• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE SKRIPSI"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM

TRANSAKSI E-COMMERCE

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyartan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MIRDA ARIFA 170200305

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mirda Arifa

NIM : 170200305

Judul :TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa skripsi ini adalah benar dari penelitian saya sendiri dan tidak menjiplak ataupun mengambil hasil karya orang lain maupun dibuatkan orang lain.

2. Apabila terbukti bahwa saya melakukan kecurangan ataupun pelanggaran,maka saya bersedia untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Medan, Maret 2021

MIRDA ARIFA NIM. 170200305

(4)

memberikan penulis kekuatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE”

Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini merupakan hasil dari suatu proses panjang yang tak luput dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak.

Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatra

Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Dr.Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

8. Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran, serta ilmu yang sangat bermanfaat dalam proses Penulisan skripsi ini.

9. Ibu Zulfi Chairi, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran, serta ilmu yang sangat bermanfaat dalam proses Penulisan skripsi ini.

10. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis yang telah membimbing Penulis selama Penulis menimba ilmu perkuliahan di Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara.

11. Seluruh Dosen Pengajar, Staf Akademik, seluruh pegawai dan Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan ilmu, serta berbagai pengalaman kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

Penulis Juga mengucapkan terima kasih yang teristimewa dengan penuh penghormatan kepada orang tua penulis Dr. Mazwar S.H., M. Hum., dan Cut Ida S.Ag., Kakak tersayang Rahmi Rimanda S.H., M.H., dan adik-adik tersayang Fauzan Maulana, serta Fuad Zikrillah atas doa, kasih sayang, memberikan cinta yang tulus dan ikhlas yang selalu mengiringi setiap langkah serta selalu senantiasa memberikan bantuan baik secara moril maupun materil demi lancarnya penulisan skripsi ini.

(6)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Cristi Manihuruk, Sari Simbolon, Ester Ginting dan seluruh teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman SMA penulis Yustika Putri, Fahira Ranya, Puteri Saida, Ranumi, Athaya, Cut Nyak serta semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa Penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datan dan semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Maret 2021 Penulis

Mirda Arifa

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI OLEH KONSUMEN DALAM TRANKSAKSI E- COMMERCE A. Dasar Hukum E-Commerce di Indonesia ... 22

B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen Ditinjau dari Undang- Undang Perlindungan Konsumen ... 26

C. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce ... 33 D. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Yang Dialami Konsumen 36

(8)

KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG MELALUI TRANKSAKSI E-COMMERCE

A. Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen .. 45

B. Perlindungan Konsumen E-Commerce Menurut Undang – Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... 49

C. Pihak-Pihak dalam Transaksi E-commerce ... 51

D. Pelanggaran Terhadap Konsumen ... 54

E. Perjanjian Dalam Transaksi E-Commerce ... 59

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANKSAKSI E- COMMERCE A. Cara Penyelesaian Jika Terjadinya Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce ... 66

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 68

1. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan ... 71

2. Penyelesaian Sengketa Didalam Pengadilan ... 79

C. Sanksi Bagi Pelanggar Undang - Undang Pelindungan Konsumen ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(9)

ABSTRAK Mirda Arifa* Hasim Purba**

Zulfi Chairi***

Perkembangan e-commerce membawa banyak perubahan terhadap sektor aktifitas bisnis yang selama ini dijalankan di dunia nyata. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya sejumlah upaya dari sektor aktivitas bisnis yang semula penjual dan pembeli bertemu secara langsung berubah menjadi telemarketing (dimana penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung). pengembangan teknologi ini dirasakan ada sisi positif dan negatif. Aspek positifnya bahwa dengan perdagangan ini telah meningkatkan peran dan fungsi perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efesiensi. Aspek negatif yang ditimbulkan Diantaranya dalam hal yang terkait dengan produk yang di pesan tidak sesui dengan produk yang ditawarkan, barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dipesan atau ketidak tepatan waktu penyerahan barang dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Adapun Rumusan masalah yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen dalam transaksi e-commerce, perlindungan hukum terhadap konsumen atas kesalahan pengiraman barang melalui transaksi e- commerce dan upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen atas kesalahan pengiriman barang dalam transaksi e-commerce

Penulisan ini menggunakan metode Penulisan hukum yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum. Penulisan ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek Penulisan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi Pustaka (library reseach), peraturan perundang – undangan, jurnal hukum, kamus hukum dan bahan kuliah yang yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Berdasarkan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa Pertanggungjawaban pelaku usaha akibat kesalahan pengiriman barang melalui transaksi e-commerce diatur dalam Pasal 19 UUPK. Perlindungan hukum terhadap konsumen akibat kesalahan pengiriman barang melalui transaksi e-commerce di atur dalam Pasal 1 dan Pasal 4 UUPK juga diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 28 UU ITE. Pasal 45 ayat 4 UUPK membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi dua cara yaitu melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (di luar pengadilan).

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, E-commerce.

*Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

***Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan e-commerce membawa banyak perubahan terhadap sektor aktifitas bisnis yang selama ini dijalankan di dunia nyata. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya sejumlah upaya dari sektor aktivitas bisnis yang semula berbasis di dunia nyata (real), kemudian mengembangkannya ke dunia maya (virtual). Penggunaan internet dalam e-commerce ini memberikan dampak yang sangat positif yakni dalam kecepatan dan kemudahan serta kecanggihan dalam melakukan interaksi global tanpa batasan tempat dan waktu yang kini menjadi hal yang lazim atau biasa.1

Gaya hidup yang beralih dalam alam nyata ke alam elektronik disebut dunia maya (cyberspace). Kenyataan ini menimbulkan keraguan mengenai hukum yang ada dan yurisdiksi hukum yang mengikat kedua belah pihak yang melakukan bisnis atau transaksi. Ada sementara pihak yang berpendapat transaksi tersebut terjadi di dunia maya, maka hukum yang berlaku di dunia nyata tidak dapat diberlakukan walupun dalam beberapa hal terdapat pula ketentuan yang dapat dikenakan pada transaksi di dunia maya.2 Di abad yang sangat maju ini pemanfaatan teknologi informasi dan trasnsaksi elektronik mutlak harus dilakukan karena sangat berperan penting dalam menunjang dunia perdagangan dan untuk akselerasi pertumbuhan perekonomian nasional guna mewujudkan

1Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 2.

2Mariam Darus Badrulzaman, E-commerce tinjauan dari hukum kontrak indonesia, Jurnal hukum bisnis, vol 12, 2002.

(11)

2

kesejahteraan masyarakat, karena dengan memanfaatkan teknologi informasi dan transaksi elektronik berarti telah menerapkan ekonomi biaya murah (low cost economic).

Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligun menjadi sarana efektif perubahan melawan hukum.3 Misalnya penipuan, pelanggaran terhadap HAKI, eksploitasi anak, atau pornografi, hacking, pelanggaran terhadap kehidupan pribadi (privacy) seseorang, penyebaran virus konputer dan pencemaran nama baik yang sudah tidak asing lagi di dunia maya.

Perdagangan elektronik (E-commerce) menawarkan model-model transaksi bisnis yang praktis, cepat, mudah dan murah di seluruh dunia semenjak akhir abad 20. Sinergi computer dan sistem telekomunikasi menciptakan manfaat baru berupa kemudahan, ketepatan, kecepatan miliaran transaksi elektronik di seluruh dunia. Kinerja transaksi komersil semangkin meningkat melalui e- commerce yang memiliki tiga keunggulan khusus yakni “accuracy, speed and efficiency”4

Perdagangan menciptakan tukar-menukar produk dan jasa antara para pedagang, baik orang perorang, kelompok orang, maupun badan usaha. Dalam hal

3Ahmad M. Ramli, Cayber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2004, hlm. 1.

4Amelia H Boss, The Internasional Commercial Use Of Electronic Data Interchangeand Electronic Communication Technologies, Pennsylvania, Bluebook, 1991, vol 46.

(12)

ini perdagangan elektronik (E-commerce) menggunakan teknologi komunikasi di bidang kegiatan-kegiatan usaha dan hubungan bisnis dangan para pelaku usaha, baik orang per orang, kelompok orang maupun badan usaha.5

Perdagangan elektronik (e-commerce) hanya satu dari beragam kegitan e- business. Karena perniagaan dalam elektronik (e-commerce) pada dasarnya merupakan proses membeli, mengalihkan atau mengirim (transfer), tukar menukar produk, jasa dan informasi melalui jaringan komunikasi computer dan/atau smart phone, termasuk internet. Sebagai suatu perbuatan hukum baru e- business selalu berkembang dalam berbagai macam model usaha untuk meraih sasaran-sasaran bisnis tertentu.6 Seperti perniagaan elektronik (e-commerce), tender elektronik (e-procurement), berbelanja secara elektronik (e-shop) dan lelang secara elektronik (e-auctions).

Transaksi e-commerce, pada prinsipnya merupakan hubungan hukum berupa pertukaran barang dan jasa antara penjual dan pembeli yang memiliki perinsip yang sama dengan transaksi konvensional, namun dilakukan dengan pertukaran data melalui media yang tidak berwujud (internet), dimana para pihak tidak perlu bertatap muka secara fisik. Implikasi dari pengembangan teknologi ini dirasakan ada sisi positif dan negatif. Aspek positifnya bahwa dengan perdagangan di internet melalui jaringan online telah meningkatkan peran dan fungsi perdagangan sekaligus memberikan kemudahan dan efesiensi. Aspek negatif dari pengembangan ini adalah berkaitan dengan persoalan keamanan

5Louis V. Gerstner, Who Said Elephants Can’t Dance, New York, Harper Business, 2002, hlm. 172.

6Paul Timmers, Electronic Commerce – Strategies & Models For Business-To-Business Trading, New Jersey, Joht Wiley&Son, 2000, hlm. 31.

(13)

4

dalam bertransaksi dengan menggunakan media e-commerce dan secara yuridis terkait pula dengan jaminan kepastian hukum (Legal certainty)

Perdagangan ini juga melahirkan resiko negatif yang sering sekali muncul dalam bentuk penyelewengan-penyelewengan yang cenderung merugikan konsumen dalam melakukan e-commerce atau perdagangan elektronik.

Diantaranya dalam hal yang terkait dengan produk yang di pesan tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan, kesalahan dalam pembayaran, ketidak tepatan waktu penyerahan barang atau pengiriman barang dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Untuk dapat menjamin perlindungan konsumen, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan perlindungan konsumen dalam suatu produk hukum. Hal ini dirasa penting karena hanya hukum yang dapat menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen yang pada dasarnya tidak seimbang, karena hanya hukum yang dapat memiliki kekuatan pasti dalam memaksa pelaku usaha untuk menaatinya dan juga memiliki sanksi yang tegas apabila pelaku usaha tersebut melanggarnya. Atas persetujuan bersama antara Presiden Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR), maka diundangkanlah suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disebut (UUPK) yang berlaku satu tahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan demikian undang-undang ini dimaksudkan untuk membela kepentingan konsumen.7

7Ibid., hlm. 47.

(14)

UUPK tidak hanya mengatur perlindungan hak-hak konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha saja, namun juga dimaksudkan untuk menciptakan situasi dan kondisi usaha berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya pelaku usaha yang menghasilkan atau menyediakan barang dan/atau jasa yang berkualitas.8

Oleh karena itu, UUPK menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. UUPK juga mengatur mengenai hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai suatu produk yang akan dikonsumsinya.

Karena pada dasarnya, salah satu faktor untuk menegakkan hak- hak konsumen itu adalah upaya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku konsumen itu sendiri, sehingga menjadi konsumen yang bertanggung jawab, yaitu konsumen yang sadar akan hak-haknya sebagai konsumen.9

Tentu saja UUPK menginginkan terciptannya keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Pengaturan pencantuman klausa bukanlah keberpihakan kepada konsumen semata dan merugikan pelaku usaha. Namun sesuai asas keseimbangan dalam UUPK, maka kepentingan semua pihak harus dilindungi termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional harus mendapat porsi yang seimbang.10

8Ibid., hlm. 298.

9Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, cet 1, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 15.

10Zulham, Hukum Perlindungan Kosumen Suatu Pengantar, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 20013, hlm. 75.

(15)

6

Upaya hukum bisa dilakukan oleh konsumen jika ia merasa dirugikan dengan menggunakan Pasal-Pasal yang terdapat di dalam UUPK. Kaitannya dengan aktivitas e-commerce sekarang sudah memiliki undang- undang, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selanjutnya disebut (UU ITE).

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur secara khusus mengenai transaksi elektronik dalam Bab V Undang-Undang tersebut, yakni pada Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 UU ITE. Dalam Pasal 17 ayat (2) para pihak yang melakukan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.

Pasal 18 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa transaksi elektronik yang dituangkan kedalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Dalam penjelasan Pasal 20 dijelaskan bahwa “transaksi elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, indentitas, nomor identifikasi pribadi atau lewat sandi. 11

Ketentuan sebagaimana pada Pasal 21 ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. Selanjutnya dalam Pasal 22 ditentukan mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang di operasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi, ketentua

11Abdul Halim Barkatullah, Hukum Transaksi Elektronik: Sebagai Panduan Dalam Menghadapi Era Digital BisnisEcommerce di indonesia, Bandung, Nusa Media, 2017, hlm. 12.

(16)

lebih lanjut mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan Pemerintah (PP).12

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas yang menjadi permasalahan dalam pembahasan selanjutnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Atas Kerugian Yang Dialami Oleh Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Kesalahan Pengiraman Barang Melalui Transaksi E-Commerce?

3. Upaya Hukum Apa Yang Dapat Dilakukan Konsumen Atas Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce?

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah ditetapkan maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen atas kesalahan pengiriman barang melalui transaksi e-commerce.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen dalam transaksi e-commerce.

c. Untuk mengatahui bagaiman upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen atas kesalahan pengiriman barang dalam transaksi e- commerce.

12 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 58.

(17)

8

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai peneliti dari pembahasan skripsi ini adalah:

a. Dari Segi Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum tentang perlindungan konsumen atas kesalahan pengiriman barang dalam transaksi e- commerce.

b. Dari Segi Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah

1. Mengetahui bagaiman perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce jika terjadi kesalahan pengiriman barang.

2. Menambah pengetahuan masyarakat dalam kesadarannya untuk memperoleh hak-hak sebagai konsumen dan produsen maupun kewajiban kedua belah pihak tersebut dalam transaksi e-commerce menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Menambah ilmu pengetahuan mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen transaksi e-commerce menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang Nomor 19

(18)

Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Universitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce”.

Berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam pengajuan judul skripsi, penulis terlebih dahulu sudah melakukan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hasil penelusuran dari judul skripsi penulis yakni tidak didapati judul yang sama. Adapun beberapa judul skripsi yang terkait dengan Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce:

1. Tinjauan Yuridis Jual Beli pada Media Internet Antara Pelaku Usaha dan Konsumen dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (M. Ridwan Zain, 120200562 Tahun 2018)

Rumusan Masalah:

a. Bagaimanakah kepastian hukum dalam transaksi elektronik menurut Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronk?

(19)

10

b. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen dalam jual beli melalui internet dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila dirugikan dalam transaksi elektronik?

c. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui internet dan penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik?

2. Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Penyelenggara Layanan E- Commerce Terhadap Konsumen Pada Situs Lazada.Co.Id. (Salomo Kevin Davian Simanjuntak, 150200472 Tahun 2019)

Rumusan Masalah:

a. Bagaimana pengaturan hukum perlindungan konsumen dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

b. Apakah pengguna jasa layanan e-commerce dilindungi sebagai konsumen berdasarkan ketentuan perlindungan konsumen?

c. Bagaimana bentuk perlindungan Lazada.co.id sebagai penyelenggara layanan e-commerce terhadap konsumen?

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian E-Commerce

Electronic commerce atau disingkat e-commerce adalah kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumer), manufaktur (manufacturers), service provider, dan perdagangan perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer

(20)

(computer networks), yaitu e-commerce yang sudah meliputi seluruh spektrum kegiatan komersial. E-commerce juga dapat dikatakan sebagai suatu cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan praktik yang dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana mekanisme transaksi. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui e-mail atau umumnya melalui World Wide Web.13

Pengertian transaksi elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disingkat dengan UU ITE merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan juga disebutkan dalam Pasal 1 bahwa Perdagangan melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.14

David Baum, yang dikutip oleh W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, mendefinisikan “E-commerce is a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumer and

13Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal E-Commerce, Jakarta, Elex Media Komputindo,2001, hlm. 1-2.

14Indonesia (UU Perdagangan), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 1.

(21)

12

communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, services, and information.” E-commerce merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, jasa, dan informasi yang dilakukan secara elektronik.15

Dapat disimpulkan bahwa e-commerce mengandung permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum (Penjelasan Umum Pasal 3 UU ITE).

2. Perkembangan E-commerce di Indonesia

Secara singkat, sejarah dari e-commerce bermula di awal tahun 1970an, dengan adanya inovasi semacam electronic fund transfer (EFT).

Saat itu tingkat aplikasinya masih terbatas pada besar, lembaga keuangan, dan segelintir perusahaan kecil yang nekat lalu muncullah electronic data interchange (EDI), yang berkembang dari transaksi keuangan ke pemrosesan transaksi lain serta memperbesar jumlah perusahaan yang

15 Onno W. Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Op. Cit., hlm. 10.

(22)

berperan serta, mulai lembaga-lembaga keuangan hingga perusahaan manufaktur, ritel, layanan dan sebagainya.

Kehadiran internet, walaupun masih merupakan industri baru dan masih dalam fase pertumbuhan, telah memperkokoh keyakinan tentang pentingnya peranan teknologi dalam pencapaian tujuan finansial. Sebagai salah satu sarana guna melakukan transaksi perdagangan (penjualan, pembelian, promosi dan lain-lain), di samping manfaat yang diperoleh atas penggunaan internet, ada kenyataan bahwa sejumlah enterpeneur baru memulai membuat net companies setelah terinspirasi dengan kesuksesan yang diraih oleh para digital enterpeneur di banyak negara maju.16

Menurut satu penelitian yang dilakukan Forrester Reserch, di indonesia, volume pendapatan yang diperoleh dari transaksi e-commerce kurang memadai jika dibandingkan dengan total transaksi dunia.

Dewasa ini Perkembangan e-commerce di Indonesia semakin pesat memiliki dampak positif baik bagi pebisnis, konsumen maupun masyarakat.

Bagi pebisnis, e-commerce memiliki dampak positif berupa pengurangan biaya operasional dan dapat memperlebar pangsa pasar, sehingga keuntungan dapat dimaksimalkan dan lebih mudah dalam hal pengembangan bisnis. Perkembangan e-commerce sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan wilayah di mana faktor yang sangat menentukan perkembangan e-commerce di Indonesia diantaranya adalah sumber daya

16Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, PT Refika Aditama, 2009, hlm. 147.

(23)

14

manusia yang tercermin dari indeks pembangunan manusia, infrastruktur jaringan internet serta infrastruktur ketenagalistrikan. Ketiga faktor tersebut berbanding lurus dengan perkembangan e-commerce di Indonesia.

3. Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Perdagangan Melalui Electronic Commerce (E-Commerce)

Secara perdata, transaksi elektronik untuk perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kini konvergensi teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) terus berkembang seiiring dengan penemuan baru teknologi informasi, media, dan komunikasi.17

Dalam hal ini, kegiatan melalui media system elektronik yang bersifat virtual, dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Hal ini diuraikan secara khusus pada bagian penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Apabila diperhatikan lebih seksama hak hak konsumen yang disebutkan dalam UUPK, konsumen terkesan hanya terbatas pada aktifitas perdagangan yang sifatnya konvensional. Disamping itu, perlindungan pun hanya difokuskan pada sisi konsumen dan produk (barang dan jasa) yang diperdagangkan. Sedangkan perlindungan dari sisi produsen atau pelaku usaha, seperti informasi tentang identitas dan alamat atau tempat bisnis pelaku usaha atau produsen serta jaminan kerahasiaan data-data milik

17 Indonesia, Undang-Undang Nomor. No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

(24)

konsumen diabaika. Padahal hal tersebut sangat penting diatur untuk keamana konsumen dalam bertransaksi.

4. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen asas perlindungan konsumen menyatakan, Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,keamanan dan keslematan konsumen serta kepastian hukum.18 Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menjadi tujuan perlindungan konsumen yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

18 Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 2.

(25)

16

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan, antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Jenis penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat pada Peraturan Perundang-undangan, Kitab-Kitab Hukum, Putusan-putusan pengadilan, serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.19 Penelitian dengan yuridis normatif ditujukan kepada penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.20

Jenis penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Selain itu, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan dengan aturan lainnya secara hierarki.

2. Sifat Penelitian

Dari segi sifat, penelitian dilakukan secara deskriptif dimana penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan objek tertentu menjelaskan hal-hal yang terkait dengan atau melukiskan secara sistematis

19 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 105.

20 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hlm 13.

(26)

fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu dalam bidang tertentu secara faktual dan cermat.21

Penelitian deskriptif dimaksudkan peneliti memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum, peristiwa hukum adalah peristiwa yang beraspek hukum terjadi di suatu tempat tertentu pada saat tertentu. Dalam mendeskripsikan itu dikemukakan apa adanya tanpa disertai tanggapan atau pendapat pribadi dari peneliti. Jadi, teknik deskripsi terhadap kondisi hukum dilakukan terhadap norma hukum primer seperti perundang-undangan dalam posisi netral atau dalam “each statute become an independent source of law” artinya undang-undang tersebut belum mendapat komentar dari pihak manapun.22

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Jasa Kelistrikan Berdasarkan Undan-undang Nomor 8 Tahun 1999 Dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009.

3. Sumber Data

Pada penelitian ini penulis menggunakan alat pengumpulan data dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan sistem analisis terhadap data-data yang diperoleh. Penelitian hukum normatif ini bersumber dari bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi hukum primer, sekunder dan tersier.

21Jhonny Ibrahim, Teori dan Metologi Penelitian Hukum Normatif, Magelang, UMM Pres, 2007, hlm. 57.

22Made Pasek Diantha, Metologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Jakarta, Pranada Media Group, 2019, hlm 152.

(27)

18

a. Bahan Hukum Primer adalah berupa undang-undang dan peraturan- peraturan yang berkaitan dengan transaksi elektronik, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, Undang-undang No.

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan lain sebainya.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan ilmiah hukum, yang terkait dengan objek penelitian ini.23

c. Bahan Hukum Tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder di atas yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya.24

4. Metode Pengumpulan Data

a. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library reseach) Studi ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-buku, dan peraturan hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.

23Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm. 142.

24Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 52.

(28)

b. Analisis Data, Penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan cara menafsirkan, menginterpretasikan data yang diperoleh dari peraturan perundang- undangan yang dilakukan bersifat deskriptif dan tidak menggunakan data berupa angka-angka dan dengan menggunakan kerangka teori dan kerangka konsep yang hasilnya diuraikan dan dijelaskan ke dalam bentuk kalimat yang jelas, teratur, logis dan efektif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tepat.

Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan penulisan ini terbagi dalam 5 bab yang masing- masing bab terdiri dari sub bab yang dikembangkan dan memerlukan pembahasan yang lebih terperinci. Terdiri dari:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI OLEH KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

(29)

20

Pada bab ini membahas tentang dasar hukum e-commerce di Indonesia, hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen di tinjau dari Undang-Undang perlindungan konsumen, selanjutnya mengenai kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan pengiriman barang dalam transaksi e-commerce, serta tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRAMAN BARANG MELALUI TRANSAKSI E-COMMERCE.

Pada bab ini membahas tentang perlindungan konsumen ditinjau dari hukum perlindungan konsumen, Perlindungan Konsumen e-commerce Menurut Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik, kemudian menjelaskan tentang pihak-pihak dalam transaksi e-commerce.

Dilanjutkan dengan pelanggaran terhadap konsumen, perjanjian dalam transaksi e-commerce.

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KONSUMEN ATAS KESALAHAN PENGIRIMAN BARANG DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE Pada bab 4 ini, membahas tentang pokok permasalahan yakni cara penyelesaian jika terjadinya kesalahan pengiriman barang dalam transaksi e-commerce, juga

(30)

membahas tentang penyelesaian sengketa konsumen yang di dalamnya meliputi penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa didalam pengadilan, dan sanksi bagi pelanggar undang-undang perlindungan konsumen.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir dari skripsi ini, dimana bagian kesimpulan akan tercantum kesimpulan-kesimpulan dari pembahasan yang yang menjawab rumusan masalah dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini

(31)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA ATAS KERUGIAN YANG DIALAMI OLEH KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

A. Dasar Hukum E-Commerce di Indonesia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 j.o Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1).

Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :

1. Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.

2. Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.

3. UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.

Dasar hukum e-commerce secara signifikan, tidak mencakup aspek transaksi yang dilakukan secara online (internet), akan tetapi ada beberapa hukum yang bisa menjadi standar untuk melakukan transaksi secara online: 25

25Adi Sulistyo Nugroho, E-commerce Teori dan Implementasi, Yogyakarta, Ekuilibria, 2016, hlm. 35-36.

(32)

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan (UU Dokumen Perusahaan) telah mulai menjangkau kearah pembuktian data elektronik.

b. Pasal 1233 KUHPer, dengan isinya sebagai berikut “perikatan lahir karna suatu persetujuan atau karna undang undang.” Berarti dengan pasal ini perjanjian dalam bentuk apapun diperbolehkan dalam hukum perdata Indonesia.

c. Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPer, kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru yang agungkan, bahkan kebebasan berkontrak cenderung berkembang ke arah kebebasan tanpa batas.26 Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan perkataan lain melalui asa kebebasan berkontrak subyek hukum mempunyai kebebasan dalam membuat perjanjian.27

Terdapat sejumlah Undang-undang yang terkait dengan e-commerce, namun belum ada yang spesifik mengatur tentang e-commerce, terlebih terkait dengan perlindungan konsumen e-commerce. Peraturan perundangan dimaksud adalah :

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang;

26Ridwan Khairandi, Itikat Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Universitas Indonesia, 2003, hlm. 1.

27Widya Sari, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perjanjian Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum UKSW, Vol. 10, No. 3, Januari 2009, hlm. 233.

(33)

24

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

5. Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang- undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992;

6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;

7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang;

8. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industry;

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desai Tata Letak Sirkuit Terpadu;

10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten;

11. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Asosiasi Internet Indonesia sebagai suatu organisasi yang berkedudukan di Indonesia dan bertujuan untuk memajukan pengembangan dan pemanfaatan internet di Indonesia secara bebas dan bertanggung jawab, wajib untuk memberikan pandangan dan usulan demi memperbaiki UU ITE tersebut yang memiliki sangat banyak kelemahan.28

Diantara sejumlah Undang-Undang tersebut yang sangat erat kaitan dengan e-commerce adalah UU ITE, namun sampai saat ini belum satupun Peraturan Pemerintah ditetapkan sebagai atauran pelaksanaan dalam ITE, meskipun dalam Ketentuan Penutup (Pasal 54) disebutkan bahwa Peraturan

28 Irwan Efendi, Mengulas Kelemahan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Beserta Saran Perubahan. http://www.isocid.net. Diakses pada tanggal 25 Januari 2021 pukul 14.21 WIB

(34)

Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama dua tahun setelah diundangkannya UU ITE, atau paling lama tanggal 21 April 2010. Peraturan pemerintah dimaksud adalah

1. Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Sertifikasi Keandalan, amanat Pasal 10 ayat 1 dan 2;

2. Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik, amanat Pasal 11 ayat 1 dan 2;

3. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, amanat Pasal 13 ayat 3 dan 6;

4. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik, amanat Pasal 16 ayat 1 dan 2;

5. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik, amanat Pasal 17 ayat 1 dan 3;

6. Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Agen Elektronik, amanat Pasal 22 ayat 1 dan 2;

7. PP tentang Pengelolaan Nama Domein, amanat Pasal 24 ayat 1,2,3 dan 4;

8. PP tentang Peran Pemerintah Dalam ITE, amanat Pasal 40 ayat 1,2,3,6.

Terkait dengan e-commerce, dalam UU Perdagangan juga telah mengatur mengenai perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce, yang diatur dalam Pasal 65 dan 66. Pemberlakuan aturan e-commerce yang tercantum di dalam UU Perdagangan ini berlaku untuk skala internasional.29

29 Az. Nasution, Revolusi Teknologi Dalam Transaksi Bisnis Melalui Internet, Jurnal Keadilan Vol. I No. 3 September 2001, hal 28.

(35)

26

Maksudnya adalah seluruh transaksi elektronik yang dilakukan pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, yang menjadikan Indonesia sebagai pasar wajib mematuhi aturan e-commerce yang ada di dalam UU Perdagangan dan peraturan pelaksanaannya. Dalam UU Perdagangan ini, Pemerintah mengatur bagaimana transaksi elektronik dan bisnis online dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku bisnis dan dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen.

Tujuan dari pengaturan e-commerce dalam UU Perdagangan adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan juga bagi para pelaku usaha.

Dalam pasal 65 UU Perdagangan ini mewajibkan pelaku usaha e- commerce untuk menyediakan data dan /atau informasi secara lengkap dan benar sehingga akan memudahkan untuk menelusuri legalitasnya. Hal ini sangat baik dalam segi perlindungan konsumen namun, implementasi dari ketentuan ini akan sulit terwujud jika aturan pelaksananya tidak segera diterbitkan oleh pemerintah, karena e-commerce itu sendiri sangat kompleks dan terjadi di lintas negara.

B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen Ditinjau dari Undang- Undang Perlindungan Konsumen

UUPK mengatur mengenai hak dan kewajiban pihak dari pelaku usaha maupun konsumen sebagai berikut :30

1. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.

Istilah pelaku usaha merupakan pengertian yuridis dari istilah produsen.31 pelaku usaha tidak hanya di artikan sebagai pihak pembuat

30 H. Syahruddin Nawi, Hak Dan Kewajiban Konsumen Menurut UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal Pleno De Jure, Vol. 7, No. 1, Juni 2018, hlm. 3.

(36)

atau pabrik yang menghasilkan produk saja, tapi juga terkait dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai ke tanggan konsumen.32 Terkait hak pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur dengan rinci dalam Pasal 6 UUPK, dimana pasal tersebut menyebutkan hak-hak dari pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha dalam menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, berarti bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen kurang memadai menurut harga

31N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta, Panta Rei, 2005, hlm. 26.

32Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Medan, PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 13.

(37)

28

yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang perdagangkan. Dalam prakteknya yang biasa terjadi adalah suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih redah daripada barang yang sama, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Yang dipentingkan di dalam hal ini adalah harga yang wajar dan seimbang antara kualitas dengan harga yang dibayarkan.33

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, huruf c, dan huruf d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.

Dan mengenai hak pelaku usaha yang terakhir mengenai hak-hak yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti hak-hak yang diatur di dalam Undang-Undang Perbankan, Undang- Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Pangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Berkenaan dengan berbagai undang- undang tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK adalah payung bagi seluruh aturan lainnya yang berkenaan dengan perlindungan konsumen.

33Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 51.

(38)

Kewajiban dari pelaku usaha diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 7, yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.34

Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal di dalam hukum perjanjian. Ketentuan mengenai itikad baik ini sendiri diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

34H. Syahruddin Nawi, Op.Cit., hlm. 4.

(39)

30

“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas sikap berhati-hati tersebut merupakan perkembangan asas itikad baik.

Berdasarkan asas sikap hati-hati dalam perjanjian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa kewajiban pelaku usaha seperti kewajiban untuk meneliti, kewajiban untuk memberikan keterangan, kewajiban untuk membatasi kerugian, kewajiban untuk membantu perubahan-perubahan dalam pelaksanaan perjanjian, kewajiban untuk menjauhkan diri dari persaingan, kewajiban untuk memelihara mesin-mesin atau alat yang dipakai dalam proses produksi dan sebagainya.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 menjelaskan yaitu:35

a. Hak atas atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

35 Nurul Tika Pratiwi dan Aprina Chintya, Studi Komperatif Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam, Jurnal Fikri, Vol. 2, No. 1, Juni 2017, hlm. 152

(40)

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayanai secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya

Dari kesembilan hak-hak konsumen di atas ada beberapa hak yang sering dikesampingkan oleh pelaku usaha seperti hak untuk mendapatkan informasi secara lengkap mengenai barang yang dipesan dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap barang yang dipesan baik barang itu rusak, cacat atau barang tidak diterima oleh konsumen.36

Selain memiliki hak-hak tersebut, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh konsumen dan diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:37

36 Desy Ary Setyawati, Dahlan, M. Nur Rasyid, Perlindungan Bagi Hak Konsumen Dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Transaksi Elektronik, Syiah Kuala Law Journal, Vol. 1, No.3 Desember 2017, hlm

37Zulham, Op.Cit., hlm 52.

(41)

32

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Penekanan kewajiban dilakukan terhadap poin a, dimana konsumen diwajibkan untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. Hal ini penting karena sering pelaku usaha telah dengan itikad baik menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.

Kewajiban konsumen lainnya yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana, baik tersangka ataupun terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.38

38Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 49.

(42)

Adanya kewajiban seperti yang disebutkan di dalam UUPK tersebut dianggap tepat, sebab kewajiban ini merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi mudah diperoleh, apabila konsumen telah mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut serta telah melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPK tersebut.

Berdasarkan ketentuan di dalam UUPK mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha serta hak dan kewajiban konsumen, dapat dilihat jumlah yang berbeda. Hal ini merupakan salah satu upaya perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen yang tidak seimbang.

Pelaku usaha disini memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada konsumen dikarenakan pelaku usaha mengetahui kualitas asli dari barang dan/atau jasa yang diproduksinya, dimana konsumen tidak mengetahuinya.

Maka dari itu, UUPK memberikan perlindungan yang lebih kepada konsumen daripada pelaku usaha.

C. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Kesalahan Pengiriman Barang Dalam Transaksi E-Commerce

Perdagangan melalui media elektronik atau E-Commerce merupakan salah satu bentuk transaksi perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh majunya perkembangan teknologi informasi dan globalisasi.39 Melalui transaksi

39Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 93.

(43)

34

perdagangan ini konsep pasar tradisional (dimana para penjual dan pembeli bertemu secara fisik) berubah menjadi telemarketing (perdagangan jarak jauh dengan menggunakan internet) selain merubah konsep e-commerce pun telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh barang atau produk yang mereka inginkan.

Fakta yang sering sekali dijumpai dalam hal bertransaksi secara online yang menyebabkan kerugian terhadap konsumen adalah, Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku usaha toko online tersebut diantarannya adalah ketidaksesuaian barang yang ditawarkan dengan apa yang diterima berbeda baik dari jenis maupun kwalitas dari Barang tersebut. Misalnya Pakaian, dicantumkan bagaimana deskripsi bahan dari pakaian, ukurannya tetapi yang didapatkan konsumen ternyata berbeda dari yang sudah dijelaskan dalam deskripsi tersebut.

Hal ini terjadi akibat dari kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha toko online demi meningkatkan penjualan pakaian tersebut.

Pengertian kerugian yang dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain.40 Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Menurut para ahli dan yurisprudensi dalam perkembangannya kerugian yang dapat diderita konsumen dibedakan menjadi dua macam yaitu kerugian materiil dan immaterial.

40Mr. J.H. Nieuwenhuis, terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Surabaya, Airlangga University Press, 1985, hlm. 54.

(44)

a. Kerugian materil yaitu berupa kerugian dalam bentuk uang dan/atau kekayaan konsumen.

b. Kerugian immaterial yaitu berupa kerugian yang membahayakan Kesehatan dan/atau kejiwaan konsumen.

Menurut Abdulkadir Muhammad, dari Pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :

a. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.

b. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh- sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg.

Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.41

Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan

41Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1982, hlm. 41.

(45)

36

melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.

D. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian Yang Dialami Konsumen Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen dalam transaksi melalui e-commerce memang secara spesifik belum diatur baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya mengatur jual beli secara konvensional tradisional sedangkan Undang-Undang Transaksi Elektronik mengatur tentang transaksi elektronik pada umumnya, tidak ada penyebutan khusus untuk (e-commerce). Kelemahan inilah yang menjadi salah satu faktor yang mempersulit konsumen dalam menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha dalam jual beli melalui internet jika terjadi kerugian (dalam arti luas) bagi konsumen.

Tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.42 Pertanggungjawaban terhadap kerugian yang dialami konsumen, dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan terkait e-commerce. Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum terkait dengan tuntutan ganti kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat penggunaan produk yang cacat yang didasarkan pada

42Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, Hlm. 125.

(46)

tuntutan ganti kerugian berdasarkan Wanprestasi. Dalam tuntutan ganti kerugian berdasarkan adanya wanprestasi, wanprestasi yang dimaksud dalam e-commerce adalah:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

Penjual atau merchant mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan menanggung kenikmatan tentram serta cacat-cacat tersembunyi.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat untuk wanprestasi model ini sebenarnya mirip dengan wanprestasi model yang pertama. Jika barang pesanan datang terlambat tetapi tetap dapat dipergunakan maka hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.

c. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 43 Tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi adalah sebagai akibat penerapan klausula dalam perjanjian, kewajiban untuk mengganti kerugian akibat penerapan klausula dalam perjanjian merupakan ketentuan hukum yang dibuat oleh kedua belah pihak. Dengan demikian bukanlah undang-undang yang menentukan pembayaran ganti rugi dan berapa besarnya ganti rugi melainkan kedua belah pihak yang menentukan semuanya dalam perjanjian. Apa yang diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability) adalah tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik

43M. Arsyad Sanusi, E-Commerce: Hukum dan Solusinya, Cetakan I, Bandung, PT.

Mizan Grafika Sarana, 2001, hlm. 34.

(47)

38

barang maupun jasa) atas kerugian yang dialami konsumen. Di dalam contractual liability terdapat suatu perjanjian atau kontrak (hubungan langsung) antara pelaku usaha dengan konsumen. 44

Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

44 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 4.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penetapan prioritas pembangunan Tahun 2013 didasarkan atas pertimbangan: (1) memiliki dampak yang besar terhadap pencapaian sasaran sehingga langsung dapat dirasakan

Pada proyek laboratorium kimia dan proyek fasilitas sanitasi memiliki RF yang besar karena tingkat kompleksitas yang tinggi terhadap desain yang akan dibuat,

Fungsi yang menyangkut kekebalan (Immunity). Darah mentransport lekosit, antibodi dan substansi protektif lainnya. Fungsi yang menyangkut korelasi hormonal. Darah

Namun apabila adanya permasalahan atau sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan menurut UU ITE yaitu dengan

Perhitungan dilakukan untuk elemen bakar yang masing-masing mempunyai 17, 19, 21, 23, 25 dan 27 buah pelat bahan bakar dengan tebal pelat dan ukuran elemen bakar yang sama dan

Suatu sintesa enzimatik senyawa glukasida yang dipublikasikan pada 1996, memperlihatkan kemungkinan dilakukannya reaksi kimia pada kondisi yang lebih "lunak" dari

non-pemerintahan yang bertindak sebagai fasilitator dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan Kota Lama yaitu Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang