• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Krisis ekologi merupakan isu yang sedang digaung-gaungkan saat ini. Krisis ini telah telah menyebabkan sumber daya alam semakin berkurang dan juga lapisan ozon sebagai pelindung bumi semakin menipis. Akibatnya adalah kehidupan di bumi saat ini menjadi terancam. Eksploitasi terhadap sumber daya alam hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Hal ini memberikan dampak besar bagi krisis ekologi. Misalnya hutan hujan tropis di Brazil yang semakin merosot karena pertanian, peternakan, penebangan kayu, industri dan pembangunan, pertambahan penduduk, kebutuhan orang miskin dan juga orang kaya, dan kebutuhan dunia akan hasil hutan juga menjadi penyebab eksploitasi terhadap hutan hujan tropis di Brazil.1 Penggundulan hutan di Brazil meningkat dari 103 km persegi pada bulan April 2010 menjadi 593 km persegi pada tahun 2011 dalam periode yang sama dan ini menyebabkan lapisan ozon semakin menipis oleh karena kekurangan oksigen.2

Di Indonesia sendiri, sejak tahun 1970, penggundulan hutan mulai marak terjadi dan memuncak pada tahun 1997-2000, di mana tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,8 juta hektar/tahunnya, sehingga saat ini diperkirakan hutan Indonesia hanya tersisa 28% saja.3 Di Kalimantan, seperti dilansir oleh Kompasiana bahwa penyebab kerusakan hutan di Kalimantan adalah oleh karena laju pertumbuhan penduduk dan juga untuk menutupi hutang luar negeri. Namun, kebanyakan kerusakan hutan di Kalimantan disebabkan oleh karena perluasan lahan pertanian dan peternakan, proyek swasta besar (misalnya, tambang batu bara) dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya kayu. Kalimantan Timur (Berau), setiap tahunnya 39 ribu hutan rusak dan ‘lenyap’ karena dijadikan kebun kelapa sawit dan tambang batu bara sehingga 20 juta ton gas karbon ke atmosfer dan ini akan mempengaruhi kerusakan lapisan ozon.4

1

Celia Deane-Drumond, Teologi dan Ekologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 82 2

http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2011/05/110518_amazonforest.shtml, diakses pada tanggal 13 Mei 2013.

3 Herman S. Nainggolan, dkk, Kerusakan Lingkungan: Peran dan Tanggung Jawab Gereja (Kerjasama Antara Menteri Lingkungan Hidup RI, PGI dan UEM, 2011)p. 38

4

http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/08/01/kerusakan-hutan-di-kalimantan-384446.html, diakses pada tanggal 13 Mei 2013.

(2)

2

Krisis ekologi yang terjadi ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan ekonomi baik yang bersifat mendesak maupun hanya karena tuntutan modernitas. Sikap ini (tuntutan modernitas) tentu muncul karena pengaruh dari zaman pencerahan yang begitu menekankan akan rasionalitas manusia. Pandangan ini menekankan bahwa manusia menjadi pusat dari segala sesuatu di dalam dunia ini (antroposentris) dan karena itu, manusia adalah penguasa atas alam semesta karena ia memiliki kemampuan untuk meneliti segala permasalahan dan teka-teki yang ada di dalam dunia ini. Manusia kemudian menjadikan makhluk lain dan secara umum alam semesta sebagai objek yang harus diteliti, dipergunakan sesuai dengan keinginan manusia. Alam-semesta kemudian tidak lagi dianggap sebagai guru dengan begitu banyak misteri di dalamnya tetapi hanya sebagai objek analisis semata sehingga eksploitasi terhadap sumber daya alam pun tidak dapat dibendung. Manusia telah menjadi makhluk buas yang ‘memakan’ sesama ciptaan lainnya. Hubungan antara manusia dan alam-semesta kemudian menjadi hubungan yang mengeksploitir, mendominasi dan memanipulasi alam-semesta, tentunya demi kepentingan manusia itu sendiri dan demi memperoleh pengakuan sebagai manusia modern.5

Lynn White jr, menilai bahwa eksploitasi yang terjadi terhadap alam semesta ini bukan hanya karena perkembangan sains saja tetapi berawal dari penafsiran yang keliru terhadap teks Kristen yang kemudian menghalalkan akan tindakan tersebut.6 Teks kristen yang dimaksudkan oleh White adalah Kejadian 1:26 dan 28.

Kejadian 1: 26 (TBLAI): “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.

Kejadian 1: 28 (TBLAI): “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.

Permasalahan utama dari kedua teks di atas adalah pada penggunaan kata ‘kuasa’ dan ‘takluk’.7 Dalam hal ini, para ahli lebih menyoroti akan konsep ‘kuasa’.

5

Andreas A. Yewangoe, Pendamaian: Suatu Studi tentang Pemulihan Relasi Antara Allah, Manusia dan Alam-semesta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), h. 182.

6

http://www.uvm.edu/~gflomenh/ENV-NGO-PA395/articles/Lynn-White.pdf, p. 4, diakses pada tanggal 17 Desember 2014

7

Telah banyak upaya dari para teolog untuk menafsirkan Kejadian 1: 26 & 28 (khususnya konsep ‘radah’ – kuasa yang memang bernada dominasi karena mengandung arti menginjak-injak seperti orang yang menginjak anggur yang diperas dalam konteks pengirikan anggur) (Lih. Jay McDaniel, “Taman Eden, Dosa Asal, dan Hidup dalam Kristus: Pendekatan Kristen terhadap Ekologi” dalam Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, Ed. Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, Yogyakarta: Kanisius, 2003 p. 87).

(3)

3

Lynn White melihat bahwa paham transendensi Allah yang dipisahkan dari ciptaanNya − dalam agama monoteis – membuat orang-orang melihat alam ini tidak bersifat ilahi. Sikap ini juga telah membawa agama-agama monoteis (Kristen) menjadi tidak peka dengan eksploitasi yang sedang dialami oleh alam semesta.8

Sejalan dengan White, Harvey Cox, melihat bahwa konsep ‘kuasa’ pada kedua teks di atas menciptakan pemisahan antara Allah dan alam, juga manusia dengan alam oleh adanya unsur superioritas dalam teks ini, dan itu berarti bahwa alam dilepaskan dari pesona Ilahinya – alam merupakan objek biasa − dan hal ini mutlak bagi perkembangan ilmu-ilmu alam demi kepentingan manusia. 9 Searah dengan White dan Cox, Van Leeuwen juga mempersalahkan kekristenan atas ekploitasi yang terjadi dalam dunia dewasa ini, seperti dikutip oleh Yewangoe demikian:

Pemahaman Judeo-Kristen mengenai alam-semesta, telah memungkinkan peradaban Barat untuk memanfaatkan dan memperkembangkan alam sampai kepada derajat, yang bagi pandangan dunia lain adalah tidak mungkin.10

Beberapa pandangan di atas memberikan gambaran bahwa ada pemahaman bahwa teks-teks Kristen menjadi salah satu pendukung ekploitasi alam yang terjadi saat ini. Teks Kristen di atas seperti menunjukkan bagaimana superioritas manusia terhadap ciptaan lain sehingga beberapa ahli pun dengan berani mengkritik teks-teks Kristen tersebut.

Selain kedua teks di atas yang begitu problematis dalam menanggapi akan eksploitasi besar-besaran yang terjadi, pemahaman bahwa Allah menciptakan dunia ini dari ketiadaan (creatio ex nihilo)11 – hanya melalui kuasa Firman Allah − juga menyebabkan orang Kristen melihat bahwa alam semesta bernilai rendah. Pemahaman bahwa Allah menciptakan dari ketiadaan, dikarenakan kata ‘menciptakan’ dalam Kejadian 1:1 menggunakan kata bara yang dikhususkan hanya pada Allah saja. Karena dikhususkan bagi Allah, kemudian dipahamilah bahwa Allah menciptakan alam semesta dari ketiadaan. Berkaitan dengan alam semesta yang dinilai rendah oleh manusia, Walter Lempp, misalnya mengatakan demikian: “... Allah adalah sama sekali

8

http://www.uvm.edu/~gflomenh/ENV-NGO-PA395/articles/Lynn-White.pdf, p. 4-5, diakses pada tanggal 17 Desember 2014

9

Dikutip oleh Martin Harun, “ Allah Para Ekoteolog”, dalam Dunia, Manusia, dan Tuhan: Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi, Ed. J. Sudarminta & S. P. Lili Tjahjadi, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 29-30.

10

Andreas A. Yewangoe, Pendamaian: Suatu Studi tentang Pemulihan Relasi Antara Allah, Manusia dan Alam-semesta, h. 183-184

11 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1: Doktrin Allah (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993) p. 238

TIDAK ADA BAB 5

(4)

4

terpisah dari dunia. Kita tidak boleh mencari, mendapati atau menjumpai Allah dalam semesta alam atau dalam bagiannya.”12

Pernyataan Lempp di atas tentu melahirkan pemahaman bahwa Allah tidak hadir di dalam alam semesta sehingga manusia tidak boleh menemukan Allah di dalam alam semesta. Selain Lempp, pandangan Karl Barth tentu juga memiliki pengaruh dalam pemahaman Kristen mengenai alam semesta. Barth mengatakan bahwa alam semesta ini hanya sebagai alat Allah untuk menyelamatkan manusia. Allah harus menciptakan alam semesta karena Kristus tidak dapat dilahirkan dan disalibkan. Alam semesta menjadi ruang yang memungkinkan keselamatan yang diberikan Allah di dalam Kristus menjadi nyata.13 Pandangan Barth mengenai alam semesta ini tentu membuat orang Kristen melihat alam semesta lebih rendah dari pada dirinya sendiri karena alam semesta diciptakan Allah hanya untuk menyelamatkan manusia.

Dari penjabaran di atas, kemudian muncul pertanyaan, yaitu apakah memang teks Alkitab mengatakan demikian?

Penyusun melihat bahwa pemahaman ini bukan kesalahan pada teks Alkitab sendiri tetapi lebih kepada bagaimana orang mendekati teks tersebut. Lempp dan Barth misalnya, menafsirkan teks tersebut masih bernuansa zaman pencerahan. Penyusun mengasumsikan bahwa cara Barth dan Lempp melihat teks ini adalah dari cara pandang Barat yang mengutamakan akan rasionalitas sehingga kemudian melahirkan pemahaman bahwa alam semesta lebih rendah dibandingan manusia.

Dari asumsi di atas, kemudian penyusun bertanya apakah ada kemungkinan bahwa teks di atas dapat bernuansa berbeda jika didekati dari perspektif yang lain? Dari pertanyaan ini kemudian penyusun mengasumsikan bahwa teks ini tentu akan bernuansa berbeda jika didekati dari perspektif Timur, yang mengutamakan akan kedekatannya dengan alam semesta. Salah satu teks yang menarik untuk dikaji adalah pemahaman wu wei dalam Taoisme. Oleh karena itu, menjadi menarik jika teks Kristen di dekati dari perspektif Timur ini.

12

Walter Lempp, Kedjadian 1:1-4:26 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1971)p. 11

13 Dikutip dari Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986)p. 149-150

TIDAK ADA BAB 5

(5)

5

1.1Wu Wei

Secara harafiah wu wei dapat diartikan sebagai ‘tidak berbuat’ atau ‘tidak mencampuri’ atau ‘tidak berkeinginan’ atau ‘bebas aksi’. Namun ‘tidak berbuat’ ini bukan berarti tidak melakukan apa-apa melainkan melakukan sesuatu hal tanpa dibuat-buat dan tidak sewenang-wenang (semau-maunya) karena sikap yang demikian berlawanan dengan sikap alami.14 ‘Tidak berbuat’ menunjukkan pada suatu tindakan yang mengalir bebas tanpa adanya keragu-raguan dan kebimbangan.

Wu wei merupakan suatu hidup yang dijalani dengan penuh kelemah-lembutan dan kesederhanaan tanpa ketegangan dan tidak ada gerak yang dihambur-hamburkan. Paham wu wei ini tentu tidak dapat dilepaskan dari paham Tao secara umum karena wu wei dan Tao merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tujuan utama wu wei (juga merupakan tujuan Tao) adalah keselarasan dengan alam semesta. Keselarasan ini menghadirkan suatu upaya yang menekankan kedekatan dengan alam dan akhirnya mendorong pada kesederhanaan dan spontanitas dalam diri setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Harmoni dengan alam − bukan mengendalikannya − merupakan tujuan utama Tao. Tao mengajarkan penganutnya menjalani kehidupan ini dengan mengikuti irama dan harmoni dengan alam karena melalui harmoni dengan alam manusia akan merasakan kepuasan dan ketenangan di dalamnya. Mengikuti irama alam ini tentu membutuhkan suatu proses yaitu bergerak dari taraf kesadaran menuju ketidaksadaran. Seperti cerita dalam kitab Chuang Tzu yang dikutip oleh Creel15, mengisahkan tentang seorang pembantai yang bekerja pada raja Liang, di mana pada awal pekerjaannya mengalami kesulitan besar ketika memotong-motong seekor sapi, namun karena keseringan mengerjakannya, akhirnya ia merasa melakukannya secara naluriah. Wu wei menekankan pada kebebasan individu − tanpa pertimbangan yang berlebihan – yang sejalan dengan kodrat alam.16 Wu wei merupakan seni membiarkan pikiran bekerja sendiri secara spontan.

14 H. G. Creel, Alam Pikiran Cina Sejak Confucius Sampai Mao Zedong, p. 112. 15

H. G. Creel, Ibid. 16

Edward Slingerland, Effortless Action: Wu Wei as Conceptual Metaphor and Spiritual Ideal in Early China, (New York: Oxfrod University Press, 2003), p. 7

(6)

6

1.2 Wu Wei sebagai Alternatif Penafsiran Pada Kisah Penciptaan (Kejadian 1:1-2:4a)

Penafsiran-penafsiran pada teks Kristen seringkali menggunakan metode penafsiran Barat dan bahkan di Asia pun metode penafsiran ini berkembang dengan sangat baik. Namun, dampak dari penafsiran Barat dalam konteks Asia adalah bahwa penafsirannya terkadang menjadi tidak begitu berjiwa Asia dan meredupkan akan tradisi sosio-kultural dan religiusitas yang khas Asia.

Menyadari akan dominasi Barat pada penafsiran-penafsiran Asia, telah banyak teolog-teolog Asia (Misalnya, Kwok Pui Lan dan Choan-Seng Song)yang mencoba untuk menafsirkan Kitab Suci Kristen dari perspektif Asia sehingga Kitab Suci bisa dipahami dengan mudah oleh manusia Asia tanpa harus kehilangan ‘jiwa’ Asianya. Dari kesadaran yang sama, penyusun tertarik untuk menafsirkan kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:4a dari salah satu perspektif yang khas Asia, yaitu wu wei. Ketertarikan ini berawal dari keingintahuan penyusun pada pemikiran khas Timur, terkhususnya wu wei yang memiliki konsep ‘no action’ tetapi memiliki daya ‘mengubah’ dan menekankan pada suatu proses yang bersifat mengalir mengikuti tatanan alam semesta tanpa paksaan. Selain karena tertarik pada konsep wu wei, penyusun juga tertarik untuk menjadikan konsep ini sebagai kacamata dalam membaca teks Kejadian 1:1-2:4a karena penyusun menyadari adanya hubungan antara kedua teks ini.

2. Permasalahan

Dari penjabaran latar belakang di atas, kajian ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan. Maka pertanyaan permasalahannya adalah:

Bagaimana pembacaan kritis terhadap kisah Penciptaan (Kejadian 1:1-2:4a) dari perspektif wu wei dapat memberikan pemahaman yang baru mengenai kedudukan alam semesta dalam keseluruhan ciptaan?

3. Judul Skripsi

Alam Semesta sebagai Rekan Kerja Allah

Menafsirkan Ulang Kejadian 1:1-2:4a dari Perspektif Wu Wei

(7)

7

4. Tujuan

Tujuan dari Skripsi ini terkait dengan rumusan permasalahan di atas, yaitu :

1. Memberikan pemahaman bahwa teks-teks khas Asia pun memiliki kedudukan yang sama dengan teks Alkitab. Teks Asia bisa menjadi kacamata bagi Kristen Asia untuk membaca teks Alkitab, sehingga Kristen Asia tidak harus menginjakkan kakinya di dua tempat yang berbeda (Kristen dan tradisi) melainkan menjadikan keduanya sebagai hidupnya. 2. Memaparkan proses pembacaan kisah Penciptaan (Kejadian 1:1-2:4a) dari perspektif wu

wei, untuk memperkaya dan mewarnai alternatif penafsiran terhadap kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:4a.

3. Menemukan ‘semangat’ dari hasil pembacaan kisah Penciptaan dari perspektif wu wei, kemudian menjadikannya semangat yang sama dalam melihat alam semesta.

5. Metode Peneletian

Metode yang digunakan adalah metode cross culture hermeneutic (seeing through) dalam pendekatan multi-iman yang diintrodusir oleh Kwok Pui Lan. Pendekatan ini berawal dari suatu afirmasi bahwa setiap budaya dan tradisi religius memiliki kebenarannya masing-masing dan semuanya setara. Dalam penelitian ini, wu wei akan menjadi kacamata untuk membaca kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:4a. Selain itu, dalam penelitian ini tentu akan membutuhkan beberapa metode tafsir lainnya, seperti tafsir narasi, literer dan juga metode tafsir lainnya yang akan membantu dalam upaya menafsirkan kisah Kejadian 1:1-2:4a dari perspektif wu wei. Namun, walaupun kacamata yang dipakai untuk membaca dan menafsirkan kisah Penciptaan dalam teks Kejadian 1:1-2:4a adalah wu wei, tidak berarti bahwa wu wei tanpa ‘cacat’. Oleh karena itu, di akhir skripsi ini, penyusun akan memaparkan kekurangan dari paham wu wei sejauh yang penyusun temukan.

6. Landasan Teori

6.1 Wacana Hermeneutik Khas Asia

Penafsiran-penafsiran Alkitab yang hadir di Asia kebanyakan masih didominasi oleh penafsiran yang bersifat Barat. Seringkali teks-teks Asia sendiri seperti tidak mendapat tempat dalam

(8)

8

penafsiran tersebut karena dianggap bahwa teks-teks Asia adalah teks-teks yang tidak layak untuk ‘bertemu’ dengan teks Alkitab yang dianggap sebagai teks yang benar-benar suci dibandingkan dengan teks-teks lainnnya. Penafsiran yang kebaratan ini kemudian memaksa manusia Asia untuk meninggalkan kehidupannya sebagai manusia Asia dan hidup sebagai Kristen yang dipahami oleh Barat. Akhirnya, Kristen Asia harus memijakkan kakinya di dua dunia yang berbeda karena walaupun sudah menjadi Kristen, manusia Asia tidak bisa melepaskan dirinya dari realitas kulturnya sebagai manusia Asia. Manusia Asia (Kristen Asia) seperti diperhadapkan pada ‘buah simalakama’. Jika mereka hidup dengan realitas hidup mereka sebagai manusia Asia, maka mereka harus meninggalkan kekristenan mereka dan jika mereka hidup dalam kekristenan, maka mereka harus meninggalkan realitas Asia mereka. Problema sebagai Kristen Asia inilah yang mendorong teolog-teolog Asia untuk menjawab kegelisahan ini dengan memperkenalkan metode pembacaan Alkitab yang khas Asia, yaitu secara cross-textual, dialogical atau dialogical imagination.17 Metode ini mencoba untuk melihat bahwa manusia Asia, khususnya Kristen Asia perlu membaca Alkitab dari realitas hidupnya sebagai orang Kristen di Asia, baik ke-multireligius-an, ke-multikultural-annya, kemiskinan dan pengalamannya sebagai manusia Asia. Melalui pembacaan Alkitab yang demikian menolong Kristen Asia untuk hidup sebagai orang Kristen tanpa kehilangan identitasnya sebagai manusia Asia.

6.2 Pendekatan Multi-Iman

Skripsi ini melibatkan dua teks dari dua tradisi religius yang berbeda, sehingga menjadi menarik untuk membaca teks Kejadian 1:1-2:4a dari perspektif wu wei melalui pendekatan multi-iman yang diperkenalkan oleh Kwok Pui Lan.18 Pendekatan multi-iman ini membutuhkan kesadaran seutuhnya bahwa setiap tradisi religius memiliki posisi yang sama (setara) dengan tradisi kekristenan.19

Mempertemukan kedua tradisi religius tentu bukanlah hal yang mudah, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menyadari bahwa Alkitab tidak lahir dan hidup di berbagai tradisi yang ada dan kebanyakan tradisi (orang) tidak dididik secara Alkitabiah. Oleh karena itu, dengan konteks multi-kultur dan juga multi-iman saat ini, maka Alkitab perlu dipelajari dari kaca

17

John H. Hayes, Dictionary of Biblical Interpretation (Nashville : Abingdon Press, 1999), p. 12 18

Kwok Pui-lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Book, 1995)p. 92 19 Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, p. 58

(9)

9

mata tradisi religius lainnya untuk menemukan tema-tema yang umum dan penekanan-penekanan yang berbeda.

Namun yang menjadi tantangan adalah bagaimana mereinterpretasi Alkitab dari kaca mata tradisi religius yang lain, karena kita (Kristen) harus berani untuk membuka diri secara radikal dan menjadikan kebenaran masing-masing tradisi sebagai sumber religius yang berguna untuk dimensi kemanusiaan yang juga perlu untuk dibagikan, diuji dan dikoreksi dalam komunitas yang lebih luas.20 Contoh pembacaan dari hermeneutis multi-iman ini adalah seperti yang dilakukan oleh Seiichi Yagi sebagai seorang yang beragama Budha yang mendalami akan Yesus dari perspektif Budha, atau Mahatmah Gandhi yang begitu terkagum-kagum akan khotbah Yesus di bukit yang, dan kemudian menjadi semangat dalam perjuangannya, yaitu perjuangan yang bersifat nir-kekerasan.21 Selain itu, D. K. Listijabudi juga menggunakan pendekatan ini dalam bukunya ‘Bukankah Hati Kita Berkobar-Kobar (Yogyakarta: Interfidei, 2010). Pendekatan yang sama dengan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas akan menjadi pendekatan yang penyusun gunakan untuk ‘membaca’ kisah Penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:4a dari perspektif wu wei.

7. Sistematika Penulisan

Adapun sistem penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.22

Bab I Pendahuluan

Bab ini akan dipaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan utama dalam skripsi, judul skripsi, tujuan penulisan skripsi, metode penelitian yang digunakan (cross-culture hermeneutic − seeing through − dalam pendekatan multi-iman), dan landasan teori dari metode tersebut.

Bab II Wu wei

Bab ini akan dijabarkan mengenai Taoisme secara umum, yaitu dalam pengertiannya sebagai paham, kemudian akan dijabarkan mengenai Tao sebagai payung besar dari wu wei, kemudian penjelasan mengenai konsep wu wei itu sendiri dan evaluasi terhadap konsep wu wei.

20

Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, p. 92-93 21 Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, p.63-64 22

Kerangka utama dalam sistematika penulisan skripsi ini mengikuti kerangka buku “Bukankah Hati Kita Berkobar-kobar (Yogyakarta: Interfidei, 2010)” karangan D. K. Listijabudi. Namun untuk segi isi, merupakan hasil karya penyusun sendiri.

(10)

10

Bab III Menafsirkan Kejadian 1:1-2:4a dari Perspektif Wu Wei

Bab ini akan dijabarkan mengenai hasil pembacaan terhadap teks Kejadian 1:1-2:4a dari perspekti wu wei, yang diawali dengan sebuah pengantar kemudian diikuti penjelasan mengenai teks Kejadian 1:1-2:4a dan kemudian hasil pembacaan teks Kejadian 1:1-2:4a dari perspektif wu wei.

Bab IV Penutup

Bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan dari seluruh bab dan kemudian relevansinya bagi dunia akademis dan juga bagi pertumbuhan iman jemaat.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian ditinjau dari aspek tujuh indikator pemahaman konsep pada daya serap siswa bahwa daya serap tertinggi terdapat pada indikator mengklasifikasikan dengan

Hoesin RG dan Witjaksana N juga melaporkan, lokasi kerusakan pada laserasi kanalikuli lebih sering terjadi pada kanalis lakrimalis inferior dibandingkan dengan

Pengabil kebijakan keuangan takut dengan ancaman hukuman pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang acaman

pendidikan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang, 2) Pekerjaan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam

Selain itu, teknologi microbial fuel cell dapat menghasilkan power density berasal dari limbah perhotelan antara 4.09 - 40.35 W/m 2 tergantung terhadap

Seorang laki2 70 tahun datang dengan keluhan pandangan kabur pada kedua mata sejak 1 tahun belakangan, dan dirasakan memberat pada 6 bulan

Animasi berbicara tentang bentuk suatu benda yang berubah-ubah dan kemudian menciptakan sebuah gerakan, lalu menciptakan sebuah ilusi akan kehidupan. Oleh karena

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut