• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Pengelasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Pengelasan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II DASAR TEORI

2.1 Definisi Pengelasan

Berlandaskan definisi pada Deutche Industrie Normen (DIN) bahwa Las merupakan ikatan metalurgi di sambungan logam ataupun logam campuran yg dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las merupakan sambungan setempat dari beberapa batang logam dan memerlukan daya logam (Harsono 1988).

Pengelasan bukan hanya proses penyambungan logam melalui cara mencairkan sebagian logam induk serta logam pengisi dangan ataupum tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam penambah dan menghasilkan sambungan yang kontinu, namun sesungguhnya didalamnya penuh problem yg mesti ditasi di mana pemecahennya membutuhkan bermacam - macam pengetahuan. Sacara bertambah perincian bisa dikatakan bahwa dalam pengaturan kontruksi gedung maka alat dan sambungan las perlu direncanakan pula mengenai cara pengelasan, pengecekan, bahan las atau jenis las yg akan digunakan.

Pengelasan memiliki sisi kelebihan dan sisi kekurangan, antara lain:

 Keuntungan:

a) Sambungan las bersifat permanen.

b) Kuat (kekuatan lasan lebih besar dari pada logam yang disambungkan).

c) Rapat.

 Kekurangan:

a) Pengelasan merupakan sambungan permanen sehingga rakitannya tidak dapat dilepas. Jadi metode pengelasan tidak cocok digunakan untuk produk yang memerlukan pelepasan rakitan misalnya (untuk perbaikan atau perawatan).

(2)

b) Sambungan las dapat menimbulkan bahaya efek adanya cacat yg rumit dideteksi. Cacat ini dapat menurunkan kekuatan sambungannya.

c) Kadang kala ditemukan distorsi akibat pemuaian dan penurunan yang tak sama (Suharno 2008).

2.2 Proses GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)

Proses pengelasan ini tergolong dalam pengelasan meleleh yang sebagian logam induk meleleh disebabkan pemanasan busur listrik. Metode pengelasan Gas Tungsten Arc Welding adalah busur listrik muncul di sekitar pucuk elektroda lalu bidang material. Basic principles dalam proces Gas Tungsten Arc Welding adalah memakai gas seperti Ar dan He sebagai gas pelindung.

Proses GTAW elektrodanya terbuaat dari Wolfram (Tungsten) yg mana tak serta menjadi cair. Buat penyuplaian logam las dibutuhkan kawat las (logam pengisi / filler metal) yg diberi secara manual. Skema proses GTAW atau TIG bisa dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Skema Proses GTAW.

(3)

2.3 Las Busur Gas

Las busur gas ialah proses pengelasan di mana gas ditiupkan ke daerah las untuk melindungi busur dan logam yg meleleh terhadap atmosfer. Gas yg digunakan sebagai pelindung adalah gas helium, gas Argon , gas karbondioksida atau paduan dari gas-gas tersebut.

2.3.1 Klasifikasi

Las busur gas normalnya dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok elektroda tidak terumpan dan kelompok elektroda terumpan.

Kelompok elektroda tak terumpan menggunakan batang wolfram sebagai elektroda yg dapat menghasilkan busur listrik tanpa turut meleleh, dalam kelompok elektroda terumpan memakai elektrodanya dengan kawat las.

Skema dari kedua kelompok bisa dilihat Gambar. 2,1.

Gambar 2.1 Las Busur Gas.

Kategori elaktroda tidaak terumpan bisa dibagi lagi ke dalam dua jenis yaknii jenis dengan logam pengiisi dan jenis minus logam pengisi.

Kelompok ini biasanya menggunakan gas mulia sebagai pelindung sehingga secara keseluruhannya nama kelompok ini menjadi las wolfram gas mulia ataupun dalam bahasa Inggris: tungsten inert gas welding yg disingkat menjadi TIG welding maupun las TIG.

Kategori elaktroda terumpan kadang - kadang jua dibagi lagi dalam dua jenis berdasarkan kawat elaktrodanya, yaitu jenis kawat elaktroda pejal

(4)

dan jenis kawat elaktroda dengan fluks core. Dalam kelampok ini menggunakan dua macam gas pelindung, gas mulia dan gas CO2.

Kolompok dengan pelindung gas mulia nama keseluruhannya menjadi las busur logam gas mulia yg dalam bahasa Inggris yaitu metal inert gas arc welding yg di singkat menjadi MIG welding atau las MIG. Pada umumnya gas pelindung yg digunakan berupa campuran dari gas Argon dan gas COr. Di sisi keterangan berdasarkan gas selubung dipergunakan juga terklasifikasi yg didasarkan pada sifat busur. Karena akhir akhir ini banyak sistem penyedian daya listrik yang dapat menghasilkan busur dengan sifat - sifat khusus, maka terklasifikasi ini banyak digunakan. Pada Tabel 2.1 ditunjukan klasifikasi las busur gas yg ada pada waktu itu.

2.3.2 Las Tungsten Inert Gas ( Las TIG)

Diargam dari las Tungsten Inert Gas dapat dilihat pada Gambar. 2.1 Seperti tampak dalam gambar, busur listriknya muncul antara batang wolfram dan logam induk terlindungi oleh gas Argon.

Tabel 2.1 Klasifikasi Las Busur Gas (Okumura, 2000)

Macam logam pengisi dimasukkan ke dalam daerah arus busur sehingga meleleh dan terbawa ke logam induk. Tetapi untuk mengelas plat

(5)

yg sangat tipis kadang - kadang tak diperlukan logam pengisi. Las Tungsten Inert Gas bisa dilakukan menggunakan tangan maupun otomatis dengan mengotomasikan pengumpanan logam pengisi.

Penggunaan las Tungsten Inert Gas ada dua manfaat, ialah pertama laju pengumpanan logam pengisi dapat diatur terlepas dari besarnya tegangan arus sehingga penetrasi ke dalam logam induk dapat diatur semuanya. Untuk pengoperasian las TIG dapat digunakan dengan memuaskan baik untuk plat baja tipis maupun plat baja yang tebal. Kedua ialah kwalitas yg sangat baik dibagian daerah las. Melainkan sebaliknya bila dibandingkan sama las MIG, efisiensinya masih rendah dan biaya operasional mahal. Karena hal - hal di atas maka las TIG biasanya digunakan untuk mengelas baja-baja kwalitas tinggi seperti baja tahan karat, baja tahan panas dan untuk mengelas logam - logam bukan baja.

Arus listrik yg dipakai untuk pengelasan Tungsten Inert Gas dapat berupa arus DC dan AC. Dalam hal arus DC rangkaian listriknya dapat dengan polaritas lurus dimana kutup positif dihubungkan dengan logam induk kutup negatip dengan adanya batang elektroda atau rangkaian sebaliknya yang disebut polaritas balik. Skema dari kedua rangkaian bisa dilihat pada gambar 2,3.

Gambar. 2.3 Diagram Rangkaian Listrik dari Mesin Las Listrik DC.

Pada polaritas lurus elektron bergerak lalu menumpuk logam induk dengan laju yg tinggi sehingga dapat terjadi penetrasi yg dalam. Karena elekroda tidak terjadi tumbukan elektron bahwa secara relatif temperatur elektoda tidak terlalu tinggi, karena itu dengan polaritas ini dapat digunakan

(6)

arus yang besar.Sebaliknya dalam polaritas balik elektroda menjadi panas sekali, sehingga arus Iistrik yang dapat dialirkan menjadi rendah. Untuk size eletroda yang sama dalam polaritas balik kira - kira l/10 arus pada polaritas lurus yang dapat dialirkan. Bila arus terlalu besar maka ujung elektroda akan turut meleleh dan merubah komposisi logam cair yang dihasilkan. dengan polaritas balik penetrasi ke dalam logam induk menjadi dangkal dan lebar.

Di samping itu terjadi proses ionisasi pada gas argon yg menyelubunginya dan terbentuk ion - ion Ar positif, yg menumbuk logam dasardan dapat melepaskan lapisan oksida yang ada di permukaannya. Karena sifatnya yang dapat membersihkan maka peristiwa ini dinamakan aksi pembersihan.

Efek polaritas terh.adap proses pengelasan TIG bisa dilihat pada Gambar.2.3.

Gambar 2.4 Pengaruh Polaritas pada Pengelasan TIG.

Apabila menggunakan arus AC bahwa yg terjadi akan sama dengan mengunakan arus searah dengan polaritas lurus atau polaritas balik yang digunakan secara berganti. Karena hal ini maka dengan penggunan arus bolak-balik, hasil pengelasan akan terletak antara hasil pengelasan dengan arus searah dengan polaritas lurus dan polaritas balik. Pada umumnya busur yang dihasilkan dengan listrik DC tidak begitu mantab dan untuk memantabkannya perlu dtambahkan arus AC menggunakan frekuensi tinggi.

Berdasarken ketarangan di atas, maka biasanya arus searah dengan polaritas lurus dipakai untuk pengelasan baja, sedangkan untuk aluminium karena permukaannya selalu dilapisi dengan oksida yang mempunyai titik

(7)

didih yg tinggi, sebaliknya memakai arus bolak - balik kebanyakkan yg ditambah dengan arus bolak - balik frekuensi tinggi. Pemakaiannya model polaritas dalam pengelasan beberapa bentuk logam ditunjukkan dalam Tabel 2.4.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan las TIG dapat dilakukan pengelasan dengan tangan dan pengelasan otomatis. Skema dari kedua macam pelaksanaan ini ditunjukkan dalam Gambar. 2.4 dan Gambar.

2.5. pada umumnya dalam pengelasan TIG sumber listrik yang dipergunakan mempunyai karakteristik yg larnbat, sehingga dalam hal menggunakan arus DC untuk memulai menimbulkan busur perlu ditambah dengan arus AC frekuensi tinggi.

Elaktroda yg digunakan dalam las TIG standarya terbuat dari wolfram murni maupun campuran antara wolfram – torium yang berbentuk batang dengan garis tengah antara 1.0 sampa 4.8 mm. Dalam banyak hal elektroda wolfram - torium lebih baik dari pada elektroda dari wolfram campuran terutama dalam ketahanan ausnya. Gas yang dipakai untuk pelindung adalah gas pure argon, karena pencampuran dengan oksigen dan karbon monoksida, yg bersifat oksidasi akan mempercepat keausan ujung elektroda. Pengunaan logam

(8)

Gambar 2.5 Mesin Las TIG dengan tangan.

Gambar 2.6 Mesin Las TIG Semi - otomatis.

Pengisi tak terbatasnya, standarnya logam pengisi diambil logam yg mempunyai komposisi yg sama dengan logam induk.

(9)

2.4 Desain Penyambungan

Alur las atau bisa disebut juga kampuh las adalah salah satu bagian terpenting dalam pengelasan. Kampuh las berguna untuk tempat diisinya kawat las dalam penyambungan dua logam pelat saat proses pengelasan. Faktor utama untuk pertimbangan dalam pengelasan TIG dari Aluminium adalah ketebalan pelat, paduan dan jenis peralatan yang tersedia. Ketebalan pelat salah satunya mempengaruhi dalam pembuatan kampuh las.

Pada desain penyambungan untuk Aluminium ada 3 cara, yaitu Lap Joints, Flange Joints dan Butt Joints. Dari tiga jenis ini yang paling baik digunakan adalah Butt Joints. Pada dasarnya Butt Joints memiliki tiga tipe yaitu: Notched Butt Joint, Single-V Notched Butt Joint dan Double-V Butt Joint. Untuk Notched Butt Joint digunakan pada pelat tebal 1,4 mm sampai 4,2 mm. Sudut kampuh bisa dibuat dengan ukuran 90º - 120º. Untuk Single-V Notched Butt Joint digunakan pada pelat tebal 4,2 mm sampai 6 mm. Sudut kampuh bisa dibuat dengan ukuran 90º - 100º.

Contoh bisa dilihat di Gambar 2,7.

Gambar 2.7 Penyambungan dengan Butt Joints

Pada penelitian ini penggunaan desain penyambungan dengan cara Single-V Notched Butt Joint sangat cocok untuk digunakan terutama dalam penggunaan pengelasan dengan bahan pelat yang tipis.

(10)

2.5 Aluminium

Aluminium ialah logam yg mempunai rumus kimia Al dan merupakan logam yg rendah mempunyai durability korosi terbaik dan hantaran listrik yang baik dan sifat - sifat yg baik lainnya sebagai sifat logam. Sebagai tambahan terhadap sifat mekaniknya agar dapat lebih meningkat dengan diberi penambahan Cu, Mg, Si, Mn, Zn, Ni, dan sebagainya, secara satu persatu atau bersama-sama, memberikan juga sifat-sifat baik lainnya seperti, ketahanan korosi, ketangguhan aus, koefisien pemuaian kecil dan sebagainya. Massa jenis aluminium sekitar 2,7 gr/cm³, lebih ringan ⅓ dari baja atau tembaga (Cu) (Sonawan, 2006).

Material ini diperggunakan di dalam bidang yg sangat luas bukan saja untuk peralatan rumah tangga tetapi juga dipakai untuk keperluan material pesawat terbang, mobil, kapal laut, konstruksi dan sebagainya (Surdia, 2005). Campuran aluminium secara umum dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu paduan yang dapat diperlakupanaskan (heat treatable alloys) dan paduan yg tak dapat diperlakupanaskan (non-heat treatable alloys). Yg dimaksud dengan paduan paduan jenis pertama adalah jenis paduan itu dapat ditingkatkan kekuatannya dengan cara perlakuan panas misalnya dengan cara pengerasan presipitasi (presipitation hardening). Jenis paduan kedua akan mengalami peningkatan kekuatan apabila paduan itu dikenai deformasi plastik atau pengerjaan dingin.

Keduanya memiliki karakteristik yang sama (Sonawan, 2006).

2.6 Aluminium Murni

Al didapat dalam kondisi mencair dengan elektrilisa, standarnya mencapai kemurnian 99,0%. Dengan mengelektrolisa kembali dapat dicapai kemurnian 99,996, yaitu dicapai bahan dengan angka hampir seratus persen.

Tabel 2.2 Sifat - Sifat Fisik Aluminium

(11)

(Surdia, 2006) Tabel 2,2 menunjukkan sifat-sifat fisik Al. ketangguhan korosi berganti menurut kemurniannya, pada umumnya untuk kemurniannya 99,0% atau di atasnya dapat diperguanakan di udara tahan dalam waktu bertahun-tahun. Hantaran listrik Al kira-kira 65% dari hantaran listrik tembaga, tetapi massa jenisnya kirakira sepertiganya sehingga memungkinkan untuk memperluas penampangnya. Oleh karena itu dapat dipergunakan untuk kabel tenaga dan dalam berbagai bentuk umpannya sebagai lembaran tipis atau (foil). Dalam hal ini dapat dipergunakan Al dengan kemurnian 99,0%. Untuk reflektor yang memerlukan reflektifitas yang tinggi juga untuk kondensor elektrolitik dipergunakan Al dengan angka hampir seratus persen.

2.7 Panduan Aluminium

Menurut (Sonawan, 2006), Campuran aluminium dapat terbagi menjadi dua menurut cara pengolahan produk yang dihasilkan yaitu produk hasil pengerjaan logam (wrought alloys) dan produk hasil pengecoran (casting alloys). Campuran Al dikelompokan dalam berbagai standard oleh berbagai negara di dunia. Saat ini klasifikasi yang sangat terkenal dan sempurna adalah standar Aluminium Association Amerika (AA) yg didasarkan atas standard terdahulu dari ALCOA (Aluminium Company of America). Perpaduan tempaan dinyatakan dengan 1 atau 2 angka ”S”, sedangkan perpaduan coran dinyatakan dengan tiga angka. Standar AA menggunakan penandan dengan 4 angka. Angka pertama menyatakan sistem campuran dengan unsur - unsur yang ditambahan, yaitu:

1= Al murni 4= Al - Si 7= Al - Zn 2= Al - Cu 5= Al - Mg

3= Al - Mn 6= Al - Si

(12)

Seperti contoh, campuran Al - Cu dinyatakan dengan angka 2000. Angka pada tempat kedua menyatakan kemurniannya dalam perpaduan yg dimodifikasi dan Al murni, sedangkan angka 3 dan 4 dimaksudkan untuk tanda ALCOA terdahulu kecuali S, sebagai contoh 3S sebagai 3003 dan 63S sebagai 6063. Al dengan kemurnian 99,9% atau diatasnya dengan tak murnian terbatas (2S) dinyatakan sebagai 1100. Tabel 2.2, menunjukkan hubungan tersebut (Surdia, 2005).

Di lapangan paduan aluminium ini memiliki nama yang ditandai dengan empat digit angka yang menyatakan jenis paduannya. Penamaan dari campuran aluminium tersebut bisa dilihat pada tabel 2.2 dan tabal 2.3 dibawah ini. Campuran aluminium tempa terdiri dari delapan jenis penamaan dan paduan aluminium cor juga terdiri dari delapan jenis penamaan dengan cara penamaan sedikit berbeda.

Tabel 2.3 Klasifikasi Paduan Aluminium Tempaan

Standar Standar ALCOA TERDAHULU Keterangan

1001 1S Al murni 99,5%

1100 2S Al murni 99,0%

2010 – 2029 10S – 29S Cu merupakan unsur paduan utama

3003 – 4039 3S – 39S Mn merupakan unsur paduan utama

4030 - 4039 30S – 39S Si merupakan unsur paduan utama

5050 – 5086 50S – 69S Mg merupakan unsur paduan utama

6061 – 6069 50S – 69S Mg₂ merupakan unsur paduan utama

7070 - 7079 70S – 79S Zn merupakan unsur paduan utama

(Surdia, 2005)

Dalam campuran aluminium tempa, yg termasuk dalam paduan yg bisa diperlakupanaskan ialah paduan seri 2XXX, 4XXX, 6XXX, dan seri 7XXX,

(13)

sedangkan paduan seri 1XXX, 3XXX, dan seri 5XXX adalah jenis paduan yang tidak dapat diperlakupanaskan. Jika paduan yang dapat didperlakupanaskan disebut dengan paduan I dan paduan yang tidak dapat diperlakupanaskan disebut dengan paduan II maka dalam pengelasan, akan lebih “mudah” mengelas paduan II daripada mengelas paduan I (Sonawan, 2006).

Pada penelitian ini, logam campuran Aluminium yg digunakan ialah campuran aluminium tempa. Jenis paduan Aluminium tempa dengan seri 5XXX.

Tipe yang dipilih untuk penelitian adalah Aluminium A5083.

Tabel 2.4 Klasifikasi Paduan Aluminium Cor (casting alloy)

Campuran Seri

Aluminium dengan kemurnian min 99% 1XXX

Aluminium – Tembaga ( Al – Cu ) 2XXX

Aluminium – Silikon – Tembaga atau 3XXX

Aluminium – Silikon – Magnesium

Aluminium – Silikon ( Al – Si ) 4XXX

Aluminium – Magnesium ( Al – Mg ) 5XXX

Aluminium – Seng ( Al - Zn ) 7XXX

Aluminium – Timah ( Al – Pb ) 8XXX

Sistem paduan lainnya 9XXX

(Sonawan, 2006)

(14)

2.7.1 Aluminium 5083

Aluminium A5083 merupakan Aluminium paduan dengan pemrosesan tempa atau bisa disebut wrought alloys. Aluminium ini merupakan Aluminium yang tidak dapat diperlakupanaskan sehingga jenis ini bisa disebut dengan non-heat treatable alloys. Karena sifatnya yang tidak dapat diperlakupanaskan maka akan memudahkan dalam proses pengelasan. Material ini sangat sering digunakan dalam industri perkapalan karena sifat tahan karatnya yang baik. Aluminium jenis ini memiliki komposisi 93,1% Al, 0,4% Si, 0,4% Fe, 0,1% Cu, 0,4% Mn, 4,9% Mg, 0,25% Cr0, 25% Zn, 0,15% Ti dan 0,05% unsur lain (Budiarsa, 2008).

Pada penelitian ini Aluminium A5083 yang mana memiliki sifat bagus dan juga banyak sekali dipakai dalam dunia industri, maka material Aluminium A5083 sangat pantas untuk dijadikan bahan penelitian ini.

2.8 Analisis Perpindahan Panas

Teori dasar dari heat flow telah dikembangkan oleh Fourier dan digunakan sebagai pergerakan sumber panas oleh Rosenthal dan Rykalin pada tahun 1930.

Metode analisa ini masih popular khususnya untuk perhitungan panas pada pengelasan. Penelitian yang dilakukan Rosenthal yaitu pemodelan Rosenthal point atau model line heat source. Tetapi model ini terdapat masalah serius pada suhu di dalam dan sekitar fusion zone (FZ) dan heat affected zone (HAZ). Suhu yang terjadi pada sumber panas model ini tidak terbatas dan kepekaan suhu dari material properties panas bertambah error ketika mendekati sumber panas. Karena prediksi metode Rosenthal point atau model line heat source tidak sesuai dengan penyebaran panas disekitar busur las, maka pendekatan ini tidak dilanjutkan. Pavelic et al.

adalah orang pertama yang menyarankan bahwa sumber panas harus didistribusikan dan dia mengenalkan sebuah distribusi Gaussian pada flux yang dideposisikan pada bidang pemukan.

(15)

Gambar 2.8 menunjukkan sebuah sumber panas berbentuk permukaan lingkaran dan volume setengah bola, keduanya merupakan

distribusi Gaussian normal (bell shape curves) pada pelat.

Model sumber panas yang disarankan oleh Pavelic et al. Kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti dengan menambahkan metode FEM untuk mencapai perubahan yang lebih baik penyebaran suhu pada FZ dan HAZ daripada model Rosenthal. Namun model Pavelic “disc” ini masih belum mendekati dengan bentuk busur las yang sebenarnya, maka dari itu diperlukan model yang bisa mewakili bentuk busur las yang sebenarnya yaitu berupa double ellipsoid. Sampai akhirnya terdapat penelitian yang dilakukan oleh J. Goldak pada tahun 1984 yang menyarankan untuk menggunak sumber panas berupa volume yang berbentuk double ellipsoid. Kelebihan dari model double ellipsoid ini adalah bentuk dan potongan sumber panas lebih mudah dibentuk khususnya pada pengelasan penetrasi dangkal maupun dalam, selain itu lebih fleksibel untuk menangani kasus pengelasan non-axis-symmetric seperti pada kasus pengelasan logam yang berbeda.

2.8.1 Model Sumber Panas

Goldak et al. menyarankan model dengan double ellipsoid pada pergerakan sumber panas karena ukuran dan bentuk dari sumber panas dapat lebih mudah dirubah kedalam model penetrai dangkal maupun dalam.

Selain itu. Model ini juga mampu dan fleksibel untuk mengatasi kasusnon- axis-symetric seperti dalam pengelasan logam yang berbeda. Pada awalnya Goldak menyarankan sebuah semi-ellipsoidal sumber panas dengan heat flux yang didistribusikan di sebuah cara Gaussian dikenakan secara sumber

(16)

panas volume. Suhu yang diprediksi dari sumber panas ini akan semakin sedikit menurun di daerah depan dan disamping daripada pengamatan eksperimen. Sumber panas double ellipsoidal ini ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut, dan dengan model yang sama digunakan di dalam penelitian untuk model heat input dari welding torch.

.

Bentuk model sumber panas double ellipsoid bisal dilihat pada gambar :

Gambar 2.9 Distribusi sumber panas double ellipsoid (Jhon A Gholdak dan Mehdi Akhlaghi, 2005)

2.9 Transient Flame Static Tensioning (TFST)

Metode yang paling menjanjikan untuk mengatasi distorsi tekuk pada pelat tipis dikenal sebagai termal tensioning. Termal tensioning ditandai dengan aplikasi panas tambahan selama proses pengelasan. Termal tensioning dibagi menjadi static termal tensioning dan sementara atau dinamis, tensioning termal. Static termal tensioning adalah teknik untuk mengendalikan tegangan sisa pengelasan dan distorsi dengan menghasilkan tegangan tarik di Zona Weld sebelum, dan sesudah pengelasan dengan memberlakukan Steady state temperature gradient yang telah ditentukan. Mencapai steady state temperature gradient yang telah ditentukan memerlukan penggunaan kombinasi elemen pemanas dan elemen pendinginan untuk membuat Heatsink dan mencapai gradien suhu. Elemen pemanas, sering dalam bentuk secara langsung ditembak alat pemanas resistif lapisan pemanas.

Berlawanan dengan yang sudah ditetapkan lokasi pengerasan pada jarak yang sudah ditentukan jauh dari pengerasan. Pendinginan kemudian diberikan langsung dari

(17)

lokasi las yang disarankan dan umumnya dicapai dengan tubrukan terhadap air dingin untuk bagian bawah pelat. Sebuah contoh dari teknik ini terlihat dalam karya (Burak, 1977).

2.10 Distorsi

2.10.1 Pengertian Distorsi

Distorsi adalah terjadinya perubahan bentuk ataupun penyimpangan bentuk oleh panas, termasuk akibat dari cara pengelasan. Karena pemanasan ini akan terjadi pertumbuhan butir peregangan dan penyusutan logam yg berlangsung dengan cepat dan juga tak sebentuk, sehingga membuat pergantian bentuk. (Subeki, 2011)

2.10.2 Penyebab dan Jenis-jenis Distorsi

1.

Ada penyebab utama distorsi yang sering terjadi pada pengelasan logam maupun pengelasan industri, yaitu :

a.

Distorsi Arah Melintang (Transvesal)

Distorsi arah melintang adalah jika mengelas salah satu ujung, dan sisi yang lain akan bertambah panjang akibat pemuaian. Kemudian saat pendinginan, sisi logam akan saling mnarik satu sama lain.

Gambar 2.10 Distorsi Arah Memanjang (Edzona,2013)

(18)

b. Distorsi Arah Memanjang (Longtudinal)

Distorsi arah memanjang apabila hasil las berkontraksi dan kemudian memendek sepanjang garis pengelasan setelah pendinginan.

Gambar 2.11 Distorsi Arah Memanjang (Edzona,2013)

c. Distorsi Menyudut (Angular)

Distorsi menyudut jika sudut dari benda yang dilas berubah akibat kontraksi lebih besar pada permukaan pengelasan karena jumlah hasil pengelasan yang lebih banyak.

Gambar 2.12 Distorsi Menyudut (Edzona, 2013)

2.11 Tegangan Sisa

Tegangan sisa ialah suatu tegangan yang bekerja pada benda kerja setelah semua gaya-gaya luar yang bekerja pada benda kerja tersebut dihilangkan.

(Widyanto, 2014). Tegangan sisa merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam pengelasan. Banyak faktor yang menyebabkan tegangan sisa seperti siklus termal las, sifat bahan, ketebalan pelat dan bentuk las. Selama waktu pengelasan berlangsung, bagian yang dilas akan menerima panas yang mana selama proses pengelasan berlangsung panas yang diterima selalu berubah sehingga distribusi panasnya tidak merata. Dengan keadaan yang seperti itu pada bagian yang dilas

(19)

akan mengalami pertambahan termal sedangkan bagian yang tidak dilas atau yang dingin tidak mengalami perubahan sehingga terbentuk penghalang pengembangan yang mengakibatkan tegangan sisa. Tegangan sisa dapat menyebabkan penggetasan, berkurangnya ketahanan lelah dan menurunnya ketangguhan las.

(Wijayanto, 2016)

Gambar 2.13 Tegangan Sisa Karena Penahanan Luar Pada Las

Pada penelitian ini tegangan sisa sangat berkaitan dengan panas yang terjadi saat proses pengelasan. Tegangan sisa juga berkaitan dengan distorsi. Ketiga hal ini sangat berkaitan terhadap hasil dari sebuah proses pengelasan.

2.12 Metode Mengukur Distorsi

Pengukuran distorsi dilakukan dengan metode fixed point menggunakan alat dial indicator, dengan tingkat akurasi ketelitian sebesar 0,01 mm. posisi pengukuran dial indicator ditunjukkan :

(20)

Gambar 2.14 Cara Mengukur Distorsi Sumber : ( Sudrajat, 2015)

2.13 Kekerasan (hardness)

Kekerasan (hardness) didefinisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada permukaannya. Dapat diperkirakan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dan kekuatan bahan.

Dikenal tiga Cara untuk menentukan kekerasan, yaitu:

1) Bilangan Kekerasan Brinell (BKB) atau Brinell (BHN) adalah suatu indeks kekerasan yang dihitung dari luas daerah lekukan yang ditimbulkan oleh penekan bulat yang besar. Lekukan ini ditimbulkan oleh bola baja karbida tungsten yang keras dengan beban standar.

2) Kekerasan Rockwell (R) merupakan indeks kekerasan lain yang digunakan dalam teknik dan ada hubungannya dengan BKB. Besaran ini ditentukan dengan menghitung kedalaman penetrasi, suatu penekanan standar yang kecil. Dengan menggunakan bentuk penekan dan beban yang berbeda-beda diperoleh beberapa skala Rockwell(Suharno 2008).

(21)

3) Kekerasan Vickers (VHN) disini dipergunakan penekanan intan berbentuk piramida. Beban yg terkecil dapat digunakan untuk mengukur kekerasan (Vlack 1985).

Pengujian kekerasan (hardness) dilakukan untuk mengetahui perubahan kekerasan yang terjadi pasca pengelasan baik di daerah lasan, HAZ, maupun di logam induknya. Pengujian kekerasan dilakukan pada tiap-tiap perlakuan pengelasan. Hal ini disebabkan oleh area specimen yg terpengaruh oleh panas pengelasan berbeda - beda (Suharno 2008). Kelebihan dari pengujian kekerasan menggunakan metode Vickers ialah memiliki bekas penekanan yang kecil, pengukuran teliti, dan range ukurnya besar (Purwaningrum, 2006). Prinsip kerja dari pengujian ini yaitu pemberian tekanan pada benda uji menggunakan bahan.

Rumus HV dapat ditentukan sebagai berikut :

𝐻𝑉 = 2𝑃 sin(0 2)

𝑑2 = 1,456 𝑃

𝑑2 … … … (6)

Yaitu:

P = beban yang digunakan (kg) d = panjang diagonal rata-rata

Gambar 2.15 Skematis Prinsip Indentasi Dengan Metode Vickers

(22)

2.14 Uji Tarik

Untuk mengetahui kekuatan dan cacat yang terjadi pada sambungan logam hasil pengelasan dapat dilakukan dengan pengujian merusak dan pengujian tanpa merusak. Pengujian merusak dapat dilakukan dengan uji mekanik untuk mengetahui kekuatan sambungan logam hasil pengelasan, yang salah satunya dapat dilakukan suatu uji tarik yang telah distandarisasi. Kekuatan tarik sambungan las sangat dipengaruhi oleh sifat logam induk, daerah HAZ, sifat logam las dan distribusi tegangan dalam sambungan (Okumura, 2000).

Penarikan gaya terhadap beban akan mengakibatkan terjadinya perubahan betuk (deformasi) bahan tersebut. Proses terjadinya deformasi pada bahan uji adalah proses pergeseran butiran kristal logam yang mengakibatkan melemahnya gaya elektromagnetik setiap atom logam hingga terlepas ikatan tersebut oleh penarikan gaya maksimum.

Pada pengujian tarik beban diberikan secara kontinu dan perlahan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan terhadap mengenai perpanjangan yang dialami benda uji sehingga dihasilkan kurva tegangan regangan dari hasil pengujian tersebut, dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Sastranegaran, 2009).

Gambar 2.16 Diagram Tegangan-Regangan

(23)

Tegangan yg didapatkan dari kurva tegangan teoritik ialah tegangan yg membujur rata - rata dari pengujian tarik. Tegangan tersebut diperoleh dengan membagi beban dengan luas awal penampang lintang benda uji tersebut dapat dilihat pada Persamaan (2,1).

𝜎 = 𝐹

𝐴 ...(2.1)

Dimana:

σ = Tegangan (kg/mm²) atau Mpa F = Gaya (N)

A = Luas Penampang (mm²)

Regangan yang didapatkan adalah regangan linear rata-rata, yang diperoleh memakai cara memberi panjang pengukur (gage length) benda uji (δ atau ΔL), dengan panjang awal.dapat dilihat pada Persamaan (2.2)

𝜀 = ∆L

𝐿𝑜= 𝐿−𝐿𝑜

𝐿𝑜 ...(2.2)

Dimana:

ɛ = Regangan(mm/mm)

ΔL = Pertambahan panjang (mm) L = Panjang akhir (mm)

𝐿𝑜 = Panjang awal (mm)

Modulus elastisitas atau modulus young adalah ukuran kekakuan suatu bahan, yang merupakan gradien bagian linear awal kurva teganganregangan(Naibaho, 2015). Dapat dilihat pada Persamaan (2.3).

E = σ

𝐸 ...(2.3)

Dimana :

E = Modulus Elastisitas (kg/mm²) atau Mpa σ = Tegangan (kg/mm²) atau Mpa

ɛ = Regangan (mm/mm)

Referensi

Dokumen terkait

12) Melaksanakan funsi-fungsi lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan untuk menunjang tercapainya tujuan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan..

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala komitmen karyawan pada organisasi yang disusun berdasarkan aspek-aspek komitmen karyawan pada organisasi

Pada dasarnya preseden untuk menagih tanggung jawab korporasi untuk menghormati hak asasi manusia dapat dilacak pasca-Perang Dunia Kedua karena keterlibatan mereka

Penelitian ini akan mengaplikasikan FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika yang menghubungkan secara statistika antara spektrum FTIR kajajahi dan kadar total flavonoid

Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2011, akan mengadakan pelelangan umum dengan Pasca Kualifikasi untuk Kegiatan : Peningkatan Sarana dan

judul “ Keefektifan Teknik Delivery Dalam Pembelajaran Menulis Puisi (Penelitian Eksperimen semu pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Lembang.. Tahun Ajaran

Makam-makam yang masih dapat ditelusuri kebanyakan berasal dari abad ke- 18 – 20 Masehi, yang merupakan masa jaya berbagai kerajaan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN BISNIS SEBLAK PARYZA DI KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu