• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan Cob

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pendahuluan Cob"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA OTAK BERAT (COB)

Oleh:

Alifiatul Oza Hamanu 131523143067

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2016

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA OTAK BERAT (COB)

(2)

1. Konsep Teori A. Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006).

Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).

B. Etiologi

a. Trauma tajam

Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

b. Trauma tumpul

Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) : kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)

C. Klasifikasi

Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu: a. CKR (Cedera Kepala Ringan)

1) GCS > 13

(3)

3) Tidak ada kontusio serebri, hematom

4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit 5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak

6) Tidak memerlukan tindakan operasi b. CKS (Cedera Kepala Sedang)

1) GCS 9-13

2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam 3) Muntah

4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung) 5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak

6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial 7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam

c. CKB (Cedera Kepala Berat) 1) GCS 3-8

2) Hilang kesadaran > 24 jam

3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial

Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), cedera kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.

a. Cedera otak primer 1) Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain pada tuang tengkorak dan jaringan otak.

2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)

Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah

(4)

menjalar sepanjang lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang mengakibatkan hematoma epidural.Fraktur basis kranii (fraktur dasar tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz, 2012).

Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, & Scheetz, 2012):

a) Sakit kepala

b) Perubahan tingkat kesadaran c) Ekimosisi

d) Rinore atau otore cairan serebrospinal

Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000). a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal

cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.

b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.

c) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat

3) Komusio (Gegar otak)

Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.

4) Kontusio (Memar otak)

Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi pembuluh darah kecil.

(5)

Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural. Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.

6) Hematoma subdural

Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih ringan. 7) Hematoma intraserebral

Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak. Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan akselerasi-deselerasi mendadak.

8) Hemoragi subaraknoid traumatic

Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh darah mikro pada lapisan araknoid.

9) Cedera aksonal difus

Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema difus dan lokal.

10) Cedera serebrovaskular

Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga terjadi stroke. b. Cedera otak sekunder

Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.

1) Edema serebral

Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada

(6)

72 jam. Edema serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.

2) Iskemia

Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.

3) Sindrom herniasi

Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.

Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi

Peningkatan TIK Sindrom herniasi Tingkat respon terhadap

stimulus

Diperlukan peningkatan stimulus

Tidak dapat distimulasi Fungsi motoric Kelemahan motorik

samara tau penyimpangan pronator

Kelemahan motorik nyata, tidak ada respon

Respon pupil Respon pupil lembam Pupil dilatasi unilateral dan terfiksasi

Tanda-tanda vital Dapat stabil atau labil Triad cushing

menggambarkan tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.

4) Koma

Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer otak/ batang otak. Koma terjadi akibat gangguan system yang mengaktivasi retrikular (RAS). Koma dapat

(7)

disebabkan oleh banyak hal seperti infeksi system saraf pusat, gangguan elektrolit, hipertiroidisme, hipotiroidisme, hipoksia, kejang, toksin. Kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan, koma, koma dalam.

5) Kondisi vegetative persisten

Kondisi vegetative persisten ditandai dengan periode koma seprti tidur yan diikuti oleh kembali terjaga, tetapi disertai tidak adanya tingkat kognisi yang jelas. Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan sebelum 4 minggu awitan cedera otak traumatic dan koma.

D. Mekanisme Cedera

Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara tepat.Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselarasi, coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi.

1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak

2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.

3. Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan.

4. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

(8)

5. Cedera Penetrasi

Cedera penetrasi dapat disebabkan olehpeluru, pecahan peluru, ataubenda tajamlain yang bergerak dengan kecepatanyang cukup besar yang mengenai kepala dan dapat merusak integritas tengkorak.

E. Patofisiologi

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup).

Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup.

(9)

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi) menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.

Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.

Tekanan intracranial

Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir

(10)

dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg pada penderita cedera kepala.

Sindroma herniasi

Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih merupakan indikasi.

(11)

Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam.

F. Komplikasi

Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain: 1. Edema Pulmonal

Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

2. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat

(12)

dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang, perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.

Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

3. Kebocoran Cairan Serebrospinal

Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.

G. Pemeriksaan Diagnostik 1. CT scan

Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap struktur fosa posterior. 2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan neuronal dapat diamati.

(13)

Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara noninvasive.

3. Angiografi serebral

Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan.

4. Ultrasonografi Doppler Transkranial

Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien cedera kepala dimasa yang akan datang.

5. EEG (elektro ensefalogram)

Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera. 6. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP

(somatosensory evoked potential)

Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna.

H. Penatalaksanaan

Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan

(14)

jalan napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.

Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali : 1. Penatalaksanaan jalan napas

Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral.

2. Hiperventilasi

Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg. PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2 <25mmHg hiperventilasi harus dicegah.

Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.

3. Cairan

Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak yang harus dihindari.

(15)

4. Obat

a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat hipovolemi.

b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg bb IV

c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek

hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada resusitasi akut

e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.

PENATALAKSANAAN CKR (GCS 13-15)

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS CT scan tidak ada

CT scan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun

Nyeri kepala sedang-berat Intoksikasi

alkohol/obat-obatan Fraktur tulang

Kebocoran likuor: otorea atau rinorea

Cedera penyerta yang bermakna

Tak ada keluarga di rumah GCS <15

Defisit neurologis fokal

Tidak memenuhi kriteria rawat

Diskusikan kemungkinan kembali ke rumah sakit bila memburuk dan berikan kertas observasi

Jadwalkan untuk kontrol ulang Pemeriksaan neurologis terbatas

Pemeriksaan rontgen vertebra, servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan indikasi bila

memenuhi kriteria kecurigaan perlunya tindakan bedah saraf sangat tinggi

Definisi: Pasien sadar dan berorientasi (GCS 13-15)

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Riwayat

Tidak sadar segera setelah cedera

Tingkat kewaspadaan Amnesia : Retrograde,

antegrade

Sakit kepala: ringan, sedang, berat

Nama, umur, jenis kelamin,

ras, pekerjaan Mekanisme cedera Waktu cedera

(16)

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi : GCS 9 - 12

Pemeriksaan Inisial

Sama dengan pasien cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus Dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas

bedah saraf

Setelah dirawat inap

Lakukan pemeriksaan neurologis periodik

Lakukan pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi pasien memburuk dan bila pasien akan

dipulangkan Bila kondisi membaik (90%)

Bila kondisi memburuk (10%)

Pulang bila memungkinkan Kontrol di poliklinik

Bila pasien tidak mampu

melakukan perintah

sederhana lagi, segera lakukan pemeriksaan CT

scan ulang dan

penatalaksanaan

selanjutnya sesuai

protokol cedera kepala berat

(17)

PENATALAKSANAAN CKS (GCS 9-12)

Definisi: Pasien tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksanaan ABCDE

Primary Survey dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE

Rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas Bedah Saraf Reevaluasi neurologis: GCS

Respon buka mata Respon motorik Respon verbal

Refleks cahaya pupil

Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)

Manitol

Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg) Antikonvulsan

(18)

CEDERA KEPALA BERAT GCS 8 atau kurang

Diagnostik kedaruratan atau prosedur terapeutik sesuai indikasi

Evaluasi trauma ATLS Intubasi endotrakeal

Resusitasi cairan

Ventilasi (PAC02 – 35 mmHg) Oksigenasi

Sedasi

± Blokade neuromuscular (kerja singkat) Herniasi?* Deteriorasi ?* Resolu si ? ±hiperventilasi ±manitol (1g/kg) CT Scan Lesi Bedah ? Unit perawatan intensif Kamar operasi Obati hipertensi intrakranial Pantau TIK ALOGARITMA CEDERA KEPALA BERAT Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak

(19)

2. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala A. Pengkajian

1) Primary Survey

Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic) sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama untuk penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012).

a. Airway

Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibular atau maksila., fraktur laring atau trakea. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi kepala dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust diperlukan juga pada penanganan airway.

Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran jalan nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal airway. Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil, maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal. Tindakan ini dinamakan airway definitive. Pada airway devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon (cuff) yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester. Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain :

(20)

 Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain

 Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus

 Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway. Seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang yang berkepanjangan

 Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS=8)

 Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) hanya dilakukan padapenderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya ng apnoe. Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis cranii, dan fraktur lamina chiriformis merupakan kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.

Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk mengatasi didalam control airway, tindakan krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan airway surgical.

b. Breathing

Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi. Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat.

(21)

Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu sisi (unilateral).

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary survey.

c. Circulation

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan darah yang banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan tekanan langsung.

Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik (2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.

Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai dengan pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau sama sekali tidak

(22)

memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok hipovolemik.

Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan antara lain :

- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam.

- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan, produksi urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-kadang memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan larutan kristaloid pada mulanya.

- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah); Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting oada status mental, dan perubahan tekanan darah sistolik. Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hamper selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi transfuse darah didasarkan atas

(23)

respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan peruse dan oksigenasi organ yang adekuat.

- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolic yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, kesadaran jelas menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat. Penderita ini sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi, dan tekanan darah.

Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat. Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan bidai yang baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata dengan mengurangi pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar fraktur. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang agresif merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan perdarahan.

d. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU : A : Alert (sadar)

V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara) P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain) U : Unresponsive (tidak ada respon)

GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita.

(24)

GCS ini dapat dilakukan sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi pada primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan neurologis

Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak. Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.

e. Exposure

Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan membuka paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi keadaan penderitra, mencegah terjadinya displacement pada fraktur meminimalkan resiko terjadiny komplikasi lebih lanjut. Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi jantung harus baik, terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat digunakan untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut.

2) Secondary Survey

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan, kardiovaskuler dan metabolik.

c. Riwayat Penyakit Keluarga d. Kebutuhan Dasar

 Eliminasi : Perubahan pada BAK/BAB, inkontinensia, obstipasi, hematuria

(25)

 Nutrisi: Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan, kaji bising usus.

 Istirahat: Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang. e. Psikososial

Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau kepribadian.

f.Pengkajian social

Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, disartria, anomia. g. Nyeri/kenyamanan

Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.

h. Pengkajian Fisik  Fungsi kognitif

Fungsi kognitif biasanya dikaji dengan mengajukan tiga pertanyaan orientasi mengenai orang, waktu, tempat. Akan tetapi penting untuk mendapatkan riwayat mendetail dari pasien guna memfasilitasi pendeteksian perubahan yang tersembunyi sepanjang waktu.

 Pengkajian tingkat keterjagaan

Dalam mengkaji tingkat keterjagaan pada pasien cedera kepala, stimulus maksimum harus diberikan secara sistematik dan meningkat untuk mendapatkan secara efektif respon terbaik/ maksimum pasien. Langkah pertama upaya membangunkan pasien hanya dengan berbicara, kemudian berteriak, lalu dengan menggoyangkan, dan selanjutnya dengan memberikan rangsang nyeri. Pendekatan bertahap seperti ini member pasien kesempatan untuk mendemonstrasikan peningkatan keterjagaan atau respon sebaliknya.

 Pengkajian mata

Pengkajian mata meliputi evaluasi pupil dan pergerakan ekstraokuler, yang membantu dalam melokalisasi area disfungsi otak. Pengujian saraf cranial II (optikus) pada tempat perawatan akut mencakup pendeteksian defek lapang pandang dan ketajaman penglihatan yang besar. Lapang pandang dapat secara adekuat dikaji melalui kemampuan pasien untuk mendeteksi gerakan jari pemeriksa pada setiap lapang pandang. Ketajaman penglihatan

(26)

dapat secara kasar dikaji dengan meminta pasien membaca kalimat yang dicetak pada satu halaman atau menggunakan grafik mata snellen. Jika terdapat kekhawatiran berkenaan dengan gangguan saraf optic, evaluasi lengkap yang dilakukan oleh dokter spesialis mata direkomendasikan.

Evaluasi saraf cranial III (okulomotorius) meliputi inspeksi pupil, termasuk ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya. Peningkatan TIK dapat menyebabkn ketidakteraturan bentuk, anisokor, dan tidak adanya atau sangat sedikitnya reaksi terhadap cahaya.

Saraf cranial III, IV dan VI (okulomotorius, troklearis, abdusens) seringkali dikelompokkan bersama untuk tujuan pengkajian karena saraf-saraf tersebut menggerakkan mata. Pengkajian saraf-saraf tersebut dilakukan dengan meminta pasien mengikuti jari pemeriksa ketika jari tersebut digerakkan menurut pola huruf H. pengihatan ganda adalah tanda kelemahan otot mata dengan gangguan saraf cranial.

 Pengkajian respon batang otak

Batang otak dapat dikaji lebih lanjut pada pasien yang tidak sadar dengan menguji refeks corneal, batuk, dan gag. Reflex corneal merefleksikan saraf cranial V dan VII (trigeminus dan fasialis). Reflex ini diuji dengan mengusapkan gumpalan kapas pada konjungtiva bawah setiap mata. Kedipan kelopak mata bawah mengindikasikan adanya reflex. Sensasi stimulus yang mengiritasi menunjukkan fungsi utama satu cabang saraf trigeminus, dan gerakan kelopak mata bawah menujukkan fungsi motorik saraf fasialis.

Saraf cranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) keluar pada ketinggian medulla dan bertanggung jawab atas reflex batuk dan gag serta melindungi jalan napas dari aspirasi. Reflex batuk dan gag harus dievaluasi pada apsien yang terjaga dan tidak sadar.  Pengkajian fungsi motorik

Pengkajian motorik dilakukan pada pasien terjaga dan kooperatif dengan meminta pasien menggerakkan ekstremitasnya

(27)

melawan gravitasi dan dengan resistansi pasif, pergerakkan terssebut digolongkan menggunakan skala 1-5.

Pasien yang tidak responsive tersebut dapat menampilkan sikap tubuh lokalisasi, menarik diri, atau fleksor/ ekstensor ebagai respon terhadap stimulus yang berbahaya. Lokalisasi stimulus nyeri diamati sebagai suatu respon yang bertujuan karena pasien mampu menunjukkan sumber nyeri dan bergerak kearah sumber nyeri tersebut dengan satu atau kedua ekstremitas melewati garis tengah tubuh.

 Pengkajian fungsi pernapasan

Pengkajian fungsi dan pola pernapasan penting dalam mendeteksi perburukan cedera neurologis dan kebutuhan dukungan mekanik. Banyak bagian dari kedua hemisfer serebral yang mengatur kendali volunteer terhadap otot yang dignakan dalam bernapas, dengan serebelum menyesuaikan dan mengkoordinasikan usaha otot. Serebrum juga sedikit mengendalikan frekuensi dan irama pernapasan.

Pusat kritis inspirasi dan ekspirasi terdapat dalam medulla oblongata. Setiap lesi intracranial yang berekpansi secara cepat, seperti perdarahan serebelar, dapat mengompresi medulla, dan menghasilkan pernapasan ataksik. Pernapasan tidak teratur tersebut terdiri dari napsa dalam dan dangkal disertai jeda tidak teratur. Pola pernapasan tersebut menandakan perlunya control jalan nafas definitive melalui intubasi endotrakeal.

 Pengkajian system tubuh lain

Selain pengkajian system saraf pusat yang menyeluruh, pegkajian komprehensif dari seluruh system tubuh lain sangat penting dalam mengindenifikasi secara dini komplikasi dan sekuela pada pasien cedera otak.

B. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK

b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).

(28)

d. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.

C. Rencana Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1: Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK NOC :

- Circulation status

- Tissue Prefusion : cerebral Kriteria Hasil :

- Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan : Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan Tidak ada ortostatikhipertensi

Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)

- Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan: Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi

Memproses informasi

Membuat keputusan dengan benar

- Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter

NIC :

Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial) 1. Berikan informasi kepada keluarga

2. Set alarm

3. Monitor tekanan perfusi serebral 4. Catat respon pasien terhadap stimuli

5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology terhadap aktivitas

6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal 7. Monitor intake dan output cairan

8. Restrain pasien jika perlu 9. Monitor suhu dan angka WBC 10. Kolaborasi pemberian antibiotik

11. Posisikan pasien pada posisi semifowler 12. Minimalkan stimuli dari lingkungan

Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)

1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul

(29)

3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi

4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi

5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung 6. Monitor kemampuan BAB

7. Kolaborasi pemberian analgetik 8. Monitor adanya tromboplebitis

9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi

Diagnosa 2: Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).

NOC :

- Respiratory status : Ventilation - Respiratory status : Airway patency - Vital sign Status

Kriteria Hasil :

1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)

2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal

3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)

NIC :

Airway Management

1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu

2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan 4. Pasang mayo bila perlu

5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu

6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction

7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 8. Lakukan suction pada mayo

9. Berikan bronkodilator bila perlu

10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. 12. Monitor respirasi dan status O2

Terapi Oksigen

(30)

2. Pertahankan jalan nafas yang paten 3. Atur peralatan oksigenasi

4. Monitor aliran oksigen 5. Pertahankan posisi pasien

6. Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi

7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi Vital sign Monitoring

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah

3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri 4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan

5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas 6. Monitor kualitas dari nadi

7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 8. Monitor suara paru

9. Monitor pola pernapasan abnormal

10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 11. Monitor sianosis perifer

12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)

(31)

WOC Cedera kepala Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot & Vaskuler

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang Cedera otak (kontusio, laserasi) Perdaraha n Hematoma Ganggua n suplai darah Resik o infek si Nyeri Perubaha n sirkulasi CSS PTI K Iskemi a Hipoksi a Resiko ketikdaefekt ifan perfusi jaringan serebral Girus medialis lobus temporalis tergeser Herniasi unkus Mesensefalo n tertekan Gangguan kesadaran Resik o injury Immobilis asi Cema s Resiko gangguan integritas kulit Defisit perawatan diri Ganggua n fungsi otak Perubahan autoregulasi Edema serebral Kejan g Bersihan jalan napas Dispnea Henti napas Ganggua n pola napas Ganggua n neurologi s fokal Lobus Frontal Lobus oksipital Lobus temporal Lobus parietal Gangguan fungsi luhur Perubahan perilaku Gangguan fungsi motorik Afasia Gangguan fungsi penglihatan Gangguan fungsi sensorik (anosmia, hipestesi, parestesi, dll) Gangguan keseimbangan Gangguan memori

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970 Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta:

Deltacitra Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill Professional.

Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012

Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan

Holistik. Jakarta: EGC

NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.

Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Resiko gangguan integritas kulit

(33)

Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Jakarta: EGC

Referensi

Dokumen terkait

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang terjadi akibat penumpukan plak pada lapisan bagian dalam dari pembuluh darah yang disebut dengan lapisan intima sehingga

Karena penyempitan dinding pembuluh darah pada arteri koronaria menyebabkan suplay oksigen yang menuju ke jantung berkurang, jantung yang kekurangan oksigen akan mengubah

Perdarahan otak dapat timbul akibat defek pada pembuluh darah, misalnya. aneurisma, malformasi arteri - vena atau mikroaneurisma pembuluh darah

Pada umur lanjut dinding arteri akan mengalami penebalan yang mengakibatkan penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan

Dalam setiap siklus menstruasi lapisan dinding rahim menebal dengan tumbuhnya pembuluh darah dan jaringan, untuk mempersiapkan diri menerima sel telur yang akan dilepaskan oleh

Tahapan patofisologi terjadinya stroke adalah kerusakan pembuluh darah otak, pembuluh darah tidak mampu mengalirkan darah atau pembuluh darah pecah dan bagian

Dari hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada ekor ikan mas ada 2  pembuluh darah, yaitu pembuluh darah arteri dan pmbuluh darah vena. Aliran darah pada pembuluh darah arteri

Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah,