• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemikiran Soekarno tentang Keadilan dan Kemerdekaan bagi Kaum Perempuan Ditinjau dari Perspektif Teori Keadilan Susan Moller Okin T2 752012002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemikiran Soekarno tentang Keadilan dan Kemerdekaan bagi Kaum Perempuan Ditinjau dari Perspektif Teori Keadilan Susan Moller Okin T2 752012002 BAB II"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TEORI KEADILAN SUSAN MOLLER OKIN

Pada bab ini, akan dibahas mengenai teori keadilan yang dikemukakan oleh

Susan Moller Okin berkaitan dengan nilai-nilai keadilan yang seharusnya terjamah

dalam konteks keluarga. Topik-topik yang akan menjadi pendukung dalam

pembahasan teori ini diawali dengan konteks yang mendukung terbentuknya

pandangan-pandangan dari Susan Moller Okin, kemudian akan diikuti dengan

pembahasan tentang Okin dan pergumulannya, yang terbagi dalam beberapa sub

topik yaitu; Keadilan dan Gender, Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan,

Libertarianisme: Matriarki, Perbudakan, dan Distopia, Justice As Fairness, Dikotomi

Publik/Domestik, dan Menuju Keadilan Yang Humanis. Pembahasan ini akan

dilanjutkan dengan Inti Kritik Susan Okin, Kelebihan dan Kekurangan dari Teori

Keadilan Okin, dan akan diakhiri dengan Kesimpulan. Berikut ini akan dijelaskan

tentang konteks yang mendukung pandangan Okin.

A.Konteks Yang Mendukung Pandangan Okin

Teori keadilan dari Susan Moller Okin dilatarbelakangi oleh beberapa hal:

Pertama, ia beranjak dari suasana politik, kedudukan bahkan peran kaum perempuan

di Amerika Serikat pada tahun 1980.1 Amerika dikenal sebagai bangsa yang menganut paham demokrasi liberal yang mencakup asas demokrasi dalam bidang

politik, kapitalisme dalam bidang ekonomi, dan individualisme yang terkait dengan

kedudukan dan hak asasi manusia. Konsep demokratis yang dibangun adalah konsep

yang menghargai hak asasi manusia. Oleh karena itu manusia bebas mengeluarkan

pendapat, bebas mengkritik dan dikritik, berhak berpartisipasi dalam berbagai

(2)

14 kegiatan masyarakat, berhak memperoleh kesempatan dalam: pendidikan, ekonomi,

dan politik. Dan hak asasi manusia dijunjung setinggi-tingginya. Sedangkan

individualisme diartikan untuk mengutamakan hak asasi manusia, yang melindungi

kemerdekaan dan kepentingan individu.2 Berikut ini akan dijelaskan mengenai situasi politik dan perkembangan kaum perempuan pada beberapa era yang terjadi di

Amerika.

Situasi politik di Barat masih didominasi oleh sistim patriarki, karena itu

politik perempuan dianggap mengacu pada hubungan dalam negeri. Hal ini dilihat

melalui perannya sebagai istri dan ibu di dalam rumah tangga. Misalnya; sanitasi

perkotaan yang efisien, makanan dan obat-obatan. Ini merupakan hukum murni bagi

perempuan sebagai perluasan dari tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu.

Kerber di dalam buku yang berjudul Public Opinion, the First Ladyship and Hillary

Rodham, mengutarakan bahwa kaum perempuan memiliki peran untuk mendidik

anak-anaknya dan membimbing mereka di jalan moralitas dan kebajikan. Dengan

demikian, perempuan bisa berperan dalam dunia politik meskipun dimainkan dalam

keluarga. Aristoteles pun mengklaim bahwa jika perempuan terlibat dalam

pembicaraan di depan umum dan kegiatan politik lainnya mereka akan merusak rahim

mereka dan akan mengancam dominasi laki-laki.3

Dengan demikian penulis menanggapi bahwa pada belahan dunia Barat,

nuansa sistem patriarki masih mendominasi sektor publik. Walaupun perempuan telah

diberikan kesempatan berkarya pada dunia publik dalam hal ini politik tetapi tugas

yang diberikan masih berkaitan dengan tugas-tugas utama yang dikerjakan pada ranah

domestik. Bagi penulis, hal ini merupakan sebuah masalah yang semestinya

2 Albertine Minderop, Pragmatisme Sikap Hidup dan Prinsip Politik Luar Negeri Amerika (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 1, 20, 23, 24.

(3)

15 ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan

pada dunia politik. Berikut ini akan dibahas mengenai posisi kaum perempuan dalam

memperjuangkan haknya pada beberapa era yang terjadi di AmerikaEra pertama

disebut sebagai era revolusioner Amerika tahun 1776. Pada masa ini, perempuan

berjuang aktif dalam pencarian kemerdekaan dan dalam perlawanan terhadap

pemerintahan Inggris. Walaupun mereka terkucil dari kehidupan politik sehari-hari,

kaum perempuan digetarkan oleh semangat revolusioner yang sama dengan kaum

laki-laki. Gerakan revolusioner yang diberlakukan oleh kaum perempuan didasari

sejak adanya gerakan massa Stamp Act di tahun 1760-an sampai pada aksi

pemboikotan konsumen tahun 1770-an, hingga sengketa militer antara tahun

1776-1781, kaum perempuan seperti tidak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam

penyebaran gejolak revolusioner. Selain itu, perempuan seringkali mengadakan

protes-protes ketidakadilan ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika. Disamping

itu, bahasa revolusi semakin memperkuat pandangan bahwa kegiatan dan tujuan

politik selalu bersifat laki-laki karena itu dipisahkan dari lingkungan rumah tangga

yang sering diasosiasikan sebagai ruang lingkup perempuan.4

Bagi penulis, ada pembedaan antara ruang publik dan domestik. Ruang publik

digambarkan sebagai sesuatu yang lebih jantan, gagah berani, tegas, dan sebagainya

yang menggambarkan sifat-sifat umum dari seorang laki-laki. Sedangkan ruang

domestik digambarkan sebagai sesuatu yang lebih ramah, feminis, anggun, dan

hal-hal lainnya lagi yang menggambarkan tentang sifat-sifat dari seorang perempuan.

Pembedaan ini secara jelas mengesahkan posisi yang tepat antara laki-laki dan

perempuan sehingga baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk

(4)

16 menyeberang ke arah yang berlawanan dengan posisinya sebagai laki-laki maupun

perempuan. Sebaliknya, kondisi tersebut tidak memperpendek langkah kaum

perempuan untuk memperjuangkan haknya. Keadaan tersebut semakin menyemangati

kaum perempuan untuk merebut kebebasannya, dan tindakan-tindakan dalam merebut

kebebasan terlihat secara jelas pada masa-masa pasca revolusi.

Setelah Revolusi Amerika, perempuan terus dibungkam di ranah publik, tetapi

mereka mulai menentang hal tersebut. Dimulai dengan konvensi hak-hak perempuan

di New York, pada tahun 1848, perempuan menyerukan peran politik yang lebih

langsung untuk diri mereka sendiri. Peran tersebut akhirnya berpusat untuk

mendapatkan suara. Aktivis merasa bahwa perempuan tidak hanya harus

berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin politik, mereka harus menjadi pemimpin itu

sendiri. Sementara itu, Feminis kontemporer juga berusaha untuk menghilangkan

garis kaku antara ruang publik dan domestik. Dan organisasi-organisasi lain telah

dibentuk dengan tujuan utama pemilihan lebih banyak perempuan untuk jabatan

publik, tetapi perempuan belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam kehidupan politik

karena kendala dari kehidupan pribadi mereka, terutama peran mereka sebagai isteri

dan ibu rumah tangga.5

Perjuangan kaum perempuan tidak berhenti pada era revolusi, sebaliknya

perempuan terus berusaha untuk memperoleh hak dan kebebasan pada wilayah publik.

Di tahun-tahun awal Republik yakni sekitar tahun 1780-an, terdapat gagasan bahwa

seorang ibu, berkomitmen untuk melayani keluarga dan negara, dan terdapat

kemungkinan untuk melayani tujuan politik. Identitas baru ini memiliki keuntungan

(5)

17 untuk tampil dan mendamaikan politik dan rumah tangga.6 Pada buku yang berjudul Lahir Untuk Kebebasan, gagasan komitmen perempuan dalam melayani keluarga dan

negara disebut dengan “keibuan republiken” yang berarti suatu peran pokok yang

dilakukan oleh perempuan dalam mencapai kesejahteraan negara. Ide tentang keibuan

republiken kemudian merangsang munculnya polemik tentang pendidikan perempuan

dan memprovokasi berdirinya akademi-akademi perempuan; yang merupakan institusi

pertama di mana kaum perempuan muda menerima pelatihan akademik secara serius.

Hal ini didasarkan pada pembagian secara adil yang memungkinkan perempuan ikut

dalam pemerintahan negara.7

Beralih pada era berikutnya ialah era persatuan yang berlangsung pada tahun

1820-1845. Pada era ini terjadinya pemisahan kehidupan antara laki-laki dan

perempuan yakni tugas-tugas yang dilakukan didasarkan pada sifat-sifat dari tiap jenis

kelamin. Secara terang-terangan dikatakan bahwa bekerja didefinisikan oleh kaum

laki-laki sebagai sebuah persaingan dan dunia pekerjaan yang menghasilkan

imbalan/upah. Sebaliknya, kegiatan kaum perempuan di dalam rumah, meski secara

fisik sangat melelahkan, tidak dapat disebut sebagai “pekerjaan” karena tidak dibayar.

Karena itu, di tahun 1820-an dan tahun 1830-an, oleh Emma Willard, Catherine

Beecher,dan Mary Lyon, dibentuklah perhimpunan kaum perempuan yang tidak

hanya mampu menjadi ibu-ibu republiken yang sangat berpengaruh pada anak-anak

mereka, tetapi juga sebagai guru-guru yang mengenal pencerahan. Profesi guru

dianggap mencerminkan aktivitas publik perempuan yang didasari atas kewajibannya

di dalam rumah tangga dan tanggung jawab moral. Karena itu, profesi guru dipegang

oleh kaum perempuan. Hal ini diyakini sebagai sebuah jembatan untuk menjembatani

6 Barbara Burrell, Public Opinion, the First Ladyship and Hillary Rodham Clinton (New York: Taylor & Francis e-library, 2002), 9-10.

(6)

18 perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk di dalam masyarakat bahkan

dipercaya bahwa perempuan yang terpelajar mampu melindungi negara pada zaman

kekacauan. Ironisnya, dalam hal ini pula masih terjadi ketidakadilan terhadap kaum

perempuan dimana upah yang didapatkan ialah separuh bahkan sepertiga dari gaji

laki-laki.8

Dengan demikian, penulis mencoba memahami situasi yang terjadi pada era

persatuan dimana secara perlahan, kaum perempuan memperoleh hak dan kebebasan

untuk bergabung pada wilayah publik walaupun kesempatan dan kebebasan yang

diperoleh masih terkait dengan kewajiban yang seharusnya dilakukan dalam rumah

tangga yaitu mendidik dan menumbuhkan moralitas anak. Situasi ini setidaknya

memberikan sebuah penjelasan bahwa kaum perempuan tidak hanya berdiri pada

tempat yang sama atau tidak mengalami stagnasi, perempuan setidaknya telah berhasil

mengayunkan langkah dan keluar dari cengkeraman wilayah domestik sehingga pada

akhirnya memperoleh kebebasan. Kesempatan yang diperoleh kaum perempuan pada

era persatuan kemudian menjadi pemacu dalam meraih kesempatan pada era

berikutnya yang disebut dengan era pembagian.

Era pembagian berlangsung pada tahun 1845-1865. Era ini ditandai dengan

munculnya pemikiran-pemikiran yang lebih radikal. Misalnya tahun 1848 sebagian

dari kaum perempuan berkumpul di Waterloo, New York, guna membentuk

kelompok masyarakat baru yang idealnya tanpa ada hierarki, tanpa aturan tentang

kegiatan politik, tanpa aturan keras dalam penerimaan anggota, dan menawarkan

persamaan hak secara rasial dan jenis kelamin. Mereka hadir dengan pembicaraan

tentang hak kaum perempuan yang berhadapan dengan masalah-masalah pemikiran

dasar tentang ideologi rumah tangga, pemisahan ruang lingkup kehidupan antara

(7)

19 kaum laki-laki dan perempuan melalui tuntutan persamaan hak partisipasi dalam

kegiatan masyarakat. Inti dari radikalisme yang ditimbulkan oleh kaum perempuan

ialah: perempuan adalah juga warga negara; hubungan perempuan dengan pemerintah

seharusnya bersifat langsung dan tidak melalui perantaraan suami atau anak laki-laki.

Selain itu, sepanjang tahun 1850-an dan 1860-an, para pendukung hak perempuan

mendirikan serangkaian sekolah yang berhubungan dengan dunia medis bagi kaum

perempuan. Lembaga-lembaga ini menawarkan suatu ruang gerak baru bagi

perempuan, memperluas upaya-upaya perempuan memasuki dimensi-dimensi baru,

dan menawarkan peluang memasuki profesi yang sebelumnya tertutup bagi

perempuan. Pada akhirnya, banyak kelompok perempuan muncul dari berbagai jenis

kepentingan guna mempersiapkan tuntutan kebebasan-kebebasan baru yang ditandai

dengan era persemakmuran kaum perempuan. Antara tahun 1865 dan 1890 (era

persemakmuran kaum perempuan), arena pemilihan umum terisi penuh oleh kaum

perempuan. Perempuan bahkan diberi hak pilih dan mulai dapat mencalonkan diri

pada ajang politik. Bidang kegiatan kaum perempuan secara evolusi terus berkembang

dan gaya keibuan republiken mengajukan pengakuan status kewarganegaraan penuh

bagi kaum perempuan.9

Memasuki tahun 1890-an hingga 1990-an yang ditandai dengan era

modernitas, Amerika mulai ditandai dengan meningkatnya gaya hidup perkotaan dan

industri yang melanda sebagian besar masyarakat kecil tradisional, yang sebelumnya

diidentikkan sebagai ciri khas masyarakat Amerika. Pada masa ini, laki-laki dan

perempuan sama-sama bekerja di pabrik-pabrik. Bahkan, bukti yang paling jelas

tentang adanya perubahan di kalangan perempuan adalah munculnya

perempuan-perempuan modern yang berpendidikan akademis, tidak kawin, dan mandiri. Pada

(8)

20 masa ini juga, kaum perempuan bergabung dalam profesi-profesi yang sedang

berkembang seperti profesi di bidang pengajaran dan perawatan. Di sisi lain,

perempuan tetap diperhadapkan dengan penolakan dari sebagian masyarakat yang

berupaya membuktikan bahwa pendidikan yang terlalu tinggi pada perempuan dapat

merugikan sistem reproduksi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti

Women’s Christian Temperance Union (WCTU) berupaya meyakinkan para

pengkritik bahwa perempuan yang berpendidikan pasti akan mampu menjadi ibu yang

sangat baik, serta mampu menyebarkan kecakapan-kecakapan keibuannya kepada

dunia yang membutuhkannya. Meskipun pada masa ini standar hidup secara perlahan

mulai naik, kondisi dalam bekerja terus dianggap membahayakan, dimana jam kerja

masih panjang dengan upah yang sangat rendah.10

Memasuki tahun 1980-an, kaum perempuan membelokkan arah

perjuangannya. Jika pada era revolusi kemerdekaan sampai pada awal era

modernisasi, perempuan memperjuangkan hak suara, hak milik, dan hak dalam

berpolitik, maka pada tahun 1970-an sampai 1980-an perempuan memperjuangkan

berbagai topik yakni; ketidakadilan dalam hukum, seksualitas (yang mencakup

masalah pornografi, pekerja seks, dan perdagangan manusia dalam hal seksualitas

perempuan) keluarga, tempat kerja, dan hak-hak reproduksi. Awal tahun 1980-an,

secara luas dianggap bahwa perempuan telah mencapai tujuan mereka dan berhasil

dalam mengubah sikap masyarakat Amerika terhadap peran gender, mencabut

undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan, termasuk mengubah rasio

jenis kelamin pada institusi-institusi yang dulu didominasi oleh kaum laki-laki seperti

akademi militer, ketentaraan, universitas khusus laki-laki, klub-klub khusus untuk

(9)

21 pria, mahkamah agung, dan melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di

tempat kerja.11

Berdasarkan penjelasan yang telah dirangkum di atas maka bagi penulis

menanggapi bahwa sejak tahun 1776 sampai 1980-an, terlihat adanya pasang surut

yang dialami oleh kaum perempuan berkaitan dengan perjuangan mereka dalam

memperoleh hak, kebebasan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Kebebasan yang didapatkan oleh kaum perempuan di awal perjuangannya

hingga era pembagian masih diwarnai dengan tugas-tugas yang bernuansa domestik.

Dalam pemikiran awal penulis, perempuan telah berhasil keluar dari lingkaran

domestik dan menuju lingkaran publik dengan status sebagai manusia yang bebas.

Kenyataannya, perempuan masih dibayang-bayangi dengan lingkaran domestik

sehingga tidak mendapatkan kebebasan penuh dalam menggenggam haknya sebagai

manusia yang bebas bersaing dengan laki-laki pada wilayah publik. Namun,

setidaknya kesempatan itu yang kemudian menghantarkan kaum perempuan dalam

perjuangannya (pada tahun 1890-an hingga tahun 1980-an) untuk memperoleh

keadilan dan penghargaan yang selayaknya sebagai manusia.

Hal kedua yang menjadi latarbelakang pendukung terbentuknya teori keadilan

dari Susan Moller Okin ialah berkaitan dengan kekagumannya terhadap upaya dari

kaum feminis yang hadir pada tahun 1960-1970.12 Asal mula gerakan pembebasan perempuan di Amerika pada tahun 1970-an dipengaruhi oleh terbentuknya NOW

(National Organization for Women) pada tahun 1966. Organisasi ini dibentuk sebagai

akibat langsung dari adanya kegagalan Komisi Kesempatan Lapangan Kerja yang

Setara (Equal Employment Opportunity Commission) untuk bersikap serius atas

persoalan diskriminasi seks. NOW berusaha membawa perempuan untuk

(10)

22 berpartisipasi penuh dalam arus utama masyarakat Amerika yang memiliki hak

istimewa dan tanggung jawab dalam kemitraan yang benar-benar setara dengan

laki-laki. Selain itu munculnya kelompok-kelompok feminis radikal yang berasal dari

gerakan hak sipil, anti-Perang Vietnam dan gerakan mahasiswa yang menggunakan

infrastruktur komunitas radikal, pers bawah tanah, dan Universitas bebas (free

university). Pada tahun 1968 kelompok-kelompok feminis Amerika mengorganisasi

demonstrasi melawan penjualan seksual (the sexual sell) dalam konteks Miss

America. Bagi mereka, para kontestan dilambangkan peran yang dipaksa untuk

dimainkan oleh semua perempuan dalam masyarakat’.13

Dengan demikian penulis memahami bahwa melalui upaya-upaya yang

dilakukan oleh kaum feminis dalam memperjuangkan hak, kebebasan, dan

kemanusiaan bagi perempuan, maka Okin juga mengambil langkah melalui teori

keadilannya untuk menegaskan bahwa sejatinya keperempuanan seorang perempuan

harus dihargai dan mendapat tempat yang layak. Artinya, kehadiran kaum feminis

dengan ideologi-ideologi yang mereka anut seharusnya tidak menghentikan langkah

banyak perempuan yang berada di luar untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai

keadilan yang setara antara laki-laki dan perempuan pada wilayah publik maupun

domestik.

Selaras dengan pokok pemikiran yang dibangun oleh Okin tentang keadilan

dalam keluarga, dunia Barat mengasumsikan keluarga sebagai unit sosial yang paling

mendasar, unit tempat ibu dan bapak harus bekerja sama untuk menciptakan,

memasyarakatkan, dan mendidik anak-anak. James Coleman mengatakan bahwa

keluarga merupakan suatu komunitas yang sangat berguna bagi pengembangan

kognitif dan sosial seorang anak. Namun, pada pergantian abad ke-19 banyak teori

(11)

23 sosial klasik yang muncul dan mengasumsikan bahwa ketika masyarakat sudah

termodernkan, peran keluarga akan semakin berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis

ikatan sosial yang lebih impersonal. Jadi, dalam masyarakat yang benar-benar

modern, arti penting sebuah keluarga menjadi semakin berkurang. Peran keluarga

yang awalnya mendidik anak dan menghormati yang tua menjadi bergeser bahkan

lenyap. Pada pertengahan abad ke-20, teori-teori modern tidak lagi melihat kehidupan

keluarga sebagai persoalan yang penting karena kondisi kehidupan masyarakat yang

telah terkontaminasi dengan sistem industri.14 Bahkan, semakin meningkatnya keterpurukan yang dialami oleh keluarga-keluarga di Amerika dan Eropa Barat pada

tahun 1950-an dan akhir 1960-an memberikan penegasan terhadap fungsi keluarga

sebagai unit terpenting.15

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mengartikan bahwa dari masa ke masa

peran keluarga sebagai unit terpenting dalam pembentukan jati diri dan moralitas

seorang anak akan menjadi semakin berkurang, karena sebagian besar orang tua tidak

lagi bertanggungjawab terhadap perannya dalam mendidik anak. Peran tersebut

dialihkan kepada institusi-intitusi yang disinyalir memiliki peran dan tanggungjawab

yang sama dalam mendidik dan membentuk moralitas seorang anak. Padahal

sejatinya, keluarga merupakan tempat awal terbentuknya moralitas yang baik dari

seorang anak. Keadaan yang seperti ini memungkinkan terjadinya praktek-praktek

ketidakadilan dalam sebuah keluarga. Hal ini dikarenakan tidak optimalnya hubungan

yang dekat antara orang tua dan anak, bahkan suami dan isteri.

14 Ruslani (Penerjemah), Dede Nurdin (Penyunting), The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002). Diterjemahkan dari Judul Asli: The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Karya: Francis Fukuyama. 53-56

15 Ibid., 60. Penjelasan yang terkait dengan hal ini ialah meningkatnya jumlah perceraian dan

(12)

24 Hal ketiga yang mendukung teori keadilan dari Susan Moller Okin ialah

pengalaman hidupnya sebagai orang tua tunggal (single parent). Dan hal lain yang

turut mendukung teori yang ia kembangkan ialah berkaitan deng teori-teori keadilan

klasik yang menurutnya tidak banyak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan

dalam menghadapi isu-isu ketidakadilan dan gender.16 Semua teori keadilan yang ada mulai dari masa lampau hingga sekarang sangat mengabaikan masalah ketidakadilan

di dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. Baginya, konsep

keadilan yang dibutuhkan umat manusia adalah didasarkan pada kesederajatan

martabat kemanusiaan. Okin menegaskan bahwa konsep-konsep keadilan dalam

tradisi pemikiran Barat belum menjawab persoalan ketidakadilan yang dialami

perempuan dan anak-anak, di dalam masyarakat, khususnya di dalam institusi rumah

tangga. Ketidakadilan dalam rumah tangga mempunyai andil yang besar bagi

tumbuhnya ketidakadilan di dalam masyarakat.17

Okin mengamati masyarakat Amerika Serikat yang menganut sistem

liberalisme dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan individu.

Tetapi, pandangan tradisional tentang dikotomi publik-domestik masih kuat dalam

masyarakat Amerika Serikat. Laki-laki dipandang sebagai insan publik, sementara

perempuan adalah insan domestik yang dikhususkan dalam lingkup kehidupan rumah

tangga. Bahkan ada yang beranggapan bahwa pemisahan ini merupakan kodrat hidup

manusia. Bukan saja mengandung dan melahirkan anak menjadi tugas kodrati

perempuan, melainkan tugas-tugas dalam rumah tangga pada umumnya dipandang

harus menjadi kewajiban perempuan.18 Semua faktor ini menginsprirasinya untuk

16 Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family (USA: Chicago Press, 1989), vii.

17 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 77.

(13)

25 menghadirkan dan mengembangkan teori keadilan yang berpusat pada keadilan bagi

kaum wanita dan anak-anak.

Berdasarkan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan berkaitan dengan

alasan pengembangan teori keadilan Susan Moller Okin, maka hal berikut yang akan

menjadi pokok pembicaraan dari pembahasan ini adalah pemikiran-pemikiran dari

Okin mengenai keadilan dalam keluarga, teori keadilan Rawls dan Nozick sebagai

bahan kritik, dan konsep keadilan yang humanis.

B.Okin dan Pergumulannya

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang teori keadilan yang

dikemukakan oleh Okin. Adapun sub-sub pokok bahasan yang digumuli ialah

keadilan dan gender, Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan,Libertarianisme: Matriarki,

Perbudakan, dan Distopia, Justice as Fairness, Dikotomi Publik/Domestik, dan

Keadilan Yang Humanis. Berikut ini adalah pembahasannya:

B.1. Keadilan dan Gender

Menurut Okin, sebuah pembagian yang sama antara kedua jenis kelamin

merupakan tanggung jawab keluarga. Contohnya kepedulian terhadap anak-anak.

Sayangnya kepedulian terhadap anak-anak belum terjadi secara merata di dalam

keluarga. Okin melanjutkan pandangannya tentang keadilan terhadap perempuan pada

skala yang lebih besar. Perempuan yang mencapai posisi tingkat tinggi di bidang

politik, bisnis, dan profesi memiliki jumlah yang sangat tidak proporsional

dibandingkan dengan jutaan perempuan yang bekerja paruh waktu dengan gaji yang

rendah dan jutaan perempuan lainnya yang tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan

(14)

26 sebuah pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan akan sulit memperoleh

kesetaraan dalam bidang politik, di tempat kerja, atau di bidang lainnya.19

Okin mengatakan bahwa dalam pandangan teori feminis, gender diakui

sebagai sebuah faktor sosial yang penting dalam suatu masyarakat. Namun

pemahaman yang baru mencerminkan adanya pemikiran yang tradisional berkaitan

dengan gender sebagai sebuah perbedaan secara seksual yang sebagaian besar

dianggap sebagai hasil produksi masyarakat. Para penganut paham feminis yang

berasal dari berbagai disiplin ilmu secara radikal memberikan pandangan yang

berbeda dalam mendefinisikan gender secara komprehensif. Salah satunya

menjelaskan tentang gender sebagai posisi subordinat dari seorang perempuan

terutama dalam perbedaan secara biologis. Argumen yang lain menjelaskan bahwa

terdapat kemungkinan inti perbedaan secara biologis merupakan hasil konstruksi

sosial dari suatu masyarakat. 20

Dalam pemahaman secara luas sebagian besar kaum feminis telah jatuh pada

ekstrimisme. Banyaknya penolakan dari kaum feminis yang menekankan bahwa

perbedaan gender ditentukan dari adanya perbedaan secara biologis, sebaliknya

merupakan karakter dari hasil konstruksi sosial. Secara khusus relevansinya terletak

pada pekerjaan di bidang psikologi, dimana telah dilakukan penyelidikan yang sangat

penting berkaitan dengan keberadaan seorang perempuan dalam mengasuh sebagai

bagian dari identitas gender, dan dalam sejarah antropologi gender telah ditekankan

pada faktor sejarah dan budaya. Menurut Okin, banyak hal yang telah dilakukan oleh

kaum feminis dalam menyikapi pembicaraan mengenai gender structure, diantaranya

ialah memikirkan kembali, meneliti, menganalisis, bahkan tidak setuju dengan

(15)

27 kehidupan politik dan institusi-intitusi legal yang semakin diperhadapkan dengan

isu-isu tentang ketidakadilan gender dan dampak dari ketidakadilan tersebut.21

Masalah-masalah diskriminasi seks, gangguan seksual, aborsi, hamil di luar

nikah, dan sebagainya telah menjadi isu dalam pembicaraan pada ranah publik.

Selebihnya Okin mengatakan bahwa isu-isu mengenai keadilan dalam keluarga,

khususnya kasus-kasus seperti perceraian, kekerasan seksual terhadap isteri dan anak

semakin terlihat jelas dan menjadi sebuah permasalahan yang semakin ditekankan,

tetapi juga kurang mendapatkan perhatian khusus dari berbagai macam pihak

sehingga terlihat jelas adanya “krisis keadilan” dalam masyarakat.22

Dalam bukunya yang berjudul Is multiculturalism bad for women, Okin juga

membahas mengenai budaya dan gender. Kebanyakan budaya diliputi dengan praktik

dan ideologi mengenai gender. Budaya juga mendukung dan memfasilitasi kontrol

laki-laki atas perempuan dalam berbagai cara (bahkan dalam lingkup pribadi dan

kehidupan rumah tangga) sehingga ada perbedaan yang cukup jelas dalam kekuasaan

antara jenis kelamin. Laki-laki pada umumnya berada pada posisi sebagai penentu.23 Menurutnya, ada dua hubungan yang sangat penting antara budaya dan

gender.24 Pertama: lingkup pribadi, seksual, dan fungsi rerpoduksi sebagai fokus utama dari kebanyakan budaya dan merupakan tema yang dominan dalam

praktek-praktek budaya. Kelompok agama atau budaya memberikan perhatian terhadap

hukum pribadi: hukum perkawinan, perceraian, hak asuh anak, pembagian dan kontrol

harta keluarga, dan warisan. Hal-hal ini cenderung memiliki dampak yang lebih besar

pada kehidupan perempuan dan anak perempuan dari pada orang-orang laki-laki dan

21 Ibid.

22 Ibid., 7

23 Susan Moller Okin, Is Multiculturalism Bad For Women? (New Jersey: Princeton University Press, 1999), 12.

(16)

28 anak laki-laki, di mana aturan dan peraturan yang dibuat dalam sebuah budaya sangat

membutuhkan dan mengharapkan perempuan berada di ranah domestik. Kedua:25 sebagian besar budaya memiliki kontrol terhadap perempuan. Jadi, banyak budaya

bertujuan untuk mengontrol perempuan terutama secara seksual dan reproduktif, dan

membuat mereka sebagai budak sesuai dengan keinginan dan kepentingan laki-laki.

Melalui pandangan yang dikemukakan oleh Okin, maka dapat dikatakan

bahwa ketidakadilan berasal dari adanya pembagian kerja antar jenis kelamin

sehingga mempengaruhi hampir semua lapisan masyarakat. Berbagai masalah sosial

yang muncul secara luas semakin menimbulkan persoalan serius bagi anak-anak

maupun perempuan, dan mempengaruhi potensi dalam keluarga sebagai lembaga

pendidikan pertama yang penting bagi anak dalam mengembangkan rasa keadilan.

Ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan membangkitkan aksi dari kaum

feminis untuk menyikapi masalah yang sedang dihadapi secara bersama.

Ketidakadilan yang dialami oleh perempuan berasal dari lingkungan yang sangat

dekat dengan kehidupannya yaitu keluarga.

B.2. Keluarga Sebagai Sekolah Keadilan

Ketidaksetaraan yang terus ada antara laki-laki dan perempuan telah

memberikan dampak serius pada kehidupan perempuan dan anak-anak. Hal itu

tampak dalam distribusi kerja yang diskriminatif dimana perempuan hanya di ranah

25 Ibid., 13-14. Alasan yang kedua, Okin memperkuat pandangannya dengan mempertimbangkan

(17)

29 domestik dan laki-laki di ranah publik serta diskriminasi terhadap perempuan yang

membuat sehingga keluarga tidak terjamah oleh aspek keadilan. Pada bagian ini akan

dibahas mengenai peran keluarga sebagai basis terbentuknya keadilan.

B.2.1. Keadilan dan Keluarga Ideal

Dalam mengemukakan teorinya tentang keadilan bagi kaum perempuan yang

diawali dari dalam keluarga, terdapat beberapa pandangan yang dikritik oleh Okin,

diantaranya Rousseau dan Hume. Rousseau berpendapat bahwa: 26

“Pemerintahan keluarga, tidak seperti masyarakat politik, tidak perlu bertanggungjawab kepada anggotanya atau diatur oleh prinsip-prinsip keadilan dengan merujuk pada gagasan bahwa keluarga tidak seperti masyarakat. Argumen ini bertumbuh dengan pradigma bahwa, ayah dari sebuah keluarga sebagai pemimpin hanya perlu bertindak menurut kata hatinya untuk menciptakan keadilan, sementara perempuan tidak mempunyai hak atau otoritas apapun. Oleh sebab itu perempuan memiliki ranah yang berbeda dengan laki dimana perempuan ditempatkan dalam ranah domestik dan laki-laki ditempatkan dalam ranah publik. Hal ini membuat sehingga di dalam masyarakat, peran perempuan diwakili oleh kaum laki-laki.”

Dari pandangan Rousseau, penulis memahami bahwa perempuan hanyalah

sebagai pelengkap bagi seorang laki-laki dan tidak memiliki kuasa apapun untuk

mengatur kelangsungan kehidupan keluarga. Perempuan layaknya anak-anak yang

harus patuh terhadap semua keputusan yang dibuat oleh laki-laki dalam hal ini suami.

Kondisi ini kemudian membentuk pola pikir bahwa tempat yang layak bagi seorang

perempuan ialah wilayah domestik.

Sedangkan Hume berargumen yang sama dengan Rousseau bahwa penerapan

keadilan di dalam keluarga bukanlah sebuah standar yang cocok untuk diterapkan di

dalam keluarga, ia berpendapat bahwa:27

“Keadilan harus dimulai dengan penerapan kasih sayang yang besar dan penyatuan hak milik yang ada karena keadilan merupakan kasih sayang dan kesatuan kepentingan yang berlaku dalam keluarga.”

(18)

30 Dari pandangan Hume, bagi penulis tampaknya terdapat pergeseran pendapat.

Dalam pandangannya, Hume mengatakan bahwa yang dinamakan keluarga

seharusnya menerapkan cara-cara yang adil yang diawali dengan sebuah kesepakatan

untuk saling mengasihi. Penerapan kasih sayang ini kemudian diinterpretasikan

sebagai jembatan untuk dapat menghantarkan sebuah keluarga tiba pada

tindakan-tindakan yang lebih adil.

Okin menanggapi pandangan yang dikemukakan oleh Rousseau dan Hume.

Kedua pandangan ini menyatakan bahwa pada kenyataannya ketika terjadi pernikahan

dan terbentuknya keluarga maka perempuan sepenuhnya menjadi hak milik laki-laki

dan hanya akan menunjukan sikap ketergantungan yang menggambarkan perempuan

tidak mampu melakukan sesuatu jika tidak bergantung pada laki-laki.28 Selama tahun 1970 banyak terjadinya tindakan kekerasan yang fatal dalam hubungan keluarga

sehingga institusi hukum dalam hal ini pengadilan dan polisi sibuk menangani

tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat (laki-laki) kepada

pihak yang lemah (perempuan). Untuk itu melalui kedua pandangan ini ditemukan

bahwa keluarga yang ideal ialah keluarga yang mendahulukan nilai-nilai keadilan

dibandingkan dengan semangat kemurahan hati. Semangat kemurahan hati atau kasih

sayang tidak cukup untuk membentuk nilai-nilai yang adil.

Okin menanggapi kedua pandangan di atas dengan menyatakan bahwa

ternyata beban tugas yang dilakukan oleh seorang perempuan di dalam sebuah

keluarga melebihi tugas yang dikerjakan oleh laki-laki. Hal ini terjadi bukan hanya

karena semangat kemurahan hati dari perempuan, melainkan karena ideologi yang

terbentuk di dalam masyarakat terhadap keberadaan seorang perempuan dalam sebuah

keluarga. Ia juga menambahkan bahwa di dalam keluarga, keamanan fisik maupun

(19)

31 pembagian waktu untuk istirahat tidak terbagi atau terstruktur secara merata antara

laki-laki dan perempuan. Karena itu, harus diterapkan nilai-nilai keadilan yang

benar-benar adil dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan semangat kemurahan hati

karena akan mengancam peluang cita-cita dari jutaan perempuan dan anak-anak.

Artinya ialah, keluarga sebagai institusi pertama dalam mengembangkan moralitas

seseorang haruslah menerapkan bahkan mengembangkan rasa keadilan dan kesetaraan

dalam memberikan kesempatan bagi setiap anggota keluarga. Dengan tegas pula ia

menekankan bahwa sebuah keluarga haruslah dibangun atas dasar keadilan.29

B.2.2. Ketidakadilan dalam keluarga sebagai keadaaan alamiah dan kewajiban

sosial

Dalam visi Rousseau, kehidupan keluarga merupakan tempat di mana seorang

istri bergantung terhadap suaminya, mendapatkan perlindungan, dan tempat di mana

terjadinya subordinasi. Dalam penggembangannya, suami dan ayah sering

mengabaikan, melecehan, dan meninggalkan orang yang seharusnya mereka

perhatikan. Ia melihat posisi ketergantungan dari perempuan dianggapnya sebagai

paksaan oleh alam. Dalam pandangan Rousseau, perempuan selalu bersandar "pada

belas kasihan laki-laki." Karena itu perempuan selalu merasakan subordinasi dari

kebutuhan dan keinginan suaminya. Secara terus terang Rousseau mengungkapkan

ketidakadilan yang terjadi dalam beberapa kalimat yang berbunyi demikian:30

As she is made to obey a being who is so imperfect, often so full if vices, and always so full of defects as man, she ought to learn early to endure even injustice and to bear a husband’s wrongs without complaining. It is not for his sake, it is for her own, that she ought to be gentle. The bitterness and the stubbornness of women never do anything but increase their ills and the bad behavior of their husbands.

Melalui kalimat di atas, secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa

perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna. Sebagai manusia, perempuan

(20)

32 memiliki banyak kekurangan karena itu ia harus patuh terhadap suaminya. Walaupun

mengalami situasi yang tidak adil, perempuan harus belajar untuk memikul bahkan

belajar untuk menutupi kesalahan-kesalahan suaminya tanpa melakukan protes.

Timbulnya pandangan yang demikian dikarenakan oleh adanya anggapan bahwa

perempuan bergantung secara penuh kepada laki-laki atau keberadaan perempuan

tergantung pada keberadaan seorang laki-laki, sebagai akibatnya maka perempuan

harus bersedia memikul kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki dengan

sebuah pembenaran bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh isteri bukan untuk

kepentingan laki-laki/suami tetapi untuk kepentingan si perempuan/isteri. Dapat

dikatakan pula bahwa hal tersebut bagaikan sebuah syarat atau kewajiban yang harus

dipenuhi oleh perempuan yang pada konteks ini berperan sebagai seorang isteri untuk

mendapatkan sebuah pengakuan yang sah berkaitan dengan keberadaannya.

Menurut pemikiran Bloom, secara alami terdapat perbedaan antara laki-laki

dan perempuan. Laki-laki tidak memiliki keinginan untuk memiliki anak. Namun

perempuan secara alami memiliki keinginan untuk mempunyai anak, dan karena itu

harus mengurus mereka. Untuk mendapatkan ayah dari anak-anak, maka harus ada

daya tarik dari perempuan yang membuat laki-laki terpesona ke dalam pernikahan,

dan kemudian harus memenuhi kebutuhan mereka dan merawat mereka. Menyadari

dasar alami dari ketergantungan mereka, wanita tidak harus mengembangkan karier

karena akan mengancam kesatuan keluarga. Bagi Bloom, hal ini merupakan sebuah

ketimpangan sebab perempuan tidak mampu untuk membuat sehingga laki-laki

memiliki tanggung jawab yang sama terhadap proses menjaga dan mengasuh anak

dalam lingkup keluarga. Dalam keadaan yang demikian maka Bloom mengeluarkan

tulisan seksisme sebagai pembuktian bahwa selama ini paradigma yang bertumbuh

(21)

33 Situasi ini yang membuat sehingga perempuan dikesampingkan dan dapat dengan

mudah terlupakan.31

Bagi penulis, banyaknya pandangan yang dikemukakan menyatakan bahwa

perempuan adalah makhluk yang lemah sehingga membuat posisi perempuan semakin

tersudutkan dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan keluarga. Timbulnya

pandangan-pandangan tersebut seakan menyatakan bahwa perempuan tidak lebih

unggul daripada laki-laki. Dengan demikian laki-laki yang menjadi penentu dalam

keluarga. Sementara itu, kondisi alamiah dari seorang perempuan yang menginginkan

kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga dijadikan sebagai salah satu dari

banyaknya alasan untuk lebih menekan hak dan kebebasan seorang perempuan.

B.3. Libertarianisme: Matriarki, Perbudakan, dan Distopia

Para penganut Libertarianisme mengklaim bahwa untuk memperoleh

kebebasan individu, maka kegiatan-kegiatan pemerintah harus diminimalisasikan.

Setiap individu memiliki hak untuk mengelola hidupnya dan untuk mempertahankan

hasil kerjanya sendiri. Tujuan pemerintah hanya untuk melindungi setiap individu dari

gangguan-gangguan dan melawan invasi dari orang asing. Pemerintah tidak boleh

mengambil aset, rumah, atau cara hidup setiap warga negaranya kecuali sejauh hal

tersebut diperlukan untuk tujuan melindungi. Namun dukungan libertarian terhadap

kebebasan individu tidak mempertimbangkan hak-hak kaum perempuan. Dalam

pembahasan ini, Okin melihat teori yang dikembangkan oleh Robert Nozick berkaitan

dengan hak prerogatif individu. Di dalam Okin, dengan jelas Nozick mengklaim

bahwa hak prerogatif individu pada barang-barang yang mereka miliki adalah

prioritas yang melebihi hak-hak manusia lainnya, bahkan hak manusia untuk hidup.32

31 Ibid., 35

(22)

34 Seperti yang dikatakan Nozick: individu memiliki hak, sehingga tidak

seorangpun atau kelompok tertentu boleh mencampurinya. Kuatnya hak-hak individu,

sehingga setiap individu memiliki hak untuk mempergunakan miliknya, tetapi tidak

boleh merugikan orang lain. Dan di pihak lain, orang boleh mendapatkan kekayaan

atau keuntungan lebih tanpa harus mengorbankan maupun merugikan orang lain.

Maka rumus distribusi yang adil adalah setiap orang memberikan sesuai dengan

pilihannya, dan setiap orang menerima sesuai dengan apa yang dipilihnya. Sedangkan

campur tangan pemerintah hanya sebatas mengingatkan bahaya yang mengancam hak

individu, tetapi tidak mengatur hak individu. Nozick memberi gambaran tentang

keadilan dalam kepemilikan. Baginya jika setiap orang memiliki suatu barang yang

sesuai prinsip-prinsip keadilan, maka hal itu dianggap sah. Karena itu, keadilan

menjadi landasan perlakuan adil terhadap manusia yang menjadi warga masyarakat.33 Matriarki, perbudakan, dan distopia dalam pembahasan ini berkaitan dengan

dibentuknya anak-anak sebagai properti atau barang yang dimiliki oleh orang tua.

Pandangan ini berkaitan erat dengan asumsi bahwa perempuan merupakan produk

juga berkaitan dengan sistem matriarki bahwa anak adalah milik orang tua

(perempuan). Karena itu, terdapat anggapan bahwa dalam kehidupan keluarga,

perempuan diwajibkan untuk melanjutkan kinerjanya dalam merawat dan

menyediakan hubungan-hubungan yang intim dengan anak-anak. Di sinilah letak

maksud dari perbudakan bagi seorang perempuan. Nozick gagal memasukkan

perempuan untuk diperhitungkan dalam teori keadilannya.34

33 Pernyataan ini diperoleh dari hasil diskusi kelas yang disampaikan oleh kelompok (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana: John R Purba, Juliza Ransum, Hardek R Masua, 2012) yang membahas mengenai Teori Keadilan Nozick. Buku-buku yang dipakai sebagai penunjang dalam melengkapi makalah kelompok ialah: Thobias Messak, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2007); Robert Nozick, Anarchy, State, And Utopia.

(23)

35 Okin mengkritisi bahwa teori yang dikemukakan oleh Robert Nozick

mengabaikan keberadaan perempuan.Selain itu Okin juga berpendapat bahwa Nozick

tidak melihat berbagai permasalahan yang terjadi seputar masalah seks, dan

kompensasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, Okin

kembali berpendapat bahwa Nozick tidak memperhatikan fakta bahwa manusia terdiri

dari dua jenis kelamin. Okin juga menanggapi pandangan yang dikemukakan oleh

Nozick bahwa semua manusia (laki-laki dan perempuan) adalah milik perempuan.

Dengan begitu dipahami bahwa seseorang dapat dimiliki oleh orang lain selain diri

mereka sendiri. Okin mempertanyakan apakah pribadi seseorang bisa dimiliki oleh

orang lain? Menurut Okin, hal ini berkaitan dengan masalah perbudakan pribadi.

Pertanyaan lain yang timbul ialah apakah dengan adanya sistem “bebas”

memungkinkan seseorang dapat menjadi budak? Berdasarkan kedua pertanyaan dan

pengembangan teori yang dikemukakan oleh Nozick maka tanggapan yang diberikan

oleh Okin ialah pada dasarnya dalam teori keadilan, setidaknya harus dipahami bahwa

setiap manusia/individu berdiri pada diri sendiri. Jika individu dilahirkan sebagai

milik orang lain, maka mereka tidak dapat memiliki haknya secara keseluruhan.35 Okin juga mengkritik pernyataan yang dikemukakan oleh Nozick bahwa

keluarga sebagai sebuah hambatan bagi seseorang untuk mengembangkan

kemampuannya serta menghambat seseorang beralih dari satu komunitas ke

komunitas lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pertumbuhan seorang anak belum

dapat menimbulkan suatu masalah yang sulit. Namun, bagi Okin disinilah letak

permasalahannya. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama untuk

menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai moral semenjak masa kanak-kanak.

Jika bagi Nozick, dalam masa pertumbuhannya, seorang anak belum dapat

(24)

36 menghadirkan suatu masalah yang sulit, maka Okin menanggapi bahwa semenjak

kanak-kanak, mereka harus diberitahu mengenai berbagai alternatif yang harus

diambil dan diputuskan ketika pada akhirnya mereka berada pada wilayah publik.

Okin menjelaskan bahwa sebenarnya anak-anak sangat membutuhkan peran besar dari

dalam keluarga agar dapat menjadi agen-agen moral dan mampu menjalani hidup

yang bermakna. Menurutnya, hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan

pengembangan moral tidaklah bertumbuh bahkan berkembang dalam rentang waktu

yang singkat, sebaliknya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat

terbentuknya moralitas yang matang. Bagi Okin, teori yang dikemukakan oleh Nozick

telah mengabaikan fakta-fakta ini. Karena itu bagi Okin, keluarga merupakan wadah

yang paling penting dalam membentuk karakter moral seorang anak. Melalui keluarga

anak dididik sejak dini untuk dapat mengambil keputusan yang adil.36

Berdasarkan pandangan Nozick maka penulis menyimpulkan bahwa ia

mengambil arah yang berbeda dengan Rawls yakni menekankan tentang keadilan

terhadap hak milik pribadi. Baginya, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh

dan mempertahankan milik pribadi. Hal itu berarti bahwa semua cara yang ditempuh

dilanggengkan semata-mata untuk kesenangan pribadi. Analisa yang dibangun

berkaitan dengan pernyataan ini ialah akan adanya penyelewengan bahkan

ketidakadilan jika semua orang diberikan kebebasan untuk melakukan segala cara

bagi pemenuhan kepentingan pribadinya. Jika yang lain telah berhasil memperoleh

kesenangan dan keadilan maka akan ada sebagian orang yang tidak dapat menikmati

kebebasan dan keadilan dalam menjaga hak milik pribadinya. Dan jika semua orang

menuntut harus adanya perlindungan terhadap barang-barang miliknya maka tidak

menutup kemungkinan akan timbulnya tindakan yang mengabaikan hak dari sebagian

(25)

37 orang. Nozick sangat menekankan tentang hak kepemilikan pribadi, sehingga tidak

memperhatikan tentang keadilan yang harus terjamah dalam kehidupan keluarga. Jika

teori keadilan yang dikembangkan oleh Nozick dimasukkan ke dalam hubungan

keluarga maka tidak menutup kemungkinan akan adanya tindakan yang tidak adil

karena setiap individu dalam rumah tangga pun memperjuangkan hak masing-masing,

dan artinya ketika anggota keluarga yang lain secara tegas menghendaki bahwa

haknya harus didahulukan maka sangat dimungkinkan akan adanya pengabaian

terhadap hak dari anggota keluarga yang lainnya.

B.4. Justice as Fairness

Justice as Fairness merupakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John

Rawls. Teori ini berdasarkan pada asumsi dasar sebagai berikut: Pertama, pandangan

tentang manusia sebagai individu. Bertolak dari pandangan Kant, Rawls

berpandangan bahwa manusia adalah insan otonom, rasional dan moral. Ia

mempunyai kemampuan pertimbangan moral. Kemampuan pertimbangan moral ini

mencakup dua kemampuan sekaligus, yaitu pertimbangan rasional (rationality) dan

pertimbangan kepatutan (reasonableness). Sebagai insan otonom, setiap individu

memiliki kebebasan untuk mengatur hidupnya secara rasional. Kedua, pandangan

Rawls tentang masyarakat yang didasarkan pada teori kontrak sosial. Manusia sebagai

insan otonom, rasional dan moral, membentuk masyarakat. Masyarakat, menurut

Rawls adalah wadah kerjasama yang adil dari generasi ke generasi (a fair system of

coorperation from one generation to the next).37

Rawls juga menyinggung tentang kebebasan yang setara bagi setiap

masyarakat. Ia melanjutkan apa yang menjadi pemahamannya tentang keadilan

sebagai fairness di mana sesuatu yang adil itu adalah sesuatu yang berdasarkan pada

(26)

38 kesepakatan. Prinsip pertama dari kebebasan yang setara merupakan standar pokok

bagi konvensi konstitusional. Syarat utama dalam mewujudkan kebebasan setara yang

konstitusional yakni setiap orang harus dihargai kebebasan kata hatinya serta harus

dilindungi kebebasan berpikirnya. Kemudian prinsip kedua dalam kebebasan setara

yang konstitusional yakni kebijakan politik, ekonomi dari sebuah negara atau institusi

harus memaksimalkan terwujudnya harapan-harapan jangka panjang bagi mereka

yang paling sedikit memperoleh manfaat dari kebebasan setara. Dari perspektif

konvensi konstitusional, argumen-argumen ini mengantar kita pada pemilihan sebuah

rezim yang menjamin kebebasan moral, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, dan

praktik keagamaan, meskipun mungkin selalu diatur kepentingan negara dalam

ketenteraman dan keamanan publik.38

Kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan. Sistem hukum

adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang

rasional dengan tujuan mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja

bagi kerja sama sosial.39 Ketika aturan-aturan ini adil, maka dapat menegakkan sebuah dasar bagi harapan-harapan yang sah. Aturan-aturan ini merupakan landasan

setiap orang untuk bersandar dan berhak berkeberatan ketika harapan-harapan mereka

tidak terpenuhi.

Okin menyatakan bahwa, Rawls membahas panjang lebar tentang keadilan

untuk hampir semua institusi dalam struktur sosial. Tetapi dari seluruh diskusi itu,

Rawls hanya mengalami sedikit kemajuan dalam membicarakan keadilan keluarga. Ia

masih mengabaikan fakta-fakta luas tentang ketidakadilan dalam keluarga. Persoalan

keluarga dibahas hanya dalam tiga konteks, yaitu: sebagai penghubung antara

38 John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), 247-248, 266.

(27)

39 generasi karena itu sangat penting prinsip tabungan (ayah dianggap peduli bagi

anak-anak, ini mendiskriminasi perempuan), sebagai hambatan untuk kesetaraan atau

kesempatan yang adil dan sebagai sekolah pertama bagi perkembangan moral.40 Okin meresponi bahwa Rawls gagal dalam membentuk sebuah teori yang di

dalamnya membahas tentang keadilan dalam keluarga. Rawls hanya mengemukakan

pandangannya tentang keluarga sebagai salah satu lembaga sosial dasar yang paling

mempengaruhi kehidupan, karena itu harus menjadi subjek utama keadilan. Namun,

tidak terlihat tindakan lanjut dari apa yang dikemukakan oleh Rawls. Komentar Okin

terhadap teori keadilan yang dikembangkan oleh Rawls ialah adanya tindakan

pengabaian yang dilakukan oleh Rawls atas masalah keadilan dalam rumah tangga.

Bagi Okin, pengabaian semacam ini akan berakibat pada beberapa hal yaitu; pola asuh

anak di dalam keluarga yakni akan terjadinya gangguan terhadap kapasitas psikologis

dan moralitas anak karena nilai-nilai dasar keadilan dan moralitas berakar dari dalam

keluarga. Selain itu akan berdampak juga pada masalah keadilan dalam lingkup

masyarakat, serta berdampak pada kesetaraan dan pencapaian keadilan terhadap kedua

jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang berada dalam kehidupan keluarga

maupun pada masyarakat umum.41

Dengan demikian dapat dilihat secara jelas bahwa dalam pandangan yang

dikemukakan oleh Rawls tentang prinsip keadilannya tidak dibedah secara mendalam

tentang keadilan di dalam keluarga atau keadilan individu yang dalam hal ini berfokus

pada keadilan individu dari seorang perempuan. Ia hanya sebatas menyinggung

tentang keadilan sebagai sekolah moral, tetapi tidak menyentuhnya secara mendalam.

Ia mengemukakan pandangannya secara lebih mendalam kepada keadilan sosial. Jika

dipahami dengan teliti maka untuk dapat tercapainya keadilan sosial seharusnya

(28)

40 keadilan dalam keluarga merupakan pokok dari terwujudnya keadilan sosial yaitu

keadilan yang berskala besar bagi setiap individu. Inilah tujuan dari kritik Okin

terhadap teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls.

B.5. Dikotomi Publik/Domestik

Okin mengatakan bahwa dikotomi publik-domestik menyesatkan dan

melanggengkan siklus ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian

kerja dalam gender structure di keluarga, menimbulkan hambatan praktis dan

psikologis terhadap perempuan di semua bidang kehidupan lainnya. Hal ini

merupakan pesan utama dari kritik feminis kontemporer terhadap dikotomi

publik-domestik. Gerakan feminis radikal di tahun 1960-an dan 1970-an berpendapat bahwa

keluarga adalah akar dari penindasan perempuan maka penindasan itu harus

dihancurkan. Dalam keluarga terjadi gender structure, sehingga sulit mengharapkan

kesetaraan bagi perempuan baik dalam keluarga atau lingkup masyarakat.

Kecenderungan politik yang diskriminatif di beberapa daerah menyebabkan

penindasan terhadap perempuan. Banyak analisis akademik mengungkapkan

interkoneksi antara peran domestik perempuan dengan ketidaksetaraan, seksualitas,

pekerjaan rumah tangga, perawatan anak dan kehidupan perempuan.42

Selanjutnya Okin menduga bahwa konsep rasionalitas merupakan sebuah

dasar yang ada di dalam tradisi kita untuk menunjukkan keunggulan seorang laki-laki.

Teori-teori yang ada secara bersamaan juga mengungkapkan adanya kecenderungan

untuk memperkuat sistem patriarki yang berdampak pada sistem dominasi yang ada

42 Informasi ini diperoleh dari hasil presentasi pada mata kuliah teori keadilan yang dipresentasikan oleh kelompok tiga (Florensye Gaspersz, Lita Nayoan, Marice Dimara), 2012. Adapun buku-buku yang dipakai sebagai penunjuang penulisan makalah kelompok ialah: Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual

(Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1985), Marianne Katoppo, Compassionate And Free (Tersentuh dan Bebas); Teologi Seorang Perempuan Asia (Jakarta: Aksara Karunia, 2007), Thobias Messakh, Konsep Keadilan Dalam Pancasila (Salatiga: UKSW, 2007), Susan Moller Okin, Justice, Gender, And The Family

(29)

41 pada masa lampau dan sekarang. Okin menambahkan bahwa diharuskan adanya

penjelasan mengenai masalah yang ada antara dunia publik yaitu kehidupan politik

dan dunia domestik dalam kehidupan keluarga bahkan hubungan-hubungan personal.

Dalam pembahasan ini secara penuh ia berargumen bahwa teori keadilan tidak dapat

tercapai jika tidak didahului dengan meneliti dan mengkritik dikotomi

publik-domestik.43

Okin memaparkan 4 kelemahan utama dalam dikotomi publik-domestik

yakni:44

a) Apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan pribadi tidak terlepas dari

dinamika kekuasaan politik.

b) Campur tangan negara dalam kehidupan keluarga tidak bisa dihindari. Negara

tidak hanya mengurus kehidupan keluarga namun juga mengatur pernikahan.

c) Kehidupan rumah tangga adalah tempat paling awal terjadinya sosialisasi antara

individu baik laki-laki dan perempuan, termasuk sosialisasi isu politik. Karena

itu, sulit melakukan dikotomi antara lingkup non-politik kehidupan keluarga dan

ruang publik.

d) Merusak sistem pembagian kerja dalam keluarga dan menimbulkan masalah

psikologis serta hambatan praktis terhadap perempuan dalam bidang-bidang yang

lainnya.

Salah satu kritik feminis bahwa perempuan belum diberi kebebasan

mengambil peran penting di ruang publik. Perempuan direndahkan atau dilecehkan

secara seksual. Persepsi dikotomi yang tajam antara laki-laki dan perempuan sangat

(30)

42 dipengaruhi oleh pandangan masyarakat dan social culture yang masih sangat

tradisional. Untuk mengembangkan pemahamannya, Okin mengacu pada pemikiran

teori kontemporer yang dikembangkan oleh Michael Walzer45 yang ber-argumen bahwa secara signifikan keluarga adalah sebuah konstitusi “lingkup keadilan” dan

secara spesifik merupakan referensi dari adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara

laki-laki dan perempuan serta diskriminasi.

Pembagian antara wilayah publik dan domestik pada gilirannya berdampak

negatif bagi posisi kaum perempuan. Berpatokan pada penjelasan di awal bahwa

kaum perempuan diasumsikan sebagai kaum produksi karena itu bertanggungiawab

penuh terhadap keutuhan keluarga dalam mendidik anak-anak, melayani anak-anak

dan suami. Pandangan tersebut kemudian menjadi salah satu alasan terbentuknya

pembagian antara wilayah publik-domestik di mana wilayah yang dianggap tepat bagi

seorang perempuan untuk mengembangkan kepribadiannya ialah wilayah domestik

karena memiliki sifat yang lebih peka dalam mengurusi urusan-urusan rumah tangga.

Sebaliknya tempat yang dianggap tepat bagi seorang laki-laki dalam mengembangkan

kemampuannya adalah pada wilayah publik karena memiliki kepribadian yang

tangguh, pandai berbicara dan sebagainya. Kondisi ini secara jelas menghadirkan

ketidakadilan dan ketidakbebasan bagi kaum perempuan. Karena itu bagi Okin hal

utama yang harus diperhatikan adalah kemanusiaan seseorang sehingga ia

mengemukakan sebuah konsep keadilan yang humanis yang akan dibahas pada

pembahasan berikut ini.

B.6. Menuju Keadilan Yang Humanis

Menurut Okin, kehidupan keluarga di dalam masyarakat kita tidak adil, baik

bagi perempuan maupun anak-anak. Teori-teori keadilan kontemporer selama ini

(31)

43 masih mengabaikan isu perempuan dan gender. Okin mengungkap fakta bahwa

selama ini ternyata kita telah menumbuhkembangkan sebuah masyarakat yang

dibangun berdasarkan pembedaan gender. Pembedaan gender atau jenis kelamin

dalam keluarga yang masih berlaku hingga sekarang ini sebenarnya merupakan suatu

pandangan tradisional yang belum dikonstruksi oleh masyarakat. Belum lagi terdapat

kenyataan lainnya di dalam masyarakat, di mana hampir setengah dari pernikahan

berakhir dengan perceraian. Alasan-alasan inilah yang mendorong agar keluarga

menjadi sebuah institusi yang adil dalam masyarakat.

Okin menyarankan bahwa solusi yang adil untuk masalah kerentanan yang

dialami oleh perempuan dan anak-anak yaitu; mendorong dan memfasilitasi

pembagian yang sama (kesetaraan) antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan

(dengan dan tanpa nafkah, produksi dan reproduksi, peran dalam keluarga). Keadilan

harus dimulai dengan kesamaan posisi dan kesempatan bagi siapapun. Dengan kata

lain, masyarakat keluar dari konsep tradisional. Untuk mencapai demokrasi yang

ideal, dunia sosial membutuhkan perubahan besar, terutama di dalam berbagai

institusi yang ada di dalamnya. Kebijakan-kebijakan publik harus menghargai

pandangan dan pilihan masyarakat.46 Okin menginginkan suatu konsep keadilan yang humanistis. Menurut Okin, konsep keadilan yang sungguh-sungguh mengatasi

ketidakadilan yang dialami perempuan dan anak-anak adalah keadilan yang menjamin

adanya tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam menanggung beban pekerjaan

publik (yang diupah) dan pekerjaan rumah tangga (yang tidak diupah),

pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan produksi dan reproduksi.

Okin mengusulkan reformasi sosial, antara lain, melalui perubahan di bidang

kebijakan publik dan reformasi hukum. Kebijakan publik dan hukum harus didasarkan

(32)

44 pada prinsip tidak ada perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Ekualitas

sosial ini harus berlaku dalam publik sphere dan famili sphere. Pekerjaan rumah

tangga harus dikerjakan bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan, agar perempuan

mempunyai waktu untuk dapat mengaktualisasikan diri dan potensinya di luar

pekerjaan rumah tangga. Laki-laki dan perempuan, sama-sama adalah insan publik

dan domestik. Menurut Okin, hanya dalam masyarakat yang bebas dari dikotomi

publik-domestik, perempuan dapat memperoleh perlakuan yang adil. Dalam

masyarakat yang demikian, semua institusi sosial harus dirancang dengan

memperhatikan prinsip ekualitas laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan humanis

adalah konsep keadilan yang menghargai laki-laki, perempuan, anak-anak sebagai

manusia. Martabat sebagai manusia inilah yang menjadi standar acuan keadilan dalam

masyarakat. Semua manusia adalah sama dan karena itu memiliki hak yang sama

untuk dilindungi oleh keadilan dalam masyarakat.47

Pernyataan yang dibangun oleh Okin berkaitan dengan konsep keadilan yang

humanis secara langsung membuka peluang bagi kaum perempuan untuk keluar dari

zona domestik sehingga membantu kaum perempuan mengembangkan kemampuan

yang dimilikinya. Melalui konsep tersebut dapat disinyalir bahwa tidak akan ada lagi

ketidakadilan dan ketimpangan terhadap keberadaan kaum perempuan karena yang

diutamakan adalah sisi kemanusiaannya. Jika kemanusiaan seseorang ditempatkan

pada posisi utama, diperhatikan dengan baik bahkan dihargai maka hal tersebut

menjadi syarat terwujudnya keadilan bagi semua individu tanpa adanya pola

pengecualian.

C.Inti Kritik Susan Okin

(33)

45 Dari pandangan Okin tentang konsep keadilan dalam rumah tangga, saya

menarik kesimpulan bahwa kritik yang dilayangkannya terhadap Rawls dan Nozick

bertolak kepada konsep keadilan yang tidak menjawab persoalan ketidakadilan yang

dialami perempuan dan anak-anak. Rawls hanya melihat pada keadilan yang

bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan keadilan yang bertumpu pada kehidupan

keluarga. Sejatinya, jika hendak menginginkan tumbuhnya keadilan dalam

masyarakat maka penerapannya harus didahului dari dalam keluarga. Selain itu

keadilan yang digambarkan sebagai sentimen-sentimen yang berlebihan seperti

kepahlawanan, pengorbanan diri, penerimaan tanggung jawab yang lebih menjadi

landasan yang kuat terhadap diskriminasi dan ketidakadilan terhadap pihak

perempuan. Okin juga mengkritik bahwa Rawls sepenuhnya gagal untuk mengatasi

keadilan dari sudut pandang jender yakni peran jenis kelamin yang berakar pada

kehidupan keluarga yang merupakan struktur dasar masyarakat bahkan meluas sampai

ke lembaga-lembaga institusi masyarakat, dan juga pada setiap sudut kehidupan kita.

Dalam kritiknya, Okin menyinggung tentang masalah jender. Ia menekankan bahwa

dalam kehidupan bermasyarakat, sangat dibutuhkan pemberlakuan dan penegakan

hukum yang netral dan adil terhadap masalah gender khususnya bagi kaum

perempuan (misalnya: mengenai kehamilan, cuti melahirkan, dan sebagainya) yang

seringkali mengalami diskriminasi. Menanggapi hal ini, Okin mengatakan bahwa

diperlukan tindakan yang konsisten untuk mempertimbangkan, merumuskan, dan

menerapkan prinsip-prinsip keadilan bagi kedua jenis kelamin. Akhirnya Okin sampai

pada sebuah kesimpulan bahwa hanya dengan menghilangkan struktur gender maka

pengembangan praktek keadilan yang benar-benar adil dapat tercapai.48

(34)

46 Okin mengkritik teori yang dikembangkan oleh Nozick yang hanya

menekankan tentang perjuangan keadilan bagi hak kepemilikan secara pribadi

sehingga mengabaikan penerapan nilai-nilai keadilan bagi sesama anggota di dalam

keluarga. Dengan demikian bagi Okin; keluarga, struktur gender, dan peran seks

dalam masyarakat, jauh dari argumen yang dikembangkan oleh Nozick. Okin juga

mengkritik bahwa sepertinya Nozick tidak memperhatikan bahwa manusia terdiri dari

dua jenis kelamin. Yang dimaksudkan dengan kritiknya ini ialah seringkali terjadi

pengabaian terhadap hak- hak kaum perempuan. Laki-laki lebih mengutamakan hak

mereka, sehingga kaum perempuan menuruti apa yang diinginkan oleh kaum laki-laki

dan hal semacam ini seringkali terjadi dalam hubungan pernikahan. Bagi Okin, inilah

yang tidak dilihat oleh Nozick. Ia juga menambahkan bahwa tindakan-tindakan

pengabaian seperti inilah yang akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan

perempuan dan anak-anak yang merupakan salah satu dari krisis terbesar yang

dihadapi oleh masyarakat.

Okin juga mengkritik pandangan yang dikemukakan oleh Rousseau dan Hume

mengenai kemurahan hati. Baginya, poin yang paling penting adalah keadilan.

Keadilan adalah kebutuhan utama yang paling mendasar, kebajikan moral yang paling

dibutuhkan dalam kelompok sosial karena itu harus dimulai dari kehidupan keluarga.

Okin menyatakan bahwa jika hanya mengandalkan sikap kemurahan hati, nilai-nilai

keadilan tidak dapat tersalur secara maksimal. Jika keadilan berlaku dalam keluarga

dan masyarakat, maka konsep kasih sayang, kemurahan hati dan kebajikan-kebajikan

lainnya akan kelihatan. Ia menafsirkan bahwa keadilan yang berlaku dari dalam

keluarga sebagai jalan pembuka terhadap tindakan kepedulian pada skala umum.

(35)

47 Setelah mempelajari dan memahami teori keadilan yang dikembangkan oleh

Okin, penulis menyimpulkan bahwa kelebihan dari teori ini adalah Okin mampu

melihat ketidakadilan yang selama ini tidak terlihat dari dalam keluarga. Ia berani

mengungkapkan dan mengkritik teori-teori keadilan yang menurutnya mengabaikan

nilai-nilai yang adil yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.

Melalui kritik yang ia lakukan, ia berhasil merumuskan dan mengembangkan sebuah

teori keadilan baru yang berbasis gender terutama dalam keluarga. Okin berangkat

dari unit terkecil yang ada dalam struktur masyarakat. Unit terkecil yang seharusnya

membentuk moralitas yang baik dan pada akhirnya berdampak besar bagi unit yang

lebih luas. Selain kelebihan yang ada dalam teori keadilan Okin, dalam pandangan

penulis terdapat juga kekurangan pada teori ini yaitu ia tidak menjelaskan tentang

akibat yang dialami oleh perempuan secara holistik yakni yang dikaji dari berbagai

sudut pandang misalnya pendidikan, kesehatan, kekerasan dan hal-hal lainnya yang

ditimbulkan dari ketidakadilan yang terjadi di dalam keluarga.

E. Kesimpulan

Dalam pandangan banyak orang, keluarga adalah tempat bagi seorang isteri

dan ibu mengabdikan hidupnya kepada suami dan anak-anak. Secara sederhana dapat

disimpulkan bahwa ruang yang tepat bagi seorang perempuan untuk

mengaktualisasikan dirinya ialah keluarga. Sebaliknya, laki-laki yang dalam hal ini

berperan sebagai seorang suami memiliki kebebasan sepenuhnya untuk

mengaktualisasikan dirinya pada ruang publik. Laki-laki memiliki kekuasaan yang

tidak terbatas untuk membuat peraturan yang harus ditaati oleh semua anggota

keluarga serta memiliki hak paten untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan

Referensi

Dokumen terkait