• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERIMAAN DIRI REMAJA PUTRI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN AKIBAT KEGEMUKAN PADA MAHASISWI PRODI KEPERAWATAN STIKES BETHESDA YAKKUM 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PENERIMAAN DIRI REMAJA PUTRI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN AKIBAT KEGEMUKAN PADA MAHASISWI PRODI KEPERAWATAN STIKES BETHESDA YAKKUM 2016."

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERIMAAN DIRI REMAJA PUTRI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN AKIBAT KEGEMUKAN PADA MAHASISWI PRODI KEPERAWATAN STIKES BETHESDA

YAKKUM 2016

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Erry Hermawan NIM 12104244036

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

PENGARUH PENERIMAAN DIRI REMAJA PUTRI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN AKIBAT KEGEMUKAN PADA MAHASISWI PRODI KEPERAWATAN STIKES BETHESDA

YAKKUM 2016

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Erry Hermawan NIM 12104244036

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Janganlah memimpikan hal yang kecil karena mimpi itu tak mempunyai

kekuatan untuk menggerakkan hati manusia”

(Goethe)

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu

tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu

tidak diberikan sama sekali”

(Tan Malaka)

Hidup kita akan meningkat hanya jika kita mau mengambil kesempatan, dan

risiko pertama dan paling sulit yang kita alami adalah jujur pada diri kita sendiri”

(Walter Anderson)

Jangan berharap masalahnya akan menjadi lebih mudah. Berharaplah bahwa

Anda punya kemampuan yang lebih baik”

(Jim Rohn)

Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Namun terkadang kita melihat dan

menyesali pintu tertutup tersebut terlalu lama hingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka”

(Alexander Graham Bell)

Kehendak untuk melakukan sesuatu memancar dari pengetahuan yang dapat

kita lakukan”

(7)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua saya, bapak dan ibu: kasih sayang, doa, perhatian, nasihat, motivasi, dan dukungan yang senantiasa tak hentinya engkau curahkan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Almamaterku: Universitas Negeri Yogyakarta khususnya Program Studi Bimbingan dan Konseling.

(8)

PENGARUH PENERIMAAN DIRI REMAJA PUTRI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN AKIBAT KEGEMUKAN PADA MAHASISWI PRODI KEPERAWATAN STIKES BETHESDA

YAKKUM 2016

Oleh Erry Hermawan NIM 12104244036

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengetahui ada tidaknya pengaruh penerimaan diri remaja putri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan di Stikes Bethesda Yakkum.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis hubungan kausal sebab akibat. Populasinya adalah 183 mahasiswi D3 maupun S1 Keperawatan. Jumlah sampel 126 mahasiswi. Teknik sampling dengan

proportional stratified random sampling. Data diperoleh menggunakan skala penerimaan diri dan skala tingkat kecemasan akibat kegemukan. Uji validitas menggunakan expert judgement dan rumus Product Moment dari Pearson’s. Uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas skala penerimaan diri sebesar 0.848 dan skala tingkat kecemasan akibat kegemukan sebesar 0.870. Analisis data menggunakan teknik regresi.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh penerimaan diri remaja putri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan di Stikes Bethesda Yakkum. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 dengan persamaan regresi Y= -1,038X + 242,74. Hasil diperoleh nilai konstanta sebesar 242,74 dan nilai koefisien regresi sebesar -1,038. Persamaan regresi digunakan untuk memprediksi besarnya skor tingkat kecemasan akibat kegemukan berdasarkan perubahan skor penerimaan diri. Nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,96 diartikan sumbangan efektif variabel penerimaan diri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan sebesar 96% sedangkan 4 % dipengaruhi oleh faktor lain.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Penerimaan Diri Remaja Putri terhadap Tingkat Kecemasan Akibat Kegemukan pada Mahasiswi Prodi Keperawatan Stikes Bethesda Yakkum 2016”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini bisa terselesaikan, tidak lepas dari kontribusi semua pihak yang memberikan doa, bimbingan, bantuan dan arahan, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah menerima dan menyetujui judul ini.

4. Dosen Pembimbing Bapak Sugiyanto, M. Pd. yang dengan teliti memeriksa, senantiasa memberikan masukan, selalu sabar dan memberikan semangat dalam membimbing, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Pimpinan Stikes Bethesda Yakkum, Jl Johar Nurhadi No 6, Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian.

6. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberikan doa dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Adik tercinta (Elisabet Febriani) dan mb Alberta Hartati, Amd Kep. yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi dengan baik.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ...…. iv

MOTTO ... ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... vi

ABSTRAK ... ...vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...10

C. Batasan Masalah ...11

D. Rumusan Masalah ...11

E. Tujuan Penelitian ...11

F. Manfaat Penelitian ...11

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Kecemasan Akibat Kegemukan ...13

1. Kajian tentang Kecemasan ...13

a. Pengertian Kecemasan ...13

b. Gejala dan Karakteristik Kecemasan ...14

c. Aspek-Aspek Kecemasan ...16

(12)

2. Kajian tentang Kegemukan ...19

a. Pengertian Kegemukan ...19

b. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kegemukan ...21

3. Kecemasan Akibat Kegemukan ...22

B. Kajian Penerimaan Diri ...23

1. Pengertian Penerimaan Diri ...23

2. Cara Menentukan Diri Supaya Diterima Orang Lain ...24

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri ...25

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...27

5. Dampak Penerimaan Diri...28

C. Kajian tentang Remaja Akhir ...30

1. Pengertian Remaja Akhir ...30

2. Ciri-Ciri Remaja Akhir ...32

3. Perkembangan dan Pertumbuhan Remaja Akhir ...35

4. Remaja Putri dan Penerimaan Diri ...36

D. Kerangka Berpikir ...37

E. Hipotesis ...39

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...40

B. Variabel Penelitian ...40

1. Identifikasi Variabel ...39

2. Hubungan Antar Variabel ...40

C. Definisi Operasional Variabel ...42

C. Populasi dan Sampel Penelitian ...42

D. Tempat dan Waktu Penelitian ...45

E. Teknik Pengumpulan Data ...45

F. Instrumen Penelitian ...46

G. Uji Coba Instrumen Penelitian ...51

1. Uji Validitas Instrumen ...51

(13)

E. Teknik Analisis Data ...55

1. Uji Persyaratan Analisis ...55

a. Uji Normalitas ...55

b. Uji Lineritas ...56

2. Pengujian Hipotesis ...56

a. Analisis Regresi ...56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil Penelitian…………...………58

1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….58

2. Deskripsi Populasi dan Sampel Penelitian ... ...58

3. Deskripsi Data dan Kategorisasi ... ...59

B. Hasil Penelitian ... ...64

1. Pengujian Persyaratan Analisis ... ...64

a. Uji Normalitas ... ...64

b. Uji Linearitas ... ...65

2. Pengujian Hipotesis ... ...66

a. Analisis Regresi ... ...67

C. Pembahasan ... ...69

D. Keterbatasan Penelitian ... ...73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... ...74

B. Saran ... ...75

DAFTAR PUSTAKA………...77

(14)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian ... 43

Tabel 2. Distribusi Sampel Penelitian... 45

Tabel 3. Pola Opsi Alternatif ResponModel Skala Likert ………47

Tabel 4. Ringkasan Analisis Statistik Deskriptif Variabel Kecemasan Akibat Kegemukan ... 60

Tabel 5. Batas Interval Kategorisasi Kecemasan Akibat Kegemukan... 60

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kecemasan Akibat Kegemukan ... 61

Tabel 7. Ringkasan Analisis Statistik Deskriptif Penerimaan Diri ... 62

Tabel 8. Batas Interval Kategorisasi Penerimaan Diri ... 63

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Penerimaan Diri... 63

Tabel 10. Uji Normalitas... 65

(15)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Hubungan antar Variabel ... 41 Gambar 2. Diagram Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kecemasan Akibat

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Kisi-Kisi Skala Penerimaan Diri Remaja Putri sebelum

Ujicoba………..…. 81

Lampiran 2. Kisi-Kisi Skala Tingkat Kecemasan Akibat Kegemukan sebelum Ujicoba………..………...83

Lampiran 3. Kisi-Kisi Skala Penerimaan Diri Remaja Putri setelah Ujicoba ...85

Lampiran 4. Kisi-Kisi Skala Tingkat Kecemasan Akibat Kegemukan setelah Ujicoba ………..………....87

Lampiran 5. LembarExpert Judgement ... .... 89

Lampiran 6. Skala Uji Coba ... ...112

Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen ... ...125

Lampiran 8. Skala Penelitian ... ...156

Lampiran 9. Data Hasil Penelitian ... ...165

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan hidup seorang manusia terbagi dalam beberapa periode transisi atau masa saat seseorang dalam kandungan, masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan masa lansia. Salah satu periode perkembangan yang menarik untuk dibahas adalah masa remaja. Para ahli perkembangan manusia menyebut masa remaja sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Batasan usia remaja adalah 12-21 tahun (F. J. Monks, 2006). Kemudian usia remaja adalah 12-24 tahun WHO, 2008 (dalam Siti Nina Inayah Rohmaniah, 2015: 1). Walaupun terdapat perbedaan batasan usia remaja, sebagai pedoman umum batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan berbagai pertimbangan (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006). Untuk menjadi dewasa mengutip pendapat Erikson, maka remaja akan melalui masa kritis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self identity).

(18)

Pada masa remaja, manusia mengalami perkembangan yang pesat fisik, psikis, maupun sosialnya (Depkes RI, 2007). Perubahan yang paling mencolok adalah penampilan fisik yang secara alami akan terjadi. Namun, disisi lain terkadang remaja merasa malu ataupun cemas akibat perubahan keadaan tubuh. Dengan kondisi tubuh yang sudah ada, remaja akhir dituntut untuk dapat menerima. Bila merasa tidak puas terhadap kondisi tubuh akan muncul gejolak emosional dan terkadang disertai muncul upaya agar mendekati ideal.

Perubahan fisik yang terjadi pada remaja putri karena mulai diproduksi hormon-hormon seksual yang mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan sistem reproduksi yang terkadang ditandai pembesaran payudara (Soetjiningsih, 2007). Perubahan yang paling terlihat jelas pada remaja putri diantaranya payudara, panggul dan paha, tumbuh rambut di sekitar ketiak dan sekitar alat kelamin, bertambahnya berat badan dan tinggi badan, pertumbuhan tulang dan otot serta kematangan organ seksual sehingga mengalami menstruasi (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006).

(19)

Pada tahun 1998, WHO menyatakan adanya epidemik global dari obesitas. Prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang. Perkembangan teknologi dengan penggunaan kendaraan bermotor dan berbagai media elektronik memberi dampak berkurangnya aktivitas fisik dalam keseharian. Disamping itu kecenderungan individu tidak tahan lapar terlebih didukung ketersediaan aneka makanan. Kemudahan konsumsi aneka makanan dapat menimbulkan gaya hidup obsesogenik (keadaan yang memicu badan menjadi semakin gemuk).

Adapun jenis aneka makanan itu yang mengandung gula atau kalori tinggi cenderung akan mempengaruhi individu tumbuh menjadi seorang yang gemuk. Demikian pula, kurangnya aktivitas fisik pada diri individu, yang ditandai sikap yang pasif (misalnya, menganggur, banyak tidur, banyak nonton televisi, kurang olahraga) maka hal ini akan membuat individu menjadi seorang berbadan gemuk, kondisi emosi yang tidak stabil, misalnya individu mengalami kegagalan dalam studi, kematian orang yang dicintai, putus hubungan dengan pacar. Kondisi-kondisi tersebut perasaan sedih, stress, kecewa, tidak dapat tidur, cemas atau khawatir, dan sebagainya. Untuk mengatasi kondisi tersebut remaja melakukan pelarian dengan mengkonsumsi makanan berkalori atau berkolesterol tinggi, sehingga dapat mengakibatkan kegemukan (Agoes Dariyo, 2004).

(20)

Obat-obat tersebut bermunculan di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Biasanya dijual dalam berbagai kemasan dan bentuk mulai dari bentuk krim, tablet, liquid. Kemunculan berbagai obat penurun lemak ini disebabkan banyaknya konsumen yang tertarik membelinya, terutama bagi individu yang mengalami kegemukan. Dimungkinkan terkadang kegemukan menimbulkan ketakutan, kecemasan selain berbahaya bagi kesehatan juga dapat membuat seseorang tidak menarik dari segi fisik.

Selain itu ikon wanita kurus dan berkulit putih yang ditampilkan oleh media mengakibatkan remaja putri cenderung membandingkan dirinya dengan wanita yang ada pada media tersebut dan seringkali membuat remaja putri tersebut merasa tidak puas dengan tubuhnya. Widyarini, 2005 (dalam Tiurma Yustisi Sari, 2009: 7)

Media massa secara terus-menerus memunculkan figur-figur yang ideal yang diharapkannya, termasuk remaja putri di Indonesia. Tayangan-tayangan di televisi, seperti iklan dan sinetron yang sebagian besar menunjukkan bahwa wanita cantik adalah wanita yang langsing, berkulit putih bersih, serta berambut lurus dan hitam akan mempengaruhi penilaian remaja putri di Indonesia terhadap tubuhnya. Hernita, 2006 (dalam Tiurma Yustisi Sari, 2009: 8)

(21)

Departemen Kesehatan pada tahun 2010 sebesar 21,7 persen penduduk diatas usia 18 tahun mengalami obesitas. Prevalensi obesitas lebih banyak dialami perempuan sekitar 26,9 sedangkan laki-laki memiliki prevalensi 16,3. Sementara untuk prevalensi kurus sebesar 12,6 dan prevalensi normal sebesar 65,8. (www.gizi.depkes.go.id; diunduh tanggal 12 Februari 2016)

Obesitas menurut klinis adalah suatu kondisi tubuh abnormal dimana terdapat penumpukan lemak pada jaringan adipose sampai pada taraf mengganggu kesehatan. Soegih, 2002 (www.tutorialkuliah.blogspot.co.id). Sementara obesitas menurut psikologis adalah simpanan energi yang berlebihan dalam bentuk lemak yang berdampak buruk pada kesehatan Sarafino, 1998 (dalam Ade Rahmawati Siregar, 2006: 4). Obesitas terjadi karena adanya akumulasi jaringan lemak dibawah kulit yang berlebihan di

seluruh tubuh. Jika “tempat” yang tersedia dibawah kulit sudah penuh dengan

lemak, tidak menutup kemungkinan lemak itu juga dapat menempati berbagai organ lainnya seperti jantung dan ginjal sehingga beresiko terhadap penyakit kardiovaskuler, tekanan tinggi dan lain-lain Soegih, 2002 (www.tutorialkuliah.blogspot.co.id).

(22)

Sebagian remaja putri di lingkungan masyarakat mengalami masalah kegemukan. Menurut Conger & Peterson dalam Sarafin (1998), pada masa remaja biasanya mulai bersibuk diri terhadap penampilan fisik (physical appereance) dan ingin mengubah penampilan mereka dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah-masalah kulit, ingin memiliki tubuh yang ideal, ingin lebih tinggi atau pendek dan tentu saja memiliki berat badan ideal, keinginan ini disebabkan karena remaja sering merasa tidak puas terhadap penampilan dirinya. (www. repository.usu.ac.id)

Tuntutan lingkungan seringkali mendorong remaja untuk berjuang keras menjadi apa yang diharapkan oleh lingkungan dan bila berhasil mereka akan menikmati masa remaja yang indah dan hanya sedikit mengalami masalah serta konflik . Dalam penelitian yang dilakukan Peterson, dkk. (dalam Papalia Olds dan Feldman, 1998) bahwa gejala-gejala depresi banyak ditemukan remaja wanita (antara 15-40 persen) daripada remaja laki-laki (10 - 35 persen). Alasannya ialah biasanya remaja wanita kurang dapat bersikap asertif yaitu kurang mampu mengungkapkan perasaan ketika menghadapi permasalahan. (Agoes Dariyo, 2004)

(23)

sering menimbulkan kesulitan bagi remaja untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungannya yaitu teman sebaya, orangtua, dan saudara sekandungnya. Agar dapat tampil semenarik mungkin, maka remaja mengupayakan supaya tubuhnya ramping dan menghindari kegemukan.

Remaja seringkali berpendapat bahwa seorang wanita yang memikat tidak hanya memiliki tubuh yang langsing dengan berat badan yang proporsional. Mereka memilih pendapat seperti itu karena banyak contoh seperti artis, bintang iklan, model, penyanyi dan banyak lagi wanita yang menjadi idola mereka memilih badan kurus dan tinggi semampai. Sebaliknya wanita yang berbadan subur atau gemuk jarang diidolakan karena dianggap kurang menarik dan kurang lincah untuk dapat melakukan berbagai aktivitas yang sangat identik dengan dunia remaja.

Remaja yang memiliki badan gemuk juga sering mendapatkan olok-olok dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga sering disebut dengan kata

“ndut” yang merupakan kependekan dari kata gendut atau gemuk. Jika hal

tersebut berkelanjutan akan meningkatkan terjadinya perasaan cemas dan berkurangnya rasa percaya diri terutama saat sedang bersama dengan teman sebaya yang berlainan jenis, ia merasa tidak menarik dan tidak mungkin ada lawan jenis yang menyukainya.

(24)

mempersepsikan mengenai apa yang disebut dengan kata gemuk, sehingga meskipun sebenarnya seorang remaja memiliki badan yang tidak begitu gemuk. Ia terus-menerus tetap merasa dirinya gemuk. Bahkan ia merasa perlu untuk minum obat pelangsing. Pengunaan yang tidak tepat guna ataupun secara berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti anorexia nervosa, gangguan makan (eating disorder), penyakit maag, gangguan keseimbangan gizi (mal-nutrisi) dan masih banyak lagi. Penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi Amerika Serikat menyatakan atlit pesenam lebih cenderung mengalami gangguan pola makan. Prevalensi terjadinya bulimia ini adalah 2 dari 10.000 orang, atau diramalkan mencapai 19% remaja wanita mengalami gangguan tersebut (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006).

(25)

Berikutnya yang dirasakan oleh subjek mahasiswi II (TH), menyatakan bahwa penerimaan kondisi tubuhnya menjadi tanggung jawab secara pribadi. Dia juga sering meminta saran dari teman yang memiliki masalah yang sama. Individu tersebut merasa kurang percaya diri karena menanggap kondisi badannya memang berlebih. Disamping itu, dia merasa lebih takut efek sampingnya dimasa depan saat mencoba obat penurun lemak.

Namun, hasil observasi dan wawancara dari mahasiswi III (CP) menunjukkan bahwa dia bertanggungjawab secara mandiri atas keadaan tubuhnya yang gemuk. Keadaan tersebut membuatnya lebih sering mendiskusikan perihal makan dan berat badan dengan orang-orang yang memiliki masalah yang sama. Dia berulang kali bercermin memilih pakaian yang pas sesuai kondisi badan karena sadar diri bahwa dirinya memang gemuk. Individu tersebut merasa tidak menyenangi tubuhnya yang berlekuk dan tidak proporsional yakni perut, paha, dan pantat. Meskipun ada ketidaksenangan terhadap bagian tubuhnya tersebut namun dia justru sering bercanda dengan

mengatakan ukuran badan sudah mirip “babi” yang penting baju masih muat.

Saat lagi sibuk, individu tidak melakukan diet. Namun saat santai dan mood

dalam keadaanbaik, dia melakukan diet. Individu tersebut biasanya canggung, ragu dan berbuat salah karena kurang berhati-hati. Kadang-kadang dia pun merasa stress.

(26)

akibat kegemukan remaja putri. Hal ini dengan pertimbangan bahwa remaja akhir umumnya memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMU dan mungkin sudah bekerja.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut.

1. Remaja putri belum bisa menerima kondisi tubuhnya yang mengalami kegemukan.

2. Adanya kecemasan pada remaja putri saat berpakaian tidak sesuai dengan bentuk dan ukuran badan akibat kegemukan.

3. Dengan kondisi badan obesitas (kegemukan) remaja putri ingin menjadi ideal, lebih kurus dari sebelumnya.

4. Remaja putri merasa terganggu karena sering diejek dengan kondisi badan yang gemuk.

C. Batasan Masalah

(27)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka rumusan masalah, apakah ada pengaruh antara penerimaan diri remaja putri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya pengaruh antara penerimaan diri remaja putri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan di Stikes Bethesda Yakkum.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi, terutama psikologi perkembangan, psikologi remaja, dan psikologi wanita. Selain itu, sebagai literatur mengenai pengaruh antara penerimaan diri remaja putri terhadap tingkat kecemasan akibat kegemukan.

2. Secara praktis a. Bagi Responden

(28)

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai pertimbangan dalam melakuan strategi intervensi pemecahan masalah kecemasan pada remaja putri.

c. Bagi Konselor dan Psikolog

(29)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian tentang Kecemasan Akibat Kegemukan (Obesitas)

1. Kajian tentang Kecemasan

a. Pengertian Kecemasan

Lazarus 1996 (dalam Anggraini, 2001) berpendapat bahwa kecemasan merupakan reaksi individu terhadap hal-hal yang dihadapinya dimana kecemasan merupakan suatu perasaan yang menyakitkan seperti kegelisahan, kebingungan, dan lain-lain yang berhubungan dengan aspek subjektif emosi. Lebih jauh dikatakan bahwa kecemasan juga merupakan gangguan kompleks yang disertai dengan perubahan fisiologis. Kecemasan juga merupakan pengalaman yang sama disertai dengan perasaan tidak berdaya dan tidak menentu, sehingga dirasakan sangat mengganggu.

(30)

stimulusnya, pada perasaan takut stimulusnya lebih spesifik akan terjadi pada saat itu juga, misalnya perasaan takut pada kecoa dan kucing.

Kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D. Gunarsa, 2008: 27).

Berpijak dari uraian pendapat Lazarus, dapat disimpulkan bahwa reaksi kecemasan muncul karena adanya stimulus yang dianggap tidak menyenangkan oleh individu ataupun mengganggu ditandai adanya perubahan fisiologis.

b. Gejala dan Karakteristik Kecemasan

Gejala-gejala yang bersifat fisik diantaranya adalah, jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dada sesak. Gejala yang bersifat mental adalah : ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan (Siti Sundari, 2004: 62).

(31)

Fauziah & Julianti Widury, 2005: 74) menyebutkan bahwa takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu. Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi individu.

Kholil Lur Rochman (2010: 103) mengemukakan beberapa gejala-gejala dari kecemasan antara lain.

1) Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut merupakan bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.

2) Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat

irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi.

3) Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of

persecution (delusi yang dikejar-kejar).

4) Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,

banyak berkeringat, gemetar, dan seringkali menderita diare.

5) Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan

(32)

1) Gejala fisik dari kecemasan yaitu, kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung.

2) Gejala behavioral dari kecemasan yaitu, berperilaku menghindar,

terguncang, melekat dan dependen.

3) Gejala kognitif dari kecemasan yaitu, khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi.

Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan gejala-gejala kecemasan yang muncul dari seseorang dapat berupa gejala fisik, gejala behavioral, dan gejala kognitif.

c. Aspek-aspek kecemasan

Aspek-aspek kecemasan menurut Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, (2004) diantaranya yaitu.

(33)

2) Aspek Pemikiran, Respon terhadap kecemasan dalam pikiran manusia. Seseorang yang sedang mengalami kecemasan cenderung memikirkan bahaya yang berlebihan, ketidakmampuan berkonsentrasi atau sulit membuat keputusan, sulit tidur, menganggap diri sendiri tidak mampu, bantuan dianggap tidak perlu, khawatir dan berpikir tentang hal yang buruk.

3) Aspek Perilaku, Reaksi kecemasan yang berupa perilaku manusia terhadap ancaman dengan menghindari, misalnya gelisah, menggigit jari, meninggalkan situasi saat kecemasan mulai terjadi, mengalihkan dengan hal lain ketika cemas, seolah-olah dalam keadaan baik, mencoba melakukan banyak hal secara sempurna untuk mencegah bahaya.

4) Aspek Suasana Hati, Seseorang yang mengalami kecemasan suasana hati cenderung menjadi gugup menjadi murung, jengkel, panik, dan cemas.

Berdasarkan teori yang disampaikan Greenberger dan Padesky dapat disimpulkan aspek kecemasan meliputi aspek fisik, aspek pemikiran, aspek perilaku, dan aspek suasana hati.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap keadaan tubuh 1) Harga Diri

(34)

penghargaan seseorang atas dirinya sendiri termasuk keadaan tubuhnya. Apabila seorang individu memiliki tingkat penghargaan yang tinggi terhadap tubuhnya. Sedangkan individu yang memiliki penghargaan rendah terhadap dirinya akan memiliki penilaian yang negatif terhadap tubuhnya. Penilaian yang negatif terhadap keadaan tubuhnya itulah yang menjadikan individu mengalami kecemasan terhadap keadaan tubuhnya (Coopersmith, dalam R. B. Burn 1998 ). 2) Kecacatan Tubuh

Adanya cacat tubuh dapat mengakibatkan seseorang cemas terhadap keadaan tubuhnya. Hal ini terjadi karena adanya tampilan fisik yang berbeda dengan keadaan tubuh normal. Keadaan tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak puas, kecewa, tertekan dengan keadaan tubuhnya terlebih keadaan tersebut menyangkut penyesuaian sosial. Oleh karena itu, individu yang memiliki cacat tubuh cenderung memiliki kecemasan terhadap keadaan tubuhnya. Perasaan cemas terhadap keadaan individu yang mengalami cacat tubuh akan semakin menjadi jika upaya agar diterima secara total dan kekaguman dari orang lain tidak diperoleh (Evy Tjahjono, 1998).

3) Perubahan Tubuh yang Pesat

(35)

perubahan tubuh yang pesat, misalnya gigi yang terlalu besar bagi hidung dan bibir yang mungil, sehingga menimbulkan kesan wajah yang aneh, juga kaki yang terlalu panjang untuk tubuh yang kurus.

Berdasarkan uraian di atas dapat diungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap keadaan tubuh yaitu harga diri, kecacatan tubuh, dan perubahan tubuh yang pesat. 2. Kajian tentang Kegemukan

a. Pengertian Kegemukan

Kegemukan (obesitas) yaitu kelebihan berat badan dari ukuran normal yang sebenarnya. Kegemukan biasanya digunakan untuk menunjukkan adanya penumpukan lemak yqang berlebih. Obesitas mengacu pada kelebihan berat badan yang melebihi antara 10% - 20 % dari berat normalnya, sedangkan over-weight melebihi 20% dari berat badan normalnya. Sarafino, 1994 (dalam Agoes Dariyo, : 2004: 24). Adapun formula menentukan berat badan normal sama dengan tinggi badan dikurangi 100 (bilangan konstanta).

Lebih lanjut menurut Mary Courtney ( 1997) kegemukan (obesitas) berhubungan dengan kelebihan berat badan dari berat badan ideal. Obesitas juga berhubungan dengan kelebihan lemak tubuh. Disini obesitas didefinisikan sebagai kelebihan berat badan lebih dari 120 % berat badan ideal (BBI) ada 3 derajat obesitas.

1) Ringan : 120 % - 140 % BBI

(36)

3) Berat : lebih dari 200 % BBI

Lemak sebagian berasal dari hormon yang muncul bersamaan dengan pematangan kelamin remaja dan sebagian lagi berasal dari nafsu makan yang besar diikuti dengan pertumbuhan tubuh yang pesat. Penumpukan lemak dapat dijumpai pada perut, sekeliling puting susu, rahang, leher, pipi, pinggul, dan pangkal paha.

Pada remaja tulang tubuh akan memanjang, tulang bertumpu di persendian. Kemudian akan terjadi pengerasan tulang diiringi dengan pembentukan dari pembesaran otot. Kedua hal tersebut akan menambah berat tubuhnya. Pada tahap akhir masa kanak-kanak ototnya kira-kira seperempat berat badannya dan pada masa pematangan kehidupan kelaminnya, otot akan mencapai 45 persen dari seluruh berat badannya.

Kegemukan (obesitas) bisa menjadi suatu masalah yang menakutkan terutama bagi seorang wanita. Seseorang yang memiliki tubuh gemuk menjadi kurang leluasa untuk bergerak, mudah merasa lelah saat melakukan aktivitas yang cukup berat, kadang merasa nyaman dalam menggunakan pakaian bahan-bahan tertentu, banyak mengeluarkan keringat dan masih banyak lagi keluhan.

(37)

berat badan, jika lebih dari 20 % berat badan ideal baginya maka orang tersebut akan dikategorikan obesitas.

b. Faktor-faktor penyebab terjadinya kegemukan

Menurut para ahli Papalia, Olds dan Feldman (1998), dan Rice (1993) (dalam Agoes Dariyo, 2004: 25) ada 3 faktor penyebab terjadinya obesitas.

1) Faktor-faktor fisiologis

Faktor fisiologis ialah faktor ialah faktor yang berasal dari berbagai variabel baik yang bersifat herediter maupun non herediter, yang menyebabkan individu tumbuh berbadan gemuk. Adapun variabel herediter (genetis) mengandung pengertian sebagai faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtua yang memiliki badan gemuk sehingga akan melahirkan anak gemuk juga. Sedangkan variabel non herediter (external factor) yaitu berasal dari luar individu, seperti konsumsi jenis makanan yang mengandung gula, kurangnya aktivitas fisik ditandai dengan sikap pasif bergerak akan menyebabkan seseorang menjadi gemuk.

2) Faktor-faktor psikologis

(38)

3) Faktor kecelakaan atau cidera otak

Penyebab terjadinya kegemukan pada seorang individu, diantaranya karena faktor kecelakan menimbulkan kerusakan otak, terutama pada pusat rasa lapar. Kerusakan syarat otak ini menyebabkan individu tidak pernah merasa kenyang walaupun telah makan porsi banyak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan dapat faktor penyebab terjadi kegemukan yakni faktor fisiologis, faktor psikologis, dan faktor kecelakaan atau cidera otak.

3. Kecemasan Akibat Kegemukan

Obesitas dapat menyebabkan beban psikologis tersendiri bagi penderitanya karena penderita obesitas yang berhasil menurunkan berat badannya akan timbul perasaan gembira, senang dan memiliki kepercayaan diri tinggi, namun bila tidak berhasil maka akan terjadi perasaan sedih, kecewa serta rendah diri dengan kata lain obesitas menimbulkan masalah emosional dengan penderitanya. (Syahmien Moehyi, 1995)

(39)

Ini dilakukan untuk mengendalikan kenaikan berat badan dan menekan tingkat cemas. (Sumardjono, 2014: 13-14)

Faktor timbulnya kecemasan justru lebih banyak disebabkan karena tekanan dari luar diri remaja putri, perasaan malu, rendah diri, ketakutan membuatnya sering merasa cemas. Hal tersebut muncul dikarenakan remaja putri merasa dicemooh atau dipermalukan di depan orang banyak dengan kondisi obesitasnya.

B. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

J. P. Chaplin (2004: 22) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri tidak ikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adaya. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penerimaan dri merupakan aset pribadi yang sangat berharga.

(40)

Menurut Agustinus Supraktiknya (1995), menerima diri adalah memiliki penghargaan tinggi tehadap diri sendiri dan memandang diri sendiri disenangi, mampu, berharga dan diterima orang lain.

Berpijak dari uraian pendapat Schultz, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat menerima diri erat kaitannya dengan tingkat fisiologik yang menunjang utama kesehatan atau keadaan fisik dan tidak malu mengakui hal yang memang ada dalam diri sehingga tidak menghambat diri ketika kontak sosial dengan orang lain.

2. Cara menentukan diri supaya diterima orang lain

Menurut Agustinus Supratiknya (1995: 86-87), ada 5 cara untuk menentukan diri supaya diterima orang lain yakni

a. Reflected Self-Acceptance

Jika orang lain menyukai diri kita maka kita akan cenderung untuk menyukai diri kita juga. Sehingga perhatian dari orang lain akan berpengaruh bagi individu.

b. Basic Self-Acceptance

Perasaan yakin bahwa dirinya tetap dicintai dan diakui orang lain walaupun ia tidak mencapai patokan yang diciptakan orang lain terhadap dirinya.

c. Condition Self-Acceptance

(41)

d. Self Evaluation

Penilaian individu tentang seberapa positifnya berbagai atribut yang dimilikinya dibandingkan dengan berbagai atribut yang dimiliki oleh orang lain yang sebaya dengannya.

e. Real Ideal Comparation

Derajat kesesuaian antara pendangan seseorang mengenai diri yang sebenarnya dan diri yang diciptakan yang membentuk rasa berharga terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan teori yang disampaikan Agustinus Supraktiknya, dapat disimpulkan bahwa cara menentukan seseorang supaya diterima orang lain yakni Reflect Self-Acceptance, Basic Self-Acceptance, Condition Self-Acceptance, Self Evaluation, dan Real Ideal Comparation.

3. Aspek – aspek Penerimaan Diri

L. J. Cronbach 1963 (dalam Ratnaningtyas, 2011: 9-10) menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik individu yang dapat menerima dirinya yaitu.

a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi persoalan.

(42)

b. Individu menganggap dirinya berharga dan sederajat dengan orang lain.

Individu memiliki keyakinan bahwa ia berguna bagi orang lain, tidak memiliki rasa rendah diri, dan memiliki kesamaan dengan orang lain dalam hal kelebihan dan kekurangannya.

c. Individu tidak menganggap dirinya aneh. Dia merasa nyaman dengan dirinya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai orang yang menyimpang, tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain.

d. Individu tidak malu bersosialisasi. Dia tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, mau mengembangkan relasi, empati dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.

e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Berarti individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya, bersedia menerima akibat.

(43)

g. Individu mampu memandang dirinya apa adanya, memiliki keterbatasan diri. Individu memiliki kesadaran untuk mengenali diri, apa adanya bukan apa yang diinginkan, mampu mengelola potensi atau kecakapan.

4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

Menurut Elizabeth B. Hurlock (dalam Eki Vina Nurviana, 2006), penerimaan diri dipengaruhi oleh sejumlah faktor diantaranya adalah. a. Aspirasi yang realistis

Individu yang mampu menerima dirinya harus realistis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai.

b. Keberhasilan

Agar individu menerima dirinya, individu harus mampu mengembangkan faktor peningkat keberhasilan sehingga potensinya berkembang secara maksimal. Individu memiliki inisiatif dan meningkatkan kebiasaan menunggu perintah apa yang harus dilakukan. c. Wawasan diri

(44)

d. Wawasan sosial

Kemampuan melihat diri pada individu seperti pandangan oranglain tentang diri sendiri tersebut menjadi suatu pedoman untuk memungkinkan berprilaku sesuai harapan individu.

e. Konsep diri yang stabil

Bila individu melihat dirinya dengan satu cara pada suatu saat dan cara lain pada saat orang lain, yang kadang menguntungkan dan kadang tidak akan menyebabkan ambivalensi pada dirinya. Agar tercapainya dan terbentuknya konsep diri positif significant others memposisikan diri individu secara menguntungkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang meliputi aspirasi yang realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial, dan konsep diri yang stabil.

5. Dampak Penerimaan Diri

Elizabeth B. Hurlock (dalam Muhammad Ari Wibowo, 2010) membagi dampak penerimaan diri menjadi 2 kategori.

a. Penyesuaian Diri

(45)

rasa aman realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri, membuat individu akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain. b. Penyesuaian Sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukkan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada dirinya (self-oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa mengganggu orang lain serta toleran dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain.

(46)

C. Kajian tentang Remaja Akhir

1. Pengertian Remaja

Piaget (dalam Elizabeth B. Hurlock, 1996: 205) mendefinisikan masa remaja merupakan masa dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa dalam tingkatan hak yang sama. Menurut John W. Santrock (2003: 26), remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi anatra masa anak dan masa dewasa yang mencakup pada perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

Menurut Mappire (dalam Mohammad Ali, 2005: 9), masa remaja dibedakan antara wanita dan pria. Pada wanita berlangsung antara umur 12 tahun sedangkan untuk pria berlangsung antara umur 13 sampai 22 tahun.

Oleh karena itu, remaja acap kali dianggap sebagai seorang yang tidak memiliki kedudukan yang jelas dalam tugas perkembangan. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik ataupun psikisnya, namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik.

Untuk di Indonesia batasan usia remaja berada diantara usia 11-24 tahun dan belum menikah. Hal tersebut dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006).

(47)

b. Usia 11 tahun sudah dianggap akil balig, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral.

d. Batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orangtua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, masih dapat digolongkan remaja. e. Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan

diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga.

(48)

2. Ciri – Ciri Penting Remaja Akhir

Dalam rentang masa remaja akhir itu terjadi proses penyempurnaan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang telah dimulai sejak masa-masa sebelumnya sebelumnya. Arahnya adalah kesempurnaan kematangan. Pada akhir masa ini pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek- aspek psikis dan sosial terus terjadi hingga masa dewasa awal. Sepanjang garis masa remaja akhir, mereka secara gradual menjadi pria muda secara penuh atau “Young men” atau menajdi wanita muda secara penuh atau “ Young women ”. Istilah “ Teenagers” biasanya tidak lagi melekat pada mereka.

Ciri-ciri penting dalam masa ini dan dengan jelas membedakan dengan remaja awal, mengenai pola-pola sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola perilaku nampak. Di antara ciri-ciri khas tersebut adalah.

a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat

Pertumbuhan jasmani yang sempurna bentuknya, membedakan dengan parohan awal masa remaja awal. Dalam masa remaja akhir ini terjadi keseimbangan tubuh dan anggota badan, panjang dan besar yang berimbang. Stabilitas mengandung pengertian bahwa mereka relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian akibat adanya rayuan atau propaganda. Akibat postif dari keadaan ini, adalah

remaja akhir lebih “well adjusted”, lebih dapat mengadakan

(49)

b. Citra diri dan sikap pandangan yang lebih realistis

Pada masa sebelumnya (remaja awal), remaja sangat sering memandang dirinya lebih tinggi ataupun lebih rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Kebanyakan yang terjadi dalam masa remaja awal adalah pandangan yang negatif yaitu rendah, kurang, jelek dari keadaan sesungguhnya. Hal demikian itu merupakan refleksi dari rasa tidak puas mereka terhadap yang mereka miliki. Tetapi dalam remaja akhir keadaan yang semacam itu lebih berkurang. Remaja mulai menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya, keluarganya, orang lain seperti keadaan sesungguhnya.

Akibat yang sangat positif dari keadaan remaja akhir seperti itu adalah timbulnya perasaan puas, menjauhkan mereka dari rasa kecewa. Perasaan puas itu merupakan sebagian prasyarat penting mencapai kebahagiaan bagi remaja.

c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang

(50)

realistis merupakan produk dari kemampuan pikir remaja akhir yang lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandangan yang lebih realistis.

d. Perasaan menjadi lebih tenang

Pada parohan awal masa remaja akhir, seringkali mereka mulai menampakkan gejala-gejala “ Storm and Stress “. Namun dalam proses lebih lanjut, beberapa remaja dengan cepat menunjukkan adanya rasa tenang. Ketenangan perasaan dalam menghadapi kekecewaan-kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan kemarahan-kemarahan mereka, ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan dapat menguasai atau mendominasi perasaan-perasaannya. Keadaan yang realistis dalam menentukan sikap, minat, cita-cita mengakibatkan mereka tidaklah terlalu kecewa dengan adanya kegagalan - kegagalan kecil yang dijumpai.

Penting artinya bagi proses pendewasaan remaja akhir ini adalah

“subjek model”, orang dewasa yang dikaguminya, yang disenangi

(51)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri penting remaja akhir meliputi stabilitas mulai timbul, citra diri dan realistis, menghadapi masalah secara lebih matang, perasaan lebih tenang. 3. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja Akhir

Seperti diungkapkan Elizabeth B. Hurlock pada masa remaja akhir pertambahan berat badan lebih banyak dibandingkan tinggi badan. Dan ternyata, menurut pengamatan para ahli, hal yang terjadi dalam masa remaja akhir terutama menyangkut “penyempurnaan“ bentuk-bentuk tubuh. Badan dan anggota badan menjadi berimbang. Berat badan yang bertambah pesat dalam masa ini mengimbangi pesatnya pertumbuhan tinggi badan yang terjadi dalam masa remaja awal dan periode pubertas. Pertumbuhan fisik lain yang menjadi sempurna adalah antara lain wajah simetris, bentuk bahu yang berimbang dengan pinggul dan anggota badan yang lain. Pendek kata, remaja telah mencapai bentuk tubuh serta anggota-anggota tubuh orang dewasa (Andi Mappiare, 1982).

(52)

Kaitannya dengan citra diri, keadaan jasmani yang berimbang dalam masa remaja akhir ini mempunyai pengaruh positif penilaian terhadap dirinya sendiri, hal mana mengarahkan mereka untuk lebih percaya diri dan bahagia. Pengecualian dari keadaan yang digambarkan disini tentu saja ada. Diantaranya ada remaja yang kurang beruntung dapat menerima keadaan jasmaninya, tampang, anggota badan yang mungkin cacat. Sebagian dari mereka tidak dapat menerima keadaan dirinya. Kemudian diperlukan adanya bantuan pendidik untuk menimbulkan atau menumbuhkan rasa percaya diri, agar mereka dapat menyadari keadaan diri sebagaimana adanya, mengarahkan pada kelebihan yang dimiliki, serta dapat berbuat dalam kegiatan-kegiatan yang dibanggakan.

4. Remaja Putri dan Penerimaan Diri

(53)

kecemasan tidak dapat diterima oleh orang lain, khususnya teman sebaya. (F. J. Monks, 1998).

Ketidakmampuan remaja dalam menyesuaikan diri merupakan petunjuk awal bahwa remaja tidak puas pada dirinya sendiri dan mempunyai sikap menolak diri. Remaja yang menolak diri akan merasa tidak bahagia dan merasa dirinya memainkan peran orang yang dikucilkan. Akibatnya ia tidak mengalami kebahagiaan dalam dirinya kesehatan mentalnya akan juga terganggu (Elizabeth B. Hurlock, 1996: 238). Kalau remaja realistik tentang derajat penerimaan yang mereka dapat dan merasa puas pada orang-orang yang menerima mereka maka remaja akan merasa bahagia dan merasa lebih puas dengan kehidupannya. Hal demikian mendorong remaja berusaha mencapai tujuan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.

Dari uraian yang disampaikan oleh Elizabeth B. Hurlock dan F. J. Monks, dapat disimpulkan bahwa usia remaja ditandai dengan perkembangan fisik dan psikologis yang pesat namun disisi lain memunculkan masalah yakni seseorang dimungkinkan memiliki keadaan tubuh gemuk yang tidak diterima oleh teman sebaya.

D. Kerangka Berpikir

(54)

remaja akhir, khususnya putri apabila remaja tidak mampu menekan tingkat kecemasan akan berdampak pada kondisi emosionalnya. Beberapa gejala misalnya terganggunya interaksi sosial, merasa rendah diri, dan sulit tidur. Jika kecemasan tidak segera ditangani maka dapat menghambat proses perkembangan seseorang. Mengacu pada teori adanya keterkaitan penerimaan diri seseorang sehingga menyebabkan kecemasan dalam diri remaja putri. Mereka yang dapat menerima kondisi diri misalnya kondisi badan yang gemuk tepat bila dikatakan akan lebih merasa senang dan tidak terganggu.

Remaja putri yang merasa tubuhnya terlalu gemuk memiliki emosi yang negatif berupa penghindaran diri. Saat penerimaan diri remaja kurang baik, remaja dimungkinkan akan menghindari keramaian atau tempat umum. Muncul kecemasan diri saat bergaul dengan teman. Bila penerimaan diri remaja putri baik (positif), maka tingkat kecemasan akibat kegemukan akan berkurang (negatif).

(55)

Pengertian dan saran dari teman sebaya remaja putri akan membantu untuk lebih menerima keadaan dirinya serta memahami hal-hal yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain dan keluarga (Fatimah 2006 : 206). Remaja diharapkan dapat bersikap realistik dan objektif. Mereka juga dapat memiliki respons emosional yang sehat dan tepat pada setiap permasalahan dan situasi.

E. Hipotesis Penelitian

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian digunakan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang telah ditetapkan adalah dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam. Penelitian kuantitatif bersifat menjelaskan hubungan kausal yakni hubungan sebab akibat. Menurut tingkat ekspalansinya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian asosiatif. Sugiyono (dalam Riduwan M. B. A. 2010: 65) penelitian asosiatif merupakan penelitian yang mencari pengaruh antara satu variabel dengan variabel yang lainnya. Dalam penelitian ini dilakukan untuk memprediksi seberapa besar pengaruh variabel independen (penerimaan diri) terhadap variabel dependen (tingkat kecemasan akibat kegemukan).

B. Variabel Penelitian

(57)

1. Identifikasi Variabel

Ada dua variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen). Variabel tersebut adalah sebagai berikut.

a. Variabel bebas (independen) adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerimaan diri, dengan notasi (X).

b. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan akibat kegemukan, dengan notasi (Y).

2. Hubungan antar Variabel

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas (X) penerimaan diri dan variabel terikat (Y) tingkat kecemasan akibat kegemukan. Hubungan variabel X dan variabel Y dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.Hubungan antar Variabel

Berdasarkan bagan di atas variabel X mempengaruhi variabel Y. Dengan kata lain, penerimaan diri sebagai variabel bebas (X) mempengaruhi tingkat kecemasan akibat kegemukan sebagai variabel (Y).

Variabel bebas (X) Penerimaan Diri

(58)

C. Definisi Operasional Variabel

1. Definisi Operasional Tingkat Kecemasan akibat Kegemukan

Tingkat kecemasan akibat kegemukan ialah derajat suasana hati dimana individu bereaksi dengan adanya kondisi tubuh, suatu ketidaknyamanan biasanya berupa gelisah saat kejadian timbul dengan atau tanpa diduga sebelumnya.

2. Definisi Operasional Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri merupakan kemampuan menerima kondisi diri secara terbuka, percaya diri dan apa adanya tanpa disertai keraguan saat melakukan kontak sosial dengan orang lain.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi itu bukan hanya sekadar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek (Sugiyono, 2010: 117). Populasi dalam penelitian ini adalah semua remaja putri mahasiswa Stikes Bethesda Yakkum jenjang D3 dan S1 tahun Akademik 2016/2017 .

Sampel penelitian adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang diwakili oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2010: 118). Terdapat dua teknik pengambilan sampel, yaitu sebagai berikut ini.

(59)

2. Non probability sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability sampling yaitu dengan proportionate stratified random sampling. Cara ini merupakan teknik pengambilan sampel dengan populasi yang memiliki strata atau tingkatan, setiap tingkatan memiliki karakteristik sendiri. Pada penelitian ini seluruh anggota atau unsur berstrata secara proporsional. Semua mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel, pengambilan sampel dilakukan secara random dalam kelas paralel yakni jenjang keperawatan D3 dan S1.

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian

No Jenjang(Kelas )

Jumlah Mahasiswi Tiap

Kelas

1 D3 Kelas A 48

2 S1 Kelas B 46

3 D3 Kelas C 38

4 S1 Kelas D 51

Jumlah 183

Cara menentukan ukuran sampel dari populasi yang telah diketahui jumlahnya dalam penelitian ini menggunakan teknik Slovin (Syofian, 2014: 61) yaitu sebagai berikut:

(60)

Perhitungan penentuan jumlah sampel yang akan diteliti berdasarkan rumus di atas adalah sebagai berikut :

=

=

= 125,557

Berdasarkan rumus di atas diperoleh hasil 125,557, sehingga jumlah sampel yang diambil dibulatkan menjadi 126 siswa. Adapun besar persentase tiap kelas secara proporsional dapat dihitung sebagai berikut.

(61)

Tabel 2.Distribusi Sampel Penelitian

No. Jenjang(Kelas ) Jumlah Mahasiswi

Penentuan Sampel Jumlah Sampel

1 D3 Kelas A 48

33

2 S1 Kelas B 46

32

3 D3 Kelas C 38

26

4 S1 Kelas D 51

35

Jumlah Sampel 126

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan data ini dilaksanakan di Stikes Bethesda Yakkum yang beralamat di Jalan Johar Nur Hadi No 6, Yogyakarta pada 18-23 Juli 2016. Alasan penelitian dilakukan di tempat ini adalah terdapat masalah yang melatarbelakangi penelitian ini perlu untuk dilaksanakan.

F. Teknik Pengumpulan Data

(62)

Kuesioner akan dapat dijadikan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti bahwa variabel yang akan diukur dan tepat dalam pemilihan responden. Kuesioner dalam hal ini berbentuk skala penerimaan diri dan skala tingkat kecemasan akibat kegemukan.

Kuesioner merupakan instrumen untuk pengumpulan data, di mana partisipan atau responden mengisi pertanyaan atau pernyataan yang diberikan oleh peneliti. Peneliti dapat menggunakan kuesioner untuk memperoleh data yang terkait dengan pemikiran, perasaan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, kepribadian dan perilaku dari responden. Dalam kata lain, para peneliti dapat melakukan pengukuran bermacam-macam karakteristik dengan menggunakan kuesioner. Larry Cristensen (dalam Sugiyono, 2013 : 71)

G. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2013 : 135) instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur nilai variabel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala penerimaan diri dan skala tingkat kecemasan akibat kegemukan. Semua instrumen dikembangkan dengan skala Likert.

(63)

jawaban yang dimodifikasi. Alternatif jawaban yang digunakan yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

Tabel 3.Pola Opsi Alternatif Respon Model Skala Likert

No Alternatif Respon

Skor favourable

(+)

Skor unfavourable

(-)

1 Sangat Setuju (SS) 5 1

2 Setuju (S) 4 2

3 Ragu-Ragu (RG) 3 3

4 Tidak Setuju (TS) 2 4

5 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, secara umum tahap-tahap penyusunan instrumen pengumpulan data menurut Riduwan M. B. A. (2010 : 32) adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi varibel-variabel yang terdapat pada rumusan judul penelitian.

Variabel dalam penelitian ini merupakan penerimaan diri dan kecemasan akibat kegemukan.

2. Menjabarkan variabel menjadi sub variabel atau bagian variabel. 3. Mencari indikator dari setiap sub atau bagian variabel.

4. Menderetkan deskriptor dari setiap indikator.

Setiap indikator kemudian dideskripsikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembuatan butir pertanyaan atau pernyataan.

5. Merumuskan setiap deskriptor menjadi butir-butir instrumen.

(64)

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala tingkat kecemasan akibat kegemukan dan skala penerimaan diri.

3. Skala Tingkat Kecemasan Akibat Kegemukan

Skala ini disusun dengan berdasarkan pada 4 aspek yang dikemukakan oleh Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, (2004) yaitu.

a. Aspek Fisik, Reaksi tubuh yang muncul seperti aktivitas gerak terbatas, gangguan pernafasan, berkeringat berlebih, pusing-pusing, otot menjadi tegang, sakit pencernaan, ukuran anggota badan tidak proporsional.

b. Aspek Pemikiran, Respon terhadap kecemasan dalam pikiran manusia. Seseorang yang sedang mengalami kecemasan cenderung memikirkan bahaya yang berlebihan, ketidakmampuan berkonsentrasi atau sulit membuat keputusan, sulit tidur, menganggap diri sendiri tidak mampu, bantuan dianggap tidak perlu, khawatir dan berpikir tentang hal yang buruk.

(65)

d. Aspek Suasana Hati, Seseorang yang mengalami kecemasan suasana hati cenderung menjadi gugup menjadi murung, jengkel, panik, dan cemas.

Setelah didapatkan sub variabel atau dimensi dengan berdasarkan aspek-aspek, mencari indikator, dan menderetkan setiap indikator menjadi deskriptor. Kisi-kisi instrumen penelitian berupa skala tingakt kecemasan akibat kegemukan (variabel dependen) sebelum uji coba, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 1.

4. Skala Penerimaan Diri

Skala penerimaan diri disusun dengan berdasarkan pada aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer Cronbach 1963 (dalam Ratnaningtyas, 2011: 9-10), yaitu.

a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi persoalan. Individu memiliki kepercayaan diri dan lebih memusatkan perhatian kepada keberhasilan akan kemampuan dirinya dalam menyelesaikan persoalan.

(66)

c. Individu tidak menganggap dirinya aneh. Dia merasa nyaman dengan dirinya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai orang yang menyimpang, tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain.

d. Individu tidak malu bersosialisasi. Dia tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, mau mengembangkan relasi, empati dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.

e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. Berarti individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya, bersedia menerima akibat.

f. Individu mampu menerima pujian dan celaan secara objektif. Individu mau terbuka mendengarkan, memahami sudut pandang orang lain, menerima pujian, saran, kritik dari orang lain untuk pengembangan kepribadian lebih lanjut.

g. Individu mampu memandang dirinya apa adanya, memiliki keterbatasan diri. Individu memiliki kesadaran untuk mengenali diri, apa adanya bukan apa yang diinginkan, mampu mengelola potensi atau kecakapan.

(67)

(variabel independen) sebelum uji coba, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.

H. Uji Coba Instrumen Penelitian

Instrumen yang telah disusun selanjutnya akan diuji cobakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas sebuah instrumen sebagai sebuah alat ukur. Sugiyono (2010: 131) memberi patokan subjek uji coba yang digunakan yaitu sekitar 30 orang. Hal tersebut karena dengan jumlah 30 orang ini maka distribusi skor akan mendekati kurva normal.

1. Uji Validitas Instrumen

Menurut Saifuddin Azwar, 2013 (dalam Jelpa Periantalo, 2015: 103), substansi yang terpenting dalam validasi skala psikologi adalah membuktikan bahwa struktur seluruh aspek keperilakuan, indikator keperilakuan dan item-itemnya memang membentuk konstrak yang akurat bagi atribut yang diukur. Validitas merupakan suatu kriteria untuk mengukur instrumen itu layak atau tidaknya diberikan mengukur apa yang seharusnya diukur.

(68)

dosen pembimbing (expert judgement), selanjutnya dilakukan uji coba instrumen (Sugiyono, 2010: 352-353). Instrumen disusun berdasarkan validitas konstruk, selanjutnya uji validitas di lapangan dengan diujicobakan sejumlah responden sebanyak 30.

Perhitungan uji validitas tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS for windows release 16.0. Hasil perhitungan kemudian dikonsultasikan rtabel pada taraf signifikansi 5% dengan N=30 yaitu 0,361.

Kriteria pengambilan keputusan untuk menentukan item valid apabila rhitung ≥ rtabel dengan taraf siginifikansi 5%, sedangkan jika rhitung ≤ rtabel dengan

taraf signifikansi 5% maka butir skala tersebut dinyatakan tidak valid. 2. Uji Reliabilitas Instrumen

Menurut Sumadi Suryabrata, 2005 (dalam Jelpa Periantalo, 2015 : 143), reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hal ini dapat ditunjukkan oleh keajegan (konsistensi) skor yang diperoleh oleh para subjek yang diukur dengan alat yang sama, atau diukur dengan alat yang setara pada kondisi yang berbeda. Uji Reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi responden dalam menjawab pernyataan (Wiratna Sujarweni dan Poly Endrayanto, 2012: 186).

Pengujian reliabilitas alat ukur internal consistency, dilakukan dengan mencoba alat ukur hanya sekali saja, lalu data yang didapat dianalisis dengan teknik tertentu. Metode Alpha Cronbach dipakai untuk menghitung

(69)

maupun “ya” atau “tidak”, tetapi digunakan untuk menghitung reliabilitas

suatu tes yang mengukur sikap tertentu (Syofian Siregar, 2014: 89).

Tahapan perhitungan uji reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach,

yaitu :

a. Menentukan varian setiap butir pertanyaan

( )

Keterangan : n = jumlah sampel

Xi = jawaban responden untuk butir

pertanyaan ke-i

∑X = total jawaban responden untuk setiap

butir pertanyaan

Σi 2 = varian butir ke-i

b. Menentukan nilai variasi total

c. Menentukan reliabilitas instrumen

Keterangan :

∑σt2 = varian total

∑σb2 = jumlah varian butir

(70)

Menurut Saifuddin Azwar (2013 : 164), batasan koefisien korelasi dalam pemilihan item adalah ≥ 0,30. Semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 dinyatakan reliable. Sebaliknya item yang memiliki koefisien korelasi < 0,30, maka item dinyatakan tidak

reliable dan gugur. Adapun hasil dari internal consistency adalah sebagai berikut .

Saifuddin Azwar (2008: 83) menjelaskan bahwa reliabilitas instrumen dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berkisar dari 0 hingga 1.00 dalam hal ini diartikan semakin tinggi koefisien reliabilitasnya mendekati 1.00 maka akan semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya jika koefisien reliabilitasnya mendekati 0 maka akan semakin rendah reliabilitasnya.

(71)

I. Teknik Analisis Data

Sugiyono (2010: 207) menjelaskan bahwa dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data yaitu meliputi: mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, membuat tabulasi data dari seluruh responden berdasarkan variabel, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.

Dalam penelitian ini teknik analisis data menggunakan statistik. Berdasarkan hipotesis dan tujuan penelitian ini yaitu mencari korelasi atau hubungan maka data yang diperoleh akan di uji persyaratan terlebih dahulu yaitu uji normalitas dan uji linieritas kemudian selanjutnya akan dianalisis untuk menguji hipotesis.

1. Pengujian Persyaratan Analisis

a. Uji Normalitas

Gambar

Gambar 1. Hubungan antar Variabel
Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian
Tabel 2. Distribusi Sampel Penelitian
Tabel 3. Pola Opsi Alternatif Respon Model Skala Likert
+7

Referensi

Dokumen terkait

Temuan pada penelitian ini sejalan dengan hasil riset dari (Kusumawati, 2010), (Mahabirama, Kuswanti, Daryanto, &amp; Winandi, 2013) dan (Isnowati, 2014) yang

Multimedia pembelajaran interaktif tersebut dirancang dengan sistematis dan rasional, yang dapat mendorong minat dan motivasi belajar calon peserta ujian, didukung dengan

Sikap taat hukum ditandai dengan sikap dan perilaku mematuhi peraturan walaupun secara fisik tidak ada yang mengawasi; tidak mengkonsumsi minuman keras dan

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti digambarkan dalam Gambar 1 dimana metode AHP-Indeks Model diterapkan untuk menentukan prioritas dan mengembangkan

Hasil-hasil penelitian yang dipaparkan dalam bab ini termasuk respons imun terhadap susu sapi, susu kambing dan produknya (bubuk susu kambing, yoghurt, dan kefir susu kambing),

Menurut Ellitan inovasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mencapai keunggulan kompetitif. Tanpa inovasi organisasi atau perusahaan akan mati. Organisasi

15 Mahasiswa mampu membuat perancangan karakter tokoh dengan pendekatan karakter pada wayang purwa dan ditransformasikan menjadi tokoh dengan karakter baru pada media

PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT Penilaian, Klasifikasi, dan Menentukan Tindakan PENGOBATAN Mengajari Ibu Cara Pemberian Obat Oral di Rumah Mengajari Ibu Cara Mengobati