BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Radikal bebas adalah senyawa kimia baik berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya (Danusantoso, 2003). Senyawa kimia ini memiliki satu atau lebih elektron bebas, sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan stres oksidatif (Sarma et al., 2010). Stres oksidatif terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang kemudian berpotensi menimbulkan kerusakan sel dan dilaporkan berperan penting pada proses kerusakan hati (Elgaml dan Hashish, 2014). ). Peningkatan temperatur lingkungan disertai kelembaban yang tinggi melebihi kisaran zona suhu nyaman memicu peningkatan stres oksidatif, dimana akan terjadi serangan radikal bebas pada membran sel (Mushawwir dan Latipuddin, 2013). Radikal menyebabkan gangguan metabolit dan gangguan sel berupa gangguan fungsi DNA dan protein, sehingga menyebabkan mutasi atau sitotoksik dan perubahan laju aktivitas enzim (Kinanti, 2011). Radikal bebas dapat meningkatkan peroksidasi lipid yang kemudian akan mengalami dekomposisi menjadi malondialdehide (MDA) dalam darah. Uji MDA dapat digunakan untuk mengukur peroksidasi yang terjadi pada membran lipid. Profil MDA dalam serum berfungsi sebagai sebuah penanda kerusakan seluler akibat radikal bebas (Inoue, 2001).
Zat penunda atau pencegah terjadinya stres oksidatif disebut antioksidan (Manimaran & Rajneesh, 2009). Antioksidan berfungsi mencegah tumbuhnya radikal bebas di dalam tubuh, dengan cara menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas sehingga radikal bebas yang semula sangat reaktif menjadi stabil (Hamid et al., 2010). Berdasarkan bentuknya antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu antioksidan sintesis dan antioksidan alami. Antioksidan sintesis terbentuk dari reaksi kimia dan diproduksi untuk tujuan komersil seperti BHA (butylated hydroxy anisole) dan BHT (butylated hydroxy toluene) (Juncan
and Hodisan, 2011), penggunaan antioksidan sintesis tidak dianjurkan karena pada beberapa penelitian diduga memiliki efek toksik, sehingga banyak pengembangan terhadap antioksidan alami. Antioksidan alami banyak terdapat pada tanaman yang terkandung pada daun, batang, akar, biji, dan buah. Senyawa yang sering ditemukan adalah fenol, karotenoid, tokoferol, flavonoid (Dimitrios, 2006).
Salah satu tanaman obat yang mengandung antioksidan alami adalah herba thymi (Thymus vulgaris) (Fachini-Queiroz et al., 2012). Pada beberapa penelitian herba thymi juga dapat berfungsi sebagai antimikroba (Ali, et al., 2011), antibatuk (Fachini-Queiroz et al., 2012) antioksidan, serta antiinflamasi (Fachini-Queiroz et al., 2012). Kandungan kimia minyak atsiri dan flavonoid pada tanaman thymi berkhasiat sebagai ekspektoran. Beberapa senyawa yang ditemukan pada ekstrak herba thymi adalah terpenoid, flavonoid, aglikon, dan asam fenolik (Aazza, et al., 2011). Senyawa timol pada ekstrak herba thymi menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat kuat dibandingkan senyawa lain seperti eugenol dan karvakrol (Shabnum & Wagay, 2011). Penelitian ekstrak herba thymi secara in vitro menunjukkan adanya aktivitas antioksidan, dibuktikan dengan membandingkan nilai inhibition concentration (IC50) pada beberapa tanaman. Suatu zat dinyatakan memiliki senyawa antiradikal apabila nilai IC50 rendah yaitu kurang dari 200 ppm. Pada penelitian (Razzaghi-Abyaneh et al., 2009) menerangkan nilai IC50 pada Thymus vulgaris 93,5 µg/ml.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan uji lebih jauh untuk melihat pengaruh kadar MDA pada tikus yang diberi ekstrak herba thymi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan dapat dirumuskan permasalahan:
Apakah pemberian ekstrak tanaman Thymus vulgaris L dapat mempengaruhi MDA (malondialdehide) pada tikus?
C. Tujuan Penelitian
D. Tinjauan Pustaka 1. Herba Thymi
a. Sistematika tanaman Herba thymi Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak Kelas : Asteridae Bangsa : Lamiales
Suku : Lamiaceae
Marga : Thymus
Jenis : Thymus vulgaris L. (Cronquist, 1981) b. Khasiat tanaman
Herba thymi biasanya digunakan sebagai obat tradisional, seperti digunakan pada antihelminthik, antimikroba, antijamur, antioksidan, antivirus dan memiliki efek karminatif, serta bisa digunakan sebagai obat penenang. Dalam industri makanan dan kosmetik digunakan sebagai pengawet dan antioksidan (Fachini-Queiroz et al., 2012).
c. Kandungan kimia
Minyak esensial dari thymi memiliki kandungan kimia yaitu senyawa monoterpen. Senyawa utama thymi adalah terpenoid, fenol serta isomer carvakror. Pada beberapa penelitian ditemukan senyawa lain terpenoid, flavonoid, aglikon, glikosida flavonoid, dan asam fenolik (Fachini-Queiroz et al., 2012). Minyak atsiri thymi mengandung senyawa terpenoid 1,8-sineol, kamfor, citral, karvon, timol, serta asam lemak seperti linoleat, linolenat dan asam oleat, saponin triterpen, asam ursolat, asam kafeat, tanin dan resin (Guzman dan Siemonsa, 1999)
d. Spesifikasi tanaman
berwarna hijau abu-abu dan bunganya berwarna merah jambu pucat, memiliki bau yang khas seperti mint.
2. Malondialdehide
O O OH O
Gambar 1.Mekanisme Reaksi Antara MDA dan TBA Menghasilkan Senyawa Komplek MDA-TBA Berwarna Merah Muda (Josephy,1997)
E.Landasan Teori
Radikal bebas merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif dan tidak stabil yang dapat mengakibatkan terjadinya stres oksidatif (Danusantoso, 2003). Stres oksidatif terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang kemudian berpotensi menimbulkan kerusakan sel dan dilaporkan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan adanya aktivitas antioksidan pada tanaman tertentu, salah satunya tanaman herba thymi mengandung senyawa flavonoid yang bertanggung jawab sebagai antiradikal (Guzman dan Siemonsa, 1999), sehingga menurunkan konsentrasi lipid peroksida dan menghambat terbentuknya MDA yang merupakan produk akhir lipid peroksida (El Kader & Mohamed, 2012) MDA merupakan dialdehid tiga karbon yang sangat reaktif yang juga dapat diperoleh dari hidrolisis pentosa, deoksiribosa, heksosa, beberapa asam amino dan DNA (Evans, 1991). MDA merupakan radikal bebas yang dapat meningkatkan kadar LDL (low density lipoprotein), yang menjadi penyebab penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga terjadi atherosklerosis. Kondisi ini akan menghambat kelancaran sel darah dalam melakukan fungsinya di pembuluh darah (Bottje dkk., 1995).
F.Hipotesis