• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Ringkasan

Eksekutif

(2)

halaman ini sengaja dikosongkan

(3)

Ringkasan Eksekutif

Pada semester I 2015, pasar keuangan global mengalami pelemahan yang dipicu oleh ketidakpastian arah kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Realisasi pertumbuhan ekonomi AS yang belum mencapai titik optimal sebagaimana ekspektasi banyak pihak menyebabkan The Fed mempertimbangkan kembali waktu diterapkannya kebijakan normalisasi. Meskipun demikian, mulai membaiknya fundamental ekonomi AS memicu ekspektasi positif dari investor sehingga mendorong penguatan mata uang dollar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Hal ini terutama dipicu oleh perilaku dasar investor yang cenderung mencari risk adjusted return yang lebih tinggi.

Sementara itu, European Central Bank (ECB) masih melanjutkan kebijakan Quantitative Easing (QE) dalam rangka mendukung tercapainya target inflasi dan pemulihan ekonominya. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh Bank of Japan melalui Quantitative and Qualitative Easing (QQE) yang didasari pada pertimbangan bahwa negara tersebut masih dibayangi oleh deflasi.

Kebijakan di Eropa dan Jepangmenyebabkan semakin berlimpahnya likuiditas global.

Pada saat yang sama, kawasan emerging market Asia mengalami perlambatan ekonomi sebagai dampak dari melemahnya ekonomi Tiongkok. Kondisi ekonomi yang tidak berimbang tersebut mengakibatkan likuiditas global mencari safe haven asset yang lebih menguntungkan.

Perilaku perpindahan likuiditas dari emerging market, termasuk Indonesia, ke negara yang lebih menguntungkan tersebut akan menambah potensi kerentanan di negara emerging. Seiring dengan meningkatnya potensi kerentanan

dan melemahnya fundamental ekonomi, negara-negara emerging juga dihadapkan pada meningkatnya risiko yang tercermin dari naiknya premi Credit Default Swap (CDS).

Kecenderungan penguatan USD juga berdampak terhadap melemahnya harga komoditas internasional, selain karena faktor permintaan global yang masih lemah. Penguatan USD menjadikan harga komoditas menjadi relatif lebih mahal bagi pembeli di negara yang menggunakan mata uang bukan USD, sehingga mendorong pelemahan permintaan komoditas lebih lanjut. Pelemahan antara lain dialami oleh batubara, kelapa sawit, dan minyak mentah.

Sentimen di pasar keuangan global yang disertai oleh pelemahan kinerja perekonomian Indonesia, berdampak terhadap meningkatnya tekanan di pasar keuangan Indonesia. Peningkatan tekanan tercermin dari menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dan meningkatnya yield Surat Berharga Negara (SBN). IHSG melemah dari 5288,00 pada akhir semester II 2014 menjadi 4910,66 pada akhir semester I 2015. Penurunan indeks tersebut diikuti pula oleh meningkatnya volatilitas IHSG, termasuk volatilitas seluruh indeks sektoral, sejak pertengahan semester I 2015.

Yield SBN meningkat di semua tenor, dengan peningkatan terbesar dialami oleh SBN bertenor jangka menengah yang mengindikasikan masih tingginya ketidakpastian terhadap prospek perekonomian Indonesia ke depan. Yield SBN 10 (sepuluh) tahun meningkat sebesar 51,4bps dari 7,74% pada semester II 2014 menjadi 8,26%

pada semester I 2015. Peningkatan yield SBN tenor ini juga

(4)

kawasan, kenaikan yield SBN di tenor tersebut merupakan salah satu yang mengalami peningkatan terbesar.

Di tengah tantangan eksternal dan domestik, perbankan masih memiliki ketahanan yang cukup baik, meski kinerjanya mengalami sedikit penurunan. Ketahanan perbankan tercermin dari tingkat permodalan yang relatif tetap terjaga. Capital Adequacy Ratio (CAR) meningkat dari 19,57% pada semester II 2014 menjadi 20,35% pada semester I 2015. Peningkatan CAR merupakan cerminan upaya bank untuk memperkuat struktur permodalannya sesuai dengan aturan BASEL III dan sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran kredit yang pada akhirnya berdampak pada melambatnya pertumbuhan ATMR.

Rasio CAR yang tinggi tersebut menjadi bekal pengaman perbankan dalam menyerap potensi risiko yang timbul, terutama risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.

Pada semester I 2015 kinerja perbankan mengalami sedikit penurunan. Fungsi intermediasi perbankan sedikit melemah seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik. Rasio Loan to Deposit (LDR) perbankan menurun dari 89,30% pada semester II 2014 menjadi 88,62%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di satu sisi menyebabkan melambatnya pertumbuhan kredit, sedangkan di sisi lain menyebabkan meningkatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan.

Kombinasi diantara keduanya mendorong penurunan LDR.

Melemahnya kinerja perekonomian dan meningkatnya pesimisme pelaku ekonomi terhadap prospek ekonomi menyebabkan pelaku ekonomi berhati-hati dalam membuat keputusan ekonomi. Kehati-hatian tersebut diantaranya mendorong mereka untuk lebih memilih menyimpan dananya di perbankan daripada membiayai kegiatan usaha. Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan DPK cenderung meningkat pada semester laporan. Sementara itu, pertumbuhan kredit yang melambat disebabkan

permintaan kreditnya. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada umumnya disertai oleh persepsi kenaikan risiko dunia usaha, yaitu berupa kemungkinan default debitur yang semakin tinggi, sehingga mendorong perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

Penurunan kinerja perbankan juga tercermin dari efisiensi dan Return On Asset (ROA) yang menurun.

Penurunan efisiensi industri perbankan tercermin dari peningkatan rasio beban operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BOPO) dan cost to income ratio (CIR). Penurunan efisiensi tersebut menjadi penyebab penurunan keuntungan industri perbankan. ROA industri perbankan turun dari 2,85% di semester II 2014 menjadi 2,29%.

Penurunan kinerja perbankan diikuti dengan meningkatnya risiko.Risiko perbankan dipicu oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi, kenaikan yield SBN, serta kenaikan harga komoditas internasional. Sumber-sumber risiko ini terutama berdampak terhadap meningkatnya risiko kredit dan risiko pasar, sementara kenaikan risiko likuiditas lebih disebabkan oleh faktor musiman hari raya keagamaan.

Risiko kredit perbankan cenderung meningkat walaupun masih berada di level yang aman. Rasio Non- Performing Loan (NPL) perbankan meningkat dari 2,16%

pada akhir semester II 2014 menjadi 2,56% pada akhir semester laporan. Tingkat NPL ini masih berada di bawah threshold yang ditetapkan yaitu sebesar 5%. Kenaikan NPL terjadi di seluruh sektor ekonomi seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik yang telah berlangsung sejak akhir 2011 dan penurunan harga komoditas internasional. Kelompok debitur korporasi memberikan sumbangan kenaikan NPL tertinggi yaitu dari 1,93% menjadi 2,55%. Sementara itu, NPL kelompok

(5)

rumah tangga juga naik dari 1,48% menjadi 1,75% pada periode yang sama.

Perlambatan ekonomi global dan domestik serta penurunan harga komoditas nonmigas internasional memicu peningkatan risiko kredit sektor korporasi.

Berdasarkan Laporan Keuangan Emiten triwulan I 2015, kinerja korporasi yang tercatat di BEI melemah, tercermin dari penurunan Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE). Penurunan profitabilitas terjadi di hampir seluruh sektor, kecuali sektor perdagangan, jasa dan investasi. Emiten sektor pertanian dan sektor pertambangan mengalami penurunan kinerja keuangan terbesar sejalan dengan penurunan harga komoditas nonmigas. Hal yang perlu diwaspadai adalah penurunan kinerja korporasi yang berkelanjutan akan berdampak pada repayment capacity korporasi yang selanjutnya akan memengaruhi risiko kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan.

Risiko kredit pada sektor Rumah Tangga (RT) cenderung terjaga namun tetap perlu diwaspadai.

Hasil Survei Konsumen menunjukkan bahwa jumlah RT dengan Debt Service Ratio (DSR) di atas 30% mengalami kenaikan pada semua kelompok pendapatan. Kondisi ini cukup berisiko di tengah ekspektasi terhadap pendapatan konsumen yang relatifstabil karena akan menimbulkan ketidakseimbangan keuangan antara pendapatan dan pengeluaran. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya akan memengaruhi repayment capacity sektor RT di masa yang akan datang.

Eksposur perbankan terhadap risiko pasar pada semester laporan relatif masih terjaga sejalan dengan perilaku perbankan yang berhati-hati.Risiko pasar timbul karena bank memiliki portofolio SBN dalam kategori trading dan Available For Sale (AFS), tagihan dan kewajiban dalam valuta asing, serta tagihan dan kewajiban yang sensitif terhadap suku bunga. Sebagai konsekuensi dari eksposur tersebut, bank akan terpengaruh terhadap perubahan

harga SBN, tingkat suku bunga, dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Pada semester laporan, risiko pasar industri perbankan relatif rendah sejalan dengan penurunan outstanding portofolio SBN trading dan AFS. Sementara itu, risiko suku bunga juga relatif masih terjaga karena suku bunga DPK cenderung menurun sehingga menurunkan kewajiban bank untuk pembayaran bunga. Sedangkan risiko pasar akibat nilai tukar cenderung moderat. Pada akhir semester I 2015, perbankan mencatat kenaikan posisi long valas dibandingkan semester lalu. Meskipun posisi long valas meningkat, rasio Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan tercatat sebesar 2,59%, jauh di bawah ambang batas ketentuan yang ditetapkan sebesar 20%.

Likuditas industri perbankan pada akhir semester I 2015 menurun dibandingkan semester sebelumnya disebabkan oleh aliran keluar uang kartal menjelang Hari Raya Idul Fitri. Kondisi likuiditas yang dicerminkan dari rasio AL terhadap NCD (AL/NCD) menurun dari 99,83% pada semester II 2014 menjadi 92,50% pada semester I 2015 dan AL/DPK yang menurun dari 20,53% menjadi 19,00%

di periode yang sama.

Sementara itu, seiring dengan intermediasi perbankan secara industri, penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga tumbuh melambat disertai dengan peningkatan risiko kredit. Perlambatan ini dikarenakan pelemahan kegiatan ekonomi dan juga karena pengetatan penyaluran kredit oleh perbankan seiring dengan meningkatnya NPL kredit UMKM menjadi 4,83% pada semester I 2015. Rasio NPL tertinggi tercatat di sektor Konstruksi (9,29%), sektor Listrik, Gas & Air (7,93%) dan sektor Pertambangan & Penggalian (7,72%).

Secara umum, ketahanan industri perbankan dalam menghadapi risiko kredit, risiko pasar dan risiko likuiditas masih relatif kuat. Hasil stress test risiko kredit1 menunjukkan permodalan mengalami sedikit penurunan

1) Stress test menggunakan asumsi penurunan PDB sebesar 3% dari PDB baseline.

(6)

sebesar 8%. Sementara itu, berdasarkan hasil stress test risiko pasar2, tingkat permodalan perbankan masih mencukupi untuk menyerap kerugian yang timbul. Hasil stress test likuiditas3 perbankan dalam menghadapi shock capital outflow akibat kenaikan FFR masih menunjukkan posisi likuiditas yang relatif cukup kuat karena rasio likuiditas perbankan masih jauh berada di atas threshold sebesar 8,5%. Transmisi kepada likuiditas perbankan dilakukan melalui penurunan harga surat berharga yang dimiliki bank.

Pada semester I 2015, kinerja Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) terus mengalami peningkatan sebagaimana tercermin dari peningkatan aset Perusahaan Pembiayaan (PP) sebesar 4,14% dan Perusahaan Asuransi sebesar 2,89%. Peningkatan kinerja tersebut juga diikuti dengan peningkatan risiko sebagaimana tercermin dari peningkatan rasio NPF PP dan rasio klaim bruto terhadap premi bruto.

Salah satu potensi risiko bagi PP adalah eksposur terhadap risiko nilai tukar karena meningkatnya tren Pinjaman Luar Negeri (PLN). Walaupun demikian, sebagian besar PP telah melakukan mitigasi risiko terhadap PLN melalui hedging. Hasil stress test ketahanan permodalan PP menunjukkan dampak pelemahan nilai tukar masih terbatas. Sementara itu, asesmen risiko interconnectedness PP dengan perbankan menunjukkan keterkaitan antara PP dan perbankan mengalami penurunan.

Meski risiko usaha perusahaan asuransi mengalami peningkatan namun risiko likuiditas relatif terjaga yang tercermin dari rasio current asset terhadap current liabilities yang berada di atas threshold. Demikian halnya potensi risiko depresiasi nilai tukar dan perubahan suku bunga luar negeri relatif rendah karena ketergantungan terhadap ULN rendah. Risiko interconnectedness dengan

penempatan dana asuransi dalam bentuk DPK perbankan dan kepemilikan surat utang bank oleh perusahaan asuransi.

Sebagaimana halnya yang dialami oleh sektor keuangan konvensional, kinerja sektor keuangan syariah juga mengalami perlambatan, khususnya di 2 (dua) sektor utama, yaitu perbankan dan pasar modal. Di sektor perbankan, beberapa indikator kinerja utama mengalami penurunan yang ditandai oleh melambatnya pertumbuhan aset, penghimpunan DPK, pembiayaan syariah, dan permodalan. Rasio permodalan syariah, meski menurun namun masih berada di level yang relatif aman, yaitu sekitar 14% di akhir semester I 2015. Berbeda dengan perbankan konvensional, risiko kredit perbankan syariah yang tercermin dari Non Performing Financing (NPF) justru menurun, antara lain karena adanya konsolidasi internal di perbankan syariah. Sementara itu, risiko likuiditas mengalami peningkatan tercermin dari menurunnya rasio alat likuid yang disebabkan oleh turunnya penempatan dana perbankan syariah di Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS)4. Kondisi yang sama juga dialami oleh sektor pasar modal syariah yang menguasai 93% total aset sektor keuangan syariah. Indeks harga saham syariah mengalami penurunan sebesar 4,93% dan pertumbuhan nilai kapitalisasi pasar mengalami penyusutan dari 15,21%

pada semester II 2014 menjadi -5,08%.

Dari sisi infrastruktur sistem keuangan, penyelenggaraan sistem pembayaran selama semester I 2015 berjalan aman, efisien, dan andal, sehingga antara lain mampu mendukung terjaganya stabilitas sistem keuangan. Kinerja sistem pembayaran yang baik tersebut tercermin dari terpenuhinya target beberapa indikator antara lain tingkat ketersediaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank Indonesia Scripless

2 Stress test menggunakan kenaikan suku bunga sebesar 5%, penurunan harga SBN sebesar 25%, depresiasi nilai tukar sebesar 50%.

3 Menggunakan asumsi penurunan posisi surat berharga (trading, AFS dan HTM) berdasarkan pola historis QE 1, 2, dan 3.

4 FASBIS adalah fasilitas simpanan dalam rupiah yang disediakan oleh BI kepada bank untuk menempatkan dananya di BI dalam rangka standing facilities Syariah.

(7)

Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia sesuai dengan tingkat layanan (servicelevel) yang telah ditetapkan. Sementara itu, kinerja yang baik pada sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh industri, ditunjukkan melalui terlaksananya transaksi pembayaran oleh masyarakat dalam volume yang relatif tinggi dibandingkan dengan laporan periode sebelumnya. Selain itu, pada semester I 2015 Bank Indonesia menempuh kebijakan guna memperkuat infrastruktur pembayaran ritel melalui implementasi SKNBI Generasi II dan meningkatkan keamanan dan kelancaran pelaksanaan transaksi dan setelmen di Pasar Modal melalui implementasi penggunaan Central Bank Money (CeBM).

Risiko pada sistem pembayaran relatif terjaga selama semester I 2015. Risiko likuditas dan operasional dalam batas yang terkendali, terlihat dari kondisi saldo giro yang terjaga, serta turn over ratio dan Queue Transaction yangberada pada level yang stabil. Selain itu, risiko setelmen tercatat relatif rendah, tercermin dari rendahnya nilai dan volume transaksi pembayaran melalui Sistem BI- RTGS yang tidak dapat diselesaikan (unsettled transaction) sampai berakhirnya waktu operasional Sistem BI-RTGS (window time). Sementara itu, Bank Indonesia terus melakukan pemantauan terhadap risiko sistemik yang muncul dari keterhubungan (interconnectedness) antar peserta Sistem BI-RTGS.

Pada semester I 2015, respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia (BI) di bidang Stabilitas Sistem Keuangan diarahkan untuk mendukung tercapainya stabilitas makroekonomi serta pertumbuhan ekonomi.

Dukungan tersebut dicapai melalui pelonggaran kebijakan makroprudensial, pelaksanaan surveillance terhadap sistem keuangan dan peningkatan fleksibilitas layanan perbankan kepada pelaku ekonomi.

Pelonggaran kebijakan makroprudensial dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi intermediasi

perbankan. Relaksasi kebijakan ini diberlakukan baik terhadap sektor-sektor produktif maupun terhadap struktur pendanaan bank, meliputi pelonggaran ketentuan Rasio Loan to Value (LTV) atau Rasio Financing to Value (FTV)dan kebijakan GWM-Loan to Funding Ratio (GWM- LFR). Kebijakan LTV dan FTV ditujukan untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, baik berbasis perbankan konvensional maupun syariah. Sedangkan kebijakan GWM LFR merupakan ketentuan GWM-Loan to Deposit Ratio (LDR) yang disesuaikan lebih lanjut dengan memasukkan komponen surat-surat berharga nonsubordinasi ke dalam perhitungan pendanaan bank. Disamping untuk mendorong pendalaman dan peningkatan aktivitas di pasar keuangan, perluasan pendanaan ini memberikan tambahan ruang intermediasi bagi perbankan. Ketentuan GWM-LFR juga dimaksudkan untuk meningkatkan akses UMKM terhadap layanan perbankan, karena GWM LFR mengaitkan penyaluran kredit atau pembiayaan UMKM dengan pemenuhan GWM melalui pemberian insentif dan disinsentifbagi perbankan.

Sementara itu, kegiatan surveillance terhadap sistem keuangan ditujukan guna mengidentifikasi sumber-sumber kerentanan dan ketidakseimbangan yang dapat memicu terjadinya risiko sistemik. Surveillance terutama dilakukan terhadap Systemically Important Banks (SIB)5. Kegiatan ini dilengkapi pula oleh pemeriksaan tematik dan kepatuhan.

Pemeriksaan tematik dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam melakukan asesmen

4 SIB didefinisikan sebagai suatu bank yang karena ukuran aset, modal, kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan. Bentuk kegagalan tersebut dapat berupa operasional maupun finansial.

Risiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keter- kaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Definisi risiko sistemik dan SIB berdasarkan PBI No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial.

(8)

Sedangkan pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan makroprudensial maupun ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BI berkoordinasi dengan OJK sebagai otoritas pengaturan dan pengawasan di bidang mikroprudensial.

Sementara itu, kebijakan untuk meningkatkan fleksibilitas layanan perbankan dalam rangka memfasilitasi upaya pendalaman pasar keuangan dilakukan melalui amandemen terhadap ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN).

Ketentuan ini memberikan keleluasaan bagi perbankan untuk mengelola eksposur valuta asing dengan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang sehat.

BI juga meningkatkan koordinasi dengan otoritas lain. Selain di bidang pemeriksaan, BI juga berkoordinasi dengan OJK yang diformalkan dalam Forum Koordinasi Makro dan Mikro (FKMM). Area koordinasi antara lain meliputi implementasi Memorandum of Understanding pengawasan bank antara BI dengan OJK, information sharing, koordinasi dan penyelarasan kebijakan, termasuk pelaksanaan supervisory action terhadap bank-bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain dengan OJK, peningkatan koordinasi juga dilakukan melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) khususnya dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian dikemukakan meliputi data perbe- daan skor total tes pemahaman awal konsep genetika, data kelompok konsep genetika yang banyak tidak dapat dijawab

 Metode penyimpulan : Jika nilai indikator yang diperoleh dari hasil pemantauan termasuk sedang dan buruk, maka kegiatan pengelolaan di kawasan yang memiliki NKT1.2 yang

1) Sarana dan Prasarana Pendidikan (Pembangunan, Rehab dan Fasilitasi); 2) Kurikulum Pendidikan 2013; 3) Peningkatan Kapasitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK); 4)

Dalam melakukan penghitungan tersebut, diperlukan beberapa data seperti, gambar rencana bangunan yang berisi informasi bentuk bangunan, volume atau quantity

• Prinsipnya adalah membuat gambar-gambar tersebut (edit & hapus) menjadi link, yang kalau di klik akan mengirim kolom id data ke halaman lain (mis editData.php

Sejumlah 100 gram daun sirih merah kering yang telah halus direndam dalam pelarut organik (n-heksana) sampai terendam selama tiga hari, kemudian disaring. Filtrat yang

Pengujian tegangan tembus dari masing-masing elektroda yaitu jenis runcing-runcing, kotak-kotak, dan bola-bola nilai tegangan tembus pada minyak isolasi baru

Hal ini bisa dilihat bahwa konsentrasi logam Pb total pada daun memang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan daun mangrove lainnya dan juga didukung oleh konsentrasi