• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reaksi Hipersensitivitas Tipe III"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Zuhrial Zubir, Fiblia

Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Pendahuluan

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh yaitu berupa penyakit yang dikenal dengan reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan salah satu pembagian dari reaksi hipersensitivitas berdasarkan Gell dan Coombs (1963). Selain berdasarkan Gell dan Coombs, pembagian reaksi hipersensitivitas juga dapat berdasarkan waktu timbulnya reaksi yaitu reaksi cepat, intermediet dan lambat. 1

Definisi

Reaksi hipersensitivitas merupakan peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas juga dikenal sebagai reaksi berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada sel B dan sel T. Aktivitas atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan keadaan imunopatologis yaitu reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitivitas yaitu :2

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi anafilaktifReaksi hipersensitivitas tipe II yaitu reaksi sitotoksikReaksi hipersensitivitas tipe III yaitu reaksi kompleks imun

Reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu reaksi yang diperantarai oleh sel

(2)

Etiologi

Penyebab reaksi hipersensitivitas diantaranya :3

a. Infeksi persisten

Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses infeksi ini akan muncul kompleks imun pada organ yang terinfeksi

b. Autoimun

Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks imun mengendap pada ginjal, sendi dan pembuluh darah

c. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan. Tempat kompleks imun mengendap yaitu paru

Patofisiologi

Reaksi hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam jumlah kecil dan antigen dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks imun yang kecil dan sulit diekskresikan dari sistem sirkulasi. Kompleks imun ini memiliki sifat sebagai antigen terlarut yang tidak berikatan dengan permukaan sel. Ketika antigen ini berikatan dengan antibodi, maka terbentuk kompleks imun dengan berbagai ukuran. Kompleks imun yang berukuran besar dapat dimusnahkan oleh makrofag, namun kompleks imun yang berukuran kecil, sulit untuk dimusnahkan oleh makrofag sehingga dapat lebih lama bertahan dalam sirkulasi. Kompleks imun ini menjadi berbahaya ketika mengendap di jaringan. Beberapa jaringan tersebut diantaranya: pembuluh darah, persendian dan glomerulus. Endapan ini akan menimbulkan gejala. Kompleks imun berukuran medium lebih bersifat patogen. 1,3

a. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergi ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen yang berebihan tanpa disertai respon antibodi yang efektif. Oleh karena makrofag belum dapat memusnahkan kompleks imun, sehingga perangsangan terhadap makrofag ini terjadi secara terus menerus dan berakibat terhadap rusaknya jaringan. 1

(3)

reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks ini juga dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permiabilitas vaskuler, aktivitas sel mast, produksi dan pelepasan mediator iflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik ini dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya. Kompleks imun yang mengendap pada dinding pembuluh darah dapat dilihat pada gambar 1 berikut.1

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe III

b. Kompleks imun mengendap di jaringan

Beberapa hal yang dapat menyebabkan kompleks imun dapat mengendap di jaringan yaitu : ukuran kompleks imun yang kecil serta permiabilitas vaskuler yang meningkat antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.1

Kompleks antigen antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut:

1. Aktivasi komplemen

2. Melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang merangsang mastosit melepas histamin 3. Melepas faktor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas

enzim proteolitik dan enzim polikationik 4. Menimbulkan agregasi trombosit

5. Menimbulkan mikrotrombi 6. Melepas amin vasoaktif 7. Mengaktifkan makrofag

(4)

Bentuk Reaksi

Terdapat 2 bentuk reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu : reaksi lokal atau sistemik.

a. Reaksi Lokal atau fenomena Arthus

Maurice Arthus yang menemukan bahwa penyuntikkan serum kuda ke intradermal kelinci secara berulang-ulang di tempat yang sama akan terjadi reaksi yang hebat. Reaksi awal berupa eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesudah suntikan kemudian edema yang lebih besar. Reaksi tersebut hilang setelah keesokan harinya. Pada suntikan ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan neksrosis yang sulit sembuh. Hal ini disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.1,4

Gambar 2. Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III pada Reaksi Arthus

Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskuler dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan eritem sampai nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan alveolitis atau farmers lung. 1,5

(5)

perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permiabilitas vaskular dan respon tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepaskan berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat. Proses ini dapat dilihat pada gambar berikut : 1

Gambar 3. Reaksi Arthus

(6)

Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan berbagai komponen-komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau granulosit menurun maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Reaksi arthus pada klinis dapat berupa vaskulitis. 4

b. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness

Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III, yang berasal dari injeksi heterologus protein asing atau serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder dari obat-obatan non protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet dan Shick pada tahun 1905. Serum sickness merupakan sindrom yang terdiri dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri sendi dan limpadenopati pada regio yang diinjeksi. Pemberian obat-obatan seperti penisilin, NSAID (Nonsteroidal anti inflammatory drugs) juga berhubungan dengan penyakit yang mirip dengan serum sickness.6

Patofisiologi

Pada saat tubuh terpapar antigen asing, dimana tidak terdapat antibodi, serum sickness dapat muncul setelah 1-2 minggu. Serum sickness ini muncul saat antibodi terbentuk dan patogenesa serum sickness berhubungan dengan interaksi sirkulsi antigen dan antibodi yang membentuk kompleks imun pada lingkungan dengan kelebihan antigen.6

(7)

kecil tidak menyebabkan inflamasi, kompleks imun yang berukuran besar biasanya dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial sistem. Sedangkan yang berkuran intermediet, dapat mengendap pada dinding pembuluh darah dan jaringan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan oleh karena aktivasi komplemen dan granulosit. Sel endotelial meningkat pada saat adhesi molekul, monosit dan makrofag melepaskan sitokin proinflamasi. Kemudian sel inflamasi lainnya direkrut serta terjadi nekrosis pada pembuluh darah. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis dan ikatan neutropil dengan kompleks imun yang mengendap. Hal ini difasilitasi oleh peningkatan permiabilitas vaskular melalui pelepasan amin vasoaktif dari sel mast. Pada saat ini, level komplemen turun samapai setengah dari level respon antibodi. Sindroma kinik ini timbul selama 1-2 minggu injeksi antigen. Antigen bebas biasanya dimusnahkan dari darah, sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan pembentukan kompleks imun yang berukuran besar dan mudah dimusnahkan oleh makrofag. Gejala klinis biasanya sembuh atau menghilang 7-28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet juga dimusnahka oleh sistem retikuloendotel. 6

Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul dari sistem imun.

Serum sickness sekunder memiliki gejala onset yang pendek dan gejala yang berlebihan. Penyakit kompleks imun muncul dengan penyebab yang masih belum jelas. Faktor yang mungkin berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun, defisiensi relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap rendahnya kemampuan eliminasi kompleks imun. 6

Etiologi

Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan yang mengandung protein tertentu :

 Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi monoklonal dan poliklonal dari kuda, kelinci, tikus contohnya antithymocyte globulin.

 Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin, furazolidone, griseofulvin, lincomycin, metronidazole, paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide, tetrasiklin.

(8)

Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum sickness like syndrome

yaitu : infliximab pada pengobatan chron disease dan reumatoid artritis. Omalizumab digunakan untuk terapi alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab biasanya digunakan pada berbagai penyakit diantaranya cryoglobulinemia dan lymphoma. 6

Epidemiologi

Prevalensi serum sickness menurun setiap tahun. Kemungkinan munculnya

serum sickness didasarkan atas jumlah dosis. Pada satu penelitian dilaporkan bahwa terdapat 10% pasien yang mengalami serum sickness setelah diberikan 10 ml antitoksin tetanus. Sedangkan pada pasien yang mendapat dosis 80 ml, prevalensi

serum sickness lebih besar lagi. Selain itu serum sickness juga didasarkan atas tipe antigen yaitu antirabies serum memiliki angka kemungkinan serum sickness lebih tinggi yaitu 16,3% sedangkan antitetanus toksin 2,5%-5%. 6

Prognosis

Serum sickness merupakan penyakit self limited dan sembuh dalam beberapa hari. Prognosa serum sickness baik, jika tidak terdapat keterlibatan organ. Namun jika terdapat glomerulonepritis yang progresif dan kompliksi neurologi yang berat maka, mortalitas akan tinggi. Beberapa komplikasi serum sikness sebagai berikut : vaskulitis, neuropati, acute renal failure, glomerulonepritis, anapilaksis dan shok. 6

Gejalaklinis

Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan agen penyebab. Waktu yang paling singkat untuk muncul yaitu 12-36 jam. Gejala klinis dapat berupa :  Demam, malaise (100%), demam dengan suhu tinggi dalam beberapa hari  Erupsi kulit (93%) berupa urtikaria, muncul pada anteror badan bagian bawah,

periumbilikalis, aksila dan menyebar ke bagian atas badan dan ekstremitas. Dapat pula muncul rash seperti morbili, palpabel purpura, eritema simplex, eritema multiform,pruritus dan edema.

 Atralgia (77%) biasanya pada metacarpophalangeal atau knee joint.  Gastrointestinal (67%)

(9)

 Mialgia (37%)

 Dipsneu (20%)

 Limpadenopati (17%)

 Renal impairment : proteinuri, hematuri mikroskopi, oliguri.

 Neurologi imparement : neuropati perifer, neuritis pleksus brachial, neuritis optik, Guillain Barre Syndrome, encephalomyelitis.6

Diagnosa Banding

Beberapa diagnosa banding serum sickness terdiri dari :  Cyroglobulinemia meningkat, peningkatan IgG, proteinuria ringan atau hematuria, kreatinin serum meningkat, penurunan komplemen C3,C4, Cyroglobulinemia atau gabungan IgG dan IgM. 6

Terapi

Pada kasus berat dapat digunakan kortikosteroid. Plasmaparesis juga dapat

digunakan. Obat-obatan yang dapat digunakan yaitu : NSAIDs, antihistamin, kortikosteroid.

Penyakit pada reaksi hipersensitivitas tipe III

a. Aspergilosis bronkopneumonia alergik

(10)

mekanisme imunologis yaitu kompleks imun yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG) menyebabkan inflamasi saluran nafas melalui mekanisme aktivasi komplemen dan sel-sel fagosit serta kerusakan parenkim paru dan bronkus terjadi akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang menempel pada mastosit, yang selanjutnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat penglepasan histamin dan mediator lainnya. Gambaran klinis seperi asma berupa demam, batuk, nyeri dada dan kelelahan.3

b. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

SLE merupakan penyakit autoimun sistemik dengan karakteristik respon sel B dan sel T secara berlebihan dan kehilangan toleransi sistem imun dalam melawan antigen dari tubuh sendiri. Produksi dan gangguan eliminasi dari antibodi, sirkulasi dan deposit jaringan dari kompleks imun, komplemen dan aktivasi sitokin berkontribusi terhadap terjadinya gejala klinis yang muncul seperti lemah, nyeri sendi dan kegagalan organ. Berdasarkan E.Cozzani dkk, antibodi yang berperan pada SLE yaitu antinuclear antibodi, antidouble stranded DNA antibodi. 7

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya SLE yaitu respon imun melawan antigen dalam tubuh. Autoantigen dilepaskan dari sel apoptosis yang dipresentasikan oleh sel dendritik terhadap sel T. Aktivasi sel T berfungsi dalam mengaktifkan sel B dalam memproduksi antibodi yang merupakan komponen dari dirinya sendiri melalui sekresi sitokin seperti : IL-10 dan IL-23 serta CD-40L dan CTLA-4. Kemudian antigen ini akan mengaktifkan sel T dependent dalam memproduksi autoantibodi. Peningkatan jumlah apoptosis berhubungan dengan asam nukleid endogen yang menstimulasi produksi IFNα dan mempromosikan autoimun melalui sistem toleransi yang diaktivasi antigen precenting cell (APC). Pada awalnya, imun reaktan seperti kompleks imun menyebabkan respon inflamasi. 8

(11)

neuropsikiatrik SLE (NPSLE), terjadi reaksi antibodi dengan DNA dan reseptor glutamat pada sel neuronal sehingga dapat menyebabkan kematian sel atau disfungsi sel. Sitokin lokal seperti IFN-α dan TNF-α menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi. IFN-α menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Pada SLE terjadi aterosklerosis oleh karena homosistein dan faktor proinflamasi. 9

Diagnosis

SLE memiliki perjalanan klinis yang dinamis, sehingga sulit dalam menegakkan diagnosa SLE. Berdasarkan American College of Rheumatology 1997 terdapat beberapa gejala klinis dalam mendiagnosa SLE sesuai tabel berikut :10

(12)

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosa SLE memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan jika hanya 3 kriteria atau salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE. Bila hasil test ANA negatif, kemungkinan bukan SLE. Sedangkan jika hanya ANA positif dn gejala lain tidak ada, maka perlu dilakukan observasi lebih lanjut. 10

Terapi pada SLE refractory yang mendapatkan terapi konvensional, berdasarkan Bonilla-Abadia dkk, penggunaan Rituximab dapat menurunkan angka kekambuhan dan bersifat aman dalam penggunaannya.8

c. Artritis Reumatoid

Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi jaringan ikat sendi yang bersifat progresif, biasanya diawali dengan artritis pada PIPs, MCPs dan MTPs secara simetris disertai ejala sistemik dan cendrum menjai kronik. Artritis reumatoid berkaitan dengan HLA DR1 dan HLA DR4. 11

Pada artritis reumatoid dibentuk Ig yang berupa IgM (disebut rheumatoid faktor, RF) yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovial sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas mediator dengan sifat kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi disertai dengan peningkatan permiabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi dan nyeri bila eksudat bertambah banyak. Enzim hidrolitik yang dilepas pada reaksi dapat pula menimbulkan destruksi sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi. Berikut gambar proses inflamasi pada artritis reumatoid. 3

(13)

d. Vaskulitis

Vaskulitis merupakan penyakit komplekks imun yang ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis lokal pada dinding pembuluh darah akibat respon tubuh terhadap antigen infeksi, keganasan, obat/bahan kimia, radiasi dan antigen lain tidak diketahui. Pada vaskulitis ini terdapat beberapa hal penting : 1) adanya komplek imun yang larut ditemukan dalam darah;2) Peningkatan permiabilitas vaskuler akibat adanya endapan kompleks imun pada dinding pembuluh darah ; 3) Aktivasi komplemen dengan akibat pengerahan sel-sel PMN dan monosit ke tempat endapan kompleks imun; 4) Penglepasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan kerusakan dan neksrosis pembuluh darah

Beberapa penyakit kompleks imun diatas dapat dilihat pada tabel berikut : 1,4

Tabel 2. Beberapa penyakit kompleks imun

6. Diagnosis

(14)

a. Pemeriksaan Komplek Imun

Adanya kompleks imun dapat diperiksa dengan 2 cara sebagai berikut:

1. Analisis spesimen jaringan untuk melihat komponen endapan kompleks (imunologlobulin, komplemen, kadang-kadang antigen) dengn teknik imunofluoresen. 2. Analisis konpleks imun dalam serum atau cairan tubuh lain.

Kompleks imun dalam sirkulasi dapat ditemukan dengan 2 cara, yaitu dengn pemeriksaan antigen spesifik dalam kompleks dengan antibodi dan dengan pemeriksaan antigen nonspesifik. Olek karena itu banyak peneliti memilih dan mengembangkan teknik antigen nonspesifik.2,3

Saat ini banyak cara yang dapat dikerjakan untuk menemukan kompleks imun dalam sirkulasi, tetapi tidak ada satupun cara yang ideal. Salah satu teknik yang sering digunakan adalah dengan cara yang mengunakan cell line limpoma (sel Raji).1

Kerusakan jaringan oleh karena kompleks imun tidak selalu disertai dengan adanya kompleks imun dalam sirkulasi. Penemuan kompleks imun dalam serum berfungsi untuk menilai dan memantau penyakit serta efek pertukran plasma. Bila kompleks imun diduga berperan pada suatu penyakit, maka dilakukan biopsi jaringan dan kompleks imun diperiksa dengn teknik imunofluoresen. Oleh karena itu pemeriksaan kompleks imun di dalam jaringan lebih bermakna dibandingkan dengan pemerikaan kompleks imun dalam sirkulasi.3

b. Pemeriksaan Komplemen

(15)

pengobatan pasien glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar yang rendah biasanya menjadi norma pada remisi. 3

c. Pemeriksaan Jaringan Biopsi

Pada jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan imunoglobulin, komplemen dan antigen. Pada jaringan yang rusak atau yang sehat dapat terjadi endapan kompleks imun yang mengandung ketiga unsur tersebut. Jaringan biopsi untuk pemeriksaan imunoflouresens tidak boleh difiksasi. Jaringan harus dikirim secepatnya ke laboratorium.3

d. Pemeriksaan Autoantibodi

Autoantibodi seperti ANA (Anti Nuclear Antibody), ds DNA, SMA (Smooth Muscules Antibody) dapat diperiksa melalui tehnik imunofouresen, RIA dan countercurent electrophoresis. Rheumatoid Factor (RF) adalah IgM yang berinteraksi dengan IgG sebagai antigen. 3

Terapi

Terapi yang dilakukan pada reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu menghilangkan antigen penyebab dan menghentikan respon inflamasi. Pada serum sickness oleh karena obat, maka penghentiaan obat harus segera dihentikan. Plasmaparese dapat digunakan untuk membersihkan kompleks imun dalam sirkulasi. Pada kasus berat dapat diberikan glukokortikoid sistemik. Pada aspergilosis bronkopulmonari alergik dapat diberikan steroid dosis tinggi untuk mengurangi inflamasi akut dan mencegah kerusakan parenkim paru dan bronkus yang bersifat irreversibel. Bronkodilator dapat mengatasi sesak nafas sedangkan anti jamur tidak bermanfaat. 3

(16)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bratawidjaya KG, Rengganis I. Reaksi hipersensitivitas, Imunologi dasar. Edisi ke-11,Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:333-339

2. Hasim, Septi, Gani, Intan, Iriani, Hiperensitivitas tipe III, STIKES Al Irsyad al Islamiyah, Cilacap, 2011

3. Salim EM, Sukmana N, Penyakit kompleks imun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.edisi ke-VI, Jakarta:Balai Penerbit FK UI;2014:525-531

4. Hahn BH.Immune-complex diseases.Harrisons principles of internal medicine.16th Edition.New York:Mc Graw Hill,Inc;2005:1960-1968

5. Janawey CA, Travers P, Walport M, Shlomchik MJ. Immunobiology : The Immune System in Helath and disease.5 Edition;2001

6. Alissa HM, Serum sickness. Medscape 2014.http://emedicine.medscape.com 7. Bartels CM. Systemic lupus erythematosus(SLE). Medscape

2014.http://emedicine.medscape.com

8. Juan, Anaya M, Shoenfeld Y, Cervera R. Systemic Lupus Erythematosus 2014. Hidawi Publishing coorperation Autoimmune diseases. Volume 2014 dari http://dx.doi.org/10.1155/2014/274323

9. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systeic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and clinical features.2012.Eular-Fpp.indd

10.Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011. Diagnosis dan terapi Lupus Eritematosus Sistemik.

(17)
(18)

Gambar

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe III
Gambar 3. Reaksi Arthus
Gambar 4. Skema interaksi molekuler, seluler dan jaringan pada reaksi arthus
Tabel 1. Gejala klinis SLE
+3

Referensi

Dokumen terkait

tanggal 23 Februari tentang Implementasi Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER), Kopertis Wilayah III akan mengadakan sosialisasi yang akan dilaksanakan pada

Dari hasil uji tersebut dapat diketahui adanya hubungan antara status gizi dengan perkembangan anak usia 1-3 tahun di Posyandu Tileng, Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melnyk (2004) dalam penerapan COPE menunjukkan bahwa pengetahuan yang baik mengenai penyakit anak dan perilaku yang dialami anak

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Kombinasi tepung jamur tiram putih dalam pembuatan tortilla chips berpengaruh pada peningkatan sifat

Dengan menggunakan parameter hubungan mean dengan skewness terbentuk sampel sedimen pada daerah beach untuk metode inman dan daerah dunes untuk metodde folk and ward..

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu apakah motivasi yang mendorong masyarakat Desa Bonang Rembang dalam

Berikut ini akan dilakukan analisis dengan pendekatan statistic mempergunakan analisa korelasi untuk mengukur sejauh mana pengaruh perputaran karyawan terhadap produktivitas

Pada tabel ini juga menunjukkan bahwa petani utama Kabupaten Grobogan terbesar berada di kelompok usia 45-54 tahun yakni sebesar 76.894 rumah tangga (29,11 persen) atau dengan