• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT

CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh Iing Yulianti

1103397

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

PewarisanNilai-NilaiBudayaMasyarakatAdatCikondang dalamPembelajaranSejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah

Oleh IingYulianti S.Pd UPI, 2009

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Sejarah

© IingYulianti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)
(4)

i

ABSTRAK

(5)

i

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kearifan Lokal ... 13

B. Teori Kontak Kebudayaan dan Pewarisan Nilai ... 16

1. Teori Kontak Kebudayaan ... 16

2. Teori Pewarisan Nilai ... 20

C. Pendidikan Sebagai Pewarisan Nilai ... 25

D. Tujuan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah ... 29

E. Pendidikan Sejarah dan Kesadaran Sejarah ... 33

1. Pendidikan Sejarah ... 33

(7)

F. Pandangan Hidup Orang Sunda ... 41

G. Falsafah Pendidikan Masyarakat Sunda ... 47

H. Nilai Budaya dalam Masyarakat Cikondang ... 48

I. Penelitian Terdahulu ... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 57

B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 60

C. Instrumen Penelitian ... 60

D. Teknik Pengumpulan Data ... 62

E. Teknik Analisis Data ... 73

F. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 78

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 81

1. Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 81

a. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Cikondang ... 81

b. Sejarah Kampung Cikondang ... 82

c. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Cikondang ... 87

d. Pedoman Hidup dan Sistem Nilai ... 93

e. Pola Pemukiman dan Rumah Adat ... 97

f. Nilai Kearifan Lokal dalam Bentuk Upacara-Upacara Adat . 100 2. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 108

a. Kearifan Ekologi ... 109

b. Penghargaan terhadap Sejarah ... 110

c. Budaya Gotong Royong ... 113

d. Kearifan Pendidikan ... 115

e. Kearifan Ekonomi ... 117

(8)

4. Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang

melaluiPembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah

Aliyah Al-Hijrah ... 129

B. Pembahasan ... 141

1. Analisis terhadap Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 141

2. Analisis terhadap Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 162

3. Analisis terhadap Aktualisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang dalam Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 173

4. Analisis terhadap Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang melalui Pembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 179

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 193

B. Rekomendasi ... 195

DAFTAR PUSTAKA ... 197

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

4.1 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Umur dan

Jenis Kelamin ... 88

4.2 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Mata Pencaharian ... 89

4.3 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 90

4.4 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Rumah Adat) ... 149

4.5 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Pola Pemukiman) ... 151

4.6 Hubungan Tata Lingkungandan Tata Adat (Hutan) ... 153

(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan

2.1 Tritangtu Sunda dalam Pengaturan Kampung dan Negara ... 45

4.1 Proses Pemanfaatan Kearifan Lokal Cikondang dalam Pembelajaran

Sejarah ... 175

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

4.1 Bumi Adat Cikondang ... 99

4.2 Upacara Adat WukuTaun ... 103

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Observasi dan Wawancara

Lampiran 2. Daftar Narasumber

Lampiran 3. Foto Kampung Cikondang dan Kegiatan Peserta Didik bersama Peneliti

Lampiran 4. Profil Madrasah Aliyah Al-Hijrah

Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan atau Observasi

Lampiran 6. Surat Keterangan Pengangkatan Pembimbing Tesis

Lampiran 7. Surat Keterangan Penelitian di Madrasah Aliyah Al-Hijrah

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian

penting dalam menumbuhkan dan membangun jati diri. Budaya turut memberikan

kontribusi yang besar dalam membentuk karakter bangsa yang selama ini tergerus

oleh pengaruh luar. Dari sudut pandang tersebut bangsa Indonesia sesungguhnya

memiliki potensi sumber daya atau keunggulan kompetitif karena dikaruniai

keanekaragaman budaya. Kondisi tersebut diperkaya lagi dengan keberadaan

sejumlah komunitas yang terdapat dalam kelompok suku bangsa tersebut, salah

satunya yang dikenal dengan sebutan komunitas adat.

Komunitas adat merupakan suatu kesatuan lokal yang menempati suatu

wilayah tertentu dan berinteraksi secara terus-menerus sesuai sistem adat istiadat

tertentu pula. Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa komunitas adat

merupakan sekelompok orang dengan pranata-pranata sosial yang berdiri sendiri

sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Komunitas adat lebih memilih untuk

hidup dengan cara nenek moyang mereka dibandingkan terhegemoni oleh

kebudayaan mayoritas. Perbedaan inilah yang menjadikan komunitas adat sebagai

kaum minoritas yang dianggap “berbeda” dengan masyarakat kebanyakan yang

bertindak sebagai mayoritas. Karena itu tidak berlebihan jika saya menyebutkan

bahwa komunitas adat merupakan para penjaga warisan budaya.

Indonesia, ditandai dengan keragaman etnik dengan kemajemukan tradisi

atau adat istiadat yang dijalankan dalam kesehariannya. Hal itu dapat menjadi

benteng dalam menghadapi globalisasi dengan tata nilai yang bersifat asing bagi

tata nilai masyarakat adat. Akibatnya, banyak komunitas adat secara kultural

teralienasikan ‘cultural alienated’. Ia terasing dari dirinya karena terpojokkan

(14)

yang diikat oleh rasa solidaritas yang kuat sehingga menjadi satu kesatuan

komunitas dan identitas sebagai ciri mandiri masyarakat adat.

Umumnya orang sependapat bahwa situasi dan kondisi kehidupan bangsa

Indonesia sedang carut-marut dan sangat memprihatinkan di hampir semua

sendi-sendi kehidupan. Penyebabnya terdiri atas banyak faktor yang jalin-menjalin

melalui proses yang panjang. Lebih tegasnya, semua yang ada sekarang bukan

sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja, dan segala sesuatu tentunya ada

sejarahnya. Salah satu di antara banyak sebab yang ingin penulis kemukakan,

adalah kurangnya kita bercermin dari peristiwa-peristiwa sejarah. Akar

masalahnya dapat dicari pada cara pengajaran sejarah di sekolah-sekolah selama

ini yang tidak komprehensif, sehingga membuat banyak di antara kita kurang

memiliki kesadaran sejarah, dalam arti minimnya pemahaman akan asal-usul atas

segala sesuatu yang menimpa kita, serta kurangnya kesediaan memetik nilai yang

terkandung di dalamnya. Pada gilirannya kita menjadi masyarakat yang kurang

mampu mengelola kebersamaan berikut potensi-potensi konflik yang mungkin

timbul, terkait dengan kebhinekaan kita sebagai bangsa.

Fenomena sosial yang terjadi pada kaum muda Indonesia lebih kepada

bentuk tergerusnya jati diri nasional dan tergantikan dengan jati diri baru bentukan

dari globalisasi. Karena itu jika harus membahas pandangan kaum muda

mengenai komunitas adat, tidak banyak yang dapat saya katakan, karena mereka

akan lebih mengenal budaya pop dibandingkan budaya daerah. Para generasi

muda akan lebih memilih Paris, Amerika, Korea, karena keindahan tempatnya,

menonton konser musik idolanya, atau hanya sekedar shopping dibandingkan

mengenal Baduy, Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Cikondang dsb.

Walaupun pemerintahan mencanangkan sebuah program kepariwisataan edukasi

terhadap komunitas-komunitas adat tetapi pada kenyataan hanya sedikit pihak

yang berminat terhadap nilai-nilai yang dianut oleh komunitas adat.

Menurut pendapat saya, persepsi yang ada di masyarakat umum pada saat

ini lebih melihat komunitas adat sebagai obyek wisata yang menarik karena

“berbeda”. Mereka melihat komunitas adat bukan sebagai suatu masyarakat yang

(15)

melihat kelompok orang yang berada dalam kategori “primitif”. Masyarakat pada

umumnya tidak melihat nilai-nilai yang dimiliki oleh berbagai komunitas adat di

Indonesia bahkan lebih banyak kelompok yang tidak mengetahui apa itu

komunitas adat.

Selain itu, komunitas adat lebih sering dikaitkan dengan kegiatan yang

berbau mistik oleh masyarakat. Karena keilmuan yang mereka miliki lebih

berbentuk lisan atau pamali yang diturunkan secara generasi ke generasi tanpa

mengerti alasan di balik itu semua. Contoh kongkrit bisa kita lihat banyaknya

komunitas adat yang memiliki hutan-hutan larangan. Dalam pengetahuan mereka,

hutan larangan merupakan sesuatu yang dikeramatkan sehingga mendapatkan

penjagaan dan ritual-ritual khusus dalam pengelolaannya. Mungkin jika kita

melihat dalam persepsi mayarakat awam, hal itu tidak beralasan dan tidak

rasional. Tetapi jika kita melihat fungsi hutan sebagai salah satu ekosistem

penunjang kehidupan manusia, maka justru komunitas adat lebih memiliki

kesadaran dalam menjaga lingkungan, karena mereka menjadikan diri mereka

sebagai bagian dari alam, bukan di atas alam itu sendiri. Tak jarang terdapat

sebuah persepsi bahwa komunitas adat lebih terbelakang karena tidak rasional

dibandingkan masyarakat kota, tetapi melihat kasus tersebut, terbersit sebuah

pertanyaan dibenak saya, mana yang lebih terbelakang sebenarnya?.

Dalam cara pandang ecopedagogy para siswa harus diberdayakan untuk

memiliki pandangan kritis tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dan keterbatasan sumber daya alam, serta kemampuan beradaptasi

dengan lingkungan yang semakin berubah agar power (kuasa) melekat dalam diri

mereka sehingga tidak menjadi korban dari hegemoni kelompok lain (Supriatna,

2012: 176). Pembelajaran sejarah berbasis ecopedagogy bertujuan untuk

menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi atau kecerdasan ekologis.

Kecerdasan yang dimaksud adalah berupa pemahaman tentang pembangunan

berkelanjutan, pemahaman tentang semakin terbatasnya sumber daya alam,

kemampuan beradaptasi atau hidup selaras dengan lingkungan yang menjunjung

tinggi keadilan demi menyiapkan generasi yang akan datang yang akan

(16)

pendapat Goleman (2012) dalam (Supriatna, 2013:18) bahwa untuk

mengembangkan kecerdasan ekologis (ecoliteracy), menyarankan pentingnya

developing emphaty for all forms of life; anticipating unintended consequences; embracing sustainability as a community practice); dan understanding how nature sustains life.

Pendidikan modern yang lebih mengarah pada rasionalitas seringkali

mengabaikan ilmu pengetahuan-pengetahuan lokal yang kaya akan nilai-nilai

budaya. Saya sangat sependapat bahwa bangsa yang besar perlu memiliki

karakteristik yang kuat. Namun akan menjadi sebuah permasalahan jika kita tidak

dapat mengenal jati diri bangsa kita sendiri. Bagaimana kita dapat memiliki

sebuah identitas nasional jika tidak mengenal akar budaya nenek moyang kita?

Jika fenomena ini terus berlanjut, mungkin beberapa tahun ke depan para pemuda

Indonesia akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka akan lebih

mengenal cara hidup orang-orang barat dibandingkan cara hidup nenek

moyangnya. Padahal baik dari segi geografis maupun sosial budaya, Indonesia

sangat berbeda dengan negara-negara barat.

Hilangnya pengetahuan akan keberadaan komunitas adat pada kaum muda

Indonesia merupakan sebuah hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak.

Selain itu perlu adanya sebuah kebijakan baru yang tidak hanya melindungi

komunitas adat tersebut, tetapi mengenalkan nilai-nilai ajaran luhur yang dimiliki

oleh komunitas-komunitas adat di Indonesia terhadap kaum muda di Indonesia.

Dalam antropologi sering dikenal istilah yang disebut dengan relativitas

kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan memiliki nilai yang berbeda-beda

sehingga tidak dapat dibandingkan antara kebudayaan yang satu dengan

kebudayaan yang lainnya. Masyarakat pada umumnya dan kaum muda pada

khususnya sering kali salah paham dengan keberadaan komunitas adat, maupun

ajaran-ajaran mereka. Sehingga tidak jarang mereka melihat komunitas adat

sebagai sekumpulan orang dengan kepercayaan tertentu dan lebih berbau-bau

mistik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa tempat di komunitas adat seperti

Kampung Cikondang misalnya, yang sering kali dijadikan tempat ritual oleh

(17)

Padahal jika kita mau mengenal mereka dengan lebih baik, maka kita akan

melihat bahwa pada dasarnya komunitas adat tidaklah berbeda dengan kelompok

mayoritas. Mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai berdasarkan

ajaran nilai-nilai tradisional. Bahkan terkadang komunitas adat dapat lebih bijak

dalam beberapa hal dibandingkan masyarakat mayoritas. Karena itu perlu adanya

sebuah program pengedukasian masyarakat tentang keberadaan komunitas adat,

bukan hanya sekedar untuk menyadari eksistensi mereka, tetapi juga agar dapat

lebih mengenal akar budaya kita sendiri, sehingga komunitas-komunitas adat

tidak lagi menjadi kaum yang termarjinalkan karena perbedaan yang mereka

miliki dengan masyarakat pada umumnya. Untuk itu, dalam mengatasi berbagai

gejala seperti di atas, sebenarnya dapat dipahami bersama dengan pendekatan

budaya, yaitu pendekatan dengan mempergunakan kearifan lokal.

Kebudayaan memiliki banyak definisi, salah satunya menyatakan bahwa

kebudayaan merupakan pola cara berpikir, merasakan, dan bereaksi, yang terdapat

dan disebarkan terutama melalui simbol, yang membentuk karakteristik

pencapaian suatu kelompok manusia, termaksud gambaran yang mereka tuangkan

dalam alat-alat mereka. Esensi atau inti kebudayaan berasal dari gagasan

tradisional dan terutama nilai-nilai yang mereka pegang. Kebudayaan merupakan

program pikiran kolektif, yang tidak hanya terwujud dalam nilai yang dipegang

tetapi juga terwujud dalam simbol, pahlawan, dan ritual yang dilakukan. Salah

satu penelitian yang dilakukan oleh Geert Hofstede untuk mendapatkan gambaran

suatu masyarakat misalnya, menjadikan kebudayaan sebagai tolak ukur dalam

menggambarkan karakteristik suatu masyarakat. Merujuk pada penelitian

Hofstede tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan memiliki peranan penting

dalam membentuk jati diri suatu bangsa.

Menurut Oakeshott dalam bukunya Ankersmit (1987:349) bahwa konsep

perubahan sebetulnya merupakan sebuah konsep yang paradoksal, karena

memperpadukan pengertian mengenai perbedaan, dengan pengertian mengenai

sesuatu yang tetap sama. Berikut kutipannya di bawah ini:

(18)

sama, merupakan kekacauan belaka, tak adanya tata tertib dan, aneh bin aneh, justru menimbulkan kesan mengenai sesuatu yang sama, tetap dan statis. Perubahan yang sejati mengadaikan adanya sesuatu yang sama, yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk mengukur perubahan.

Tetapi masih ada paradoks lain, yaitu makin banyak keterkaitan dan makin

banyak yang tak berubah, makin besar juga sifat perubahan yang kita amati pada

masa silam. Bila kita menyadari perubahan-perubahan dalam masyarakat, kita

menjadi sadar pula akan tradisi-tradisi. Singkatnya baik sifat perubahan historis,

maupun usaha-usaha untuk menyusun perubahan-perubahan itu menurut skema

yang agak tetap, merupakan bagian-bagian dalam kesadaran historis.

Benar juga apa yang dikemukakan oleh futurolog, antara lain Naisbitt dan

Aburdene (Wiriaatmadja, 2002:164) bahwa dalam proses homogenisasi global

terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang

ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, atau ras.

Dalam buku Ankersmit (1987:358-359) H. Zinn seorang sejarawan dari

Kanada, Ia mulai menandaskan bahwa:

Harapan kita terhadap ilmu pengetahuan ialah supaya bermanfaat bagi masyarakat. Ia merasa heran, mengapa banyak sejarawan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial di dalam masyarakat. Menurut dia, seorang sejarawan, bila memilih sebuah obyek bagi penelitian sejarah harus dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan sosial pada masa kini. Menurut perspektif itu, ia harus memilih obyek yang paling relevan. Keterlibatan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.

Dalam berbagai tulisan Soedjatmoko mengingatkan kita betapa pentingnya

sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah diartikan sebagai

suatu refleksi tentang kompkleksitas perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh

interaksi dialektis masyarakat yang ingin melemparkan diri dari gangguan realitas

yang ada. Dengan kesadaran sejarah, manusia berusaha menghargai upaya

mengungkapkan terhadap kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai

keunikan masing-masing keadaan. Kesadaran sejarah juga membantu manusia

untuk waspada terhadap pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu

(19)

jalannya sejarah ataupun berada dalam cengkraman diterminisme sejarah. Untuk

mewujudkan kesadaran sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu

mengambil makna atau pesan moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam

konteks ini akan mewujudkan bahwa ketidak arifan dalam pemanfaatan kekayaan

alam dan budi akal manusia itu pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi

kemanusiaan dan peradabannya sendiri (Soedjatmoko, 1995).

Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah

mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses

pembangunan nasional dan identitasnya. Struktur kepribadian nasional tersusun

dari karakteristik perwatakan yang tumbuh dan melembaga dalam proses

pengalaman sepanjang kehidupan bangsa. Dengan demikian kepribadian dan

identitasnya bertumpu pada pengalaman kolektif, yaitu pada sejarahnya. Dalam

konteks pembentukan identitas bangsa, maka pendidikan sejarah mempunyai

fungsi yang fundamental (Kartodirdjo, 1989).

Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada

pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang.

Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan

transmission of culture” (Hasan, 1997:13). Pandangan tersebut sebenarnya

menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi

wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk

memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa. Pandangan semacam ini dalam

terminologi filasafat pendidikan disebut “perenialisme” (Supardan, 2004).

Perkembangan selanjutnya dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran

dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung

secara ekletik (Hasan, 1999:9). Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana

memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual

tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya,

politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu,

(20)

lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan”

manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif,

bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus

kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal

sebuah perbandingan, dan sebuah singkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman

yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan

menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.

Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat

membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran

sejarah, manusia Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam

memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran

sejarah di sekolah, guru dan siswa tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan belajar dari sejarah”. Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada

setumpuk kisah dan data tentang peristiwa masa lampau yang syarat romantika,

sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih

arif dan bijaksana, sebagai bentuk terinti dari kesadaran sejarah.

Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan

proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi

terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Bicara tentang

nilai-nilai yang dikembangkan oleh generasi terdahulu sama artinya dengan bicara

tentang makna dari sejarah. Dalam konteks seperti ini sejarah dapat kita pahami

sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia pada masa lampau dalam bentuk

kisah, baik lisan maupun tertulis. Proses pewarisan nilai ini tidak saja penting

untuk membangun kepribadian, melainkan juga penting untuk mempersiapkan

diri dalam rangka menghadapi tantangan pada masa kini dan masa yang akan

datang.

Merujuk dari pendapat Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka

pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk

memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi

juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran

(21)

nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak, dapat mengetahui

kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakekat

sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru dapat

diketahui pembelajaran sejarah telah berfungsi dalam proses pembentukan sikap.

Kegiatan belajar dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk

memperlancar tercapainya tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak

hanya berupa media di dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak

hanya berupa sumber belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar nonbacaan,

termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan

siswa seperti adat istiadat (Komalasari, 2010:107).

Peran guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan

memotivasi siswa agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar

yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang berupa orang, melainkan juga

sumber-sumber belajar yang lain. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja

dirancang untuk keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah

tersedia. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita

manfaatkan sebagai sumber belajar bagi siswa. Begitu halnya dalam penelitian ini

dimana lingkungan sosial budaya dimana siswa tinggal dijadikan salah satu

sumber belajar dalam pembelajaran sejarah.

Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah

lain dengan masalah-masalah yang berbeda tentu tidak begitu saja akan menerima

warisan itu. Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali

nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta

sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut (Saini,

2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui pembelajaran

dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna.

Keberadaan kampung adat Cikondang sebagai model dari masyarakat

Sunda, artinya keberadaanya cukup representatif guna mewakili tata kehidupan

orang Sunda masa silam dan dapat memberikan pemahaman atas sejumlah

kepercayaan, adat istiadat, sistem pemerintahan, sistem teknologi, kesenian, pola

(22)

Sunda yang masih relevan, dapat diwariskan sebagai bagian dari pendidikan

sejarah, untuk menghadapi masalah yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Salah

satunya melalui warisan tertulis atau lisan. Warisan tertulis dapat kita temukan

dalam naskah-naskah lama. Naskah (manuskrip) secara implisit mengungkapkan

tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu bangsa atau kelompok

masyarakat yang menghasilkan naskah tersebut. Sementara itu, warisan lisan

dapat dilacak dalam bentuk peribahasa, petatah-petitih orang tua.

Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat Cikondang memiliki

nilai sosial-budaya yang dapat dikaji untuk dikembangkan dalam pembelajaran.

Masyarakat adat yang kental dengan budaya kesetiakawanan sosial dalam

melakukan aktivitas hidupnya, peduli terhadap alam, memiliki budaya gotong

royong, musyawarah, kerukunan, dan juga memiliki beragam budaya dalam

bentuk kesenian tradisional. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi

muda dalam mengarungi hidup di era globalisasi dengan beragam pengaruh baik

positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan pewarisan nilai-nilai budaya

dan kearifan lokal masyarakat adat melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya

untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai sejarah dan budayanya

yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya menjadi manusia yang arif dan

bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran budaya sejak dini.

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji bagaimana masyarakat adat

Cikondang mempertahankan nilai (value) lama yang tentunya memiliki relevansi

dengan kehidupan saat ini sehingga masyarakat bisa berubah lebih baik serta

tentang pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang pada lingkungan

sekolah khususnya dalam pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan menengah.

Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah memiliki potensi yang

besar sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai budaya yang teruji oleh jaman.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, kesadaran sejarah

perlu dibina khususnya di kalangan generasi muda Cikondang yang sedang

(23)

untuk membuat generasi muda lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa

yang belum pasti, paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk

tidak akan berbuat salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.

Fokus pada penelitian ini adalah mengenai pewarisan nilai-nilai budaya

masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah khususnya pada generasi

muda Cikondang yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang dan fokus penelitian di atas, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimana profil kehidupan masyarakat adat Cikondang?

2. Nilai-nilai budaya apa saja yang dikembangkan dari masyarakat adat

Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?

3. Bagaimana aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam

pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?

4. Bagaimana internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang melalui

pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?

D.Tujuan Penelitian

Dengan mendasarkan pada permasalahan penelitian yang ada, maka tujuan

penelitian secara umum adalah untuk mendapatkan gambaran tentang proses

internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui pembelajaran

sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah peserta didik. Secara lebih

spesifik penelitian ini bertujuan, antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan gambaran empirik tentang profil kehidupan masyarakat adat

Cikondang.

2. Mendapatkan gambaran empirik tentang nilai-nilai budaya yang dapat

dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran

(24)

3. Mendapatkan gambaran empirik tentang aktualisasi pendidikan nilai

budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah

Al-Hijrah.

4. Mendapatkan gambaran empirik tentang internalisasi pendidikan nilai

budaya adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah bagi peserta didik di

Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

E.Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, peneliti juga berharap penelitian

ini dapat memberi manfaat, khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi secara

ilmiah mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang

melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah

peserta didik.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk

memahami lebih jauh mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat

adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun

kesadaran sejarah peserta didik.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam merencakan pembelajaran

sejarah dan tujuan pembelajarannya.

b. Memotivasi peserta didik, guru, masyarakat bahkan pemerintah untuk terus

memahami pentingnya pewarisan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat

adat sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai

sejarah dan budayanya yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya

menjadi manusia yang arif dan bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan

(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian terhadap masalah pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat

Cikondang dalam pembelajaran sejarah ini menggunakan pendekatan

etnopedagogi, dengan ancangan kualitatif didasari oleh masalah yang diteliti

bersifat etnografi yang membutuhkan observasi dan wawancara untuk

mengungkap kebermaknaan secara interpretatif serta mengungkap jawaban

sebagai pemecahan masalah penelitian. Menurut Creswell (2007) bahwa

penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan

memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap

berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

Menurut Bogdan dan Biklen (1990), mendefinisikan metode penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan

data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata

daripada angka-angka. Penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang

berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti

yang diberikan orang-orang kepadanya.

Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,

mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,

mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya

pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan

proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat

kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat

sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan

(26)

(2003:10) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, di

antaranya lebih mengutamakan:

“Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut

partisipan”.

Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai konstruksi sosial,

individual atau kelompok menarik atau memberi makna kepada suatu kenyataan

dengan mengkonstruksinya. Orang membentuk konstruksi untuk mengerti

kenyataan-kenyataan dan dia memahami konstruksi sebagai suatu sistem

pandangan, persepsi atau kepercayaan. Dengan perkataan lain, persepsi seseorang

adalah apa yang dia yakini sebagai “nyata” baginya dan terhadap hal itulah

tindakan, pemikiran, dan perasaannya diarahkan (McMillan and Schumacker,

2001).

Hasil-hasil pengamatan biasanya mencakup setting dari lingkungan hidup,

lokasi dan kondisi fisik serta sosial dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat.

Lokasi, lingkungan hidup dan kondisinya merupakan unsur-unsur tak terpisahkan

dalam kajian mengenai kebudayaan, karena kebudayaan dan pranata-pranatanya

hanya mungkin ada dan berkembang dalam suatu lingkungan hidup. Kegiatan

penelitian dengan pendekatan kualitatif biasanya ditujukan untuk membuat sebuah

etnografi. Etnografi dapat didefinisikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan.

Yaitu sebuah gambaran kebudayaan suatu masyarakat hasil konstruksi peneliti

dari berbagai informasi yang diperolehnya selama di lapangan dan dengan fokus

permasalahan tertentu (Suparlan, 2003:12).

Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dan tujuan yang ingin

dicapai penelitian ini, maka penelitian kualitatif yang dilakukan menggunakan

studi etnografi pada setting masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang

Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, serta mengingat dalam penelitian

ini rumusannya adalah mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi secara detail

(27)

generasi muda khususnya mereka yang sedang menempuh pendidikan di

Madrasah Aliyah Al-Hijrah, yang dapat diperoleh dari partisipan penelitian secara

alamiah.

Alasan menggunakan penelitian kualitatif etnografi, merujuk pada

pendapat Creswell (2010:20) bahwa, etnografi merupakan salah satu strategi

penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti menyelidiki suatu kelompok

kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang cukup lama

dalam pengumpulan data yang utama, data observasi, dan data wawancara. Proses

penelitiannya fleksibel dan biasanya berkembang sesuai kondisi dalam merespons

kenyataan-kenyataan hidup yang dijumpai di lapangan.

Spradley (2007:3) menyatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan

mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami

suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan

kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari etnografi

adalah upaya untuk mempelajari makna-makna tindakan dari kejadian yang

menimpa orang yang ingin kita pahami. Menurut Fraenkel & Wallen (1990)

(Creswell, 2012:294) tujuan penelitian etnografis adalah memperoleh gambaran

umum mengenai subjek penelitian. Penelitian ini menekankan aspek pemotretan

pengalaman individu-individu sehari-hari dengan cara mengobservasi dan

mewawancarai mereka dan individu-individu lain yang relevan.

Menurut Atkinson and Hammersley (1983:208) ada empat ciri etnografi,

yaitu: pertama, menekankan ekplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial

tertentu dan buka menguji hipotesis tentang fenomena tersebu; kedua,

kecenderungan untuk bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang

belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat analisis yang

tertutup; ketiga, investigasi terhadap sejumlah upacara, bahkan sangat mungkin

hanya satu upacara, namun dilakukan secara rinci; keempat, analisis data

melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia.

Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.

Penggunaan metode etnografi pada penelitian ini karena fokus penelitian

(28)

fenomena budaya yang terjadi di tengah masyarakat Sunda dalam hal ini

masyarakat adat Cikondang dan selanjutnya direkonstruksi berdasarkan partisipasi

secara alamiah. Fenomena budaya tersebut berkenaan dengan pengetahuan, nilai,

keyakinan, norma, tradisi atau kebiasaan, simbol, bahasa dan praktek kehidupan

sehari-hari, serta proses pewarisannya di tengah masyarakat Sunda. Berdasarkan

kajian tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran nilai kearifan lokal

masyarakat adat Cikondang yang dapat diwariskan kepada generasi muda melalui

berbagai kegiatan di tengah masyarakat, termasuk melalui proses pendidikan di

sekolah yang mencakup proses pembelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler,

terutama melalui proses pengintegrasian dalam pembelajaran sejarah.

B.Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di masyarakat adat Cikondang, Desa

Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dan di Madrasah Aliyah

Al-Hijrah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Subjek penelitian atau sumber data penelitian ini, dipilih secara purposive

(teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu). Sumber data

pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan

otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti dianggap paling tahu tentang

apa yang kita harapkan, sehingga mampu “membukakan pintu” ke mana saja

seharusnya peneliti akan melakukan pengumpulan data hingga mencapai data

jenuh. Subjek penelitian dalam studi ini adalah: 1) ketua adat masyarakat

Cikondang 2) tokoh masyarakat, 3) guru, 3) peserta didik Madrasah Aliyah

Al-Hijrah.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah paneliti itu sendiri,

peneliti kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan data dan

membuat kesimpulan. Fungsi peneliti dalam penelitian kualitatif menurut

(29)

“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat

satu-satunya yang dapat mencapainya”.

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, Oleh karena itu

dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti

adalah instrumen kunci. Guba and Lincoln (1985:128) menjelakan bahwa peneliti

diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk responsif dapat

menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan

pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk

mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan. Adapun alat bantu yang dipergunakan

peneliti dalam mempermudah pengumpulan data yaitu:

a. Catatan lapangan (field note): berfungsi untuk mencatat semua percakapan

dengan sumber data atau informan. Catatan lapangan ini digunakan selama

peneliti mewawancarai informan di Kampung Cikondang Desa Lamajang

Kecamatan Pangalengan, terutama pada ketua adat, tokoh masyarakat,

guru Madrasah Aliyah Al-Hijrah, peserta didik, dan orang tua peserta

didik.

b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau

pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.

c. Handycam: alat ini selain digunakan untuk merekam aktifitas masyarakat,

juga dapat digunakan sebgai kamera yang memotret segala kegiatan

masyarakat adat Cikondang dan kegiatan pembelajaran sejarah di

Madrasah Aliyah Al-Hijrah yang meliputi profil kehidupan dan

pendidikannya. Pengambilan gambar dilakukan ketika kegiatan

wawancara dan observasi berlangsung, dan dengan adanya kegiatan alat

penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin, karena peneliti

(30)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada

natural setting (kondisi alamiah), sumber data primer. Teknik pengumpulan data

lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation),

wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono,

2007:309).

1. Observasi

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian

berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila

responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2007:145). Faisal (1990)

mengklarifikasikan observasi menjadi observasi partisipasi (participant

observation), observasi yang secara terang terangan atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak berstruktur

(unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dalam

penelitian masyarakat adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan

Pangalengan dan proses pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ini

observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasif, dimana peneliti

datang ke lokasi atau tempat kegiatan masyarakat Cikondang untuk mengamati

situasi dan aktivitas generasi muda khususnya yang sedang menempuh pendidikan

di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan

tersebut.

Menurut Patton (Nasution, 2003), manfaat observasi adalah: a) dengan

observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam

keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik

(menyeluruh), b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman langsung,

sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak

dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumya. Pendekatan induktif

membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery, c) dengan

observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang

lain, khusunya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap

(31)

observasi, peneliti daat menemukan hal-hal yang tidak akkan terungkapkan oleh

responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena

dapat merugikan nama lembaga, e) dengan observasi, peneliti dapat menemukan

hal-hal diluar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang

lebih komprehensif, f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya

mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan

merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

Observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi

secara menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya

masyarakat Cikondang. Pada saat yang bersamaan pula, peneliti membangun

kontak dengan tokoh masyarakat Cikondang dari berbagai latar belakang. Berikut

ini hal-hal yang masuk ke dalam observasi di lingkungan keluarga dan lingkungan

masyarakat yaitu:

1. Bahasa komunikasi di keluarga

2. Bahasa komunikasi di ruang publik.

3. Bahasa komunikasi generasi muda khususnya yang sedang menempuh

pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

4. Pengenalan bentuk tradisi budaya Cikondang di lingkungan keluarga.

5. Pewarisan tata nilai lama di lingkungan keluarga: penjayaan pamali, buyut atau

tabu.

6. Pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui penjayaan

pamali, buyut atau tabu.

7. Proses pewarisan kearifan lokal Sunda (Cikondang) melalui: kegiatan upacara

adat wuku taun, kesenian di masyarakat, acara Radio dan televisi.

8. Pengenalan nilai kearifan lokal Sunda (Cikondang) pada masyarakat

pendatang.

Observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru mata pelajaran

sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah khususnya pada

(32)

yang menjadi bahan observasi di lingkungan sekolah sesuai dengan perumusan

masalah pada Bab I yaitu sebagai berikut:

1. Nilai-nilai budaya yang dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam

pembelajaran sejarah di sekolah.

2. Aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran

sejarah di sekolah.

3. Internalisasi pendidikan nilai dalam pembelajaran sejarah bagi peserta didik di

sekolah.

Hasil catatan lapangan dan foto-foto dikumpulkan dikembangkan menjadi

dekripsi hasil penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk

melakukan wawancara mendalam tentang proses pewarisan nilai yang

berlangsung di tengah masyarakat Cikondang dan secara khusus terjadi dalam

pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

Proses pengimplikasian materi kearifan lokal Sunda (Cikondang) dalam

pembelajaran sejarah di sekolah, langkah-langkah yang dilakukan oleh guru

adalah sebagai berikut:

1. Langkah pertama, guru melakukan identifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal

Sunda dan khususnya Cikondang yang berasal dari berbagai sumber (naskah,

prasasti, adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, serta

berbagai informasi tentang potensi sejarah tatar Sunda) sesuai dengan standar

kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik.

2. Langkah kedua, hasil identifikasi tersebut kemudian dipilih mana yang sesuai

dengan topik pembelajaran disesuaikan dengan standar kompetensi dan

kompetensi dasar yang berlaku.

3. Langkah ketiga, setelah dipilih materi mana yang tepat untuk tiap topik pada

mata pelajaran sejarah, maka proses pembelajaran sejarah yang memuat

nilai-nilai kearifan lokal Cikondang dapat diaktuliasasikan oleh guru bersama

siswa di kelas setelah sebelumnya melakukan kunjungan (out door learning)

(33)

4. Langkah keempat, setelah selesai penyampaian materi, guru perlu melakukan

refleksi atas materi pelajaran yang telah disampaikan termasuk materi

kearifan lokal Cikondang yang diintegrasikan.

5. Langkah kelima, pada tahap akhir ini dilakukan evaluasi untuk mengukur

tingkat ketersampaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam aktualisasi pendidikan

nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah

Al-Hijrah pada kelas XI yaitu dengan cara out door learning artinya pembelajaran

yang dilakukan diluar kelas, dimana peserta didik dibimbing oleh guru datang ke

salah satu tempat yang dijadikan sumber belajar sejarah yaitu Kampung Adat

Cikondang. Peserta didik melakukan interaksi dengan kuncen dan tokoh adat

Cikondang melalui dialog tentang sejarah Kampung Cikondang dan budaya dari

masyarakat Cikondang. Berikut ini langkah-langkah pembelajarannya:

Guru mengawali pembelajaran dengan mengucapkan salam,

mempersilakan siswa berdo’a dan melantunkan Asmaul Husna, kemudian

mengabsen siswa. Guru memulai pembelajaran dengan menjelaskan terlebih

dahulu kompetensi atau kemampuan apa yang ingin dicapai, sehingga siswa juga

akan memahami kegiatan yang akan dilaksanakannya. Kemudian guru

memberikan motivasi kepada siswa bagaimana bangsa-bangsa yang dihadapkan

pada tantangan akan mendorong terjadinya kreatifitas untuk bertahan menghadapi

tantangan.

Pada bagian apersepsi, guru bertanya jawab dengan siswa tentang

imperialisme barat di Indonesia. Kemudian Guru bertanya: apa perbedaan antara

imperialisme kuno dengan imperialisme modern? Siswa yang bernama Linda

menjawab imperialisme kuno usaha suatu negara untuk menguasai daerah pusat

rempah-rempah sedangkan imperialisme modern adalah penguasaan daerah

penghasil bahan baku bagi kepentingan industri; Guru: kapan periode waktu

imperialisme kuno dan imperialisme modern?; siswa yang bernama Firmansyah

menjawab imperialisme kuno terjadi sekitar abad ke 15 sampai sebelum lahirnya

(34)

setelah lahirnya Revolusi Industri; Guru: memberikan reward berupa pujian

kepada siswa yang telah menjawab pertanyaan.

Selanjutnya guru membahas materi gerakan rakyat menentang

imperialisme dengan mengarahkan kepada konsep nasionalisme seperti gerakan

untuk melawan kekuatan asing yang merusak lingkungan hidup dimana sejak

dilaksanakannya Cultuur Stelsel (1830-1870) dan diberlakukannya

Undang-Undang Agraria tahun 1870, wilayah hutan Indonesia dibuka sebagai kawasan

perkebunan, baik yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda maupun oleh

investor dari berbagai negara. Gerakan untuk mencintai produk ramah lingkungan,

dan pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan kearifan lokal dalam menjaga

kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal, guru memberi contoh

tentang lingkungan alam Kampung Cikondang yang tetap terjaga. Guru

menghubungkan materi bahasan dengan mengkaji nilai budaya Kampung

Cikondang yang sangat menghargai tentang arti penting kelestarian lingkungan

bagi keberlanjutan hidup manusia. Pada saat itu guru menyampaikan informasi

kepada peserta didik tentang sejarah singkat (mitos yang berkembang) Kampung

Cikondang dalam hubungannya dengan budaya yang arif terhadap lingkungan,

untuk mengarahkan pada tujuan pembelajaran, guru melontarkan pertanyaan

tentang letak geografis Kampung Cikondang serta asal-usulnya.

Berikutnya peserta didik diarahkan untuk melakukan pencarian terhadap

sumber-sumber sejarah lisan berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat adat

Cikondang. Contoh kearifan lokal mengenai leuweung larangan di Kampung

Cikondang, peserta didik melakukan pencarian akar historis munculnya konsep

leuweung larangan tersebut dan bagaimana mengolahnya menjadi pembelajaran

sejarah bermuatan kepedulian terhadap lingkungan.

Kegiatan belajar kali ini dilaksanakan melalui out door learning yaitu ke

Kampung Cikondang, untuk menuju lokasi dari Madrasah Aliyah Al-Hijrah siswa

bersama guru menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melewati persawahan.

Sesampainya di rumah tokoh adat Cikondang, peserta didik mengucapkan salam

(35)

memberikan kesempatan kepada tokoh adat untuk memberikan penjelasan tentang

Kampung Cikondang secara umum kepada peserta didik. Pada saat kuncen

menyampaikan penjelasan, terlihat semua peserta didik sangat menikmati

pengalaman belajar tersebut.

Setelah menyampaikan penjelasan singkat mengenai Kampung

Cikondang, narasumber mulai memberikan waktu pada peserta didik untuk

bertanya. Kesempatan tersebut segera disambut oleh peserta didik dengan

berbagai pertanyaan. Salah seorang siswa bertanya: mengapa ada leuweung

larangan?; tokoh adat menjawab dengan sebuah ungkapan tradisional “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak”, jika hutan rusak maka manusia sendiri yang rugi atau menderita, karena keseimbangan ekologi akan terganggu. Oleh

karena itu dikenal ada leuweung larangan sebagai amanat dari leluhur Cikondang

hutan harus dijaga dan dilestarikan. Maka lahir berbagai pantangan yang

ditujukkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kemudian siswa lain bertanya pantangan apa saja yang bertujuan

melestarikan lingkungan?; kuncen menjawab:

a. Teu meunang ka leuweung (karamat) dina poe Rebo, Juma’ah jeung sabtu

(tidak boleh memasuki hutan pada hari Rabu, Jumat dan Sabtu), maknanya

bahwa hutan seolah-olah diistirahatkan untuk tidak dimasuki manusia, berarti

hutan tidak terus-menerus untuk dirambah/diambil hasil hutannya, membiarkan

tanaman untuk tumbuh, memberikan kesempatan binatang untuk berkembang

biak.

b. Teu meunang subat-sabet lamun lain sabeuteunnana (tidak boleh

memotong/menyabit tanaman sembarangan), mungkin saja ada tanaman yang

seharusnya tumbuh dan tanaman tersebut adalah bermanfaat bagi manusia

tetapi kita malah membunuhnya atau merusaknya.

c. Teu meunang ngadeugkeun imah jeung teu meunang peupeulakan dina bulan Muharram, Safar jeung Mulud, oge dina bulan Rajab, Reuwah jeng Puasa,

maksudnya pada bulan tersebut adalah banyak kegiatan atau aktivitas

keagamaan dan ritual adat, pada bulan lain prak (silahkan) beraktivitas untuk

(36)

d. Bentuk dan ukuran rumah adat tidak boleh dikurangi atau ditambah, keuna ku

paribasa kolot, pondok teu meunang di sambung, panjang teu meunang

diteukteuk. Bukannya tidak mau bagus atau lebih luas lagi, tapi semuanya ada

nilai filosofinya (maksudnya) dari karuhun untuk dijadikan pemikiran,

misalnya jumlah jendela, jumlah pintu, jumlah kamar, bentuk rumah panggung

dan sebagainya. Maksud orang tua dulu supaya kita hidup jujur apa adanya.

Setelah tanya jawab selesai, peserta didik melanjutkan kegiatan dengan

melakukan observasi langsung terhadap sekitar pemukiman penduduk. Mereka

terlihat sangat menikmati kegiatan observasi yang ditandai dengan pertanyaan

yang dilontarkan baik kepada guru maupun masyarakat yang mereka temui.

Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan diskusi kelompok untuk merumuskan

temuan yang mereka dapatkan. Hasil temuan selama observasi dan dialog dengan

narasumber kemudian disusun perkelompok, dibacakan di depan peserta didik lain

untuk mendapatkan tanggapan.

Guru memberi penegasan terhadap hasil jawaban siswa, guru melakukan

refleksi dan membimbing siswa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam

materi pelajaran. Antara lain, kearifan ekologi yang dimiliki masyarakat adat

Cikondang dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan mempertahankan

leuweung larangan sebagai bukti adanya rasa cinta tanah air yang melekat dalam

masyarakat Cikondang hingga saat ini, dimana pada masa yang lalu terjadi sebuah

imperialisme barat yang bertujuan menguasai dan menguras sumber kekayaan

alam demi industri dan kekayaan negara.

Lalu guru meminta tanggapan siswa, seorang siswa menuturkan

pendapatnya bahwa kita sebagai generasi penerus harus meneladani nilai-nilai

budaya masyarakat Cikondang yang masih relevan dengan zaman sekarang

khususnya mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan alam dan hemat, oleh

karena itu saya menyadari bahwa dibalik penjayaan pantangan, pamali kaitannya

dengan leuweung larangan di masyarakat Cikondang ada sesuatu yang berharga

yaitu bagaimana perjuangan masyarakat tradisional pada saat itu dalam

(37)

giliran kita sebagai generasi penerus harus menerapkan nilai-nilai tersebut dalam

kehidupan nyata.

Kegiatan diskusi merupakan akhir kegiatan pembelajaran. Selanjutnya

guru menutup pembelajaran dengan membuat kesimpulan bersama dengan siswa

dan memberikan salam. Laporan hasil diskusi akhirnya diserahkan kepada guru

untuk mendapatkan penilaian.

2. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mendialogkan dan menggali

informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, baik wawancara terstruktur dengan

bantuan pedoman wawancara maupun yang tidak terstruktur. Wawancara

terstruktur dilakukan untuk memperoleh data tentang pewarisan nilai-nilai budaya

dalam Masyarakat Adat Cikondang, dan problematika yang dihadapi dalam

menginternalisasikan nilai-nilai budaya sebagai upaya membangun kesadaran

sejarah dan kesadaran budaya peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.

Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan untuk memperoleh data dari

beberapa informan kunci untuk melengkapi data tersebut diatas dengan

pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan informan.

Penelitian kualitatif ini menggabungkan teknik observasi partisipasif

dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga

melakukan interview kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Informan yang

diwawancarai dalam penelitian ini, adalah ketua adat masyarakat Cikondang,

dengan tujuan untuk memperoleh informasi lengkap tentang nilai-nilai budaya

Cikondang serta upaya terbaik dalam melestarikan dan memasyarakatkan

nilai-nilai budaya khususnya pada generasi muda Cikondang yang sedang menempuh

pendidikan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Eksplorasi dan Identifikasi Nilai Budaya:

1. Bagaimana asal-usul terbentuknya masyarakat adat kampung Cikondang?

2. Bagaimana pedoman hidup dan sistem nilai yang menjadi pegangan

(38)

3. Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap hubungan antara manusia

dengan alam? (bagaimana pentingya alam bagi masyarakat adat)

4. Jenis larangan (pantangan) apa saja yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

adat guna menjaga kelestarian lingkungan?

5. Adakah pantangan lain yang berhubungan dengan aktivitas hidup setiap warga

adat?

6. Nilai-nilai apakah yang mendasari setiap larangan tersebut?

7. Mengapa masyarakat Cikondang masih mempertahankan larangan-larangan

tersebut

8. Tempat-tempat apa saja yang dikeramatkan guna menjaga kelestarian

lingkungan? Mengapa dikeramatkan?

9. Jenis upacara (ritual) apa saja yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat

Cikondang?

10. Dapat Bapak jelaskan , bagaimanakah proses upacara adat “wuku taun” yang

selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat Cikondang?

11.Apa makna dan nilai dari pelaksanaan upacara adat tersebut?

b. Tahap Pewarisan Nilai-nilai Budaya Adat Cikondang terhadap Peserta didik:

1. Bagaimana Pandangan anda tentang nilai tradisi Cikondang (etika dan norma

kasundaan, penghargaan terhadap sejarah, menjaga leuweung larangan,

upacara adat wuku taun, hajat buruan, hajat solokan, hajat cai beresih,

ngadeugkeun, memahami beragam kesenian dan pupuh) perlu atau tidak nilai

tersebut diwariskan kepada generasi muda?

2. Nilai-nilai budaya apa saja yang perlu diwariskan?

3. Bagaimana cara terbaik pentransformasian nilai tradisi sunda, serta perlu

tidaknya peran serta dunia pendidikan dalam proses pewarisan nilai tradisi

(39)

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada guru sejarah yaitu sebagai

berikut:

1. Bagaimana pandangan tentang nilai tradisi budaya Sunda (Cikondang); perlu

tidaknya nilai tersebut ditransformasikan kepada siswa melalui pembelajaran

sejarah?

2. Bagaimana pandangan tentang sejauh mana akomodasi kurikulum terhadap

potensi lokal dalam mata pelajaran sejarah?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan guru dalam mengenalkan potensi lokal

(setempat) pada siswa melalui pembelajaran sejarah?

4. Bagaiman pandangan anda terhadap pemahaman siswa akan nilai tradisi Sunda

(Cikondang)?

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa Madrasah Aliyah

Al-Hijrah yaitu sebagai berikut:

1. Apakah anda tahu tentang budaya Cikondang?

2. Darimana anda mengetahui budaya Cikondang?

3. Menurut anda apa yang menarik dari budaya Cikondang?

4. Bagaimana pandangan anda tentang nilai-nilai budaya Sunda (Cikondang)

yang relevan dalam mata pelajaran sejarah?

5. Faktor apa yang membuat anda mempertahankan budaya Cikondang?

6. Bagaimana caranya guru ketika menyampaikan materi nilai-nilai budaya adat

cikondang agar kalian lebih jelas memahaminya?

7. Apakah kalian dapat memahami nilai-nilai budaya adat Cikondang yang

disampaikan oleh guru dan apa saran kalian kepada guru sejarah agar

pembelajaran sejarah ini dapat memberikan manfaat?

8. Manfaat apa yang dapat kalian peroleh dari materi pelajaran sejarah yang

memuat nilai-nilai budaya Cikondang?

9. Sejauh ini apakah nilai-nilai budaya Cikondang dapat menjadi proteksi untuk

mempertahankan diri dari dampak negatif globalisasi?

Hasil wawancara yang dikumpulkan tersebut kemudian dikembangkan

menjadi deskripsi penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk

(40)

3. Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan pelengkap dalam metode observasi dan

wawancara pada penelitian kualitatif. Studi dokumentasi dan kepustakaan

dilakukan guna menggali data pendukung kepentingan deskripsi penelitian yang

datanya terdapat dalam dokumen tertulis.

Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini, adalah berbagai data

yang berkaitan dengan profil kehidupan masyarakat Cikondang, nilai-nilai yang

terkandung di dalam kearifan lokal masyarakat Cikondang, serta pandangan

masyarakat Cikondang terkait dengan pewarisan nilai-nilai kearifan lokal bagi

generasi muda. Kemudian dokumen-dokumen resmi sekolah maupun guru sejarah

berupa profil sekolah, tujuan, visi dan misi Madrasah Aliyah Al-Hijrah, serta

rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah. Selain itu studi dokumentasi yang

dibutuhkan penulis dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan tentang Pendidikan

Sejarah dalam bentuk buku, jurnal, artikel. Tulisan tentang masyarakat Adat

Cikondang, pewarisan nilai baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan

gambar aktifitas Masyarakat Adat Cikondang serta peraturan kebijakan tentang

pendidikan sejarah. Media massa tersebut berupa media cetak maupun online.

Hasil studi dokumentasi dan kepustakaan ini dikembangkan sebagai deskripsi

penelitian dan diinterpretasikan serta dipergunakan untuk kepentingan triangulasi.

4. Triangulasi

Teknik triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang penulis

gunakan untuk menguji kredibilitas data. Menurut Mathinson (Sugiyono,

2007:332), dikemukakan bahwa “the value of triangulation lies in providing evidence-wether convergent, inconsistent of contracdictory”. Nilai dan teknik

pengumpulan data dengan tiangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh

convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi, oleh karena itu dengan

menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang

diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti.

Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka

(41)

yaitu mengecek kredibilitas data dengan teknik pengumpulan data sebagai sumber

data (Sugiyono, 2007:241). Peneliti menggunakan observasi partisipasif,

wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data.

Berdasarkan perumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka

observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi secara

menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat

Cikondang, sedangkan observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru

mata pelajaran sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah

khususnya pada peserta didik yang berlatar belakang asli dari masyarakat adat

Cikondang. Daftar pedoman wawancara meliputi tahap ekplorasi dan identifikasi

nilai budaya Cikondang, dan tahap pewarisan nilai-nilai budaya Cikondang

terhadap peserta didik. Studi dokumentasi dalam penelitian ini meliputi telaah

dokumen yang terkait dengan proses pewarisan nilai-nilai budaya, pendidikan

sejarah dan peraturan kebijakan tentang pendidikan sejarah, serta tulisan tentang

masyarakat adat Cikondang baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan

gambar aktifitas masyarakat adat Cikondang. Data dokumentasi ini dimaksudkan

untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.

Penggunaan panduan wawancara, panduan observasi dan penggunaan

dokumentasi berfungsi sebagai triangulasi alat pengumpul data agar data yang

diperoleh dari sumber informasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

pelaksanaanya peneliti menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan

wawancara mendalam dan pencatatan dokumen yang terkait dengan fokus

penelitian. Selama melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara

kepada para narasumber, dan sekaligus pencatatan dokumen-dokumen yang

terkait. Dengan demikian dapat diketahui tentang credibility dan confirmability

antara data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.

E.Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam

Gambar

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Umur dan
Gambar 4.1  Bumi Adat Cikondang  ..........................................................................
Gambar tersebut di atas memperlihatkan sifat interaktif koleksi data atau

Referensi

Dokumen terkait

Okupansi kukang Jawa berkorelasi negatif terhadap jarak dari pemukiman yang dapat menunjukkan bahwa semakin jauh dengan jarak pemukiman masyarakat, peluang areal tersebut

Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kualitas Pelayanan Housekeeping Department Di Padma Hotel Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.. Analisis Kimia

kumulasi keberlanjutan pada tingkat dunia dengan menggunakan asumsi bahwa eksploitasi yang dilakukan akan semakin efisien, maka Indonesia tergolong Negara yang

Penyinaran Ultraviolet Dalam Produksi Selulosa Mikrokristalin Dari Bahan Alam (Kaji Ulang Literatur)” dapat terselesaikan dengan baik.. Penyusunan skripsi ini

Anak mendengarkan penjelasan guru tentang kegiatan belajar berkenaan dengan binatang yang hidup di air melalui voice note5. Anak mendengarkan penjelasan guru tentang menyayangi

Pada setiap usaha pasti ada kendala-kendala dalam menjalankannya begitu juga usaha-usaha yang dijalankan oleh Gapoktan Kampar Makmur seperti: usaha simpan pinjam terdapat beberapa

Klasifikasi resiko berdasarkan ranking, yaitu: high risk terdiri dari aspek teknis pengurusan proyek; significant risk terdiri atas aspek kecelakaan tak terduga, aspek