• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pola makan penduduk Indonesia cukup unik. Pada umumnya makan orang Indonesia sangat ketergantungan pada bahan pangan pokok beras, sebagai sumber karbohidratnya. Beras disebut bahan pangan pokok, karena setiap kali makan, baik makan pagi, makan siang atupun makan malam, bahan pangan beras yang berupa nasi merupakan menu utama, Ada gurauan yang berkembang di tengah mayarakat bahwa untuk orang Indonesia pada umumnya, sekalipun sudah kenyang, menyantap berbagai bahan makanan, kalau belum menyantap nasi, menganggap dirinya

“belum makan”. Porsi bahan pangan pokok, setiap kali makan, paling besar dibandingkan dengan porsi bahan pangan lain sebagai lauk pauknya. Konsumsi serealia yang paling banyak dikonsumsi orang Indonesaia adalah golongan padi- padian, hingga mencapai mencapai lebih dari 60%. Sementara menurut Angka Kebutuhan Gizi (AKG) sesuai dengan standar Pola Pangan Harapan (PPH) konsumsi padi-padian sudah cukup dengan proporsi 40% (Kemenkes, 2018).

Artinya konsumsi serealia sudah sangat berlebih, Persoalannya mungkin konsumsi nutrisi selain karbohidrat yang masih kurang. Kondisi seperti ini tidak berlebihan apabila berdampak pada konsumsi perkapita beras Indonesia paling besar dibandingkan dengan konsumsi beras perkapita negara-negara tetangga.

Konsumsi beras perkapita Indonesia seiring dengan berjalannya waktu sebetulnya sudah berhasil ditekan. Pada tahun 2015 konsumsi beras perkapita masih 98,36 kg/tahun. Perkembangan dalam lima tahun terakhir menunjukkan kondisi yang semakin baik. Pada tahun 2017 konsumsi beras nasional 97,64 kg/kapita/tahun, dan pada tahun 2020 sudah mencapai 94,02 kg/kapita/tahun.

Sekalipun demikian konsumsi beras Indonesia masih tertinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Konsumsi beras Malaysia pada pada tahun 2015 sudah 90 kg/kapita /tahun, Thailand lebih kecil lagi, hanya 80 kg/kapita/tahun. Dibandingkan dengan konsumsi beras perkapita negara maju Jepang, konsumsi beras perkapita Indonesia mencapai dua kali lipat. Beranjak dari pola konsumsi makan yang beras oriented ini pula yang menjadikan beras sering kali dijadikan indikator untuk mengukur ketersediaan stock pangan nasional. Ilustrasi konsumsi perkapita beras

(2)

Indonesia dibandingkan dengan konsumsi beras perkapita negara lain dapat dilihat Gambar 1.

Sumber : LIPI 2019

Gambar 1. Ilustrasi Komparasi Konsumsi Beras Perkapita Indonesia dan Negara Lain

Berdasarkan data (BPS 2021), pada tahun 2020, produksi pangan (beras) Indonesia telah mencapai 54,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), termasuk negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia. Peringkat pertama adalah Tiongkok pada angka produksi 214 juta ton dan India di peringkat kedua 172 juta ton. Namun untuk menutupi kebutuhan konsumsi beras di dalam negeri pada tahun 2020 masih harus impor yang jumlahnya mencapai 356.286 ton. Rincian volume dan nilai impor beras Indonesia tahun 2020 dari berbagai negara dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1. Volume dan Nilai Impor Beras Tahun 2020

No Negara Volume

(ton)

Nilai (Juta $ AS)

1 Pakistan 110.516 41,51

2 Vietnam 88.716 51,1

3 Thailand 88.593 76,3

4 Myarmar, India dll 68.461 26,49

Jumlah 356.286 195,4

Sumber : BPS 2020

Amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012, impor pangan adalah bisa dilakukan dan legal namun harus merupakan pilihan terakhir dan hanya dilakukan dalam kondisi darurat mendesak. Nyatanya selama sepuluh tahun lima tahun terakhir BPS masih mencatat impor beras. Catatan impor beras Indonesia semenjak tahun 2010 sampai tahun 2020 disajikan dalam ilustrasi grafis Gambar 2.

60

80

90 94

0 20 40 60 80 100

Jepang Thailand Malaysia Indonesia

Dalam satuan kg/tahun

(3)

Sumber : BPS 2020

Gambar 2. Volume Impor Beras Indonesia Tahun 2010-2020 (Dalam satuan Ton) Amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, dalam membangun ketahanan pangan nasional dilakukan melalui pendekatan kontribusi potensi ekonomi domestik. Setiap daerah diharapkan mampu menyediakan pangan yang cukup secara mandiri bagi seluruh penduduk di wilayahnya. Ketersediaan bahan pangan daerah diutamakan sedemikian rupa bersumber dari produksi dalam negeri dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau secara berkelanjutan (Suryana 2014).

Nyatanya tidak semua daerah memiliki potensi sumberdaya untuk memproduksi bahan pangan secara mandiri. Ada darah yang minus bahan pangan kalau diasumsikan pasar tertutup namun tidak ada pula daerah yang memiliki sumberdaya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan sehingga mampu memproduksi bahan pangan secara mandiri. Daerah seperti ini selaian dapat memproduksi pangan untuk kebutuhan daerahnya sendiri juga dapat berkontribusi untuk menyalurkannya untuk ketersediaan pangan di daerah lain.

Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu daerah otonomi di Provinsi Jawa barat yang surplus bahan pangan beras. Sebagai ilustrasi produksi beras Kabupaten pada Tahun 2021 adalah 456.159 ton. Padahal kebutuhan untuk konsumsi pada

687,581.5

2,750,476.2

1,810,372.3

472,664.7 844,163.7

861,601.0

1,283,178.5

305,274.6

2,253,824.5

444,508.8 356,286.0 -

500,000.0 1,000,000.0 1,500,000.0 2,000,000.0 2,500,000.0 3,000,000.0

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

(4)

waktu yang sama adalah 204.316 ton, sehingga Kabupaten Tasikmalaya memiliki surlus pangan beras pada waktu tersebut sebesar 251.843 ton. Perkembangan besarnya produksi, kebutuhan konsusmsi dan surplus pangan beras Kabupaten Tasikmalaya selama periode tahun 2017-2021 dapat dilihat, ilustrasi grafis Gambar 3.

Sumber : BPS 2022

Gambar 3. Produksi, Konsumsi dan Surplus Beras Kab Tasikmalaya 2017-2021

Produksi beras di Kabupaten Tasikmalaya, berdasarkan asal tanamannnya, disamping dihasilkan dari lahan sawah, terdapat juga produksi padi yang dihasilkan dari lahan ladang. Sedangkan dilihat dari perlakuan dan penggunaan jenis input organik/non organik, maka beras yang dihasilkan juga ada beras organik dan beras non organic yang sering kali dapat dilihat di pasaran umum. Dilihat dari warna berasnya, dikenal tiga jenis beras, yaitu beras putih, beras merah dan beras hitam.

Tentang warna beras ini Mubiar Purwasasmita dan Alik Sutaryat (2018), menyatakan terdapat tiga jenis warna beras yang ada di dunia, pertama adalah beras putih, kedua ada beras merah dan yang ketiga adalah beras hitam. Beras merah, beras hitam, dan beras putih organik kini di labeli dengan brand beras sehat. Istilah beras sehat ini tentu mengacu pada jenis beras yang dihasilkan dari budidaya padi secara organik SRI (system of rice intensification) yang artinya sistem intensifikasi beras dimana intensifikasi merupakan pengolahan lahan pertanian yang ada dengan

528,974

446,118

530,618

391,741

456,159

189,788 193,007 196,716 197,516

204,316 339,186

253,111

333,902

194,225

251,843

- 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000

2017 2018 2019 2020 2021

[ton setara Beras]

Produksi Konsumsi Surplus

(5)

sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan berbagai sarana, tanpa penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia. Selain itu, beras sehat menggandung paling sedikit 8 persen protein dan 1,5 persen lemak nabati. Adapun beras biasa hanya mengandung 7 persen protein dan 1,5 persen lemak nabati. Beras organik pun harus memiliki indeks glikemik rendah, rasa pulen, dan bisa diproduksi masal sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat umum.

Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya (2019), jenis beras hitam sudah diperkenalkan kepada petani semejak tahun 2017. melalui program pertanian organik di beberapa wilayah seperti di Kecamatan Salawu, Cigalontang, Manonjaya, Ciawi, Padakembang, Lewisari dan Cisayong. Namun program tersebut malah terhenti karena tingkat keberhasilan yang rendah dan menyebabkan kerugian di tingkat petani tersebut. Akan tetapi masih ada beberapa wilayah yang berhasil mengembangkannya hingga sekarang yaitu di wilayah Kecamatan Cisayong tepatnya di Desa Cisayong dan Desa Santanamekar.

Pada tahun 2019 Kecamatan Cisayong tercatat memiliki luas lahan baku sawah 1.725 hektar Ha dan potensi luas tanam 13.455 Ha, hal tersebut dapat dijadikan peluang untuk melakukan usahatani padi secara organik yang dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup yang lebih baik disebabkan oleh tingkat harga beras organik jauh lebih mahal dibandingkan beras anorganik. Khususnya pada beras hitam memiliki tingkat harga jual yang paling tinggi diantara beras yang lain seharusnya hal tersebut menjadi motifasi untuk para petani agar melakukan usahatani padi hitam organik (BPP, Kecamatan Cisayong 2019).

Desa Santanamekar merupakan salah satu desa di Kecamatan Cisayong yang memiliki program budidaya padi hitam. Tetapi hingga saat ini tingkat adopsi petani masih kurang dalam melakukan usahatani padi hitam organik. Hal tersebut dikarenakan petani beranggapan bahwa peralihan lahan dari konvensional ke organik dapat menurunkan tingkat produksi padi padahal tingkat harga padi hitam lebih tinggi dibandingkan padi biasa. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian kelayakan finansial melalui pendekatan komparasi penerimaan dengan biaya (R/C ratio).

(6)

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas masalah penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Berapa besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani padi hitam per musim tanam?

2. Bagaimana kelayakan finansial usahatani padi hitam organik?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan permasalahan yang telah disampaikan di atas, tujuan penelitian ini ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan usaha tani padi hitam per musim tanam.

2. Kelayakan finansial usahatani padi hitam organik.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk penelitian-penelitian dengan topik yang sama dimasa yang akan datang. Disamping itu penelitian ini diharapkan memiliki guna laksana bagi peneliti, penentu kebijakan dan pelaku usaha (peternak), yang secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, sebagai penerapan teori yang telah di pelajari / diperoleh selama di bangku kuliah, menambah pengetahuan dan pengalaman penulis.

2. Bagi pemerintah, sebagai sumbangan pemikiran bahan pertimbangan dan evaluasi terhadap kebijakan, terutama kaitannya dengan usaha tani

3. Bagi petani, sebagai masukan dalam kegiatan pengelolaan usahatani padi hitam sehingga dapat melakukan usahataninya dengan baik per hektar per musim tanam.

4. Bagi peneliti lain, hasil dari penelitian diharapkan menjadi bahan referensi penelitian sejenis di masa yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan modul Geometri Analitik berbasis konstrukstivisme untuk meningkatkan kemampuan representasi matematis mahasiswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi secara parsial berpengaruh terhadap kinerja perawat Rumah Sakit Fatima Parepare, dimana hasil yang diperoleh budaya organisasi

Banyaknya manfaat dan peluang yang diperoleh perusahaan jika dapat mengelola limbah yang dihasilkan pabriknya dengan baik menjadi landasan bagi perusahaan dan

Dengan memasukkan variabel input yang sesuai dengan keadaan geografi kabupaten kota di proponsi NTT maka luas baku sawah sebesar 508.50 Ha, luas tanam sebesar 75 Ha, luas panen

Sejak tahun 2002 kontribusi kehutanan terhadap PDB mengalami kenaikan karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengelolaan

Di dalam suatu organisasi, baik itu formal maupun informal membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memberikan semangat pada bawahannya untuk senantiasa produktif,

Tentukan luas bidang tanam lahan pada lahan miring tersebut dalam hektar (ha).. Kegiatan setelah pembukaan lahan maka diperlukan pengolahan tanah, terutama pada

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha). Luas Baku