, kontainer, dan perilaku masyarakat dengan keberadaan Jentik nyamuk Aedes aegypti di Daerah endemis DBD Surabaya. J Kesehat Lingkung. 2005;1(2).

21. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Rineka Cipta; 2007. 139-140, 146 p.

(8)

PENGARUH MOBILISASI DINI TERHADAP PROSES INVOLUSI UTERI

Rokhmatul Hikhmat*

Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Cirebon email: rokhmatul_hikhmat@gmail.com

Sri Lestari**

Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Cirebon Ning Puspita Dewi***

Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Cirebon

Abstrak

Pelaksanaan tindakan mobilisasi dini pada pasien post sectio caesaria rata-rata baru mencapai 23,3% dari seluruh persalinan di rumah sakit Karya Husada, padahal mobilisasi dini merupakan tindakan yang sangat efektif guna mencegah komplikasi pada pasien post sectio caesaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian mobilisasi dini terhadap proses involusi uteri pada pasien post sectio saesaria. Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperimen atau eksperimen semu. instrumen yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Jumlah responden 30 responden dalam kelompok kontrol 15 responden dan kelompok intervensi 15 responden. Hasil penelitian bahwa nilai rata-rata penurunan TFU pada kelompok kontrol adalah paling banyak pada skala 0,5 cm yaitu sebanyak 5 orang (33,3%). pada responden kelompok intervensi paling banyak pada nilai 2,5 – 3 cm yaitu sebanyak 8 orang (73,3%). Uji statistik menggunakan uji T-Test diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata - rata penurunan TFU kelompok intervensi dengan kelompok kontrol pada pasien post sectio caesaria, dimana nilai signifikansi 0,023 < α 0,05. Saran dari penelitian ini bagi rumah sakit agar pelaksanaan tindakan pemberian mobilisasi dini pada pasien post sectio caesaria lebih ditingkatkan guna menjamin kualitas asuhan keperawatan

Kata Kunci: Mobilisasi Dini, Involusi Uteri, Post Sectio Caesaria ABSTRACT

The implementation of early mobilization in post sectio caesaria patients only reached 23.3% of all deliveries at the Karya Husada hospital, even though early mobilization is a very effective measure to prevent complications in post sectio caesaria patients. This study aims to determine the effect of early mobilization on the process of uterine involution in post sectio saesaria patients. The type of research is Quasy Experiment or quasi-experiment. The instrument used was a questionnaire with closed questions. The number of respondents was 30 respondents in the control group 15 respondents and the intervention group 15 respondents. The results showed that the average TFU reduction in the control group was the most on a scale of 0.5 cm, namely 5 people (33.3%). The most respondents in the intervention group were at a value of 2.5 - 3 cm, namely as many as 8 people (73.3%). Statistical test using the T-Test shows that there is a significant difference between the average reduction in TFU of the intervention group and the control group in post sectio caesaria patients, where the significance value is 0.023 <α 0.05.Suggestions from this study for hospitals so that the implementation of early mobilization in post sectio caesaria patients is further improved in order to ensure the quality of nursing care

Keywords: Early Mobilization, Uterine Involution, Post Sectio Caesaria

JURNALKESEHATAN

Vol. 12 No. 2 Tahun 2021 DOI: http://dx.doi.org/10.38165/jk.

e-ISSN: 2721-9518 p-ISSN: 2088-0278

LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon

(9)

PENDAHULUAN

Setiap wanita menginginkan persalinan berjalan lancar dan dapat melahirkan bayi yang sempurna. Namun tidak jarang proses persalinan mengalami hambatan dan harus dilakukan dengan operasi, baik karena pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan janinnya ataupun keinginan pribadi pasien (1).

Ada 2 cara persalinan yaitu persalinan lewat vagina atau lebih dikenal dengan persalinan normal atau alami dan persalinan dengan tindakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding rahim, namun pada kenyataannya masih sering terjadi komplikasi pada ibu post partum seperti : infeksi puerperal, perdarahan, luka pada kandung kencing, embolisme paru-paru, ruptur uteri dan juga dapat terjadi pada bayi seperti kematian perinatal (2).

Peristiwa yang terpenting pada masa setelah melahirkan (kala nifas) adalah terjadinya perubahan fisik dan laktasi (menyusui). Pada saat wanita mengalami proses kehamilan terjadi perubahan besar pada otot rahim, yang mengalami pembesaran selnya (hipertrofi) dan pembesaran ukuran karena pertambahan jumlah selnya (hiperplasia), sehingga dapat menampung pertumbuhan dan perkembangan janin sampai cukup bulan dengan berat lebih dari 2500 gram (3).

Setelah penelitian terjadi proses yang disebut “involusi” (kembalinya rahim keukuran semula) di mana secara berangsur-angsur otot rahim mengecil kembali, sampai seberat semula pada Minggu ke-7 (42 hari) (3).

Banyak faktor yang dapat mempercepat proses involusi pada ibu setelah persalinan baik secara spontan maupun buatan, faktor-faktor tersebut antara lain : ambulasi, senam nifas, proses laktasi, komplikasi persalinan, anestesi, lamanya persalinan, usia, nutrisi, paritas, dan pekerjaan.

Perawatan masa nifas sangat konservatif dan kini klien lebih dianjurkan untuk aktif dalam melakukan “mobilisasi dini” (Earl mobilisation). Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan (4).Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologi karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian (4).

Menurut Sutari (2017) bahwa konsep mobilisasi mula-mula berasal dari ambulasi dini yang merupakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya untuk mencegah komplikasi yang akan terjadi pada pasien post seaction caesaria (1).

Untuk kasus ibu melahirkan dengan sectio caesaria di Rumah Sakit KH Karawang khususnya di ruang Kebidanan pada tahun 2019 – 2021 mencapai jumlah 482 pasien dari 2074 pasien (data rekapitulasi pasien ruang kebidanan tahun 2019 – 2021) dengan rata-rata kasus 23,3%

dari kasus persalinan yang ada di Rumah Sakit KH Karawang sudah menerapkan pemberian mobilisasi dini pada pasien post sectio caesaria, akan tetapi mobilisasi yang diberikan terhadap pasien post sectio caesaria kurang terstruktur sesuai dengan rentang gerak yang harus diberikan pada pasien post partum dengan Sectio Caesaria, selain itu juga dianjurkan dan diajarkan pemberian ASI sedini mungkin (Inisiasi Menyusui Dini) hal ini bertujuan antara lain untuk mempercepat proses kembalinya rahim ke bentuk semula.

Studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 5 Oktober 2020 pada 4 pasien post seaction caesaria di Rumah Sakit KH Karawang dengan pemberian mobilisasi dini terstruktur menunjukkan penurunan fundus uteri mengalami penurunan yang baik.

Melihat fenomena di atas tentang pentingnya mobilisasi dini diberikan pada ibu post sectio caesaria yang berguna dalam mempercepat proses kembalinya rahim ke bentuk semula, maka penulis berkeinginan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mobilisasi dini yang diberikan pada pasien post sectio caesaria terhadap proses terjadinya involusi uteri, di ruang kebidanan Rumah Sakit KH Karawang

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah Quasy Eksperiment atau eksperimen semu, karena peneliti telah memperlakukan responden menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu

(10)

kelompok eksperimen (responden yang diperlakukan untuk melakukan mobilisasi dini) dan kelompok kontrol (kelompok yang tidak diperlakukan untuk melakukan mobilisasi dini)(5).Variabel penelitian ini adalah proses Involusi uteri pada pasien post section caesarea yang dilakukan mobilisas dini. Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang melahirkan secara sectio caesaria, Sampel diambil dengan teknik accidantal sampling sebanyak 30 orang yang terdiri dari 15 orang yang termasuk dalam kelompok intervensi dan 15 orang yang termasuk dalam kelompok kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan memberikan intervensi mobilisasi dini yang terstruktur terhadap pasien post partum Sectio Caesaria sekitar 6-8 jam post tindakan SC dengan berdasarkan Standar Operasional Prosedur, dilakukan tindakan pengukuran tanda-tanda vital dan setelah 24 jam pos SC dilakukan pengukuran TFU.

HASIL PENELITIAN

Penurunan Nilai TFU pada kelompok kontrol

Nilai Rerata Penurunan TFU F %

0,5 cm 1 cm 1,5 cm

2 cm 2,5 cm

5 4 3 3 0

33,3 26,7 20 20 0

Jumlah 15 100

Mean 1,33 33,3

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata penurunan TFU pada kelompok kontrol paling banyak pada skala 0,5 cm yaitu sebanyak 5 orang (33,3%).

Penurunan Nilai TFU pada Kelompok Intervensi

Nilai Rerata Penurunan TFU F %

1 cm 1,5 cm

2 cm 2,5 cm

3 cm

2 2 3 4 4

13,3 13,3 20 26,7 26,7

Jumlah 15 100

Mean 2,2 73,3

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata penurunan TFU pada responden yang dilakukan intervensi paling banyak pada nilai 2,5 – 3 cm yaitu sebanyak 8 orang (73,3%).

Hasil Uji Analisis

Nilai Rata-rata

TFU

Levene’s For

Equality Of Fariance T-Test For Equality Of Means

Means Different

F Sig T Df Sig (2

tailed) Equal

Variances Assumed

0,649 0,427 4,532 28 0,023 1,133

Equal Variances

Assumed

4,532 27,06 0,023 1,133

Pada tabel di atas terlihat ada perbedaan yang nyata antara penurunan nilai TFU kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, dengan demikian mobilisasi dini mempengaruhi penurunan

(11)

nilai TFU pada ibu post section caesaria. artinya perbedaan penurunan TFU pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

PEMBAHASAN

Penurunan TFU Pada Kelompok Kontrol

Pada responden yang tidak dilakukan intervensi atau sebagai kontrol mengalami penurunan TFU sebagian besar dalam kategori jelek sebanyak 9 orang (60%), dan yang termasuk dalam kategori baik sebanyak 6 orang (40%). Intensitas kontraksi uterus akan meningkat secara bermakna setelah bayi lahir, dan secara fisiologis proses involusi uteri dapat dipercepat salah satu faktornya adalah ambulasi/mobilisasi(6). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan mobilisasi secara berkala. Penurunan TFU pada kelompok kontrol paling banyak pada kategori jelek karena post up sectio caesaria tidak dilakukan mobilisasi dini.

Penurunan TFU pada Kelompok Intervensi

Rerata penurunan TFU pada responden yang dilakukan intervensi mobilisasi dini post sectio caesaria selama 2 hari paling banyak pada kategori baik sebanyak 13 orang (86,7%), dan dalam kategori jelek/buruk sebanyak 2 orang (13,3%). Penurunan TFU yang dialami oleh kelompok intervensi terjadi karena pemberian mobilisasi dini setelah persalinan sectio caesaria. Mobilisasi dilakukan pada 6 – 8 jam post sectio caesaria seperti menggerakkan ujung kaki ante fleksi, memutar pergerakan kaki, gerakan lengan dan tangan, mengangkat tumit 150, menggeser dan menekuk kaki.

Setelah 24 jam post sectio caesaria dilakukan mobilisasi miring ke kiri dan ke kanan, dan latihan berjalan. Mobilitas atau mobilisasi kemampuan seseorang / individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya(7).

Perbedaan Rerata Penurunan TFU Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Ada perbedaan antara rata-rata penurunan TFU pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Secara proporsi menunjukkan bahwa rata-rata penurunan TFU pada kelompok intervensi adalah 2,2 cm, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 1,133 cm. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bariah Khairul Sitohang, Nur Asnah (3 Agustus 2015) dengan judul Efektifitas Mobilisasi Dini Terhadap Penyembuhan Pasien Pasca Sektio Sesarea Di RSUD Dr. Pringadi Medan(8) yang menyatakan hasil penelitian ini diketahui bahwa mobilisasi dini efektif terhadap penyembuhan pasien pasca seksio sesarea khususnya pada penurunan tinggi fundus uteri dan penyembuhan luka operasi. Hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa ada perbedaan penurunan TFU pada responden yang dilakukan intervensi dengan yang tidak dilakukan intervensi adalah penelitian oleh Siti Sri Wahyuni dengan judul Hubungan mobilisasi Dini Dengan Involusi Uterus Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Puskesmas Jabon Jombang(9), berdasarkan hasil penelitian dapat diambil simpulan terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata penurunan TFU kelompok intervensi dengan kelompok control pada pasien section caersaria.

Simpulan

1. Nilai rata-rata penurunan TFU pada kelompok kontrol adalah paling banyak pada skala 0,5 cm yaitu sebanyak 5 orang (33,3%).

2. Nilai rata – rata penurunan TFU pada responden yang dilakukan kelompok intervensi paling banyak pada nilai 2,5 – 3 cm yaitu sebanyak 8 orang (73,3%).

3. Ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata penurunan TFU kelompok intervensi dengan kelompok kontrol pada pasien post sectio caesaria

Saran

1. Bagi Pasien

(12)

Pasien post partum normal maupun sectio caesaria diharapkan mampu melakukan tindakan mobilisasi dini baik secara pasif maupun aktif sehingga kesehatan secara optimal tercapai.

2. Bagi Perawat

Setelah mempelajari cara pemberian mobilisasi dini yang terstruktur pada pasien post sectio caesaria diharapkan mampu dan mau mengimplementasikan dalam praktek sehari-hari, agar pasien dapat melakukan mobilisasi dini secara teratur sehingga mempercepat kembalinya fundus uteri kebentuk semula tanpa adanya komplikasi.

3. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan pemberian mobilisasi dini dapat menjadi protap ditiap kasus persalinan secara sectio caesaria maupun normal.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Disarankan meneliti hubungan involusi teri dari faktor yang lainnya dengan menggunakan sampel yang homogen dalam kurun waktu yang lebih lama sehingga didapatkan data yang lebih akurat.

5. Bagi institusi

Dari hasil penelitian ini sebagai bahan dan informasi dalam program pengajaran pada mahasiswa keperawatan sehingga menghasilkan lulusan yang profesional dan berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Angka Kematian Jbu di Indonesia. 2015 [diunduh tanggal 12-09- 2021].

www.google.com

2. Dini, Kasdu. Operasi Caesaria, Masalah dan Solusinya: Puspa Suara. 2013

3. Manuaba IBG. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. 2011

4. Hamiltan, Persis M. Dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. 2011

5. Alimul, Hidayat A. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba. 2011 6. Manuaba IBG. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Arcan. 2010

7. Alimul Hidayat, A. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba. 2012

8. Bariah Khairyl Sihotang. Efektifitas Mobilisasi Dini Terhadap Penyembuhan Pasien Pasca Sektio Saesarea Di RSUD Dr. Pringadi Medan Tahun 2015

9. Sri Wahyuni. Siti Hubungan mobilisasi Dini Dengan Involusi Uterus Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Puskesmas Jabon Jombang tahun 2010

(13)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KARYAWAN DENGAN PENGELOLAAN SAMPAH MEDIS

Iin Kristanti*

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon inkris76@gmail.com

Cucu Herawati**

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Sri Kushartati**

Program Studi Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon

Abstrak

Upaya pengelolaan sampah medis laboratorium bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari sampah. Hal ini dikarenakan sampah laboratorium klinik dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap karyawan dengan pengelolaan sampah medis di Labolatorium Klinik Prodia Cabang Tegal.

Jenis penelitian yaitu deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Metode pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dibantu dengan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh karyawan Labolatorium Klinik Prodia Cabang Tegal sebanyak 22 orang dengan sampel penelitian total sampling. Analisis data menggunakan uji chi-square.

Hasil penelitian ada hubungan pengetahuan pvalue=0,006, dan ada hubungan sikap pvalue=0,015 dengan pengelolaan sampah medis di Labolatorium Klinik Prodia Cabang Tegal. Sebaiknya Perusahaan Labolatorim Klinik Prodia lebih meningkatkan lagi pengelolaan sampah medis yang sudah baik menjadi sangat baik dengan cara sosialisasi SOP, Intruksi Kerja, Pedoman Kerja dilakukan secara berkala dan lomba membuat mading Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), buat kuiz tentang pengelolaan sampah medis dua kali dalam setahun. Memberikan edukasi pengelolaan sampah medis dan berupaya meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan sampah medis.

Kata Kunci: Pengetahuan, sikap, pengelolaan sampah medis

Abstract

Laboratory medical waste management efforts aim to protect the public from the dangers of environmental pollution originating from waste. This is because clinical laboratory waste can be considered as a chain for the spread of infectious diseases. The purpose of this study was to determine the relationship between knowledge and attitudes of employees with medical waste management at the Prodia Clinical Laboratory, Tegal Branch. This type of research is descriptive-analytic with cross-sectional design. Methods of collecting data using interviews assisted by questionnaires.

The population in this study were all 22 employees of the Prodia Clinical Laboratory Tegal Branch with a total sampling of research samples. Data analysis using chi-square test. The results of the study showed that there was a relationship between knowledge, p-value = 0.006, and attitude, p-value = 0.015, with medical waste management at the Prodia Clinic Laboratory, Tegal Branch. It is recommended that the Prodia Clinic Laboratory Company further improve the management of medical waste that is already good to be very good by socializing SOPs, Work Instructions, Work Guidelines carried out regularly and competitions to make Health and Safety (K3) posters, create quizzes on medical waste management twice in a year. provide education on medical waste management and seek to improve their knowledge and attitudes towards medical waste management.

Keywords: Knowledge, attitude, medical waste management

JURNALKESEHATAN

Vol. 12 No. 2 Tahun 2021 DOI: http://dx.doi.org/10.38165/jk.

e-ISSN: 2721-9518 p-ISSN: 2088-0278

LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon

(14)

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan pembangunan di bidang kesehatan adalah mengembangkan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan mandiri dalam berupaya mencapai derajat kesehatannya secara optimal(1). Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan diberbagai program telah diusahakan dan dikembangkan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Salah satu diantaranya adalah masalah sampah, sampah perlu mendapatkan penanganan yang khusus karena dapat menyebabkan pengotoran lingkungan. Sampah adalah suatu zat padat atau semi padat yang sudah tidak dipakai lagi baik yang membusuk maupun tidak membusuk pada umumnya berasal dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan(2). Sampah yang membusuk terutama terdiri atas zat-zat organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun, sedangkan yang tidak membusuk dapat berupa plastik, karet, logam, dan bahan bangunan bekas. Karena itu dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran lingkungan adalah sebagai akibat adanya limbah/ sampah yang dibuang ke dalam lingkungan hingga daya dukungnya terlampaui, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan yang merupakan sumber penyebab gangguan kesehatan pada masyarakat(3). Permasalahan sampah tidak terjadi di dalam rumah tangga saja tetapi juga di sekolah, karena keberadaan sampah dapat memberikan pengaruh kesehatan bagi masyarakat karena sampah merupakan sarana dan sumber penularan penyakit.

Ruang kelas yang berdekatan dengan TPA kurang nyaman karena asap pembakaran dan bau kurang sedap yang ditimbulkan oleh sampah, seringkali siswa tidak masuk sekolah karena sakit penyebabnya adalah demam dan diare(4).

Pengelolaan sampah dapat didefinisikan sebagai suatu bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah(5). Di Indonesia, fenomena sampah medis belum optimal penanganannya, seperti disampaikan oleh menteri lingkungan hidup pada hari Jumat 22 Februari 2019 beliau mengatakan bahwa limbah medis harus dikelola dengan baik penangannya agar tidak menjadi bahaya bagi orang lain, kekhawatiran tersebut berkenaan dengan jumlah fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) yang mencapai ribuan dari data yang dikeluarkan Kemenkes, total terdapat 2820 rumah sakit, 9825 Puskesmas, dan 7641 klinik. Berdasarkan peraturan pemerintah No. 101 Tahun 2014, limbah padat medis termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat berpotensi menimbulkan resiko terhadap kesehatan, lingkungan kerja dan penularan penyakit (6). Sejauh ini pengelolaan limbah sampah medis, belum merata dan belum maksimal karena sampah medis pada proses pemusnahan masih dikelola perusahaan swasta dan hanya ada enam yang bertindak mengolah sampah B3 untuk limbah medis, lima diantaranya terbesar di Pulau Jawa dan satu di Pulau Kalimantan(7).

Laboratorium Klinik Prodia adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, dan memulihkan kesehatan (8). Di Laboratorium Klinik Prodia Cabang Tegal pengelolaan akhir sampah medis di serahkan kepada pihak ketiga PT. Triata Mulia Indonesia, sementara proses penanganan dari proses pengumpulan, pemilahan dan pengangkutan sampah medis ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) melibatkan petugas pengelola sampah medis dan karyawan. Upaya pengelolaan sampah medis laboratorium bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari sampah.

Hal ini dikarenakan sampah laboratorium klinik dapat dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit menular. Sampah biasanya menjadi tempat tertimbunnya organism penyakit, menjadi sarang serangga dan tikus. Disamping itu di dalam sampah laboratorium klinik juga mengandung berbagai bahan kimia beracun dan benda-benda tajam yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan cidera. Sampah laboratorium klinik dapat mengandung potensi bahaya yang besar karena dapat bersifat infeksius, racun, dan atau radioaktif (9).

Tahap pengangkutan sampah medis di laboratorium klinik Prodia Cabang Tegal dari ruang penghasil sampah ke Tempat Penampungan Sementara hanya menggunakan plastik dan petugas kadang tidak menggunakan APD seperti masker. Sampah yang berada di ruangan penghasil sampah

(15)

terkadang melebihi wadahnya seperti kondisi limbah jarum melebihi tingginya wadah dan tidak segera diganti wadah yang baru, serta pelabelan wadah limbah cair dilakukan ketika akan diangkut ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) tidak ketika limbah dihasilkan atau saat ganti wadah.

Dari hasil penelitian sebelumnya tentang pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan terhadap pengelolaan limbah medis padat menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tenaga kesehatan terhadap pengelolaan limbah medis padat dengan tenaga kesehatan medis dan non-medis yang menunjukan nilai pvalue <0,001), sedangkan untuk sikap tenaga kesehatan terhadap pegelolaan limbah medis tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan tenaga kesehatan medis dan non-medis dengan hasil pvalue yaitu 0,300 (10). Pengalaman membuktikan bahwa perilaku yang di dasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan tentang kebersihan lingkungan berhubungan positif dengan pengelolaan sampah dan lingkungan hidup pedagang sayur. Semakin baik pengetahuan semaik baik pula perilaku mengelola lingkungan(11). Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian lain bahwa tidak semua responden yang mempunyai pengetahuan yang baik mempunyai sikap dan perilaku yang baik dalam mengelola sampah. Sikap masyarakat yang kurang baik ini kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kematangan usia. Sebagian besar responden yang menyatakan tidak setuju terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh ketiadaan sarana dan prasarana pengangkutan sampah sehingga mereka membakar sampah di tempat pembuangan sampah(12).

Berdasarkan latar belakang di atas tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap karyawan dengan pengelolaan sampah medis di Labolatorium Klinik Prodia Cabang Tegal Kabupaten Tegal.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengandalkan pengamatan murni dan lingkungan tanpa melakukan perlakuan atau control terhadap lingkungan maupun subyek penelitian. Metode yang digunakan metode kuantitatif dan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional yaitu mencari hubungan antara faktor risiko (independent) dengan faktor efek (dependent) dimana melakukan observasi atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada waktu yang sama(13). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan yang terlibat dalam menangani sampah medis dilaboratorium klinik Prodia Cabang Tegal sebanyak 22 orang. Sampel dalam penelitian adalah semua populasi (total sampling) 22 orang diambil sebagai sampel penelitian. Metode pengumpulan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Analisa data menggunakan uji statistik univariat dan kemudian dilanjutkan dengan uji bivariat yang menggunakan chi-square (X2), besar kemaknaan adalah nilai p ≤0,05.

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan dalam Menangani Sampah Medis

Tabel 1. Pengetahuan Dalam Menangani Sampah Medis

Pengetahuan F (%)

Kurang Baik 5 22,7

Baik 17 77,3

Total 22 100

Pada tabel 1. Menunjukkan bahwa dari 22 responden yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 5 responden (22,7%), yang dinyatakan memiliki pengetahuan baik sebanyak 17 responden (77,3%).

(16)

Sikap dalam Menangani Sampah Medis

Tabel 2. Sikap Dalam Menangani Sampah Medis

Sikap F (%)

Kurang Baik 6 27,3

Baik 16 72,7

Total 22 100

Pada tabel 2. Menunjukkan bahwa dari 22 responden yang memiliki sikap kurang baik sebanyak 6 responden (27,3%), yang dinyatakan memiliki sikap baik sebanyak 16 responden (72,7%).

Pengelolaan Sampah Medis

Tabel 3. Pengelolaan Sampah Medis

Pengelolaan Sampah Medis F (%)

Kurang Baik 2 9,1

Baik 20 90,9

Total 22 100

Pada tabel 3. Menunjukkan bahwa dari 22 responden yang dinyatakan kurang baik sebanyak 2 orang (9,1%), yang dinyatakan baik sebanyak 20 orang (90,9).

Hubungan Pengetahuan dengan Pengelolaan Sampah

Tabel 4. Hubungan Pengetahuan Dengan Pengelolaan Sampah Medis

Pengetahuan

Pengelolaan Sampah Medis

N % P-Value

Kurang Baik Baik

N % N %

Kurang Baik 2 40 3 60 5 100,0

0,006

Baik 0 0 17 100 17 100,0

Total 2 9,1 20 90,9 22 100,0

Pada tabel 4. Dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik pada pengelolaan sampah medis sebanyak 17 responden (100%). Pengetahuan kurang baik pada Pengelolaan sampah medis sebanyak 3 responden (60%). Secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pvalue = 0,006 (<0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak atau ada hubungan antara pengetahuan dengan pengelolaan sampah medis.

Hubungan Sikap dengan Pengelolaan Sampah Medis

Tabel 5. Hubungan Sikap Dengan Pengelolaan Sampah Medis

Sikap

Pengelolaan Sampah Medis

N %

Kurang Baik Baik P-Value

N % N % Kurang Baik 2 3,3 4

16

66,7 100

6 16

100,0

100,0 0,015

Baik 0 0

Total 2 9,1 20 90,9 22 100

Pada tabel 5. Dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sikap baik dengan pengelolaan sampah medis sebanyak 16 responden (100%). Sikap kurang baik pada Pengelolaan

(17)

sampah medis sebanyak 4 responden (66,7%). Secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pvalue = 0,015 (<0,05) yang berarti ada hubungan antara sikap dengan pengelolaan sampah medis.

PEMBAHASAN

Hubungan Pengetahuan dengan Pengelolaan Sampah Medis

Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara pengetahuan dengan pengelolaan sampah medis (p-value 0,006). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa pengetahuan perawat merupakan salah satu faktor predisposisi suatu perilaku dan pengetahuan perawat dapat terus meningkat apabila pihak rumah sakit dapat terus meningkatkan kemampuan perawat dengan mengadakan berbagai pelatihan pada semua karyawan khususnya perawat pada aspek pengelolaan sampah medis(14). Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Saat proses pengindraan hasil pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, memperlihatkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 17 responden (100%) semuanya terdistribusi memiliki pengelolaan sampah medis baik karena pengetahuan yang tinggi memberikan efek positif terhadap hasil yang didapat yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan maka semakin baik pula hasil yang akan di dapatkan(15).

Hubungan Sikap dengan Pengelolaan Sampah Medis

Hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara sikap dengan pengelolaan sampah medis (p- value 0,015). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa sikap memberikan kontribusi terhadap kejadian perilaku perawat dalam membuang samapah medis(15). Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap juga dapat diartikan sebagai kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu(15).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa responden yang memiliki sikap baik sebanyak 16 (100%) respon dan semuanya terdistribusi memiliki pengelolaan sampah medis baik karena sikap akan mempengaruhi perilaku perawat dan petugas lainnya untuk berperilaku dengan baik dan benar dalam melakukan upaya penanganan dan pembuangan sampah, dan responden yang memiliki sikap kurang baik sebanyak 2 responden (3,3%) hal ini terjadi karena sikap seseorang terbentuk dari keyakinan, emosi dan kecenderungan untuk bertindak yang mana tiap orang memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Sikap seorang karyawan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja seperti masa kerja, hubungan dengan karyawan lain, gaji yang diterima, dan kenyamanan tempat kerja itu sendiri(14).

SIMPULAN

Ada hubungan antara pengetahuan dengan pengelolaan sampah medis dengan p-value0,006 dan ada hubungan antara sikap dengan pengelolaan sampah medis dengan p-value 0,015.

SARAN

Sebaiknya Perusahaan Labolatorim Klinik Prodia diharapakan dapat melakukan upaya evaluasi tentang pengelolaan sampah medis untuk lebih meningkatkan lagi pengelolaan sampah medis yang sudah baik menjadi sangat baik sehingga pekerja dapat lebih optimal dalam bekerja dan bebas dari rasa khawatir akan keselamatan kerjanya dengan cara sosialisasi SOP, Intruksi Kerja, Pedoman Kerja dilakukan secara berkala dan lomba membuat mading Kesehatandan Keselamatan Kerja (K3), buat kuiz tentang pengelolaan sampah medis 2x dalam setahun. Bagi Karyawan Labolatorim Klinik Prodia harus memahami pentingnya pengelolaan sampah medis dan berupaya meningkatkan pengetahuan dan sikapnya terhadap pengelolaan sampah medis.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang No 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 2003.

2. Depkes RI. Sistem kesehatan Nasional. Jakarta 2009.

3. Sangga Saputra N.A, Surahma Asti Mulasari. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pengelolaan Sampah pada Keryawan di Kampus. Kesehatan Masyarakat, Vol 11 No 1;2017.

4. Herawati, D. C. Peran promosi kesehatan terhadap perbaikan pengetahuan, sikap dan perilaku membuang sampah pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Dimasejati, 1;2019

5. Kristanti, I. Hubungan pengelolaan sampah dengan tingkat kepadatan lalat di tempat penampungan sementara (TPS). Jurnal Kesehatan, Volume 12 No 1;2021

6. Salma Savira Siddik, Eka Wardhani. Pengelolaan Limbah B3 Di Rumah Sakit X Kota Batam.

Serambi Engineering, Vol 5 No1;2020

7. Artikel. Dipetik Juni 15, Menkes menghawatirkan pengolahan limbah sampah medis yang belum merata. (15 Juni 2019).

8. Menkes RI. No. 411/Menkes/Per/III/2010.Definisi Labolatorium Klinik. Jakarta. 2010.

9. Menkes RI. persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Jakarta. 2004.

10. Maharani, A. F. Pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan terhadap pengelolaan limbah medis padat pada salah satu rumah sakit di Kota Bandung. Jurnal Kesehatan UnpadVolume 3 No 2, Tahun 2017.

11. Ririn Setyowati, Surahma Asti Mulasari. Pengetahuan dan perilaku Ibu Rumah Tangga dalam pengelolaan sampah plastik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , No 12 Vol 7, Tahun 2013.

12. Mulansari SA. Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap terhadap perilaku masyarakat dalam mengelola sampah di Dusun Padukuhan Desa Sidokarto Kecamatan Godean Kabupaten sleman Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, Vol 6 No 3 Tahun 2012.

13. Notoatmojo, S. Metode penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta 2012.

14. Sudiharti, Solikhah. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku perawat dalam pembuangan sampah medis di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Kesehatan Masyarakat Ahmad Dahlan Vol 6 No 1;2012.

15. Notoatmojo, P. S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. 2014.

(19)

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN DEMENSIA PADA LANSIA

Uun Kurniasih*

Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon arshaq.rafasya@gmail.com

Nuniek Tri Wahyuni**

Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Heni Fa’riatul Aeni**

Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Suzana Indra Giri **

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon Affah Fuadah*

Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon

Abstrak

Penyakit demensia sering ditemukan pada lansia hal ini berkaitan dengan bertambahnya usia yang semakin tua.

Kejadian demensia pada lansia di Puskesmas Plumbon tahun 2020 paling tinggi yaitu sebesar 37,5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga pada pasien lansia dengan demensia. Jenis penelitiannya yaitu penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini yaitu lansia yang berkunjung ke Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Plumbon Kabupaten Indramayu pada bulan Maret 2020 sebanyak 63 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan datanya menggunaan kuesioner dengan teknik wawancara. Analisis data menggunakan uji statistik chi square Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga pada pasien lansia dengan demensia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Plumbon Indramayu Kabupaten Indramayu tahun 2020 dengan p value = 0,017. Petugas kesehatan agar meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada keluarga tentang pentingnya memberikan dukungan kepada lansia yang mengalami demensia baik moril maupun materil, mengoptimalkan kegiatan posbindu dengan kegiatan-kegiatan untuk lansia seperti senam lansia, pengobatan, dan juga pemberian informasi kepada lansia mengenai demensia dan cara penanganannya.

Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Demensia, Lansia

Abstract

Dementia disease is often found in the elderly, this is related to increasing age. The incidence of dementia in the elderly at the Plumbon Health Center in 2020 was the highest at 37.5%. This study aims to determine the relationship of family support in elderly patients with dementia. The type of research is a quantitative study with a cross sectional design . The sample in this study was the elderly who visited the Posbindu in the Plumbon Health Center Work Area, Indramayu Regency in March 2020 as many as 63 people with purposive sampling technique. Collecting data using a questionnaire with interview techniques . Analysis of the data using the chi square statistical test. The results showed that there was a significant relationship between family support for elderly patients with dementia in Posbindu, Plumbon Indramayu Health Center Work Area, Indramayu Regency in 2020 with p value = 0.017. Health workers should increase outreach activities to families about the importance of providing support to the elderly with dementia both morally and materially, optimizing posbindu activities with activities for the elderly such as elderly gymnastics, treatment, and also providing information to the elderly about dementia and how to handle it.

Keywords: Family Support, Dementia, Elderly

JURNALKESEHATAN

Vol. 12 No. 2 Tahun 2021 DOI: http://dx.doi.org/10.38165/jk.

e-ISSN: 2721-9518p-ISSN: 2088-0278 LP3M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Cirebon

Gambar

Tabel 2. Sikap Dalam Menangani Sampah Medis
Gambar 1. Grafik dosis radiasi pada masing-masing penggunaan kV dengan dan tanpa  penggunaan AEC

Referensi

Dokumen terkait

Aparat penegak hukum hendaknya tidak hanya mengandalkan kepastian hukum semata-mata berpijak pada rumusan abstrak yang terdapat pada undang-undang atau produk hukum

Solusi yang ditawarkan oleh ajaran Islam untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) muslim antara lain sebagai berikut : (a) Supaya suami sebagai

Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka dari penelitian terdahulu yang telah dijabarkan, maka penulis akan membangun sistem pakar yang dapat mendiagnosa kelainan sistem ortopedi

‘Aisyah Binti Abdullah adalah Shahabiyyah Nabi dan juga termasuk Istri Nabi, Beliau wafat pada tahun 57 H. Dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi tentang

Hal yang diteliti meliputi bagaimana merangkai alat yang menghasilkan pirolisis lambat, berapa banyak minyak yang dihasilkan dari limbah plastik tersebut, bagaimana

Ceruk antar pembuluh dan jari-jari ada dua ciri, pertama dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh, serta dengan halaman sempit

Bidang Teknis Fungsional mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, penyusunan rencana dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan Teknis Fungsional serta melakukan

Isi liputan berita mencakup informasi terkait pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi, apa tujuan kolaborasi, apa dampaknya, tindak lanjut yang akan dilakukan dan