• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 Perspektif Pengayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "7 Perspektif Pengayaan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Perspektif Pengayaan:

Pendekatan Pendidikan Luar Biasa terhadap Sekolah

Inklusif

Edvard Befring

Pendahuluan

Perspektif pengayaan adalah suatu pendekatan berdasarkan kemampuan dan kekuatan. Ini merupakan sebuah pendekatan alternatif atau suplementer bagi model pendidikan luar biasa yang diagnostik-terapeutik. Pendekatan ini melibatkan asesmen untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh anak serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dan taman kanak-kanak, dan menggunakan informasi tersebut sebagai titik tolak dalam menciptakan lingkungan belajar. Artikel ini menyajikan sejarah singkat PLB (atau pendidikan khusus) di E ropa, menggambarkan beberapa contoh ilustratif tentang Perspektif Pengayaan dan membahas berbagai mitos dan hambatan implementasi Perspektif Pengayaan tersebut.

Pendidikan Luar Biasa (atau Pendidikan Khusus)

Di E ropa, “sekolah khusus” pertama didirikan kira-kira 200 tahun yang lalu. Pada abad ke-20 terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang PLB, dengan semakin diakuinya hak-hak sipil para penyandang cacat, hingga diberlakukannya perundang-undangan yang mewajibkan pendidikan untuk semua dan mengharuskan pemberian jaminan formal untuk pengajaran adaptif bagi semua anak. PLB telah muncul sebagai sebuah bidang penelitian dan pendidikan guru yang berdiri sendiri. Antara tahun 1900 dan 1950, PLB hanya mencakup prosentasi kecil (sekitar 1%) dari total populasi siswa dan sebagian besar diselenggarakan di sekolah khusus yang segregatif. Sejak tahun 1970 perubahan radikal telah terjadi dan layanan PLB diperluas mencakup para siswa di semua sekolah setempat, anak usia pra-sekolah, remaja di sekolah menengah atas dan orang dewasa serta orang lanjut usia yang berkebutuhan pendidikan khusus. PLB telah berkembang menjadi salah satu bidang utama dalam disiplin ilmu pendidikan secara keseluruhan, dan menciptakan kesempatan baru bagi para penyandang cacat dari berbagai tingkatan usia (Befring & Tangen, 2001).

(2)

gagasan untuk memberikan semaksimal mungkin kepada mereka yang paling

membutuhkannya. Manajemen PLB yang layak adalah yang berdasarkan prinsip-prinsip diskriminasi positif, yang berimplikasi adanya telaah yang objektif dan kritis terhadap tindakan politik maupun praktek profesional (Befring et al., 2000:567).

Telaah kritis PLB meliputi tantangan terhadap premis mayor model medis. Satu asumsi dasar dari pendekatan medis atau pendekatan diagnostik-terapeutik terhadap PLB adalah bahwa suatu diagnosis dapat dibentuk berdasarkan observasi dan tes terhadap seorang individu, dan bahwa terdapat korelasi antara perlakuan dengan efek rehabilitasi. Asumsi ini telah menyebabkan sumber daya manusia dan sumber dana keuangan dalam jumlah yang sangat besar diinvestasikan untuk mencari apa yang “salah” dalam diri seseorang sehingga mereka membutuhkan dukungan dan perhatian profesional. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa seorang individu cenderung diperiksa di luar konteks, sehingga dapat ditemukan suatu kecacatan tertentu pada dirinya, agar perlakuan dapat ditargetkan secara spesifik pada gangguan yang diperkirakan ada.

Kegiatan diagnostik meningkat, dan sejumlah besar anak didiagnosis sebagai memerlukan layanan PLB. Dalam sebuah studi baru-baru ini, Skarbrevik (2001) menemukan bahwa sebanyak 20% anak dan remaja Norwegia memerlukan layanan PLB. Alat diagnosis yang paling sering dipergunakan dapat mengidentifikasi adanya kelainan dalam membaca, menulis dan berbicara, dan kesulitan dalam konsentrasi dan perhatian yang diberi label disleksia dengan variasinya, gangguan perhatian dan hiperaktivitas, serta masalah-masalah perilaku. Semua diagnosa ini terjadi dalam konteks kehidupan modern serta tuntutannya akan pendidikan dan adaptasi sosial, yang menimbulkan tekanan yang besar pada anak dan remaja. Demikian besarnya tekanan ini sehingga “permasalahan” pada tingkatan tertentu akan tampak “normal”. Namun, dalam diagnosis tradisional dan dalam pendidikan dengan model rehabilitasi, realita normal seperti ini sering diabaikan dan digantikan dengan pemikiran bahwa masalah pada seorang individu dapat diatasi jika ditangani oleh orang yang memiliki keahlian. Model medis ini telah mengakibatkan orang memfokuskan perhatiannya pada diagnosis itu beserta permasalahan dan kelemahan yang diakibatkannya, pelabelan dan stigmatisasi sehingga upaya lebih diarahkan pada

identifikasi masalah, bukan pada kegiatan belajar dan mengajar.

Merupakan alternatif bagi model medis tersebut adalah perspektif pendidikan yang memfokuskan pada pembelajaran. Alternatif ini memanfaatkan dan membangun kekayaan personal yang dimiliki (kekuatan dan sumber daya). Sebuah model

pembelajaran berupaya memahami apa yang dapat dicapai oleh seseorang, bukannya menunjukkan kelemahan-kelemahannya. Satu tugas utamanya adalah memperkuat identitas bagi PLB sebagai sebuah bidang yang berorientasikan perkembangan, yang berkontribusi terhadap proses pembelajaran yang lebih lengkap dalam kontek sosial yang lebih luas.

Sebuah Perspektif Pembelajaran pada Pendidikan Luar Biasa

(3)

Dalam konteks E ropa, Montessori (1870-1952) merupakan tokoh yang sangat penting karena dia berpandangan bahwa perbedaan dalam kemampuan belajar dan berperilaku itu pada hakikatnya merupakan masalah pendidikan, bukan masalah medis. Dia

membuktikan bahwa anak-anak yang tunagrahita (pada masa itu disebut “tidak dapat dididik”) dapat memperoleh hasil yang mengesankan dalam belajar membaca, menulis dan keterampilan manual. Di “rumah anak” yang didirikannya di Roma, Montessori memulai sebuah program komprehensif untuk mengasuh dan mengajar anak. Dia menemukan bahwa anak-anak memiliki kapasitas besar untuk pendidikan sendiri, konsentrasi dan pengulangan, dan memiliki stamina, yang membuatnya mengambil kesimpulan bahwa kegiatan belajar dapat bertahan lama jika kondisi belajarnya sesuai dan tugas yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan anak. Montessori menekankan pentingnya konsentrasi, perkembangan inisiatif, dan kondisi belajar yang memberikan ruang bagi siswa untuk memperoleh rasa pencapaian pribadi. Dia menyatakan bahwa kebebasan dan struktur itu saling terkait, dan menekankan bahwa proses belajar harus menciptakan fondasi bagi kedisiplinan diri dan keahlian yang relevan dengan kehidupan. Kelahiran kembali gagasan-gagasan Maria selama dua dekade terakhir ini telah mengubah ekspektasi dan perlakuan terhadap individu yang dianggap tidak memiliki kemampuan mental. Setelah masa eksperimen dengan pengajaran yang sistematis terhadap para individu ini pada awal tahun 1060-an, mitos bahwa mereka tidak dapat belajar atau tidak dapat diajar itu rontok, mengakibatkan munculnya pergerakan politik dan professional di E ropa dan Amerika Utara. Orang-orang yang pada suatu masa pernah diperlakukan sebagai orang terbuang dan dimasukkan ke lembaga pemeliharaan, ternyata dapat membuat kemajuan yang baik dalam perkembangan pribadi dan kemandiriannya, sebagai akibat dari sebuah perspektif pendidikan. Menganut perspektif pendidikan atau belajar merupakan sebuah faktor penting dalam pengangkatan harkat manusia.

(4)

semua orang melibatkan lebih dari sekedar kebijakan pembangunan bagi sistem

pendidikan saja… tetapi melibatkan juga sebuah keprihatinan terhadap lingkungan sosial yang lebih luas [E vans 1995:144]. Sebuah referensi yang serupa terhadap kebutuhan untuk merombak kebijakan sosial dapat ditermukan dalam Penyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNE SCO (1994) mengenai pendidikan kebutuhan khusus:

Sekolah inklusi menyediakan seting yang baik untuk mencapai persamaan kesempatan dan partisipasi, tetapi keberhasilannya memerlukan upaya nyata tidak hanya dari guru-guru dan para staf sekolah tetapi juga oleh teman sekelas, orang tua, keluarga dan para sukarelawan. Perubahan institusi sosial tidak hanya merupakan sebuah tugas teknis; utamanya tergantung pada keyakinan, komitmen dan niat yang baik dari setiap individu yang merupakan bagian dari masyarakat.

Pernyataan ini menggambarkan kebutuhan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap hasil jangka pendek dan jangka panjang yang positif mengenai pendidikan bagi orang-orang penyandang cacat secara sosial dan individual [Befring 1994]. Dibutuhkan adanya dukungan publik untuk sebuah pendekatan pendidikan yang secara simultan meyakinkan publik agar optimistik mengenai pendidikan bagi anak penyandang kecacatan maupun tanpa kecacatan, dan mendukung pendidikan anak-anak penyandang cacat dalam konteks sosial di lingkungan komunitasnya sendiri [misalnya sekolah setempat]. Pandangan optimistik yang diajukan penulis tentang prinsip pengayaan PLB juga relevan dengan tujuan tersebut.

Perspektif Pengayaan

Perundang-undangan pendidikan di Skandinavia dan negara-negara E ropa lainnya menekankan tanggung jawab atas anak secara keseluruhan – tanggung jawab untuk belajar, kesejahteraan/kesehatan dan perkembangan pribadi. Dengan deklarasi resmi ini berarti bahwa sekolah mempunyai tiga tujuan utama: a) untuk menciptakan eksistensi yang berguna dan berharkat/berharga bagi semua anak dan remaja, b) untuk

mempersiapkan mereka bagi masa dewasanya , dan c) untuk mempromosikan dan menjaga nilai-nilai kebudayaan dan sosial.

Konteks sosial merupakan alat untuk mencapai tujuan dan merupakan tujuannya itu sendiri. Maksudnya adalah agar seorang individu dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain dan dengan lingkungannya sejalan dengan menciptakan suasana dan seting sosial yang memungkinkan interaksi tersebut terjadi. Penerapan perspektif ini terhadap perkembangan pendekatan baru mengenai aktivitas PLB dikenal sebagai Pesfektif Pengayaan (Befring 1990; 1994; 1997; 2000).

Menurut Perspektif Pengayaan, sebuah komunitas, sebuah sekolah dan sebuah

masyarakat yang beradaptasi dengan dan merespon terhadap kebutuhan dan wujud orang yang berbeda kebutuhan dan kemampuannya [misalnya kecacatan] memperkaya semua orang, para siswa dan juga para pendidik. Dengan kata lain, TK, SD, sekolah menengah yang “baik” bagi anak-anak penyandang cacat pada kenyataannya akan memberikan lingkungan ideal untuk belajar dan mendidik dan merawat kesehatan/kesejahteraan semua anak dalam ruang kelas atau sekolah yang bersangkutan. Dalam perspektif ini perbedaan individu dilihat sebagai kekayaan, bukan sebagai permasalahan.

(5)

maupun sumber daya manusia PLB. Kekayaan keahlian para guru PLB dapat

memberikan kontribusi untuk mempromosikan sebuah pendekatan pendidikan terpadu bagi semua anak. Perspektif Pengayaan didasarkan pada pendekatan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan [misalnya menemui setiap siswa di mana pun dia memasuki pengalaman belajar]. Bila semua anak dengan karakter yang berbeda-beda disatukan dalam satu sekolah, terdapat juga kesempatan untuk menciptakan konteks sosial yang ideal untuk perkembangan belajar dan pribadi.

Dari Perspektif Pengayaan, heterogenitas siswa menawarkan tantangan dan kesempatan untuk meningkatkan konteks pembelajaran. Heterogenitas membangun konteks untuk interaksi sosial yang lebih beragam. Heterogenitas membentuk dasar untuk menghargai perbedaan (pembelajaran moral).

Dengan berfokus pada kemampuan yang ada bukannya pada kelemahannya, perspektif ini didasari oleh prinsip pemahaman yang sama, paradigma yang sama dengan konsep “enabling” (memupuk kemampuan) dan perspektif pemberdayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lassen bahwa “kemungkinan untuk memberdayakan orang tua dapat dilaksanakan oleh para praktisi jika mereka memahami kemampuan orangtua, anak-anak dan sistem, dan bersedia mengembangkan sumber-sumber yang belum dimanfaatkan. Di sinilah letaknya tantangan pendidikan luar biasa yang sebenarnya” [Lassen 1999].

Perspektif Pengayaan ini bertentangan dengan prinsip dan pelaksanaan pengelompokkan homogen yang mengakselerasi aktivitas diagnostik, meningkatkan kecenderungan menuju pemisahan untuk membuat dua kelompok siswa – mereka yang telah didiagnosis dan mereka yang belum diperiksa – menghasilkan komunitas yang dipisah-pisahkan secara tidak alami dan artifisial. Jelas sekali bahwa ini bukan kondisi bagi siswa untuk

mendapatkan pengalaman hidup yang bermartabat atau untuk mempersiapkan kehidupan “nyata” di masa datang di dalam masyarakat yang heterogen.

Perspektif Pengayaan dalam Pelaksanaannya

Selama lebih dari 20 tahun penulis telah mendapatkan inspirasi dari sekolah dan guru yang mengimplementasikan filosofi pendidikan yang lebih inklusif. Keberhasilan sebuah sekolah di daerah perkotaan di Norwegia telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk memformulasikan Perspektif Pengayaan ini. Sekolah tersebut mengadopsi kunci dasar pendidikan sbb: perhargaan bagi setiap identitas siswa, dan variasi dipandang sebagai sumber daya bukannya sebuah masalah. Kunci dasar ini merefleksikan pandangan moral dengan menekankan penghargaan atas perbedaan. Dan mereka merefleksikan perspektif pendidikan dengan memberikan siswa kesempatan untuk belajar dari satu sama lain, seperti halnya yang akan mereka lakukan di dunia “nyata”.

(6)

Guru-guru ini menekankan perlunya memberi setiap anak kesempatan untuk merasa dihargai dan seluruh kelas mengambil manfaat dari praktek tersebut. Satu guru menyebutkan posisi ini dengan jelas:

Integrasi lebih dari sekedar menempatkan siswa bersama-sama dan memberikan perlindungan bagi yang menyandang kecacatan. Pendidikan harus selalu melibatkan pembelajaran kompetensi, kepercayaan diri dan toleransi. Ini merupakan tujuan yang realistis bagi kelas-kelas pada umumnya, memberikan sebuah kesempatan nyata bagi tiap anak agar diperhatikan dan dihargai dengan penghargaan yang positif (Befring 1994:39).

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, kita dapat mengevaluasi kualitas sebuah komunitas [misalnya sebuah sekolah, kelas atau lingkungan terdekat] berdasarkan kualitas layanannya terhadap individu yang paling berkebutuhan. Hal tersebut dapat dicapai secara logis dan melalui pengalaman. Sebaliknya, jika kita mendefinisikan “kesuksesan terbesar” adalah remaja yang berfungsi paling baik atau siswa yang paling mudah diatur, dan ini digunakan sebagai titik awal pendidikan, maka kita beresiko merancang program pendidikan dan lingkungan sekolah yang penuh konflik dan tidak memberikan rasa aman. Penelitian empirik tentang layanan PLB di sekolah integrasi tanpa perspektif pendidikan inklusi menghasilkan konsekuensi negatif seperti di atas [Persson 1995].

Dari perspektif ilmu sosial, terbukti bahwa bila individu yang paling tidak beruntung merasa terhina, diasingkan atau disisihkan, akan terjadi penggunaan kekuatan, kurangnya solidaritas, rasa tidak aman, dan upaya untuk merebut posisi yang lebih tinggi dan lebih baik dalam tatanan sosial. Sebaliknya, Perspektif Pengayaan, dengan mendefinisikan anak yang memiliki perbedaan dalam belajar dan menghadapi tantangan dalam pendidikannya sebagai titik tolak, maka akan menghasilkan ekspektasi yang lebih positif tentang potensi semua siswa dan memberikan dorongan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih beragam atau lebih “lengkap”.

Praktek Perspektif Pengayaan

Dalam prekteknya, Perspektif Pengayaan dapat diterjemahkan dan diungkapkan melalui materi, metode, kualifikasi staf sekolah dan oleh pemahaman fundamental sekolah tentang proses belajar manusia. Untuk mengimplementasikan Perspektif Pengayaan, staf sekolah harus bersedia melakukan hal-hal sbb: melakukan telaah kritis terhadap sistem persekolahan; memandang guru PLB sebagai sumber belajar bagi semua siswa di sekolah yang bersangkutan; mempertimbangkan untuk memasukkan kemampuan metakognitif sebagai sebuah kurikulum baru untuk keberhasilan semua siswa; dan siap menghadapi berbagai mitos dan resistensi.

(7)

Menurut Perspektif Pengayaan, membawa siswa yang menyandang kecacatan beserta guru khususnya ke sekolah umum dapat bermanfaat bagi komunitas sekolah. Beberapa manfaat tersebut adalah: a) lebih mengutamakan keanekaragaman daripada keseragaman potensi dan kebutuhan anak serta kebutuhan akan pengajaran yang dibedakan; b) mengajar dalam konteks yang relevan versus teoritis; c) meningkatkan kemungkinan pendidik melihat betapa dekat kaitan antara proses pengetahuan dengan pengalaman pribadi anak dalam kehidupannya sehari-hari. Bila sekolah menghargai perbedaan dalam diri anak dan antara satu anak dengan anak lainnya, maka guru mengembangkan

serangkaian pendekatan instruksional baru termasuk memanfaatkan siswa sebagai instruktur dan pendukung sosial satu sama lain (misalnya lihat adaptasi kelompok pembelajaran kooperatif yang dijelaskan dalam Thousand, Villa & Nevin 2001]. Dalam berperan sebagai tutor pembantu, siswa yang menyandang kecacatan maupun tanpa kecacatan mempunyai peluang untuk a) menemukan kekuatannya sendiri dan potensi belajarnya bila mereka membantu siswa lainnya belajar, dan b) menghindarkan diri dari hubungan kompetitif antar teman sebaya, yang terbentuk dalam sistem sekolah

tradisional dan berstrata. Sebuah hipotesis logis, yang terkait dengan Perspektif

Pengayaan, adalah bahwa anak akan berkembang melalui pengajaran dan dukungan dari teman sebayanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Logstrup, “kita manusia tergantung satu sama lain, kita juga mempunyai kekuatan atas satu sama lain dan kita harus belajar menggunakan kekuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat membantu sesama” (Logstrup 1989:73).

Suatu sekolah yang bersatu dan heterogen dapat menciptakan suatu konsep bagi anak agar belajar menjaga satu sama lain. Keahlian ini diterjemahkan menjadi prilaku orang dewasa yang dapat menciptakan kondisi-kondisi untuk demokrasi yang lebih

dikembangkan dengan perhatian utama pada kesejahteraan semua warga negara. Perlu dicatat bahwa pergerakan internasional tentang sekolah, Persatuan Perguruan Tinggi Dunia [United World Colleges] mencantumkan pengasuhan praktis dalam program pendidikan dan metodologikalnya (Peterson 1987).

Guru Khusus sebagai Nara Sumber

(8)

Laporan 1995 dari Pusat Penelitian dan Inovasi Pedidikan E ropa menekankan bahwa integrasi siswa yang berkelainan merupakan proses kompleks yang memerlukan keterlibatan dan motivasi yang kuat, keahlian khusus, dan pemikiran yang baru, di samping faktor-faktor lain (OE CD, 1995). Guru khusus membawa pengetahuan dan sikap profesionalnya. Secara spesifik, guru khusus dilatih untuk berasumsi bahwa setiap individu mempunyai karakteristik unik yang membutuhkan bantuan tertentu dalam proses pembelajarannya; secara teoritis mereka mempunyai sikap untuk memandang keberagaman individu sebagai sumber daya dibanding sebagai masalah. Pendidikan untuk mempersiapkan guru-guru ini memberikan pengajaran dalam bermacam-macam teori pembelajaran, penggunaan berbagai peralatan remedial dan teknologi baru, etika, hak-hak legal, teknik observasi, psikologi perkembangan dan kognitif, dan metode mengajar.

Kompetensi Pribadi:

Kurikulum baru untuk keberhasilan bagi semua.

Manifestasi utama Perspektif Pengayaan adalah pergeseran dalam fokus guru menuju konsep belajar sebagai satu proses yang mencakup belajar substansi isi, pembelajaran pribadi (“sikap”) dan “kompetensi metakognitif” – mengetahui bagaimana seseorang belajar. Pengetahuan metakognitif merupakan indikator seberapa baik seseorang

menggunakan metode-metode dan strategi-strategi untuk mengontrol dan meningkatkan pembelajaran dan pengetahuannya. Kemampuan ini ditunjukkan, misalnya, bila pembaca yang kompeten menguarangi kecepatan membacanya pada saat mereka sampai pada bacaan yang sulit, agar mendapatkan ekstra waktu untuk pemrosesan. Mereka

menyimpulkan apa yang telah dibacanya, mengajukan pertanyaan untuk memperjelas isi, menerjemahkan dan mempertimbangkan kemungkinan hubungan dengan masalah-masalah lain, dan bersikap kritis terhadap teks berikutnya. Banyak siswa yang berkesulitan belajar tampaknya tidak mempunyai strategi metakognitif seperti itu. Jadi, bila mereka didorong agar terus mencoba, mereka akan berulang-ulang gagal sehingga beranggapan bahwa mereka tidak dapat belajar.

Bentuk kemampuan metakognitif tertentu tampak diperoleh selama awal masa kanak-kanak. Pada titik ini, tidak ada hubungan yang jelas antara pengetahuan metakognitif dan kapasitas belajar. Namun hubungan antara keterampilan metakognitif dan prestasi akan tampak jelas setelah beberapa lama, yang menunjukkan bahwa pandangan pribadi mengenai strategi belajar yang berguna merupakan faktor keberhasilan yang signifikan dalam proses pendidikan (misalnya lihat Brown, 1994). Tanggung jawab para pendidik adalah untuk membantu semua anak untuk menjadi protagonis terhadap proses

belajarnya sendiri. Ini dapat dilakukan dengan menciptakan kesempatan bagi siswa untuk mengalami pencapaian penguasaan terhadap sesuatu dan dengan mengarahkan siswa untuk menemukan dan mempraktekan proses di mana tugas atau konsepnya mereka kuasai. Semua pendidik perlu mengembangkan keahliannya lebih mendalam untuk membimbing siswa agar memperoleh kesadaran metakognitif. Keterampilan dan cara pandang siswa mengenai dimensi meta-learning merupakan sebuah kunci untuk memperoleh cara pandang terhadap diri sendiri, kepercayaan diri, penghargaan diri, motivasi dan keinginan yang kuat.

Pembelajaran pribadi dan meta-learning merupakan hal yang sentral untuk melaksanakan Perspektif Pengayaan. Tanpa itu akan banyak anak yang tetap rentan untuk

(9)

meyakini bahwa mereka tidak mampu untuk belajar, sehingga mereka rendah diri, tidak dapat menjadi protagonis atas hidupnya sendiri.

Mitos dan Perspektif Pengayaan

Penolakan terhadap Perspektif Pengayaan akan datang dari berbagai sumber, termasuk dari keyakinan yang ada mengenai orang-orang yang berkesulitan belajar. Untuk

mengilustrasikan bagaimana perspektif pembelajaran dapat membawa perubahan tentang keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat, ingat bahwa dahulu diyakini bahwa orang yang tunarungu tidak dapat berbicara karena gangguan intelektual dan perilaku, dan hal ini menjustifikasi orang untuk mengucilkan para penyandang tunarungu dari aktivitas sosial. Seorang filosof, Cardano (1501-1575) menentang pandangan ini dengan memperkenalkan anggapan bahwa indera-indera dapat saling menggantikan satu sama lain; yaitu bila pendengaran terganggu, indera lain dapat menggantikannya (Befring 1994). Cardano menyatakan bahwa setiap penyandang tunarungu total perlu belajar untuk “mendengar dengan membaca dan berbicara dengan menulis;” dan sekolah untuk tunarungu yang pertama dibangun didasari oleh teori ini. Sekarang, tidak ada yang menganggap bahwa kehilangan pendengaran diasosiasikan dengan keterbelakangan mental atau ketidakmampuan untuk belajar. Namun sepanjang sejarah, pandangan-pandangan negatif dan takhayul mengenai berbagai macam kecacatan merupakan pengesahan atas pelecehan kekuasaan primitif, pemisahan sosial dan

ketidakpedulian pendidikan. Masih relatif baru bahwa fondasi internasonal telah disahkan untuk memasukkan orang-orang yang menghadapi tantangan kognitif ke dalam konteks pendidikan (misalnya PBB, 1996, asosiasi publik dan formal bagi kesempatan belajar dan harkat manusia). Kekuatan kedua yang bertentangan dengan Perspektif Pengayaan adalah pandangan bahwa kompetisi penting bagi pembelajaran. Dalam praktek pendidikan, kompetisi sering melegitimasi metode evaluasi komparatif di sekolah, praktek

penyaringan mahasiswa di Universitas, dan semua jenis upaya penelusuran, stratifikasi, pemilahan dan eksklusi (misalnya program dan sekolah untuk anak berbakat). Kompetisi di sekolah tumbuh dengan subur meskipun ada bukti empiris dan pengalaman yang menunjukkan manfaat relatif dari penerapan metode pembelajaran dan lingkungan yang koperatif (Kohn, 1986).

Kohn (1986) menekankan bahwa integritas pribadi dan standar etnis yang tinggi dikembangkan terutama melalui interaksi dan berbagi tanggung jawab, dan dapat terganggu jika orang belajar untuk menganggap sesama manusia sebagai saingan karena mereka harus terus membuktikan bahwa mereka lebih baik dibandung yang lain. E tika dan praktek persaingan sering menimbulkan hambatan yang besar bagi sekolah yang berusaha mempromosikan konsep pendidikan inklusif dan sekolah terpadu. Sebaliknya, sebuah Perspektif Pengayaan memerlukan dan tergantung pada sebuah konteks

pembelajaran yang non-kompetitif.

Kesimpulan

(10)

bahwa apa yang secara instruksional baik bagi mereka yang rentan dalam hal pendidikan, juga baik bagi mereka yang lebih mudah untuk belajar. Dari Perspektif Pengayaan, sebuah sekolah dipandang sebagai konteks sosial di mana setiap orang memperoleh manfaat pendidikan dari kebersamaan di dalam sebuah komunitas. PLB, jika berakar pada Perspektif Pengayaan, murid-murid dan gurunya yang dulunya terpisah dan terisolasi, kini tercakup sebagai anggota yang dibutuhkan dan penting dari komunitas pendidikan umum. Secara ringkas, Perspektif Pengayaan memperkuat upaya-upaya untuk membangun program pendidikan yang benar-benar terintegrasi dan inklusif.

Jelas bahwa untuk mengaktualisasikan Perspektif Pengayaan akan membutuhkan perubahan program pendidikan guru, sehingga memperhatikan dan mendukung orang lain itu menjadi bagian dari kurikulum, baik bagi anak maupun orang dewasa di sekolah. Ini berarti membantu siswa melepaskan diri dari kungkungan tradisi pemisahan dan persaingan dalam pendidikan di sekolahnya sehingga mereka melihat dan merasakan bahwa semua teman sekelasnya mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepada kelompok kelasnya. Ini dilakukan dengan membantu guru membuat sebuah iklim kelas dan sekolah di mana semua orang dapat memperoleh manfaat dengan berbagi pengalaman satu sama lainnya. Untuk mengaktualisasikan teori berbagi tersebut akan memerlukan penumbuhan kesadaran pada diri anak maupun anggota komunitas lainnya mengenai prinsip-prinsip dasar moral dan sosial dari etos pendidikan inklusif. Jika sebuah sekolah menerima Perspektif Pengayaan ini, maka akan lebih besar kemungkinannya bagi semua anak untuk hidup dalam keberadaan yang lebih bermartabat, memperoleh

persiapan yang memadai untuk masa dewasanya, dan akan lebih menghargai nilai-nilai sosial dan budaya. Perspektif Pengayaan menjanjikan penghapusan isolasi dan jaminan atas hak-hak anak penyandang cacat, dan mengakui keragaman siswa sehingga akan dipandang sebagai aset yang berharga, bukan sebagai pengganggu situasi belajar.

Daftar Pustaka

Befring, E. 1990. Special education in Norway. International Journal of Disability, Development and Education, 37(2): 125-136

Befring, E. 1994. Læring og skole: Vilkår for eit verdig liv [Learning and School: Conditions for a Dignified Life]. Oslo, Det Norske Samlaget.

Befring, E. 1996. Skolens mote med barn. Behov for pedagogisk nyorientering [The School and our Children: The Needs for New Educational Perspective]. In I.M. Helgeland (ed.). Forebyggende arbeid iskolen-en pedagogisk utfordring [Preventative Measures in School. An Educational Challenge]. Oslo, Kommuneforlaget: 15-34.

Befring, E. 1997. “The Enrichment Perspective- A Special Educational Approach in a Inclusive School”, In: Remedial and Special Education, Vol.18, no 3 1997:182-187.

Befring, E. et.al.. 2000. “From Normalization to Enrichment” In: Villa, R.A. & Thousand, J.S. Restructuring for Caring and Effective Education, Paul H. Brookes Publ..Co, Baltimore:558-574.

(11)

Birkemo, Asbjørn. 2000. Motivasjon og læring (Motivation and Learning). Oslo, Pedagogisk Forskningsinstitutt, Universitetet i Oslo.

Brown, A. L.. 1994. The Advancement of Learning. Educational Researcher.8:4-12.

Egelund, N., Ertmann, B., & Jorgensen, P.S.. 1993. Risikobørnset fra en

forskningssynsvinkel [Children at Risk Considered from a Research Point of View]. Copenhagen, Det Tverministerielle Børneudvalg.

Evans, P. 1995. Conclusions and Policy Implications. In P. Evans (Ed.).Our Children at Risk. Paris, Center for Educational Research and Innovation, Organization for Economics Cooperation and Development: 137-145.

Helland, U. 1995. Møteplass Fjell [Meeting place Fjell School], SCHOLA (The Journal of the Norwegian Ministry of Education and Research) no. 3:11-14.

Kohn, A. 1986. No Contest: The Case against Competition. Boston, Hougton Mifflin.

Lassen, Liv 1999. Parenting Children with Rare Progressive Disabilities: A study of Parents’ Needs Related to Stress and Coping. Oslo, University of Oslo, Department of Special Needs Education.

Løgstrup, K.E.. 1989. Den etiske fordring [The Ethical Demand]. Copenhagen, Gyldendahlske Boghandel.

Organozation for Economics Cooperation and Development. 1995. Integrating Students with Special Needs into Mainstream School, Paris, Center for Educational Reseach and Innovation, Author.

Peterson, A. 1987. School Across Frontiers. Adriatics, Iyaly, United World Colleges.

Persson, B. 1995. Specialpedagogisk arbete i grundskolan [Special Educational Work in the Elementary School]. Gøteborgs Universtet, International Standart Serial Number 1104-6759.

Skaalvik, E.. 1996. Barns selvoppfatning-skolen ansvar [Children’s Self Concept: The School’s Responsibility] Oslo, Tano.

Skårbrevik, Karl Johan. 2001. Spesialundervisning i grunnskolen-omfang og ressursbruk. (Special Education in Elementary School) Article in Norsk Pedagogisk Tidsskrift, 2-3 2001:220-230.

Thousand, J. S., Villa, R. A., & Nevin, A. I.. 2001. Creativity and Collaborative Learning: A Practical Guide to Empowering Students and Teachers. Baltimore, Paul H. Brookes.

United Nations. 1996. Convention on Economic, Social and Cultural Rights. New York.

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga cara tersebut telah diemplementasikan ke dalam peraturan melalui Peraturan Menteri Ke- lautan dan Perikanan Republik Indonesia No- mor Per.12/Men/2012 tentang

Sehingga perlunya suatu bentuk kegiatan pendampingan masyarakat untuk lebih memasyarakatkan tanaman obat keluraga (TOGA) ini sebagai suatu bentuk kemandirian

Apabila seseorang dilarang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi, maka secara rasional lebih baik ia meminjamkannya kepada kalangan menengah dan

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala

M eteorologi mengenal sistem skala dalam melakukan sebuah analisis. Skala global merupakan skala meteorologi yang paling luas. Skala global dapat mempengaruhi fenomena meteorologi

Nilai kini kewajiban imbalan pasti ditentukan dengan mendiskontokan estimasi arus kas di masa depan dengan menggunakan tingkat bunga obligasi pemerintah (dikarenakan tidak

Perusahaan Belanda, yang kini hampir selama satu abad memperluas perdagangan- nya di Kerajaan Siam di bawah nenek moyang Duli Yang Maha Mulia Paduka Raja yang sangat luhur,

Kemudian cetik niskala adalah meracun korban atau orang dengan sarana yang tidak kelihatan.Cetik ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu Leak yang sudah