• Tidak ada hasil yang ditemukan

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REAKSI HIPERSENSITIVITAS"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

i PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Oleh :

I Gusti Ayu Putri Purwanthi (1002005126)

Pembimbing :

dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI DEPARTEMEN/KSM PENYAKIT DALAM

FK UNUD/RSUP SANGLAH 2019

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga laporan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan PBL ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Laporan PBL ini berjudul: ”Reaksi Hipersensitivitas”.

Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, petunjuk, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak baik dari institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega Sp.PD-KHOM selaku Kepala Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

3. dr. Pande Ketut Kurniari, Sp.PD selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan ini.

4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2019

(3)

iii DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iii

Daftar Gambar ... iv

I Pendahuluan ... 1

II Tinjauan Pustaka ... 2

2.1 Definisi Reaksi Hipersensitivitas ... 2

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas ... 2

2.3 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas ... 3

2.4 Manifestasi Klinis ... 8

2.5 Penatalaksanaan ... 9

2.6 Pencegahan ... 11

III Laporan Kasus ... 12

3.1 Identitas ... 12 3.2 Anamnesis ... 12 3.3 Pemeriksaan Fisik ... 15 3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 17 3.5 Diagnosis ... 21 3.6 Penatalaksanaan ... 21 3.7 Prognosis ... 22

IV Hasil Kunjungan Lapangan ... 23

4.1 Alur Kunjungan Lapangan ... 23

4.2 Identifikasi Masalah ... 23

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien ... 25

4.4 Saran dan Pemecahan Masalah ... 29

V Simpulan ... 31 LAMPIRAN

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Penggunaan berbagai macam obat untuk suatu penyakit sudah umum terjadi saat ini. Namun efek interaksi dan efek sampingnya juga meningkat, salah satunya yang paling sering adalah hipersensitivitas terhadap salah satu atau lebih dari 1 obat. Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh seperti reaksi hipersensitivitas tersebut.

Beberapa obat–obatan yang biasa menimbulkan reaksi hipersensitivitas adalah antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin, obat–obatan kemoterapeutik dan vaksin. Beberapa faktor seperti riwayat alergi, riwayat keluarga, riwayat atopi, sifat allergen, alur pemberian obat juga mempengaruhi terjadinya hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 tipe, dimana masing-masing tipenya memiliki patofisiologi dan karakteristik masing-masing.

Penanganan reaksi hipersensitivitas sebagian besar adalah simtomatik yaitu yang terpenting adalah menghentikan obat pemicunya. Selain itu dapat juga dengan desensitisasi dan pencegahan dengan menghindari obat atau zat lain penyebab timbulnya hipersensitivitas.

(5)

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh seperti reaksi hipersensitivitas tersebut. Komponen–komponen sistem imun yang berperan pada fungsi proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas.1

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat dan keadaan. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya) atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal.1,2

Adapun beberapa obat – obatan yang biasa menimbulkan reaksi hipersensitivitas adalah antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin, obat – obatan kemoterapeutik dan vaksin. Makanan seperti ikan, udang, kacang – kacangan, telur dan lain – lain. Bisa/cairan binatang, getah tumbuhan dan kosmetik juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas.1,2

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas adalah:

a. Riwayat keluarga. Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa faktor genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua memiliki penyakit alergi, maka 25 – 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua memiliki alergi maka risiko pada anak adalah 50 – 70%.

(6)

3 b. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi.

c. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan, kerang).

d. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral, namun reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian. e. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering

terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.

f. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen pada penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis).3

2.3 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas

Terdapat beberapa klasifikasi reaksi hipersensitivitas yaitu menurut waktu timbulnya dan menurut Gell dan Coombs.

2.3.1 Klasifikasi Menurut Waktu Timbulnya Reaksi Hipersensitifitas a. Reaksi cepat

Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan eksema.

b. Reaksi intermediet

Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK.

(7)

4 Manifestasinya berupa reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun dan reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

c. Reaksi lambat

Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada delayed type of hypersensitivity yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.1

2.3.2 Klasifikasi Menurut Gell dan Coombs a. Hipersensitivitas Tipe I

Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Reaksi ini timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh dan merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan tersebut, sel mast atau basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator. Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu histamin dan faktor kemotaktik eosinofilik.

Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat anafilaksis yang disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas prostaglandin, leukotrin, tromboksan dan aktor pengaktif trombosit. Efek kombinasi dari senyawa-senyawa ini menimbulkan pelebaran pembuluh darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan), dan masuknya eosinofil yang khas pada respons atopik

(8)

5 lokal. Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus dan spasme bronkus.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.

2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Manifestasi hipersensitivitas tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis.

b. Hipersensitivitas Tipe II

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotoxicity. Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan sel dengan mengikat antibodi yang spesifik pada permukaan sel. Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hassil pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau pada sistem komplemen.

Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga

(9)

6 diikutsertakan. Misalnya saja pada anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia.

c. Hipersensitivitas Tipe III

Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan Macropaghe Chemotactic Factor mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotombi dan melepas amin vasoaktif, selain itu komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1 dan produk lainnya.

Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks dan akan melepas granulnya. Kejadian ini menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan lepra.

d. Hipersensitivitas Tipe IV

Hypersensitivitas yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.

1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)

Pada tipe ini, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai sel efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang

(10)

7 mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. DTH dapat juga terjadi sebagai respon terhadap bahan yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang menimbulkan dermatitis kontak. Pada keadaan yang paling menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal dan superoksid. DTH dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap patogen yang sulit disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.

2. T Cell Mediated Cytolysis

Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8 yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.

Manifestasi klinisnya antara lain dermatitis kontak, diabetes insulin dependen, artritis reumatoid, sklerosis multipel.1,3,4

(11)

8 Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV

menurut Gell dan Coombs

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam hal awal mula timbulnya gejala maupun perjalanan klinisnya.5

1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit, pruritus, urtikaria dengan atau tanpa angioedema.

2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-bersin, rasa gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah umumnya berupa bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan sesak napas, mengi, dan perasaan dada terhimpit.

3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan

4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot polos, berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.

5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.

(12)

9 Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs adalah:1

1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensim nausea, muntah, sakit abdomen dan diare.

2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan trombositopenia.

3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan serum sickness.

4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed drug eruption, lesi makulopapular.

2.5 Penatalaksanaan

Menghentikan semua obat dan menghindari faktor pencetus yang diperoleh oleh penderita merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam beberapa hari. Bila suatu obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka harus dipertimbangkan secara cermat risiko untuk terus memberikan obat tersebut dibandingkan risiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya. Cara lain yang dapat ditempuh adalah pemberian obat melalui desentisasi.6

2.5.1 Pengobatan Simptomatik

Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan manifestasi klinis alergi obat yang hingga mereda. Untuk reaksi anafilaksis:

1. Segera berikan suntikan epinephrine 1:1000, 0,3 ml intramuscular di daerah deltoid atau paha lateral (vastus lateralis).

2. Hentikan infus media kontras radiografis, antibiotika, produk yang berasal dari darah dan lepaskan sengatan binatang.

3. Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan apakah diperlukan tindakan resusitasi kardiopulmoner.

4. Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respon terhadap pengobatan, dan kondisi masing-masing penderita berikan:

(13)

10 b. Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg IV

c. Oksigen melalui masker/kanula hidung d. Infus cairan garam fisiologis

e. Metilprednisolon 125 mg IV

5. Ulangi pemberian epinephrine tiap 15-20 menit bila diperlukan 6. Siapkan untuk intubasi dan antipasi terjadinya hipotensi

7. Bila tekanan darah sistolik <90 mmHg, baringkan penderita dalam posisi trendelenburg dengan tungkai dielevasi, lakukan:

a. Pasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat (guyur).

b. Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan, bila tidak efektif pertimbangkan

c. Norepinephrin (Levophed) 2 mg 1 ampul dalam 250 ml Dextrose 5% hingga tekanan darah sistolik mencapai 90 mmHg, selanjutnya titrasi secara perlahan.

8. Bila terjadi bronkospasm atau sesak napas, berikan: a. Epinephrin seperti petunjuk di atas

b. Bila tidak efektif, pertimbangkan: salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi

c. Oksigen hingga konsentrasi 100% menggunakan masker 9. Bila dijumpai stridor

a. Epinephrin seperti petunjuk di atas b. Oksigen menggunakan masker

c. Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran napas.

Untuk penderita dengan serum sickness cukup diberikan antihistamin. Reaksi yang lebih berat membutuhkan kortikosteroid dengan dosis awal 40-60 mg per hari dan diturunkan bertahap dalam 7-10 hari. Kadang-kadang diperlukan plasmapharesis untuk menghilangkan kemungkinan yang tersisa.5,6

(14)

11 2.5.2 Desentisasi

Desentisasi merupakan upaya untuk mengubah kondisi penderita yang sebelumnya sangat peka terhadap suatu obat menjadi toleran terhadap obat tersebut. Pada umumnya desentisasi dimulai dengan pemberian obat dengan dosis rendah (1/10.000 hingga 1/1000 dosis terapi). Dosis obat selanjutnya dilipatgandakan setiap 15 menit sambil dilakukan pemantauan secara ketat terhadap kondisi penderita.5

2.6 Pencegahan

Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara teliti adanya riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi, manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang digunakan saat ini. Pada pasien denga riwayat alergi, pemberian obat harus dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan lebih baik diberikan obat secara oral.7

Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-obatan atau pemberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita yang sensitif terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah profilaksis dan pemilihan media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.5

(15)

12 BAB III LAPORAN KASUS 3.1 IDENTITAS PENDERITA Nama : RA Umur : 38 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : Tamat SMA

Status Pernikahan : Sudah Menikah Pekerjaan : Pegawai Swasta

Alamat : Jalan Sunset Road No. 10X Seminyak Tanggal MRS : 29 Januari 2015

Tanggal Kunjungan : 4 Februari 2014

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri Kepala Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang sadar diantar temannya. Pasien mengeluh nyeri kepala sejak 4 bulan SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba, tertusuk-tusuk di seluruh kepala, memberat dengan aktivitas dan membaik dengan obat penghilang rasa sakit (paracetamol). Sejak 4 hari SMRS sakit kepala yang dirasakan semakin memberat, bahkan tidak membaik dengan istirahat dan minum obat (paracetamol dan neuralgin). Selain itu pasien juga mengeluh pandangangannya menjadi kabur. Pandangan kabur dikeluhkan sejak 4 hari SMRS. Pandangan kabur tersebut dirasakan tiba-tiba sehingga pasien pergi ke RS Silloam untuk memeriksakannya. Setelah diperiksa di RS Silloam, pandangan kabur yang dirasakan pasien membaik. Pasien diberikan obat namun lupa nama obatnya. Riwayat mual, muntah, kejang, trauma dan demam disangkal oleh pasien. Namun pasien

(16)

13 mengatakan mengalami penurunan berat badan sekitar 20 kg selama 2 bulan, padahal nafsu makannya normal.

Kemudian Bagian Neurologi menemukan adanya paresisi nervus VII sinistra supranuklear dan paresis nervus XII sinistra supranuklear sehingga didiagnosis dengan suspect infeksi HIV dengan suspect toxoplasmosis cerebri diagnosis banding tuberkuloma, diagnosis banding PCNSL (Primary Central Nervous System Lymphoma). Pasien dirawat oleh bidang Neurologi di ruangan Nusa Indah. Pada tanggal 29 Januari 2015 pasien dikonsulkan ke Interna.

Saat konsul pasien masih mengeluh sedikit nyeri kepala namun sudah lebih baik dari sebelumnya. Pasien mengeluh batuk sejak 4 bulan yang lalu, namun memberat setelah dirawat di RS. Batuk dirasakan hilang timbul, tidak membaik dengan obat batuk. Kadang-kadang keluar dahak yang berwarna putih. Pasien juga mengeluh gelisah dan tidak bisa tidur. Pasien mengatkan tidak bisa tidur karena sempat melihat seorang laki-laki menyuntikan obat kepadanya yang membuat infusnya lepas kemudian darahnya berceceran. Pada tanggal 30 Januari pasien dikonsilkan ke bagian PITC dengan hasil VCT reaktif. Pasien juga dikonsulkan ke Bagian Psikiatri terkait keluhan tidak bisa tidur dan gelisahnya. Bagian Psikiatri mendiagnosis pasien dengan halusinasi organik. Pasien akhirnya dirawat bersama oleh Bagian Neurologi, Psikiatri dan Interna.

Pada tanggal 7 Februari 2015 pasien mengeluh gatal pada badan dan muncul bercak-bercak kemerahan. Bercak-bercak merah muncul tiba-tiba setelah minum obat OAT yang berwarna merah. Bercak merah awalnya muncul dari leher, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Rasa gatal dan bercak merah dirasakan terus-menerus dan tidak hilang. Rasa gatal yang diarasakan pasien dikatakan sangat mengganggu sehingga membuat pasien tidak bisa tidur. Setelah obat OAT dihentikan rasa gatal mulai berkurang namun bercak-bercak merah masih dikeluhkan.

Pasien dikatakan tidak memiliki keluhan baik pada BAK ataupun pada BAB terhadap frekuensi hariannya. Pasien BAK dengan volume yang cukup, 4-5 kali sehari dengan warna kencing kuning. Warna kencing seperti the disangkal oleh pasien. Pasien BAB 1 kali sehari dengan volume cukup, konsistensi padat, warna kuning kecoklatan. Pasien tidak mengeluhkan adanya mata yang berwarna kuning

(17)

14 dan badan berwarna kuning. Pasien juga menyangkal adanya keluhan ada plak berwarna putih di lidah atau sekitar rongga mulut pasien.pasien tidak mengeluh adanya rambut rontok, gusi berdarah dan mimisan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya dikatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama seperti yang dirasakan sekarang. Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, diabetes melitus atau penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak sempat berobat ke RS sebelumnya terkait keluhan batuk dan nyeri kepalanya. Pasien hanya membeli obat batuk dan penghilang rasa sakit di warung dekat kostnya. Pasien juga tidak pernah dirawat di RS untuk keluhan atau penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Di keluarga juga tidak ada riwayat penyakit lain seperti kencing manis, hipertensi, penyakit hati, ginjal, dan sakit jantung.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien sudah menikah dengan 4 orang istrinya. Keempat istrinya masih menjadi istrinya sampai saat ini, namun mereka tinggal di tempat terpisah. Pasien memiliki 2 orang anak kandung dan 1 orang anak tiri. Pasien bekerja sebagai supir pariwisata. Pasien bekerja dari pukul 09.00 sampai pukul 17.00. pasien memiliki riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol sejak lama. Pasien merokok kurang lebih 2 bungkus perhari, dan kadang-kadang minum alkohol jika diajak temannya. Pasien menyangkal pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang seperti narkoba. Ketika ditanyakan mengenai pernah berhubungan seksual selain dengan istrinya, awalnya pasien menyangkal, namun akhirnya pasien mengatakan pernah sekali namun lupa dengan siapa, karena pada saat itu pasien sedang minum alkohol.

(18)

15 Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat transfusi sebelumnya. Istri dan anak pasien dikatakan tidak memiliki keluhan yang sama.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Present

Keadaan Umum : sakit sedang Kesadaran : sadar baik

GCS : E4V5M6 Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/mnt Respirasi : 22 x/mnt Suhu aksila : 36,1 °C Berat badan : 68 kg Tinggi badan : 183 cm BMI : 20,3 kg/m2 Status General

Mata : Anemis -/-, Ikterus -/ , Reflek pupil +/+, Edema palpebra -/- THT

Telinga : Bentuk normal, Sekret tidak ada Hidung : Bentuk normal, Sekret tidak ada

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Hiperemis (-), Faring hiperemis (-), Fetor hepatikum (-), plak putih pada lidah (-) Leher

JVP : PR + 0 cmH2O

Kelenjar getah bening : Tidak ditemukan pembesaran Kelenjar parotis & tiroid : Tidak ditemukan pembesaran Thorax:

Simetris, retraksi (-), spider naevi (-) Jantung

(19)

16 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas Kanan : Parasternal line dekstra

Batas Kiri : Midclavicular line sinistra ICS V Batas Atas : Intercostal space II

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-) Paru-paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, Palpasi : Vokal fremitus N/N

Perkusi : Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor

Auskultasi : Ves Ves Ronkhi - - Wheezing - - Ves Ves - - - - Ves Ves - - - -

Abdomen

Inspeksi : Distensi (+), Meteorismus (-), Vena kolateral (-), Caput medusae (-)

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, Ginjal tidak teraba, Nyeri tekan (-)

Perkusi : Shifting dullness (-), undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat + + Edema - - + + - -

Warna kekuningan (-), Palmar eritema (-), Flapping tremor (-) Status Lokalis:

Makula dan papula eritema, berbatas tidak tegas, ukuran bervariasi, tersebar di seluruh tubuh, tidak menghilang saat ditekan.

(20)

17 3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (29 Januari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

WBC 10,9 x103/µL 4,10 – 11,00 Normal %NE 82,7 % 47-80 Tinggi %LY 16,1 % 13-40 Normal %MO 0,921 % 2-11 Rendah %EO 0,072 % 0-5 Normal %BA 0,166 % 0-2 Normal RBC 4,34 x106/µL 4,5-5,9 Rendah HGB 10,8 g/dL 13,5-17,5 Rendah HCT 34,7 % 41,0-53,0 Rendah MCV 79,9 fL 80,00-100 Rendah MCH 24,9 Pg 26,00 – 34,00 Rendah MCHC 31,1 g/dL 31.00 – 36.00 Normal RDW 14,6 % 11,60 – 14,80 Normal PLT 503 x103/µL 150.00 – 440.00 Tinggi MPV 4,47 fL 6,8-10 Rendah Immunologi (29 Januari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan Toxo IgG >300 IU/mL Non reaktif < 2

equivocal 4-8 reaktif > = 8

Reaktif

Toxo IgM 0,07 Units Non reaktif< 0,55 equivocal 0,55-0,65

Reaktif > = 0,65

Non-reaktif

Immunologi (30 Januari 2015)

(21)

18 Toxo IgG >300 IU/mL Non reaktif < 2

equivocal 4-8 reaktif > = 8

Reaktif

BTA Sewaktu-Pagi-Sewaktu (30-31 Januari 2015) Negatif-negatif-negatif

Kimia Klinik (2 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 BSN 155 mg/dL 80-100 Tinggi 2 Glukosa 2 jam PP 109,57 mg/dL 70-140 Normal 3 HbA 1C 7,48 % < 6,5 Tinggi Immunologi (3 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

CD-4 338 - 410-1590 Rendah

Immunologi (4 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

HBsAg 0,424 COI Reaktif > = 1,00

Non reaktif < 1,00

Non-reaktif

Anti HCV 0,087 COI Non reaktif < 1,00

Reaktif > = 1,00

Non-reaktif

Kimia Klinik (4 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 HbA 1C 5,72 % < 6,5 Normal

(22)

19 No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 ALP 229 U/L 53-128 Tinggi

2 SGPT 272,2 U/L 11-50 Tinggi

3 SGOT 50,4 U/L 11-33 Tinggi

4 Total Protein 6,89 g/dL 6.4-8.3 Normal

5 Albumin 3,51 g/dL 3.4-4.8 Normal

6 Globulin 3,38 ug/dL 3.2-3.7 Tinggi

7 Gamma GT 674 U/L 11-49 Tinggi

8 Bilirubin Total 1,67 mg/dL 0-1.3 Tinggi 9 Bilirubin Direk 1,28 mg/dL 0.00-0.30 Tinggi 10 Bilirubin Indirek 0,39 mg/dL 0.00-0.8 Normal

Kimia Klinik (9 Februari 2015)

No Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

1 SGPT 39,4 U/L 11-50 Normal

2 SGOT 18,7 U/L 11-33 Normal

3 BS Acak / Glukosa Acak

270 mg/dL 70-140 Tinggi

4 BUN 10 mg/dL 8-23 Normal

5 Creatinin 0,86 mg/dL 0,7-1,2 Normal

6 Natrium (Na) 137 mmol/L 136-145 Normal

7 Kalium (K) 4,49 mmol/L 3,5-5,1 Normal

Immunologi (9 Februari 2015)

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan

IgE 642,43 KUI/L <150 Tinggi

Thoraks AP (29 Januari 2015)

 Cor : besar dan bentuk kesan normal  Pulmo : tampak fibroinfiltrat di suprahiler

(23)

20 Paracardial kiri

 Sinus pleura kanan dan kiri tajam  Diafragma kanan dan kiri normal  Tulang tak tampak ada kelainan Kesan :

- Suspect TB Paru

- Bekas keradangan di paracardial paru kiri

EKG (29 januari 2015)  Irama : sinus

 Heart rate : 68 kali/menit

 Axis : normal

 P-R Interval :164 ms

 Gelombang P : tidak memanjang  ST-changes : -

(24)

21 3.5 DIAGNOSIS

Infeksi B24 stadium IV (WHO) - Wasting syndrome

- Toxoplasmosis cerebri - TB paru BTA (-), rontgen (+)

Reaksi hipersensitivitas e.c. suspect durg (OAT, pirymethamine, clindamycin, paracetamol)

Halusinasi organik (membaik)

3.6 PENATALAKSANAAN Terapi

- Masuk Rumah Sakit - Diet ekstra putih telur - IVFD NaCl 20 tpm

- Paracetamol 3 x 750 mg (k/p)

- Dyphenhidramine 3 x 10 mg IV  ganti dengan cetirizine 1 x 10 mg p.o - Clindamycin 4 x 600 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop)

- Pirimethamine 1 x 75 mg I.O. (apabila ada reaksi alergi stop) - OAT kategori I fase intensif  stop

- Haloperidol 0,75 mg setiap 12 jam I.O. - Diazepam 2 mg setiap 12 jam I.O (malam) Diagnosis - LFT lengkap - IgE total Monitoring - Tanda-tanda vital - Keluhan - Keseimbangan cairan - Berat badan

(25)

22 3.7 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubius ad malam Ad functionam : Dubius ad malam Ad sanationam : Dubius ad malam

(26)

23 BAB IV

HASIL KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan dilakukan pada tanggal 20 Februari 2015 ketika pasien baru saja kembali dari luar kota yang bertempat di rumah kos pasien yang beralamat di Jalan Raya Kerobokan No. 106. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien yang baru saja keluar dari rawat inap di RSUP Sanglah pada tanggal 13 Februari 2015. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien serta memberikan dorongan semangat kepada pasien dalam mengatasi penyakitnya. Pasien dalam kasus ini memiliki penyakit Infeksi B24 Stadium IV WHO yang baru diketahui saat dirawat di RSUP Sanglah dengan Wasting Syndrome, Toxoplasmosis Cerebri, TB Paru dan Reaksi Hipersensitivitas akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

4.2 Identifikasi Masalah

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi penyakitnya:

1. Penyakit pasien merupakan penyakit kronis dengan onset yang mungkin sudah terjadi sebelum pasien menunjukan gejala yang muncul pada saat pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien mengatakan tidak tahu dirinya menderita penyakit HIV/AIDS dimana pada awalnya ia datang ke Triage Neurologi RSUP Sanglah (29/01/2015) dengan keluhan utama nyeri kepala yang dirasakan 4 bulan SMRS. Pasien mengatakan tidak pernah mengkonsumsi obat atau menjalani terapi yang terkait dengan HIV/AIDS dan biasa berobat ke klinik jika ia merasa sakit.

2. Pasien mengaku kurang begitu mengerti dengan penyakit yang diderita pasien. Pasien tidak mengetahui penyebab penyakit pasien serta bagaimana perjalanan penyakit serta komplikasi yang dapat ditimbulkan. Pasien memiliki riwayat

(27)

24 multipartner dengan istri sahnya, satu istri kawin adat dan dua orang selingkuhannya.

3. Pasien sudah bercerai dengan istri sah nya pada tahun 2010 dimana mereka memiliki 1 orang anak yang berusia 8 tahun. Istri dan anak pasien tinggal di Jawa dan tidak pernah kontak dengan pasien. Istri dan anak pasien tidak tahu tentang penyakit pasien dan dirawatnya pasien di Rumah Sakit. Pasien juga mengatakan ayah dan ibunya sudah meninggal namun ia memiliki enam orang saudara dimana anak kelima tinggal di Bali dan masih berhubungan dengan pasien. Adik pasien tersebut tahu akan penyakit pasien dan sesekali mengunjungi pasien di Rumah Sakit dan mengurus kebutuhan pasien.

4. Pasien mengurus dirinya sendiri di Rumah Sakit dimana ia tidak memiliki saudara maupun kerabat untuk menemaninya. Pasien mengatakan sejak hari pertama masuk rumah sakit belum ada yang pernah mengunjunginya kecuali adik pasien yang ikut membantu administrasi Rumah Sakit pasien.

5. Kondisi fisik pasien yang cenderung semakin lemah membatasi gerak dan aktivitas pasien. Pasien bekerja sebagai supir dimana ia tidak dapat melakukan pekerjaannya semenjak masuk rumah sakit sehingga ia tidak mendapat penghasilan semenjak di rawat di Rumah Sakit. Pasien mengatakan ia membayar biaya Rumah Sakit dengan jaminan kesehatan BPJS.

6. Pasien mengatakan semenjak sakit nafsu makannya jauh berkurang dimana sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluh mengalami penurunan berat badan.

7. Pasien mengalami infeksi oportunistik HIV/AIDS berupa Tuberkulosis Paru yang mengakibatkan pasien harus mengkonsumsi OAT akibat penyakitnya ini. Pasien mengatakan ia mengeluh kemerahan di seluruh badan disertai rasa gatal setelah meminum obat OAT (6/02/2015) sehingga ia dicurigai mengalami hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Pasien mengatakan ia sering mengalami gatal – gatal sehari – harinya karena sebab yang tidak jelas. Pasien juga mengatakan ia alergi terhadap jenis – jenis coklat tertentu dimana seluruh tubuhnya akan gatal dan kemerahan jika mengkonsumsi coklat tersebut.

(28)

25 8. Pasien sempat berkata ia khawatir tentang apa yang akan dipikirkan oleh teman – teman serta keluarganya mengenai penyakit yang ia alami sehingga pada awalnya ia menolak untuk dikunjungi di rumah. Pasien mengatakan yang ia ketahui tentang penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat menular dan tidak bisa disembuhkan.

9. Pasien mengatakan dirinya aktif merokok sejak berusia 17 tahun dimana ia biasa menghabiskan minimal 2 bungkus rokok perharinya. Pasien mengaku ia memiliki keinginan untuk berhenti merokok karena penyakitnya ini namun hal tersebut masih sulit untuk dilakukan.

10. Lingkungan dalam rumah pasien kurang bersih dimana kamar tidur pasien banyak debu karena jarang dibersihkan. Ventilasi dan pencahayaan di kamar pasien juga tergolong kurang.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien a. Kebutuhan fisik-biomedis

1. Kecukupan Gizi

Pasien biasa membeli atau memasak makanan instan di kosnya untuk konsumsi sehari – hari. Porsi nasi yang dimakan oleh pasien adalah satu piring tiga kali sehari dengan lauk-pauk seperti tempe, tahu, ikan laut, daging ayam, telor, dan sayuran. Namun semenjak sakit, pasien hanya makan dua kali sehari karena nafsu makannya menurun. Pasien jarang makan buah, pasien terkadang mengkonsumsi apel. Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

 Berat badan ideal = (TB cm-100) – 10% BB = (173-100) – (10% 68 kg) = 73 – 6,8 = 66,2 kg

 IMT = BB (kg)/TB2 = 68/2,9 = 23,45 (normal) Jumlah kebutuhan kalori per hari =

o Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori (laki-laki) = 66,2 x 30 = 1986 kalori

o Kebutuhan aktivitas (sedang) = + 20% = +397,2 kalori o Kebutuhan stres metabolik (infeksi) = +10% = +198,6 kalori

(29)

26 Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1986 + 397,2 + 198,6 = 2581,8 kalori  dibulatkan menjadi 2500 kalori.

Distribusi makanan :

1. Karbohidrat 60% = 60% x 2500 kalori = 1500 kalori dari karbohidrat setara dengan 375 gram karbohidrat (1500 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).

2. Protein 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari protein setara dengan 125 gram protein (500 kalori : 4 kalori/gram protein).

3. Lemak 20% = 20% x 2500 kalori = 500 kalori dari lemak setara dengan 55 gram lemak (500 kalori : 9 kalori/gram lemak).

Perhitungan Nutrisi Pada Pasien

Jenis Jumlah Satuan Penukar Jumlah Kalori Total Karbohidrat - Nasi - Roti - Mie - Lainnya Protein Hewani - Ayam - Telur - Ikan Protein Nabati - Tahu - Tempe - Sayur Buah (apel) 1 piring - 1 bungkus - 1 potong 1 butir 1 potong 3 potong 3 potong 1/2 piring 1 potong 11/2 gelas - 1 gelas - 1 potong kecil 1 butir 1 potong sedang 3 biji besar 3 potong sedang 3 kali ½ buah besar 350 - 50 - 150 95 95 240 240 300 40

(30)

27 Nutrisi harian pasien (± 1600 kalori) masih belum mencukupi kebutuhan nutrisi yang seharusnya, jadi, pasien memerlukan lebih banyak variasi dalam makanan.

2. Kegiatan fisik

Kegiatan fisik pasien di luar pekerjaan adalah diam di rumah dan menonton TV. Pasien biasa bekerja sebagai supir setiap hari dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 17.00 di sore hari. Pasien mengatakan ia tidak pernah berolahraga karena sibuk bekerja.

3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan

Akses dari rumah pasien menuju beberapa klinik dan rumah sakit swasta relatif dekat. Pasien mengatakan ia biasa berobat ke klinik jika sakit dengan mengendarai sepeda motor. Pasien juga mengatakan ia tidak memiliki kerabat untuk mengantarnya berobat.

4. Lingkungan

Pasien tinggal di sebuah rumah kos di Jalan Raya Kerobokan No. 106 di belakang Bank BPD Bali dimana rumah pasien memasuki gang yang cukup sempit. Pasien tinggal sendiri dimana penghuni kamar lainnya merupakan teman pasien. Kamar kos pasien berukuran ± 4 x 5 m. Kos pasien terdiri atas 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan dapur kecil di dalamnya. Kamar tidur pasien tampak kurang rapi dimana cukup banyak debu serta barang – barang pasien yang berantakan. Ventilasi dan sirkulasi udara di dalam rumah dan kamar kurang memadai dan sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah tampak masih kurang.

Keadaan dapur pasien terlihat tidak tertata rapi dan tidak bersih, ventilasi udara pun kurang dimana jika dilakukan aktivitas memasak asap akan cenderung terkumpul di dapur dan membuat pengap. Keadaan kamar mandi pasien juga terlihat kotor dan berbau. Masih terdapat beberapa cucian dan sampah botol plastik di dalam kamar

(31)

28 mandi. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak. Tempat pembuangan sampah menggunakan tempat sampah yang dikumpulkan di depan kos. Lingkungan halaman kos tampak cukup terawat.

b. Kebutuhan bio-psikosoial 1. Lingkungan biologis

Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien tidak ada yang pernah mengeluh keluhan dan penyakit yang sama dengan pasien. Tidak terdapat riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma, kejang dan penyakit sistemik lainnya di dalam keluarga pasien. Pasien sering mengalami gatal – gatal sedari dulu karena hal yang tidak jelas dan pasien mengatakan ia alergi terhadap coklat.

2. Faktor psikososial

Pasien sangat membutuhkan peranan dan dukungan dari keluarga dalam menghadapi penyakitnya ini. Pasien sudah bercerai dengan istrinya dimana mereka tinggal terpisah dan mantan istri serta anak – anaknya pasien tidak mengetahui penyakit yang sedang diderita pasien. Pasien memiliki dua orang anak dimana satu anak berasal dari istri sah dan satu lagi dari istri yang ia nikahi secara adat. Ayah dan ibu pasien juga sudah meninggal. Kakak pasien dan teman – teman pasien dikatakan mengetahui pasien dirawat di RSUP Sanglah namun tidak pernah datang menjenguk. Pasien juga saat ini tinggal sendiri dimana tidak ada yang membantunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sehari – harinya dan mendukungnya dalam menjalani terapi terhadap penyakitnya.

(32)

29 4.4 Saran dan Pemecahan Masalah

Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan penyelesaian masalah yang yakni:

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya. Pasien dijelaskan kembali lebih lengkap mengenai penyakitnya dan bagaimana faktor risiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, pencegahan penularan penyakitnya kepada orang lain dan pengobatannya lebih lanjut. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol dan meminum obat yang sudah diresepkan oleh dokter.

2. Memberikan KIE kepada pasien untuk menghindari faktor risiko dari penyakitnya dan mencatat obat yang membuatnya mengalami hipersensitivitas serta menginformasikannya kepada dokter yang akan menangani penyakitnya nanti.

3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah, terutama mengenai debu, polutan dan lingkungan pasien yang kurang bersih. Pasien agar rutin menjaga kebersihan rumahnya dan mengatur sirkulasi udara serta cahaya yang cukup di dalam rumah.

4. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan, sebaiknya memasak makanannya sendiri dan menghindari makanan dengan bahan pengawet.

5. Lingkungan rumah pasien perlu ditata dan diperhatikan kebersihannya karena dapat turut serta berperan dalam kesehatan pasien baik terhadap kondisi primer maupun kondisi penyerta pasien lainnya.

Adapun beberapa saran yang disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

1. Pengetahuan terhadap penyakit pasien hendaknya ditingkatkan agar dalam penanganan dan penularannya dapat dimengerti oleh pasien dan keluarga. 2. Pasien sebaiknya menghindari faktor risiko dari penyakitnya dan tetap rutin

kontrol ke RSUP atau praktik dokter spesialis.

3. Menyarankan pasien untuk menghubungi keluarganya yang lain dan memberanikan diri untuk menceritakan penyakitnya sehingga keluarga dapat membantu pasien dalam menghadapi penyakitnya.

(33)

30 4. Lingkungan rumah pasien agar dijaga kebersihannya karena lingkungan yang kotor dapat menjadi sumber penyakit lainnya bagi pasien dan memperburuk keadaan penyakit hati pasien.

5. Pasien sebaiknya menjaga pola makan dan menghindari kebiasaan merokok dan minum alkohol yang tidak baik untuk kesehatan pasien.

(34)

31 BAB V

SIMPULAN

Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat dan keadaan dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Terapi terpenting adalah menghindari faktor pencetus dari reaksi hipersensitivitas itu sendiri serta penatalaksanaan yang bersifat simptomatis. Pasien, NWS, laki – laki, 50 tahun, didiagnosis dengan penyakit Infeksi B24 Stadium IV WHO yang baru diketahui saat dirawat di RSUP Sanglah denqgan Wasting Syndrome, Toxoplasmosis Cerebri, TB Paru dan Reaksi Hipersensitivitas akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Penanganan reaksi hipersensitivitas memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan serta diharapkan dapat membantu pasien untuk tahu mengenai pencegahan yang dapat dilakukan terhadap munculnya penyakit ini.

(35)

32 LAMPIRAN

(36)

33 LAMPIRAN

DENAH RUMAH PASIEN

DAPUR TOILET

KAMAR TIDUR

TERAS

(37)

34 DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja Karnen Garna. Reaksi Hipersensitivitas. 2014. Imunologi dasar edisi ke 11. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p 20-24.

2. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2008. Alergi Imunologi. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p 568-72.

3. Sudoyo W. Aru, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. 2009. Alergi Imunologi Klinik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Internal Publishing. p 387-391.

4. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta: EGC. 2009.

5. Soegiarto G, Konthen P G, Effendi C, Baskoro A. Anafilaksis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Unair. Surabaya. 2007.

6. Alrasbi M, Sheikh A. Comparison of international guidelines for the emergency medical management of anaphylaxis. Allergy. Aug 2007;62(8):838-41

7. Webb LM, Lieberman P. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann Allergy Asthma Immunol. Jul 2006;97(1):39-43.

Referensi

Dokumen terkait

Vaskulitis merupakan penyakit komplekks imun yang ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis lokal pada dinding pembuluh darah akibat respon tubuh terhadap

Pasien dan keluarga pasien menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga mengalami keluhan yang sama dengan pasien dan tidak ada yang mempunyai riwayat TB

Data biokimia, data antropometri, data physical (kesehatan yang ditemukan), data riwayat gizi, riwayat penyakit pasien.. Data biokimia, data antropometri, data riwayat keluarga

Bagi tenaga kesehatan dapat melengkapi data pasien ibu hamil terutama pada riwayat penyakit ibu hamil dan riwayat penyakit anggota keluarga, bagi ibu hamil dapat

Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin. Karbapenem

Riwayat penyakit pada keluarga ditemukan adanya keluhan mata merah pada mata kanan yang dialami oleh ibu pasien sejak 2 hari sebelum pemeriksaan di poli klinik mata RSUD Karanganyar..

Anamnesa Identitas, riwayat kehamilan sekarang, keluhan utama, riwayat obstetri lalu, riwayat menstruasi, riwayat penyakit ibu dan keluarga dan pola kebiasaan c.. Melakukan pemeriksaan

Asesmen awal keperawatan : 1 Identias pasien 2 Riwayat alergi 3 Rujukan dan Keterangan 4 Pemeriksaan awal 5 Anamnesis 6 Keluhan utama 7 Riwayat penyakit sekarang 8 Riwayat penyakit