• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PENDERITA OTITIS MEDIA AKUT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : DESSY INDRI ASTUTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFIL PENDERITA OTITIS MEDIA AKUT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : DESSY INDRI ASTUTI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PENDERITA OTITIS MEDIA AKUT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2012

Oleh :

DESSY INDRI ASTUTI 090100120

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(2)

PROFIL PENDERITA OTITIS MEDIA AKUT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010-2012

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

DESSY INDRI ASTUTI 090100120

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Profil Penderita Otitis Media Akut di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2012

NAMA : Dessy Indri Astuti NIM : 090100120

Pembimbing

(dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL) NIP : 197812072008012013

Penguji I Penguji II

(dr. Tri Faranita, M. Ked (Ped), Sp. A) (dr. Evita Mayasari, M. Kes) NIP : 198227042008122001 NIP : 197710182003122003

Medan, Januari 2014

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP : 195402201980111001

(4)

ABSTRAK

Otitis Media Akut (OMA) merupakan penyakit infeksi telinga tengah yang terjadi secara akut akibat adanya penyumbatan tuba eustachius. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya OMA yaitu adanya ISPA berulang, faktor pertahanan tubuh, dan lingkungan. Tingkat keparahan OMA dapat dinilai dari gejala klinis, lama keluhan, dan stadiumnya. Balita dan anak-anak cenderung mengalami OMA dibandingkan usia dewasa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan studi cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh rekam medis penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2013 di bagian Rekam Medis RSUP H.

Adam Malik Medan.

Pada penelitian ini dilaporkan bahwa usia penderita OMA paling banyak adalah usia >18 tahun 209 orang (57,9%). OMA lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 184 orang (51%). Keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah telinga berair sebanyak 155 subjek (42,9%). Lama keluhan OMA yang paling banyak ditemukan yaitu <3 minggu sebanyak 285 subjek (78,9%). Stadium yang paling banyak ditemukan pada kasus OMA adalah stadium perforasi 193 subjek (53,5%).

Adanya insidensi OMA yang tinggi pada usia dewasa, perempuan, keluhan telinga berair, dan stadium perforasi, maka dari itu, pencegahan terhadap faktor-faktor resiko terjadinya OMA dan segera mendapatkan terapi apabila telah terdapat keluhan sangat berpengaruh besar dalam mengurangi morbiditas OMA.

Kata kunci : Otitis Media Akut, gambaran penderita

(5)

ABSTRACT

Acute Otitis Media (AOM) is an ear infection of the middle ear that occur acutely due to blockage of the Eustachian tube. Some of the factors that cause AOM are presence of recurrent respiratory infection, the body’s defense system, and environmental factors. The severity of the AOM can be predicted from clinical symptoms, duration of complaints, and the stadium. Toddlers and children tend to contradict AOM compared to adulthood.

The aim of this study is to determine the description of patients with AOM at H. Adam Malik General Hospital 2010-2012.

This research is a descriptive study with cross sectional design. The samples in this study were all medical records of patients with AOM from Ear, Nose, and Throat Department H. Adam Malik 2010-2012. The data collection was carried out from July-October 2013 at medical record division of H. Adam Malik General Hospital.

In this study, the age of the patients with AOM is the most widely at the age above 18 years 209 persons (57,9%). AOM is more commonly found in women 184 persons (51%). The main complaint in the most patients was watery ear 155 subjects (42,9%). Complaint of AOM was the most commonly found in less than 3 weeks 285 subjects (78,9%). The stadium of AOM that was the most commonly found was perforation 193 subjects (53,5%).

The high insidence of AOM was present in adulthood, those who were female, with watery ear complaint, and perforation stadium. Therefore, the prevention of risk factors for the occurence of AOM and immediately get therapy if there have been complaints are very influential in reducing morbidity of AOM.

Key words : Acute Otitis Media, description of patients

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Profil Penderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012”. Karya tulis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan gelar sarjana Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Kasiyanto dan Ibu Diah Pertiwi yang selalu memberikan dukungan dan doa. Kepada dosen pembimbing penelitian ini, dr.

Devira Zahara, Sp. THT-KL yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mendukung, membimbing, dan mengarahkan saya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan dengan baik. Serta kepada senior, kerabat, dan teman saya yang selalu mendukung saya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, ilustrasi,dan sistematika penulisan dalam pembuatan karya tulis ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan pada masa yang akan datang.

Medan, Desember 2013 Penulis

Dessy Indri Astuti

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 2

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Anatomi Telinga ... 4

2.1.1. Anatomi Telinga Luar ... 4

2.1.2. Anatomi Telinga Tengah ... 5

2.1.3. Anatomi Telinga Dalam ... 7

2.2. Fisiologi Pendengaran ... 8

2.3. Kelainan Telinga Tengah ... 8

2.3.1. Otitis Media ... 8

2.3.2. Otitis Media Akut ... 10

(8)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.2. Definisi Operasional ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Jenis Penelitian ... 30

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4.5. Metode Analisis Data ... 30

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1. Hasil Penelitian Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

5.1.2. Karakteristik Individu ... 32

5.2. Pembahasan ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

6.1. Kesimpulan ... 38

6.2. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA………. 39 LAMPIRAN

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Organ Telinga... 4 2.2. Telinga Luar... 5 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian... 27

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1.Skor Otitis Media Akut... 4

2.2. Telinga Luar... 5 5.1. Kerangka Konseptual Penelitian... 27

(11)

DAFTAR SINGKATAN

1. OMA : Otitis Media Akut 2. OME : Otitis Media Efusi

3. OMSK : Otitis Media Supuratif Kronik 4. OMSS : Otitis Media Supuratif Subakut 5. ISPA : Infeksi Saluran Nafas Atas 6. ASI : Air Susu Ibu

7. OMS : Otitis Media Serosa 8. OMP : Otitis Media Perforasi

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Master Data

LAMPIRAN 3 Output Data Hasil Penelitian LAMPIRAN 4 Lembar Ethical Clearance LAMPIRAN 5 Surat Izin Penelitian

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis Media Akut atau OMA adalah inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari 3 minggu (Donaldson, 2010). Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan kalangan usia dewasa. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, letak tuba eustachius lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan pada usia yang lebih dewasa (Tortora et al, 2008).

Hal-hal yang cenderung menyebabkan anak-anak mengalami otitis media adalah genetik, infeksi, sistem imun tubuh, dan faktor lingkungan (Sparks et al, 2007). Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada kultur cairan telinga tengah yang diambil dari anak-anak yang menderita OMA (Sparks et al, 2007).

Di Amerika Serikat, (Lanphear et al, 1997) menyatakan bahwa OMA merupakan diagnosis paling sering ditegakkan pada anak-anak prasekolah, bahkan kejadiannya meningkat selama dekade terakhir. Di Kanada, Dube et al (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70%

anak telah mengalami minimal 1 kali episode. Di Poliklinik THT RSUD Dr.

Saiful Anwar Malang pada tahun 1995 dan 1996, OMA menduduki peringkat ke- 6 dari 10 besar penyakit terbanyak dan pada tahun 1997 menduduki peringkat lima. Sedangkan di Poliklinik THT RSUD Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 1995 menduduki peringkat dua (Suheryanto, 2000).

Dari hasil penelitian Siew (2007), 85 data kejadian OMA yang telah dikumpulkan di RSUP H. Adam Malik tahun 2009, distribusi proporsi tertinggi adalah pada usia >5-12 tahun (32,9%), laki-laki (55,3%), keluar cairan (84,7%), stadium perforasi (66,3%), riwayat ISPA (65,9%). Sedangkan dari penelitian Rudolf (2008), 39 kasus yang memenuhi kriteria, 74,4% kejadian OMA tercatat

(14)

pada tahun 2009. Kasus terbanyak ditemukan pada kelompok usia >19 tahun (46,2%), lalu diikuti kelompok usia >12-19 tahun (20,5%), lalu diikuti kelompok usia 0-2 tahun (15,4%) dan >2-7 tahun (15,4%), dan kasus terendah dijumpai pada kelompok usia >7-12 tahun (2,6%).

Karena kejadian OMA mengalami peningkatan setiap tahunnya, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai bagaimana profil penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana profil penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil penderita OMA di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2. Tujuan Khusus

a) Mengetahui distribusi frekuensi kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

b) Mengetahui distribusi frekuensi menurut usia penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

c) Mengetahui distribusi frekuensi menurut jenis kelamin penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

d) Mengetahui distribusi frekuensi menurut keluhan utama penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

e) Mengetahui distribusi frekuensi menurut lama keluhan penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

f) Mengetahui distribusi frekuensi menurut stadium penderita OMA di RSUP H. Adam Malik Medan.

(15)

1.4. Manfaat Penelitian

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan agar dapat merencanakan kegiatan pendidikan secara menyeluruh sehingga lulusannya diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan telinga, khususnya mengenai OMA.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat untuk mengetahui gambaran OMA serta dapat melakukan pencegahan terjadinya OMA. Khususnya bagi orang tua agar dapat memperhatikan kesehatan telinga anaknya dan mengantisipasi terjadinya kondisi patologis pada telinga terutama terhadap OMA dengan menjalankan konsultasi dan pengobatan awal terhadap anak-anaknya, supaya tidak membawa efek samping buruk.

c) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal untuk penelitian selanjutnya mengenai OMA.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga

Telinga adalah pancaindera yang berfungsi sebagai alat pendengaran dan keseimbangan (Dhingra, 2006). Telinga terdiri dari atas telinga luar (auris externa), telinga tengah (auris media atau cavum timpani), dan telinga dalam atau labyrinth (Snell, 2006). Telinga luar mengumpulkan dan mengarahkan gelombang suara menuju telinga tengah, sedangkan telinga tengah mengumpulkan gelombang suara dan mentransmisikannya ke telinga dalam yang berisi organ sensorik untuk pendengaran dan keseimbangan (Seeley, 2003).

Gambar 2.1. Organ Telinga (dikutip dari Human Anatomy Adam)

(17)

2.1.1. Anatomi Telinga Luar (auris externus)

Telinga luar terdiri dari daun telinga (auricula) dan liang telinga luar (meatus acusticus externus) sampai membran timpani (membrana timpani). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm (Soetirto et al, 2003).

Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soetirto et al, 2003).

Gambar 2.2. Telinga Luar (sumber : Human Anatomy Adam)

2.1.2. Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah adalah ruang kecil yang terletak antara membran timpani dan telinga dalam (Dhingra, 2006). Telinga tengah merupakan ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis. Ruang-ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani ke perilimfa telinga dalam. Cavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu

(18)

panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani (Snell, 2006).

Telinga tengah berbentuk kubus dengan : - Batas luar : membran timpani - Batas depan : tuba eustachius

- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis - Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)

- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), dan promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis 2, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam (Soetirto et al, 2003).

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah, yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius (Soetirto et al, 2003).

Membran timpani terbagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,

(19)

sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah- belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani (Soetirto et al, 2003).

Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah belakang membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani.

Di daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes (Soetirto et al, 2003).

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian (Soetirto et al, 2003).

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditu ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto et al, 2003).

2.1.3. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli (Soetirto et al, 2003).

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan

(20)

dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak Organ Corti (Soetirto et al, 2003).

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti (Soetirto et al, 2003).

2.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto et al, 2003).

2.3. Kelainan Telinga Tengah 2.3.1. Otitis Media

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, seperti otitis media

(21)

serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi (Djaafar, 2003).

Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut (barotrauma = aerotitis) dan otitis media serosa kronis. Selain itu terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika.

Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2003).

Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Otitis Media Supuratif

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Otitis Media

Otitis Media Serosa Akut (barotrauma)

Otitis Media non Supuratif

Otitis Media Serosa Kronis (bila sekret kental atau mukoid

 glue ear)

Skema Pembagian Otitis Media

(sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK UI, 2003)

(22)

Sembuh / Normal

Fungsi tuba tetap terganggu

Gangguan tuba Tekanan negatif Efusi OME telinga tengah Infeksi (-)

Etiologi :

- Perubahan tekanan udara tiba – tiba tuba tetap terganggu + - Alergi ada infeksi

- Infeksi

- Sumbatan : Sekret

Tampon

Tumor

OMA

Sembuh OME OMSK/OMP

Patogenesis terjadinya Otitis Media

(sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK UI, 2003)

2.3.2. Otitis Media Akut a. Definisi

Otitis media akut adalah infeksi atau inflamasi telinga tengah yang disebabkan adanya penyumbatan tuba eustachius, adanya gangguan faktor pertahanan tubuh, dan adanya infeksi saluran napas atas yang berulang (Djaafar, 2003).

(23)

b. Etiologi

Infeksi telinga tengah terjadi karena penyumbatan (blocked) tuba Eustachius yang disebabkan oleh :

• Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarrhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-haemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

• Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.

Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenzavirus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba eustachius, mengganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan mengganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain

(24)

reaction (PCR) dan virus spesific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat dideteksi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

c. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya Otitis Media adalah sebagai berikut :

• Usia

Anak-anak antara 6-36 bulan paling sering terserang infeksi telinga (Ehrlich, 2011). Karena tuba eustachius lebih pendek dan lebih landai. Fungsi fisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat anak rentan terkena infeksi (Rudolf, 2008).

• Ras

Orang Amerika, Kanada, dan Alaska memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya OMA, karena dipengaruhi oleh iklim dingin yang menyebabkan ISPA (Sparks et al, 2007).

• Genetik

Emonts et al (2007) menemukan adanya keterkaitan yang cukup kuat antara faktor genetik sehingga mengakibatkan OMA, bahkan sering terjadi secara rekuren. Studi yang dilakukannya menunjukkan adanya keterkaitan gen imunoresponsi TNFA, IL6, IL10, dan TLR4 dalam kecenderungan terjadinya OMA dan hal ini juga membuat OMA terjadi secara episodik.

• Asupan ASI

Pemberian ASI minimal 3 bulan dapat memberikan proteksi pada bayi (Sparks et al, 2007).

• Riwayat alergi dan ISPA

Pada beberapa situasi tertentu, alergi atau ISPA dapat menyebabkan kongesti dan pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba eustachius. Hal ini dapat memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah

(25)

terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan dkk, 2007).

• Perokok aktif dan pasif

Insidensi OMA meningkat dengan terpaparnya individu terhadap asap rokok yang dapat merusak silia saluran nafas sehingga pembersihan jalan nafas dari benda-benda asing terganggu. Hal tersebut menyebabkan risiko terjadinya infeksi saluran nafas meningkat (Sparks et al, 2007).

• Penggunaan botol dot untuk bayi

Pemakaian botol dot dapat meningkatkan risiko OMA, hal tersebut dipengaruhi oleh posisi bayi saat minum susu dengan botol dot (telentang) dan faktor anatomis telinga (Sparks et al, 2007).

• Status sosioekonomi

Insidensi OMA tertinggi terjadi pada negara-negara berkembang dimana rakyat atau masyarakatnya belum sepenuhnya mengetahui mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan telinga dan saluran nafas, serta kurangnya kesadaran masyarakatnya untuk menjaga kebersihan diri (Leenoos, 2007).

• Sistem imun tubuh

Kejadian OMA pada setiap individu dipengaruhi sistem kekebalan tubuh dalam melawan proses infeksi oleh mikroorganisme patogen (Sparks et al, 2007).

• Faktor lingkungan

Iklim atau musim dingin dapat meningkatkan insidensi OMA, karena terjadinya flu, pilek, dan batuk sangat tinggi pada iklim tersebut. Kemungkinan disebabkan oleh H. influenzae yang menginfeksi saluran nafas atas (Sparks et al, 2007).

• Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadinya otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah

(26)

menjalani miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

d. Patologi

Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Streptococcus anhaemolyticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa.

Haemophilus influenzae sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (Djaafar, 2003).

e. Patogenesis OMA

Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran napas atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba eustachius. Tuba eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba eustachius.

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan OME. Bila tuba eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus

(27)

saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga mengganggu imun pertahanan pasien terhadap infeksi bakteri.

Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran.

Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu sebagian pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adeoid (Kerschner, 2007).

f. Stadium OMA

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium, yaitu stadium oklusi tuba eustachius, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi (Djaafar, 2003).

Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani yang diamati melalui liang telinga luar.

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi.

(28)

Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.

2. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)

Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar dilihat.

3. Stadium Supurasi

Edem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul trombophlebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis pada membran timpani ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke liang telinga luar. Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan tertutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mungkin menutup kembali.

4. Stadium Perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang

(29)

menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak.

Keadaan ini disebut dengan OMA stadium perforasi.

5. Stadium Resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA dapat berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa OMS bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

g. Diagnosis OMA

Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi 3 hal berikut, yaitu :

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan adanya salah satu diantara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al (2008), keparahan OMA dibagi kepada 2 kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan- sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran

(30)

timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen.

Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo, dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0ºC, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

h. Gejala Klinis OMA

Gejala klinis OMA tergantung pada sisa stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara, keluhan utamanya adalah rasa nyeri di dalam telinga, selain keluhan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya (Djaafar, 2003).

Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, disamping rasa nyeri, terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau pendengaran yang berkurang. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA ialah suhu tubuh yang tinggi hingga 39,5º C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, anak tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan terkadang anak akan memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh menurun, dan anak tertidur dengan tenang (Djaafar, 2003).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit. Berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Tititsari (2005), skor OMA adalah sebagai berikut :

(31)

Tabel. 2.1. Skor Otitis Media Akut SKOR SUHU

(ºC)

GELISAH TARIK TELINGA

KEMERAHAN pada MEMBRAN

TIMPANI

BENGKAK pada MEMBRAN

TIMPANI (bulging) 0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1 38,0-

38,5

Ringan Ringan Ringan Ringan

2 38,6- 39,0

Sedang Sedang Sedang Sedang

3 >39,0 Berat Berat Berat Berat,

termasuk otore Sumber : Titisari (2005)

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan, dan bila melebihi 3 berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39ºC oral atau 39,5ºC rektal (Titisari, 2005).

i. Terapi Otitis Media Akut

Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius, sehingga tekanan di telinga tengah hilang.

Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak <12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa.

Di samping itu, sumber infeksi harus diobati. Antibiotika harus

(32)

diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman atau bakteri, bukan oleh virus atau alergi (Djaafar, 2003).

Terapi pada stadium pre-supurasi adalah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.

Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin (Djaafar, 2003).

Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari (Djaafar, 2003).

Pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari (Djaafar, 2003).

Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari (Djaafar, 2003).

Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani.

Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edem mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2003).

(33)

Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut OMSS. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut OMSK (Djaafar, 2003).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala.

Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari terjadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah resiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat (Siew, 2007).

Tabel 2.2. Obat-obat yang digunakan untuk penatalaksanaan Otitis Media

Jenis Obat Dosis Keterangan

Antimikroba

Amoksisilin 80-90 mg/kg/hari, diberikan secara oral dibagi dua dosis

Obat lini pertama. Aman, efektif, dan mahal

Amoksisilin/Klavulanat 90 mg/kg/hari; klavulanat 6,4 mg/kg/hari, secara oral dibagi dua dosis

Obat lini kedua. Untuk pasien dengan infeksi berulang atau OMA persisten, diberikan amoksisilin profilaksis, khususnya bagi pasien yang telah menggunakan antibiotik pada bulan sebelumnya, dan juga bagi yang menderita konjungtivitis purulen secara bersamaan

Azitromisin (satu dosis) 30 mg/kg, diberikan secara oral

Untuk pasien yang alergi penisilin. Satu dosis

(34)

seefektif mungkin Azitromisin (selama 3

hari)

20 mg/kg satu kali sehari, diberikan secara oral

Untuk pasien dengan OMA yang berulang

Azitromisin (selama 5 hari)

5-10 mg/kg satu kali sehari, diberikan secara oral

Untuk pasien yang alergi penisilin (hipersensitif tipe 1)

Sefdinir 14 mg/kg/hari, diberikan

secara oral pada satu atau dua dosis

Untuk pasien yang alergi penisilin. Tidak termasuk pasien yang urtikaria atau anafilaksis dengan

penisilin (mis:

hipersensitif tipe 1) Sefpodoksim 30 mg/kg satu kali sehari,

diberikan secara oral

Untuk pasien yang alergi penisilin. Tidak termasuk pasien yang urtikaria atau anafilaksis dengan

penisilin (mis:

hipersensitif tipe 1)

Seftriakson 50 mg/kg satu kali sehari

diberikan secara intramuskular atau intravena.

Satu dosis untuk serangan pertama, untuk serangan yang berulang diberikan tiga kali.

Untuk pasien yang alergi penisilin, OMA persisten atau berulang

Sefuroksim 30 mg/kg/hari, diberikan

secara oral dibagi dua dosis

Untuk pasien yang alergi penisilin. Tidak termasuk pasien yang urtikaria atau anafilaksis dengan

penisilin (mis:

hipersensitif tipe 1)

(35)

Klaritomisin 15 mg/kg/hari, diberikan secara oral dibagi tiga dosis

Untuk pasien yang alergi penisilin (hipersensitif tipe 1). Dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal

Klindamisin 30-40 mg/kg/hari, diberikan secara oral dibagi empat dosis

Untuk pasien yang alergi penisilin (hipersensitif tipe 1)

Obat Topikal

Siprofloksasin/Hidrokorti son

3 tetes dua kali sehari -

Hidrokortison

/Neomisin/Polimisin B

4 tetes tiga sampai empat kali sehari

-

Ofloksasin 5 tetes 2 kali sehari (10 tetes pada pasien usia > 12 tahun)

-

Analgesik

Asetaminofen 15 mg/kg setiap 6 jam - Antipirin/Benzokain 2-4 tetes tiga sampai empat

kali sehari

-

Ibuprofen 10 mg/kg setiap 6 jam -

Obat Narkotika Bervariasi Dapat menyebabkan

gangguan

gastrointestinal, depresi pernapasan, perubahan status mental, dan konstipasi

Sumber : Sparks et al (2007)

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39ºC dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat

(36)

adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39ºC. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia 6 bulan sampai dengan 2 tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak >2 tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatrics (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kg BB/hari sebagai antibiotik awal selama 5 hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus pneumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus pneumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of Pediatrics, 2004).

j. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

1. Miringotomi

Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik.

Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringotomi pada anak denga OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,

(37)

labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak dengan OMA yang responnya kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir, atau pasien yang sistem imun tubuhnya rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam 3 penelitian prospektif, randomized trial yang telah dijalankan.

k. Komplikasi

Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat (meningitis dan abses otak). Sekarang setelah ada antibiotika, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK (Djaafar, 2003).

1. Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA (Kerschner, 2007) yaitu :

- Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak - Menangani ISPA dengan pengobatan adekuat

(38)

- Menganjurkan pemberian ASI minimal 6 bulan - Menghindarkan pajanan terhadap asap rokok

(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Std. Oklusi Std. Hiperemis Std. Supurasi Std. Perforasi Std.

Resolusi

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Penderita OMA adalah pasien yang dinyatakan menderita OMA berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.

3.2.2. Jumlah penderita OMA yang berobat adalah penderita yang berobat jalan atau rawat inap di RSUP H. Adam Malik untuk tahun 2010-2012.

Penderita OMA ini dipilih dari semua peringkat usia balita, anak sampai dewasa yang tercatat dalam rekam medis di RSUP H. Adam Malik.

Etiologi & Faktor Resiko

• Perubahan tekanan udara

• Alergi

• Infeksi

• Sumbatan o Sekret o Tampon

Gangguan

Otitis Media

• Usia

• Jenis kelamin

• Keluhan utama

• Lama keluhan

(40)

Cara pengukuran : Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.3. Usia adalah lamanya hidup penderita OMA yang dihitung berdasarkan tahun sejak penderita lahir, sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis yang dikategorikan atas:

1. Balita : < 6 tahun 2. Anak : 6-18 tahun 3. Dewasa : > 18 tahun

Cara pengukuran : Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

3.2.4. Jenis kelamin adalah perbandingan laki-laki dan perempuan yang menderita OMA sesuai yang tercatat dalam rekam medis.

Cara pengukuran : penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.5. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala utama yang dialami penderita OMA.

Cara pengukuran : Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

(41)

3.2.6. Lama keluhan adalah waktu awal terjadinya keluhan utama hingga pasien datang berobat ke dokter, sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis yang dikategorikan atas :

1. < 3 minggu 2. 3-5 minggu 3. > 5 minggu

Cara pengukuran : Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Interval

3.2.7. Stadium adalah gambaran untuk menunjukkan sejauh mana tingkat keparahan dan penyebaran penyakit OMA.

1. Stadium Oklusi 2. Stadium Hiperemis 3. Stadium Supurasi 4. Stadium Perforasi 5. Stadium Resolusi

Cara pengukuran : Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional Alat ukur : Rekam medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang akan menilai gambaran penderita OMA di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2010-2012. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah retrospective, dimana data akan dikumpulkan berdasarkan survei rekam medis di poliklinik THT dan instalasi rekam medis di RSUP H. Adam Malik.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik. Waktu penelitian direncanakan pada bulan Juli-Desember 2013.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh penderita OMA yang rawat inap dan berobat jalan di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012. Sampel penelitian adalah semua populasi yang diambil berdasarkan periode waktu tertentu yaitu penderita yang berobat jalan atau rawat inap dari bulan Januari 2010 sampai Desember 2012. Kriteria inklusi adalah penderita OMA, sedangkan kriteria eksklusi adalah rekam medis yang tidak lengkap.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu data rekam medis penderita OMA yang berobat jalan atau rawat inap dimana hal yang diperlukan dalam mendapatkan gambaran penderita OMA yang akan dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Dari rekam medis sampel, peneliti akan melakukan pencatatan terhadap variabel penelitian yang akan diteliti. Selanjutnya peneliti menghitung nilai

(43)

persentase untuk skala nominal dan ordinal. Pada proses pemasukkan data akan dilakukan pengecekan ganda oleh tenaga entry data dan analisis karakteristik penyakit dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer.

Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif dan disusun dalam bentuk tabel.

(44)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang penyimpanan rekam medis Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik (RSUP HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan.

5.1.2. Karakteristik Individu

Data yang diperoleh berdasarkan rekam medis penderita otitis media akut (OMA) pada tahun 2010-2012 berjumlah 361 subjek. Distribusi frekuensi penderita OMA meliputi usia, jenis kelamin, keluhan utama, lama keluhan, dan stadium.

Berikut ini diuraikan karakteristik individu penderita OMA berdasarkan usia pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Penderita OMA Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persen (%)

Balita <6 tahun 84 23.3

Anak-anak 6-18 tahun 68 18.8

Dewasa >18 tahun 209 57.9

Total 361 100.0

Berdasarkan tabel 5.1. dapat diketahui bahwa dari 361 penderita OMA terdapat 84 orang yang berusia <6 tahun atau balita (23,3%), 68 orang yang berusia 6-18 tahun atau anak-anak (18,8%), dan jumlah penderita OMA yang paling banyak adalah dewasa dengan usia >18 tahun yaitu 209 orang (57,9%).

Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis kelamin penderita OMA dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita OMA Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persen (%)

Laki-laki 177 49.0

(45)

Perempuan 184 51.0

Total 361 100.0

Berdasarkan tabel 5.2. dapat diketahui bahwa dari 361 orang penderita OMA terdiri atas 177 orang laki-laki (49%) dan 184 orang perempuan (51%).

Selain jenis kelamin, juga dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan keluhan utama penderita OMA pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita OMA Berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan Utama Frekuensi Persen (%)

Telinga berair 155 42.9

Telinga sakit 99 27.4

Telinga berdengung 40 11.1

Telinga gatal 11 3.0

Telinga terasa penuh 41 11.4

Pendengaran berkurang

15 4.2

Total 361 100.0

Berdasarkan tabel 5.3. dapat diketahui bahwa keluhan utama penderita OMA yang paling banyak adalah telinga berair sebanyak 155 orang (42,9%), telinga sakit sebanyak 99 orang (27,4%), telinga berdengung sebanyak 40 orang (11,1%), telinga gatal sebanyak 11 orang (3%), telinga terasa penuh sebanyak 41 orang (11,4%), dan pendengaran berkurang sebanyak 15 orang (4,2%). Kemudian lama keluhan juga menjadi variabel penelitian. Untuk distribusi frekuensi lama keluhan OMA dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Penderita OMA Berdasarkan Lama Keluhan

Lama Keluhan Frekuensi Persen (%)

<3 minggu 285 78.9

(46)

3-5 minggu 50 13.9

>5 minggu 26 7.2

Total 361 100.0

Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat dari 361 penderita OMA, frekuensi lama keluhan penderita OMA paling banyak adalah <3 minggu sebanyak 285 orang (78,9%), 3-5 minggu sebanyak 50 orang (13,9%), dan >5 minggu sebanyak 26 orang (7,2%). Selain itu, stadium penderita OMA juga dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Penderita OMA Berdasarkan Stadium

Stadium Frekuensi Persen (%)

Oklusi 18 5.0

Hiperemis 107 29.6

Supurasi 37 10.2

Perforasi 193 53.2

Resolusi 6 1.7

Total 361 100.0

Berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat frekuensi dan persentase stadium OMA yaitu stadium oklusi sebanyak 18 orang (5%), stadium hiperemis sebanyak 107 orang (29,6%), stadium supurasi sebanyak 37 orang (10,2%), stadium OMA paling banyak adalah stadium perforasi sebanyak 193 orang (53,5%), dan stadium resolusi sebanyak 6 orang (1,7%).

5.2. Pembahasan

Jumlah penderita OMA di RSUP HAM tahun 2010-2012 adalah 361 orang. Sebagian besar penderita OMA di RSUP HAM paling banyak berada pada rentang usia dewasa yaitu >18 tahun sebanyak 209 orang (57,9%), kemudian

(47)

paling banyak kedua adalah balita berusia <6 tahun sebanyak 84 orang (23,3%), dan paling sedikit adalah anak-anak usia 6-18 tahun sebanyak 68 orang (18,8%).

Angka tersebut menunjukkan bahwa orang dewasa lebih banyak menderita OMA dibandingkan balita dan anak-anak. Namun, hal ini tidak sesuai dengan penelitian Ehrlich (2011) yang mengemukakan bahwa OMA lebih banyak terjadi pada bayi dan anak-anak sebanyak 75%. Begitu juga dengan penelitian Kaneshiro dan Donaldson (2010) yang menyatakan bahwa frekuensi OMA tertinggi adalah pada bayi, balita, dan anak-anak sebanyak 70%. Pada balita dan anak-anak, kasus OMA meningkat disebabkan beberapa hal yaitu letak tuba eustachius lebih pendek dan lebih landai sehingga ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Fungsi fisiologis dan imunologi yang masih rendah serta masih dalam perkembangan.

Dan faktor adenoid yaitu salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh pada anak relatif lebih besar dibandingkan pada orang dewasa, dimana posisi adenoid berdekatan dengan muara saluran eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya saluran eustachius.

Selain itu, adenoid sendiri dapat terinfeksi dimana infeksi tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat saluran eustachius (Soni, 2006). Ketiga hal tersebut membuat balita dan anak-anak rentan terkena infeksi (Leenoos, 2007).

Pada penelitian ini lebih banyak dijumpai penderita usia dewasa yaitu >18 tahun.

Hal ini kemungkinan disebabkan progresivitas kasus OMA umumnya lebih berat pada dewasa dibandingkan pada anak-anak. Karena pada anak-anak umumnya dapat membaik dengan perhatian khusus tanpa perlu diberikan antibiotik tertentu, kecuali adanya indikasi lain (Bylander et al, 2007). Kemungkinan lain yaitu penderita usia balita maupun anak-anak telah berobat ke dokter spesialis anak atau ke rumah sakit lain (Puskesmas).

Persentase jenis kelamin pada penderita OMA adalah laki-laki sebanyak 177 orang (49%), sedangkan perempuan sebanyak 184 orang (51%). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menderita OMA daripada laki-laki.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Siew (2007) yang menemukan insidensi tertinggi OMA terjadi pada laki-laki (55,3%) dibandingkan perempuan (44,7%). Penyebab insidensi OMA lebih banyak pada perempuan tidak diketahui

(48)

secara pasti. Kemungkinan jenis kelamin tidak mempengaruhi patensi tuba eustachius mengalami infeksi, dan tidak mempengaruhi risiko seseorang untuk menderita OMA. Kemungkinan lain yaitu risiko laki-laki dan perempuan terkena OMA dapat dipengaruhi seberapa sering individu terpapar oleh asap rokok atau polusi udara lain, baik perokok aktif atau pasif maupun orang-orang yang bekerja atau tinggal di daerah industri. Karena zat-zat toksik yang terkandung dalam rokok dan asap pabrik dapat merusak silia-silia saluran nafas sehingga pembersihan jalan nafas terganggu, maka akan mudah terjadi infeksi. Hal tersebut meningkatkan risiko terjadinya OMA (Sparks et al, 2007).

Keluhan utama yang ditemukan pada penderita OMA adalah telinga berair sebanyak 155 orang (42,9%), telinga sakit sebanyak 99 orang (27,4%), telinga berdengung sebanyak 40 orang (11,1%), telinga gatal sebanyak 11 orang (3%), telinga terasa penuh sebanyak 41 orang (11,4%), dan pendengaran berkurang sebanyak 15 orang (4,2%). Angka tersebut menunjukkan bahwa keluhan utama yang paling banyak ditemukan pada kasus OMA adalah telinga berair. Penelitian ini sama dengan yang ditemukan pada penelitian Siew (2007) bahwa distribusi proporsi tertinggi OMA adalah keluar cairan atau telinga berair (84,7%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keterlambatan pengobatan atau keterlambatan pemberian antibiotik. Telinga berair pada OMA merupakan stadium perforasi dimana membran timpani yang menonjol atau bulging mengalami nekrosis dan akhirnya terjadi ruptur, sehingga nanah akan keluar dan mengalir dari liang telinga tengah ke liang telinga luar (Djaafar, 2003).

Lama keluhan yang paling banyak ditemukan pada penderita OMA yaitu

<3 minggu sebanyak 285 orang (78,9%), diikuti 3-5 minggu sebanyak 50 orang (13,9%), dan >5 minggu sebanyak 26 orang (7,2%). Belum ada penelitian mengenai lama keluhan penderita OMA. Namun, lama keluhan OMA <3 minggu kemungkinan disebabkan rasa yang tidak nyaman atau rasa nyeri pada telinga yang mengganggu aktifitas sehari-hari, sehingga pasien datang ke dokter untuk berobat. Maka dengan pemberian antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam (Leenoos, 2007). Peneliti mengkategorikan

(49)

lama keluhan untuk membedakan OMA (<3 minggu), OMSS (<8 minggu), dan OMSK (>8 minggu) berdasarkan penjelasan yang dikutip dari Djaafar (2003).

Persentase stadium yang ditemukan pada penderita OMA yaitu stadium oklusi sebanyak 18 orang (5%), stadium hiperemis sebanyak 107 orang (29,6%), stadium supurasi sebanyak 37 orang (10,2%), stadium yang paling banyak ditemukan adalah stadium perforasi sebanyak 193 orang (53,5%), dan stadium resolusi sebanyak 6 orang (1,7%) merupakan stadium yang paling sedikit ditemukan. Hal ini sama dengan yang ditemukan pada penelitian Siew (2007), bahwa proporsi tertinggi kasus OMA terjadi pada stadium perforasi (66,3%).

Kemungkinan penyebab stadium perforasi lebih banyak ditemukan pada kasus OMA karena tingginya virulensi kuman dan keterlambatan pemberian antibiotik, yang ditandai dengan rupturnya membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar (Siew, 2007).

(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya, maka dapat diambil kesimpulan mengenai profil penderita OMA di RSUP HAM tahun 2010-2012 bahwa usia penderita OMA paling banyak adalah usia >18 tahun 209 orang (57,9%). OMA lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu 184 orang (51%).

Keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah telinga berair sebanyak 155 subjek (42,9%). Lama keluhan OMA yang paling banyak ditemukan yaitu <3 minggu sebanyak 285 subjek (78,9%). Stadium yang paling banyak ditemukan pada kasus OMA adalah stadium perforasi 193 subjek (53,5%).

6.2. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain :

1. Untuk peneliti selanjutnya agar lebih memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat menjadi faktor pemicu terjadinya OMA sehingga hasil penelitian lebih baik lagi.

2. Kepada pembaca agar lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap OMA.

Karena dengan pencegahan dini serta segera mendapatkan terapi apabila timbul keluhan merupakan program yang sangat penting untuk mengurangi morbiditas OMA.

3. Perlu rekam medik yang lebih baik dengan data yang lebih lengkap agar didapatkan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak dengan informasi yang memadai.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatric and American Academy of Family Physician, 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113 (5) : 1451-65.

B., Samuel,Rudolf, 2008. Hubungan Antara Faktor Usia dan Angka Kejadian Otitis Media di RSUP H. Adam Malik Periode 2009-2010. Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian Tube Dysfunction. In Bluestone, Stool. Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd ed. London : WB Saunders, Philadelphia, 388-582.

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of The Ear. In : Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA : McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Bylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A., Melhus, A., 2007. Journal of Clinical Microbiology, 45 (9) : 3003-3005.

Dhingra, P.L., 2006. Disease of Ear, Nose, and Throat, Fourth Edition. In : Elsevier, 3-13;66-83.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2003. Kelainan Telinga Tengah. Dalam : Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 50-53.

Donaldson, J.D., 2010. Middle Ear, Acute Otitis Media, Medical Treatment : Overview, eMedicine. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com./

article/859316-overview. [Diakses 14 Maret 2011].

Dube, E., et al, 2011. Burden of Acute Otitis Media on Canadian Families.

Canadian Family Physician, 57 : 60, 62-64.

Emonts, M., et al, 2007. Genetic Polymorphisms in Immunoresponse Gene TNFA, IL6, IL10,and TLR4 are Associated with Recurrent Acute Otitis Media.

Pediatrics, 120 (4) : 814-815.

(52)

Erlich, Steven, D., 2011. Solution Acupunture, a Private Practice Specializing in Complementary and Alternative Medicine, Phoenix, AZ. Review provided by VeriMed Healthcare Network.

Kaneshiro, N., K.,2010. Ear Infection-Acute. Adam, Inc. Diunduh dari : http://health.yahoo.net/adamcontent/ear-infection-acute#definition.

[Diakses 25 Maret 2011].

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In : Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA : Saunders Elsevier, 2632-2646.

Lanphear, B.P., Byrd, R.S., Auinger, P., Hall, C.B., 1997. Increasing Prevalence of Recurrent Otitis Media Among Children in The United States.

Pediatrics, 99 (33) : 1-3.

Leenoos, Samuel, Linus, 2007. Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut Sebagai Salah Satu Faktor Resiko TerjadinyaOtitis Media Akut di Puskesmas Padang Bulan. Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ramakrishnan, K., Sparks, R.A., Berryhill, W.E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11) : 1650-1653.

Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, and Other Upper Respiratory Tract Infections. In : Fauci, A.S., ed. Harrysons’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. USA :McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.

Seeley, R.R., 2003. Anatomy & Physician, Sixth Edition. New York : McGraw- Hill. 205-279.

Siew, Tan, Hong, 2007. Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMFTHT Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009. Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Snell, Richard, S., ed. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi 6. Terjemahan Liliana Sugiharto. Jakarta : EGC, 782-790.

Soetirto, Indro, 2009. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Edition. Philadelphia : Decker, 24-45.

(53)

A., Soni, 2006. Ear Infections (Otitis Media) in Children (0-17) : Use and Expenditure. Rockville, MD : Agency for Healthcare Research and Quality ; Desember, 2008. Statistical Brief #228.

Suheriyanto, R., 2000. Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang : Uji Klinis, Spektrum, dan Uji Kepekaan Kuman Aerob. Cermin Dunia Kedokteran, 128 : 45-46.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tortora, G.J., Derrickson, B.H., 2009. The Special Senses. Dalam : Roesch, B., et al, ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student Version Volume 1. Hoboken : John Wiley and Sons, Inc, 620- 621.

(54)

Gambar

Gambar 2.1. Organ Telinga (dikutip dari Human Anatomy Adam)
Gambar 2.2. Telinga Luar (sumber : Human Anatomy Adam)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Sehubungan hal tersebut di atas, maka Pokja akan melakukan verifikasi terhadap semua data dan informasi yang ada dalam formulir isian kualifikasi dengan memperlihatkan dokumen

perencanaan awal. Pada tahap ini pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan berdasarkan langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe jigsaw. 3)Tahap pengamatan

Dengan hormat, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lembaga PAUD :... Dalam rangka mendukung peningkatan akses dan mutu layanan PAUD di daerah kami, bersama ini kami

Kemudian silahkan klik pada bagian , sehingga akan terlihat tampilan sebagai berikut ini:..

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

Aset produktif dihapusbuku yg dipulihkan/berhasil ditagih Persentase kredit kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) terhadap total kredit. Penyertaan