• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG 150302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN

ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

(2)

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG 150302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN

ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

(3)

SKRIPSI

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG 150302015

Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN

ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Megawati Florenta Br Situmorang NIM : 150302015

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Perbandingan waktu molting kepiting bakau dengan menggunakan metode mutilasi popey dan alami di desa sei lepan kabupaten langkat” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Januari 2020

Megawati Florenta Br Situmorang NIM. 150302015

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pangkalan Berandan pada tanggal 20 Mei 1997. Anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Johannes Sarles Situmorang dan Ibu Nailim Simanjuntak.

Penulis mengawali pendidikan TK Darma Patra Pertamina Pangkalan Berandan pada tahun 2002-2003, SD Negeri 050750 Babalan pada tahun 2003-2009, pendidikan menengah pertama ditempuh dari tahun 2009-2012 di SMP Negeri 3 Babalan. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Babalan dengan Jurusan IPA pada tahun 2012-2015.

Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui Undangan pada tahun 2015. Selain mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Organisasi Ikatan Mahasiswa Sumberdaya Perairan (IMASPERA), sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Katolik (IMK) Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Asisten Laboratorium Sumberdaya Hayati Perairan pada tahun 2019/2020. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) USU di kota galuh kecamatan perbaungan kabupaten serdang begadai pada tahnu 2018, Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Balai Benih Ikan Sumbul Desa Sumbul Kecamatan Lae Parira Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara tahun 2019.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Perbandingan waktu molting kepiting bakau dengan menggunakan metode mutilasi popey dan alami di desa sei lepan kabupaten langkat” yang dibimbing oleh Ibu Ipanna Enggar Susetya, S. Kel., M.

Si. dan diuji oleh Ibu Dr. Eri Yusni M. Sc serta Bapak Rizky Febriansyah Siregar, S. Pi, M. Si

(6)
(7)

ABSTRAK

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG. Perbandingan Waktu Molting Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Menggunakan MetodeMutilasi, Popey dan Alami di Desa Sei Lepan Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh IPANNA ENGGAR SUSETYA.

Kepiting Bakau adalah komoditi perikanan dari kelompok krustase yang mempunyai prospek sangat menjanjikan untuk dikembangkan dindonesia. Jenis kepiting unggul dalam ekspor adalah kepiting lunak atau kepiting soka. Kepiting soka adalah kepiting yang dipanen setelah molting atau sebelum kulit eksoskeleton baru mengalami proses pengerasan. Metode yang digunakan dalam proses budidaya kepiting bakau cangkang lunak adalah metode mutilasi, popey, dan alami. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat efisiensi tertinggi diantara metode-metode tersebut melalui kajian derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, jumlah kepiting molting terhadap waktu, waktu kepiting molting, mortalitas dan persentase molting. Kepiting terlebih dahulu diseleksi dengan bobot tubuh rata-rata 80gr/ekor dan lebar karapas 8cm/ekor. Molting kepiting bakau pada perlakuan mutilasi memerlukan waktu 27 hari, popey 28 hari dan alami 40 hari. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata derajat kelangsungan hidup semua perlakuan berkisar antara 50-92,5% (P>0,05). Laju pertumbuhan bobot harian tertinggi terdapat pada perlakuan Alami yakni sebesar 109.45 gr atau 0,78% (P>0,05). Ganti kulit tercepat terdapat pada metode mutilasi rata-rata kepiting molting pada hari ke-19, sedangkan waktu molting tertinggi terdapat pada malam hari yakni pukul 20.00-22.00. Berdasarkan ketiga perlakuan menunjukkan bahwa, perlakuan berpengaruh nyata terhadap derajat kelengsungan hidup (P<0,05) dan berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian (P<0,05).

Kata kunci :Kepiting bakau cangkang lunak, Survival Rate, Spesific Growth Rate, Molting, Mutilasi, Popey, danAlami

(8)

ABSTRACT

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG. Comparison of Molting Crab (Scylla Serrata) Molting Time by Using the Mutilation, Popey and Natural Method in Sei Lepan Village, Langkat Regency. Supervised by IPANNA ENGGAR SUSETYA.

Mangrove Crab is a fishery commodity from the crustacean group which has very promising prospects for development in Indonesia. The superior types of crabs in exports are soft crabs or soft-shelled crabs. Soft-shelled crabs are crabs that are harvested after molting or before the exoskeleton is hardened. The method used in the process of soft shell mangrove crab culture is the method of mutilation, popey, and natural. This study aims to determine the highest level of efficiency among these methods through the study of the degree of survival, growth rate, number of molting crabs with respect to time, crab molting time, mortality and percentage of molting. The crab is selected first with an average body weight of 80gr / head and carapace width of 8cm / head. Mangrove crab molting in the mutilation treatment requires 27 days, popey 28 days and 40 days naturally. The results showed that the average survival rate of all treatments ranged from 50-92.5% (P> 0.05). The highest daily weight growth rate was in the Natural treatment which was 109.45 g or 0.78% (P> 0.05). The fastest skin change is found in the method of Mutilating the average crab molting on the 19th day, while the highest molting time is at night which is 20.00-22.00. Based on the three treatments, it was shown that the treatment had a significant effect on the degree of survival (P <0.05) and significantly affected the daily weight growth rate (P <0.05).

Keywords: Soft-shelled crabs, Survival Rate, Specific Growth Rate, Molting, Mutilation, Popey, and Natural

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan Karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Perbandingan Waktu Molting Kepiting Bakau (Scylla Serrata) dengan Menggunakan Metode Mutilasi Popey dan Alami di Desa Sei Lepan Kabupaten Langkat”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai dan melindungi penulis dalam penyelesaian skripsi

2. Ayahanda Johannes Sarles Situmorang dan Ibunda Nailim br Simanjuntak yang menjadi alasan untuk menggapai cita-cita. Terima kasih untuk doa, dukungan dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.

3. Ibu Ipanna Enggar Susetya, S.Kel., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.

Nurmatias, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Eri Yusni, M.Sc. selaku dosen penguji serta seluruh pihak staf pegawai dan pengajar yang telah bersedia dalam memberikan saran, bimbingan, arahan serta meluangkan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Ir. Eri Yusni, M.Sc selaku ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan.

(10)

5. Bapak metro, bang arief, bang zuliady, bang aceng, edo dan andi selaku pembimbing dilapangan yang telah memberikan dukungan baik materi maupun bantuan kepada penulis selama terlaksananya kegiatan penelitian.

6. Abang saya Daniel Situmorang, Adik perempuan saya Monika Br Situmorang dan adik laki-laki saya Mario Agustinus Situmorang

7. Teman-teman seperjuangan Deswanti Sitanggang, Bonita Ambarita, Lorika Simanjorang, Agnes Yunita Bangun, Leny Aritonang, Monica O Simanjuntak, Mega Siahaan, Lila Meryska, Katrina Simanjuntak, Tresia Simanjuntak, dan Lihardo Sinaga yang telah membantu, memberikan motivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang berapa lama waktu pada molting dan bagaimana pengaruh penggunaan metode mutilasi, popey dan alami pada kepiting bakau (Scylla serrata) khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Manajemen Sumberdaya Perairan dan bagi seluruh kalangan. Demikian usulan penelitian ini dibuat, sekian dan terima kasih.

Medan, Januari 2020

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penulisan ... 4

Hipotesis ... 4

Manfaat penulisan ... 5

Kerangka Pemikiran ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau (Scylla serrata) ... 6

Siklus Hidup Kepiting ... 11

Molting Kepiting ... 13

Teknik Popey ... 14

Teknik Mutilasi ... 14

Karakteristik Parameter Perairan ... 16

Suhu ... 16

Salinitas ... 16

pH ... 17

Disolved Oksigen (DO) ... 18

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Alat dan Bahan Penelitian ... 19

Rancangan Percobaan ... 20

Persiapan Wadah ... 21

Penenbaran Hewan Uji ... 21

Pemberian Pakan ... 22

(12)

Pengumpulan Data ... 22

Analisis Data ... 24

Waktu Kepiting Molting ... 24

Derajat Kelangsungan Hidup ... 24

Laju Pertumbuhan Bobot Harian ... 24

Jumlah Kepiting Molting ... 25

Prosentase Molting ... 25

Mortalitas ... 25

Analisis ANOVA SPSS ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 27

Waktu Kepiting Molting ... 27

Derajat Kelangsungan Hidup ... 28

Laju Pertumbuhan Bobot Harian ... 30

Jumlah Kepiting Molting Perhari ... 32

Mortalitas ... 33

Prosentase Molting ... 34

Parameter Kualitas Air ... 35

Pembahasan ... Waktu Kepiting Molting ... 36

Derajat Kelangsungan Hidup ... 37

Laju Pertumbuhan Bobot Harian ... 38

Jumlah Kepiting Molting Perhari ... 39

Mortalitas ... 40

Prosentase Molting ... 41

Parameter Kualitas Air ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 Kerangka pemikiran ... 5

2 Morfologi kepiting bakau (scylla serrata) ... 6

3 Capit pada kepiting ... 8

4 Kerapas pada kepiting ... 8

5 Perbedaan secara morfologis kepiting bakau jantan (kiri) dan betina (kanan) ... 9

6 Kaki jalan (a) dan kaki renang (b)... 10

7 Siklus hidup kepiting bakau (scylla serrata) ... 11

8 Peta lokasi penelitian... 19

9 Grafik waktu kepiting molting pada pagi, siang dan malam hari pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan .. 27

10 Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 28

11 Rata-rata bobot harian kepiting pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 30

12 Rata-rata laju pertumbuhan bobot harian kepiting pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 31

13 Jumlah kepiting molting perhari setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 32

14 Jumlah kepiting mortalitas perminggu terhadap waktu pemeliharaan setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... .. 33

15 Persentase molting kepiting bakau perminggu pada perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... .. 34

(14)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 1 Parameter pengukuran kualitas air ... 23 2 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama

40 hari pemeliharaan ... 29 3 Hasil uji homogenitas dan analisis variansi (ANOVA)

kelangsungan hidup kepiting bakau (syclla serrata) ... 29 4 Rata-rata bobot harian kepiting pada setiap perlakuan dan

ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 30 5 Rata-rata laju pertumbuhan bobot harian kepiting pada setiap

perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ... 31 6 Hasil uji homogenitas dan analisis variansi (ANOVA) laju

pertumbuhan bobot kepiting bakau (syclla serrata) ... 32 7 Hasil pengukuran kualitas air ... 35

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1 Bagan percobaan rancangan acak lengkap (ral) ... 47

2 Bahan yang digunakan ... 48

3 Alat yang digunakan ... 49

4 Alat ukur kualitas air ... 50

5 Denah petakan keramba ... 51

6 Kegiatan kerja ... 52

7 Analisis anova spss survival rate... 54

8 Analisis anova spss sgr ... 56

9 Data berat rata-rata kepiting bakau ... 58

10 Data jumlah kepiting molting terhadap waktu ... 59

11 Data jumlah kepiting molting perhari ... 60

12 Data jumlah kepiting mortalitas dan prosentase molting ... 61

13 Data jumlah sr dan sgr kepiting bakau ... 62

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting Bakau (Scylla serrata) adalah komoditi perikanan dari kelompok krustase yang mempunyai prospek sangat menjanjikan untuk dikembangkan di Indonesia. Selain sumberdaya alam yang mendukung, kepiting bakau dapat ditemukan di sepanjang pantai Indonesia. Kepiting bakau memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga banyak ditangkap secara intensif.

Kornoditas ekspor kepiting bakau telah berkembang menjadi sumber pendapatan di beberapa negara seperti Thailand, India, Filipina, Taiwan dan Singapura. Hal ini disebabkan karena permintaan negara lain terbadap komoditi ini cenderung rneningkat, termasuk Indonesia. Permintaan konsumen dalam negeri terhadap komoditas ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat, demikian pula dengan permintaan ekspor. Peningkatan permintaan, umumnya akan diikuti oleh peningkatan harga jual. Harga kepiting bakau sernakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan konsumen perlu diadakannya peningkatan terhadap produksi kepiting bakau (Scylla serrata) (Pratiwi, 2011).

Potensi tambak untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar karena Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada. Sepanjang pantai tersebut, yang berpotensi sebagai lahan tambak sekitar ± 1.2 juta Ha dan lahan yang dapat digunakan sebagai tambak baru 300.000 Ha. Saat ini komoditi kepiting cangkang lunak (soft shell) merupakan salah satu produk ekspor yang dijual ke negara Amerika,

Jepang dan Thailand dan negara- negara Eropa lainnya (Samidjan dan Rachmawati, 2015).

(17)

Kepiting bakau dapat dijadikan sebagai kepiting lunak atau kepiting soka.

Kepiting lunak adalah kepiting yang dipanen setelah molting atau sebelum kulit eksoskeleton baru mengalami proses pengerasan. Kepiting lunak merupakan salah satu makanan laut seafood di dunia yang terkenal karena kelezatannya, mudah mengkonsumsinya karena tidak perlu membuka cangkangnya tetapi dapat dikonsumsi bersama cangkangnya dan mengandung nutrisi bagi kehidupan dan kesehatan (Hasnidar, 2018).

Waktu yang dibutuhkan dalam memelihara kepiting soka ditambak sampai molting adalah berkisar satu minggu hingga empat bulan tergantung ukuran kepiting bakau. Periode pemeliharaan yang lama atau waktu molting yang tidak bersamaan merupakan masalah dalam produksi kepiting cangkang lunak.

Pemeliharaan yang lama menyebabkan pengawasan yang sangat ketat sehingga memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak dengan waktu kerja yang panjang.

Pemeliharaan yang lama menyebabkan produksi kepiting terhambat. Maka dilakukan beberapa cara untuk mempercepat proses molting kepiting bakau.

Berdasarkan penelitian yang akan saya lakukan maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan lama waktu molting kepiting bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan metode mutilasi, popey, dan alami untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan saat molting dengan metode yang berbeda, dan metode mana yang lebih cepat melakukan proses molting. Setelah mengetahui metode mana yang lebih efektif dalam mempercepat molting dan menghasilkan kepiting lunak yang berkualitas baik untuk diproduksi kepiting.

(18)

Perumusan Masalah

Permintaan kepiting bakau atau kepiting asoka untuk dikonsumsi domestik dan ekspor semakin meningkat. Untuk meningkatkan volume ekspor setiap tahun maka diperlukan pengembangan budidaya kepiting termasuk budidaya kepiting bakau cangkang lunak atau soka untuk menjamin ketersediaan produk sepanjang waktu. Permasalahan yang menghadang kesuksesan budidaya kepiting bakau cangkang lunak adalah molting. Untuk mempercepat proses molting maka dilakukan cara pemotongan capit dan kaki jalan pada kepiting bakau.

Berdasarkan pada latar belakang diatas, perumusan masalah yang dapat diambil adalah :

1. Seberapa lama waktu pada molting, derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting dengan menggunakan metode mutilasi, popey, dan alami.

2. Seberapa besar pengaruh penggunaan metode mutilasi, popey, dan alami pada kepiting bakau (Scylla serrata) terhadap waktu kepiting molting, Survival Rate, Jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting pada molting kepiting bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan analisis ANOVA SPSS.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui berapa lama waktu kepiting molting, derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah

(19)

kepiting molting, mortalitas dan persentase molting dengan menggunakan metode mutilasi, popey, dan alami.

2. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode mutilasi, popey, dan alami terhadap waktu kepiting molting, Survival Rate, Jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting pada molting kepiting bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan analisis ANOVA SPSS.

Hipotesis

H0 = Perlakuan metode mutilasi, popey, dan alami tidak memberikan pengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting.

H1 = Perlakuan metode mutilasi, popey, dan alami memberikan pengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah Memberikan informasi tentang pengaruh metode mutilasi atau pemotongan capit dan kaki jalan, popey dan alami pada kepiting bakau terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting untuk dapat dimanfaatkan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya.

(20)

Kerangka Pemikiran

Kepiting Bakau merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai kadar protein yang cukup tinggi dan sangat banyak diminati oleh masyarakat.

kepiting bakau juga menjadi Kornoditas ekspor yang telah berkembang menjadi sumber pendapatan di beberapa negara yaitu Thailand, India, Filipina, Taiwan dan Singapura. Tingginya permintaan kepiting bakau untuk dikonsumsi domestik maupun ekspor semakin meningkat. Untuk meningkatkan volume ekspor setiap tahun maka diperlukan pengembangan budidaya kepiting termasuk budidaya kepiting cangkang lunak untuk menjamin ketersediaan produk sepanjang waktu.

Salah satu masalah yang menghadang kesuksesan budidaya kepiting bakau bercangkang lunak adalah kondisi molting. Molting merupakan suatu proses penggantian cangkang lama dengan cangkang baru yang ukurannya lebih besar.

Upaya untuk menghasilkan proses molting yang optimal dan ekonomis diharapkan dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan cepat. Untuk melakukan proses molting dengan cepat maka dapat dilakukan beberapa metode antara lain seperti metode alami (kepiting yang tidak dilakukan pemotongan kaki dan capit), metode popey (pemotongan pada kaki jalan namun tidak pada capit) dan metode mutilasi (kepiting yang dipotong seluruh capit dan kaki jalan).

Berdasarkan ketiga metode maka akan dilihat metode mana yang mudah melakukan proses molting lebih cepat dari derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting. Adapun kerangka pemikiran yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(21)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran KEPITING

BAKAU BANYAK PERMINTAAN

METODE MOLTING

ALAMI POPEY MUTILASI

 Survival Rate (%)

 Laju Pertumbuhan Berat (gr)

 Jumlah Kepiting Molting (ekor)

 Prosentase Molting (%)

 Mortalitas (%)

REKOMEDASI KEPITING ASOKA

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian)

Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Hasnidar (2018) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae Genus : Scylla

Spesies : Scylla serrata

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas laut yang potensial untuk dibudidayakan karena mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Kepiting bakau disebut juga kepiting lumpur karena habitatnya dihutan bakau dan sering membenamkan diri ke dalam lumpur. Berdasarkan morfologi tersebut maka kepiting bakau tergantung kedalam filum Arthropoda (hewan berkaki ruas), kelas

(23)

krustasea (udang-udangan), ordo decapoda (binatang bertungkai sepuluh), famili purtunidae (mempunyai sepasang kaki akhir berbentuk dayung) dan genus Scylla (Fujaya et al., 2012)

Gambar 3. Capit pada Kepiting (Sumber : Siahainenia, 2009)

Kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang panjang hampir dua kali lipat daripada panjang karapasnya, sedangkan kepiting betina relatif lebih pendek. Capit pada kepiting bakau sangat berperan penting sebagai alat memegang dan membawa makanan, menggali, untuk makan yaitu menggunakan untuk memasukkan makanan kedalam mulutnya, dan sebagai senjata menyerang musuhnya dengan ganas dan musuhnya akan dicabik-cabik dengan ganas.

Kepiting jantan dewasa memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan kepiting betina dengan umur dan ukuran kepiting yang sama (Hasnidar, 2018)

Gambar 4. Kerapas pada Kepiting (Sumber : Siahainenia, 2009)

(24)

Kepiting bakau memiliki bentuk karapaks yang agak bulat, memanjang, pipih, sampai agak cembung. Panjang karapaks berukuran kurang lebih dua per tiga ukuran lebar karapaks. Secara umum, karapaks kepiting bakau terbagi atas empat area, yaitu: area pencernaan (gastric region), area jantung (cardiac region), area pernapasan (branchial region), dan area pembuangan (hepatic region). Pada bagian tepi anterolateral kiri dan kanan karapas, atau pada branchial region, terdapat sembilan buah duri dengan bentuk dan ketajaman yang bervariasi.

Sedangkan pada bagian depan karapaks, atau pada gastric region, tepat di antara kedua tangkai mata, terdapat enam buah duri kokoh di bagian atas, dan dua duri kokoh di bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada bagian anterolateral kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian atas dan bawah karapaks, berada dalam posisi mengelilingi rongga mata, dan berfungsi melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapaks, memiliki bentuk dan ketajaman yang bervariasi, sehingga menjadi salah satu faktor pembeda dalam klasifikasi jenis kepiting bakau (Siahainenia, 2009)

Gambar 5. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan kiri dan Betina Kanan

(Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian)

Kepiting bakau memiliki jenis kelamin jantan dan betina. Jenis kelamin kepiting bakau mudah dikenal dengan bentuk abdomennya. Kepiting jantan

(25)

memiliki abdomen segitiga sama kaki ditandai dengan abdomen bagian bawah berbetuk segitiga meruncing sedangkan betina lebih membulat dan melebar.

Namun ada juga kepiting yang disebut dengan kepiting banci. Kepiting banci merupakan kepiting betina yang memiliki bentuk abdomen yang lebih sempit antara jantan dan betina (Fujaya et al., 2012)

(a) (b)

Gambar 6. Kaki jalan (a) dan Kaki renang (b) (Sumber : Siahainenia, 2009)

Kepiting bakau memiliki lima pasang kaki, yang terletak pada bagian kiri dan kanan tubuh, yaitu: sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan (walking leg) dan sepasang kaki renang (swimming leg). Tiga pasang kaki berikutnya, disebut kaki jalan yang selain berfungsi untuk berjalan saat kepiting bakau berada di darat, juga berfungsi dalam proses reproduksi, terutama pada kepiting bakau jantan. Ketika proses percumbuan menjelang perkawinan berlangsung, dengan bantuan kaki-kaki jalan kepiting bakau jantan akan mendekap betina di bagian bawah tubuhnya, sehingga tubuh mereka menyatu. Pasangan kaki terakhir kepiting bakau yang disebut kaki renang, berbentuk agak membulat dan lebar.

Dua ruas terakhir kaki renang (dactylus dan propondus) berbentuk pipih.

Pasangan kaki renang digunakan sebagai alat bantu semacam dayung saat berenang (Siahainenia, 2009)

(26)

Siklus Hidup Kepiting

Gambar 7. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Sumber : Pratiwi, 2011)

Perkembangan kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai ukuran dewasa dan mengalami beberapa kali perubahan (metamorfosis). tingkat perkembangan antara lain, tingkat zoea yang terdiri atas 5 tingkatan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari, tingkat megalopa melalui lima kali pergantian kulit (molting), crablet, dan kepiting dewasa. Larva kepiting bakau stadia zoea bersifat plantonik, namun setelah mencapai stadia megalopa sampai dewasa bersifat bentik dan suka membenamkan diri kedalam pasir atau lumpur (Fujaya et al., 2012).

Siklus hidup kepiting bakau meliputi empat tahap (stadia) perkembangan yaitu: tahap larva (zoea), tahap megalopa, tahap kepiting muda (juvenil) dan tahap kepiting dewasa Pada stadia megalopa, tubuh kepiting bakau belum terbentuk secara sempurna. Meskipun telah terbentuk mata, capit (chela), serta kaki yang lengkap, namun tutup abdomen (abdomen flap) masih menyerupai ekor yang panjang dan beruas Selain itu, pasangan kaki renang belum terbentuk sempurna,

(27)

karena masih menyerupai kaki jalan dengan ukuran yang panjang. Memasuki stadia kepiting muda (juvenil), tubuh kepiting bakau mulai terbentuk sempurna.

Tutup abdomen telah melipat ke arah belakang (ventral) tubuh, sedangkan ruas terakhir pasangan kaki renang mulai pendek dan memipih. Meskipun demikian, tubuh masih berbentuk bulat dengan bagian-bagian tubuh yang tidak proporsional.

Hal ini terlihat pada bentuk mata yang membesar dengan tangkai yang pendek, sehingga memberikan kesan melekat pada tubuh. Secara umum, tubuh kepiting bakau dewasa terbagi atas dua bagian utama, yaitu bagian badan dan bagian kaki, yang terdiri atas sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki renang (Kasry, 1986).

Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove,dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok sebagai tempat memijah. Kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan butan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove (Pratiwi, 2011).

Kepiting bakau merupakan hewan yang khas di hutan bakau. Sejak muda kepiting bakau telah menempati perairan dengan habitat berlumpur. Bila kondisi mendukung, kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai 3-4 tahun.

Sementara itu pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Kepiting bakau dewasa akan beruaya (migrasi) ke laut lepas untuk melakukan pemijahan. Induk dan anak-anak kepiting akan kembali ke perairan

(28)

pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri (Hasnidar, 2018).

Molting Kepiting

Molting adalah proses terlepasnya cangkang lama yang keras dengan cangkang baru. Cangkang baru berukuran lebih besar, berwarna pucat, dan lunak.

Aktivitas berlangsung hanya beberapa jam, masuknya sejumlah air dan mineral ke dalam tubuh kepiting maka cangkang tersebut perlahan-lahan mengeras kembali.

Proses molting dimulai ketika sel-sel epidermal merespon perubahan hormonal menuju sintesis protein. Pada awal proses molting terjadi retakan pada bagian belakang kepiting. Retakan tersebut semakin membesar disertai upaya untuk melepaskan diri dari cangkang lama. Bagian abdomen terangkat, kaki renang mulai terlepas dan capit ikut meninggalkan cangkang lama, cangkang lama terpisah secara sempurna dari tubuh yang baru dengan cangkang baru yang mash

lunak. Setelah molting ukuran kepiting bertambah hingga 30%

(Fujaya et al., 2012).

Pertumbuhan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh molting karena pertambahan bobot, panjang, dan lebar karapaks akan terjadi setelah molting.

Selama masa pertumbuhan menjadi dewasa, kepiting akan mengalami pergantian kulit. Pada saat ganti kulit tubuh kepiting bakau seluruhnya akan lunak. Cangkang baru tersebut berukuran lebih besar , berwarna pucat dan lunak. Aktivitas ini berlangsung selama beberapa jam. Setelah cangkang lama terlepas, air akan terakumulasi ke dalam darah dan kantung-kantung air di dalam tubuh kepiting untuk membantu merentangkan cangkang yang masih lunak menjadi bentuk yang lebih besar Selain itu untuk molting kepiting juga memerlukan kondisi lingkungan

(29)

yang mendukung. Salinitas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses molting pada kepiting bakau (Hasnidar, 2018)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi molting, yaitu eksternal dan internal. Faktor Eksternal dari lingkungan seperti cahaya, salinitas, suhu, pH, DO atau oksigen terlarut dan ketersediaan makanan. Pada faktor internal juga sangat berperan pada ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormone molting. Organ-Y adalah sumber hormone molting (Fujaya et al., 2012).

Teknik Popey

Prinsip budidaya kepiting soka adalah memelihara kepiting ditambak sampai molting. Permasalahan pada molting kepiting bakau yang menghadang kesuksesan budidaya kepiting cangkang lunak adalah molting. Molting yang tidak bersamaan dibutuhkan waktu yang cukup banyak dengan waktu kerja panjang.

Untuk mempercepat proses molting dilakukan upaya metode pemotongan capit dan kaki jalan dan metode popey (Widyastuti dan Husni, 2007).

Metode popey dilakukan dengan memotong semua kaki jalan kepiting, sedangkan capit dan kaki renangnya dibiarkan. Pematahan atau pemotongan kaki jalan yang dilakukan untuk mencegah keluarnya kepiting dari keranjang.

Sedangkan untuk capit dibiarkan hanya ujung capit yang dipotong, supaya kepiting tidak bisa menggigit dan keluar dari kurungan. Saat molting capit keliatan besar untuk harga kepiting lebih mahal dengan metode popey, dikarenakan menarik perhatian konsumen sehingga harga lebih mahal (Fujaya et al., 2012)

(30)

Teknik Mutilasi

Perlakuan mutilasi adalah secara sengaja mematahkan satu pasang capit dan tiga pasang kaki jalan. Kepiting dimutilasi tepat di bagian pangkal kaki dan capit dengan menggunakan tang ataupun gunting. Pangkal kaki jalan dan capit pada kepiting terdapat hormone penghambat molting yaitu Molt Inhibiting Hormone (MIH). Secara alami kepiting akan melepaskan sendiri keempat pasang organ kakinya hanya dengan cara diganggu – ganggu saja dengan usaha menghindar dari bahaya yang datang, seperti halnya cecak. Secara sengaja satu pasang kaki renang tidak di ganggu sehinga kepiting masih bisa berenang mencari makan agar tetap hidup sampai molting terjadi (Habibi et al.,2013)

Metode mutilasi biasanya melakukan pemotongan pada bagian organ kaki jalan, capit dan kaki renang. Teknik ini merupakan upaya untuk meningkatkan produk kepiting cangkang lunak (soka) karena dapat merangsang keluarnya hormon exdecis untuk memicu terjadinya pergantian kulit dengan cepat. Hormon yang menghambat kepiting bakau moulting terletak pada organ gerak kepiting bakau. Bagi kepiting proses dari mutilasi merupakan proses alami yaitu usaha menghindari bahaya dan regenerative dengan merangsang fisiologi hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak pada proses mutilasi diri sendiri. Naluri mutilasi diri sendiri dan menumbuhkan anggota tubuh yang patah (body building) ini juga ada pada cecak (tetapi cecak tidak melakukan molting untuk menumbuhkan anggota tubuhnya (Ariani et al., 2018)

Perlakuan mutilasi adalah secara sengaja mematahkan satu pasang capit dan tiga pasang kaki jalan. Secara sengaja satu pasang kaki renang tidak di ganggu sehinga kepiting masih bisa berenang mencari makan agar tetap hidup

(31)

sampai molting terjadi. Bagi kepiting proses dari mutilasi merupakan proses alami yaitu usaha menghindari bahaya dan regenerative dengan merangsang fisiologi hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak pada proses mutilasi diri sendiri (Khairiah et al., 2012).

Karakteristik Parameter Perairan Suhu

Kualitas air merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap fisiologi organisme perairan. Pertumbuhan kepiting juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas kelangsungan hidup, pertumbuhan dan molting krustasea. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu sampai pada batas tertentu. Suhu optimum untuk kepiting adalah 25-35°C (Fujaya et al., 2012).

Suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20ºC akan mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan akan berhenti walaupun kepiting masih dapat tetap hidup.

Disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.

Kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32°C.

Diantara faktor-faktor lingkungan, suhu merupakan faktor yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan molting (Katiandagho, 2014)

Salinitas

Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang

(32)

berdampak terhadap organisme. Proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir (Sagala et al., 2013)

Salinitas merupakan gambaran jumlah kelarutan garam atau konsentrasi ion-ion dalam air. Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh penting terhadap organisme akuatik. Salinitas optimal untuk budidaya kepiting bakau adalah berkisar antara 15-30 ppt tergantung spesies tersebut. Informasi tentang penurunan salinitas diperlukan karena akan memberikan dampak pertumbuhan yang maksimum pada kepiting bakau berkaitan dengan proses osmoregulasinya, dan penerapan selanjutnya di lingkungan tambak (Fujaya et al., 2012).

pH

pH( per hydronium ion atau power of hydrogen) atau derajat keasaman merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+) yang terlarut dalam air.

Digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan yang dimiliki oleh suatu perairan. Tinggi rendahnya pH suatu perairan dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Perubahan pH dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap organisme akuatik.

Pengaruh langsung antara lain adalah mengurangi produktivitas primer dan dapat menyebabkan kematian organisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah perubahan toksisitas zat kimia tertentu, contohnya semakin tinggi pH dan suhu air maka toksisitas amoniak meningkat. Nilai pH pada media budidaya kepiting lunak sebaiknya dipertahankan antara pH 6,8-8,2 (Hasnidar, 2018)

(33)

Media pH yang optimum akan memberikan dampak pertumbuhan yang maksimum pada kepiting bakau karena berkaitan dengan derajat keasaman dan kebasaan di dalam perairan. pH di dalam perairan akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau S. serrata. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai pH optimum pada media pemeliharaan untuk menunjang kinerja pertumbuhan kepiting bakau S. serrata (Hastuti et al., 2016) Disolved Oksigen ( DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen didalam perairan yang tersedia untuk kepiting. Oksigen sangat penting untuk pertumbuhan kepiting. Konsentrasi oksigen terlarut yang baik adalah >5,0 ppm. Dibawah 3,0 ppm molting beberapa menjadi lambat dan dibawah 2,0 ppm kepiting tidak aka nada yang molting. Oleh karena itu, pentingnya kondisi kualitas air tetap terjaga agar usaha budidaya dapat berhasil maka pengelolaan kualitas air tambak selama pemeliharaan sangat diperlukan (Hasnidar, 2018)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Kisaran Oksigen terlarut menunjukkan kisaran yang rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari. Kisaran oksigen yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kematian pada Kepiting bakau, kematian beberapa ekor kepiting uji pada saat pagi hari mengindikasikan hal tersebut (Katiandagho, 2014).

(34)

BAB III METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus tahun 2019. Penelitian dilaksanakan di kolam Tambak Desa Sei Bilah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keramba sebagai tempat pemeliharaan, gunting sebagai alat untuk memotong kaki kepiting, ember sebagai wadah kepiting, Global Positioning System (GPS) sebagai penentu titik kordinat penelitian, alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan (Lampiran 2). Termometer

(35)

untuk mengukur suhu, pH meter unruk mengukur pH perairan, refraktometer untuk mengukur salinitas perairan, dan DO meter untuk mengukur DO perairan tambak, kamera sebagai dokumentasi (Lampiran. 4)

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kepiting bakau sebagai bahan uji, ikan rucah sebagai pakan, air sebagai media pemeliharaan (lampiran. 3) Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan berupa pemikiran dan tindakan yang dipersiapkan secara kritis dan seksama mengenai berbagai aspek yang dipertimbangkan dan sedapat mungkin diupayakan kelak dapat diselenggarakan dalam suatu percobaan dalam rangka menemukan sesuatu pengetahuan baru. Semua pemikiran, perkiraan, pedoman dan rencana itu dituangkan dalam suatu rancangan percobaan, yang seharusnya dibuat sebelum percobaan dilakukan. Rancangan Percobaan yang baik adalah yang efektif, terkelola dan efesien serta dapat dipantau, dikendalikan dan dievaluasi (Bangun, 1991). (Lampiran. 1)

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan Rancangan Blok Acak Lengkap (RBAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan masing-masing 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari :

Perlakuan A : kepiting yang tidak dipotong capit dan kaki jalan (alami) Perlakuan B : kepiting yang dipotong seluruh capit dan kaki jalan (mutilasi) Perlakuan C : kepiting yang dipotong sebagian yakni pada kaki jalan (popey) Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah keramba bambu berukuran 150 cm x 120 cm sebanyak 120 buah petakan - petakan kecil dengan ukuran (15cm x 15

(36)

cm/petakan). Keramba dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan dengan cara dicuci dan dikeringkan selama 2 hari untuk membunuh patogen-patogen yang berbahaya bagi kepiting. Selanjutnya, keramba dipasang pada tambak dan dilakukan perendaman selama 3 hari di dalam tambak sebelum dimasukkan kepiting. Setiap petakan kecil keramba berisi 1 ekor kepiting bakau. Kemudian diapungkan atau ditenggelamkan sedalam 4 cm ke dalam air tambak atau setengah dari tinggi keramba bambu sebagai media pemeliharaan kepiting bakau sesuai dengan metode yang telah ditetapkan. (Lampiran. 5)

Penebaran Hewan Uji

Hewan uji berasal dari hasil tangkapan alam yang telah melalui proses seleksi terlebih dahulu dengan bobot tubuh rata-rata 80gr/ekor dan lebar karapas 8cm/ekor dengan padat tebar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1ekor/petakan keramba. Jumlah hewan uji yang digunakan adalah 120 ekor.

Setelah itu dilakukan pengukuran panjang dan bobot kepiting bakau sebagai data awal sebelum dilakukan pemotongan. Hewan uji ditebarkan kedalam keramba dengan 3 perlakuan 4 ulangan. Sebelum dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan, kepiting dilakukan pemotongan capit, kaki jalan menggunakan gunting sesuai perlakuan yang akan digunakan. Perlakuan alami, benih kepiting tidak dilakukan pemotongan baik kaki jalan maupun capit sehingga pemeliharaan kepiting dilakukan secara alami. Metode popey dilakukan dengan memotong semua kaki jalan kepiting, sedangkan capit dan kaki renangnya dibiarkan.

Mutilasi yaitu dengan memotong semua bagian capit dan kaki jalan menggunakan gunting pada ujung sehingga pangkal kaki jalan patah dengan sendirinya.

(Lampiran 6)

(37)

Sebelum hewan uji dimasukkan, dilakukan pengukuran kualitas parameter perairan pada tambak yang meliputi suhu, DO, pH, dan salinitas. Kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing kotak keramba. Waktu tebar hewan uji adalah sore hari karena menghindari panas dari paparan sinar matahari langsung

dan suhu air cenderung stabil dan tidak membuat kepiting stress (Fujaya et al., 2012)

Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan setelah dua hari dari waktu penebaran benih ke keramba. Pakan yang diberikan berupa ikan Tamban yang telah dipotong-potong dengan ukuran 2 cm. Dengan pemberian pakan 5% dari bobot hewan uji. Ikan Tamban tersebut didapatkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pakan diberikan dengan frekuensi satu kali dalam 2 hari, yaitu sore pukul 16.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB (Lampiran. 6)

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : a) derajat kelangsungan hidup kepiting b) laju pertumbuhan bobot c) jumlah kepiting molting terhadap waktu d) porsentase molting e) mortalitas f) parameter fisika kimia perairan.

Kelangusungan hidup kepiting dilihat dari jumlah kepiting yang berhasil hidup dan melakukan molting selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan bobot spesifik (spesific growth rate) dihitung dari nilai bobot kepiting sebelum ditebar dan setelah mengalami proses molting serta jangka waktu pencapaian molting. Persentase molting dihitung dari awal sampai akhir penelitian yang melakukan molting pada setiap perlakuan.

(38)

Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dari awal sampai akhir pemeliharaan yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut (DO), pH, dan salinitas. Pengukuran kualitas air untuk pH dan Suhu dilakukan setiap hari sedangkan untuk DO dan salinitas sebanyak empat kali dengan interval waktu

± 7 hari selama 1 bulan (disesuaikan dengan pemasukan kepiting kedalam kolam dan pengukuran setelah moulting) dengan peralatan sesuai dengan Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Parameter Satuan Alat Ukur

Suhu

Oksigen Terlarut (DO) pH

Salinitas

oC mg/L

-

Termometer digital DO-meter

pH-meter Refraktometer Analisis Data

1. Derajat kelangsungan hidup

Derajat kelangsungan hidup (survival rate) dihitung dari data jumlah kepiting pada awal dan akhir perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali. Tingkat derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) diukur dengan menggunakan rumus menurut (Effendi, 1978):

SR = (Nt / No) x 100%

Keterangan:

SR = Derajat kelangsungan hidup (%) No = Jumlah kepiting awal penelitian (ekor) Nt = Jumlah kepiting akhir penelitian (ekor)

(39)

2. Peningkatan Bobot

Pengukuran bobot kepiting menggunakan timbangan. Bobot kepiting ditimbang kemudian dicatat. Peningkatan bobot menggunakan rumus pertumbuhan menurut Effendie (1997) yaitu :

W = Wt - W0 Keterangan :

W = Peningkatan bobot ikan (gr)

Wt = Bobot akhir pada waktu molting (gr) W0 = Bobot awal kepiting (gr)

3. Jumlah Kepiting Molting Terhadap Waktu Pemeliharaan

Jumlah kepiting molting terhadap waktu pemeliharaan dihitung dari jumlah kepiting yang ditebar pada setiap perlakuan dan dilihat perlakuan yang paling cepat molting atau ganti kulit tiap harinya.

4. Persentase Molting

Pengamatan molting dilakukan setiap minggu menghitung berapa jumlah kepiting yang ganti kulit (molting) dan dilihat setiap perlakuan yang lebih tinggi persentase moltingnya

Jumlah Hewan Uji yang Molting Jumlah Hewan Uji 5. Mortalitas

Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian dalam suatu populasi.

Mortalitas hewan uji dihitung setiap perlakuan dengan menggunakan rumus : Jumlah Hewan Uji yang Mati

Jumlah Hewan Uji

x 100%

Prosentase Molting =

Mortalitas = x 100%

(40)

6. Analisis ANOVA SPSS

Analisis yang digunakan terhadap data yang dikumpulkan adalah Analisis Of Varians (ANOVA), untuk mengetahui pengaruh perbedaan teknik molting terhadap Survival Rate. Analisis ini dilakukan menggunakan sofware SPSS.

Selanjutya untuk mengetahui diterima tidaknya hipotesis yang diajukan maka dilakukan uji statistik duncan. Menurut Bangun (1991) yakni dengan menggunakan uji F dengan membandingkan nilai F hitung (Fh) dengan F table pada taraf 0,05 sebagai berikut :

 H0 diterima dan H1 ditolak : Berarti ketiga perlakuan yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh nyata (tidak signifikan) terhadap molting kepiting bakau

 H0 ditolak dan H1 diterima : Berarti ketiga perlakuan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata (signifikan) terhadap molting kepiting bakau.

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data berupa derajat kelangsungan hidup (%), Peningkatan berat tubuh (gr), jumlah kepiting molting terhadap waktu, mortalitas (%), prosentase molting (%), serta data hasil pengamatan parameter fisika-kimia air selama pemeliharaan.

Derajat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup kepiting selama 40 hari pemeliharaan menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan popey sebesar 92,5%

kemudian mutilasi sebesar 87,5%, dan terendah pada perlakuan alami sebesar 50% seperti pada Gambar 10. Data tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 10. Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh kelangsungan hidup kepiting bakau (Syclla serrata) pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari maka

(42)

dilakukanlah dengan uji ANOVA. Hasil analisis data ANOVA pada SPSS menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot kepiting bakau. Analisis Variansi (ANOVA) kelangungan hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup kepiting, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji Analisis Variansi (ANOVA) terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau (Syclla serrata)

ANOVA Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 4316.667 2 2158.333 12.532 .003**

Within Groups 1550.000 9 172.222

Total 5866.667 11

Keterangan :

** : < 0.05 atau sangat berpengaruh

* : > 0.05 atau berpengaruh

Dari hasil rata-rata kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata dan pengaruh nyata dari perbedaan notasi huruf yang berbeda. Analisis Duncan kelangungan hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup kepiting.

Dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Nilai sig sumber variansi kelangsungan hidup memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kehidupan kepiting.

Kelangsungan hidup kepiting yang paling efektif adalah pada perlakuan popey dan mutilasi (karena memiliki pengaruh yang lebih besar dengan notasi tertinggi).

(43)

Tabel 3. Hasil Perhitungan rata-rata terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau (Syclla serrata) setiap minggu selama 40 hari pemeliharaan

Hari ke- Perlakuan

7 14 21 28 35 40

P1

(Alami) 39.25±2.619a 36.50± 2.619a 36.00 ± 2.619a 35.25± 2.619a 35.25± 2.619a 35.25±2.619a P2

(Mutilasi) 40.00 ± 0b 39.50± 2.619b 39.50 ± 2.619b 38.75± 2.619b 38.75 ± 2.619b 38.75± 2.619b P3

(Popey) 40.00± 0b 39.25± 2.619b 38.50±2.619ab 38.50± 2.619b 38.50 ± 2.619b 38.50±2.619b

Keterangan : a dan b ; perbedaan notasi huruf menyatakan adanya perbedaan yang signifikan antar interaksi perlakuan

Laju Pertumbuhan Berat Kepiting

Hasil pengamatan berat tubuh kepiting bakau yang dilakukan setiap minggu menunjukkan pola pertumbuhan yang terus meningkat pada perlakuan alami, mutilasi dan popey pada seluruh organ gerak hingga pada akhir penelitian.

Rata-rata pertambahan berat tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan alami dari 80gr menjadi 109.375gr , kemudian diikuti perlakuan Popey dari 75 gr menjadi 99,4 gr dan berat terendah pada perlakuan mutilasi dari 70 gr menjadi 94,225 gr. Hasil nilai rata-rata pertambahan berat harian selama 40 hari pemeliharaan kepiting dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Rata-rata berat harian kepiting pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

(44)

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan bobot kepiting bakau (Syclla serrata) pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari maka dilakukanlah dengan uji ANOVA. Hasil analisis data ANOVA pada SPSS menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot kepiting bakau. Analisis Variansi (ANOVA) kelangungan hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup kepiting, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji analisis variansi (ANOVA) terhadap pertumbuhan berat tubuh kepiting bakau (Syclla serrata)

ANOVA Berat Tubuh

Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 478.802 2 239.401 4814.765 .000**

Within Groups .448 9 .050

Total 479.249 11

Keterangan :

** : < 0.05 atau sangat berpengaruh

* : > 0.05 atau berpengaruh

Dari hasil rata-rata pertumbuhan bobot kepiting bakau setiap perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata dari perbedaan notasi huruf yang berbeda. Analisis rata-rata pertumbuhan bobot dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot. Nilai sig sumber variansi berat kepiting bakau memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pertumbuhan berat tubuh kepiting. Pertumbuhan berat kepiting yang paling efektif adalah pada perlakuan alami (karena memiliki pengaruh yang lebih besar dengan notasi tertinggi). Dapat dilihat pada Tabel 5.

(45)

Tabel 5. Hasil uji rata-rata terhadap pertumbuhan berat tubuh kepiting bakau (Syclla serrata)

Hari ke- Perlakuan

7 14 21 28 35 40

P1

(Alami) 84.42 ±2.619c 87.72±2.619c 89.757±2.619c 94.50±2.619c 99.45± 2.619c 109.45 ± 2.619c P2

(Mutilasi) 74.25±2.619a 77.75±2.61a 79.675±2.619a 84.425 ± 2.619a 89.425±2.619a 94.2250± 2.619a P3

(Popey) 79.575±2.619b 81.55±2.619b 84.425±2.619b 89.575± 2.619b 94.625±2.619b 99.45 ± 2.619b

Keterangan : a, b, c ; perbedaan notasi huruf menyatakan adanya perbedaan yang signifikan antar interaksi perlakuan

Jumlah Kepiting Molting

Data jumlah kepiting molting terhadap waktu pemeliharaan selama 40 hari pada ketiga perlakuan. Berdasarkan gambar terlihat bahwa pada perlakuan mutilasi jumlah kepiting molting tertinggi terdapat pada hari ke-28 yakni sebanyak 18 ekor. Pada perlakuan popey jumlah kepiting molting tertinggi terdapat pada hari ke-28 sebanyak 26 ekor dan pada perlakuan alami jumlah kepiting molting terdapat pada hari ke 35 sebanyak 7 ekor. Molting pertama kali terjadi yakni pada hari ke-8 sampai hari ke-40, selama pemeliharaan 40 hari lamanya.

Gambar 13. Jumlah kepiting molting perhari setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

(46)

Mortalitas

Data jumlah kepiting mortalitas setiap minggu terhadap waktu pemeliharaan selama 40 hari didapat tingkat mortalitas paling tinggi pada perlakuan alami di hari ke 14 dengan nilai 27,5%. Pada perlakuan mutilasi tertinggi terjadi pada hari ke 28 dengan nilai 7,5%. Dan pada perlakuan popey tertinggi terjadi pada hari ke 14 dengan nilai 7,5%.

Gambar 14. Jumlah kepiting mortalitas perminggu terhadap waktu pemeliharaan setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Prosentase Molting

Pada prosentase molting kepiting bakau dapat kita lihat pada ketiga perlakuan yaitu alami, mutilasi, dan popey. Dari hasil yang didapat perlakuan popey memiliki prosentase molting tertinggi pada hari ke-28 yaitu dengan jumlah 65%. Pada perlakuan alami memiliki prosentase molting tertinggi terjadi pada hari ke-35 dengan jumlah 17,5% dan pada perlakuan mutilasi prosentase molting tertinggi terjadi pada hari ke-28 dengan jumlah 45%.

(47)

Gambar 15. Persentase molting kepiting bakau perminggu pada perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Parameter Kualitas Air

Pertumbuhan molting kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kualitas air.

Parameter yang diukur selama penelitian meliputi salinitas, suhu, pH dan kandungan oksigen terlarut (DO). Hasil parameter suhu dengan nilai rata-rata 30.85, pH dengan nilai rata-rata 7.29, DO dengan nilai rata-rata 5.77, dan salinitas dengan nilai rata-rata 25.85. Data pengamatan kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Table 6.

Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air minimum dan maksimum selama 40 hari pemeliharaan

Parameter Kualitas air

Hari Ke-

Rata-rata

7 14 21 28 35 40

Suhu 30 30.03 30.02 30.08 33.8 31.2 30.85

Ph 7.37 7.37 7.38 7.37 7.16 7.14 7.29

DO 6.35 4.9 5.98 5.86 5.36 6.2 5.77

Salinitas 25.93 25.43 26.26 25.76 26.26 25.5 25.85

(48)

Pembahasan

Derajat Kelangsungan Hidup

Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan kepiting bakau dilakukan dengan cara mengamati dan menghitung jumlah kepiting bakau pada awal dan akhir penelitian. Tingkat kelangsungan hidup kepiting selama penelitian berkisar antara 50%-92,5%. Hasil analisis variansi (ANOVA) pada lampiran 7 menunjukkan bahwa setiap perlakuan yang ada dalam media pemeliharaan yaitu P1, P2 dan P3 memberi pengaruh yang sangat nyata dan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup kepiting sehingga uji ANOVA tidak dapat dilanjutkan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Derajat kelulusan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal percobaan. Kelulusan hidup merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu.

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANOVA) Pada kelangsungan hidup kepiting bakau perlakuan alami, mutilasi, dan popey memberikan pengaruh terhadap derajat kelangsungan hidup (SR) yaitu 50%-92,5% (0,03>0,05). Rendahnya nilai derajat kelangsungan hidup kepiting bakau pada perlakuan alami ini disebabkan karena faktor kondisi media pemeliharaan dan ukuran tubuh kepiting yang kurang cocok dengan keadaan tempat kepiting hidup. Wadah yang digunakan adalah wadah bambu dengan petakan kecil yang membuat kepiting yang hiperaktif menjadi stress. Namun, tingkat stres yang dialami kepiting diduga masih berada pada level yang dapat ditoleransi sehingga tidak menyebabkan kepiting mati seluruhnya. Hal ini sesuai dengan Fujaya et al (2012) yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi molting yaitu informasi eksternal dan

(49)

internal. Selain itu juga informasi internal sangat berperan antara lain ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas.

Pemberian pakan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau. Kebiasaan makan alamiah kepiting menjadikan kepiting tidak memilih-milih makanan. Namun pada pemeliharaan pakan yang digunakan adalah pakan alami dari sumber hewani yaitu ikan tamban. Pemberian pakan dilakukan 2 hari sekali dikarenakan memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan molting. Pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan kerugian dari segi pembiayaan dan juga merusak kualitas air. Kualitas air yang buruk sangat mempengaruhi kelangsungan hidup kepiting bakau. Adapun hasil yang didapat dinyatakan bahwa pemberian pakan masih dalam proses terkontrol dengan baik, sehingga dapat mendukung peningkatan kelulusan kepiting bakau. Menurut Watanabe (1998) dalam Siregar dan Adelina (2009) bahwa kelulushidupan dapat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari umur dan kemampuan biota dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, sedangkan faktor abiotik antara lain ketersediaan makanan dan kualitas media hidup. Ketersediaan makanan dalam penelitian ini diduga cukup untuk memenuhi kebutuhan kepiting bakau dalam mempertahankan diri, serta kualitas air media budidaya masih dalam kisaran kelayakan sehingga dapat mendukung peningkatan kelulushidupan kepiting bakau.

Laju Pertumbuhan Bobot Kepiting

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya volume dan berat suatu organisme yang dapat dilihat dari satuan waktu. Berdasarkan penelitian dilakukan 40 hari diperoleh bahwa masing-masing perlakuan menunjukkan perubahan berat

(50)

yang berbeda-beda. Rata-rata pertambahan berat tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan alami dari 80 gr menjadi 109.375 gr , kemudian diikuti perlakuan Popey dari 75 gr menjadi 99,4 gr dan berat pada perlakuan mutilasi dari 70 gr menjadi 94,225 gr. Pertambahan bobot tubuh terjadi setelah terjadinya molting atau pergantuan kulit lama dengan yang baru kemudian kepiting akan menyerap air. Menurut pendapat Fujaya (2012) menyatakan bahwa setelah molting ukuran kepiting akan bertambah hingga 30%.

Makanan merupakan salah satu dari faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan. Makanan yang cocok diberikan adalah ikan tamban sebagai pakan alami dalam penelitian ini selain karena disukai kepiting juga karena kandungan nutrisinya, mudah dicerna dan sesuai kebiasaan makan kepiting bakau. Hal ini didukung oleh Septian et al. (2013) yang menyatakan bahwa pakan ikan rucah segar mudah tenggelam sehingga peluang dimakan kepiting lebih besar karena kepiting lebih suka mencari makan pada dasar. Selain itu ikan rucah memiliki daging yang empuk sehingga kepiting bakau mudah untuk memotong dan merobeknya.

Pakan yang digunakan adalah ikan tamban. Pakan ikan tamban didapatkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) babalan. Pakan diberikan dengan frekuensi satu kali 2 hari pada pukul 16.00 WIB dengan jumlah pakan yang diberikan 5%

dari bobot tubuh kepiting. Sebelum penebaran, benih kepiting dipuasakan selama satu hari terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan benih kepiting masih berada pada tingkat stres yang tinggi akibat perubahan salinitas perlakuan. Hal ini di dukung oleh (Ghiasvand et al., 2012) secara fisiologis, pertumbuhan hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi, setelah energi melalui pakan yang dikonsumsi.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran    KEPITING BAKAU BANYAK PERMINTAAN METODE MOLTING
Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla serrata)  (Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian)
Gambar 4. Kerapas pada Kepiting  (Sumber : Siahainenia, 2009)
Gambar 5. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan kiri dan Betina  Kanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan judul: KECEPATAN MOULTING DAN KELULUSHIDUPAN ( SURVIVAL RATE = SR) KEPITING BAKAU ( Scylla serrata ) PADA UKURAN BERAT YANG BERBEDA DENGAN METODE MUTILASI.. Dalam

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui waktu molting pada pembesaran kepiting bakau ( Scylla serrata ) bercangkang lunak yang dipelihara secara soliter serta mengetahui korelasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu molting antara kepiting bakau jantan dan betina dengan pemberian pellet sebagai pakan buatan.. Penelitian ini dimulai

Sedangkan kepiting betina yang telah malakukan perkawinan secara berlahan dan pelan-pelan akan beruaya ke perairan bakau, dan kembali ke laut untuk melakukan pemijahan, dan

Hasil isolasi dari kepiting bakau yang memiliki gejala klinis seperti insang membuka, kering, berwarna gelap, luka pada tubuh seperti di capit, ventral dan

Hasil isolasi dari kepiting bakau yang memiliki gejala klinis seperti insang membuka, kering, berwarna gelap, luka pada tubuh seperti di capit, ventral dan

Tingkat molting Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada semua Perlakuan (rata – rata Jumlah molting/jumlah Kepiting dalam Dongdang (20 ekor) Setiap Minggu).. Tingkat

Kepiting bakau jantan memiliki sepasang capit yang lebih besar bila dibandingkan dengan capit yang dimiliki kepiting betina.. Bagian perut (abdomen) kepiting jantan berbentuk