Hubungan Antara Kelekatan Aman Orang Tua-Anak dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja akhir
The Relationship Between Parent-Child Secure Attachment and Emotional Intelligence Among Late Adolescence
Muth’mainnah Amaliah Syam1, Dr. M. Wahyu Kuncoro, S.Psi., M.Si2
12Universitas Mercu Buana Yogyakarta
12 muthmainnaamaliah@ gmail .com
12082291256349
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan aman orang tua-anak dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir. Hipotesis yang diajukan adalah hubungan positif antara kelekatan orangtua-anak dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir. Jadi semakin tinggi kelekatan aman yang dimiliki orang tua terhadap anak maka semakin tinggi kecedasan emosinya. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang memiliki karakteristik 17-22 tahun. Cara pengambilan subjek dengan menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan data penelitian ini menggunakan Skala Kecerdasan Emosi dan Skala Kelekatan Aman Orangtua. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment dari Karl Pearson. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh koefisien korelasi kelekatan aman dengan orang tua (R) sebesar 0,389 dangan P = 0,001 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kelekatan aman dengan kecerdasan emosi. Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan koefisien determinasi (Rsquared) sebesar 0,97 yang berarti kelekatan aman dengan ibu memberikan sumbangan efektif sebesar 9,7% terhadap kecerdasan emosi, selanjutnya koefisien determinasi (Rsquared) sebesar 0,137% yang berarti kelekatan aman dengan ayah memberi sumbangan efektif sebesar 13,7% terhadap kecerdasan emosi.
Kata kunci : Kelekatan Aman, Kecerdasan Emosi
Abstract
This study aims to determine the relationship between parent-child secure attachment and emotional intelligence in late adolescence. The hypothesis proposed is a positive relationship between parent-child attachment and emotional intelligence in late adolescence. So the higher the secure attachment that parents have to their children, the higher their emotional intelligence. Subjects in this study amounted to 60 people who have the characteristics of 17-22 years. How to take the subject by using purposive sampling method. The data collection in this study used the Emotional Intelligence Scale and the Safe Attachment Parental Scale. The data analysis technique used is the product moment correlation of Karl Pearson. Based on the results of data analysis, the correlation coefficient of safe attachment with parent (R) was 0.389 with P = 0.001 (p <0.05). This shows that there is a positive relationship between secure attachment and emotional intelligence. The acceptance of the hypothesis in this study shows the coefficient of determination (Rsquared) of 0.97 which means safe attachment to the mother contributes 9.7% to emotional intelligence, then the coefficient of determination (Rsquared) is 0.137% which means safe attachment to the father contributes effective by 13.7% on emotional intelligence.
Keywords: Secure Attachment, Emotional Intelligence
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa menurut (Mohammad, A 2004). Remaja mengalami transisi dari masa anak-anak menuju dewasa disertai dengan perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun (Santrock, 2003).
Fenomena yang terjadi saat ini remaja sangat mudah dalam mengakses internet dan semakin banyak juga jenis media sosial seperti Face Book, Twitter, Instagram dsb. Remaja saat ini lebih mudah dalam meluapkan emosinya di media sosial tanpa memikirkan apa saja nanti dampaknya didunia nyata (Dewi & Savira, 2017). Remaja ketika melihat suatu fenomena baik yang sedang tren atau suatu kejadian yang terjadi di kehidupan sehari-hari cenderung terbawa emosi. Seperti halnya ketika melihat suatu postingan di media sosial, contoh mengenai kasus yang sempat viral di media sosial tentang Audrey seorang siswi Sekolah Menengah Pertama yang terjadi pada tahun 2019. Di mana Audrey mengalami pengeroyokan dan penganiayaan oleh sejumlah siswi SMA yang dipicu masalah asmara dan saling balas komentar di media sosial (Dahono, 2019) Meskipun hal tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya akan tetapi remaja sudah mulai mengasumsikan bahwa hal tersebut memang benar adanya dan sulit dalam mengontrol emosi.
Dampak dari perilaku ramaja yang melakukan penyalahgunaan layanan media sosial seperti Cyberbullying. Cyberbullying merupakan suatu Tindakan perundungan yang dilakukan seseorang dengan menggunakan media sosial (Riswanto & Marsinun, 2020) Ketika remaja memiliki permasalahan secara personal dengan seseorang tidak jarang remaja melakukan suatu tindakan seperti pembulyan melalui media sosial seperti menjelek-jelekan seseorang dan melebihkan suatu permasalahan. Remaja lebih cenderung menilai suatu tindakan dari satu sisi tanpa melihat sisi lain, sehingga remaja mengalami penurunan dalam pengelolaan emosi dalam dirinya dan meluapkan emosinya tanpa memikirkan dampak kedepannya (Dewi & Savira, 2017).
Remaja saat ini dalam melakukan segala Sesutu harus bisa serba cepat dan tidak jarang juga semua hal yang diinginkan oleh mereka harus terpenuhi. Akibat dari itu menjadikan tren yaitu You Only Live Once atau sering didengar “YOLO” dan sering berkonotasi negatif. Dalam mencapai hal tersebut tidak mudah melainkan memalului proses yang panjang untuk mencapainya (Novianti, 2017).
Perkembangan emosional yang terjadi pada setiap individu terkadang sangat sulit utuk diklasifikasikan , karena setiap individu sulit menyatakan perasaan yang dirasakan selain itu adapula faktor lain seperti lingkungan, pengalaman dan kebudayaan (Mohammad A, 2004). Menurut Yusuf (dalam Purnama & Wahyuni, 2017) perubahan sosial yang dialami pada masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan untuk mencapai kematangan dalam hubungan sosial atau perubahan untuk dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang diberlakukan dalam suatu kelompok. Sehingga di dalam perjalanan remaja menuju ke masa dewasa, remaja harus berusaha untuk mempunyai peran dalam kehidupan sosialnya (Sarwono, 2013).
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku atau tindakan remaja adalah kecerdasan emosional. Menurut Goleman (1996) kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan untuk menghadapi frustasi, mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan serta kemampuan berempati dan berdoa. Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskan, seraya memperluas kemampuan ini
menjadi lima wilayah (dalam Goleman, 1996) yaitu : (1) Mengenali emosi diri, (2) Mengelola emosi, (3) Memotivasi diri, (4) Mengenali emosi orang lain, (5) Membina hubungan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaningrum (2013) diperoleh gambaran kecerdasan emosi pada remaja akhir bahwa sebagian besar masuk dalam kategorisasi sedang sebanyak (37%) sebanyak sepuluh subjek dan subjek yang masuk dalam kategorisasi rendah dan tinggi memiliki persentase yang sama yaitu (25,9%) masing-masing dengan tujuh subjek. Subjek dengan tingkat kecerdasan emosi yang sangat rendah sebanyak (3,7%) satu subjek dan kategori sangat tinggi sebanyak (7,4%) dua subjek. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi pada remaja akhir berada pada kategori sedang.
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2021, Menggunakan metode wawancara melalui media sosial WhatsApp Call, dikarenakan saat ini sedang pandemi sehingga peneliti memutuskan menggunakan metode wawancara secara online dengan 14 subjek remaja akhir dengan rentang usia 17 sampai 22 tahun dan menggunakan pertanyaan dari dimensi kecerdasan emosi dari Salovey gardner (dalam Goleman, 1996) yaitu : mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain. Dari wawancara yang dilakukan diperoleh data sebanyak 10 dari 14 subjek yang memiliki permasalahan kecerdasan emosi. Seperti dalam mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, subjek merasa kurang bisa mengenali emosi yang ada dalam diri, seperti ketika merasakan suatu emosi, subjek sulit untuk menempatkan emosinya dengan baik.
Subjek merasa emosi tidak semua dapat dikelola dengan baik, jika subjek merasa emosi itu masih ringan subjek masih bisa mengendalikannya akan tetapi ketika permasalahan yang dialami berat subjek terkadang tidak bisa melakukan aktifitas karena saling bertentangan dengan perasaan subjek. Dalam memahami orang lain subjek merasa sulit dalam memahami emosi orang lain karena masing-masing orang memiliki permasalahan yang berbeda-beda.
Pada aspek mengenali emosi diri, 10 subjek dalam mengenali emosi dalam diri merasa kurang bisa mengenali emosinya secara baik. Seperti ketika subjek merasa sedih atau senang subjek hanya merasakan emosinya tanpa subjek merasakan apa sebab dari emosi yang dirasakan. Dalam aspek mengontrol emosi rata-rata dari subjek sudah bisa dalam mengelola emosi. Dalam aspek memotivasi diri subjek merasa terkadang sudah bisa dalam memotivasi diri akan tetapi tergantung dari permasalahan yang dialami jika permasalahan itu ringan subjek cepat bangkit dari permasalahan yang dialami akan tetatpi jika permasalahan yang dialami berat subjek juga dapat larut dalam permasalahan tersebut.
Pada aspek mengenali emosi orang lain, 6 subjek merasa kurang bisa dalam mengenali emosi orang lain. Menurut subjek, emosi seseorang tidak bisa diketahui apabila orang tersebut tidak menceritakan apa yang dirasakan sehingga subjek kurang memahami emosi apa yang dirasakan seseorang. Dalam aspek membina hubunga denga orang lain, keseluruhan subjek dapat membina hubungan dengan orang lain baik lingkungan baru maupun lama. Dari 11 subjek hanya 3 subjek yang
susah dalam beradptasi dengan lingkungan baru. Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kesepuluh subjek memiliki permasalahan kecerdasan emosi.
Menurut Goleman (dalam Sarwono, 2013) keberhasilan atau kegagalan yag dialami individu tergantung pada kecerdasan emosinya. Semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki individu maka semakin bisa individu tersebut mengatasi masalah yang dialami, terkhusus dalam memerlukan kendali emosi yang kuat. Kecerdasan Emosi sangat berhubungan dengan kualitas kehidupan individu, seperti individu bisa hidup dalam ketenangan batin, empati dan kedamaian (Wesfix, 2016). Menurut Suparman dkk, (2020) kelekatan aman ini sangat mempengaruhi perkembangan anak dalam aspek sosial, emosi dan spiritual. Pentingnya kecerdasan emosi pada remaja, karena remaja pada umumnya mudah terpengaruh oleh teman sebaya, baik pengaruh positif maupun negatif (Yunalia & Etika, 2020).
Menurut Goleman (1996) ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi, yaitu:
faktor lingkungan keluarga dan faktor lingkungan non keluarga. Faktor lingkungan keluarga adalah sekolah pertama anak untuk mempelajari emosi (Helmawati, 2014). Di dalam keluarga bagaimana anak dapat belajar merasakan emosi baik diri sendiri maupun emosi orang lain (Goleman, 1996).
Sementara itu lingkungan non keluarga adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan Pendidikan merupakan faktor yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kecerdasan emosi. seperti pergaulan dengan teman sebaya, guru dan masyarakat luas (Goleman, 1996).
Nihara, Tamiyazu dan Yoshikazo (dalam Adekeye et al., 2015) Faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi adalah kelurga, hubungan antara aspek afektif dan emosional dan perilaku orang tua dan penyesuaian emosional anak dapat dipengaruhi melalui keluarga dan budaya tertentu. Hal ini menjelaskan pentingnya keluarga karena pembelajaran terjadi melalui interaksi antara anak dan anggota keluarganya terutama orang tua. dalam penelitian ini peneliti memilih lingkungan keluarga sebagai faktor yang mempengaruhi Kelekatan yang aman dapat memberikan efek yang positif terhadap kecerdasan emosi individu. Kelekatan terhadap orang tua pada masa remaja dapat membantu remaja dalam bersosial dan kesejahteraan sosial remaja. Santrock (dalam Purnama &
Wahyuni, 2017) Apabila anak yang mengalami gaya kelekatan yang tidak aman atau insecure akan mengarah kepada emosi yang negatif dan mudah merasakan stress Kafetsios, (dalam Damara &
Aviani, 2020).
Kelekatan (attachment) adalah suatu ikatan emosional yang menetap dan bersifat timbal balik antara bayi dan pengasuh. Hal tersebut masing-masing berkontribusi terhadap kualitas hubungan tersebut (Papalia, Olds, Feldman, 2009). Menurut Desmita (2012) kelekatan aman suatu keterikatan antara remaja dan orang tua yang terjalin dan dapat membantu remaja dalam kompetensi sosial serta kesejahteraan sosialnya seperti harga diri, penyesuaian emosional dan kesehatan fisik. Sehingga remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tuanya memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik.
Kelekatan aman yang terjalin antara orang tua-anak ditandai dengan adanya rasa saling percaya dan komunikasi yang terjalin secara hangat antara anak dengan orang tua (Purnama &
Wahyuni, 2017). Menurut Armsden dan Greenberg (1987) kelekatan adalah ikatan afeksi antara dua individu yang memiliki intensitas yang kuat. kelekatan aman dilihat dari tiga dimensi dasar dalam skala IPPA (Inventory Parent and Peer Attachment) yang disusun oleh Armsden & Greenberg (dalam Guarnieri et al., 2010) yaitu: Kepercayaan (trust), Komunikasi (communication) dan Keterasingan (alienation).
Orang tua merupakan figur sentral yang mampu memberikan bekal pengalaman kepada remaja seperti bagaimana cara bertingkah laku, bersikap, bagaimana bersosialisasi di lingkungan masyarakat. Melalui pengalaman emosi yang di dapatkan remaja ketika sedang berinteraksi dengan keluarga terutama orang tua. Hubungan yang terjalin antara orang tua dan remaja nantinya akan menentukan kecerdasan emosi pada diri remaja. orang tua merupakan figur sentral yang mempunyai peran penting dalam perkembangan remaja. karena dasar hubungan pribadi remaja diperoleh pertama kali dalam hubungannya dengan orang tua Sehingga kecerdasan emosi dapat terbentuk karena kelekatan yang orang tua berikan kepada anak sehingga membantu anak melewati masa transisi menuju dewasa. kelekatan yang aman yang terjalin antara orang tua dan remaja(Pratiwi, Rezky., &
Utami, 2021).
Penelitian yang dilakukan (Al-Yagon, 2011) menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki gaya kelekatan aman akan menunjukkan kemampuan pengaturan emosi, kempuan bersosialisasi dan kesejahteraan psikologis yang lebih baik daripada anak yang memiliki gaya kelekatan tidak aman.
Kelekatan aman yang terjalin antara orang tua dan anak ditandai dengan adanya rasa saling percaya dan komunikasi yang baik. Kepercayaan remaja terhadap orang tua di mana orang tua mampu memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginan remaja. Sedangkan komunikasi yang terjalin antara remaja dan orang tua berkaitan dengan sensitive dan responsive terhadap keadaan emosional dan menilai sejauhmana keterlibatan yang terjalin baik secara verbal (Purnama & Wahyuni, 2017).
Dari uraian di atas, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini apakah ada hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir?
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan antara Kelekatan Aman Orang Tua- Anak dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja Akhir.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat secara teoritis adalah memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi perkembangan.
b. Manfaat praktis adalah memberi masukan kepada remaja akhir tentang pentingnya kecerdasan emosi dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
METODE
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan Skala. Skala yang digunakan menggunakan skala sikap model Likert Likert yaitu skala yang berisi pernyataan- pernyataan sikap yaitu suatu pernyataan mengenai objek sikap. Pernyataan sikap terdiri atas dua macam yaitu favourable (mendukung atau memihak pada objek sikap) dan pernyataan unfavourable (tidak mendukung objek sikap) (Azwar, 2017). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan penarikan sampel yang dilakukan dengan memilih subjek dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016). Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment yang dikembangkan oleh Pearson untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosi dengan kelekatan aman. Peneliti menggunakan Teknik analisis korelasi product moment sesuai untuk menguji hipotesis mengenai 2 variabel. Pada penelitian ini terdapat 2 skala yang akan digunakan peneliti untuk mengukur variabel-variabel penelitian, yaitu Skala Kecerdasan Emosi dan Skala Kelekatan Aman dibagi menjadi dua bagian yakni, Skala Kelekatan Aman dengan
Ibu dan Skala Kelekatan Aman dengan Ayah.HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan korelasi product moment (pearson correlation) yang dikembangkan oleh Karl pearson. Teknik korelasi (pearson correlation) digunakan untuk menetapkan hubungan antara dua variabel yaitu variabel terikat dengan variabel bebas. Pedoman yang digunakan untuk uji korelasi adala apabila p< 0.050 berarti terdapat korelasi antara variabel dan apabila p ≥ 0.050 berarti tidak ada korelasi antara variabel.
Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment (pearson correlation) diperoleh koefisien korelasi (rxy) = 0,389 dengan taraf signifikan P = 0,001 (P < 0,050). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variabel kelekatan aman orang tua dengan kecerdasan emosional pada remaja akhir, sehingga hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini diterima. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti bahwa terdapat hubungan positif antara kelekatan aman orang tua-anak dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir. Jadi semakin tinggi kelekatan aman yang dimiliki orang tua terhadap anak maka semakin tinggi kecerdasan emosi.
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Rani (2018) menunjukkan bahwa kelekatan anak dengan orang tua memiliki peran positif terhadap peningkatan kecerdasan emosional. Menurut Armsden dan Greenberg (1987) kelekatan adalah ikatan afeksi antara dua individu yang memiliki intensitas yang kuat. Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini diperoleh koefisien determinasi (R2) sebeasar 0.97%, menunjukkan variabel kelekatan aman ibu memberikan sumbangan efektif sebesar 9,7% terhadap kecerdasan emosi dan sisanya 90,3% sedangkan koefisien determinasi (R2) 0.137%
menunjukkan variabel kelekatan aman ayah memberingan sumbangan efektif sebesar 13,7% terhadap kecerdasan emosi dan sisanya 86,3% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti. Menurut (Shapiro, 1997) kecerdasan emosional tidak bersifat menurun, namun terbentuk dari proses yang terjadi dilingkungan yang disebabkan oleh alam. Menurut bronfenbrenneur dalam (Zubaidillah, 2018) perkembangan seseorang dapat dipengaruhi dari lingkungan atau konteks sosial.
Diketahui juga bahwa ada faktor lain selain kelekatan aman dengan orang tua yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosio, seperti lingkungan non keluarga yakni lingkungan teman sebaya, lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Pada penelitian ini tidak memperdalam mengenai faktor lain dan hanya berfokus pada kelekatan aman dengan orang tua.
Menurut Goleman (1996) kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memotivasi diri dan bertahan untuk menghadapi frustasi, mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan serta kemampuan berempati dan berdoa. Jadi ketika individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik nantinya dapat membantu individu dalam mengenali dan mengelola emosinya sendiri dan mampu mengenali emosi orang lain dan lebih mudah dalam berinteraksi dengan lingkungan baru. Selain itu kelekatan aman yang terjalin antara orang tua dengan remaja dapat membantu remaja dalam kompetensi sosial serta kesejahteraan sosialnya seperti harga diri, penyesuaian emosional dan kesehatan fisik (Desmita, 2012).
Menurut Widayanti (2012) Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memahami secara spontan apa yang dibutuhkan dan dirasakan orang lain. Kemampuan untuk mengatasi tekanan, kemampuan pribadi yang dapat mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga keberadaanya banyak disukai orang lain, serta kemampuan untuk membaca situasi sosial politik dan kemampuan yang dimiliki agar dapat memotivasi diri agar menjadi pribadi yang matang.
Menurut Desmita (2012) Kelekatan aman yang terjalin antara orang tua dengan remaja dapat membantu remaja dalam kompetensi sosial serta kesejahteraan sosialnya seperti harga diri, penyesuaian emosional dan kesehatan fisik. Sehingga nantinya ketika remaja memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tuanya serta memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Dari hasil Penelitian yang dilakukan (Al-Yagon, 2011) menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki gaya kelekatan aman akan menunjukkan kemampuan pengaturan emosi, kempuan bersosialisasi dan kesejahteraan psikologis yang lebih baik daripada anak yang memiliki gaya kelekatan tidak aman.
Berdasarkan hasil dari kategorisasi skala kecerdasan emosi dengan 60 subjek dapat dilihat pada tabel 9 menunjukkan terdapat 18 responden dengan persentase sebesar 30% sedangkan tingkat kecerdasan emosi pada kategorisasi sedang lebih banyak dari pada kategorisasi tinggi yakni sebanyak 42 responden dengan persentase 70%. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden pada penelitian ini memiliki kecerdasan emosi dengan kategori sedang. Artinya remaja akhir sudah bisa mengenali emosi dalam diri, mengontrol emosi ketika dihadapkan oleh suatu hal, dapat memotivasi dirinya, mengenali emosi orang lain dengan baik dan dapat membina hubungan dengan orang lain seperti dapat bersosialisasi dengan baik di lingkungannya.
Berdasarkan hasil dari kategorisasi skala kelekatan aman dengan 60 subjek dapat dilihat pada tabel 10. Pada kategorisasi tinggi terdapat 24 subjek dengan persentase 40%, kemudian untuk kategorisasi sedang dengan kategorisasi yaitu sebanyak 30 subjek dengan persentase 50%, sedangkan pada kelekatan aman dengan kategorisasi rendah hanya terdapat 6 subjek dengan persentase 10%.
Dari kategorisas kelekatan aman dapat disimpulkan sebagian besar remaja akhir pada penelitian ini memiliki tingkat kelekatan aman dengan dengan kategorisasi sedang. Dapat diketahui bahwa remaja akhir dalam kategorisasi sedang karena adanya keterbukaan seperti hal kepercayaan, komunikasi sudah baik dengan ibu, ibu juga merupakan sekolah pertama untuk anak-anaknya jadi ibu memiliki peran penting juga untuk tumbuh kembang anak, meskipun masih ada beberapa subjek yang mungkin masih susah dalam mengkomunikasikan sesuatu hal dengan ibu atau ada faktor lain juga yang memperngaruhi remaja tidak terlalu terbuka kepada ibu atau ada hal yang lainnya.
Berdasarkan hasil dari kategorisasi skala kelekatan aman dengan 60 subjek dapat dilihat pada tabel 11. Pada kategorisasi tinggi terdapat 17 subjek dengan persentase 28%, kemudian untuk kategorisasi sedang dengan kategorisasi yaitu sebanyak 33 subjek dengan persentase 55%, sedangkan pada kelekatan aman dengan kategorisasi rendah hanya terdapat 10 subjek dengan persentase 16%.
Dari kategorisas kelekatan aman dengan ayah dapat disimpulkan sebagian besar remaja akhir pada penelitian ini memiliki tingkat kelekatan aman dengan kategorisasi sedang. Dapat diketahui bahwa remaja akhir memiliki tingkat kelekatan yang sedang dengan ayah karena adanya keterbukaan yang dimiliki remaja seperti hal kepercayaan, komunikasi sudah baik dengan ayah, meskipun masih ada beberapa subjek yang mungkin masih susah dalam mengkomunikasikan sesuatu hal dengan sang ayah atau tidak terlalu dekat dengan ayah atau ada faktor lain juga yang memperngaruhi remaja tidak terlalu terbuka kepada ayahnya.
Dari hasil kelekatan orang tua juga diketahui ayah memiliki tingkat kelekatan lebih besar dari ibu yakni (55%) dan untuk kelekatan ibu sebesar (50%). Meskipun hanya selisih (5%) saja dapat kita ketahui bahwa peran kelekatan aman ayah sangat memepengaruhi remaja akhir.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif anatara kecerdasan emosi dengan kelekatan aman orang tua-anak pada remaja akhir. Koefisien korelasi antara kelekatan aman orantua dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir sebesar (rxy) = 0,389 dengan taraf signifikan p = 0,001 (p <0,050). Hubungan Positif memiliki arti bahwa semakin tinggi kelekatan aman yang dimiliki orang tua terhadap anak maka semakin tinggi kecerdasan emosi. Dari hasil kategorisasi dapat diketahui bahwa sebagian besar remaja akhir memiliki kelekatan aman dengan ibu pada tingkatan sedang yaitu sebesar (50%) dengan jumlah subjek 30, untuk kelekatan aman ayah berada pada tingkatan sedang yaitu sebesar (55%) subjek 33 dan pada kecerdasan emosi pada tingkatan sedang sebesar (70%) dengan jumlah subjek 42. Koefisien
dterminasi (R2) sebesar 0,97% yang menunjukkan bahwa variabel kelekatan aman pada ibu memberikan kontribusi (9,7%) dan sisaya (90,3%) dan Koefisien dterminasi (R2) sebesar 0,137%
yang menunjukkan bahwa variabel kelekatan aman pada ayah memberikan kontribusi (13,7%) dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Seperti lingkungan non keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Adekeye, O., Adeusi, S., Odukoya, J., & Godspower, C. (2015, November). Correlates between Parenting Styles and the Emotional Intelligence: A Study of Senior Secondary School Students in Lagos State. In Proceedings of the 8th annual International Conference of Education, Research and Innovation (pp. 8076-8084).
Al-Yagon, M. (2011). Adolescents’ Subtypes of Attachment Security with Fathers and Mothers and Self-Perceptions of Socioemotional Adjustment. Psychology, 02(04), 291–299.
https://doi.org/10.4236/psych.2011.24046
Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (1987). The inventory of parent and peer attachment:
Individual differences and their relationship to psychological well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 16(5), 427–454. https://doi.org/10.1007/BF02202939
Azwar, S. (2017). Metodologi Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahono, Y. (2019). Saat Remaja Tak Bisa Kendalikan Diri di Media Sosial. Berita Satu. com. . https://www.beritasatu.com/news/550691/saat-remaja-tak-bisa-kendalikan-diri-di-media-sosial
Damara, G., & Aviani, I. (2020). Kelekatan Dan Kecerdasan Emosi Pada Siswa Sekolah Menengah Atas Relationship Between Attachment and Emotional Intelligence Among High. 15(2), 151–
160.
Desmita. (2012). Psikologi perkembangan. PT Remaja Rosdakarya.
Dewi, W. R., & Savira, S. I. (2017). Kecerdasan Emosi dan Perilaku Agresi di Social Media Pada Remaja. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 7(2), 82.
https://doi.org/10.26740/jptt.v7n2.p82-87
Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, T. Hermaya Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Guarnieri, S., Ponti, L., & Tani, F. (2010). The inventory of parent and peer attachment (IPPA): A study on the validity of styles of adolescent attachment to parents and peers in an Italian sample.
TPM - Testing, Psychometrics, Methodology in Applied Psychology, 17(3), 103–130.
Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga (N. Mulawati (ed.)). PT Remaja Rosdakarya.
Mohammad, A. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik.
Novianti, A. (2017). YOLO, Pedoman Hidup Kaum Millenial yang Sering Salah Diartikan. Kumparan STYLE. https://kumparan.com/kumparanstyle/yolo-pedoman-hidup-kaum-millenial-yang-sering- salah-diartikan
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (Psikologi Perkembangan). Dialihbahasakan oleh Anwar, A. K. Jakarta kencana.
Purnama, R. A., & Wahyuni, S. (2017). Kelekatan (attachment) pada ibu dan ayah dengan kompetensi sosial pada remaja. Jurnal psikologi, 13(1), 30-40. https://doi.org/10.24014/jp.v13i1.2762
Rani, E. S. (2018). Peran Kelekatan Aman dengan Orang Tua Terhadap Kecerdasan Emosional Pada Remaja Awal. Universitas Gadjah Mada.
Riswanto, D., & Marsinun, R. (2020). Perilaku cyberbullying remaja di mediasosial. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 12(2), 98-111.
Santrock, J. W. (2003). Adolesence perkembangan remaja (terjemahan). Jakarta: Erlangga
Sarlito, S. W. (2013). Psikologi Remaja, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Shapiro, L. E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Kombinasi (mixed methods).
Bandung: Alfabeta
Utami, M.D., & Pratiwi, R. G. (2021). Remaja yang Dilihat dari Kelekatan Orang Tua Terhadap Kecerdasan Emosi. Jurnal Ilmiah PSYCHE, 15(1 Juli), 35–44.
Wesfix, T. (2016). Emotional Intelligence itu dipraktekin. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Widayanti, I. (2012). Belajar Bahagia Bahagia Belajar (D. Kusmayadi (ed.)). PT Arga Tilanta.
Widyaningrum, F. O. (2013). Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Asertif pada Remaja Akhir.
Universitas Sanata Dharma.
Yunalia, E. M., & Etika, A. N. (2020). Analisa kecerdasan emosional remaja tahap akhir berdasarkan jenis kelamin. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(4), 477–484.
Zubaidillah, M. H. (2018). Teori-teori Ekologi, Psikologi dan Sosiologi Untuk Menciptakan Lingkungan Pendidikan Islam. Pendidikan Islam 1, 2, 83–102.