PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Destyanto Sumarno Putro NIM 13110241028
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v
MOTTO
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan” (Terjemahan Q. S. Ar-Rahman: 13)
“Selalu jadi diri sendiri tidak peduli apa yang orang lain katakan dan jangan pernah menjadi orang lain meskipun mereka tampak lebih baik dari dirimu”
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orangtua tercinta yang sesungguhnya jauh lebih lelah daripadaku, yang selalu memberi motivasi dan doa, serta memberikan pengorbanan yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga saya bisa menjadi kebanggaan mereka.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu Pendidikan, khususnya program studi Kebijakan Pendidikan.
vii
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA NEGERI 5 YOGYAKARTA
Oleh
Destyanto Sumarno Putro NIM 13110241028
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Yogyakarta, 2) mendeskripsikan modal sosial yang dimiliki sekolah, dan 3) mendeskripsikan peran modal sosial dalam membentuk karakter anak di SMA N 5 Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, guru, dan peserta didik. Objek penelitian ini mengenai modal sosial dalam membentuk karakter anak. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles dan Huberman, yaitu reduksi, penyajian data, dan kesimpulan. Uji validitas data melalui triangulasi sumber, teknik, dan waktu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pendidikan karakter yang ada di SMA Negeri 5 Yogyakarta terintegrasi dengan mata pelajaran, pembiasaan atau kultur, dan program sekolah. Pengembangan moral knowing diintegrasikan melalui mata pelajaran dan program sekolah. Pengembangan moral feeling
diintegrasikan melalui program-program yang ada di sekolah, dan pengembangan
moral action diintegrasikan melalui program sekolah dan pembiasaan atau kultur yang ada di sekolah. Modal sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta terdiri dari kepercayaan, nilai dan norma, jaringan sosial, kerjasama, partisipasi, dan kebersamaan. Keempat bentuk modal sosial yang dimiliki masing-masing dimanfaatkan dalam pembentukan karakter anak dan menjalankan program sekolah.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERAN MODAL SOSIAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK DI SMA
NEGERI 5 YOGYAKARTA”. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa
terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari doa dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, terimakasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan fasilitas dan sarana sehingga studi saya berjalan lancar.
3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan kelancaran dalam proses penelitian ini.
4. Ibu Dr. Siti Irene Astuti D, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan mengarahkan, memberi masukan, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Prodi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan ilmu, inspirasi, dan dorongan selama kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. 6. Kepala Sekolah, guru-guru, karyawan, dan siswa SMA Negeri 5 Yogyakarta
yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan informasi.
7. Bapak Sumarno dan Ibu Sri Sukarjilah dan saudara saya tercinta, Dwi Bagas Yuniarto yang telah memberikan doa, dukungan, nasehat, dan semangat, serta memberikan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.
8. Keluarga besar Pawiro Hartono dan Dipo Prayitno yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materiil selama kuliah.
xi
1. Pengertian Pendidikan Karakter………. 37
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter……… 39
3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa………….. 43
4. Strategi Penanaman Pendidikan Karakter……….. 46
D. Hasil Penelitian yang Relevan.……...……….. 53
d. Tata tertib pendidik, tenaga pendidik, dan peserta didik…………. 86
e. Keadaan tenaga pendidik……...……….….. 87
f. Keadaan tenaga kependidikan……….. 88
g. Keadaan peserta didik……….. 90
2. Data Hasil Penelitian……….. 91
a. Pendidikan Karakter di SMA Negeri 5 Yogyakarta………..…..… 91
b. Modal Sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta...………. 95
c. Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak…….……. 109
B. Pembahasan……....……….. 126
xii
2. Modal Sosial di SMA Negeri 5 Yogyakarta….……….. 129
3. Peran Modal Sosial dalam Membentuk Karakter Anak……..……… 142
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…….……….. 149
B. Saran…………...……….. 151
DAFTAR PUSTAKA ... 153
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Deskripsi Nilai-nilai Karakter... 45
Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Observasi... 66
Tabel 3. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara...………... 68
Tabel 4. Kisi-Kisi Pedoman Dokumentasi………... 69
Tabel 5. Kebijakan Kepala SMA Negeri 5 Yogyakarta………...…... 81
Tabel 6. Data Tenaga Pendidik SMA Negeri 5 Yogyakarta.………….….... 88
Tabel 7. Data Tenaga Kependidikan SMA Negeri 5 Yogyakarta ..………..8 89
Tabel 8. Data Jumlah Peserta Didik 3 Tahun Terakhir.…...….………. 90
Tabel 9. Unsur Modal Sosial SMA Negeri 5 Yogyakarta...…….…………. 130
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Komponen Karakter Baik menurut Thomas Lickona... 31
Gambar 2. Tujuan Pendidikan Karakter... 42
Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir ....………..……. 59
Gambar 4. Teknik Analisis Data Miles dan Huberman ..……….... 70
Gambar 5. Lambang Puspanegara ...……….……...………... 74
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Surat-surat Perizinan………... 160
Lampiran 2. Pedoman Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi…... 163
Lampiran 3. Transkrip Wawancara………... 169
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian……….. 180
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia secara
terus-menerus berlangsung tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Hal ini
ditandai dengan banyaknya masalah yang timbul dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, yang mengharuskan berbagai pihak untuk peka, bertindak dan
segera mencari solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu krisis yang
terjadi di Indonesia adalah krisis karakter. Krisis karakter merupakan salah
satu fenomena sosial yang akhir-akhir ini terjadi di masyarakat. Krisis
karakter terjadi ditandai dengan semakin banyaknya perilaku menyimpang
dan di luar batas moral yang dilakukan, baik yang dilakukan oleh individu
maupun kelompok.
Krisis karakter dapat diartikan sebagai sikap mental yang memandang
bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, dan bisa
dicapai dengan menadahkan tangan ataupun dengan menuntut ke kiri dan ke
kanan. Sebagaimana yang kita ketahui, karakter bangsa justru semakin
mengalami kemerosotan. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia. Kasus korupsi ini pun sudah merambah di
lingkungan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN Negara.
Kasus-kasus seperti suap-menyuap pada anggota DPR, korupsi perpajakan
lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain adalah beberapa contoh kasus
2
menggambarkan bahwa semakin lama aktivitas yang ada di lembaga Negara
semakin terjebak kepada budaya koruptif, bahkan dapat mengacu pada
budaya yang lebih materialistik. Padahal, sebuah lembaga kenegaraan
haruslah jauh dari kepentingan materialistik dan harus mengacu pada
nilai-nilai pendidikan spiritualitas, sebagaimana yang dicita-citakan. Masalah
tersebut hanya sebagian contoh kecil dari merosotnya karakter bangsa, namun
membutuhkan upaya besar dalam memperbaikinya. Selain itu, kebiasaan
menimpakan kesalahan kepada orang lain juga merupakan salah satu karakter
yang menghambat kemajuan bangsa ini.
Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi sosial
masyarakat, krisis karakter yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, baik
faktor internal maupun eksternal. Adapun penyebab yang menjadi pemicu
krisis karakter yang terus berkelanjutan hingga kini sebagaimana dipaparkan
oleh Gede Raka (2007: 4-6, sebagaimana dikutip Dwiningrum, 2014: 196)
antara lain yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang
melimpah, pembangunan ekonomi, surutnya idealisme, dan kurang berhasil
belajar dari pengalaman bangsa sendiri.
Penyebab yang pertama adalah sikap terlena oleh sumber daya alam
yang melimpah. Dalam setiap pikiran orang Indonesia telah ditanamkan
pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber
daya alamnya yang melimpah. Hal tersebut dijadikan salah satu unsur
kebanggaan bangsa Indonesia. Memang benar memiliki sumber daya alam
3
permasalahan tersendiri apabila tidak dapat diolah dengan baik. Kedua adalah
pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik. Di Indonesia
sendiri, secara sadar maupun tidak sadar pembangunan nasional masih
berorientasi pada pembangunan secara fisik dan ekonomi. Hal ini dapat
dilihat dan rasakan dengan terwujudnya berbagai sarana yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Begitu juga pembangunan ekonomi yang ditandai dengan
berkembangnya berbagai usaha dan industri, mulai dari industri kecil,
menengah, sampai pada skala yang besar. Sudah saatnya pembangunan
nasional berorientasi pada pembangunan secara non-fisik, seperti
meningkatkan kecerdasan bangsa dan membangun karakter bangsa. Ketiga
adalah surutnya idealisme, di mana dengan adanya pembangunan ekonomi ini
pula, masyarakat Indonesia melakukan segala cara agar mereka dapat
memperoleh keuntungan atau keberhasilan. Dengan kata lain bangsa
Indonesia menyukai hal yang instan tanpa harus bersusah payah. Keempat
adalah kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri. Kemerdekaan
bangsa yang diperjuangkan para pahlawan dengan kekuatan senjata dan
berubah dengan kekuatan modal maya harusnya menjadi catatan bahwa
keberhasilan memerlukan pemikiran besar (kecerdasan). Hal ini yang
tampaknya belum menginternalisasi dalam bangsa Indonesia sendiri (Gede
Raka, 2007: 4-6).
Krisis karakter yang terjadi sebenarnya merupakan dampak dari
kegagalan bangsa Indonesia dalam hal pembangunan nasional. Dengan
4
berhasil secara optimal. Padahal menurut M. Yasin (2016:1), pembangunan
nasional merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan seluruh aspek
kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, yang sekaligus merupakan proses
pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan Negara untuk
mewujudkan tujuan nasional. Mustofa (2016:1) menjelaskan bahwa
pembangunan nasional ini dimaksudkan untuk memacu peningkatan
kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan
sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Dengan kata lain
pembangunan nasional merupakan cerminan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Kebijakan
pembangunan nasional juga merupakan artikulasi dari aspirasi bangsa dalam
menyikapi kegalauan seluruh komponen bangsa tentang kondisi yang
dirasakan mengkhawatirkan saat ini dan prospek bangsa di masa depan.
Dalam hal ini menyangkut persoalan budaya dan karakter yang kini menjadi
sorotan tajam masyarakat. Persoalan yang muncul di masyarakat pun menjadi
topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan berbagai kegiatan
lainnya.
Pelaksanaan pembangunan nasional harus dipahami sebagai proses
yang komprehensif. Pelaksanaan pembangunan nasional mencakup berbagai
aspek kehidupan masyarakat, antara lain aspek politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan, serta pendidikan secara berencana,
menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap, dan berkelanjutan. Salah satu pilar
5
sebagai sarana mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta
didik. Pendidikan menjadi pioner dalam perbaikan sekaligus pembentukan
karakter bangsa. Pendidikan yang baik tidak hanya sekedar menanamkan
pengetahuan tetapi juga mendidik anak dengan menanamkan nilai-nilai moral
pada anak. Pendidikan tidak dapat disebut sebagai pendidikan kalau tidak
mempunyai tujuan untuk mencapai kebaikan anak di dalam arti yang
sebenarnya.
Pembangunan nasional pada bidang pendidikan bertujuan untuk
menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila. Pendidikan bermutu dalam pembangunan suatu bangsa dapat
melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi,
karena tanpa adanya pendidikan yang bermutu, maka tujuan pembangunan
suatu bangsa tidak dapat terwujud dengan baik.
Dari pernyataan di atas, pendidikan yang bermutu diharapkan dapat
mengatasi krisis karakter bangsa yang terjadi, karena pendidikan dipandang
sebagai agen perubahan sosial yang diharapkan peranannya mampu
mewujudkan perubahan nilai-nilai sikap, moral, pola pikir, perilaku
intelektual, keterampilan, dan wawasan yang sesuai dengan tujuan pendidikan
itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat membentuk
karakter bangsa yang seutuhnya yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.
Pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia dirasa kurang berhasil
mengingat kualitas dan karakter manusia yang dihasilkan tidak sesuai dengan
6
yang menonjol dan dimiliki oleh orang Indonesia adalah tidak suka bekerja
keras, sikap tidak jujur seperti kejahatan korupsi yang sedang menjadi
fenomena di Indonesia, kurang bisa menghargai prestasi orang lain, suka
mengolok-olok, dan kreativitas yang kurang karena lebih suka meniru
daripada menciptakan sehingga muncul sikap atau rasa kurang bahkan tidak
percaya diri terhadap hasil karya mereka sendiri. Sebagai contoh masih
maraknya kasus tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiwa, kasus
mencontek dalam kelas sehari-hari, jual beli jawaban soal Ujian Nasional,
tindak asusila yang dilakukan oleh sebagian besar remaja, serta remaja
tersangkut jaringan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pemakai,
merupakan sebagian contoh masalah krisis karakter yang terjadi di kalangan
generasi muda.
Hal tersebut di atas tidak sejalan dengan apa yang tertulis di dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Di dalam
Undang-Undang tersebut secara jelas disebutkan bahwa fungsi pendidikan
nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Selain itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada pasal 77 pun
menyebutkan bahwa pendidikan menengah termasuk sekolah bertujuan
membangun landasan bagi berkembangnya potensi didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
7
kreatif, dan inovatif, sehat, mandiri, dan percaya diri, toleran, peka, sosial,
demokratis, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pernyataan di atas, tugas pendidikan tidak hanya
mengembangkan kemampuan peserta didik yang cerdas secara ilmu tetapi
juga membentuk watak, karakter, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan
hendaknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya mementingkan aspek
kognitif saja tetapi juga memperhatikan aspek afeksi dan psikomotor.
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan sangat berkaitan
dengan pembentukan karakter peserta didik.
Sukono (2013:1) menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga
pendidikan yang berperan strategis dalam pembentukan karakter peserta
didik. Sekolah merupakan tempat kedua bagi peserta didik dalam melakukan
proses sosialisasi setelah keluarga, sehingga anak diharapkan dapat menyerap
nilai-nilai karakter yang diajarkan di sekolah, dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter adalah salah satu jenis pendidikan
yang harapan akhirnya adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki
integritas moral dan membekali peserta didik dalam mengambil keputusan
secara bijak sehingga nantinya mereka mampu untuk merefleksikannya dalam
kehidupan sehari-hari, baik berinteraksi dengan Tuhan, dengan masyarakat,
maupun dengan lingkungannya. Dalam mewujudkan pendidikan karakter,
diperlukan keterlibatan berbagai komponen yang ada di sekolah.
Komponen-komponen tersebut di antaranya adalah pendidik, proses belajar-mengajar,
8
pemberdayaan sarana prasarana. Oleh karena itu, diharapkan semua
komponen tersebut dapat menunjang pemberdayaan pendidikan karakter.
Sebagian besar sekolah sudah mengimplementasikan pendidikan
karakter. Para pendidik mulai menyuarakan pendidikan karakter kepada
peserta didiknya, tetapi yang mereka tanamkan sekedar teori tanpa ada
tindakan nyata. Sekolah-sekolah mengadopsi pendidikan karakter tanpa tahu
urgensi pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter diharapkan
menjadi obat mujarab bagi pembentukan kepribadian anak didik, namun
penerapan pendidikan karakter di sekolah masih kurang karena sebatas
mengimplementasikan kebijakan tanpa ada niat untuk mempraktikkannnya
dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hanya mengejar konten pengajaran
daripada subtansi keilmuan yang menjadi titik utama dalam desain
kurikulum. Pendidik juga mengalami kesulitan dan terbentur dengan masalah
mengukur kemajuan karakter anak didik agar dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan pendidikan saat ini.
Ratna Megawati sebagaimana dikutip oleh Dharma Kesuma (2011:5)
menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk
mendidik peserta didik agar mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan
karakter di sini membekali peserta didik dalam mengambil keputusan secara
bijak dan nantinya tindakan mereka ini dapat memberikan sumbangan positif
nilai-9
nilai karakter secara teoritis tetapi yang dibutuhkan anak adalah sosok
keteladanan. Oleh karena itu, karakter bagi peserta didik sangat penting agar
mereka mampu untuk bersosialisasi dengan baik di dalam lingkungannya.
Akhmad Sudrajat (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter
dapat diartikan sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha yang dilakukan secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu
pembentukan karakter secara optimal) (akhmadsudrajat.wordpress.com). Dari
pengertian di atas terdapat 18 butir nilai-nilai yang ingin ditanamkan melalui
pendidikan karakter, di antaranya adalah nilai religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,
cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab. Agar nilai-nilai di atas dapat tercapai dan diwujudkan maka
diperlukan metode dalam penanaman pendidikan karakter ini melalui metode
pembelajaran, yaitu metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode
pujian serta hukuman.
Pendidikan karakter perlu ditanamkan pada diri peserta didik.
Pendidikan karakter akan berhasil secara optimal jika didukung oleh semua
elemen yang ada di dalam masyarakat, khususnya warga sekolah. Sekolah
sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa elemen, mulai dari Kepala Sekolah,
komite sekolah, pendidik, peserta didik, kurikulum, fasilitas pendidikan, yang
10
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, elemen-elemen tersebut
harus bisa membangun sebuah energi sosial untuk mencapai kualitas
pendidikan yang lebih baik. Energi sosial tersebut salah satunya adalah
pendayagunaan modal sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kurotul Aeni mengenai Pendayagunaan Modal Sosial dalam Pendidikan
Karakter di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta, dapat
dijelaskan bahwa jenis-jenis pendayagunaan modal sosial dalam pendidikan
karakter pada budaya dan program sekolah yang diterapkan di SD
Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta meliputi
pendayagunaan modal sosial kerjasama dan tindakan kolektif, kelompok dan
jaringan, kepercayaan dan solidaritas sosial, informasi dan komunikasi,
kohesi dan inklusi sosial, pemberdayaan, norma,bonding, bridging, dan
linking. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan menggerakkan atau adanya modal sosial, secara tidak langsung dapat membentuk karakter
peserta didik. Selain itu, perlu adanya kerjasama antar elemen sekolah, agar
tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.
Modal sosial adalah unsur penting yang diharapkan mampu
membantu untuk mengatasi masalah krisis karakter. Modal sosial merupakan
hal penting dalam membentuk karakter peserta didik karena memuat
nilai-nilai, norma-norma, keyakinan, kerjasama, kepercayaan, jaringan dan juga
partisipasi. Modal sosial dapat dikatakan penting jika hal-hal yang terdapat
dalam modal sosial mampu untuk dijadikan patokan dalam membentuk
11
bagaimana ia mempunyai modal sosial yang tinggi dalam kehidupannya.
Kunci sukses keberhasilan suatu Negara ditentukan oleh sejauh mana
masyarakat, dalam hal ini peserta didik mempunyai karakter yang kondusif
untuk bisa maju. Kualitas karakter sebuah Negara dicirikan dari kualitas
karakter generasi mudanya, yang menjadi indikator penting apakah sebuah
bangsa bisa maju atau tidak. Oleh karenanya, jika suatu Negara ingin maju
maka karakter yang dimiliki oleh generasi mudanya haruslah baik. Hal ini
ditandai dengan tingginya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat,
khususnya peserta didik.
Modal sosial masih belum dipahami atau dinilai oleh sekolah sebagai
aspek penting yang mampu untuk membentuk karakter anak. Namun
demikian, ada salah satu sekolah di Kota Yogyakarta yang sudah
menggunakan modal sosial dalam membentuk karakter anak, yaitu SMA
Negeri 5 Yogyakarta. Berdasarkan pengamatan awal, sebagian besar peserta
didik di SMA Negeri 5 Yogyakarta mempunyai karakter yang dapat
dikatakan baik (bermuara pada karakter sholeh/insan kamil). Hal ini dikarenakan SMA Negeri 5 Yogyakarta merupakan sekolah yang berbasis
afeksi, di mana peserta didik tidak hanya akan diberi materi pelajaran yang
bersifat kognitif, tetapi juga menyentuh afeksi peserta didik yang bisa
menumbuhkan kesadaran baru. Selain itu, SMA Negeri 5 Yogyakarta
memiliki potensi-potensi untuk mengembangkan diri, seperti memiliki
pendidik yang profesional, mempunyai sarana prasarana yang memadai, serta
Potensi-12
potensi tersebut menjadi bahan dasar dari modal sosial yang ada pada SMA
Negeri 5 Yogyakarta. Dalam hal ini, rasa kepercayaan, nilai/norma, jaringan
(hubungan) sosial, kerjasama, dan partisipasi warga sekolah dalam
pembentukan karakter perlu untuk dilakukan agar karakter yang dimiliki
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, penelitian yang
terkait dengan peran modal sosial dalam membentuk karakter anak menjadi
suatu hal yang penting. Harapannya dengan memanfaatkan modal sosial
tersebut, sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan mempunyai andil yang
besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Dari pernyataan tersebut,
maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menggali mengenai modal sosial
ini. Adapun judul penelitian yang penulis angkat yaitu: “Peran Modal Sosial
dalam Membentuk Karakter Anak di SMA Negeri 5 Yogyakarta.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi masalah dalam
penelitian ini antara lain:
1. Salah satu krisis yang terjadi di Indonesia adalah krisis karakter.
2. Maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
3. Adapun penyebab yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus
berkelanjutan hingga kini antara lain yang pertama adalah sikap terlena
oleh sumber daya alam yang melimpah, pembangunan ekonomi, surutnya
idealisme, dan kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri.
4. Krisis karakter merupakan dampak dari kegagalan bangsa Indonesia dalam
13
5. Pendidikan di Indonesia dirasa kurang berhasil mengingat kualitas dan
karakter manusia yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan nasional pendidikan.
6. Maraknya krisis karakter di kalangan generasi muda.
7. Kurangnya penerapan pendidikan karakter di sekolah karena sebatas
mengimplementasikan kebijakan tanpa ada niat untuk mempraktikkannya.
8. Modal sosial yang dimiliki belum dipahami oleh sekolah kaitannya dengan
membentuk karakter anak.
C. Fokus Penelitian
Untuk menghindari meluasnya pembahasan, maka penelitian ini
difokuskan pada peran modal sosial dalam membentuk karakter anak.
D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, dapat ditarik rumusan masalah dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pendidikan karakter yang terjadi di SMA Negeri 5
Yogyakarta?
2. Modal sosial apa yang dimiliki oleh SMA Negeri 5 Yogyakarta?
3. Bagaimana peran modal sosial dalam membentuk karakter anak di SMA
Negeri 5 Yogyakarta?
E. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan pendidikan karakter yang terjadi di SMA Negeri 5
14
2. Untuk memetakan modal sosial yang dimiliki SMA Negeri 5 Yogyakarta.
3. Untuk mendeskripsikan unsur-unsur modal sosial dalam membentuk
karakter anak di SMA Negeri 5 Yogyakarta.
F. Manfaat
Manfaat dari adanya penelitian ini antara lain:
1. Manfaat bagi siswa adalah siswa dapat memahami dan mengembangkan
modal sosial sekolah dan siswa tersebut mempunyai karakter yang baik.
2. Guru dapat memberikan dan mengembangkan metode pengajaran yang
terkait dengan pendidikan karakter.
3. Manfaat bagi sekolah adalah dapat memberi masukan yang berarti terkait
dengan pendidikan karakter dan mampu untuk mengembangkan modal
sosial yang dimiliki.
4. Selain itu diharapkan menjadi bahan rujukan dan pertimbangan bagi
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Modal Sosial
1. PengertianModal Sosial
Fukuyama (2002:12) mendefinisikan modal sosial sebagai
serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya
kerjasama di antara mereka. Sedangkan Putnam (sebagaimana dikutip
Field, 2005:51) mendefinisikan bahwa modal sosial sebagai bagian dari
kehidupan sosial, seperti jaringan, nilai, dan kepercayaan yang timbul di
antara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Kedua tokoh tersebut
menyatakan bahwa modal sosial merupakan bagian dari sebuah jaringan
atau organisasi, nilai dan norma dalam suatu masyarakat untuk mendorong
terjadinya sebuah kerjasama dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Tujuan di atas dijelaskan kembali oleh Lawang (sebagaimana
dikutip Damsar, 2011:183) bahwa modal sosial adalah semua kekuatan
sosial komunitas yang dikonstruksikan individu atau kelompok dengan
mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat
mencapai tujuan individual dan atau kelompok secara efisien dan efektif
dengan capital lainnya. Jadi, tujuan yang dicapai bukan hanya tujuan individual saja, namun juga tujuan kelompok, dan dilaksanakan secara
16
Sedangkan Bourdieu (sebagaimana dikutip Dwiningrum, 2014:5)
menjelaskan bahwa modal sosial adalah keseluruhan sumber daya yang
aktual dan potensial yang berhubungan dengan kepemilikan suatu jaringan
yang bertahan dari hubungan-hubungan yang kurang lebih melembaga dan
saling menghargai. Modal sosial merupakan suatu modal hubungan yang
tetap ada yang memberikan dukungan yang bermanfaat ketika diperlukan.
Hubungan-hubungan yang stabil menciptakan kehormatan dan nama baik
di antara anggota kelompok, dan karenanya sangat efektif untuk
membangun dan menjaga kepercayaan. Dalam hal ini, modal sosial
digunakan sebagai sumber daya kelompok dalam menciptakan hubungan
harmonis antar anggota organisasi atau lembaga berdasarkan rasa
kepercayaan dan jaringan yang dimiliki.
Nan Lin (2004:24-25, sebagaimana dikutip Wibowo, 2012:21)
memberikan definisi modal sosial secara operasional, yaitu sebagai
sumber daya yang tertanam pada akses jaringan sosial dan digunakan oleh
pelaku untuk melakukan suatu tindakan. Modal sosial di sini dimaksudkan
sebagai sumber daya dan motor penggerak seseorang dalam melakukan
sebuah tindakan.
Colleta dan Cullen (2000, sebagaimana dikutip Nasdian, 2006)
mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada
atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum
17
kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik,
manusiawi, budaya), sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif,
pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan.
Hasbullah (2006) menjelaskan bahwa inti modal sosial terletak
pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau
kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai
tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi
yang timbal balik dan saling menguntungkan (reciprocity), dan dibangun di atas kepercayaan (trust) yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Selain itu, untuk mencapai tujuan tertentu, modal sosial juga
merupakan investasi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini dijelaskan oleh
Damsar (2011:184) bahwa modal sosial merupakan suatu investasi sosial
yang di dalamnya meliputi sumber daya sosial, seperti jaringan,
kepercayaan, nilai, dan norma, serta kekuatan yang menggerakkan, dalam
struktur sebuah hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual ataupun
kelompok secara efektif dan efisien dengan modal lainnya. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Farida Hanum (2011:26-27) yang menjelaskan
bahwa modal sosial mempunyai gagasan sentral, yaitu sebuah jaringan
sosial yang merupakan aset bernilai dan memberikan dasar bagi solusi
sosial karena menolong orang bekerjasama satu sama lain, serta tidak
18
manfaat timbal balik. Jadi, modal sosial merupakan investasi sosial
sekaligus aset yang bernilai penting bagi seseorang atau kelompok.
Pratikno, dkk (sebagaimana dikutip Damsar, 2011:184)
menemukan bahwa berdasarkan studi literatur, terdapat tiga level bentuk
modal sosial yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Nilai terdiri dari
simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan
timbal balik. Sementara itu, institusi mencakup keterlibatan umum sebagai
warga Negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Adapun mekanisme meliputi kerjasama dan sinergi antar kelompok. Ketiga hal ini
juga terdapat pada penjelasan yang dikemukakan Dario Castiglione
(2008:16, sebagaimana dikutip Ria Putri Palupijati, 2014:23), yaitu
Social capital relates to a family of concepts, such as trust, civil society, and associations, which, like it, have both descriptive and normative characteristic, and which in different ways point to the benefits of social cooperation and social connectedness, but whose effects cannot be seen as exclusively positive.
Dalam pernyataan tersebut, Dario Castiglione menjelaskan bahwa modal
sosial berhubungan dengan konsep kekeluargaan, seperti kepercayaan,
masyarakat sipil, dan asosiasi atau perkumpulan, di mana hal tersebut
seperti mempunyai deskriptif dan karakteristik normatif, dan mempunyai
poin-poin yang berbeda untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama dan
keterhubungan sosial, akan tetapi efek yang diberikan tidak bisa dilihat
secara langsung.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat diperoleh
19
digunakan sebagai investasi yang berupa hubungan sosial yang terjadi
secara terus-menerus dalam suatu kelompok, sehingga memudahkan untuk
menjalin kerjasama yang difasilitasi oleh jaringan, kepercayaan, dan
norma-norma dalam mencapai tujuan individu dan atau kelompok agar
dapat lebih efektif dan efisien.
2. Unsur Modal Sosial
Modal sosial merupakan sebuah investasi non-fisik yang
diperlukan untuk meningkatkan peran modal lainnya, seperti modal
ekonomi dan modal budaya. Hal ini dikarenakan ketiga modal tersebut
saling berhubungan dan berkaitan dalam sebuah usaha mencapai tujuan
bersama. Dalam hal ini, modal sosial merupakan serangkaian barang
keperluan umum (public goods). Sudiyono (2007:6) menjelaskan bahwa
public goods adalah barang yang ketika disediakan akan memberikan pengaruh eksternal terhadap orang lain. Oleh karena itu, modal sosial
sangat penting dalam suatu organisasi, lembaga, maupun kelompok
tertentu.
Putnam (dalam Christiaan Grootaert and Thierry van Bastelaer,
2002:189) menguraikan bahwa modal sosial merupakan ciri-ciri dari
organisasi sosial, di mana dalam organisasi sosial tersebut melibatkan
beberapa unsur atau elemen, seperti kepercayaan, norma (aturan), dan
jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi dalam kelompok masyarakat
20
Ada beberapa unsur yang terdapat di dalam modal sosial antara
lain kepercayaan, nilai, norma, jaringan, kerjasama, dan partisipasi.
a. Kepercayaan
Sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama (2002:22-25),
kepercayaan adalah harapan pengharapan yang muncul dalam sebuah
komunitas yang berlaku normal, jujur, dan kooperatif berdasarkan
norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota lain
dari komunitas itu. Melalui kepercayaan orang-orang dapat
bekerjasama secara efektif, oleh karena ada kesediaan di antara mereka
untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan
individu. Semuanya ini melekat pada budaya dalam suatu entitas sosial
dan menjadi energi luar biasa guna mengembangkan institusi-institusi
dan kemampuan berkompetisi secara sehat, guna memperoleh
kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi bersama-sama bagi entitas
sosial yang menyandangnya.
Tanpa adanya kepercayaan, masyarakat akan merasa enggan
untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas dan atau mencapai
tujuan suatu kelompok. Adanya kepercayaan yang mendukung
terwujudnya jaringan sosial juga dapat membuat solidaritas di dalam
kelompok. Jika masyarakat saling bekerjasama dan saling percaya
yang didasarkan kepada nilai dan norma yang ada, maka akan
menghilangkan sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas, dan
ketimpangan-21
ketimpangan dalam kelompok maupun antar kelompok (Modul
Diskusi Modal Sosial, Marnia Nes)
Dalam hal membangun kepercayaan, diperlukan beberapa
proses yang dilakukan secara terus-menerus, bukan hanya sekali
proses. Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan dalam membangun
kepercayaan, di antaranya penerimaan, berbagi informasi dan
kepedulian, menentukan tujuan, serta pengorganisasian dan tindakan
(Modul Diskusi Modal Sosial, Marnia Nes)
b. Nilai dan norma
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011:137) menjelaskan pada
dasarnya norma memiliki fungsi untuk menunjukkan arah bagi tingkah
laku di dalam kehidupan sosial. Hal tersebut karena norma merupakan
petunjuk, kaidah, atau aturan untuk berbuat atau berperilaku yang
dibenarkan untuk mewujudkan nilai atau tujuan. Nilai dan norma
sangat berkaitan satu sama lain, namun nilai dan norma sering kali
disamakan. Padahal terdapat perbedaan di antara keduanya. Norma
sosial akan menjabarkan nilai-nilai dengan lebih rinci ke dalam bentuk
tata aturan atau tata kelakuan yang secara makro adalah konstitusi,
undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi, dan aturan tak tertulis
lainnya.
Francis Fukuyama (dalam Agung Wibowo, 2007:20)
menjelaskan bahwa dalam modal sosial, nilai dan norma berfungsi
22
kelompok. Hal ini menekankan nilai dan norma pada dimensi yang
lebih luas, yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu
untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan di
dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan
dipatuhi.
Soerjono Soekamto (sebagaimana dikutip Elly M. Setiadi dan
Usman Kolip, 2011:133) menjelaskan bahwa norma-norma atau norma
sosial itu sendiri terbentuk melalui proses, dan proses tersebut terjadi
secara tidak sengaja di dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, untuk
mengarahkan perorangan agar dapat menjalani kehidupan sosial perlu
adanya aturan dan sanksi sebagai batasan terhadap jalan yang baik.
Dengan demikian, adanya norma-norma yang berisi aturan-aturan dan
sanksi tersebut tidak dibuat untuk dilanggar, namun harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi suatu kebiasaan dalam
berperilaku.
c. Jaringan sosial
Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial
terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau
perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan
sosial. Hubungan manusia sangat berarti baginya sebagai individu.
Dapat dikatakan bahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui
siapa yang kita kenal. Secara lebih luas, ikatan-ikatan di antara
23
sosial yang lebih luas. Dalam pandangan Field (2005:16) ide sentral
dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan
suatu aset yang bernilai. Jaringan-jaringan menyediakan suatu basis
bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama
satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal
secara langsung agar saling menguntungkan. Dalam alokasi sumber
daya alam jaringan, transaksi terjadi tidak melalui pertukaran yang
terpisah atau restu administratif, tetapi melalui jaringan-jaringan
individu yang terlibat dalam aksi-aksi timbal balik, saling
mengutamakan, dan saling mendukung.
Jaringan dapat dikatakan sebagai sumber daya dari modal
sosial karena dengan kepemilikan hubungan antarindividu yang
memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan
sesuatu sebagai simpul dan ikatan, maka para aktor memiliki sesuatu
modal yang mampu diinvestasikan dalam suatu struktur hubungan
sosial.
Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari
modal sosial. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara
individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam
tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan
hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas
sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok
24
garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun- temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun
atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan
organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi
anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.
Pada dasarnya modal sosial merupakan kerjasama yang
dibangun dengan untuk mencapai tujuan. Kerjasama yang terjalin
tercipta ketika telah terjadinya hubungan interaksi sosial sehingga
menghasilkan jaringan kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya
dan terbentuknya nilai dan norma dalam hubungan interaksi tersebut.
d. Kerjasama
Unsur yang keempat adalah kerjasama, yang merupakan salah
satu ciri suatu hubungan relasi yang berjalan dengan baik. Suranto Aw.
(2011:29) mengatakan kerjasama timbul apabila seseorang menyadari
bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan
pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan tersebut. Dijelaskan pula berbagai bentuk kerjasama, yaitu
kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong,
barang-25
barang dan jasa antara dua orang atau lebih), ko-optasi (suatu proses
penerimaan unsur-unsur baru dalam suatu hubungan interpersonal),
koalisi (kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai
tujuan-tujuan yang sama), joint venture (kerjasama dalam pengesahan proyek-proyek tertentu).
e. Partisipasi
Unsur yang kelima adalah partisipasi. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam
suatu kegiatan atau keikutsertaan atau peran serta (KBBI daring 2014).
Menurut Made Pidarta (sebagaimana dikutip oleh Dwiningrum,
2015:50) partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang
dalam suatu kegiatan.
Engkoswara dan Aan Komariah (2010:295) menjelaskan
bahwa partisipasi penting untuk meningkatkan rasa memiliki yang
berimbas pada rasa tangung jawab dan kontribusi dan atau dedikasi.
Partisipasi melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian
pendidikan.
Bentuk partisipasi menurut Effendi yang dikutip oleh
Dwiningrum (2015:58), terbagi atas partisipasi vertikal dan horizontal.
Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam
masyarakat yang terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam
26
sebagai posisi bawahan. Sedangkan partisipasi horizontal adalah di
mana masyarakat tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa, di mana
setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal
antara satu dengan lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama,
maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Menurut
Effendi sendiri, tentu saja partisipasi seperti ini merupakan tanda
perrmulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara
mandiri.
B. Karakter
1. Pengertian Karakter
Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa Latin
character, yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Secara terminologi (istilah), karakter diartikan
sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor
kehidupannya sendiri (Hadiyo, 2014).
Abdul Majid dan Dian Andayani (2012:11) mendefinisikan
karakter sebagai sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang menjadi ciri
khas seseorang atau sekelompok orang. Yahya Khan (2010:1) juga
mendefinisikan karakter sebagai sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang
stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis.
Sedangkan Griek yang dikutip Zubaedi (2011:9) merumuskan
definisi karakter sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat
27
dengan yang lainnya. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai
identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga
seseorang atau sesuatu itu berbeda dari yang lain. Karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter menurut Zubaedi (2011:10) meliputi sikap seperti
keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti
kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,
mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan,
kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang
berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk
berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan dapat bertanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah
sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain. Karakter adalah nilai-nilai yang terpateri dalam diri dan
terjewantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari
hasil pola pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang
28
William Berkovitz (2002:45, sebagiamana dikutip Zuchdi,
2011:14) mendefinisikan karakter sebagai serangkaian ciri-ciri psikologis
individu yang mempengaruhi kemampuan pribadi dan kecenderungan
berfungsi secara moral. Secara singkat karakter diartikan sebagai tersusun
atas ciri-ciri yang akan memandu seseorang melakukan hal-hal yang benar
atau tidak akan mengerjakan hal-hal yang tidak benar. Otonomi moral itu
penting sebab ia akan menyempurnakan moralitas seseorang. Berkovitz
juga menjelaskan ada 7 ciri otonomi moral, yaitu perilaku moral,
nilai-nilai, kepribadian, emosi, penalaran, identitas, dan karakter utama.
Karakter menurut Kalidjernih (2010) lazim dipahami sebagai
kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada
setiap individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau
tindakan yang dapat dievaluasi dalam berbagai situasi. Dengan kata lain,
karakter adalah gambaran perilaku atas tindakan yang dilakukan oleh
setiap individu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Purwasasmita (2010) disebut watak jika telah
berlangsung dan melekat pada diri seseorang. Karakter juga dapat
dipahami sebagai watak dari seseorang. Karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Hasan, dkk (2010:3, sebagaimana dikutip Zuchdi, 2011:253)
29
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Akan tetapi, karena manusia
hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan
karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan
sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan
karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan
yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya
masyarakat, dan budaya bangsa.
Menurut Fatchul Mu’in (2011:161) ciri-ciri karakter antara lain sebagai berikut:
a. Karakter adalah “siapakah dan apakah kamu pada saat orang lain sedang melihat kamu? (character is what you are when nobody is looking).
b. Karakter merupakan hasil nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan
(character is the result of values and beliefs).
c. Karakter adalah sebuah kebiasaan yang menjadi sifat alamiah kedua
(character is a habit that becomes second nature).
d. Karakter bukanlah reputasi atau apa yang dipikirkan oleh orang lain
terhadapmu (character is not reputation or what other think about you).
30
f. Karakter tidak relatif (character is not relative).
Dari ciri-ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan segala
gambaran tingkah laku atau perilaku individu dalam kehidupan
sehari-hari, yang tertanam dalam diri individu tersebut, berdasarkan dengan
nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya.
Selain itu, Lickona (2013: 82) juga mengemukakan bahwa karakter
berkaitan erat dengan pengetahuan moral, sikap moral, dan perilaku moral.
Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter
yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk
berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Lickona juga
menjelaskan bahwa konsep moral memiliki komponen kesadaran moral,
pengetahuan nilai moral, pandangan ke depan, penalaran moral,
pengambilan keputusan dan pengetahuan sendiri. Perilaku moral terdiri
dari komponen kemampuan, kemauan, dan kebiasaan. Kelengkapan
komponen moral dimiliki seseorang akan membentuk karakter yang baik.
Lickona (1991, dalam Rukiyati, 2013:116) menyatakan bahwa
untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendekatan
pendidikan moral yang komprehensif. Komponen-komponen karakter
yang baik mencakup pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Secara diagramatik, komponen-komponen karakter yang baik oleh Lickona digambarkan
31
Gambar 1. Komponen Karakter Baik menurut Thomas Lickona
Anak panah yang menghubungkan masing-masing domain karakter
dimaksudkan untuk menekankan sifat saling berhubungan masing-masing
domain tersebut. Pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral
tidak berfungsi sebagai bagian yang terpisah, namun saling melakukan
penetrasi dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam cara apapun.
Komponen-komponen karakter yang baik menurut Lickona
(2013:85) akan dijabarkan sebagai berikut:
32
1) Moral awareness atau kesadaran moral atau kesadaran hati nurani, yang terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab moral dan berpikir
secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut.
2) Knowing moral values atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral tersebut antara lain rasa hormat tentang kehidupan
dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi,
kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan
keteguhan hati.
3) Perspective-taking atau perspektif yang memikat hati, adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat
sesuatu seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia
seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan. Tujuan fundamental
dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik
memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain,
khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri mereka sendiri.
4) Moral reasoning atau pertimbangan-pertimbangan moral, adalah pengertian tentang apa yang dimaksud dengan bermoral, dan
mengapa kita harus bermoral dalam berperilaku sehari-hari.
5) Decision-making atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral.
33
bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihat kembali
perilaku yang pernah diperbuat.
Komponen-komponen di atas merupakan gambaran kualitas manusia
utama, yang membuat orang memiliki pengetahuan moral (moral knowing), yang semuanya ini berkontribusi terhadap bagian dari kognitif karakter.
b. Komponen dalam moral feeling, yang meliputi enam unsur penting, yaitu:
1)Conscience atau kata hati (hati nurani), yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi
(rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu).
2)Self-esteem atau harga diri. Mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri sendiri, dan jika kita menilai diri sendiri, berarti kita
merasa hormat terhadap diri sendiri, dan dengan cara demikian kita
akan mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kita sendiri.
3)Empathy atau empati, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, atau
merasakan apa yang orang lain rasakan.
4)Loving the good atau cinta pada kebaikan.
5)Self-control atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
34
hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri
sendiri.
Komponen-komponen di atas akan memperbaiki bagian emosi dari
moralitas diri sendiri.
c. Komponen-komponen dari moral action meliputi tiga unsur penting, yaitu:
1) Competence atau kompetensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan
dalam perilaku moral yang efektif.
2) Will atau kemauan, adalah kemampuan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energi moral untuk
bertindak tentang apa yang dipikirkan dan apa yang harus
dikerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti.
3) Habit atau kebiasaan. Suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar perlu senantiasa dikembangkan.
Tugas pendidikan moral adalah membantu peserta didik supaya
memiliki karakter atau akhlak atau budi pekerti yang baik, sekaligus
dimilikinya dalam diri peserta didik, pengetahuan, perasaan, dan tindakan
moral yang saling melengkapi satu sama lain, dalam suatu kesatuan
organis, harmonis, dan dinamis. Sedangkan tujuan pendidikan moral
adalah membantu peserta didik agar menjadi bijak atau pintar dan
35
dimilikinya nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia dan
mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat.
2. Membentuk Karakter Anak
Pembentukan karakter merupakan tujuan yang sangat penting dari
semua rangkaian proses pelaksanaan pendidikan karakter. Menumbuh-
kembangkan karakter yang bermoral bukan sekedar persoalan
penyampaian teori tentang ilmu etika dan moral sebagai mata pelajaran di
sekolah, melainkan membangun kebiasaan yang berkesinambungan dari
hari ke hari. Bagi seorang anak, untuk membangun kebiasaan tersebut
membutuhkan figur panutan yang dapat dijadikan teladan. Keteladanan
dari orang sekitarnya menjadi dasar pembentukan konsep moral yang
dimiliki anak. Pembentukan kepribadian seorang anak selama ini banyak
dipengaruhi oleh faktor dari dalam dirinya, lingkungan, pola asuh
orangtua, dan pendidikan di sekolah.
Selain itu, menurut Mulyasa (2014:161) menjelaskan bahwa
komunikasi antara sekolah dengan orangtua merupakan salah satu realisasi
dari akuntabilitas sekolah. Pentingnya komunikasi antara orangtua dan
sekolah, khususnya pendidik bertujuan untuk memastikan bahwa
anak-anak belajar secara efektif dan mendapatkan yang terbaik bagi
pertumbuhan dan perkembangan pribadi/karakter bagi peserta didik. Salah
satu cara komunikasinya adalah melalui catatan/buku penghubung yang
36
orangtua memantau sekaligus melaporkan perkembangan anak mereka di
sekolah.
Kementerian Pendidikan Nasional (2010) menjelaskan bahwa
secara psikologis dan sosiokultural pembentukan karakter dalam diri
individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi
sosiokultural (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosiokultural tersebut dapat dibagi ke dalam empat
kelompok, yaitu: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Menurut Agus Zainul Fitri (2012:58) langkah-langkah dalam
pembentukan karakter adalah:
a. Guru harus memahami karakteristik peserta didik.
b. Mengembangkan kompetensi anak melalui interaksi, minat,
kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.
c. Mendorong peserta didik agar mau mendapatkan keterampilan dalam
berbagai tingkah laku.
d. Menentukan batas-batas tingkah laku yang baik untuk dilakukan oleh
37
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah
pembentukan karakter dapat dilakukan dengan memahami karakteristik
peserta didik, dan dengan hal tersebut maka guru akan mudah dalam
mengajarkan pendidikan karakter kepada peserta didik. Apabila guru bisa
memahami langkah-langkah yang harus dilakukan maka keberhasilan
pendidikan karakter di sekolah bisa tercapai.
C. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Rahardjo dalam Syamsul Kurniawan (2014:30) menjelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistik yang
menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan
peserta didik sebagai fondasi terbentuknya generasi yang berkualitas yang
mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa
pendidikan karakter merupakan fondasi utama dalam pembentukan
karakter seseorang, agar karakter yang dimiliki berkualitas, sehingga ia
dapat hidup secara mandiri dan dapat mempertanggungjawabkan apa yang
dipilihnya.
Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha (2011) mendefinisikan
bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
38
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Peserta didik di sini diharapkan mampu secara mandiri untuk dapat meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasi serta
mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Ratna Megawati (sebagaimana dikutip oleh Dharma Kesuma,
2011:5) menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah usaha
untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak
dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan konstribusi yang positif kepada lingkungannya.
Pendidikan karakter di sini membekali anak-anak dalam mengambil
keputusan secara bijak dan nantinya tindakan mereka ini dapat
memberikan sumbangan positif bagi lingkungannya.
Muchlas Samani dan Hariyanto (sebagaimana dikutip NurAini
Farida, 2014:14) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah
proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, dan raga, serta rasa
dan karsa. Dalam hal ini pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk
manusia seutuhnya agar menjadi manusia yang berkualitas, baik dari segi
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sedangkan Zubaedi (2011:25) berpendapat bahwa pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang intinya merupakan
39
peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan
masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran,
dapat dipercaya, disiplin, dan kerjasama yang menekankan ranah afektif
(perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional),
dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama). Pendidikan karakter bertujuan agar peserta
didik mampu untuk mengimplementasikan ketiga aspek pendidikan
(kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah segala usaha dalam mendidik peserta didik
agar mampu untuk mengimplementasikan aspek-aspek pendidikan
(kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari, agar ia
dapat berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Negara. Tujuan pendidikan
nasional adalah membentuk watak peserta didik. Pendidikan karakter
berpijak dari karakter manusia yang bersumber dari nilai moral universal
dan yang bersumber dari agama.
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Secara umum, fungsi pendidikan karakter sesuai dengan fungsi
pendidikan nasional, pendidikan karakter dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara lebih khusus, Said Hamid Hasan (2014:5) menjelaskan bahwa
40
a. Pembentukan dan pengembangan potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan
potensi manusia atau warga Negara Indonesia agar berpikiran baik,
berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup
Pancasila.
b. Perbaikan dan Penguatan
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan
warga Negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut
berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi
manusia atau warga Negara menuju bangsa yang berkarakter, maju,
mandiri, dan sejahtera.
c. Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya
bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang
positif untuk menjadi karakter manusia dan warga Negara Indonesia
agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Sedangkan pendidikan karakter sebagaimana dijelaskan oleh
Mansyur Ramly (2011:2) bertujuan untuk membentuk bangsa yang
tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa
41
pendidikan karakter bangsa pada konteks instruksional dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa.
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa
yang religius.
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Selain pernyataan di atas, adapun tujuan pendidikan karakter dalam
setting sekolah menurut Dharma Kesuma (2011:9) adalah sebagai berikut: a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap
penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan
peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan.
Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan