PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ADAT
CIKONDANG DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
DI MADRASAH ALIYAH AL-HIJRAH
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh Iing Yulianti
1103397
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
PewarisanNilai-NilaiBudayaMasyarakatAdatCikondang dalamPembelajaranSejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah
Oleh IingYulianti S.Pd UPI, 2009
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Sejarah
© IingYulianti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
i
ABSTRAK
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Tujuan Penelitian ... 11
E. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kearifan Lokal ... 13
B. Teori Kontak Kebudayaan dan Pewarisan Nilai ... 16
1. Teori Kontak Kebudayaan ... 16
2. Teori Pewarisan Nilai ... 20
C. Pendidikan Sebagai Pewarisan Nilai ... 25
D. Tujuan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Sejarah ... 29
E. Pendidikan Sejarah dan Kesadaran Sejarah ... 33
1. Pendidikan Sejarah ... 33
F. Pandangan Hidup Orang Sunda ... 41
G. Falsafah Pendidikan Masyarakat Sunda ... 47
H. Nilai Budaya dalam Masyarakat Cikondang ... 48
I. Penelitian Terdahulu ... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 57
B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 60
C. Instrumen Penelitian ... 60
D. Teknik Pengumpulan Data ... 62
E. Teknik Analisis Data ... 73
F. Prosedur dan Tahapan Penelitian ... 78
BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 81
1. Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 81
a. Keadaan Lokasi dan Lingkungan Kampung Cikondang ... 81
b. Sejarah Kampung Cikondang ... 82
c. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Cikondang ... 87
d. Pedoman Hidup dan Sistem Nilai ... 93
e. Pola Pemukiman dan Rumah Adat ... 97
f. Nilai Kearifan Lokal dalam Bentuk Upacara-Upacara Adat . 100 2. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 108
a. Kearifan Ekologi ... 109
b. Penghargaan terhadap Sejarah ... 110
c. Budaya Gotong Royong ... 113
d. Kearifan Pendidikan ... 115
e. Kearifan Ekonomi ... 117
4. Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang
melaluiPembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah
Aliyah Al-Hijrah ... 129
B. Pembahasan ... 141
1. Analisis terhadap Profil Masyarakat Adat Cikondang ... 141
2. Analisis terhadap Nilai-nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah ... 162
3. Analisis terhadap Aktualisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang dalam Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 173
4. Analisis terhadap Internalisasi Pendidikan Nilai Budaya Adat Cikondang melalui Pembelajaran Sejarah Bagi Peserta Didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ... 179
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 193
B. Rekomendasi ... 195
DAFTAR PUSTAKA ... 197
DAFTAR TABEL
Tabel
4.1 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Umur dan
Jenis Kelamin ... 88
4.2 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Mata Pencaharian ... 89
4.3 Komposisi Penduduk Kampung Cikondang Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 90
4.4 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Rumah Adat) ... 149
4.5 Hubungan Tata Lingkungan dan Tata Adat (Pola Pemukiman) ... 151
4.6 Hubungan Tata Lingkungandan Tata Adat (Hutan) ... 153
DAFTAR BAGAN
Bagan
2.1 Tritangtu Sunda dalam Pengaturan Kampung dan Negara ... 45
4.1 Proses Pemanfaatan Kearifan Lokal Cikondang dalam Pembelajaran
Sejarah ... 175
DAFTAR GAMBAR
Gambar
4.1 Bumi Adat Cikondang ... 99
4.2 Upacara Adat WukuTaun ... 103
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Panduan Observasi dan Wawancara
Lampiran 2. Daftar Narasumber
Lampiran 3. Foto Kampung Cikondang dan Kegiatan Peserta Didik bersama Peneliti
Lampiran 4. Profil Madrasah Aliyah Al-Hijrah
Lampiran 5. Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan atau Observasi
Lampiran 6. Surat Keterangan Pengangkatan Pembimbing Tesis
Lampiran 7. Surat Keterangan Penelitian di Madrasah Aliyah Al-Hijrah
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian
penting dalam menumbuhkan dan membangun jati diri. Budaya turut memberikan
kontribusi yang besar dalam membentuk karakter bangsa yang selama ini tergerus
oleh pengaruh luar. Dari sudut pandang tersebut bangsa Indonesia sesungguhnya
memiliki potensi sumber daya atau keunggulan kompetitif karena dikaruniai
keanekaragaman budaya. Kondisi tersebut diperkaya lagi dengan keberadaan
sejumlah komunitas yang terdapat dalam kelompok suku bangsa tersebut, salah
satunya yang dikenal dengan sebutan komunitas adat.
Komunitas adat merupakan suatu kesatuan lokal yang menempati suatu
wilayah tertentu dan berinteraksi secara terus-menerus sesuai sistem adat istiadat
tertentu pula. Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa komunitas adat
merupakan sekelompok orang dengan pranata-pranata sosial yang berdiri sendiri
sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Komunitas adat lebih memilih untuk
hidup dengan cara nenek moyang mereka dibandingkan terhegemoni oleh
kebudayaan mayoritas. Perbedaan inilah yang menjadikan komunitas adat sebagai
kaum minoritas yang dianggap “berbeda” dengan masyarakat kebanyakan yang
bertindak sebagai mayoritas. Karena itu tidak berlebihan jika saya menyebutkan
bahwa komunitas adat merupakan para penjaga warisan budaya.
Indonesia, ditandai dengan keragaman etnik dengan kemajemukan tradisi
atau adat istiadat yang dijalankan dalam kesehariannya. Hal itu dapat menjadi
benteng dalam menghadapi globalisasi dengan tata nilai yang bersifat asing bagi
tata nilai masyarakat adat. Akibatnya, banyak komunitas adat secara kultural
teralienasikan ‘cultural alienated’. Ia terasing dari dirinya karena terpojokkan
yang diikat oleh rasa solidaritas yang kuat sehingga menjadi satu kesatuan
komunitas dan identitas sebagai ciri mandiri masyarakat adat.
Umumnya orang sependapat bahwa situasi dan kondisi kehidupan bangsa
Indonesia sedang carut-marut dan sangat memprihatinkan di hampir semua
sendi-sendi kehidupan. Penyebabnya terdiri atas banyak faktor yang jalin-menjalin
melalui proses yang panjang. Lebih tegasnya, semua yang ada sekarang bukan
sesuatu yang tiba-tiba muncul begitu saja, dan segala sesuatu tentunya ada
sejarahnya. Salah satu di antara banyak sebab yang ingin penulis kemukakan,
adalah kurangnya kita bercermin dari peristiwa-peristiwa sejarah. Akar
masalahnya dapat dicari pada cara pengajaran sejarah di sekolah-sekolah selama
ini yang tidak komprehensif, sehingga membuat banyak di antara kita kurang
memiliki kesadaran sejarah, dalam arti minimnya pemahaman akan asal-usul atas
segala sesuatu yang menimpa kita, serta kurangnya kesediaan memetik nilai yang
terkandung di dalamnya. Pada gilirannya kita menjadi masyarakat yang kurang
mampu mengelola kebersamaan berikut potensi-potensi konflik yang mungkin
timbul, terkait dengan kebhinekaan kita sebagai bangsa.
Fenomena sosial yang terjadi pada kaum muda Indonesia lebih kepada
bentuk tergerusnya jati diri nasional dan tergantikan dengan jati diri baru bentukan
dari globalisasi. Karena itu jika harus membahas pandangan kaum muda
mengenai komunitas adat, tidak banyak yang dapat saya katakan, karena mereka
akan lebih mengenal budaya pop dibandingkan budaya daerah. Para generasi
muda akan lebih memilih Paris, Amerika, Korea, karena keindahan tempatnya,
menonton konser musik idolanya, atau hanya sekedar shopping dibandingkan
mengenal Baduy, Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Cikondang dsb.
Walaupun pemerintahan mencanangkan sebuah program kepariwisataan edukasi
terhadap komunitas-komunitas adat tetapi pada kenyataan hanya sedikit pihak
yang berminat terhadap nilai-nilai yang dianut oleh komunitas adat.
Menurut pendapat saya, persepsi yang ada di masyarakat umum pada saat
ini lebih melihat komunitas adat sebagai obyek wisata yang menarik karena
“berbeda”. Mereka melihat komunitas adat bukan sebagai suatu masyarakat yang
melihat kelompok orang yang berada dalam kategori “primitif”. Masyarakat pada
umumnya tidak melihat nilai-nilai yang dimiliki oleh berbagai komunitas adat di
Indonesia bahkan lebih banyak kelompok yang tidak mengetahui apa itu
komunitas adat.
Selain itu, komunitas adat lebih sering dikaitkan dengan kegiatan yang
berbau mistik oleh masyarakat. Karena keilmuan yang mereka miliki lebih
berbentuk lisan atau pamali yang diturunkan secara generasi ke generasi tanpa
mengerti alasan di balik itu semua. Contoh kongkrit bisa kita lihat banyaknya
komunitas adat yang memiliki hutan-hutan larangan. Dalam pengetahuan mereka,
hutan larangan merupakan sesuatu yang dikeramatkan sehingga mendapatkan
penjagaan dan ritual-ritual khusus dalam pengelolaannya. Mungkin jika kita
melihat dalam persepsi mayarakat awam, hal itu tidak beralasan dan tidak
rasional. Tetapi jika kita melihat fungsi hutan sebagai salah satu ekosistem
penunjang kehidupan manusia, maka justru komunitas adat lebih memiliki
kesadaran dalam menjaga lingkungan, karena mereka menjadikan diri mereka
sebagai bagian dari alam, bukan di atas alam itu sendiri. Tak jarang terdapat
sebuah persepsi bahwa komunitas adat lebih terbelakang karena tidak rasional
dibandingkan masyarakat kota, tetapi melihat kasus tersebut, terbersit sebuah
pertanyaan dibenak saya, mana yang lebih terbelakang sebenarnya?.
Dalam cara pandang ecopedagogy para siswa harus diberdayakan untuk
memiliki pandangan kritis tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan keterbatasan sumber daya alam, serta kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan yang semakin berubah agar power (kuasa) melekat dalam diri
mereka sehingga tidak menjadi korban dari hegemoni kelompok lain (Supriatna,
2012: 176). Pembelajaran sejarah berbasis ecopedagogy bertujuan untuk
menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi atau kecerdasan ekologis.
Kecerdasan yang dimaksud adalah berupa pemahaman tentang pembangunan
berkelanjutan, pemahaman tentang semakin terbatasnya sumber daya alam,
kemampuan beradaptasi atau hidup selaras dengan lingkungan yang menjunjung
tinggi keadilan demi menyiapkan generasi yang akan datang yang akan
pendapat Goleman (2012) dalam (Supriatna, 2013:18) bahwa untuk
mengembangkan kecerdasan ekologis (ecoliteracy), menyarankan pentingnya
developing emphaty for all forms of life; anticipating unintended consequences; embracing sustainability as a community practice); dan understanding how nature sustains life.
Pendidikan modern yang lebih mengarah pada rasionalitas seringkali
mengabaikan ilmu pengetahuan-pengetahuan lokal yang kaya akan nilai-nilai
budaya. Saya sangat sependapat bahwa bangsa yang besar perlu memiliki
karakteristik yang kuat. Namun akan menjadi sebuah permasalahan jika kita tidak
dapat mengenal jati diri bangsa kita sendiri. Bagaimana kita dapat memiliki
sebuah identitas nasional jika tidak mengenal akar budaya nenek moyang kita?
Jika fenomena ini terus berlanjut, mungkin beberapa tahun ke depan para pemuda
Indonesia akan menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka akan lebih
mengenal cara hidup orang-orang barat dibandingkan cara hidup nenek
moyangnya. Padahal baik dari segi geografis maupun sosial budaya, Indonesia
sangat berbeda dengan negara-negara barat.
Hilangnya pengetahuan akan keberadaan komunitas adat pada kaum muda
Indonesia merupakan sebuah hal yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak.
Selain itu perlu adanya sebuah kebijakan baru yang tidak hanya melindungi
komunitas adat tersebut, tetapi mengenalkan nilai-nilai ajaran luhur yang dimiliki
oleh komunitas-komunitas adat di Indonesia terhadap kaum muda di Indonesia.
Dalam antropologi sering dikenal istilah yang disebut dengan relativitas
kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan memiliki nilai yang berbeda-beda
sehingga tidak dapat dibandingkan antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lainnya. Masyarakat pada umumnya dan kaum muda pada
khususnya sering kali salah paham dengan keberadaan komunitas adat, maupun
ajaran-ajaran mereka. Sehingga tidak jarang mereka melihat komunitas adat
sebagai sekumpulan orang dengan kepercayaan tertentu dan lebih berbau-bau
mistik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa tempat di komunitas adat seperti
Kampung Cikondang misalnya, yang sering kali dijadikan tempat ritual oleh
Padahal jika kita mau mengenal mereka dengan lebih baik, maka kita akan
melihat bahwa pada dasarnya komunitas adat tidaklah berbeda dengan kelompok
mayoritas. Mereka hanya menjalankan apa yang mereka percayai berdasarkan
ajaran nilai-nilai tradisional. Bahkan terkadang komunitas adat dapat lebih bijak
dalam beberapa hal dibandingkan masyarakat mayoritas. Karena itu perlu adanya
sebuah program pengedukasian masyarakat tentang keberadaan komunitas adat,
bukan hanya sekedar untuk menyadari eksistensi mereka, tetapi juga agar dapat
lebih mengenal akar budaya kita sendiri, sehingga komunitas-komunitas adat
tidak lagi menjadi kaum yang termarjinalkan karena perbedaan yang mereka
miliki dengan masyarakat pada umumnya. Untuk itu, dalam mengatasi berbagai
gejala seperti di atas, sebenarnya dapat dipahami bersama dengan pendekatan
budaya, yaitu pendekatan dengan mempergunakan kearifan lokal.
Kebudayaan memiliki banyak definisi, salah satunya menyatakan bahwa
kebudayaan merupakan pola cara berpikir, merasakan, dan bereaksi, yang terdapat
dan disebarkan terutama melalui simbol, yang membentuk karakteristik
pencapaian suatu kelompok manusia, termaksud gambaran yang mereka tuangkan
dalam alat-alat mereka. Esensi atau inti kebudayaan berasal dari gagasan
tradisional dan terutama nilai-nilai yang mereka pegang. Kebudayaan merupakan
program pikiran kolektif, yang tidak hanya terwujud dalam nilai yang dipegang
tetapi juga terwujud dalam simbol, pahlawan, dan ritual yang dilakukan. Salah
satu penelitian yang dilakukan oleh Geert Hofstede untuk mendapatkan gambaran
suatu masyarakat misalnya, menjadikan kebudayaan sebagai tolak ukur dalam
menggambarkan karakteristik suatu masyarakat. Merujuk pada penelitian
Hofstede tersebut, dapat dilihat bahwa kebudayaan memiliki peranan penting
dalam membentuk jati diri suatu bangsa.
Menurut Oakeshott dalam bukunya Ankersmit (1987:349) bahwa konsep
perubahan sebetulnya merupakan sebuah konsep yang paradoksal, karena
memperpadukan pengertian mengenai perbedaan, dengan pengertian mengenai
sesuatu yang tetap sama. Berikut kutipannya di bawah ini:
sama, merupakan kekacauan belaka, tak adanya tata tertib dan, aneh bin aneh, justru menimbulkan kesan mengenai sesuatu yang sama, tetap dan statis. Perubahan yang sejati mengadaikan adanya sesuatu yang sama, yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk mengukur perubahan.
Tetapi masih ada paradoks lain, yaitu makin banyak keterkaitan dan makin
banyak yang tak berubah, makin besar juga sifat perubahan yang kita amati pada
masa silam. Bila kita menyadari perubahan-perubahan dalam masyarakat, kita
menjadi sadar pula akan tradisi-tradisi. Singkatnya baik sifat perubahan historis,
maupun usaha-usaha untuk menyusun perubahan-perubahan itu menurut skema
yang agak tetap, merupakan bagian-bagian dalam kesadaran historis.
Benar juga apa yang dikemukakan oleh futurolog, antara lain Naisbitt dan
Aburdene (Wiriaatmadja, 2002:164) bahwa dalam proses homogenisasi global
terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang
ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, atau ras.
Dalam buku Ankersmit (1987:358-359) H. Zinn seorang sejarawan dari
Kanada, Ia mulai menandaskan bahwa:
Harapan kita terhadap ilmu pengetahuan ialah supaya bermanfaat bagi masyarakat. Ia merasa heran, mengapa banyak sejarawan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial di dalam masyarakat. Menurut dia, seorang sejarawan, bila memilih sebuah obyek bagi penelitian sejarah harus dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan sosial pada masa kini. Menurut perspektif itu, ia harus memilih obyek yang paling relevan. Keterlibatan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.
Dalam berbagai tulisan Soedjatmoko mengingatkan kita betapa pentingnya
sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah diartikan sebagai
suatu refleksi tentang kompkleksitas perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh
interaksi dialektis masyarakat yang ingin melemparkan diri dari gangguan realitas
yang ada. Dengan kesadaran sejarah, manusia berusaha menghargai upaya
mengungkapkan terhadap kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai
keunikan masing-masing keadaan. Kesadaran sejarah juga membantu manusia
untuk waspada terhadap pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu
jalannya sejarah ataupun berada dalam cengkraman diterminisme sejarah. Untuk
mewujudkan kesadaran sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu
mengambil makna atau pesan moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam
konteks ini akan mewujudkan bahwa ketidak arifan dalam pemanfaatan kekayaan
alam dan budi akal manusia itu pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi
kemanusiaan dan peradabannya sendiri (Soedjatmoko, 1995).
Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah
mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses
pembangunan nasional dan identitasnya. Struktur kepribadian nasional tersusun
dari karakteristik perwatakan yang tumbuh dan melembaga dalam proses
pengalaman sepanjang kehidupan bangsa. Dengan demikian kepribadian dan
identitasnya bertumpu pada pengalaman kolektif, yaitu pada sejarahnya. Dalam
konteks pembentukan identitas bangsa, maka pendidikan sejarah mempunyai
fungsi yang fundamental (Kartodirdjo, 1989).
Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada
pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang.
Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan
“transmission of culture” (Hasan, 1997:13). Pandangan tersebut sebenarnya
menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi
wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk
memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa. Pandangan semacam ini dalam
terminologi filasafat pendidikan disebut “perenialisme” (Supardan, 2004).
Perkembangan selanjutnya dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran
dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung
secara ekletik (Hasan, 1999:9). Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana
memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual
tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya,
politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu,
lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan”
manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif,
bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus
kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal
sebuah perbandingan, dan sebuah singkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman
yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan
menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.
Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat
membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran
sejarah, manusia Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam
memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran
sejarah di sekolah, guru dan siswa tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan belajar dari sejarah”. Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada
setumpuk kisah dan data tentang peristiwa masa lampau yang syarat romantika,
sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih
arif dan bijaksana, sebagai bentuk terinti dari kesadaran sejarah.
Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan
proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi
terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Bicara tentang
nilai-nilai yang dikembangkan oleh generasi terdahulu sama artinya dengan bicara
tentang makna dari sejarah. Dalam konteks seperti ini sejarah dapat kita pahami
sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia pada masa lampau dalam bentuk
kisah, baik lisan maupun tertulis. Proses pewarisan nilai ini tidak saja penting
untuk membangun kepribadian, melainkan juga penting untuk mempersiapkan
diri dalam rangka menghadapi tantangan pada masa kini dan masa yang akan
datang.
Merujuk dari pendapat Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka
pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk
memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi
juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran
nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak, dapat mengetahui
kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakekat
sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru dapat
diketahui pembelajaran sejarah telah berfungsi dalam proses pembentukan sikap.
Kegiatan belajar dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk
memperlancar tercapainya tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak
hanya berupa media di dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak
hanya berupa sumber belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar nonbacaan,
termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan
siswa seperti adat istiadat (Komalasari, 2010:107).
Peran guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan
memotivasi siswa agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar
yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang berupa orang, melainkan juga
sumber-sumber belajar yang lain. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja
dirancang untuk keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah
tersedia. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita
manfaatkan sebagai sumber belajar bagi siswa. Begitu halnya dalam penelitian ini
dimana lingkungan sosial budaya dimana siswa tinggal dijadikan salah satu
sumber belajar dalam pembelajaran sejarah.
Peserta didik sebagai generasi penerus yang hidup dalam kurun sejarah
lain dengan masalah-masalah yang berbeda tentu tidak begitu saja akan menerima
warisan itu. Mereka akan melakukan pemilihan dan atau pengolahan kembali
nilai-nilai yang diwariskan dan mengambil yang menurutnya paling cocok serta
sesuai dengan kepentingan keselamatan dan kesejahteraan generasi berikut (Saini,
2004: 27-28). Seleksi tersebut akan terjadi dengan baik melalui pembelajaran
dengan menggunakan sumber belajar yang bermakna.
Keberadaan kampung adat Cikondang sebagai model dari masyarakat
Sunda, artinya keberadaanya cukup representatif guna mewakili tata kehidupan
orang Sunda masa silam dan dapat memberikan pemahaman atas sejumlah
kepercayaan, adat istiadat, sistem pemerintahan, sistem teknologi, kesenian, pola
Sunda yang masih relevan, dapat diwariskan sebagai bagian dari pendidikan
sejarah, untuk menghadapi masalah yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Salah
satunya melalui warisan tertulis atau lisan. Warisan tertulis dapat kita temukan
dalam naskah-naskah lama. Naskah (manuskrip) secara implisit mengungkapkan
tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari suatu bangsa atau kelompok
masyarakat yang menghasilkan naskah tersebut. Sementara itu, warisan lisan
dapat dilacak dalam bentuk peribahasa, petatah-petitih orang tua.
Sebagai kesatuan hidup manusia, masyarakat adat Cikondang memiliki
nilai sosial-budaya yang dapat dikaji untuk dikembangkan dalam pembelajaran.
Masyarakat adat yang kental dengan budaya kesetiakawanan sosial dalam
melakukan aktivitas hidupnya, peduli terhadap alam, memiliki budaya gotong
royong, musyawarah, kerukunan, dan juga memiliki beragam budaya dalam
bentuk kesenian tradisional. Nilai-nilai tersebut sangat bermakna bagi generasi
muda dalam mengarungi hidup di era globalisasi dengan beragam pengaruh baik
positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan pewarisan nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal masyarakat adat melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya
untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai sejarah dan budayanya
yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya menjadi manusia yang arif dan
bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran budaya sejak dini.
Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji bagaimana masyarakat adat
Cikondang mempertahankan nilai (value) lama yang tentunya memiliki relevansi
dengan kehidupan saat ini sehingga masyarakat bisa berubah lebih baik serta
tentang pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang pada lingkungan
sekolah khususnya dalam pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan menengah.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah memiliki potensi yang
besar sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai budaya yang teruji oleh jaman.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, kesadaran sejarah
perlu dibina khususnya di kalangan generasi muda Cikondang yang sedang
untuk membuat generasi muda lebih arif dan bijaksana dalam melakoni masa
yang belum pasti, paling tidak kesadaran sejarah akan mengantarkan kita untuk
tidak akan berbuat salah untuk kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.
Fokus pada penelitian ini adalah mengenai pewarisan nilai-nilai budaya
masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah khususnya pada generasi
muda Cikondang yang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang dan fokus penelitian di atas, dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana profil kehidupan masyarakat adat Cikondang?
2. Nilai-nilai budaya apa saja yang dikembangkan dari masyarakat adat
Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?
3. Bagaimana aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam
pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?
4. Bagaimana internalisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang melalui
pembelajaran sejarah bagi peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah?
D.Tujuan Penelitian
Dengan mendasarkan pada permasalahan penelitian yang ada, maka tujuan
penelitian secara umum adalah untuk mendapatkan gambaran tentang proses
internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui pembelajaran
sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah peserta didik. Secara lebih
spesifik penelitian ini bertujuan, antara lain sebagai berikut:
1. Mendapatkan gambaran empirik tentang profil kehidupan masyarakat adat
Cikondang.
2. Mendapatkan gambaran empirik tentang nilai-nilai budaya yang dapat
dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam pembelajaran
3. Mendapatkan gambaran empirik tentang aktualisasi pendidikan nilai
budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah
Al-Hijrah.
4. Mendapatkan gambaran empirik tentang internalisasi pendidikan nilai
budaya adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah bagi peserta didik di
Madrasah Aliyah Al-Hijrah.
E.Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, peneliti juga berharap penelitian
ini dapat memberi manfaat, khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi secara
ilmiah mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang
melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun kesadaran sejarah
peserta didik.
b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk
memahami lebih jauh mengenai internalisasi nilai-nilai budaya masyarakat
adat Cikondang melalui pembelajaran sejarah sebagai upaya membangun
kesadaran sejarah peserta didik.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam merencakan pembelajaran
sejarah dan tujuan pembelajarannya.
b. Memotivasi peserta didik, guru, masyarakat bahkan pemerintah untuk terus
memahami pentingnya pewarisan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat
adat sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan nilai
sejarah dan budayanya yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya
menjadi manusia yang arif dan bijaksana memiliki kesadaran sejarah dan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian terhadap masalah pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat
Cikondang dalam pembelajaran sejarah ini menggunakan pendekatan
etnopedagogi, dengan ancangan kualitatif didasari oleh masalah yang diteliti
bersifat etnografi yang membutuhkan observasi dan wawancara untuk
mengungkap kebermaknaan secara interpretatif serta mengungkap jawaban
sebagai pemecahan masalah penelitian. Menurut Creswell (2007) bahwa
penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Menurut Bogdan dan Biklen (1990), mendefinisikan metode penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan
data yang dikumpulkan melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata
daripada angka-angka. Penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang
berupaya untuk memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti
yang diberikan orang-orang kepadanya.
Penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya
pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan
proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat
kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat
sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan
(2003:10) secara terperinci menjabarkan karakteristik penelitian kualitatif, di
antaranya lebih mengutamakan:
“Perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut
partisipan”.
Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai konstruksi sosial,
individual atau kelompok menarik atau memberi makna kepada suatu kenyataan
dengan mengkonstruksinya. Orang membentuk konstruksi untuk mengerti
kenyataan-kenyataan dan dia memahami konstruksi sebagai suatu sistem
pandangan, persepsi atau kepercayaan. Dengan perkataan lain, persepsi seseorang
adalah apa yang dia yakini sebagai “nyata” baginya dan terhadap hal itulah
tindakan, pemikiran, dan perasaannya diarahkan (McMillan and Schumacker,
2001).
Hasil-hasil pengamatan biasanya mencakup setting dari lingkungan hidup,
lokasi dan kondisi fisik serta sosial dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat.
Lokasi, lingkungan hidup dan kondisinya merupakan unsur-unsur tak terpisahkan
dalam kajian mengenai kebudayaan, karena kebudayaan dan pranata-pranatanya
hanya mungkin ada dan berkembang dalam suatu lingkungan hidup. Kegiatan
penelitian dengan pendekatan kualitatif biasanya ditujukan untuk membuat sebuah
etnografi. Etnografi dapat didefinisikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan.
Yaitu sebuah gambaran kebudayaan suatu masyarakat hasil konstruksi peneliti
dari berbagai informasi yang diperolehnya selama di lapangan dan dengan fokus
permasalahan tertentu (Suparlan, 2003:12).
Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas dan tujuan yang ingin
dicapai penelitian ini, maka penelitian kualitatif yang dilakukan menggunakan
studi etnografi pada setting masyarakat adat Cikondang Desa Lamajang
Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, serta mengingat dalam penelitian
ini rumusannya adalah mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi secara detail
generasi muda khususnya mereka yang sedang menempuh pendidikan di
Madrasah Aliyah Al-Hijrah, yang dapat diperoleh dari partisipan penelitian secara
alamiah.
Alasan menggunakan penelitian kualitatif etnografi, merujuk pada
pendapat Creswell (2010:20) bahwa, etnografi merupakan salah satu strategi
penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti menyelidiki suatu kelompok
kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang cukup lama
dalam pengumpulan data yang utama, data observasi, dan data wawancara. Proses
penelitiannya fleksibel dan biasanya berkembang sesuai kondisi dalam merespons
kenyataan-kenyataan hidup yang dijumpai di lapangan.
Spradley (2007:3) menyatakan bahwa etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini untuk memahami
suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunianya. Inti dari etnografi
adalah upaya untuk mempelajari makna-makna tindakan dari kejadian yang
menimpa orang yang ingin kita pahami. Menurut Fraenkel & Wallen (1990)
(Creswell, 2012:294) tujuan penelitian etnografis adalah memperoleh gambaran
umum mengenai subjek penelitian. Penelitian ini menekankan aspek pemotretan
pengalaman individu-individu sehari-hari dengan cara mengobservasi dan
mewawancarai mereka dan individu-individu lain yang relevan.
Menurut Atkinson and Hammersley (1983:208) ada empat ciri etnografi,
yaitu: pertama, menekankan ekplorasi tentang hakikat suatu fenomena sosial
tertentu dan buka menguji hipotesis tentang fenomena tersebu; kedua,
kecenderungan untuk bekerja dengan data yang tidak terstruktur yakni data yang
belum di-coding di saat pengumpulannya, berdasarkan seperangkat analisis yang
tertutup; ketiga, investigasi terhadap sejumlah upacara, bahkan sangat mungkin
hanya satu upacara, namun dilakukan secara rinci; keempat, analisis data
melibatkan penafsiran langsung terhadap makna dan fungsi tindakan manusia.
Hasil analisis ini umumnya mengambil bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.
Penggunaan metode etnografi pada penelitian ini karena fokus penelitian
fenomena budaya yang terjadi di tengah masyarakat Sunda dalam hal ini
masyarakat adat Cikondang dan selanjutnya direkonstruksi berdasarkan partisipasi
secara alamiah. Fenomena budaya tersebut berkenaan dengan pengetahuan, nilai,
keyakinan, norma, tradisi atau kebiasaan, simbol, bahasa dan praktek kehidupan
sehari-hari, serta proses pewarisannya di tengah masyarakat Sunda. Berdasarkan
kajian tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran nilai kearifan lokal
masyarakat adat Cikondang yang dapat diwariskan kepada generasi muda melalui
berbagai kegiatan di tengah masyarakat, termasuk melalui proses pendidikan di
sekolah yang mencakup proses pembelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler,
terutama melalui proses pengintegrasian dalam pembelajaran sejarah.
B.Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di masyarakat adat Cikondang, Desa
Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dan di Madrasah Aliyah
Al-Hijrah Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Subjek penelitian atau sumber data penelitian ini, dipilih secara purposive
(teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu). Sumber data
pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan
otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti dianggap paling tahu tentang
apa yang kita harapkan, sehingga mampu “membukakan pintu” ke mana saja
seharusnya peneliti akan melakukan pengumpulan data hingga mencapai data
jenuh. Subjek penelitian dalam studi ini adalah: 1) ketua adat masyarakat
Cikondang 2) tokoh masyarakat, 3) guru, 3) peserta didik Madrasah Aliyah
Al-Hijrah.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah paneliti itu sendiri,
peneliti kualitatif sebagai human instrument berfungsi menetapkan data dan
membuat kesimpulan. Fungsi peneliti dalam penelitian kualitatif menurut
“Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain selain menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama, alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu di kembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat
satu-satunya yang dapat mencapainya”.
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri, Oleh karena itu
dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti
adalah instrumen kunci. Guba and Lincoln (1985:128) menjelakan bahwa peneliti
diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk responsif dapat
menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan
pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk
mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan. Adapun alat bantu yang dipergunakan
peneliti dalam mempermudah pengumpulan data yaitu:
a. Catatan lapangan (field note): berfungsi untuk mencatat semua percakapan
dengan sumber data atau informan. Catatan lapangan ini digunakan selama
peneliti mewawancarai informan di Kampung Cikondang Desa Lamajang
Kecamatan Pangalengan, terutama pada ketua adat, tokoh masyarakat,
guru Madrasah Aliyah Al-Hijrah, peserta didik, dan orang tua peserta
didik.
b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data.
c. Handycam: alat ini selain digunakan untuk merekam aktifitas masyarakat,
juga dapat digunakan sebgai kamera yang memotret segala kegiatan
masyarakat adat Cikondang dan kegiatan pembelajaran sejarah di
Madrasah Aliyah Al-Hijrah yang meliputi profil kehidupan dan
pendidikannya. Pengambilan gambar dilakukan ketika kegiatan
wawancara dan observasi berlangsung, dan dengan adanya kegiatan alat
penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin, karena peneliti
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada
natural setting (kondisi alamiah), sumber data primer. Teknik pengumpulan data
lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation),
wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono,
2007:309).
1. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian
berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila
responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2007:145). Faisal (1990)
mengklarifikasikan observasi menjadi observasi partisipasi (participant
observation), observasi yang secara terang terangan atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak berstruktur
(unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dalam
penelitian masyarakat adat Kampung Cikondang Desa Lamajang Kecamatan
Pangalengan dan proses pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah ini
observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasif, dimana peneliti
datang ke lokasi atau tempat kegiatan masyarakat Cikondang untuk mengamati
situasi dan aktivitas generasi muda khususnya yang sedang menempuh pendidikan
di Madrasah Aliyah Al-Hijrah, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan
tersebut.
Menurut Patton (Nasution, 2003), manfaat observasi adalah: a) dengan
observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam
keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik
(menyeluruh), b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman langsung,
sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak
dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumya. Pendekatan induktif
membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery, c) dengan
observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang
lain, khusunya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap
observasi, peneliti daat menemukan hal-hal yang tidak akkan terungkapkan oleh
responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena
dapat merugikan nama lembaga, e) dengan observasi, peneliti dapat menemukan
hal-hal diluar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang
lebih komprehensif, f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya
mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan
merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.
Observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi
secara menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya
masyarakat Cikondang. Pada saat yang bersamaan pula, peneliti membangun
kontak dengan tokoh masyarakat Cikondang dari berbagai latar belakang. Berikut
ini hal-hal yang masuk ke dalam observasi di lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat yaitu:
1. Bahasa komunikasi di keluarga
2. Bahasa komunikasi di ruang publik.
3. Bahasa komunikasi generasi muda khususnya yang sedang menempuh
pendidikan di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.
4. Pengenalan bentuk tradisi budaya Cikondang di lingkungan keluarga.
5. Pewarisan tata nilai lama di lingkungan keluarga: penjayaan pamali, buyut atau
tabu.
6. Pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat adat Cikondang melalui penjayaan
pamali, buyut atau tabu.
7. Proses pewarisan kearifan lokal Sunda (Cikondang) melalui: kegiatan upacara
adat wuku taun, kesenian di masyarakat, acara Radio dan televisi.
8. Pengenalan nilai kearifan lokal Sunda (Cikondang) pada masyarakat
pendatang.
Observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru mata pelajaran
sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah khususnya pada
yang menjadi bahan observasi di lingkungan sekolah sesuai dengan perumusan
masalah pada Bab I yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai budaya yang dikembangkan dari masyarakat adat Cikondang dalam
pembelajaran sejarah di sekolah.
2. Aktualisasi pendidikan nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran
sejarah di sekolah.
3. Internalisasi pendidikan nilai dalam pembelajaran sejarah bagi peserta didik di
sekolah.
Hasil catatan lapangan dan foto-foto dikumpulkan dikembangkan menjadi
dekripsi hasil penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk
melakukan wawancara mendalam tentang proses pewarisan nilai yang
berlangsung di tengah masyarakat Cikondang dan secara khusus terjadi dalam
pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.
Proses pengimplikasian materi kearifan lokal Sunda (Cikondang) dalam
pembelajaran sejarah di sekolah, langkah-langkah yang dilakukan oleh guru
adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama, guru melakukan identifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal
Sunda dan khususnya Cikondang yang berasal dari berbagai sumber (naskah,
prasasti, adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, serta
berbagai informasi tentang potensi sejarah tatar Sunda) sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai peserta didik.
2. Langkah kedua, hasil identifikasi tersebut kemudian dipilih mana yang sesuai
dengan topik pembelajaran disesuaikan dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang berlaku.
3. Langkah ketiga, setelah dipilih materi mana yang tepat untuk tiap topik pada
mata pelajaran sejarah, maka proses pembelajaran sejarah yang memuat
nilai-nilai kearifan lokal Cikondang dapat diaktuliasasikan oleh guru bersama
siswa di kelas setelah sebelumnya melakukan kunjungan (out door learning)
4. Langkah keempat, setelah selesai penyampaian materi, guru perlu melakukan
refleksi atas materi pelajaran yang telah disampaikan termasuk materi
kearifan lokal Cikondang yang diintegrasikan.
5. Langkah kelima, pada tahap akhir ini dilakukan evaluasi untuk mengukur
tingkat ketersampaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam aktualisasi pendidikan
nilai budaya adat Cikondang dalam pembelajaran sejarah di Madrasah Aliyah
Al-Hijrah pada kelas XI yaitu dengan cara out door learning artinya pembelajaran
yang dilakukan diluar kelas, dimana peserta didik dibimbing oleh guru datang ke
salah satu tempat yang dijadikan sumber belajar sejarah yaitu Kampung Adat
Cikondang. Peserta didik melakukan interaksi dengan kuncen dan tokoh adat
Cikondang melalui dialog tentang sejarah Kampung Cikondang dan budaya dari
masyarakat Cikondang. Berikut ini langkah-langkah pembelajarannya:
Guru mengawali pembelajaran dengan mengucapkan salam,
mempersilakan siswa berdo’a dan melantunkan Asmaul Husna, kemudian
mengabsen siswa. Guru memulai pembelajaran dengan menjelaskan terlebih
dahulu kompetensi atau kemampuan apa yang ingin dicapai, sehingga siswa juga
akan memahami kegiatan yang akan dilaksanakannya. Kemudian guru
memberikan motivasi kepada siswa bagaimana bangsa-bangsa yang dihadapkan
pada tantangan akan mendorong terjadinya kreatifitas untuk bertahan menghadapi
tantangan.
Pada bagian apersepsi, guru bertanya jawab dengan siswa tentang
imperialisme barat di Indonesia. Kemudian Guru bertanya: apa perbedaan antara
imperialisme kuno dengan imperialisme modern? Siswa yang bernama Linda
menjawab imperialisme kuno usaha suatu negara untuk menguasai daerah pusat
rempah-rempah sedangkan imperialisme modern adalah penguasaan daerah
penghasil bahan baku bagi kepentingan industri; Guru: kapan periode waktu
imperialisme kuno dan imperialisme modern?; siswa yang bernama Firmansyah
menjawab imperialisme kuno terjadi sekitar abad ke 15 sampai sebelum lahirnya
setelah lahirnya Revolusi Industri; Guru: memberikan reward berupa pujian
kepada siswa yang telah menjawab pertanyaan.
Selanjutnya guru membahas materi gerakan rakyat menentang
imperialisme dengan mengarahkan kepada konsep nasionalisme seperti gerakan
untuk melawan kekuatan asing yang merusak lingkungan hidup dimana sejak
dilaksanakannya Cultuur Stelsel (1830-1870) dan diberlakukannya
Undang-Undang Agraria tahun 1870, wilayah hutan Indonesia dibuka sebagai kawasan
perkebunan, baik yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda maupun oleh
investor dari berbagai negara. Gerakan untuk mencintai produk ramah lingkungan,
dan pembangunan berkelanjutan. Berkaitan dengan kearifan lokal dalam menjaga
kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal, guru memberi contoh
tentang lingkungan alam Kampung Cikondang yang tetap terjaga. Guru
menghubungkan materi bahasan dengan mengkaji nilai budaya Kampung
Cikondang yang sangat menghargai tentang arti penting kelestarian lingkungan
bagi keberlanjutan hidup manusia. Pada saat itu guru menyampaikan informasi
kepada peserta didik tentang sejarah singkat (mitos yang berkembang) Kampung
Cikondang dalam hubungannya dengan budaya yang arif terhadap lingkungan,
untuk mengarahkan pada tujuan pembelajaran, guru melontarkan pertanyaan
tentang letak geografis Kampung Cikondang serta asal-usulnya.
Berikutnya peserta didik diarahkan untuk melakukan pencarian terhadap
sumber-sumber sejarah lisan berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat adat
Cikondang. Contoh kearifan lokal mengenai leuweung larangan di Kampung
Cikondang, peserta didik melakukan pencarian akar historis munculnya konsep
leuweung larangan tersebut dan bagaimana mengolahnya menjadi pembelajaran
sejarah bermuatan kepedulian terhadap lingkungan.
Kegiatan belajar kali ini dilaksanakan melalui out door learning yaitu ke
Kampung Cikondang, untuk menuju lokasi dari Madrasah Aliyah Al-Hijrah siswa
bersama guru menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melewati persawahan.
Sesampainya di rumah tokoh adat Cikondang, peserta didik mengucapkan salam
memberikan kesempatan kepada tokoh adat untuk memberikan penjelasan tentang
Kampung Cikondang secara umum kepada peserta didik. Pada saat kuncen
menyampaikan penjelasan, terlihat semua peserta didik sangat menikmati
pengalaman belajar tersebut.
Setelah menyampaikan penjelasan singkat mengenai Kampung
Cikondang, narasumber mulai memberikan waktu pada peserta didik untuk
bertanya. Kesempatan tersebut segera disambut oleh peserta didik dengan
berbagai pertanyaan. Salah seorang siswa bertanya: mengapa ada leuweung
larangan?; tokoh adat menjawab dengan sebuah ungkapan tradisional “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak”, jika hutan rusak maka manusia sendiri yang rugi atau menderita, karena keseimbangan ekologi akan terganggu. Oleh
karena itu dikenal ada leuweung larangan sebagai amanat dari leluhur Cikondang
hutan harus dijaga dan dilestarikan. Maka lahir berbagai pantangan yang
ditujukkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Kemudian siswa lain bertanya pantangan apa saja yang bertujuan
melestarikan lingkungan?; kuncen menjawab:
a. Teu meunang ka leuweung (karamat) dina poe Rebo, Juma’ah jeung sabtu
(tidak boleh memasuki hutan pada hari Rabu, Jumat dan Sabtu), maknanya
bahwa hutan seolah-olah diistirahatkan untuk tidak dimasuki manusia, berarti
hutan tidak terus-menerus untuk dirambah/diambil hasil hutannya, membiarkan
tanaman untuk tumbuh, memberikan kesempatan binatang untuk berkembang
biak.
b. Teu meunang subat-sabet lamun lain sabeuteunnana (tidak boleh
memotong/menyabit tanaman sembarangan), mungkin saja ada tanaman yang
seharusnya tumbuh dan tanaman tersebut adalah bermanfaat bagi manusia
tetapi kita malah membunuhnya atau merusaknya.
c. Teu meunang ngadeugkeun imah jeung teu meunang peupeulakan dina bulan Muharram, Safar jeung Mulud, oge dina bulan Rajab, Reuwah jeng Puasa,
maksudnya pada bulan tersebut adalah banyak kegiatan atau aktivitas
keagamaan dan ritual adat, pada bulan lain prak (silahkan) beraktivitas untuk
d. Bentuk dan ukuran rumah adat tidak boleh dikurangi atau ditambah, keuna ku
paribasa kolot, pondok teu meunang di sambung, panjang teu meunang
diteukteuk. Bukannya tidak mau bagus atau lebih luas lagi, tapi semuanya ada
nilai filosofinya (maksudnya) dari karuhun untuk dijadikan pemikiran,
misalnya jumlah jendela, jumlah pintu, jumlah kamar, bentuk rumah panggung
dan sebagainya. Maksud orang tua dulu supaya kita hidup jujur apa adanya.
Setelah tanya jawab selesai, peserta didik melanjutkan kegiatan dengan
melakukan observasi langsung terhadap sekitar pemukiman penduduk. Mereka
terlihat sangat menikmati kegiatan observasi yang ditandai dengan pertanyaan
yang dilontarkan baik kepada guru maupun masyarakat yang mereka temui.
Kegiatan pembelajaran diakhiri dengan diskusi kelompok untuk merumuskan
temuan yang mereka dapatkan. Hasil temuan selama observasi dan dialog dengan
narasumber kemudian disusun perkelompok, dibacakan di depan peserta didik lain
untuk mendapatkan tanggapan.
Guru memberi penegasan terhadap hasil jawaban siswa, guru melakukan
refleksi dan membimbing siswa menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam
materi pelajaran. Antara lain, kearifan ekologi yang dimiliki masyarakat adat
Cikondang dalam menjaga kelestarian lingkungan dengan mempertahankan
leuweung larangan sebagai bukti adanya rasa cinta tanah air yang melekat dalam
masyarakat Cikondang hingga saat ini, dimana pada masa yang lalu terjadi sebuah
imperialisme barat yang bertujuan menguasai dan menguras sumber kekayaan
alam demi industri dan kekayaan negara.
Lalu guru meminta tanggapan siswa, seorang siswa menuturkan
pendapatnya bahwa kita sebagai generasi penerus harus meneladani nilai-nilai
budaya masyarakat Cikondang yang masih relevan dengan zaman sekarang
khususnya mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan alam dan hemat, oleh
karena itu saya menyadari bahwa dibalik penjayaan pantangan, pamali kaitannya
dengan leuweung larangan di masyarakat Cikondang ada sesuatu yang berharga
yaitu bagaimana perjuangan masyarakat tradisional pada saat itu dalam
giliran kita sebagai generasi penerus harus menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan nyata.
Kegiatan diskusi merupakan akhir kegiatan pembelajaran. Selanjutnya
guru menutup pembelajaran dengan membuat kesimpulan bersama dengan siswa
dan memberikan salam. Laporan hasil diskusi akhirnya diserahkan kepada guru
untuk mendapatkan penilaian.
2. Wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk mendialogkan dan menggali
informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, baik wawancara terstruktur dengan
bantuan pedoman wawancara maupun yang tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur dilakukan untuk memperoleh data tentang pewarisan nilai-nilai budaya
dalam Masyarakat Adat Cikondang, dan problematika yang dihadapi dalam
menginternalisasikan nilai-nilai budaya sebagai upaya membangun kesadaran
sejarah dan kesadaran budaya peserta didik di Madrasah Aliyah Al-Hijrah.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan untuk memperoleh data dari
beberapa informan kunci untuk melengkapi data tersebut diatas dengan
pertanyaan yang bersifat menggali pengetahuan informan.
Penelitian kualitatif ini menggabungkan teknik observasi partisipasif
dengan wawancara mendalam. Selama melakukan observasi, peneliti juga
melakukan interview kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Informan yang
diwawancarai dalam penelitian ini, adalah ketua adat masyarakat Cikondang,
dengan tujuan untuk memperoleh informasi lengkap tentang nilai-nilai budaya
Cikondang serta upaya terbaik dalam melestarikan dan memasyarakatkan
nilai-nilai budaya khususnya pada generasi muda Cikondang yang sedang menempuh
pendidikan. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Eksplorasi dan Identifikasi Nilai Budaya:
1. Bagaimana asal-usul terbentuknya masyarakat adat kampung Cikondang?
2. Bagaimana pedoman hidup dan sistem nilai yang menjadi pegangan
3. Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap hubungan antara manusia
dengan alam? (bagaimana pentingya alam bagi masyarakat adat)
4. Jenis larangan (pantangan) apa saja yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
adat guna menjaga kelestarian lingkungan?
5. Adakah pantangan lain yang berhubungan dengan aktivitas hidup setiap warga
adat?
6. Nilai-nilai apakah yang mendasari setiap larangan tersebut?
7. Mengapa masyarakat Cikondang masih mempertahankan larangan-larangan
tersebut
8. Tempat-tempat apa saja yang dikeramatkan guna menjaga kelestarian
lingkungan? Mengapa dikeramatkan?
9. Jenis upacara (ritual) apa saja yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat
Cikondang?
10. Dapat Bapak jelaskan , bagaimanakah proses upacara adat “wuku taun” yang
selalu dilaksanakan oleh masyarakat adat Cikondang?
11.Apa makna dan nilai dari pelaksanaan upacara adat tersebut?
b. Tahap Pewarisan Nilai-nilai Budaya Adat Cikondang terhadap Peserta didik:
1. Bagaimana Pandangan anda tentang nilai tradisi Cikondang (etika dan norma
kasundaan, penghargaan terhadap sejarah, menjaga leuweung larangan,
upacara adat wuku taun, hajat buruan, hajat solokan, hajat cai beresih,
ngadeugkeun, memahami beragam kesenian dan pupuh) perlu atau tidak nilai
tersebut diwariskan kepada generasi muda?
2. Nilai-nilai budaya apa saja yang perlu diwariskan?
3. Bagaimana cara terbaik pentransformasian nilai tradisi sunda, serta perlu
tidaknya peran serta dunia pendidikan dalam proses pewarisan nilai tradisi
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada guru sejarah yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana pandangan tentang nilai tradisi budaya Sunda (Cikondang); perlu
tidaknya nilai tersebut ditransformasikan kepada siswa melalui pembelajaran
sejarah?
2. Bagaimana pandangan tentang sejauh mana akomodasi kurikulum terhadap
potensi lokal dalam mata pelajaran sejarah?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan guru dalam mengenalkan potensi lokal
(setempat) pada siswa melalui pembelajaran sejarah?
4. Bagaiman pandangan anda terhadap pemahaman siswa akan nilai tradisi Sunda
(Cikondang)?
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa Madrasah Aliyah
Al-Hijrah yaitu sebagai berikut:
1. Apakah anda tahu tentang budaya Cikondang?
2. Darimana anda mengetahui budaya Cikondang?
3. Menurut anda apa yang menarik dari budaya Cikondang?
4. Bagaimana pandangan anda tentang nilai-nilai budaya Sunda (Cikondang)
yang relevan dalam mata pelajaran sejarah?
5. Faktor apa yang membuat anda mempertahankan budaya Cikondang?
6. Bagaimana caranya guru ketika menyampaikan materi nilai-nilai budaya adat
cikondang agar kalian lebih jelas memahaminya?
7. Apakah kalian dapat memahami nilai-nilai budaya adat Cikondang yang
disampaikan oleh guru dan apa saran kalian kepada guru sejarah agar
pembelajaran sejarah ini dapat memberikan manfaat?
8. Manfaat apa yang dapat kalian peroleh dari materi pelajaran sejarah yang
memuat nilai-nilai budaya Cikondang?
9. Sejauh ini apakah nilai-nilai budaya Cikondang dapat menjadi proteksi untuk
mempertahankan diri dari dampak negatif globalisasi?
Hasil wawancara yang dikumpulkan tersebut kemudian dikembangkan
menjadi deskripsi penelitian dan diinterpretasikan, serta dijadikan dasar untuk
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan pelengkap dalam metode observasi dan
wawancara pada penelitian kualitatif. Studi dokumentasi dan kepustakaan
dilakukan guna menggali data pendukung kepentingan deskripsi penelitian yang
datanya terdapat dalam dokumen tertulis.
Dokumentasi yang diperlukan dalam penelitian ini, adalah berbagai data
yang berkaitan dengan profil kehidupan masyarakat Cikondang, nilai-nilai yang
terkandung di dalam kearifan lokal masyarakat Cikondang, serta pandangan
masyarakat Cikondang terkait dengan pewarisan nilai-nilai kearifan lokal bagi
generasi muda. Kemudian dokumen-dokumen resmi sekolah maupun guru sejarah
berupa profil sekolah, tujuan, visi dan misi Madrasah Aliyah Al-Hijrah, serta
rencana pelaksanaan pembelajaran sejarah. Selain itu studi dokumentasi yang
dibutuhkan penulis dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan tentang Pendidikan
Sejarah dalam bentuk buku, jurnal, artikel. Tulisan tentang masyarakat Adat
Cikondang, pewarisan nilai baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan
gambar aktifitas Masyarakat Adat Cikondang serta peraturan kebijakan tentang
pendidikan sejarah. Media massa tersebut berupa media cetak maupun online.
Hasil studi dokumentasi dan kepustakaan ini dikembangkan sebagai deskripsi
penelitian dan diinterpretasikan serta dipergunakan untuk kepentingan triangulasi.
4. Triangulasi
Teknik triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang penulis
gunakan untuk menguji kredibilitas data. Menurut Mathinson (Sugiyono,
2007:332), dikemukakan bahwa “the value of triangulation lies in providing evidence-wether convergent, inconsistent of contracdictory”. Nilai dan teknik
pengumpulan data dengan tiangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh
convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi, oleh karena itu dengan
menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang
diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti.
Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka
yaitu mengecek kredibilitas data dengan teknik pengumpulan data sebagai sumber
data (Sugiyono, 2007:241). Peneliti menggunakan observasi partisipasif,
wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data.
Berdasarkan perumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka
observasi yang dilakukan di tengah masyarakat dimulai dengan observasi secara
menyeluruh guna mengetahui lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat
Cikondang, sedangkan observasi di lingkungan sekolah dilakukan kepada guru
mata pelajaran sejarah dan kepada para siswa di Madrasah Aliyah Al-Hijrah
khususnya pada peserta didik yang berlatar belakang asli dari masyarakat adat
Cikondang. Daftar pedoman wawancara meliputi tahap ekplorasi dan identifikasi
nilai budaya Cikondang, dan tahap pewarisan nilai-nilai budaya Cikondang
terhadap peserta didik. Studi dokumentasi dalam penelitian ini meliputi telaah
dokumen yang terkait dengan proses pewarisan nilai-nilai budaya, pendidikan
sejarah dan peraturan kebijakan tentang pendidikan sejarah, serta tulisan tentang
masyarakat adat Cikondang baik berupa penelitian terdahulu maupun artikel dan
gambar aktifitas masyarakat adat Cikondang. Data dokumentasi ini dimaksudkan
untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.
Penggunaan panduan wawancara, panduan observasi dan penggunaan
dokumentasi berfungsi sebagai triangulasi alat pengumpul data agar data yang
diperoleh dari sumber informasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
pelaksanaanya peneliti menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan
wawancara mendalam dan pencatatan dokumen yang terkait dengan fokus
penelitian. Selama melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara
kepada para narasumber, dan sekaligus pencatatan dokumen-dokumen yang
terkait. Dengan demikian dapat diketahui tentang credibility dan confirmability
antara data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
E.Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Dalam