2. TEORI PENUNJANG 2.1 Food Waste
2.1.1 Definisi Food Waste
Food waste adalah makanan yang sebenarnya layak untuk dikonsumsi namun dibuang, entah yang disimpan hingga tanggal kadaluwarsa atau dibiarkan rusak. Hal ini terjadi karena rusaknya makanan atau juga dapat terjadi karena oversupply atau kebiasaan makan/belanja (FAO, 2013).
Menurut FAO (2015) food waste merupakan makanan sisa yang akhirnya terbuang karena tidak dapat terkonsumsi dan atau merupakan bahan makanan yang terbuang dikarenakan adanya kelalaian ketika proses produksi, pengolahan, dan distribusi.
2.1.2 Klasifikasi Food Waste
Food waste dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam, yang pertama diklasifikasikan berdasarkan waktu dan yang lainnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat kemungkinan munculnya food waste. Berdasarkan waktunya, food waste dikategorikan menjadi 3 macam (Legrand, 2017), yakni:
a. Pre-consumer waste
Didefinisikan sebagai semua trimming, spoiled food, dan produk lain dalam kitchen yang akhirnya dibuang sebelum selesai diolah menjadi menu item yang akan dikonsumsi.
b. Post-consumer waste
Sampah yang tersisa pada saat konsumen telah mengkonsumsi makanan.
c. Packaging waste and operation supplies
Terutama dalam bentuk plastik yang tidak dapat terdekomposi dengan
alami. Operating supplies merupakan semua bahan yang digunakan dan
menjadi waste dalam operasi food service, seperti minyak goreng dan
lampu.
Sedangkan berdasarkan tingkat kemungkinan munculnya food waste, WRAP (2009; 2013) juga mengkategorikannya menjadi 3 macam:
a. Probably avoidable waste
Makanan yang dibuang tetapi seharusnya dapat dikonsumsi apabila dikelola dengan proses yang berbeda, seperti pinggiran roti dan kulit kentang.
b. Avoidable food waste
Waste yang muncul dari adanya kelalaian manusia itu sendiri seperti misalnya menggosongkan suatu hidangan sehingga tidak dapat dikonsumsi, membiarkan makanan tersebut tanpa mengkonsumsinya hingga akhirnya makanan tersebut rusak. Avoidable food waste kemudian dibagi menjadi 3 kategori yakni Prepared or Served in oversized quantity yang berarti adalah food waste dikarenakan overproduction, kategori kedua ialah Not used in time ialah food waste yang dikarenakan produk tidak dikonsumsi sebelum
masa berlaku yang telah tertera atau karena secara fisik menimbulkan bau tidak sedap, membusuk atau berjamur, kategori terakhir Other, yang termasuk didalamnya adalah food waste yang alasannya tidak diketahui atau tidak dapat dibedakan.
c. Unavoidable food waste
Waste dari persiapan makanan yang tidak dapat dimakan dalam keadaan normal, seperti tulang, kulit telur, kulit nanas.
Gambar 2.1 Klasifikasi Food Waste
Sumber : WRAP (2009, p. 4)
2.1.3 Operating Control Cycle
Dalam food and beverage management systems, perencanaan menu merupakan tahap awal dalam pengoperasian bisnis makanan dan minuman. Setelah menu telah ditentukan, berbagai prosedur dalam pengadaan bahan dan sistem produksi serta peralatan juga harus diterapkan (Ninemeier, 2009). Demi mendapatkan hasil yang efektif maka diperlukan adanya operating control cycle yang membagi operasional restoran menjadi beberapa tahap berdasarkan aktivitasnya (Ninemeier, 2009). Pada tahapan-tahapan inilah diperlukan adanya sistem yang dapat diterapkan.
Gambar 2.2 Operating Control Cycle Sumber : Ninemeier (2009, p. 14)
2.1.3.1 Menu Planning
Menu merupakan fondasi dalam mengontrol bisnis makanan dan minuman.
Proses dari perencanaan menu itu sendiri tidak pernah selesai, dalam artian lain
selalu diperlukan pembaharuan berkelanjutan (Ninemeier, 2009).
Menu memiliki dampak langsung terhadap food service operation (Ninemeier, 2009) seperti diantaranya :
a. Product Control Procedure
Produk makanan atau minuman yang hendak disajikan wajib untuk selalu dikontrol. Jika sebuah bahan makanan hendak dipakai untuk memproduksi salah satu menu item, maka dalam proses pengadaan, penyimpanan, serta penyajiannya juga harus diperhatikan dan disesuaikan oleh bahan makanan yang bersangkutan.
b. Cost Control Procedure
Suatu jenis produk makanan dan minuman yang disajikan menentukan biaya yang dikeluarkan oleh karena itu diperlukan adanya prosedur pengendalian biaya agar tidak terjadi over-costing. Pengendalian biaya sangat bergantung pada jenis restorannya, menurut Dittmer dan Keefe (2006) restoran terbagi menjadi 2 jenis yakni low margin restaurant dan high margin restaurant. Low margin restaurant memiliki food cost yang lebih besar jika dibandingkan dengan high margin restaurant. Hal ini dikarenakan low margin restaurant memikiki harga jual yang lebih rendah dan memiliki jumlah karyawan yang terbatas, kurang terampil serta bergaji rendah.
Tabel 2.1 Cost Analysis for Typical Low-Margin Restaurant
Sumber : Dittmer dan Keefe (2006, p. 31)
Berkebalikan dengan high margin restaurant yang memiiki food cost yang lebih kecil karena memiliki harga jual yang tinggi, lebih mengandalkan bahan makanan yang segar (tidak instan dan harga lebih murah), didukung dengan jumah karyawan cukup banyak, gaji lebih besar dan berketerampilan baik.
Cost of food and beverages 40%
Labor cost 20%
Other controllable and noncontrollable costs 30%
Profit before income taxes 10%
TOTAL 100%
Tabel 2.2 Cost Analysis for Typical High-Margin Restaurant
Sumber : Dittmer dan Keefe (2006, p. 31)
c. Production Requirements
Bahan makanan yang dibutuhkan oleh menu harus diproduksi secara konsisten seperti kualitas produk, kuantitas produk dan keterampilan karyawan semua ditentukan pula oleh jenis menu yang hendak disajikan.
Kualitas yang dimaksudkan dapat berupa rasa, tekstur serta penampilan yang konsisten ketika disajikan ke setiap konsumen.
2.1.3.2 Purchasing
Gambar 2.3 Purchasing Cycle Sumber : Ninemeier (2009, p. 184)
Purchasing merupakan salah satu aktivitas membeli bahan produksi dengan kualitas dan kuantitas pada waktu, tempat dan sumber yang tepat pula (Ninemeier, 2009). Aktivitas purchasing yang kompleks dapat dilihat pada gambar 2.3, berdasarkan gambar tersebut maka dapat dijelaskan bahwa:
Cost of food and beverages 25%
Labor cost 35%
Other controllable and noncontrollable costs 30%
Profit before income taxes 10%
TOTAL 100%
1. Pada tahap awal, para koki membuat issue requisition ketika ada bahan yang diperlukan.
2. Selanjutnya, issue requisition tersebut diterima oleh storeroom, dan apabila bahan tersebut masih tersedia maka segera diberikan pada departemen bersangkutan (issues required products).
3. Namun apabila bahan yang diperlukan tersebut berada pada batas bawah/jumlah minimal bahan untuk di reorder, maka pihak storeroom akan membuat purchase requisition dan diserahkan pada purchasing department 4. Purchasing department akan memesankan bahan yang diminta ke supplier
dengan menggunakan purchase order ataupun purchase record.
5. Setelah menerima purchase order, supplier akan mengirimkan bahan yang diminta ke receiving department beserta dengan deliverey invoice.
6. Pihak penerima, akan memindahkan bahan ke tempat penyimpanan yang tepat dan menyimpan delivery invoice yang telah diterima.
7. Pihak accounting akan melakukan pembayaran ke supplier sesuai dengan delivery invoice. Bukti pembayaran tersebut di duplikan agar dapat dikontrol di waktu yang akan datang.
Dalam hal menentukan supplier yang hendak diajak untuk bekerja sama, diperlukan beberapa faktor yang menjadi penentunya (Ninemeier, 2009):
a. Lokasi. Jika jarak antara lokasi supplier dengan lokasi restoran tidak terlalu jauh, maka dapat memangkas waktu pengiriman, biaya transportasi, serta mencegah hal-hal yang mungkin terjadi selama pengiriman.
b. Kualitas supplier. Supplier yang dipilih lebih baik jika yang memiliki penanganan yang baik dalam menerima pesanan, memperhatikan sanitasi, serta menjaga kualitas barang-barang yang dimiliki.
c. Nilai. Pihak pembeli harus melihat kualitas dengan harga yang ditawarkan oleh supplier apakah sebanding atau tidak. Belum tentu memilih supplier dengan penawaran harga terendah dapat menjadi solusi terbaik.
d. Kecocokan. Hubungan yang baik antara pihak pembeli dengan supplier
dapat menimbulkan rasa percaya satu sama lain yang tentu saja dapat saling
menguntungkan kedua pihak.
e. Kejujuran dan keadilan. Dua hal ini merupakan salah satu hal yang wajib dijaga oleh kedua pihak dalam menjalankan suatu kerjasama bisnis dan membangun berguna untuk membangun reputasi supplier.
2.1.3.3 Receiving
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penerimaan bahan (Ninemeier, 2009):
a. Memeriksa produk yang datang dengan purchase order atau purchase records. Dalam hal ini, pembeli memeriksa jenis, jumlah, kualitas produk,
sekaligus harga. Jenis produk, jumlah serta kualitas produk yang dikirimkan harus sesuai dengan apa yang tertera dalam purchase order dan sesuai dengan purchase specifications begitu pula dengan harga yang harus sesuai dengan harga yang ditawarkan pertama kali.
b. Memeriksa produk yang datang dengan delivery invoices. Delivery invoices digunakan oleh supplier untuk melakukan penarikan bayaran atas produk yang dipesan pembeli, oleh karena itu, pembeli harus memeriksa kesesuaian antara produk yang datang dengan produk yang tertera pada delivery invoices.
c. Menerima produk. Produk yang telah diperiksa kebenarannya sesuai dengan dokumen-dokumen terkait, akan diterima oleh pihak pembeli. Pihak pembeli kemudian menandatangani delivery invoices.
d. Memindahkan produk ke penyimpanan. Produk yang telah diterima, kemudian dipindahkan ke tempat penyimpanan segera sesuai dengan keperluan masing-masing produk itu sendiri.
e. Mencatat dalam receiving documents. Produk yang telah masuk ke dalam ruang penyimpanan dengan benar, kemudian dicatat dalam dokumen agar memudahkan untuk dikontrol.
2.1.3.4 Storing
Dalam proses penyimpanan, seringkali penyimpanan yang kurang tepat
menyebabkan turunnya kualitas suatu bahan makanan, bahkan makanan yang
dibekukan dalam waktu yang lama, juga akan mengurangi kualitas bahan makanan
tersebut (Ninemeier, 2009). Kerugian yang timbul ini nantinya juga akan
meningkatkan food cost sejumlah bahan yang disingkirkan tersebut. Untuk mengurangi kerugian akibat penyimpanan yang kurang tepat, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan (Ninemeier, 2009) :
a. Perputaran produk. Dengan menggunakan metode FIFO (First in first out), bahan makanan dapat bertahan lebih lama. Bahan makanan yang lebih dulu ada di tempat penyimpanan akan lebih dulu digunakan, sedangkan yang lebih baru akan disimpan.
b. Memastikan suhu yang tepat. Dalam penyimpanan bahan makanan, perlu diperhatikan suhu penyimpanan. Untuk penyimpanan kering sendiri, disarankan berada pada suhu 10-21 derajat Celsius, untuk refrigerated storage disarankan berada pada 5 derajat Celsius atau kurang, sedangkan untuk penyimpanan beku disarankan bersuhu dibawah -18 derajat Celsius.
c. Melakukan pembersihan rutin terhadap tempat penyimpanan bahan.
d. Memastikan setiap bahan makanan telah tersimpan dengan baik. Hal ini juga berlaku terhadap bahan makanan yang menggunakan kemasan. Jika bahan tersebut bersisa, maka bahan makanan tersebut harus dipindahkan ke wadah penyimpanan lain, dan diberikan keterangan berupa tanggal yang jelas. Tujuannya adalah untuk memudahkan pegawai dalam mengontrol masa berlaku dari bahan makanan tersebut.
Dalam proses penyimpanan, penting pula memiliki inventory record. Catatan ini akan berguna untuk mengetahui jumlah bahan yang disimpan, memudahkan pihak finansial untuk membuat laporan keuangan, serta memudahkan untuk mengetahui apabila bahan makanan tersebut telah mencapai titik minimum dan seberapa banyak bahan tersebut perlu dipesan (Ninemeier, 2009).
2.1.3.5 Issuing
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pendistribusian barang dari storage ke area produksi (Rande, W., 1996):
a. Amounts
Perlu adanya pencatatan atas jumlah stok yang disimpan, dan setiap kali ada
bahan yang di serahkan ke departemen lain, maka jumlah stok dalam catatan
juga harus dikurangi.
b. Time/date
Selain jumlahnya, waktu dan tanggal penyerahan atau pengambilan bahan juga perlu dicatat.
c. Department
Departemen dalam perusahaan juga harus mencatat bahan yang diambil dari storage, hanya orang yang berwenang yang boleh mengambil bahan dan diperlukan tanda tangannya. Pembatasan akses pengambilan bahan seperti ini dapat memudahkan manajemen untuk mengontrol.
2.1.3.6 Production
Produksi merupakan tahap kualitas produk akan mengalami pengecekan lebih lanjut untuk memastikan produk yang ditawarkan akan melebihi harapan konsumen dan menjaga agar selama proses produksi, biaya yang dikeluarkan tidak terlampau besar (Ninemeier, 2009). Jumlah produk yang hendak diproduksi sangat mempengaruhi jumlah bahan yang hendak dibeli. Untuk bahan yang mudah rusak, pada umumnya akan di pesan beberapa kali dalam satu minggu sesuai dengan forecast yang ada. Sedangkan untuk bahan yang tidak mudah rusak akan mengikuti dengan jumlah minimal/maksimal yang telah ditetapkan manajemen dalam inventory system (Ninemeier, 2009).
Suatu produk dapat dikatakan memiliki kualitas apabila memiliki atau sudah memenuhi operating standards yang telah ditetapkan oleh manajemen restoran untuk memenuhi kepuasan konsumen. Beberapa operating standards misalnya standard food purchase specification, standard recipe, standard portion size, standard portion cost untuk food production, dan lain-lain (Ninemeier, 2009).
Dalam proses produksi ini, hal yang dikatakan memiliki pengaruh besar adalah
adanya standard recipes. Standard recipes berisi kuantitas dan jenis bahan yang
digunakan secara lebih spesifik yang memudahkan manajemen untuk mengetahui
estimasi product cost dengan lebih baik. Dengan adanya standard recipes, dapat
memudahkan manajemen untuk menentukan harga jual dan memudahkan
mengestimasi jumlah bahan yang hendak dibeli untuk produksi selanjutnya
(Ninemeier, 2009).
Untuk standard portion size, pihak restoran menerapkan sistem portioning yang dibagi menjadi 3 cara (Rande, W., 1996):
a. By Count
Cara ini digunakan untuk bahan makanan yang dapat dihitung dan memiliki ukuran yang hampir sama. Misalnya saja: telur, udang, dan lan-lain
b. By Weight
Kebanyakan portioning dilakukan dengan cara menimbang berat makanan tersebut. Hanya saja terkadang cara ini cukup memakan waktu dan tidak efisien namun disisi lain cara ini justru lebih akurat.
c. By Volume
Beberapa menu disajikan berdasarkan volumenya. Dapat menggunakan gelas ukur ataupun laddles.
2.1.3.7 Service and Serving
Serving dapat digambarkan menjadi berpindahnya suatu produk siap saji
dari production staff ke pramusaji. Pada tahap ini, pramusaji melakukan kontrol terhadap kualitas produk untuk terakhir kalinya sebelum disajikan ke pelanggan.
Setiap manajemen restoran memiliki standar dalam proses pemesanan dan penyajiannya, pada tahap ini pramusaji memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya. Tidak hanya pengontrolan terhadap kualitas makanan, pramusaji juga bertanggung jawab atas kebersihan atau sanitasi atas produk yang bersangkutan (Ninemeier, 2009).
Sedangkan service menggambarkan proses penyajian dari server ke konsumen. Yang perlu diperhatikan dalam proses penyajian produk kepada konsumen (Ninemeier, 2009) diantaranya adalah:
a. Timing of Service
Dalam bisnis makanan dan minuman, seringkali waktu merupakan hal yang
penting. Konsumen yang diharuskan untuk menunggu ketika proses
produksi berlangsung menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kepuasan konsumen terhadap layanan yang diberikan. Jika waktu
menunggu konsumen terlalu lama, maka tingkat kepuasan juga akan ikut
berkurang.
b. Staff Communication
Pihak produksi dan para pramusaji diwajibkan memiliki komunikasi yang baik. Hal ini untuk menghindari adanya selisih paham yang akan merugikan pihak restoran dan juga pihak konsumen. Komunikasi yang baik merupakan komunikasi yang efektif yang berguna sebagai kontrol, misalnya saja mengkomunikasikan produk yang belum atau sudah disajikan dan mengkomunikasikan produk-produk yang sold out.
c. Adequate Supplies
Pihak restoran wajib menyediakan backup supplies dalam jumlah yang cukup. Sebagaimana diketahui juga bahwa service, cost, dan kepuasan pelanggan sangat dipengaruhi dari ketersediaan produk di buku menu. Maka dari itu diperlukan adanya persiapan dan pengecekan terlebih dahulu baik untuk produksi maupun untuk penyajian sebelum restoran mulai dioperasikan.
d. Temperature and Holding Time
Makanan yang hendak disajikan perlu diperhatikan temperaturnya.
Makanan disajikan dalam keadaan hangat atau pun dingin sesuai dengan sebagaimana harusnya makanan tersebut disajikan. Jika hal ini tidak diperhatikan maka dapat mempengaruhi rasa, penampilan, dan bahkan dapat mempengaruhi sanitasi dari produk tersebut.
e. Food Appearance
Penampilan makanan tidak dapat dipandang sebelah mata, makanan yang disajikan harus memiliki penampilan yang menarik. Dengan cara ini, akan mempengaruhi persepsi nilai konsumen dan meningkatkan keinginan untuk membayar sesuai harga tertera untuk produk tersebut.
2.1.4 Penyebab Terjadinya Food Waste
Pada setiap tahapan dalam food service selalu terdapat food waste dengan
jumlah serta faktor penyebab yang berbeda. Sektor food service dibagi menjadi 2
oleh WRAP (dikutip dalam Olivera et al., 2016 ) :
a. Profit Sector Environments
Yang termasuk dalam sektor ini ialah restoran, kafetaria, Quick Service Restaurant, bar, dan lainnya yang memiliki tujuan untuk berbisnis dan mengambil keuntungan.
b. Cost Sector
Bertujuan untuk memberikan fasilitas bagi para karyawan dan atau segala bentuk food service yang tidak berusaha untuk mengambil keuntungan.
Contohnya adalah, staff catering, edukasi, pusat kesehatan, dan lain-lain.
Tabel 2.3 Faktor Penyebab Food Waste
Sumber : Baldwin dan Shakman, 2012; Silvennoinen, 2015; Olivera et al., 2016
Dilihat pada tabel tersebut Baldwin dan Olivera memberikan tahapan dalam food service yang hampir sama. Food waste yang dihasilkan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu Pre-Consumer dan Post-Consumer (Baldwin dan Shakman, 2012).
Kategori Pre-Consumer :
a. Food waste yang timbul dari Food Procurement dan Food Storage (Planning step) adalah:
- Overstocking
Overstocking ini terjadi ketika pihak restoran berusaha untuk memenuhi
semua pesanan pelanggan, sehingga akhirnya memilih untuk memesan
bahan dengan jumlah lebih dari yang dibutuhkan (Baldwin dan Shakman, 2012; Silvennoinen, 2015)
- Undentified Demand
Jumlah tamu yang hadir serta jumlah pesanan produk sulit untuk diprediksi oleh pihak restoran, yang akhirnya akan berdampak pada jumlah bahan yang akan dipesan. (Baldwin dan Shakman, 2012; Olivera et al., 2016)
- Food Expired and Food Safety
Makanan yang dipesan terlalu banyak, jika pada akhirnya tidak diproses karena tidak adanya pesanan dari konsumen, maka bahan tersebut bisa saja rusak karena melampaui masa kadaluarsanya atau karena turunnya kualitas bahan makanan tersebut (Baldwin dan Shakman, 2012;
Silvennoinen, 2015)
b. Food waste yang timbul dari food preparation and cooking (Preparation step) adalah:
- Overproduction
Sulitnya memperkirakan jumlah konsumen dan jumlah makanan akhirnya membuat pihak restoran melakukan produksi secara massal atau dalam jumlah besar. Akibat dari dilakukannya sistem seperti ini adalah ketidakpastian makanan tersebut akan habis disaat restoran tutup (Silvennoinen, 2015 ; Olivera et al., 2016)
- Inefficient Production
Restoran seringkali melakukan produksi berdasarkan batch atau waktu- waktu tertentu misalnya saja pada saat breakfast buffet. Apabila dilakukan, seringkali pada batas akhir waktu breakfast yang diberikan, makanan yang disediakan masih tersisa banyak dan akhirnya dibuang.
(Baldwin dan Shakman, 2012) - Unskilled Trimming
Para karyawan dapur yang tidak memiliki keahlian dalam trimming sayur,
buah ataupun daging bisa dapat meningkatkan jumlah food waste yang
dihasilkan (Baldwin dan Shakman, 2012 ; Olivera et al., 2016)
c. Food Waste yang timbul dari Food Service (Serving step) adalah:
- Overmerchandising
Restoran umumnya ingin menampilkan produk yang tampak segar, indah, dan terlihat banyak di display, tapi seringkali karena alasan inilah akhirnya makanan tersebut dibuang.(Baldwin dan Shakman, 2012) Kategori Post-Consumer:
a. Food Waste yang timbul dari Food Service (Eating step) adalah seringkali dikarenakan perilaku dari konsumen itu sendiri seperti :
- Menu Acceptance
Kadang konsumen memilih makanan yang tidak sesuai dengan preferensinya, yang seringkali membuat konsumen untuk memutuskan menyisakan makanannya (Baldwin dan Shakman, 2012 ; Olivera et al., 2016)
- Large portion Size
Porsi yang terlalu banyak sering menjadi penyebab utama dari timbulnya food waste (Baldwin dan Shakman, 2012 ; Silvennoinen, 2015)
- Inefficient Service Model
Service model seperti kafetaria dan buffet membuat konsumen sering mengambil makanan dalam jumlah banyak namun tidak selalu dapat dihabiskan. (Baldwin dan Shakman, 2012)
Diluar dari faktor penyebab diatas, pihak karyawan juga turut ikut ambil bagian dalam memperbesar atau memperkecil jumlah food waste. Food waste pada suatu restoran akan timbul (Baldwin dan Shakman, 2012) ketika :
a. Poor communication
Kesalahpahaman tentang tata letak operasi, bahasa, kesejangan budaya, dan waktu yang singkat untuk produksi sering menjadi faktor pendorong munculnya food waste (Baldwin dan Shakman, 2012).
b. Staff Behaviour
Perilaku karyawan juga berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah food
waste. Misalnya saja, jumlah bahan yang dibutuhkan dalam setiap
kemasan 5 kg adalah hanya 4.5 kg, akan menjadi food waste ketika para
karyawan tidak memisahkan setiap 500 gram dari kemasan tersebut.
(Baldwin dan Shakman, 2012)
2.1.5 Dampak Food Waste
2.1.5.1 Dampak Food Waste terhadap Lingkungan
Gambar 2.4 Dampak Food Waste terhadap Lingkungan
Dampak food waste terhadap lingkungan meliputi upstream dan downstream environmental. Dampak upstream enviromental terjadi pada bahan makanan sebelum mencapai food service operation antara lain dari proses penanaman hingga pasca panen dan penyimpanan. Sedangkan dampak downstream mulai dari tahap proses, distribusi, hingga di konsumsi. Menurut FAO (2013), upstream food waste yang terjadi selama produksi, penanganan pasca panen dan penyimpanan menghasilkan 50-54% dari total food waste.
Ketika hasil panen / bahan makanan dibuang, seluruh sumber daya yang digunakan untuk memproduksi juga terbuang. Sumber daya yang dimaksud ini adalah bahan yang digunakan petani untuk menghasilkan bahan makanan seperti lahan, air, pupuk, pestisida, dan bahan bakar traktor, dan juga gas yang dihasilkan (Baldwin dan Shakman, 2012).
Food waste yang dihasilkan downstream environmental lebih merusak lingkungan karena masuk hingga tempat pembuangan sampah atau insinerator.
Aktivitas pengangkutan food waste ke tempat pembuangan akhir sangat membutuhkan bahan bakar dalam jumlah besar dan menciptakan polusi udara.
Padahal hal ini dapat dicegah dengan mengurangi jumlah food waste dalam food
Sumber : Baldwin & Shakman (2012, p. 60)
supply chain. Setiap hari food waste dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) semakin menumpuk sehingga food waste yang sudah lama tertimbun. Fenomena ini memproduksi gas metana sebanyak 50% dan karbon dioksida 50%. Meskipun food waste dikirim ke insinerator tetap saja tidak efesien karena membuang energi dikarenakan food waste memiliki kandungan air yang tinggi. Maka dari itu, mengurangi jumlah food waste yang dihasilkan sebelum mencpai TPA atau insinerator merupakan win-win solution bagi lingkungan dan food service operators.
FAO (2013) menemukan bahwa food waste di negara maju lebih banyak menghasilkan food waste pada tahap downstream environmental, dan sebaliknya bagi negara yang berkembang. Di negara berkembang food waste biasanya terjadi pada upstream environmental. Selain itu, sumber daya yang terbuang dengan sia- sia akibat food waste adalah air bersih. Food waste mempengaruhi air bersih karena air yang digunakan pada tahap agriculture menimbulkan masalah lingkungan yang cukup parah seperti penipisan air, water-logging, atau degradasi tanah (Aldaya, 2010, dikutip dalam FAO, 2013). Air yang digunakan di seluruh dunia untuk agriculture adalah sekitar 250 kubik km
3. Volume air yang dibuang oleh food waste terdapat sekitar 3 kali volume Danau Geneva (FAO, 2013).
2.1.5.2 Dampak Food Waste terhadap Ekonomi
Food waste tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi berdampak juga dengan finansial pada operasi restoran. Ada empat biaya finansial ketika bahan makanan dibuang dalam dapur : biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya energi (termasuk pelayanan) dan biaya food waste. Diperkirakan sebanyak 4-10% food purchase investment terbuang dalam industri makanan. Artinya sebanyak 1.000.000 USD dihabiskan untuk biaya bahan baku, sekitar 40.000 – 100.000 USD dibuang melalui saluran pembuangan. (Baldwin & Shakman, 2012). Sangat penting untuk mengurangi food waste pada tahap pre-consumer dalam industri makanan untuk menghemat biaya finansial dan meningkatkan laba.
Bahan baku membutuhkan proses yang lebih lanjut seperti trimming dan persiapan untuk disajikan. Setelah persiapan, penyimpanan mungkin diperlukan.
Semua tenaga kerja dan energi yang digunakan pada saat memproduksi makanan
adalah biaya secara tidak langsung. Maka setiap makanan dibuang, disana juga ada biaya finansial tersembunyi yang dibuang (Baldwin dan Shakman, 2012).
2.1.5.3 Dampak Food Waste terhadap Sosial
Tidak semua makanan yang ada di tempat pembuangan akhir telah busuk dan terkontaminasi. FAO (2013) menyatakan bahwa 1,3 dari 1,6 gigaton food waste ternyata dapat dimakan. Apabila food waste ini dapat diselamatkan, makanan yang terbuang tersebut dapat memberi makan orang dan hewan yang kelaparan. Pada tahap produksi makanan, banyak air yang digunakan untuk bertanam. Ketika makanan dibuang, sejumlah air juga terbuang. Air yang digunakan para petani untuk bertanam cukup untuk kebutuhan 9 juta orang (Vaughan, 2009, dikutip dalam Baldwin dan Shakman, 2012).
Kesimpulannya, food waste memiliki peran yang besar di bidang sosial yang mempengaruhi kelaparan di dunia, membuang makanan yang dapat diberikan kepada orang yang kelaparan dan bahkan hewan-hewan, dan menghabiskan sejumlah air yang banyak.
2.1.6 Pengelolaan Food Waste
Pengelolaan food waste (Manajemen limbah) dapat diartikan sebagai rangkaian proses penanganan sisa produk yang dihasilkan selama produksi sampai proses dibuang ke TPA. Limbah dari industri perhotelan dapat dikategorikan menjadi sampah basah (organik) dan kering (gelas, plastik, kaca, dll). Sampah basah sebagian besar terdiri dari sampah makanan yang seringkali diasumsikan lebih dari 50% dari keseluruhan limbah industri (WRAP,2011). Biasanya limbah ini masih dapat di daur ulang, namun seringkali berakhir di tempat pembuangan akhir.
Setiap kilo dari berat limbah yang dihasilkan setara dengan sumber daya
yang tidak digunakan secara efektif. Sektor perhotelan dan makanan menyajikan
lebih dari 8 miliar makanan per tahunnya, dengan 2.87 miliar ton food waste dan
pack waste (WRAP, 2013). Estimasi biaya untuk food waste dalam hospitality
industry bernilai hingga £2.5 miliar per tahunnya dengan restoran di urutan
pertama, lalu diikuti pubs, hotel, dan quick service restaurant (QSR) (WRAP,
2013).
Industri makanan dan minuman selalu mencari cara untuk meningkatkan produktifitas dan meminimalkan limbah. Manajemen limbah melibatkan serangkaian prosedur dan perubahan teknik serta kreatifitas, mulai dari accurate ordering, accurate measuring, portion site control, dan the use of daily offers.
Mengefektifkan hal-hal tersebut dapat membuat perubahan terhadap industri untuk meminimalkan modal dan memaksimalkan baliknya modal.
Banyak penelitian dilakukan untuk mencoba mengukur komposisi waste dalam hotel dan restoran (Pirani dan Arafat, 2014 dalam Legrand, 2017).
Tabel 2.4 Komposisi waste dalam hotel dan restoran
Sumber: WRAP (2011) dan Parfitt et al. (2013) dalam Legrand (2017, p. 93)
Dalam tabel 2.4 Dapat dilihat bahwa komposisi untuk food waste disarankan berada pada sekitar 37-41% dari total keseluruhan sampah yang dihasilkan oleh suatu hotel atau restoran.
Selain itu, apabila tidak ada pemisahan sampah organik dan anorganik maka dapat dilihat bahwa komposisi untuk sampah rata-rata adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5 Komposisi Sampah Rata-Rata Tipe Waste Total Persen
Food Waste 37-41%
Kertas 13-18%
Kardus 7-9%
Plastik 10-15%
Gelas 10-14%
Lain-lain Sekitar 13%
2.1.7 Pencegahan Food Waste 2.1.7.1 Reuseable Food
Eropa dan Amerika Serikat menerima donasi makanan dari restoran maupun hotel yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Selain didonasikan, makanan sisa tersebut diarahkan ke peternakan. Program pendistribusian ulang makanan telah menjulur di dunia seperti Next Door Help di Itali, Appproved Food and Drink dan Food Cycle di Inggris. Program Food Cycle adalah program yang memberikan makanan yang bernutrisi kepada orang yang krisis akan makanan di Inggris. Program ini mengumpulkan 46.000 kg makanan dan mendistribusikan 3.800 meals (Food Cycle, 2015 dikutip dalam Legrand, 2017).
2.1.7.2 Composting and Vermiculture
Melakukan kompos menggunakan sampah basah untuk dijadikan penyubur untuk menambah nutrisi tanah. Sampah basah yang dapat digunakan untuk membuat pupuk kompos adalah buah, sayur, roti, trimmings, dan customer plate waste. Daging-dagingan dapat digunakan dalam proses kompos, namun dapat menarik hama yang tidak diinginkan dan lebih baik untuk dihindari. Vermiculture merupakan salah satu bentuk dari kompos, dibantu dengan cacing untuk menghasilkan tanah humus. Keuntungan vermiculture adalah tidak memproduksi gas metana menggunakan bantuan cacing mencegah limbah ini untuk memproduksi gas metana (Legrand, 2017)
2.1.7.3 Biofuel from Waste Cooking Oil
Minyak dan lemak sejenis yang digunakan untuk mengolah makanan.
Minyak yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan penyumbatan di saluran pembuangan air atau bahkan mencemari sungai. Minyak membutuhkan manajemen di berbagai tahap dalam proses memasak, pembuangan, dan tahap pembersihan. Di negara lain, minyak yang telah digunakan dikumpulkan menjadi satu. Minyak tersebut di daur ulang menjadi biofuel untuk bahan bakar kendaraan yang jika terjadi pembakaran tidak menghasilkan bau tidak sedap (Legrand, 2017).
1.7.1.4 Eco-procurement / purchasing minimizing waste
Eco-procurement merupakan kegiatan memilih bahan atau service yang
memiliki dampak negatif terkecil kepada lingkungan dalam meminimalkan limbah
(Legrand, 2017). Standard eco-procurement adalah semua bahan harus dapat
diselidiki dari bahan baku, bahan setengah jadi, kemasan, metode transportasi, penyimpanan dengan efek kepada lingkungan ketika menggunakan suatu bahan.
Eco-procurement tidak hanya memperhatikan spesifikasi seperti kualitas, harga, pengiriman, namun juga mempertimbangkan pembuangan sebuah bahan makanan dan kemasannya (Legrand, 2017).
Eco-procurement menggabungkan prinsip-prinsip dalam desain untuk pembongkaran yaitu metode untuk membuang produk / komponen produk dengan perencanaan daur ulang sebelumnya. Contoh: mencari solusi untuk penggunaan alat makan dan piring dari plastik (Legrand, 2017). Dengan adanya take away container seperti styrofoam dan peralatan makan dari plastik, generasi baru sekarang menciptakan kemasan yang dapat di daur ulang yang terbuat dari agrifibres dan bioplastics yang terbuat dari berbagai pati tanaman. Sebagian dari produk ini dapat digunakan kembali dan tahan suhu panas. Berikut adalah prinsip eco-procurement dalam food service (Legrand, 2017):
a. Produk makanan lokal harus dipilih dari daerah atau negara yang memiliki kualitas, kuantitas, dan harga yang sesuai dengan operasi.
b. Hindari pembelian makanan yang dalam produksinya merusak kesehatan manusia maupun lingkungan.
c. Mendukung produsen menggunakan produk organik.
d. Berusaha untuk mengurangi aditif kimia
e. Informasi tentang sumber makanan dan keberlangsungan penawaran makanan harus tersedia bagi konsumen sehingga dapat membuat pilihan yang terinformasi dengan baik
f. Pastikan produk makanan diproses menggunakan fasilitas yang efisien sumber daya
g. Mendorong sistem pembelian terpusat untuk memenuhi kebutuhan supplier lokal dan regional yang lebih kecil
h. Mendukung sistem transportasi untuk memfasilitasi bahan bakar atau sumber energi yang efisien dan distribusi makanan dari titik produksi atau pengolahan ke titik konsumsi
i. Memastikan produk makanan hewani bersumber dari sistem produksi
ternak yang sesuai dengan standar peraturan nasional dan standar
internasional yang dikembangkan oleh World Organisation for Animal Health (OIE, 2016).
Gambar 2.5 Management Resources in circular thinking in Hospitality Industry Sumber : Legrand (2017, p. 105)
Di dalam siklus tertutup (Gambar 2.5), waste menjadi sumber daya. Dalam tahap resources, manajemen harus bekerja sama dengan supplier untuk mendapatkan produk untuk melakukan pencegahan limbah. Menganalisis semua upstream activity seperti sourcing and supply chain untuk bekerja dengan supplier pada pengiriman dan jumlah yang diperlukan merupakan langkah penting dalam bekerja dengan jumlah sumber daya yang optimal. Misalnya, vendor layanan makanan dapat mengirimkan barang-barang dalam kontainer yang dapat digunakan kembali (Legrand, 2017).
Industri perhotelan harus mempertimbangkan membeli atau menyewakan
perabot dan perlengkapan yang digunakan atau diproduksi ulang. Semakin sedikit
limbah yang diproduksi berarti polusi semakin berkurang dan menghemat sumber
daya alam. Pada tahap use, industri perhotelan dapat mempertimbangkan
bagaimana desain pengelolaan sumber daya dan penghindaran limbah yang dapat
terjadi. Akhirnya pada tahap return dilakukan reuse, repair, redistribute, recycle,
dan recover (Legrand, 2017).
2.1.7.5 Reducing
Sampah makanan dapat dikurangi dengan cara memanfaatkan bahan-bahan makanan yang sebenarnya masih dapat diproses. Mengurangi limbah juga dapat dilakukan dengan cara menentukan forecasting dalam jumlah yang tepat (Legrand, 2017).
2.1.7.6 Reusing
Strategi lain adalah melakukan reuse sebanyak mungkin akan limbah yang dihasilkan. Menemukan cara untuk menggunakan limbah dari suatu proses sebagai bahan baku untuk digunakan dengan cara yang lain (Legrand, 2017). Menggunakan kembali bahan-bahan adalah pilihan yang lebih baik dari pada mendaur ulang dan membuangnya di TPA. Berikut adalah hal yang dapat dilakukan oleh restoran dan hotel berdasarkan tipe dan ukurannya (Legrand, 2017):
a. Reusing textiles
Linen-linen, guest napkin apabila sudah rusak dapat dialokasikan menjadi kain seperti polish dan damp cloth.
b. Reusing containers
Menggunakan tempat wadah juga dapat menghemat finansial daripada menggunakan wadah sekali pakai seperti plastik dan kertas.
c. Reusing bottles and glasses
Sama seperti reusing containers, botol dan gelas sebaiknya digunakan ulang atau membeli minuman dalam kegs (bir), dan mengurangi pembelian kaleng dan botol sehingga meminimalkan sampah kering.
2.1.7.7 Recycling
Ketika melakukan proses daur ulang, kertas, plastik dan lainnya yang akan
didaur ulang untuk dijadikan suatu produk baru memiliki kualitas yang menurun
dari kualitas sebelumnnya. Contoh plastik apabila di daur ulang tentunya akan
dilelehkan, hal ini membuat plastik kehilangan kekuatannya, proses ini disebut
dengan downcycling. Tetapi untuk beberapa bahan seperti metal, aluminium tidak
akan terpengaruh dengan proses downcycling tersebut. Proses daur ulang memiliki
keuntungan yaitu menghemat energi dan mengurangi gas dari rumah kaca
(Legrand, 2017).
Dalam kasus tertentu, produk yang di daur ulang dapat memiliki kualitas
yang lebih baik dari produk sebelumnya, proses ini disebut upcycling. Contohnya,
gelas kertas bekas pakai di daur ulang menjadi kertas dengan kualitas yang lebih
baik (Legrand, 2017).
2.2 Penelitian Terdahulu
2.6 T abe l P en el it ia n T erd ahulu
NoJudul PenelitianPenulis/TahunTujuan PenelitianObjek PenelitianPendekatan & MetodeHasil Penelitian 1 Dengan menggunakan metode kualitatif semi- structured interview, interview ini kemudian di transcribe dan di kategorikan menjadi beberapa golongan dan dianalisa berdasarkan kajian literaturTerdapat beberapa penyebab munculnya food waste seperti tidak efisiennya forecastuntuk produksi makanan, estimasi yang kurang tepat atas pembelian bahan, perilaku konsumen, dan food safety rules. Diketahui juga bahwa pihak dapur dan konsumen sama-sama perlu berkontribusi dalam mengurangi food waste. Disarankan dengan perencanaan dan forecast yang tepat, komunikasi yang baik antar pramusaji dan koki, portion control, food recycling dan donasi dapat mencegah timbulnya biaya tambahan dari food waste. Salah satu hambatan dalam mengurangi food waste adalah adanya peraturan food safety and hygiene law yang melarang makanan untuk di display lebih dari 2 jam, perilaku konsumen dan sulitnya mempredisikan food demand Semua responden sangat paham dengan isu food wastedi lingkungan kerja mereka tapi 3 diantaranya hanya mengerti tapi belum menjalankan secara praktek. Hanya sekitar 2 dari 9 outlet yang memiliki budget atas food waste management. Dikatakan bahwa overproduction dan kurang nya kontrol terhadap inventoryserta customer leftovermenjadi penyebab munculnya food waste. Food waste yang dikumpulkan setiap hari ini kemudian di donasikan ke peternakan hewan.
Total 9 orang yang terlibat dalam interview, yaitu 3 orang manager dari 4 Restoran di Tivoli, head chefs, so chefs, dan cooks dari 5 restoran lain yang terletak di Copenhagen
Mempelajari manajemen yang dilakukan oleh sektor food service dan elemen-elemen terkait meminimalkan food waste Mengidentifikasi penyebab munculnya food waste baik dari pre-consumer maupun post-consumer, mengetahui dampak serta tantangan dalam mengurangi food waste, meneliti manajemen food wasteyang dijalankan oleh dapur Clarion Hoel Helsinki, memberikan saran yang lebih baik dalam manajemen food waste
Pegawai Clarion Hotel HelsinkiData diperoleh dengan metode kualitatif dan menggunakan in-depth interview mengenai sistem yang berjalan di Clarion Hotel Helsinki. Interview dilakukan dengan pegawai dari Clarion Hotel Helsinki dengan tujuan untuk memberikan masukan bagi manajemen food waste
Nguyen Khanh Linh/2018Food Waste Management in the Hospitality Industry. Case Study : Clarion Hotel Helsinki Pujan Shrestha/2016Food Waste in Danish Restaurant2