• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM PERILAKU HAKIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ETIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM PERILAKU HAKIM"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 Sub Tema :

ETIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM PERILAKU HAKIM

Disampaikan oleh :

Dr. Sri Muryanto, SH.,MH.

1

Pada hari : Sabtu, tanggal 23 Mei 2015

Tempat : Ruang Sidang FH UII Lt. III, Jl. Taman Siswa No. 158, Yogyakarta.

ETIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM PERILAKU HAKIM

I. PENDAHULUAN

Dalam Seminar Nasional “Etika Penegakan Hukum” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dengan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta di beri kesempatan untuk menyampaikan makalah dalam seminar ini dengan sub tema “Etika Penegakan Hukum Dalam Perilaku Hakim”.

Mengutip sebagaimana ditulis dalam Term Of References, bahwa Di Indonesia Catur Wangsa yang terdiri dari Kepolisian, Kehakiman, Kejaksaan dan Advokat merupakan komponen utama penegakan hukum di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman.

Salah satu catur wangsa yaitu kehakiman (Pengadilan), yang ketika acaranya diwilayah wewenangnya, maka dapat dinamakan dan dimasukkan didalam Fase adjudikasi.

Fase adjudikasi merupakan fase penting dalam sistem peradilan pidana.

Lembaga pengadilan sebagai institusi penyelenggara bertugas menyelenggarakan suatu proses pengadilan di mana perkara yang telah diperiksa dan dibuktikan kebenarannya sehingga secara nyata dapat ditemukan kebenaran materiil atas

1 Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta.

(2)

2 suatu peristiwa yang ditengarai sebagai tindak pidana dan dapat ditentukan apakah seorang yang didakwa melakukan tindak pidana bersalah atau tidak. Proses ini melibatkan sejumlah pihak antara lain hakim, jaksa sebagai penuntut umum, advokat sebagai penasihat hukum dan sejumlah saksi serta profesional lainnya bila diperlukan sebagai ahli.

Di beberapa lembaga yang menganut sistem juri, sejumlah warga masyarakat dipilih untuk membantu objektivitas dari proses yang berlangsung sehingga membantu pencapaian putusan yang sesuai dengan tujuan penyelenggaraannya.

II. ETIKA HAKIM SEBAGAI PENEGAK HUKUM

Didalam Ketentuan Umum UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 angka 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Indonesia adalah Negara Hukum, oleh karenanya aparat penegak hukum di tuntut untuk bertindak sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku, dan didalam sebuah negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) memegang peranan yang sangat penting karena melalui kekuasaan inilah konkretisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan kata lain, meskipun peraturan hukum pidana yang diciptakan oleh pembuat undang- undang di suatu negara dalam usaha penanggulangan kejahatan sangatlah baik dan sempurna, akan tetapi jika tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut, maka segala peraturan perundang-undangan tersebut akan menjadi sia-sia belaka.

Namun masih saja ada masyarakat yang belum memahami siapa itu hakim, karena masih ada yang salah mengartikan bahwa Hakim sering disebut sebagai

(3)

3 Jaksa, padahal yang di maksud dengan “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada peradilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.(Pasal 1 angka 5 UU No.48 Tahun 2009).

Oleh karena itu pengadilan, dalam hal ini adalah Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (justisiabelen) untuk mendapatkan keadilan serta menyelesaikan persoalan- persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Sehingga masyarakat akan sangat mendambakan adanya peradilan yang agung yang dapat memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap keadilan. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat). Hanya pengadilan yang mandiri, netral dan kompeten yang dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Posisi Hakim sebagai pelaksana utama lembaga peradilan menjadi amat vital, mengingat segala kewenangan yang dimilikinya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu didahului dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, antara "Putusan" dan "Hakim"

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena putusan pengadilan adalah produk Hakim, maka putusan berkualitas mencerminkan Hakim yang berkualitas.

Putusan berkualitas akan dapat dihasilkan oleh Hakim yang memiliki kemampuan

(4)

4 yang baik dalam mengadili suatu perkara. Terkadang meskipun Hakim telah mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya di dalam menyusun sebuah putusan demi memberikan sebuah keadilan kepada masyarakat, tetap ada saja anggapan-anggapan yang muncul bahwa putusan yang dibuatnya adalah tidak adil, sehingga hampir bisa dikatakan sebuah putusan Hakim akan memunculkan dua sisi persepsi publik yang berbeda, adil dan tidak adil, tergantung dari perspektif mana persepsi itu dimunculkan.

Bicara masalah hakim yang berkualitas, maka seyogyanya hal tersebut tidak perlu menjadi bahan pembicaraan, kenapa ? Bahwa untuk dimengerti, dapatnya diangkat sebagai hakim pada lingkungan peradilan umum, yaitu bahwa berdasarkan UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pasal 14 ayat (1) berbunyi :

Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia ;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. sarjana hukum;

e. lulus pendidikan hakim;

f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

h. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun, dan

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memeproleh kekuatan hukum tetap.

(5)

5 Bahwa sebelum diangkat menjadi hakim, maka sebelumnya ada seleksi untuk dapat diangkat menjadi calon hakim, dan biasanya setelah ada pengumuman atau pemberitahuan akan adanya penerimaan calon hakim, maka tanggapan sarjana hukum mendaftarkan diri, bahkan pendaftar mencapai sekian ribu pendaftar, dan dari sekian ribu pendaftar, yang diterima sebagai calon hakim biasanya sesuai kebutuhan. Persaingan untuk menembus lolos menjadi calon hakim sangatlah tidak mudah, karena memang sangat ketat, sehingga dapat dipastikan yang diterima sebagai calon hakim adalah orang yang dipandang sebagai yang terbaik.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah setelah menjadi hakim akan bebas bergerak semaunya sendiri, mempunyai sifat mandiri sebagaimana menjatuhkan putusan.

Jawabannya : tidak. “Karena Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim” (Pasal 5 Ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009).

Dan pertanyaan berikutnya yaitu Siapa yang bertugas mengawasinya ?

Dalam UU No. 49 Tahun 2009 Pasal 13 A ayat (1) “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan ayat (2) “ Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta erilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial”.

Untuk tidak kena sanksi, maka sebagai bunyi pasal 13 B Ayat (1) “Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum” dan (2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”

Dan sebagai pedoman, maka dibuatlah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 8 April 2009, bahwa pada huruf A. Pembukaan di alinea terakhir menyebutkan :

(6)

6 Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

Bahwa dari setiap 10 aturan perilaku tersebut diatas di dalamnya ada butir- butir penerapannya, namun tidak semua butir-butir penerapannya tersebut berlaku untuk umum, sebab dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor : 36 P/HUM/2011 tertanggal 9 Februari 2012, bahwa butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir- butir 10.1, 10.2, 10.3 dan 10.4 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.

Untuk itulah Hakim sebagai Penegak Hukum tidak dapat bergerak bebas, karena sudah dipagari dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk tidak melakukan perbuatan yang tercela, bertingkah laku sekehendaknya sendiri, sebab segala gerak-geriknya senantiasa berada dalam pengawasan Mahkamah Agung sebagai Pengawas internal dan Komisi Yudisial sebagai Pengawas eksternal.

III. PENUTUP

Roscoe Pound mengatakan : hakekat hukum ialah membawa aturan yang adil bagi masyarakatnya. Untuk itu hakim sebagai penegak hukum di harapkan memberi suri tauladan yang baik agar tercipta keadilan bagi masyarakat.

Kekuatiran yang berlebihan terhadap perilaku hakim jangan dimunculkan dibalik itu, karena kekuatiran tersebut akan membawa tekanan yang menyesakkan untuk berkreasi. Beri kesempatan kepadanya, maka akan menjadi lebih baik asalkan perilakunya akan membawa nalar dan jiwa yang positif didalam setiap perkembangan jaman. Dan sebagai pendorong perlu diberdayakan kesemua pihak untuk berkemauan positif membangun serta memberikan semangat agar para hakim tidak keluar dari rel Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,

(7)

7 sehingga beban pengawasan menjadi lebih ringan. Dan tentunya juga diharapkan para penegak hukum serta lembaga swadaya masyarakat lainnya bersinergi merapatkah langkah menuju masyarakat yang berkeadilan.

Mari kita support agar Etika Penegakan Hukum Dalam Perilaku Hakim, yang dalam ini agar (1) Pengadilan (Hakim) benar-benar mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, (2) serta membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009).

Terlebih lagi Hakim dalam putusannya selayaknya harus mencakup 3 nlai dasar yang harus terdapat dalam hukum yakni : Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Gustav Radbruch). Namun kalau boleh berpendapat, maka diantara tiga nilai dasar, maka yang patut diutamakan adalah teori kemanfaatan (Jeremy Bentham).

Maka berbahagialah apabila seorang hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum selalu berlandaskan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebaliknya sangat memalukan apabila seorang hakim terkena sanksi karena perbuatannya yang tercela, disamping dirinya yang malu, akan tetapi keluarga dan lembaganya akan terkena imbasnya.

Matur nuwun.

Referensi

Dokumen terkait

Agar pembahasan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan serta menghindari terlalu luasnya ruang pembahasan, maka dalam penulisan skripsi ini membahas ruang

Setelah mengetahui bentuk layanan, jumlah koleksi, data statistik pengunjung, bentuk promosi Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Kulon Progo, maka penulis ingin

Dilihat dari 8 kota IHK di Kalimantan yang menghitung inflasi pada Bulan Desember 2011 ini, secara berurutan inflasi terjadi di Kota Tarakan 1,53 persen; Pontianak 1,15

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemakai hijab (hijaber), karena terdapat perubahan cara berpakaian dari tidak berhijab menjadi berhijab. Diperlukan penyesuaian diri

14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031, kawasan Simongan harus di tata dan dirubah menjadi daerah permukiman saja (bukan zona

Dikisahkan oleh Al-Sada dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan para sahabat Rasulullah SAW. yang lainnya bahwa ketika kaum amalaqoh dapat mengalahkan Bani Israil atas tanah Gaza

Once Lady Girard had said to Lydia, with the condescending air of an older woman who gives sound advice to a young hostess: “My dear, if you have the Viscountess and Charlie Stott

17 dan biaya yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar sehingga akan menjadi semakin sensitif return saham perusahaan terhadap perubahan tingkat suku bunga, akan