• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran. Muvida G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran. Muvida G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

mahagoni (L.) Jacq.) TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS SEL GINJAL MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI

PARASETAMOL

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Muvida G.0009144

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2012

(2)

commit to user i

(3)

commit to user ii

Skripsi dengan judul : Efek Nefroprotektor Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) terhadap Kerusakan Histologis Sel Ginjal Mencit (Mus

musculus) yang Diinduksi Parasetamol

Muvida, NIM : G0009144, Tahun : 2012

Telah diuji dan disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari Kamis, 27 Desember 2012

Pembimbing Utama

Nama : Muthmainah, dr., M.Kes

NIP : 19660702 199802 2 001 (……….)

Pembimbing Pendamping Nama : Yulia Sari, S.Si, M.Si

NIP : 19800715 200812 2 001 (……….)

Penguji Utama

Nama : Endang Listyaningsih, dr., M.Kes

NIP : 19640810 198802 2 001 (……….)

Penguji Pendamping Nama : Muthmainah, dr.

NIP : 19840707 200912 2 003 (……….)

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes.

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., SP.PD-KR-FINASIM

(4)

commit to user iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 27 Desember 2012

Muvida NIM. G0009144

(5)

commit to user iv ABSTRAK

Muvida, G.0009144, 2012. Efek Nefroprotektor Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) terhadap Kerusakan Histologis Sel Ginjal Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Biji mahoni (Swietenia mahagoni) mengandung saponin, flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid, dan tanin yang diduga mampu melindungi ginjal dari radikal bebas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek nefroprotektor dan pengaruh peningkatan dosis ekstrak biji mahoni terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

Metode Penelitian: Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan the post test only controlled group design. Sampel berupa 28 mencit jantan, galur Swiss webster berumur 2-3 bulan dengan berat badan + 20 g. Sampel mencit dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Teknik sampling yang dipakai adalah incidental sampling. Mencit Kelompok Kontrol Negatif (KK (- )) dan Kelompok Kontrol Positif (KK (+)) diberi akuades selama 14 hari. Mencit Kelompok Perlakuan 1 (KP1) diberi ekstrak biji mahoni dosis 11,2 mg/20 g BB dan Kelompok Perlakuan 2 (KP2) diberi ekstrak biji mahoni dosis 22,4 mg/20 g BB selama 14 hari. Parasetamol diberikan pada kelompok KK (+), KP1, dan KP2 pada hari ke-12, 13, dan 14. Hari ke-15, mencit dikorbankan dan ginjal mencit dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan hematoksilin eosin (HE).

Gambaran histologis sel ginjal dinilai berdasarkan penjumlahan inti sel piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Data dianalisis menggunakan uji One-Way ANOVA (α = 0,05) dan dilanjutkan uji Post Hoc Multiple Comparisons LSD (α = 0,05).

Has il Penelitian: Rerata kerusakan histologis sel ginjal pada KK (-) adalah 9,57+0,701; KK (+) 28,93+1,698; KP1 9,28+0,873; KP2 27,79+1,651. Hasil analisis data secara statistik menunjukkan adanya perbedaan nilai yang bermakna dari rerata skor kerusakan sel ginjal antara KK (-) – KK (+), KK (-) – KP2, KK (+) – KP1, dan KP1 – KP2, serta perbedaan tidak bermakna antara KK (-) – KP1 dan KK (+) – KP2.

Simpulan: Ekstrak biji mahoni memiliki efek nefroprotektor terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit yang diinduksi parasetamol dan peningkatan dosis ekstrak biji mahoni tidak dapat meningkatkan efek nefroprotektornya.

Kata kunci : ekstrak biji mahoni, nefroprotektor, kerusakan histologis sel ginjal

(6)

commit to user v ABSTRACT

Muvida, G.0009144, 2012. Nefroprotector Effect of Swietenia mahagoni (L.) Jacq.

Seed Extract Against Paracetamol-Induced Kidney Cells Histological Damage in Mice (Mus musculus). Mini Thesis. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Seed extract of Swietenia mahagoni (L.) Jacq. contains saponins, flavonoids, alkaloids, terpenoids, steroids, and tannins that may exhibit significant protection of kidney cells from free radicals. In present study, Swietenia mahagoni was evaluated for its nefroprotector effect and to evaluate increasing doses on paracetamol-induced kidney cells histological damage in mice (Mus musculus).

Methods: This research use experimental laboratory studies with the post test only controlled group design. Samples were 28 male Swiss webster mice (2-3 months old) weighing + 20 g and they were divided equally into 4 groups, 7 mice each group. Sampling technique in this research was incidental sampling. The Negative Control Group (KK (-)) and the Positive Control Group (KK (+)) mice were given aquadest for 14 days. The First Treatment Group (KP1) mice were given mahagony seed extract with the dose of 11,2 mg/20 g body weight of mice and the Second Treatment Group (KP2) mice were given mahagony seed extract with the dose of 22,4 mg/20 g body weight of mice for 14 days. Paracetamol was given to groups of KK (+), KP1, dan KP2 on the 12th, 13th, and 14th day. On day-15th, mice were sacrificed and kidneys were taken to make preparations by paraffin block methode and hematoxilin eosin (HE) staining. Kidney cells histological features were assessed based on quantifying of pyknosis, karyorrhexis, and karyolysis. Data were analyzed with the One-Way ANOVA test (α = 0.05) and continued with Post Hoc Multiple Comparisons LSD test (α = 0.05).

Res ults : The mean of kidney cells histological damage in mice for KK (-) was 9,57 + 0,701; KK (+) 28,93 + 1,698; KP1 9,28 + 0,873; KP2 27,79 + 1,651. Result of statistic analysis showed that there were significant differences of kidney cells damage score between KK (-) – KK (+), KK (-) – KP2, KK (+) – KP1, KP1 – KP2, and non significant differences between KK (-) – KP1 and KK (+) – KP2.

Conclusion: Swietenia mahagoni (L.) Jacq. seed extract showed nefroprotector effect against paracetamol-induced kidney cells histological damage in mice and increasing doses of mahagony seed extract did not enhance its nefroprotector effect.

Kata kunci : mahagony seed extract, nefroprotector, kidney cells histological damage

(7)

commit to user vi PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan kelapangan yang tak terduga, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Efek Nefroprotektor Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) terhadap Kerusakan Histologis Sel Ginjal Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi dan Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, bimbingan, dan nasihat bagi penulis.

3. Yulia Sari, S.Si, M.Si, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

4. Endang Listyaningsih, dr., M.Kes, selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Muthmainah, dr., selaku Anggota Penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Tim skripsi FK UNS, Mb S. Enny N., SH, MH dan Bp. Sunardi yang telah banyak membantu.

7. Staf Laboratorium Histologi, Pak Sukidi dan Mb Dewi atas bantuannya selama ini.

8. Bapak Badariansyah, Ibu Asmara Murni, Ibu Wahidah, ibu yang luar biasa, dan saudara-saudara tercinta, Nabila, Rusdy, Azmi, dan Najwa, terima kasih atas doa yang tanpa jeda dan kasih sayang yang tak pernah lekang.

9. Meutia, Syara, Yuni, Rafika, Dila, dan Aya, sahabat yang selalu memotivasi.

10. Dahniar dan Sabila, teman seperjuangan skripsi yang luar biasa.

11. Sintin, Dwi, Eksy, Wahyu, Atma, dan Fitroh, tim RC yang menginspirasi.

12. Keluarga besar Kastrat De Geneeskunde, keluarga besar Asisten Histologi 2009, Nita, Ema, Hanif, Mustiqa, Zahra, Maya, Rizka, Nurul, Farida, Fika, Mb Avi, Atika, Ginong, Putri, Prisca, Agung, Basith, Arthes, Elanda, Erma, Qonita, Sofi, yang senantiasa menjadi rumah pelepas lelah dan teman yang hangat.

13. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tak ada gading yang tak retak. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 27 Desember 2012

Muvida

(8)

commit to user vii DAFTAR ISI

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) ... 5

2. Ginjal (Ren) ... 9

3. Parasetamol... 19

4. Mekanisme Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik... 21

5. Mekanisme Perlindungan Biji Mahoni terhadap Kerusakan Ginjal Akibat Induksi Parasetamol... 23

B. Kerangka Pemikiran ... 26

C. Hipotesis ... 27

(9)

commit to user viii

BAB III. METODE PENELITIAN ... 28

A. Jenis Penelitian... 28

B. Lokasi Penelitian... 28

C. Subyek Penelitian ... 28

D. Teknik Sampling ... 29

E. Rancangan Penelitian ... 29

F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 31

H. Alat dan Bahan Penelitian... 34

I. Cara Kerja ... 35

J. Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 43

A. Data Hasil Penelitian ... 43

B. Analisis Data ... 44

BAB V. PEMBAHASAN ... 48

BAB VI. PENUTUP ... 52

A. Simpulan ... 52

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 58

(10)

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Biji Mahoni... 8 Tabel 4.1. Rerata Transformasi Jumlah Kerusakan Histologis Sel Ginjal pada

Masing-Masing Kelompok Mencit... 46 Tabel 4.2. Ringkasan Hasil Uji LSD (α = 0,05) ... 47

(11)

commit to user x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Biji Mahoni……….……….……….……… 7

Gambar 2.2. Struktur Histologis Ginjal….……….. 10

Gambar 2.3. Pengamatan Mikroskopis Ginjal Normal……… 19

Gambar 2.4. Skema Kerangka Pikir……… 26

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian….……….……….…29

Gambar 3.2. Skema Langkah Penelitian….……….……….……40

Gambar 4.1. Diagram Rerata Skor Kerusakan Sel Ginjal Masing-Masing Kelompok….……….……….……….……… 43

(12)

commit to user xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai Konversi Dosis Manusia ke Hewan

Lampiran 2. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Oral Lampiran 3. Hasil Pengamatan Mikroskopis Sel Ginjal

Lampiran 4. Gambaran Histologis (Fotomikrograf) Tubulus Proksimal Ginjal Mencit

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas dan Varians Data Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Mahoni terhadap Kerusakan Histologis Sel Ginjal Mencit Lampiran 6. Hasil Analisis Uji One-Way ANOVA dan Post Hoc Multiple

Comparison Data Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Mahoni terhadap Kerusakan Histologis Sel Ginjal Mencit

Lampiran 7. Gambar Alat dan Bahan Penelitian

Lampiran 8. Langkah Kerja Proses Ekstraksi Biji Mahoni dengan Metode Maserasi

Lampiran 9. Surat Keterangan Penelitian

(13)

commit to user xii

DAFTAR SINGKATAN

ADH : Antidiuretic hormone AINS : Anti Inflamasi Non Steroid CYP : Sitokrom P450

NAPQI : N-asetyl-p-benzoquinoneimine GSH : Glutation

ROS :

Reactive Oxygen Species MDA : Malondialdehid

KK (-) : Kelompok Kontrol Negatif KK (+) : Kelompok Kontrol Positif KP1 : Kelompok Perlakuan 1 KP2 : Kelompok Perlakuan 2 HE : Hematoksilin Eosin LD : Lethal Dose

SPSS : Statistical Product and Service Solution LSD : Least Significantly Different

(14)

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ginjal adalah organ vital yang berfungsi sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah. Kelainan-kelainan yang mungkin terjadi pada ginjal adalah infeksi, pielonefritis, glomerulonefritis, nefrosklerosis, dan nefropati toksik. Kelainan ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi ginjal. Apabila kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya, maka individu yang bersangkutan akan mengalami gagal ginjal (Wilson, 2006). Jika fungsi ginjal menurun secara cepat dalam beberapa hari, akan terjadi gagal ginjal akut. Jika berlangsung lebih dari 3 bulan, maka menjadi gagal ginjal kronis (Davey, 2006).

Di seluruh dunia, jumlah penderita gagal ginjal kronis diperkirakan 15%

dari jumlah seluruh penduduk. Bahkan di Amerika Serikat, diperkirakan angka kejadian pada 2015 akan mencapai 595.000 jiwa (Gilbertson et al., 2005). Di Indonesia sendiri penderita gagal ginjal kronis mencapai 12,5% dari jumlah seluruh penduduk (Pernefri, 2011). Menurut Rahardjo dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronis terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun.

Perkembangan terbaru pengobatan gagal ginjal yang telah meluas di masyarakat adalah hemodialisis dan transplantasi ginjal. Kedua terapi ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dan tidak praktis meskipun dapat memperpanjang harapan hidup (Wilson, 2006). Di samping itu, hemodialisis

(15)

commit to user

dan transplantasi ginjal memiliki efek samping yang berbahaya berupa meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular (Davey, 2006).

Melihat hal di atas, konsep pengobatan back to nature dengan obat- obatan herbal menjadi pilihan baik sebagai terapi preventif maupun terapi kuratif gagal ginjal. Mahoni (Swietenia mahagoni) merupakan tanaman tradisional yang tumbuh di daerah tropis, termasuk Indonesia. Bagian yang digunakan dari tumbuhan tersebut adalah bijinya (Hariana, 2007). Biji mahoni memiliki efek farmakologis antipiretik, antiinflamasi, analgetik, antijamur, serta antibakteri (Majid et al., 2004; Rahman et al., 2008; Ghosh et al., 2009; Al-alusi et al., 2010).

Efek terapeutik biji mahoni didapatkan dari bahan aktif tetranortriterpenoid dan asam lemak (Bacsal et al., 1997). Di samping itu, biji mahoni memiliki potensi antioksidan dengan kandungan utamanya yang berupa saponin dan flavonoid (Hariana, 2007; Sahgal et al., 2009a).

Penelitian yang dilakukan oleh Sahgal et al. (2009a) menunjukkan bahwa biji mahoni sebagai sumber antioksidan yang tinggi dapat membantu melawan efek radikal bebas yang berbahaya bagi organ tubuh. Namun, penelitian biji mahoni sebagai nefroprotektor belum banyak dilakukan, padahal antioksidan diketahui dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal (Lee et al., 2004). Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efek nefroprotektor dari ekstrak biji mahoni.

Penelitian akan dilakukan terhadap mencit (Mus musculus) yang dirusak ginjalnya dengan parasetamol dosis toksik. Peneliti memilih parasetamol untuk

(16)

commit to user

diinduksikan pada mencit karena obat ini umum digunakan masyarakat dan diperoleh tanpa harus ada resep dokter (Prescott et al., 2009). Pada dosis berlebih, obat ini juga akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan pada berbagai organ, termasuk ginjal (Perneger et al., 1994). Adapun variabel yang diukur adalah gambaran kerusakan histologis sel ginjal. Pada penelitian ini diharapkan pemberian ekstrak biji mahoni dapat mencegah kerusakan sel ginjal mencit akibat induksi parasetamol dosis toksik.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Adakah efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol?

2. Apakah peningkatan dosis dapat meningkatkan efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

(17)

commit to user

2. Mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap peningkatan efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh ekstrak biji mahoni dalam mencegah kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan ekstrak biji mahoni sebagai nefroprotektor.

2. Manfaat Aplikatif

Memberikan informasi ilmiah pada masyarakat tentang manfaat biji mahoni dalam bidang kesehatan, antara lain dalam kaitannya dengan kesehatan ginjal.

(18)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) a. Nama lain

Indonesia : mahoni Belanda : mahok

Inggris : West Indian mahogany, Cuban mahogany tree Perancis : acajou

India : mahagoni, mahagni, mahaagonichetta, ciminukku Malaysia : cheriamahogany

(Orwa et al., 2009) b. Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Famili : Meliaceae

Genus : Swietenia

(19)

commit to user

Spesies : Swietenia mahagoni (L.) Jacq.

(Plantamor, 2008) c. Deskripsi

Swietenia mahagoni adalah tanaman berbentuk pohon yang ketinggiannya dapat mencapai 30 meter. Diameter batangnya sekitar 1 meter dan memiliki banyak cabang besar. Kulit abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi coklat tua, beralur dan mengelupas setelah tua (Orwa et al., 2009). Daun mahoni bertandan, licin, tidak berbulu, panjang 12-15 cm majemuk menyirip dengan 2-4 pasang daun.

Bunganya berwarna kuning kehijauan dengan diameter 6-8 cm (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).

Buah mahoni berbentuk bulat telur berlekuk lima. Kulit luar tebalnya 4-5 cm, sedangkan kulit dalam tipis. Ketika masih muda buah ini berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat (FP USU, 2010). Buah merekah mulai dari pangkalnya apabila sudah kering. Bagian tengah buah tebal, berkayu, terdapat 5 kolom lancip memanjang hingga ujungnya, di mana pada bagian ini sayap dan biji saling menempel, meninggalkan bekas ketika biji lepas (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001).

Biji mahoni terdapat di dalam buah, ujung agak tebal dan warnanya coklat kehitaman. Biji ini memiliki katup yang membelahnya menjadi 5 bagian dari dasar ke atas. Setiap buah terdiri 35-45 butir biji (Orwa et al., 2009).

(20)

commit to user

Gambar 2.1. Biji Mahoni (Friday, 2004) d. Kandungan Kimia dan Khasiat

Sahgal et al. (2009b) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam biji mahoni terdapat kandungan aktif utama berupa alkaloid, terpenoid, antraquinon, glikosida, saponin, dan minyak atsiri. Kandungan senyawa kimia yang lain adalah tanin dan steroid (Hajra et al., 2011b).

Kandungan total senyawa fenol dan flavonoid dalam 1 gram ekstrak kering biji mahoni berturut-turut adalah 26,9 mg dan 2,5 mg.

Ekstrak ini memiliki aktivitas inhibisi xantin oksidase dan scavenging radikal bebas (Sahgal et al., 2009a; Hajra et al., 2011a).

Limonoid dari kelas tetratriterpenoid merupakan salah satu substansi yang menyebabkan biji mahoni memiliki efek terapeutik.

Tetranortriterpenoid memiliki aktivitas antiplatelet dan antimikroba (Ekimoto et al., 1991; Rahman et al., 2008). Tetranortriterpenoid yang terkandung dalam biji mahoni antara lain mahonin, secomahoganin, swietenin, swietenoloid, swietemahonin, swietemahonolid (Kadota et al., 1990).

(21)

commit to user

Isolasi komponen kimia dari biji mahoni dengan berbagai teknik menunjukkan adanya kandungan asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang tinggi (64,9%) serta protein (13%), di mana 7,5 % proteinnya larut dalam air (Bacsal et al., 1997; Ali et al., 2011). Kandungan asam lemak pada minyak biji mahoni antara lain asam palmitat, stearat, arakhidonat, dan oleat, linoleat, dan linoleinat (Majid et al., 2004; Ali et al., 2009).

Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Biji Mahoni

Kandungan Jumlah

Lemak 57,9%

Total protein 13%

Protein larut air 7,5%

Tepung 4,2%

Glukosa 1,9%

Serat 1,4%

Karbohidrat total 9,7%

(Ali et al., 2009)

Secara empiris, biji mahoni telah terbukti memiliki aktivitas gastroprotektif terhadap kerusakan lambung tikus yang diinduksi etanol (Alrdahe et al., 2010). Ekstrak metanol dari biji mahoni juga telah diuji untuk efek farmakologis antipiretik, antiinflamasi, dan analgetik. Efek ini didapat melalui mekanisme inhibisi pada jalur siklo-oksigenase dan lipo- oksigenase pada metabolisme asam arakidonat (Ghosh et al., 2009).

(22)

commit to user 2. Ginjal (Ren)

a. Fisiologi

Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh dengan cara mengeliminasi produk sisa metabolisme dan zat-zat lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan konstituen darah yang masih berguna (Wilson, 2006; Davey, 2006). Produk sisa metabolisme tubuh yang dieliminasi ginjal meliputi urea (dari metabolisme asam amino), asam urat (dari asam nukelat), dan kreatinin (dari kreatin otot), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit berbagai hormon. Ginjal juga membuang sebagian besar toksin dan zat asing lainnya seperti pestisida, obat-obatan, dan zat aditif makanan (Guyton &

Hall, 2007). Selain itu, ginjal juga berperan dalam fungsi hormonal, mensekresikan eritropoietin dan renin, serta dalam fungsi metabolisme dengan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).

(23)

commit to user

Gambar 2.2. Struktur Histologis Ginjal (Mescher, 2010) b. Anatomi

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di rongga abdomen bagian belakang, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit di atas garis pinggang (Sherwood, 2001). Ginjal kiri terletak sedikit lebih tinggi dibandingkan ginjal kanan, karena adanya lobus kanan hepar yang besar. Kutub atas ginjal kanan terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas (Snell, 2006; Wilson, 2006). Setiap ginjal pada orang dewasa laki-laki beratnya sekitar 150 gram dan pada wanita sekitar 135 gram.

Panjangnya sekitar 10-12 cm, lebarnya 5-7 cm, dan tebalnya 2-3 cm.

Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai saraf, dan ureter yang membawa urin dari ginjal ke kandung kemih. Ginjal diliputi

(24)

commit to user

oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi struktur dalamnya yang rapuh (Guyton & Hall, 2007; Wein et al., 2007).

c. Histologi

Masing-masing ginjal mempunyai korteks di bagian luar yang berwarna coklat gelap, dan medula di bagian dalam yang berwarna coklat terang (Snell, 2006). Korteks ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin kortikal. Pars radiata tersusun dari bagian-bagian lurus (segmen lurus tubulus proksimal dan segmen lurus tubulus distal) dari nefron dan duktus kolektivus. Masa jaringan korteks yang mengelilingi setiap piramid medula membentuk sebuah lobus renalis, dan setiap berkas medula merupakan pusat dari lobulus renalis.

Jaringan korteks juga terdapat di antara piramid medula, yang disebut kolumna Bertini (Gartner & Hiatt, 2007).

Medula ginjal terbagi menjadi beberapa masa jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula serta berakhir di papila, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kaliks mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kaliks minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila (Wilson, 2006; Guyton &

Hall, 2007). Berikut adalah bagian-bagian ginjal:

(25)

commit to user 1) Nefron

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat (Sherwood, 2001). Setiap nefron terdiri dari glomerulus (sekumpulan kapiler glomerulus) yang dilalui sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah, dan tubulus yang panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urin dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal (Guyton & Hall, 2007).

2) Korpuskulum Ginjal

Korpuskulum ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan kapiler glomerulus. Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal (Wilson, 2006). Terdapat rongga berupa celah yang sempit di antara lapisan parietal (epitel kapsula) dan lapisan viseral (epitel glomerulus) yang melekat erat pada untaian kapiler.

Korpuskulum ginjal mempunyai polus vaskular, tempat arteriol aferen dan eferen masuk dan keluar glomerulus dan tempat lapisan parietal kapsula membalik untuk melapisi pembuluh darah sebagai lapisan viseral. Korpuskulum ginjal juga mempunyai polus urinari di sisi sebelahnya, tempat rongga kapsula berhubungan dengan lumen tubulus kontortus proksimal dan tempat epitel parietal melanjutkan diri pada epitel kuboid atau silindris rendah tubulus kontortus proksimal (Leeson et al., 1996).

(26)

commit to user 3) Glomerulus

Glomerulus tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan beranastomosis, yang mempunyai tekanan hidrostatik lebih tinggi (kira-kira 60 mm Hg) bila dibandingkan dengan kapiler lainnya (Guyton & Hall, 2007). Glomerulus terdiri dari kapiler yang inti sel endotelnya menonjol ke dalam lumen. Sel- sel endotel dipisahkan dari podosit, modifikasi dari lapisan sel viseral kapsul Bowman, oleh lamina basal yang tebal. Komponen jaringan ikat pada arteriol aferen tidak masuk ke dalam kapsula Bowman dan secara normal sel-sel jaringan ikat digantikan oleh tipe sel khusus, yaitu sel-sel mesangial. Sel mesangial merupakan elemen pendukung dan fagositik dari korpuskulum ginjal (Gartner &

Hiatt, 2007).

Sekelompok sel khusus yaitu sel-sel jukstaglomerularis (modifikasi otot polos arteriol aferen), makula densa, dan sel-sel mesangial ekstraglomerular membentuk bangunan penting disebut aparatus jukstaglomerulus. Sel jukstaglomerular bersifat epiteloid dan berdekatan dengan glomerulus sel-sel otot polos dalam tunika media arteriol aferen. Sel-sel ini juga berhubungan erat dengan makula densa, suatu bagian khusus tubulus kontortus distal yang terdapat di antara arteriol aferen dan eferen. Sel jukstaglomerular menghasilkan renin yang berpengaruh dalam pengaturan tekanan darah (Leeson et al., 1996).

(27)

commit to user

Glomerulus berperan dalam memfiltrasi plasma darah. Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Proses ini dikenal sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Filtrat glomerulus mengalir ke dalam tubulus kontortus proksimal untuk memulai proses reabsorbsi dan sekresi (Guyton & Hall, 2007;

Sherwood, 2001).

4) Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimal terletak di korteks, mulai dari polus urinarius korpuskulum ginjal kemudian menurun ke dalam medula dan menjadi ansa Henle (Eroschenko, 2003). Panjangnya hampir 14 mm dengan diameter luar 50 sampai 60 µm. Dindingnya dibentuk oleh epitel kolumnar rendah atau kuboid (Leeson et al., 1996). Batas selnya tidak jelas, sitoplasma eosinofilik, bergranula dan berinti besar, bulat, berbentuk sferis dan terletak di sentral. Pada sisi luminal dari membran (sisi yang menghadap lumen tubulus), terdapat sejumlah besar brush border yang memperluas area permukaan kira-kira 20 kali lipat (Guyton & Hall, 2007). Sedangkan pada bagian basal sel terdapat basal striation berupa garis-garis basal (Gartner dan Hiatt, 2007).

Sesuai dengan namanya, tubulus ini jalannya sangat berkelok dan selalu membentuk lengkung yang besar menghadap ke

(28)

commit to user

permukaan kapsula ginjal. Sebagai bagian nefron yang paling panjang dan paling lebar, tubulus membentuk isi korteks, yang tampak pada sajian sebagai gambaran serong dan melintang (Leeson et al., 1996).

Di dalam tubulus proksimal, filtrat glomerulus mulai berubah menjadi kemih oleh absorpsi beberapa zat dan penambahan (sekresi) zat-zat lainnya. Tubulus proksimal hampir sepenuhnya mengisap zat gizi dari filtrat glomerular (glukosa, asam amino, protein, vitamin).

Ion natrium secara aktif diserap kembali dari filtrat glomerular (Slomianka, 2009).

Sel-sel tubulus proksimal mempunyai tanda-tanda sel yang bermetabolisme tinggi, mempunyai banyak mitokondria untuk menyokong proses transpor aktif yang sangat cepat dan cukup tepat (Guyton & Hall, 2007). Tubulus proksimal adalah lokasi yang paling sering mengalami kerusakan akibat toksikan. Kadar toksikan pada tubulus proksimal sering lebih tinggi karena terjadinya absorpsi dan sekresi aktif di tubulus proksimal serta kadar sitokrom P450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Wilson, 2006).

5) Ansa Henle

Ansa Henle terdiri atas segmen desenden tebal tubulus kontortus proksimal, segmen asenden dan desenden tipis, dan segmen asenden tebal tubulus kontortus distal (Eroschenko, 2003).

(29)

commit to user

Nefron kortikal mempunyai segmen tipis yang sangat pendek di dalam pars desenden ansa Henle yang terletak di dalam lapisan dalam medula, sedangkan pada nefron jukstaglomerular segmen tipis berjalan dari bagian lebih dalam pars desenden sampai zona dalam medula, untuk membentuk ansa, dan berjalan kembali sebagai bagian lebih dalam pars asenden sampai ke zona luar (Leeson et al., 1996).

Segmen tipis ansa Henle mengarah ke tubulus distal yang dibentuk oleh sel kuboid rendah tanpa brush border. Pada ujung cabang asenden tebal terdapat bagian yang pendek, yang sebenarnya merupakan plak pada dindingnya, dan dikenal sebagai makula densa. Setelah makula densa, cairan memasuki tubulus distal, yang terletak pada korteks renal (Guyton & Hall, 2007).

Filtrat yang melewati ansa Henle akan mengalami proses pemekatan karena ansa Henle menimbulkan gradien hipertonis dalam medula yang akan berpengaruh terhadap konsentrasi urin pada waktu melewati tubulus kolektivus. Bagian desenden ansa Henle sangat permeabel terhadap air, Na+, dan Cl-. Karena interstisial medula hipertonis terhadap filtrat, akibatnya Na+ dan Cl- masuk sedangkan air akan keluar meninggalkan filtrat. Bagian asenden ansa Henle tidak permeabel terhadap air dan secara aktif mentransport Na+ dan Cl- ke dalam cairan interstisial sehingga tubulus ini sangat berperan dalam mempertahankan cairan

(30)

commit to user

interstisial medula yang hipertonis. Akibat hilangnya Na+ dan Cl- yang tidak diikuti keluarnya air, maka filtrat yang mencapai tubulus kontortus distal bersifat hipotonis (Guyton & Hall, 2007).

6) Tubulus Kontortus Distal

Tubulus kontortus distal lebih pendek dan tidak begitu berkelok dibandingkan tubulus kontortus proksimal (Eroschenko, 2003). Sel-selnya kuboid kecil dan tidak mempunyai brush border, intinya di tengah atau apeks, sedikit mikrovili yang pendek dan vakuola apikal. Di dalam sitoplasma bagian basal terdapat interdigitasi tonjolan-tonjolan sel lateral yang rumit mirip dengan yang tampak pada tubulus proksimal dengan mitokondria yang besar, tersusun radier sehingga memberikan gambaran bergaris pada bagian basal sel dan merupakan mekanisme pompa natrium yang aktif dari cairan tubular (Leeson et al., 1996). Pada umumnya sel- selnya tercat kurang kuat dibanding dengan tubulus proksimal (Sherwood, 2001).

Pada tubulus kontortus distal terjadi pertukaran ion, bila terdapat aldosteron, Na+ diresorbsi dan ion K+ diekskresi. Tubulus ini juga mengekskresi H+ dan NH+ (amonium) ke dalam urin.

Mekanisme di sini penting untuk mengendalikan keseimbangan asam basa darah. Tubulus kontortus distal bersama-sama dengan tubulus kolektivus sangat permeabel terhadap air bila terdapat

(31)

commit to user

hormon antidiuretik (ADH) (Guyton & Hall, 2007; Sherwood, 2001).

7) Duktus Kolektivus

Duktus kolektivus bukan bagian nefron. Setiap tubulus kontortus distal berhubungan dengan duktus kolektivus melalui sebuah cabang samping duktus kolektivus yang pendek yang terdapat pada berkas medular. Di bagian medula yang lebih dalam beberapa duktus kolektivus bersatu untuk membentuk duktus yang besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan papila sangat banyak dan rapat, dan disebut area kribrosa. Sel-sel yang meliputi saluran ini di bagian proksimal bentuknya kuboid makin ke distal dan pada duktus papilaris berubah menjadi kolumnar. Duktus kolektivus menyalurkan urin dari nefron ke pelvis renalis dengan sedikit absorbsi air yang dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH) (Leeson et al., 1996).

Berikut adalah gambaran mikroskopis ginjal normal yang dilihat menggunakan mikroskop:

(32)

commit to user

Gambar 2.3. Pengamatan Mikroskopis Ginjal Normal. Pada gambar tampak G: glomerulus, U: urinary space (celah kapsular), TP: renal corpuscle's tubular pole (kutub tubular korpuskulum ginjal), P: proximal convoluted tubule (tubulus proksimal), D: distal convoluted tubules (tubulus distal). Perbesaran 400 x. Pengecatan Hematoksilin Eosin (Mescher, 2010)

3. Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) adalah salah satu obat yang paling popular dan banyak digunakan untuk pengobatan nyeri dan demam. Obat ini sering dikategorikan sebagai obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) meskipun sangat sedikit memiliki aktivitas anti inflamasi (Bertolini et al., 2006). Lebih lanjut mengenai parasetamol akan diuraikan di bawah ini.

a. Farmakodinamik

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang dengan penghambatan biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek anti inflamasinya sangat lemah (Wilmana & Gan, 2007).

(33)

commit to user b. Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan sempurna dari usus. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-4 jam. Di dalam plasma, sebanyak 25% parasetamol terikat protein plasma (Tjay &

Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar.

Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Ketika jalur glukuronidasi dan sulfasi ini tidak dapat digunakan lagi disebabkan asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi, maka parasetamol berlebih ini akan dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450 (CYP). Bioaktivasi parasetamol melalui jalur CYP pada hepar akan menghasilkan metabolit yang sangat aktif yaitu N-asetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) (Murugesh et al., 2005; Haldar et al., 2011).

NAPQI adalah metabolit minor parasetamol yang sangat elektrofilik, reaktif, dan toksik terhadap hati dan ginjal. Pada dosis lazim, metabolit ini ditangkap oleh glutation (GSH) dengan pembentukan konjugat yang tidak toksik. Baru apabila cadangan glutation habis, terjadi reaksi sitotoksik (Wilmana & Gan, 2007). Ekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Wilmana & Gan, 2007).

(34)

commit to user c. Indikasi dan Posologi

Indikasi pemberian parasetamol adalah sebagai analgesik dan antipiretik (Bertolini et al., 2006). Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg – 1 g tiga kali sehari. Dosis untuk anak adalah 150-300 mg/kali dengan maksimum 1,2 g/hari (Wilmana & Gan, 2007).

d. Efek Samping

Efek samping yang mungkin terjadi adalah reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hepar, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrosis hepar yang ireversibel (Tjay & Rahardja, 2002). Nekrosis tubulus renalis dan hipoglikemia juga dapat terjadi setelah menelan dosis tunggal 10-15 g (Bertolini et al., 2006).

4. Mekanisme Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik

Asupan berlebih parasetamol akan menyebabkan metabolisme melalui jalur sitokrom P450 (CYP) aktif. Bioaktivasi parasetamol melalui jalur CYP pada sel ginjal akan menghasilkan metabolit yang sangat aktif yaitu N-asetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) (Murugesh et al., 2005;

Haldar et al., 2011). NAPQI adalah metabolit minor parasetamol yang sangat elektrofilik, reaktif, dan toksik terhadap hati dan ginjal. Pada dosis lazim, metabolit ini ditangkap oleh glutation (GSH) dengan pembentukan konjugat yang tidak toksik. Baru apabila cadangan glutation habis, terjadi reaksi sitotoksik (Wilmana & Gan, 2007).

(35)

commit to user

Setelah overdosis, kualitas dan kuantitas pembentukan NAPQI dapat melebihi pasokan dan regenerasi GSH. Ketika terjadi deplesi GSH, NAPQI akan berikatan secara kovalen dengan makromolekul dan memicu serangkaian kegiatan yang mengakibatkan kematian sel ginjal (Bertolini et al., 2006). Reaksi antara NAPQI dengan makromolekul akan memacu terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) (Kis et al., 2005). ROS dapat terbentuk dari oksidasi lipid dan protein, kerusakan untai DNA, dan hasil modulasi ekspresi gen (Lee et al., 2004). Produk akhir oksidasi lipid di dalam tubuh adalah Malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kematian sel akibat proses oksidasi berlebihan dalam membran sel (Mayes, 2008).

Nefrotoksisitas akibat overdose parasetamol dapat menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus (Inagi, 2009).

Perubahan morfologik nukleus pada nekrosis menurut Cotran (2007) dan Wilson (2006) terdapat 3 pola, yang semuanya disebabkan oleh pemecahan nonspesifik DNA, di antaranya:

a. Piknosis, ditandai dengan melisutnya nukleus dan peningkatan basofilia kromatin (berwarna gelap), kemudian DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.

b. Karioreksis, ditandai dengan nukleus yang hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, yang

(36)

commit to user

selanjutnya dalam 1-2 hari inti dalam sel yang mati benar-benar menghilang.

c. Kariolisis, ditandai dengan nukleus mati dan hilang yang disebabkan oleh aktivitas DNAse sehingga basofilia kromatin memudar (tidak dapat diwarnai lagi).

Pada nefrotoksisitas parasetamol terjadi nekrosis segmen-segmen pendek tubulus, terutama pada tubulus proksimal, dengan membrana basalis tubuli umumnya masih baik dan secara klinik terjadi supresi akut fungsi ginjal. Gambaran histologis jaringan ginjal nekrosis yang bertahan selama seminggu akan mulai tampak regenerasi epitel dalam bentuk lapisan epitel kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang tersisa.

Regenerasi ini bersifat total dan sempurna, kecuali pada membran basal yang rusak (Cotran et al., 2007).

5. Mekanisme Perlindungan Biji Mahoni terhadap Kerusakan Ginjal Akibat Induksi Parasetamol

Ekstrak biji mahoni diduga dapat mencegah kerusakan ginjal akibat pemberian parasetamol dosis toksik karena memiliki aktivitas antioksidan.

Di bawah kondisi fisiologis, terdapat keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan yang digunakan organisme untuk melindungi dirinya sendiri dari toksisitas radikal bebas.

Keseimbangan antioksidan dan detoksifikasi Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang berpotensi menimbulkan kerusakan sangat penting untuk homeostatis selular (Pajovic et al., 2008). Kandungan biji mahoni yang

(37)

commit to user

berperan sebagai antioksidan adalah terpenoid, tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan alkaloid (Sahgal et al., 2009b; Hajra et al., 2011a).

Limonoid dari kelas tetratriterpenoid merupakan salah satu substansi yang menyebabkan biji mahoni memiliki efek terapeutik (Rahman et al., 2008). Golongan terpenoid ini dapat mencegah infiltrasi leukosit ke dalam ginjal yang dapat menimbulkan kerusakan ginjal (Alrdahe et al., 2010). Terpenoid juga dapat meningkatkan glutation (GSH) dan aktivitas enzim antioksidan (Thoppil & Bishayee, 2011).

Tanin dan flavonoid yang didapat dari ekstrak biji mahoni diketahui memiliki aktivitas scavenging radikal bebas yang tinggi (Hagerman, 2002;

Hajra et al., 2011a; Sahgal et al., 2009a). Flavonoid merupakan scavenger yang efektif untuk radikal hidroksil dan peroksil. Mekanisme antioksidan yang lain dari flavonoid terletak pada kemampuan donor hidrogen dan metal ion chelation. Setelah mendonorkan atom hidrogen, flavonoid menjadi radikal yang stabil yang tidak mudah berpartisipasi dalam reaksi radikal lain. Di samping itu, flavonoid dapat membentuk kompleks dengan logam dan mencegah oksidasi lipid (Lee et al., 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Pajovic et al., (2008) menunjukkan bahwa ekspresi enzim antioksidan seperti glutation (GSH) dapat dimodulasi oleh steroid.

Saponin dan alkaloid dapat memainkan peran penting dalam penghambatan lipoksigenase (Rodrigues et al., 2005). Lipoksigenase merupakan enzim penting dalam biosintesis leukotrien yang memainkan

(38)

commit to user

peran penting dalam patofisiologi beberapa penyakit inflamasi.

Lipoksigenase sensitif terhadap antioksidan, di mana aktivitasnya adalah menghambat pembentukan hidroperoksida lipid dalam rangka scavenging bentuk radikal dari lipidoksi atau lipidperoksi dalam proses peroksidasi enzim. Hal ini dapat membatasi ketersediaan substrat hidroperoksida lipid yang diperlukan untuk siklus katalitik lipoksigenase (Rackova et al., 2007).

(39)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.4. Skema Kerangka Pikir

(40)

commit to user C. Hipotesis

1. Ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) memiliki efek nefroprotektor terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

2. Peningkatan dosis dapat meningkatkan efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

(41)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik.

B. Lokas i Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mencit. Sampel yang diambil dari populasi memiliki kriteria inklusi yaitu: berjenis kelamin jantan, galur Swiss webster, berusia 2-3 bulan, dan berat badan ± 20 g. Adapun kriteria eksklusinya adalah mencit yang memiliki kecacatan fisik dan atau tampak sakit. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Federer, yaitu:

(k-1)(n-1) > 15 (4-1)(n-1) > 15 3(n-1) > 15

3n > 15 + 3 n > 6 ≈ 7 Keterangan:

k : jumlah kelompok

n : jumlah sampel dalam tiap kelompok

Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok sebanyak 7 ekor

(42)

commit to user

mencit (n > 6). Jumlah kelompok mencit ada 4 sehingga penelitian ini membutuhkan 28 ekor mencit dari populasi yang ada.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang dipakai adalah incidental sampling. Sampel diperoleh dengan mengambil begitu saja subjek penelitian yang ditemui dari populasi yang ada (Taufiqqurohman, 2008).

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only controlled group design. Dalam rancangan ini subjek dibagi menjadi 4 kelompok secara random.

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian Keterangan:

X : Populasi S : Sampling Y : Sampel R : Randomisasi

KK (-) : Kelompok Kontrol Negatif, diberi makanan dan minuman standar tanpa diberi ekstrak biji mahoni maupun parasetamol.

X S

Y

R KK (-)

KK (+) KP1 KP2

O0 O1 O2 O3

Dibandingkan dengan uji

statistik

(43)

commit to user

KK (+) : Kelompok Kontrol Positif, diberi makanan dan minuman standar dan diberi parasetamol 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke-12, 13, dan 14.

KP1 : Kelompok Perlakuan 1, diberi makanan dan minuman standar, diberi ekstrak biji mahoni dengan dosis 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut dan diberi parasetamol 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke- 12, 13, dan 14.

KP2 : Kelompok Perlakuan 2 diberi makanan dan minuman standar, diberi ekstrak biji mahoni dengan dosis 0,2 ml/20 g BB mencit satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut dan diberi parasetamol 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke- 12, 13, dan 14.

O0 : Pengamatan jumlah sel ginjal yang mengalami kerusakan pada mencit kelompok kontrol negatif.

O1 : Pengamatan jumlah sel ginjal yang mengalami kerusakan pada mencit kelompok kontrol positif.

O2 : Pengamatan jumlah sel ginjal yang mengalami kerusakan pada mencit kelompok perlakuan 1.

O3 : Pengamatan jumlah sel ginjal yang mengalami kerusakan pada mencit kelompok perlakuan 2.

Pengambilan organ ginjal mencit yang selanjutnya dibuat preparat histologis, dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama dikerjakan.

(44)

commit to user F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni).

2. Variabel terikat : kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus).

3. Variabel luar : a. Terkendali

Variasi genetik, jenis kelamin, umur, suhu udara, berat badan, dan jenis makanan mencit semuanya diseragamkan.

b. Tak terkendali

1) Sensitivitas subjek terhadap zat yang diberikan.

2) Keadaan psikologis subjek.

3) Keadaan awal ginjal mencit.

G. Definisi Operas ional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: pemberian ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni)

Biji mahoni yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari toko obat herbal Akar Sari. Ekstraksi biji mahoni dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM).

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan pelarut etanol 70%.

Ekstrak biji mahoni diberikan selama 14 hari berturut-turut secara per oral dengan sonde lambung dalam 2 dosis.

Dosis I : 11,2 mg/20 g BB mencit yang diencerkan hingga 0,1 ml diberikan pada mencit KP1 (perhitungan dosis pada cara kerja).

(45)

commit to user

Dosis II : 22,4 mg/20 g BB mencit yang diencerkan hingga 0,2 ml diberikan pada mencit KP2.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal.

2. Variabel terikat: kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) Kerusakan histologis sel ginjal mencit adalah gambaran kerusakan mikroskopis sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit yang diinduksi parasetamol dan telah mendapat perlakuan dengan ekstrak biji mahoni.

Pada variabel ini yang dinilai berupa besarnya kerusakan histologis sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit. Besarnya kerusakan histologis dinilai dengan cara menghitung jumlah sel epitel tubulus proksimal yang rusak dari tiap 50 sel epitel tubulus proksimal pada suatu daerah tertentu di pars konvulata korteks ginjal. Sel epitel tubulus proksimal yang rusak ditandai oleh adanya inti sel yang piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Tiap mencit diambil ginjal kanan dan kirinya. Untuk masing-masing ginjal, jumlah irisan yang dibaca adalah 1 irisan dari 2 irisan yang diambil, sehingga untuk setiap kelompok (7 mencit) terdapat 7 irisan ginjal kanan dan 7 irisan ginjal kiri yang akan dibaca. Dengan demikian ada 14 angka yang muncul mengenai jumlah sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan pada tiap kelompok mencit.

(46)

commit to user

Adapun rumus besarnya kerusakan histologis sel epitel tubulus proksimal untuk tiap irisan ginjal adalah:

Pi + Kr + Kl Keterangan :

Pi : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti piknosis.

Kr : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti karioreksis.

Kl : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti kariolisis.

Skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio.

3. Variabel luar

Variabel luar terdiri dari variabel yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan.

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan. Variabel ini dapat dikendalikan melalui homogenisasi.

1) Variasi genetik

Jenis hewan coba yang digunakan adalah mencit dengan galur Swiss webster.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin mencit yang digunakan adalah jantan.

3) Umur

Umur mencit pada penelitian ini adalah + 3 bulan.

4) Suhu udara

Hewan percobaan diletakkan dalam ruangan dengan suhu udara berkisar antara 25-28o C.

(47)

commit to user 5) Berat badan

Berat badan hewan percobaan + 20 g.

6) Jenis makanan

Makanan yang diberikan berupa pelet dan minuman dari air Perusahaan Air Minum (PAM).

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan:

1) Reaksi sensitivitas dapat terjadi karena adanya variasi kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan.

2) Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.

Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan yang berulang kali, dan perkelahian antarmencit dapat mempengaruhi kondisi psikologis mencit.

3) Keadaan awal ginjal mencit tidak diperiksa pada penelitian ini sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan ginjalnya sudah mengalami kelainan.

H. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) kandang mencit 4 buah masing-masing untuk 7 ekor mencit beserta kelengkapan pemberian makan; 2) timbangan hewan; 3) timbangan obat; 4) pipet tetes dan mikropipet 5) sonde lambung; 6) alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja lilin); 7) alat untuk pembuatan preparat histologi; 8) mikroskop cahaya medan terang; 9) gelas ukur dan pengaduk; 10) masker; 11) handscoen;

dan 12) kamera.

(48)

commit to user

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi: 1) parasetamol; 2) makanan hewan percobaan (pelet); 3) akuades; 4) bahan untuk pembuatan preparat histologis dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE); dan 5) ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.).

I. Cara Kerja

1. Cara ekstraksi biji mahoni (Swietenia mahagoni)

Pembuatan ekstrak biji mahoni dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM) dengan menggunakan metode maserasi. Biji mahoni dicuci menggunakan akuades kemudian dikeringkan dalam almari pengering suhu 450C selama 48 jam.

Selanjutnya biji mahoni direndam dengan ethanol 70%, di-blend selama 30 menit, didiamkan selama 24 jam, lalu disaring. Prosedur tersebut diulangi sebanyak 3 kali. Filtrat hasil penyaringan diuapkan dengan vacuum rotary evaporator, pemanas water bath suhu 700C. Dari proses tersebut akan didapatkan ekstrak kental yang dituang dalam cawan porselin. Selanjutnya ekstrak kental dalam cawan porselin dipanaskan dengan pemanas water bath suhu 700C sambil terus diaduk sehingga didapatkan ekstrak etanol biji mahoni. Ekstrak biji mahoni ini akan diencerkan dengan akuades sebelum disondekan pada mencit percobaan.

2. Dosis dan pengenceran ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni).

Pemberian ekstrak biji mahoni untuk gastroprotektor berdasarkan penelitian oleh Alrdahe et al. (2010) adalah 400 mg/kg BB tikus atau setara dengan 80 mg/200 g BB tikus. Pada penelitian Alrdahe et al. tersebut,

(49)

commit to user

ekstrak biji mahoni diberikan dalam 4 dosis, yaitu 50, 100, 200, dan 400 mg/kg BB tikus yang diberikan secara per oral selama 14 hari berturut- turut. Penentuan dosis yang diberikan kepada mencit berdasarkan pada hasil konversi dari tikus ke mencit seperti terlihat pada lampiran 1 (Ngatidjan, 1991). Dosis pemberian ekstrak biji mahoni pada mencit ini adalah dosis I = 0,1 ml/20 g BB mencit dan dosis II = 0,2 ml/20 g BB mencit. Masing-masing dosis yang disondekan tersebut adalah 5,6 g ekstrak biji mahoni yang telah diencerkan dengan akuades menjadi volume 50 ml. Ekstrak biji mahoni dosis I diberikan satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut pada KP1. Ekstrak biji mahoni dosis II diberikan satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut pada KP2.

Perhitungan dosis ekstrak biji mahoni:

a. Dosis I ekstrak biji mahoni setara dengan 80 mg ekstrak biji mahoni pada tikus dengan berat 200 g.

Dosis I untuk mencit 20 g = Nilai konversi x 80 mg

= 0,14 x 80 mg

= 11,2 mg/20 g BB mencit Pengenceran ekstrak biji mahoni:

Ekstrak biji mahoni sebanyak 11,2 g diencerkan dengan akuades sehingga didapatkan 100 ml larutan ekstrak biji mahoni, setara dengan 5,6 g ekstrak biji mahoni yang dilarutkan dengan akuades sehingga menjadi 50 ml larutan ekstrak biji mahoni.

↔ Dalam 1 ml mengandung 112 mg ekstrak biji mahoni

(50)

commit to user

↔ Dalam 0,1 ml mengandung 11,2 mg ekstrak biji mahoni

Larutan ekstrak biji mahoni yang disondekan adalah ekstrak biji mahoni yang telah diencerkan. Larutan ekstrak biji mahoni yang disondekan pada 1 ekor mencit (20 g) pada KP1 sebanyak 0,1 ml dan diberikan selama 14 hari berturut-turut.

b. Dosis II ekstrak biji mahoni

Ekstrak biji mahoni dosis II adalah 2 kali ekstrak biji mahoni dosis I.

Jadi, larutan ekstrak biji mahoni yang disondekan pada 1 ekor mencit (20 g) pada KP2 sebanyak 0,2 ml dan diberikan selama 14 hari berturut- turut.

3. Dosis dan pengenceran parasetamol

Dosis letal (LD-50/Lethal Dosis-50) untuk mencit per oral yang telah diketahui adalah 338 mg/kg BB atau 6,76 mg/20 g BB mencit (Wishart et al., 2011). Dosis parasetamol yang digunakan untuk menimbulkan efek kerusakan ginjal berupa nekrosis sel epitel tubulus proksimal ginjal tanpa menyebabkan kematian mencit adalah dosis 3/4 LD-50 perhari (Ratnasari, 2009). Dosis yang digunakan adalah 338 mg/Kg BB × 0,75 = 253,5 mg/kg BB = 5,07 mg/20 g BB mencit. Parasetamol 500 mg dilarutkan dalam akuades hingga 9,86 ml, sehingga dalam 0,1 ml larutan parasetamol mengandung 5,07 mg parasetamol.

Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada hari ke-12, 13, dan 14. Pemberian parasetamol dengan cara ini dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan berupa nekrosis pada sel epitel tubulus proksimal

(51)

commit to user

di daerah pars konvulata korteks ginjal tanpa menimbulkan kematian pada mencit.

4. Persiapan mencit

Mencit diadaptasikan selama tujuh hari di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sesudah adaptasi, keesokan harinya dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan.

5. Pengelompokan subjek

Pada minggu kedua mulai dilakukan percobaan. Subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok dengan cara randomisasi, dan masing-masing kelompok terdiri dari 7 mencit. Adapun pengelompokan subjek adalah sebagai berikut:

a. KK (-) : Kelompok Kontrol Negatif, diberi akuades per oral sebanyak 0,1 ml/20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut- turut, tanpa ekstrak biji mahoni maupun parasetamol.

b. KK (+) : Kelompok Kontrol Positif, diberi akuades per oral sebanyak 0,1 ml/20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dan diberi parasetamol per oral 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke-12, 13, dan 14, tanpa ekstrak biji mahoni.

c. KP1 : Kelompok Perlakuan 1, diberi ekstrak biji mahoni per oral sebanyak 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut dan diberi parasetamol per oral 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke-12, 13, dan 14.

(52)

commit to user

d. KP2 : Kelompok Perlakuan 2, diberi ekstrak biji mahoni per oral sebanyak 0,2 ml/20 g BB mencit satu kali sehari selama 14 hari berturut-turut dan diberi parasetamol per oral 0,1 ml/20 g BB mencit satu kali sehari pada hari ke-12, 13, dan 14.

Setiap sebelum pemberian parasetamol dan ekstrak biji mahoni, mencit dipuasakan dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan lambung. Pemberian parasetamol dilakukan ± 1 jam setelah pemberian ekstrak biji mahoni agar terabsorbsi terlebih dahulu. Di luar jadwal perlakuan mencit diberi makan berupa pelet dan minum air PAM ad libitum.

(53)

commit to user 6. Pemberian Perlakuan

Gambar 3.2. Skema Langkah Penelitian 7. Pengukuran Hasil

Pada hari ke-15 setelah perlakuan diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara neck dislocation (Alrdahe et al., 2010).

Setiap mencit diambil ginjal kanan dan kiri, kemudian masing-masing ginjal dibuat 2 irisan secara frontal pada daerah pertengahan ginjal dengan

(54)

commit to user

jarak antaririsan adalah 10 irisan dengan ketebalan tiap irisan ginjal + 5–7 µm (untuk keseragaman). Preparat ginjal dibuat dengan metode blok parafin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Tiap mencit dibuat 2 irisan jaringan dari ginjal kanan dan 2 irisan jaringan dari ginjal kiri, yang kemudian diambil secara acak 1 irisan dari masing-masing ginjal untuk diamati pada mikroskop. Jadi, jumlah irisan ginjal yang dibaca untuk tiap mencit adalah 1 irisan dari ginjal kanan dan 1 irisan dari ginjal kiri. Dengan demikian untuk tiap kelompok terdapat 7 irisan ginjal kanan dan 7 irisan ginjal kiri (14 irisan ginjal). Dari tiap irisan ginjal dibaca jumlah sel epitel tubulus proksimal yang rusak dari tiap 50 sel epitel tubulus proksimal ginjal. Dengan demikian ada 14 angka yang muncul mengenai jumlah sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan pada setiap kelompok mencit, yang kemudian dibandingkan reratanya dengan uji statistik.

Pengamatan preparat irisan jaringan ginjal mula-mula dilakukan dengan perbesaran 100 kali untuk mengamati seluruh bagian irisan, kemudian ditentukan tubulus proksimal yang terletak pada pars konvulata korteks ginjal. Pengamatan dilanjutkan dengan perbesaran 400 kali untuk mengamati inti sel epitel tubulus proksimal ginjal. Perbesaran 1000 kali untuk melihat dan membedakan inti sel yang piknosis, karioreksis, dan kariolisis dengan lebih jelas.

Pengamatan dilakukan pada tubulus proksimal ginjal karena menurut Wilson (2006), pada tubulus proksimal terjadi absorpsi dan sekresi aktif serta kadar sitokrom P450 lebih tinggi untuk mendetoksifikasi

(55)

commit to user

atau mengaktifkan toksikan sehingga lebih mudah untuk mengalami kerusakan.

Untuk mengetahui sel-sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan maka dari tiap irisan ditentukan 1 daerah di pars konvulata korteks ginjal kemudian pada tiap daerah tersebut dihitung jumlah sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan dari tiap 50 sel epitel tubulus proksimal yang ada di daerah tersebut. Masing-masing irisan ginjal yang diamati kemudian dihitung jumlah inti sel yang mengalami piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Jumlah sel yang mengalami piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari tiap 50 sel menggambarkan besarnya kerusakan yang dialami oleh tiap irisan ginjal.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh diuji normalitasnya menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov dan uji Levene’s Test of Varian untuk mengetahui varian data. Kemudian data diuji menggunakan uji statistik One-Way ANOVA dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan bermakna. Derajat kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05 (Dahlan, 2007).

(56)

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Data yang didapatkan dari hasil pengamatan mikroskopis dari efek nefroprotektor ekstrak biji mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.) terhadap kerusakan histologis sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol disajikan pada lampiran 3. Hasil rerata jumlah kerusakan histologis sel ginjal mencit untuk masing-masing kelompok dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. Diagram Rerata Skor Kerusakan Sel Ginjal Masing-masing Kelompok. Kontrol (-) tanpa parasetamol dan ekstrak biji mahoni, kontrol (+) hanya diberi parasetamol, perlakuan 1 diberi parasetamol dan ekstrak biji mahoni dosis 11,2 mg/g BB, perlakuan 2 diberi parasetamol dan ekstrak biji mahoni dosis 22,4 mg/g BB (Data Primer, 2012)

0 5 10 15 20 25 30 35

Kontrol (-) Kontrol (+) Perlakuan 1 Perlakuan 2

Rerata Jumlah Kerusakan Sel Ginjal

Kelompok 9.57 + 0.701

28.93 + 1.698

9.28 + 0.873

27.79 + 1.651

Referensi

Dokumen terkait

a) Kegiatan usahanya selalu membantu orang lain/badan lain dengan menerima balas jasa. b) Pembelian barang oleh perusahaan jasa (bahan habis pakai/perlengkapan dan peralatan)

[r]

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAPARAN GAS KARBONMONOKSIDA (CO) DALAM DARAH PADA PETUGAS SPBU KOTA SALATIGA.. xv + 67 hal + 11 tabel + 5 gambar +

[r]

Kepercayaan pasien timbul dari kepuasan konsumen, oleh karena penyedia jasa telah memberikan kualitas pelayanan yang baik sehingga pasien sendiri akan puas terhadap pelayanan

Kita berbeda dengan manusia yang lain selayaknya sidik jari kita, maka dari itu, kita dituntut untuk menjadi seorang pemenang dalam hidup ini dengan keunikan dalam diri kita,

Pengujian ini digunakan untuk menunjukkan apakah variable-variabel independen seperti size, profitabilitas, leverage, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi

Apakah rasio profitabilitas ( Return On Equity ), rasio likuiditas ( Current Ratio ), rasio solvabilitas ( Debt To Equity Ratio ) dan Economic Value Added (EVA)