PERLINDUNGAN TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL MASYARAKAT ATAS PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK (SDG)
PROTECTION OF TRADITIONAL KNOWLEDGE FOR THE UTILIZATION OF GENETIC RESOURCES
Sri Nurhayati Qodriyatun
(Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Nusantara II, Lantai 2, DPRRI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia;
email: [email protected])
Naskah Diterima: 10 Maret 2016, direvisi: 20 Juni 2016, disetujui: 30 Juni 2016
Abstract
Indonesia is unquestionably one of the world’s top biodiversity, and genetic resources is part of the biological resources. Many Indonesian people, using their traditional knowledge, consumes genetic resources, both for their daily needs and also for economic or business activity. Problem remains is the absence of relevant provisions, which makes the local community or indigenous people who have those traditional knowledge is vulnerable from biosperacy threats. Applying a qualitati ve method, research conducted in Ende, East Nusa Tenggara and Jayapura, Papua, discussing the efforts of local government in protecti ng genetic resources and those traditional knowledge, which are not optimal. Through the Amending bill of Law No. 5 of 1990 on Conservation of Biological Resources and Ecosystems, the writer suggests that genetic resoures and traditional knowledge need to be consequently regulated.
Protection of genetic resources and related traditional knowledge can be conducted by acknowledging intelllectual property rights (in the form of patent), with additional disclosure requirements in patent applications. This provision requires the government to make data collection and registration of traditional knowledge on genetic resources in society. In addition to this, it must acknowledge the existence of indigenous peoples or local communities with their traditional knowledge in local regulations.
Keywords: genetic resources, SDG, traditional knowledge, Amandements to the Law No. 5 of 1990, Intellectual Property Rights, Patents.
Abstrak
Sumber Daya Genetik (SDG) merupakan bagian dari sumber daya hayati, dan Indonesia kaya akan SDG. Banyak masyarakat Indonesia melalui pengetahuan tradisionalnya melakukan pemanfaatan atas sumber daya genetik, baik untuk pemenuhan kebutuhan sehari- hari maupun untuk kegiatan ekonomi atau bisnis. Masalahnya, belum ada pengaturan terkait pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan sumber daya genetik, yang membuat masyarakat lokal ataupun masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional tersebut rentan terhadap terjadinya kejahatan biosperacy. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian yang dilakukan di Kabupaten Ende, NTT dan Kabupaten Jayapura, Papua, melihat bahwa upaya perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait hal itu tidak dapat secara optimal dilakukan oleh pemerintah daerah. Ke depan, melalui RUU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hal terkait sumber daya genetik dan pemanfaatannya, termasuk pengetahuan tradisional atas pemanfaatan sumber daya genetik, perlu diatur di dalamnya.
Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional atas pemanfaatan sumber daya genetik dapat dilakukan dengan memberikan hak kekayaan intelektual dalam bentuk paten, dengan menambahkan persyaratan disclosure requirement dalam pengajuan paten.
Namun, ketentuan ini menuntut Pemerintah untuk melakukan pendataan dan pendaftaran atas pengetahuan tradisional terkait SDG yang ada di masyarakat, selain menetapkan keberadaan masyarakat adat atau masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisionalnya tersebut dalam Peraturan Daerah.
Kata kunci: sumber daya genetik, SDG, pengetahuan tradisional, RUU tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990, HAKI, Paten
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sumber Daya Genetik (SDG) merupakan salah satu bagian dari sumber daya hayati (biological resources) dimana SDG mempunyai peranan yang penting sebagai fondasi yang pada intinya untuk menjamin keberlangsungan hidup umat manusia ka rena keterkaitannya dengan berbagai aspek kehidupan yang ada. SDG pada khususnya berkaitan erat dengan aspek ketahanan pangan, pelestarian
ling kungan, pembangunan berkelanjutan, dan ekonomi.
SDG menjadi krusial karena letak keanekaragaman fenotipe yang diperlihatkan masing-masing spesies.
Keanekaragaman ini sangat esensial karena banyak orang bergantung hidup padanya. WHO mencatat 80% penduduk dunia bergantung pada tumbuhan herbal, bahkan 25% dari obat-obatan modern yang berasal dari tumbuhan. Sekitar 74% dari 121 bahan aktif yang merupakan komponen utama obat seperti digoksin, ephedrin, tubocucorin, dan lain-
lain berasal dari tumbuhan tropis.1 Berdasarkan hasil inventarisasi dan penamaan pulau oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 pulau dengan 47 ekosistem yang sangat berbeda, dengan 450 spesies terumbu karang dari 700 spesies dunia.
Sedangkan berdasarkan Status Keanekaragamanan Hayati Indonesia yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011 keragaman spesies yang dimiliki Indonesia adalah 707 spesies mamalia, 1.602 spesies amfibi dan reptil, 2.800 spesies invertebrata, 1.400 spesies ikan, 35 spesies primata, dan 120 spesies kupu-kupu. Selain itu di Indonesia terdapat kurang lebih 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan 400 jenis buah-buahan yang dapat di makan, 6.000 spesies tanaman bunga, baik yang liar maupun dipelihara, dan telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, pakaian dan obat-obatan.
Indonesia juga memiliki 7.500 jenis tumbuhan obat- obatan yang menyusun 10% total tumbuhan obat di dunia.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta memiliki keanekaragaman sumber daya genetik dan ekosistem dengan karakteristik tertentu. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin beragam dan kompleks. Salah satu pemanfaat sumber daya genetik adalah masyarakat adat dan komunitas lokal suatu daerah yang masih hidup secara tradisional.
Banyak masyarakat adat dan komunitas lokal yang memanfaatkan SDG untuk pengobatan, memproduksi kain, membuat makanan, dan lain sebagainya yang sudah mereka lakukan secara turun temurun dari nenek moyang. Pengetahuan mereka akan SDG yang dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup ini termasuk sebagai pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional banyak ditemukan dalam semua lapangan kehidupan yang relevan dengan suatu masyarakat adat ataupun masyarakat lokal. Terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup seperti obat dan pengobatan, makanan, dan pertanian.2
1 Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
“Peluncuran UU No. 10 dan 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam dan Nagoya sambut hari KEHATI 2013”, (online), (http://www.menlh.go.id/
peluncuran-uu-no-10-dan-11-tahun-2013-tentang- pengesahan-konvensi-roterdam-dan-nagoya-sambut-hari- kehati-2013, diakses 20 Desember 2014).
2 Zainul Daulay, Pengetahuan Tradisional: Konsep, Dasar Hukum, dan Praktiknya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 1.
Beragamnya SDG dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan pemanfaatan SDG perlu dijaga kelestariannya dan dikembangkan agar dimanfaatkan secara berkelanjutan sebagai sumber daya pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terwujud. Namun, kekayaan SDG Indonesia telah menarik minat banyak perusahaan dari negara-negara maju untuk turut mengambil bagian dalam pemanfaatannya.Terjadi proses penjarahan SDG atau sering dikenal dengan istilah biopiracy. Biopiracy adalah praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat.
Dalam praktik ini pencurian materi genetik terjadi yang kemudian disalahgunakan keberadaannya untuk dikomersialisasikan dan sifatnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Indonesia adalah salah satu negara yang telah menjadi korban praktik biopiracy. Mulai dari 19 hak paten tempe, sebanyak 13 hak paten telah dipatenkan oleh Amerika Serikat dan 6 hak paten lagi telah dipatenkan oleh Jepang. Kemudian, tanaman keladi tikus yang digunakan untuk pengobatan kanker dan tumor saat ini telah dibudidayakan besar-besaran di Malaysia, tanpa izin dari pemerintah Indonesia.
Paten dari beberapa produk perusahaan kosmetik Jepang yang berasal dari tanaman asli Indonesia, dan masih banyak lagi kasus biopiracy yang terjadi di Indonesia.
Indonesia masih belum memiliki hukum nasional yang komprehensif untuk melindungi SDG nasional termasuk melindungi pengetahuan tradisional atas pemanfaatan SDG. UUD 1945, ratifikasi konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UU No. 5 Tahun 1994), ratifikasi Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya (UU No. 11 Tahun 2013), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman tidak mengatur secara spesifik terhadap perlindungan pemanfaatan SDG, terutama pemanfaatan oleh masyarakat adat atau komunitas lokal melalui pengetahuan tradisional mereka.
B. Permasalahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 28C menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan diri, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, serta memperjuangkan haknya secara kolektif, dan pasal 28H menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta Pasal 28I yang menyatakan penghormatan hak asasi atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Di sisi lain, Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan Pasal 33 ayat (4) menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hal itu berarti bahwa setiap anggota masyarakat diakui dan mempunyai hak untuk mengembangkan diri, dan berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Di sisi lain, ada beberapa undang-undang yang mengatur secara tidak langsung mengenai pengetahuan tradisional, masyarakat adat, dan perlindungan SDG. Tetapi pengaturannya secara terpisah dan tidak komprehensif. Dengan adanya perkembangan berbagai kasus biopiracy yang terjadi saat ini, memungkinkan akan mengancam bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang melalui pengetahuan tradisionalnya memanfaatkan sumber daya genetik yang ada di sekitar mereka. Permasalahannya adalah bagaimana melindungi pengetahuan tradisional masyarakat adat atau komunitas lokal dalam pemanfaatan SDG yang merupakan kekayaan alam.
Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa pertanyaan yang akan digali melalui penelitian adalah:
a. Upaya apa yang telah lakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi pengetahuan tradisional masyarakat adat atau komunitas lokal atas pemanfaatan SDG selama ini? Bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut dan apa kendalanya?
b. Bagaimana kebijakan ke depan untuk melindungi pengetahuan tradisional masyarakat adat atau komunitas lokal atas pemanfaatan SDG?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis:
a. Upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melindungi pengetahuan tradisional masyarakat adat atau komunitas lokal dalam pemanfaatan sumber daya genetik, beserta permasalahan dan kendala terhadap pelaksanaan upaya tersebut.
b. Kebijakan ke depan yang harus dilakukan untuk melindungi pengetahuan tradisional masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pemanfaatan SDG.
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan kepada DPR RI, terutama Komisi IV yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan untuk penyusunan RUU tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. RUU tersebut masuk dalam long list Prolegnas tahun 2014 – 2019 dan direncanakan akan menjadi RUU prioritas tahun 2017.
D. Kerangka Pemikiran
1. Sumber Daya Genetik (SDG) dan Pemanfaatannya
Istilah Sumber Daya Genetik (SDG) atau genetic resources mulai dikenal dalam penyusunan kebijakan internasional terkait pertanian, lingkungan hidup, hak kekayaan intelektual, dan kebijakan perdagangan. Komisi Sumber Daya Genetik Tanaman FAO, sejak tahun 1983 yang pertama memunculkan isu tentang sumber daya genetik.
Kemudian dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati/
KKH (the Convention on Biological Diversity / CBD) pada tahun 1993, mulai diperdebatkan isu mengenai sumber daya genetik (SDG). Pasal 2 KKH – yang telah ditandatangani dan diratifikasi pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati – menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan SDG adalah bahan genetik yang memiliki nilai guna, baik secara nyata maupun yang masih berpotensi.
Selanjutnya bahan genetik dijelaskan sebagai unit fungsional hereditas yang terdapat dalam tumbuhan, hewan, atau mikrobiologi. Bahan genetik diartikan juga sebagai semua bahan dari tumbuhan, binatang, jasad renik atau asal lain termasuk derivatifnya yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (hereditas). SDG tersebut merupakan komponen dari sumber daya alam hayati, dan sumber daya alam hayati merupakan bagian dari keanekaragaman hayati.
SDG bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik sebagai bahan pangan, bahan obat-obatan, bahan industri, ataupun untuk pemenuhan hobi, rekreasi, dan lain sebagainya kehidupan manusia. Pemanfaatan SDG dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ.
Secara in-situ berarti SDG tersebut dikembangkan dalam ekosistem dan habitat alamiahnya. Secara ex-situ berarti SDG tersebut dikembangkan di luar
ekosistem dan habitat alamiahnya. Berikut gambar pemanfaatan SDG:
Gambar 1. Pemanfaatan Sumber Daya Genetika.3
Pemanfaatan SDG selama ini ada yang dilakukan secara tradisional dan ada yang sudah modern.
Pemanfaatan secara tradisional banyak dilakukan oleh masyarakat adat atau masyarakat lokal yang sebagian besar dalam pemanfaatannya merupakan bagian dari pengetahuan tradisional mereka atas sumber daya genetik yang ada di wilayahnya.
Sedangkan pemanfaatan secara modern banyak dilakukan oleh kalangan industri dalam memproduksi sesuatu, seperti obat, kosmetika, bahan pangan, dan lain-lain dengan memanfaatkan pengembangan ilmu pengetahuan. Pemanfaatan SDG ada yang dilakukan dengan tujuan komersial dan ada yang non-komersial. Untuk yang tujuan komersial antara lain dilakukan oleh industri bioteknologi (seperti farmasi/obat-obatan, tekstil, deterjen, makanan, pakan ternak, benih) dan industri hortikultura.
Sedangkan pemanfaatan non-komersial antara lain untuk taksonomi (bidang ilmu pengetahuan yang mendeskripsikan dan memberikan nama spesies) dan konservasi (pelestarian SDG).4
Pemanfaatan sumber daya genetik khas Indonesia dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Dampak positif muncul ketika ada keuntungan yang diperoleh baik komersial maupun non-komersial atas pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Sedangkan dampak negatif muncul ketika sumber daya genetik khas Indonesia diproduksi sebagai suatu produk yang mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu. Bahkan seringkali pihak tertentu melakukan klaim terhadap sumber
3 Krisnani Setyowati, Efridani Lubis, Elisa Anggraeni, M.
Hendra Wibowo, Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi, Bogor: Kantor Hak Kekayaan Intelektual Institut Pertanian Bogor, 2005, hlm.
145.
4 Achirul Nditasari, Erizal, dan Rien Sabrina, Paket Informasi Keanekaragaman Hayati, Seri: Sumber Daya Genetik, Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2011, hlm. 26.
daya genetik tersebut. Untuk itu perlu ada regulasi yang jelas untuk melindungi sumber daya genetik khas Indonesia.
2. Pengetahuan Tradisional
Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) seperti yang termuat dalam Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs artikel 8 j adalah:
“Traditional knowledge refers to knowledge, innovation and practices of indigenous and local communities arround the world. Developed from experience gained over the centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is transmitted orally from generation to generation. It tends to be collectively owned and takes the form of stories, songs, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, community laws, local language ang agricultural practices, including the development of plant species ang animal breeds. Traditional knowledge is mainly of a practical nature, perticulary in such fields as agriculture, fisheries, health, horticulture and forestry”.
Artinya bahwa pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia.
Dikembangkan dari pengalaman melalui negara- negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk cerita, lagu, folklore, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, bahasa daerah dan praktik pertanian, mencakup pengembangan spesies tumbuhan dan keturunan binatang.
Pengetahuan tradisional utamanya merupakan praktik alamiah, secara khusus seperti dalam wilayah pertanian, perikanan, kesehatan, hortikultural dan kehutanan.
Menurut Carlos M. Correa, pengetahuan tradisional itu terdiri dari informasi pada penggunaan biologi dan bahan-bahan lainnya bagi pengobatan medis dan pertanian, proses produksi, desain, literatur, musik, upacara adat, seni dan teknik lainnya, termasuk di dalamnya nilai budaya yang tidak berwujud.5
Dari beberapa pengertian ini dapat diartikan bahwa pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat daerah
5 Sebagaimana dikutip Afrillyanna Purba, dkk., TRIP’s-WTO dan Hukum Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Jakarta: Penerbit: Rineka Cipta, 2005, hlm. 29
atau tradisi yang sifatnya turun temurun, dengan ruang lingkup yang sangat luas. Pengetahuan tradisional dapat meliputi bidang seni, tumbuhan, arsitektur, pengobatan, dan lain sebagainya.
Indonesia adalah negara yang kaya akan pengetahuan tradisional. AMAN memperkirakan jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar 50 – 70 juta atau sekitar 20% dari penduduk Indonesia.
Jumlah tersebut merupakan jumlah yang dominan bila dibandingkan dengan perkiraan indigenous people secara regional di Asia dan dunia. Masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang sudah mereka gunakan secara turun temurun, termasuk pengetahuan tradisional mereka dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Selama ini, pengetahuan tradisional yang berkembang di masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya genetik tersebut terus berkembang secara turun temurun di masyarakat. Bahkan terkadang telah menjadi bagian dari adat istiadat mereka. Beberapa sistem pengetahuan tradisional telah terkodifikasi tetapi banyak pula yang tidak terkodifikasi.6
Untuk melindungi pengetahuan tradisional dari pemanfaatan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat perlu dilakukan,7 termasuk perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat atas pemanfaatan sumber daya genetik. Ada beberapa alasan mengapa perlu dikembangkannya perlindungan bagi pengetahuan tradisional, di antaranya adalah untuk pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktik tradisi, pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak terhadap komponen-komponen pengetahuan tradisional dan pengembangan penggunaan kepentingan pengetahuan tradisional. Selain tentunya untuk melestarikan tradisi yang ada dalam suatu komunitas masyarakat.8
3. Konservasi Keanekaragaman Hayati
Konservasi berasal dari kata conservation yang memiliki pengertian upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun
6 Terkodifikasi dalam arti bahwa banyak pengetahuan tradisional yang telah dicatatkan dalam aturan-aturan tertulis, menjadi sebuah norma yang telah dibakukan oleh masyarakat sebagai sebuah aturan tertulis. Tetapi ada juga pengetahuan tradisional yang tidak tercatatkan atau terdokumentasi.
7 Ibid.
8 Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 56.
secara bijaksana (wise use). Konsep ini pertama dikemukakan oleh Thodore Roosevelt (1902).9 Dia mengemukakan bahwa”
“we have become great because of the lavish use of our resources. But the time has come to inquiere seriously what will happen when our forest are gone, when the coal, the iron, the oil, and the gas are exhausted, when the soils have still further improverished and washed into the streams, polluting the rivers, denuding the fields and obstructing navigation”10
Roosevelt menyadari bahwa kemajuan yang kita dapatkan itu berasal dari penggunaan sumber daya alam yang ada. Namun apa yang akan kita lakukan nanti ketika semua sumber daya alam tersebut habis dan lingkungan tercemar? Hal itulah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk melakukan konservasi terhadap sumber daya alam, termasuk di dalamnya sumber daya genetik.
Dalam World Conservation Strategy (WCS) yang disusun International Union for Conservation of Nature (IUCN), World Wildlife Fund (WWF), dan United Nation of Environment Programme (UNEP) konservasi didefinisikan sebagai pengelolaan pemanfaatan biosfer yang menghasilkan manfaat berkelanjutan tertinggi bagi generasi saat ini, dengan menjaga potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Konservasi tersebut dilakukan melalui kegiatan pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan berkelanjutan, restorasi, dan peningkatan lingkungan alam.11 Dari definisi tersebut terlihat bahwa ada tiga komponen besar yang harus dilakukan dalam konservasi keanekaragaman hayati, yaitu pengawetan (preservasi), pemeliharaan, dan pemanfaatan berkelanjutan.
9 Suwari Akhmaddian dan Anthon Fathanudien, “Partisipasi Masyarakat dalam Mewujudkan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi (Studi di Kabupaten Kuningan)”, Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-5976, Vol. 2 No. 1 Januari 2015, hlm. 67 – 90. Baca juga Hari Sutrisno, “Peranan DNA Barkoding dalam Mendukung Upaya Konservasi Fauna di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan yang diselenggarakan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan di Yogyakarta, 9 Oktober 2012.
10 “Theodore Roosevelt and Conservation”, (online), (http://
www.nps.gov/thro/learn/historyculture/theodore- roosevelt-and-conservation.htm, diakses 2 September 2015).
11 IUCN, UNEP, WWF, 1980, World Conservation Strategy:
Living Resource Conservation for Sustainable Development, (online), (https://portals.iucn.org/library/efiles/edocs/
WCS-004.pdf, diakses 2 September 2015).
Pemerintah Indonesia menerjemahkan strategi konservasi keanekaragaman hayati tersebut dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam UU tersebut, konservasi keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Pasal 1 angka 2). Tujuannya adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Pasal 3). Konservasi tersebut akan dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (3) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Apa saja yang harus dikonservasi dari keanekaragaman hayati yang ada? Keanekaragaman hayati itu dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu keragaman genetik, keragaman spesies, dan keragaman ekosistem. Menurut WCS ada 3 komponen yang jadi sasaran konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: (1) pemeliharaan proses-proses ekologis dan penyangga kehidupan; (2) pengawetan sumber daya genetik; dan (3) pemanfaatan berkelanjutan spesies dan ekosistem. 12 Oleh karena itu, konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan mulai dari tingkat genetik sampai dengan ekosistemnya (habitat dimana spesies tersebut hidup). Konservasi keanekaragaman hayati dapat dilakukan secara in- situ maupun eks-situ. Konservasi in situ (di dalam kawasan) adalah konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Konservasi in situ mengacu UU No. 5 tahun 1990 dan peraturan pelaksananya dapat dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), taman nasional, dan hutan lindung. Tujuan konservasi in situ adalah untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya genetik tersebut secara alami melalui proses evolusinya.
Dalam kegiatan ini perluasan kawasan sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik, dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan berkelanjutan. Sedangkan konservasi eks situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang
12 Ibid.
dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan keanekaragaman hayati melalui jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya. Ini dilakukan dengan cara pengumpulan jenis, dan pemeliharaan serta budi daya (penangkaran). Konservasi eks situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota, dan taman burung.
Cara eks situ merupakan cara untuk memanipulasi objek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
Untuk mendukung upaya konservasi, perlu ada regulasi dan penegakan hukum. Dalam arti, ada aturan tentang pemanfaatan tumbuhan dan hewan secara bertanggung jawab. Hingga saat ini regulasi yang mengatur secara spesifik tentang pemanfaatan sumber daya genetik yang dilakukan oleh masyarakat melalui pengetahuan tradisionalnya belum ada. UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur secara spesifik tentang konservasi sumber daya genetik, termasuk pemanfaatannya oleh komunitas lokal ataupun masyarakat adat
Sementara dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati yang telah Indonesia ratifikasi dalam UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) mengakui adanya peranan masyarakat yang bercirikan tradisional yang memanfaatkan kekayaan keanekaragaman hayati dalam kehidupan mereka. Konvensi tersebut juga mengakui perlu adanya pembagian manfaat yang adil atas penggunaan pengetahuan-pengetahuan tradisional tersebut. Namun berbagai ketentuan tersebut belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan membuat aturan di dalam negeri yang mengatur bagaimana mengakses pemanfaatan dari pengetahuan tradisional tersebut dan pembagian manfaat yang adil terhadap pemanfaatan pengetahuan tradisional atas penggunaan SDG.
Hingga lahir Protocol Nagoya – yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) dan juga belum ditindaklanjuti.
E. Hasil Penelitian Terkait
Ada beberapa hasil penelitian terkait pengetahuan tradisional dan pemanfaatan sumber daya genetik oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat melalui pengetahuan tradisionalnya. Pertama, penelitian Faisal Rani dan Tegar Islami yang berjudul
“Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Melindungi Sumber Daya Genetik pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Tahun 2013”. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya melindungi sumber daya genetik yang ada dengan meratifikasi Protokol Nagoya dengan UU No.
11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Dengan meratifikasi Pemerintah Indonesia memperoleh manfaat dari Protokol Nagoya, seperti penegasan penguasaan Negara atas sumber daya alam dan menguatkan kedaulatan Negara atas pengaturan akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal sesuai Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Namun upaya ratifikasi tersebut harus diikuti dengan upaya lain untuk mendorong potensi ekonomi nasional dari pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Salah satu bentuk HKI yang dapat diterapkan adalah paten. Namun upaya perlindungan sumber daya genetik melalui paten jangan justru meningkatkan terjadinya biopioracy mengingat sistem paten tidak sejalan dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Bio Diversity/CBD).13
Kedua, penelitian Anzal M. Efendi dan Tri Joko Waluyo yang berjudul Kebijakan Indonesia Dalam Upaya Melindungi Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa perlindungan terhadap sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, dan ekspresi budaya disebutkan dalam UU Hak Cipta, tetapi tanpa ada pengaturan lebih lanjut pengelolaan dan perlindungan bila ada konflik. Padahal esensi dari perlindungan terletak pada hal tersebut. Tidak adanya sarana dokumentasi juga mengisyaratkan lemahnya rezim perlindungan terhadap sumber daya genetik, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia. Padahal saat ini banyak invensi yang dipatenkan oleh perusahaan dari
13 Faisyal Rani dan Tegar Islami, “Kebijakan Indonesia Dalam Melindungi Sumber Daya Genetik Pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono”, Jurnal Transnasional, Vol.6.
No. 1. Juli 2014, hlm. 1247 – 1255.
Negara maju dengan menggunakan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional dari Negara berkembang termasuk Indonesia.14
Dua hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pemanfaatan oleh masyarakat secara tradisional melalui pengetahuan tradisional perlu dilakukan. Namun bentuk perlindungan yang seperti apa seharusnya, masih perlu dikaji lebih lanjut mengingat Indonesia kaya akan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Upaya perlindungan ini diperlukan untuk mencegah terjadinya praktik biopiracy.
F. METODOLOGI 1. Sifat Penelitian
Penelitian tentang Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional Masyarakat Atas Pemanfaatan Sumber Daya Genetik (SDG) merupakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha mengkonstruksikan realitas dan memahami maknanya sehingga penelitian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otensitas.15 Dalam pandangan Creswell (2008) sebagaimana dikutip Somantri, dalam penelitian kualitatif peneliti memandang realitas merupakan hasil rekonstruksi oleh individu yang terlibat dalam situasi sosial. Dalam hal ini peneliti menjalin interaksi secara intens dengan realitas yang ditelitinya.16 2. Teknik Pengumpulan Data
Umumnya ada 5 jenis metode yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu (1) observasi terlibat; (2) analisa percakapan; (3) analisa wacana; (4) analisa isi; dan (5) pengambilan data etnografis.17 Untuk itu dalam penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan dokumentasi, observasi langsung, wawancara mendalam dan FGD (Forum Group Discussion) dengan informan yang terlibat langsung dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Studi kepustakaan dan dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan segala informasi mengenai kebijakan
14 Anzal M. Effendi dan Tri Joko Waluyo, “Kebijakan Indonesia Dalam Upaya Melindungi Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional”, (online), (repository.unri.ac.id/xmlui/bitsream/
handle/123456789/5191/JURNAL%20ANZAL%20M%20 EFENDI.pdf?sequence=1 , diakses 24 Februari 2015).
15 Gumilar Rusliwa Somantri, “ Memahami Metode Kualitatif”
dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9 No. 2, Desember 2005, hal. 57-65.
16 Ibid.
17 Ibid.
perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat atas pemanfaatan SDG di daerah, baik yang berasal dari data dokumen, buku, risalah, transkrip, maupun bahan-bahan tertulis lainnya yang sudah tersedia. Observasi dilakukan ke masyarakat yang memiliki pengetahuan tradisional atas pemanfaatan sumber daya genetik guna membuat catatan atau deskripsi mengenai kenyataan yang ada di lapangan terkait pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan SDG dan bagaimana perlindungan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan. Untuk selanjutnya berusaha memahami kenyataan tersebut secara langsung dari kegiatan observasi tersebut.
Sedangkan wawancara dilakukan dengan informan, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dalam kebijakan perlindungan pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan SDG baik di pemerintah pusat ataupun di daerah penelitian serta masyarakat yang menggunakan pengetahuan tradisional mereka dalam pemanfaatan SDG. Informan ditentukan secara purposif sampling.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Provinsi Papua. Provinsi NTT adalah salah satu daerah yang banyak menghasilkan produk budaya tradisional khas Indonesia (yaitu tenun ikat) yang menggunakan pewarnaan alami dengan memanfaatkan tumbuh- tumbuhan yang ada. Pewarnaan alami tersebut tidak membawa efek buruk bagi kesehatan pengrajin tenunnya, dan ramah lingkungan karena terbuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada di daerah tersebut.
Kain tenun di NTT merupakan pakaian sehari-hari bagi masyarakat adat. Pembuatan kain tenun sudah dilakukan secara turun temurun, namun hingga saat ini belum mendapatkan hak paten dari Pemerintah.
Sedangkan pertimbangan memilih Provinsi Papua adalah: pertama, Bumi Papua kaya akan sumber daya genetik. Berdasarkan data BBKSDA Papua, di Provinsi Papua terdapat 25.000 tanaman kayu, 164 jenis mamalia, 329 amphibi dan reptilia, 659 burung, 1.200 ikan tawar, 150.000 serangga serta ratusan jenis invertebrata. Berbagai sumber daya genetik tersebut selama ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk menunjang kehidupan mereka, seperti sebagai bahan pangan, obat-obatan, dan lain sebagainya.18 Kedua, di Provinsi Papua telah diadakan beberapa kali Konferensi Desa Adat yang membahas masalah perlindungan terhadap sumber daya genetik. Beberapa sumber daya genetik yang
18 “Potensi Kawasan Konservasi”, (online), (http://
bbksdapapua.dephut.go.id/?page_id=40, diakses 6 Juni 2015).
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua seperti Pokem (makanan tradisional di Saireri yang diolah dari salah satu jenis buah pohon lolaro), buah merah (jenis buah-buahan dari puncak jaya yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat), kayu suang (kayu endemik papua yang hanya terdapat di kawasan Cagar Alam Cyklops) sebagian besar sudah hampir punah.19 Ketiga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang merintis untuk membangun balai kliring keanekaragaman hayati di Papua. Daerah ini dipilih karena dianggap sebagai pusat kekayaan keanekaragaman hayati yang masih ada di Indonesia. 20
4. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul kemudian akan dianalisa menggunakan teknik analisa penelitian kualitatif, yaitu dengan melakukan reduksi data dan intepretasi data.21 Reduksi data dilakukan dengan memilah- milah data yang tidak beraturan menjadi potongan- potongan yang lebih teratur dengan menyusun kategori dan merangkumnya menjadi pola dan susunan yang sederhana. Sedangkan intepretasi data dilakukan untuk mendapatkan makna dan pemahaman terhadap kata-kata dan tindakan dari informan penelitian dengan mengacu pada konsep atau teori yang digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan temuan di lapangan.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Upaya Pelindungan terhadap Pengetahuan Tradisional atas Pemanfaatan SDG, Pelaksanaan, dan Kendalanya
Berdasarkan hasil temuan lapangan baik di Jayapura (Papua) maupun di Ende (NTT) terlihat bahwa masih banyak masyarakat yang memanfaatkan sumber daya genetik yang ada di sekitar mereka secara tradisional. Pemanfaatan yang mereka lakukan merupakan bagian dari pengetahuan tradisional mereka atas sumber daya genetik yang ada di wilayahnya. Seperti para penenun di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebagian masih menggunakan kulit akar Mengkudu, daun Tarum, dan daun Gugur Loba Manu dalam pembuatan tenun ikat.22 Di Provinsi NTT kerajinan tenun tradisional
19 “Rekomendasi Konferensi Desa Adat di Papua”, (online), (http://tabloidjubi.com/2013/03/25/rekomendasi- konferensi-desa-adat-di-papua/, diakses 6 Juni 2015).
20 “Keanekaragaman Hayati Semakin Terancam”, (online), (http://www.sinarharapan.co/news/read/150523025/
keanekaragaman-hayati-semakin-terancam, diakses 6 Juni 2015).
21 Ibid.
22 Kelompok penenun tradisional di desa Olelako, Kecamatan Ndona, Wawancara, 26 Agustus 2015.
tumbuh dan berkembang secara turun temurun dalam masyarakat seperti tenun ikat Kupang, kain Timor, tenun Buna, tenun Lotis, dan lain-lain. Bahkan membuat tenun ikat sudah menjadi bagian dari tatanan adat istiadat mereka seperti yang dilakukan oleh para penenun ikat di Kabupaten Ende.23 Tercatat berdasarkan data Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTT, pelaku usaha dalam sektor usaha tenun ikat di Provinsi NTT berjumlah 52.813 orang, yang tersebar di beberapa kabupaten (tabel 1). Kerajinan tenun tradisional mempunyai potensi untuk dapat menampung banyak tenaga kerja, menopang perekonomian masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1.
Jumlah Pengrajin Tenun Ikat di Provinsi Nusa Tenggara Timur per Kota/Kabupaten Tahun 2014.
No. Kabupaten Jumlah
(orang)
1. Kabupaten Kupang 13.212
2. Kabupaten Timur Tengah Selatan 11.524
3. Kabupaten Rote Ndao 250
4. Kabupaten Sabu Raijua 4.377
5. Kota Kupang 436
6. Kabupaten Timur Tengah Utara 1.773
7. Kabupaten Belu 1.249
8. Kabupaten Sumba Timur 1.968
9. Kabupaten Sumba Tengah 33
10. Kabupaten Sumba Barat 1.720
11. Kabupaten Sumba Barat Daya 452
12. Kabupaten Manggarai 100
13. Kabupaten Manggarai Barat 100
14. Kabupaten Manggarai Timur 280
15. Kabupaten Nagekeo 4.606
16. Kabupaten Ngada 293
17. Kabupaten Ende 4.680
18. Kabupaten Sikka 3.491
23 Bagi masyarakat Ende, menenun adalah bagian dari budaya dan adat istiadat mereka. Meskipun saat ini sudah bergeser ke arah kegiatan ekonomi, namun masih ada beberapa desa yang mempertahankan menenun sebagai bagian dari budaya dan adat istiadat mereka. Seperti masyarakat di desa Onelako, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende. Bagi mereka, menenun tidak hanya memerhatikan kualitas estetika artistik semata, tetapi juga sebagai representasi simbol khusus yang berlaku dalam tatanan adat. Demikian juga dalam penggunaannya harus mengikuti aturan yang ada, yang merupakan warisan leluhur mereka secara turun temurun. Pemakaian tenun ikat tidak hanya digunakan sebagai busana tradisional sehari-hari bagi masyarakat, tetapi juga digunakan untuk upacara-upacara adat, bawaan pada saat adat nikah, meninggal, pesta-pesta adat. Tenun ikat juga menjadi bukti keterampilan menenun yang dimiliki oleh masyarakat. Bahkan tenun ikat juga menjadi jaminan penebus utang. Kelompok penenun tradisional desa Olelako, Kecamatan Ndona, wawancara, 26 Agustus 2015.
19. Kabupaten Flores Timur 388
20. Kabupaten Lembata 838
21. Kabupaten Alor 1.043
22. Kabupaten Malaka -
Demikian juga dengan masyarakat Papua, yang menggunakan buah merah untuk penyedap masakan, pewarna alami, obat, ataupun pakan ternak dan pupuk yang sudah mereka lakukan turun temurun.24 Pemanfaatan buah merah dalam masyarakat Papua dilakukan secara turun temurun melalui pengetahuan tradisional mereka. Dalam dokumen Blue Print Pengembangan Buah Merah di Provinsi Papua25, disebutkan bahwa buah merah di Papua memiliki keragaman genetik. Jumlah keragaman genetik berdasarkan aksesi (nomor koleksi) hasil eksplorasi di Papua terdapat sebanyak 33 aksesi. Tanaman buah merah ini tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Papua (tabel 2) dan saat ini teridentifikasi berada pada semua kawasan hutan (hutan lindung, kawasan suaka alam/pelestarian alam, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi) dan di area penggunaan lain (sekitar pekarangan dan permukiman penduduk).
Tabel 2.
Sebaran Tanaman Buah Merah di Provinsi Papua
No Kabupaten Luas (Ha) Persentase
1 Deiya 5,5
a. Kecamatan Tigi 0,8 14,49
b. Kecamatan Tigi Timur 4,7 85,51
2 Dogiyai 15,8
a. Kecamatan Mapia 7,5 47,65
b. Kecamatan Mapia Tengah 8,3 52,35
3 Jayapura 53,5
a. Kecamatan Sentani 50,3 94,06 b. Kecamatan Sentani Barat 3,2 5,94
4 Mamberamo Tengah 128,9
a. Kecamatan Eragayam 2,8 2,16
b. Kecamatan Ilugwa 56,2 43,60
c. Kecamatan Kelila 57,5 44,64
d. Kecamatan Kobakma 12,4 9,60
5 Nduga 6,4
a. Kecamatan Kenyam 4,6 71,04
b. Kecamatan Mapenduma 1,8 28,96
6 Paniai 12,1
a. Kecamatan Aradide 2,4 19,56
24 Surono et. al. 2006. sebagaimana dikutip Jermia Limbongan dan Afrizal Malik. “Peluang Pengembangan Buah Merah (Pandanus Conoideus Lamk.) di Provinsi Papua, Jurnal Litbang Pertanian. 28 (4). 2009.hlm. 134 – 141.
25 Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua,
“Blue Print Pengembahan Buah Merah di Provinsi Papua”, (online), (http://pertanian.papua.go.id/index.php/blue- print-pengembangan-buah-merah, diakses 12 Oktober 2015).
b. Kecamatan Kebo 1,4 11,49 c. Kecamatan Paniai Barat 1,0 8,11 d. Kecamatan Paniai Timur 7,4 60,84
7 Pegunungan Bintang 10,5
a. Kecamatan Alemsom 8,4 79,73
b. Kecamatan Oksibil 1,2 11,48
c. Kecamata Pepera 0,9 8,79
8 Puncak Jaya 2,9
- Kecamatan Fawi 2,9 100
9 Tolikara 67,6
a. Kecamatan Karubaga 39,7 58,71
b. Kecamatan Nelawi 27,9 41,29
10 Yahukimo 46,0
- Kecamatan Dekai 46,0 100
11 Yalimo 11,0
- Kecamatan Abenaho 11,0 100
Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan sumber daya genetik baik secara langsung maupun tidak langsung diatur dalam beberapa peraturan perundangan. Seperti dalam UUD 1945, ada beberapa pasal yang mengatur terkait masyarakat adat dan pengetahuan tradisional mereka, termasuk dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Pertama, Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang- Undang (Pasal 18 B ayat (2)). Kedua, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (Pasal 28 I ayat (3)). Ketiga, semua kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sumber daya genetik termasuk salah satu kekayaan alam Indonesia yang pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama, termasuk di dalamnya untuk masyarakat adat ataupun komunitas lokal.
Kemudian dalam UU Pokok Agraria (UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria), disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat diakui sepanjang sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Selain itu, disebutkan juga bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, pengaturan-pengaturan ini mengakui secara langsung bahwa pengetahuan tradisional masyarakat dalam pengelolaan sumber daya genetik berdasarkan hukum adat tetap berlaku dan dihormati.
Dalam UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), yang mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk konservasi sumber daya genetik. Namun dalam UU tersebut beserta peraturan pelaksananya belum mengatur secara spesifik bagaimana seharusnya pemanfaatan sumber daya genetik oleh masyarakat melalui pengetahuan tradisionalnya dilakukan. UU tersebut hanya mengatur bagaimana konservasi dilakukan, baik secara in situ maupun eks situ, dan siapa saja yang berwenang melakukan konservasi.
UU lainnya yang secara langsung atau tidak langsung mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan sumber daya genetik adalah UU Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati. Dalam Konvensi yang telah Pemerintah Indonesia ratifikasi dalam UU No. 5 Tahun 1994 tersebut ada tiga tujuan yang ingin dicapai, yaitu (1) pelestarian keanekaragaman hayati; (2) pemanfaatan berkelanjutan komponen- komponen keanekaragaman hayati; dan (3) pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan Sumber Daya Genetik secara adil dan merata. Dengan meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah diatur dalam konvensi tersebut. Salah satunya adalah untuk menetapkan mekanisme akses termasuk pembagian keuntungan dalam hal pemanfaatan sumber daya genetik. Dalam penetapan mekanisme akses tersebut, Negara Pihak harus menghormati dan melindungi pengetahuan tradisional yang terkait dengan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, termasuk mendorong pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatan pengetahuan tradisional tersebut.
Mekanisme akses terhadap pemanfaatan sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil tersebut sampai saat ini belum dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi semakin perlu dilakukan apalagi pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya, dalam UU No. 11 Tahun 2013. Protokol Nagoya merupakan perjanjian internasional terkait lingkungan yang merupakan pelaksanaan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk mengikat Para Pihak dalam mengatur akses atas Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional terkait Sumber Daya Genetik, serta mengatur pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaannya.
Pengaturan tentang pembagian keuntungan yang adil dan merata terhadap penggunaan sumber daya genetik ini menjadi penting karena setiap negara mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa hasil konferensi didominasi kepentingan negara-negara maju. Hal ini terbukti dengan usaha mereka mengganjal disepakatinya protokol keamanan hayati (biosafety protocol). Selain itu ada juga desakan negara pemilik modal yang menyarankan agar hak milik inteletual (Intelectual Property Right-IPR) tetap berbasis pada hak milik perorangan. Gagasan ini timbul karena negara- negara maju nantinya akan mudah mempunyai akses terhadap aktivitas komersial mereka dalam bidang bioteknologi di masa depan.26
Oleh karena itu, Protokol Nagoya mengamanatkan hak berdaulat negara untuk mengambil tindakan legislatif, administratif, dan kebijakan sesuai dengan hukum nasional mengatur akses terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Bahkan Protokol Nagoya mengharuskan negara melakukan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, hak-haknya serta hukum adat yang mengatur akses atas pengetahuan terkait sumber daya genetik sepanjang sesuai dengan peraturan perundang- undangan nasional. Hal ini termasuk memastikan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal (PADIA) atau Prior Informed Concent (PIC) dalam rangka melakukan akses tersebut. Pembuatan kebijakan pengaturan atas pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik penting dalam rangka mencegah kepunahan pengetahuan tradisional, pemanfaatan tanpa ada PADIA atau izin (misappropriation dan misuse) khususnya dari pihak asing. Seperti disebutkan dalam Pasal 7 Protokol Nagoya, bahwa negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif dan kebijakan untuk memastikan pengetahuan tradisional diakses berdasarkan PIC atau PADIA dan Mutual Agreed Terms (MAT) atau kesepakatan bersama.27
Dalam Protokol Nagoya terdapat pasal yang mengatur khusus tentang pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan SDG, yaitu Pasal 12. Pasal tersebut mengamanatkan negara untuk melibatkan secara efektif masyarakat hukum adat dan mendirikan balai kliring yang berfungsi menginformasikan kepada calon pemanfaat pengetahuan tradisional mengenai kewajiban-kewajiban, termasuk detail pengaturan mengenai Acces and Benefit Sharing (ABS – akses dan pembagian keuntungan).
Ketentuan tersebut menuntut negara memfasilitasi
26 Fachruddin M. Mangunjaya, Hidup Harmonis dengan Alam: Esai-esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Ed.1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 36.
27 “Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Kearifan Lokal dari Masyarakat Hukum Adat yang Terkait dengan Sumber Daya Genetik (SDG) dalam Protokol Nagoya”, Kertas Posisi (White Paper), Kementerian Lingkungan Hidup, 2011, hlm.
17-18.
pengembangan beberapa hal: (1) protokol dalam masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan akses terhadap pengetahuan tradisional yang terkait SDG; (2) persyaratan minimum untuk melakukan kesepakatan bersama dalam rangka memastikan adanya pembagian keuntungan yang adil dan merata; dan (3) model klausul kesepakatan bersama mengenai pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional yang terkait dengan SDG. 28
Dengan kata lain, bahwa negara tidak boleh melarang pemanfaatan secara tradisional dan pertukaran sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait di dalam dan antara masyarakat hukum adat. Ini dikuatkan dengan ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 63 ayat (1) huruf t yang menyatakan bahwa tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah adalah menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat. Namun sampai saat ini belum ada peraturan pelaksana dari ketentuan pasal tersebut. Praktik pelaksanaan di lapangan, pemerintah daerah belum dapat melaksanakan ketentuan tersebut karena terkendala pada belum adanya aturan pelaksana.29
Ketentuan yang senada tentang pengakuan masyarakat adat beserta hak-haknya juga diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 67 ayat (1) dinyatakan bahwa “masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya….. “. Yang dimaksud
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” adalah bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati;
dan (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Penjelasan pasal 67 ayat (1)). Lebih lanjut dalam ayat (2) disebutkan bahwa “pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah”, dimana peraturan daerah tersebut disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah
28 Ibid.
29 Ade Ridwan (Kabid Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan Provinsi Papua), wawancara, 17 September 2015.
yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Tidak semua masyarakat adat diakui keberadaannya, dan ini berpengaruh terhadap bagaimana kebijakan pemerintah daerah melindungi keberadaan masyarakat adat beserta pengetahuan tradisionalnya, termasuk dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Inilah kondisi peraturan perundangan di Indonesia yang menjadi dasar kebijakan perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Selain kebijakan yang sifatnya sektoral juga tersebar dalam beberapa kementerian/lembaga kewenangan sektor yang ditanganinya. Kondisi ini berdampak terhadap upaya daerah dalam melindungi pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya genetik.
Upaya perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya genetik di Kabupaten Ende sangat terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Ende Tahun 2014-2019. Secara umum kebijakan pembangunan di Kabupaten Ende menjadi peran dan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, yang dikenal dengan “MODEL SEGITIGA MEMBANGUN KABUPATEN ENDE” yang lahir dari kearifan lokal masyarakat yang dikenal dengan kekuatan sinergi “Lika Mboko Telu” atau “Tiga Batu Tungku”. Maksudnya pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Ende dilakukan dengan mendayagunakan seluruh potensi yang ada, yaitu Pemerintah dengan Masyarakatnya, Agama dengan Ulayatnya, dan Mosalaki dengan Fai Walu Ana Kalo-nya. Pemerintah akan melaksanakan mandat politik yang diberikan oleh masyarakatnya sebaik-baiknya agar hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan dapat memenuhi harapan seluruh masyarakat Kabupaten Ende dan mampu untuk mensejahterakannya secara adil dan merata. Para tokoh agama dengan umatnya serta mosalaki dengan fai walu ana kalo-nya, diharapkan dapat berpartisipsi secara aktif untuk mensukseskan program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah. 30
Meskipun Pemerintah Daerah Kabupaten Ende tidak mengeluarkan Perda penetapan atas keberadaan masyarakat adat yang berada dalam wilayahnya, namun dengan mengacu pada RPJMD- nya yang mengacu pada kearifan lokal, maka lahir beberapa kebijakan yang tujuannya adalah
30 Constantianus Djara (Sekretaris Bappeda Kabupaten Ende), wawancara, 26 Agustus 2015; Mas’ud Haji Nur (Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende), wawancara, 25 Agustus 2015; Dokumen RPJMD Kabupaten Ende Tahun 2014-2019.
melindungi pengetahuan tradisional dan produk- produknya. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Ende mewajibkan bagi setiap siswa dan pegawai di lingkungan pemerintah daerah untuk mengenakan baju dari bahan baku tenun ikat Ende pada setiap hari Kamis. Pemakaiannya mengikuti aturan yang ada sebagai representasi simbol khusus yang berlaku dalam tatanan masyarakat setempat.31 b. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Ende membuat kebijakan untuk membudidayakan tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku untuk industri tenun.
Namun kebijakan ini disaat penelitian dilakukan masih dalam bentuk wacana.32 Sebenarnya di tahun 80-an, dalam masyarakat sendiri ada anjuran dari tetua adat mereka agar setiap kebun ditanami tanaman-tanaman bahan baku untuk tenun ikat. Tetapi karena perlu waktu yang cukup lama mulai dari ditanam hingga dipanen, dan seiring dengan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat33 sehingga masyarakat tidak lagi membudidayakan beberapa jenis tanaman bahan baku tenun ikat. Seperti tanaman mengkudu, bagian tanaman yang diambil adalah bagian akar yang telah berusia 5 – 8 tahun.
Karena dibutuhkan waktu yang lama, pada akhirnya masyarakat tidak lagi membudidayakan tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku tenun ikat.34 Hal lain yang juga memengaruhi masyarakat tidak lagi mau membudidayakan tanaman-tanaman bahan baku tenun ikat adalah karena pengrajin tenun ikat mulai tidak tertarik dengan menggunakan bahan baku alami karena prosesnya yang lama.35 Untuk satu kain tenun ikat dalam bentuk sarung misalnya, jika
31 Constantianus Djara (Sekretaris Bappeda Kabupaten Ende), wawancara, 26 Agustus 2015.
32 Mas’ud Haji Nur (Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende), wawancara, 25 Agustus 2015.
33 Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat adalah munculnya generasi-generasi muda yang menempuh pendidikan lebih tinggi. Berkembangnya industri tenun ikat membawa perubahan di dalam masyarakat. Tenun ikat menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat yang cukup menjanjikan sehingga banyak generasi muda yang dapat terus melanjutkan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi, yang pembiayaan pendidikannya di dapat salah satunya dari industri tenun ikat. Akibatnya tidak ada yang membantu orang tua untuk melakukan budidaya tanaman-tanaman yang dibutuhkan untuk bahan baku tenun ikat.
34 Ibu Y, pengrajin tenun ikat di desa Onelako, kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, wawancara, 26 Agustus 2015.
35 Defi Daniel (Sekretaris Dinas Perinsdustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende), wawancara, 26 Agustus 2015.
menggunakan bahan baku alami dibutuhkan waktu 6 bulan proses pembuatannya.36
c. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende memasukkan pengetahuan tradisional dalam kurikulum pendidikan lokal, namun masih sebatas teori, belum sampai praktiknya.37
d. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende pernah berupaya untuk mematenkan tenun ikat, namun upaya tersebut belum final.38 Berbeda dengan di Provinsi Papua. Otonomi khusus memberikan ruang tersendiri bagi upaya perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat di Papua, termasuk pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya genetik dalam beberapa peraturan daerahnya.
Beberapa peraturan daerah yang mengakomodir tentang keberadaan masyarakat adat, pengetahuan tradisional mereka, dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk pemanfaatan sumber daya genetik oleh masyarakat adat, antara lain dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua No. 19 Tahun 2008 tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua, Perdasus Provinsi Papua No. 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Perdasus Provinsi Papua No. 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua, Perdasus Provinsi Papua No. 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Adat Atas Tanah.
Dalam beberapa perdasus tersebut disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Papua mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, wilayahnya, mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang berada dalam kawasan hutan adat, dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam Papua dengan pihak ketiga. Namun dalam pelaksanaannya, perdasus- perdasus tersebut belum berlaku efektif karena masyarakat adat beragam.39 Meskipun dalam penelitian Dian Cahyaningrum menyatakan bahwa salah satu pemerintah daerah di Provinsi Papua, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura pada tahun 2014 telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 319 Tahun 2014 tentang Pengakuan
36 Ibu Y, pengrajin tenun ikat di desa Onelako, kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, wawancara, 26 Agustus 2015.
37 Constantianus Djara (Sekretaris Bappeda Kabupaten Ende), wawancara, 26 Agustus 2015.
38 Defi Daniel (Sekretaris Dinas Perinsdustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende), wawancara, 26 Agustus 2015.
39 Iriana Samuel (Kabid Pengembangan Kapasitas, BPLH Provinsi Papua), wawancara, 17 September 2015.
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Jayapura. SK Bupati tersebut memberikan pengakuan terhadap 9 wilayah masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten Jayapura, yaitu di Oktim, Elseng, Demutru, Yokari, Tepra, Moi, Jouwwarry dan Tarpi, Ormu, dan Sentani. Namun SK tersebut tidak disertai dengan peta wilayah adat.40 Ketika pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta pengetahuan tradisional dan wilayah adatnya tidak di-Perda-kan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 41 Tahun 1999, maka SK Bupati tersebut menjadi tidak optimal dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat beserta pengetahuan tradisionalnya dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, termasuk pemanfaatan sumber daya genetik. Karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa masyarakat adat diakui keberadaannya apabila telah memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 41, dan kemudian di-Perda-kan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (2).42
Meskipun belum optimal, namun Pemerintah Daerah Provinsi Papua telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi masyarakat adatnya, pengetahuan tradisionalnya, termasuk melindungi pemanfaatan sumberdaya genetik oleh masyarakat adat Papua. Upaya tersebut antara lain dengan dilakukan melalui:
a. Pembuatan Perdasus seperti yang telah dikemukakan di atas. Bahkan salah satu perdasus telah ditindaklanjuti dengan dibuatnya aturan turunannya sebagai panduan pelaksanaan
40 Dian Cahyaningrum, “Implikasi Putusan MK Mengenai Status Hutan Adat sebagai Hutan Hak”, KAJIAN, Vol. 20, No.
1, Maret 2015, hlm. 1-16.
41 Dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaanya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
(c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
42 Dalam Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.