• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAKRALITAS BARONG USING DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT USING KEMIREN BANYUWANGI-JAWA TIMUR. Oleh Ketut Darmana Prodi Antropologi, FSB-Unud, Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAKRALITAS BARONG USING DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT USING KEMIREN BANYUWANGI-JAWA TIMUR. Oleh Ketut Darmana Prodi Antropologi, FSB-Unud, Bali."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SAKRALITAS BARONG USING DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT USING KEMIREN BANYUWANGI-JAWA TIMUR

Oleh Ketut Darmana

Prodi Antropologi, FSB-Unud, Bali

Abstrak

Persoalan sakralitas memiliki keterkaitan dengan unsur supernatural dan sosial. Tulisan ini bertujuan untuk memahami keterkaitan dua unsur tersebut pada simbol Barong Using di masyarakat Using Kemiren. Penelitian kualitatif telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan memahami makna beserta fungsinya dalam era global. Konsep sakral dan profan digunakan sebagai acauan analisis dan pemahaman secara lebih mendalam. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan unsur supernatural dan sosial sangat kuat dalam simbol Barong Using. Masyarakat Using telah menjadikan Barong tersebut sebagai simbol sakral dan sosial. Sebagai simbol sakral Barong dipercaya memiliki kekuatan magis, gaib, sakti, dan keramat. Sebagai simbol sosial Barong dipercaya memiliki daya perekat kebersamaan dan kerukunan diantara warga masyarakatnya. Era global telah membuat makna dan fungsi simbol tersebut semakin meluas. Selain sakral dan supernatural, juga dimaknai dan difungsikan sebagai penegas identitas diri Wong Using, penyelesaian ketegangan sosial, pemberi kepastian bebas bencana, dan ikon wisata. Fungsi dan makna ini terus ditumbuhkan dalam kehidupannya yang modern dan mengglobal.

Kata kunci: Barong, sakral dan profan.

Doktor dalam Ilmu Antropologi dan Staf Pengajar Prodi Antropologi Budaya, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana, Denpasar, Bali.

(2)

PENGANTAR

Sepanjang kehidupannya, masyarakat Using cenderung memilih dekat dengan kesakralan. Berbagai bentuk ritual sakral diselenggarakan, baik dalam lingkup pertanian, alam sekitar, siklus hidup, maupun kepercayaannya1. Semua ini

dilakukan dalam rangka untuk dapat sedekat mungkin berdampingan dengan alam kesakaralannya tersebut. Masyarakat Using percaya, keberadaan yang sakral mampu memanifestasikan diri secara nyata disisi alam kehidupannya yang profan.

Pensakralan terhadap Barong Using merupakan salah satu dari sekian banyak manifestasi kesakaralan tersebut. Barong ini berwujud sebuah topeng bersayap hasil perpaduan antara naga raksasa dan harimau, yang dipunggungnya diletakkan sebuah mustoko (mahkota) dan ditubuh bagian belakang diselimuti kain berwarna merah. Kesakralannya terletak pada pencitraannya akan daya magis yang mampu mengusir wabah dan bencana, mendatangkan rejeki, dan tempat bersemayam roh Buyut Cili (roh penjaga desa).

Sejak awal kemunculannya (tahun 1873) topeng ini selalu diwariskan berdasarkan trah keturunan pencipta Barong dan tidak pernah keluar dari garis trah tersebut. Pada masa sekarang (2014) topeng ini telah dijadikan sesembahan dan objek persembahan agar kesakaralan didalamnya tetap bertuah. Ritual sesembahan dan persembahan dilakukan setiap hari Minggu malam Senin, dan Kemis malam Jum’at dengan diberi sesaji asap kemenyan yang dibakar di bawah kepala topeng tersebut. Ritual serupa juga dilakukan ketika akan diselenggarakan pertunjukan kesenian barong Using dan upacara barong ider bumi, yang diselenggarakan setiap tanggal 2 syawal dalam setiap tahunnya.

Sebuah studi kualitatif telah dilakukan untuk memahami makna dan fungsi pensakralan tersebut dalam kehidupan kolektif masyarakat Using. Fokus pensakralan dipilih karena persoalan ini tergolong unik ditengah-tengah kehidupan

1 Ritual pertanian melputi: Labuh tandur, Luwaran, Ngrujaki, Metik, Labuh gampung, Panen pari, dan Ngunjal. Ritual siklus hidup: slametan kehamilan (telonan, tingkeban, procotan), kelahiran (sepasaran, selapanan,

nyukit lemah, mudun lemah), khitanan, perkawinan (nyolong, ngeleboni, ngunggah-ngunggahi, angkat-angkatan), dan Kematian (telungdinanan, pitungdinanan, patangpuluhan, satusan, dan sewuan). Ritual alam

sekitar: bersih desa, dan rebo wekasan. Ritual religi: barog ider bumi, Mocoan lontar, Suroan, Mauludan, Isra Mi’raj, Nuzul Qur’an, Hari raya Idul Fitri, dan Hari raya Idul Adha.

(3)

masyarakat modern yang telah banyak meninggalkannya. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat Using, persoalan tersebut justru memperoleh pengakuan yang kuat sebagai bagian dari bentuk kepercayaannya. Meminjam istilah Geertz, (2000) pensakralan Barong Using bersayap telah menjadi model bagi kepercayaannya sekaligus juga model dari cara berkepercayaannya.

Dalam beberapa studi antropologi, model kepercayaan masyarakat seperti itu, dinyatakan sebagai bentuk kepercayaan yang paling dasar dari sebuah perkembangan evolusi religi. Beberapa ahli teori religi seperti Tylor (1873), Frazer (1910), Lang (1898), Marret (1891), Evans-Pritchard (1984), Otto (1917), dan Durkheim (2005), telah mengkaji secara mendalam terkait dengan persoalan-persoalan seperti itu. E.B. Tylor (1873) menyatakan masyarakat masa lalu percaya pada jiwa-jiwa yang hidup sesudah mati (roh-roh, dewa-dewa) yang menempati alam. Kruyt, 1906, menyatakan masyarakat masa lalu percaya pada animisme dan spiritisme, yang disebut dengan zielestof (zat halus yang ada dalam tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda). Adrew Lang, 1898, menyatakan masyarakat masa lalu percaya pada kekuatan-kekuatan supernatural dari dewa-dewa dan kekuatan mana, yaitu: kekuatan gaib yang dipancarkan oleh roh-roh atau dewa-dewa. Rudolf Otto (1917), menyatakan bentuk kepercayaan masyarakat masa lalu disandarkan pada hal-hal keramat (sacred), gaib (mysterium), dan maha dahsyat (tremendum), dan Durkheim (2011), menyatakan bentuk kepercayaaan masyarakat masa lalu percaya pada kekuatan supernatural sejenis mana, churinga,

nurtunja, dan waninga yang disimbolkan melalui totem.

Pensakaralan Barong Using di atas memiliki pola yang mirip dengan bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat di masa lalu tersebut. Masyarakat Using juga percaya, bila Barong Using miliknya memiliki kekuatan magis dari roh halus yang bersemayam didalamnya. Roh halus tersebut adalah roh Buyut Cili, sosok manusia sakti yang dulu dipercaya sebagai pendiri Desanya. Sosok manusia sakti ini dipercaya tidak hilang, tetapi bereinkarnasi menjadi wong alus yang bersemayam dalam simbol Barongnya tersebut. Sampai sekarang roh tersebut dipercaya menjaga Desa (roh penjaga Desa) yang keberadaanya masih turut campur terhadap kehidupannya melalui simbol Barong tersebut.

(4)

Dalam wujud fisiknya, simbol Barong Using tersebut hanyalah sebuah benda kayu yang tidak berbeda dengan benda-benda kayu lainnya. Barong ini dibedakan dengan benda-benda profan lainnya karena keistimewaannya sebagai tempat bersemayamnya roh penjaga Desa tersebut. Roh inilah yang menjadi tanda kesakralan sekaligus juga keistimewaan dari Barong tersebut. Kehendak-kehendak roh dalam Barong tersebut dipercaya murni, suci dan baik untuk keselamatan dan kesejahteraan seluruh warga masyarakat Using. Daya magisnya dipercaya mampu mencegah dan mengusir pagebluk, menyuburkan tanaman, dan memberi perlindungan sepanjang masa. Masyarakat Using percaya segala bentuk kebencanaan dan keberhasilannya dalam hidup berkolerasi dengan cara memperlakukan benda sakral (Barong Using) tersebut dalam kehidupannya.

Era globalisasi yang ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, transportasi, dan komunikasi, seringkali membuat bentuk-bentuk pensakralan seperti itu semakin tersingkir bahkan melemah dan pudar. Kondisi ini semakin diperburuk lagi ketika penetrasi agama-agama monotheis juga ikut mengepung dari segala penjuru. Akan tetapi kenyataan seperti ini tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat Using di Kemiren tersebut. Pensakralan Barong tetap dapat bersanding dengan kehidupan keagamaannya maupun kemodernannya, walaupun keduanya merupakan sesuatu yang terpisah. Kenyataan ini memperlihatkan bila, tindakan pensakralannya memiliki arti dan fungsi tersendiri dalam sistem kepercayaan maupun kehidupannya yang modern tersebut. Oleh karena itu, fokus tulisan ini adalah, memahami arti dan fungsi pensakralan tersebut dalam sistem kepercayaanya maupun kehidupan modern yang melingkupinya.

KONSEPSI SAKRAL DAN PROFAN

Pensakralan Barong Using tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: Barong sebagai sesuatu yang sakral dan yang sosial. Aspek pertama dapat merujuk pada pandangan sakral menurut Mircea Aliade (1956) dalam bukunya The sacred and

the Profane, dan aspek kedua pada Durkheim (1912) dalam bukunya The Elementary form of The Religious Life. Kedua tokoh ini telah memberi

pendefinisian tentang sakral dan profan dengan cukup jelas untuk kedua aspek tersebut.

(5)

Dari sudut pandang Eliade (2002), hal-hal yang sakral merupakan sesuatu yang supernatural, luar biasa, mengesankan, dan penting. Sebaliknya, hal-hal yang

profan merupakan hal-hal yang biasa, wilayah urusan setiap hari, tidak disengaja

dan pada umumnya tidak penting. Hal-hal yang sakral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan dan dewa, sedangkan hal yang profan merupakan urusan manusia, yang dapat berubah-ubah dan sering kacau. Menurut Eliade (2002), hal-hal yang sakral bukan sebagai sesuatu yang sosial tetapi sebagai sesuatu yang supernatural, diluar duniawi, suci dan langgeng. Ia merupakan realitas yang benar-benar nyata dan manifestasinya berbeda secara menyeluruh dengan yang profan.

Berbeda dengan Eliade (2002), Durkheim (2011) melihat yang sakral adalah yang sosial, dan memiliki arti bagi klan, sedangkan yang profan adalah sebaliknya, dia hanya memiliki nilai bagi individu. Simbol dan ritual yang sakral tampak berbicara tentang yang supernatural, tetapi semua itu hanya penampakan luar, karena tujuan simbol hanya sekedar untuk membuat sadar orang akan tugas sosialnya sebagai anggota klan yang disimbolkan melalui dewa totemnya. Oleh karena itu, Durkheim (2011), mendefinisikan yang sakral sebagai hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan, sedangkan yang profan merupakan hal-hal tempat larangan-larangan tersebut diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari yang sakral. Terlihat disini yang sakral tampak sebagai sesuatu yang sosial.

Apabila merujuk pada pandangan Eliade (2002), maka jawaban teoritis terhadap fenomena pensakralan Barong Using di atas, adalah Barong Using tersebut merupakan perwujudan riil dari sesuatu yang sakral, karena simbol Barong dinilai sebagai manifestasi dari roh Buyut Cili yang supernatural. Penyembahan dan persembahan terhadap Barong, bukan karena wujudnya sebagai topeng kayu, tetapi karena Barong memiliki daya supernatural yang dinilai agung, dahsyat, dan luar biasa. Pancaran Buyut Cili yang dipercaya bersemayam dalam simbol Barong tersebut, telah menunjukkan kepada masyarakat tentang sesuatu yang sakral dan bukan hanya sekedar topeng kayu yang profan, berbentuk kepala Naga bercampur Harimau.

(6)

Sebaliknya apabila merujuk pada pandangan Durkheim (2011), maka simbol Barong Using tersebut merupakan simbol kolektif (sosial) dari masyarakat Using, yang difungsikan sebagai perekat dan keberlangsung hidup masyarakat Using itu sendiri. Pemujaan terhadap simbol Barong Using pada prinsipnya tidak memuja Barong Using sebagai sebuah benda (topeng kayu), tetapi pemujaan pada kekuatan

impersonal, yaitu: masyarakat itu sendiri. Agar kelangsungan masyarakat dan

simbolnya tetap dapat terjaga, maka diberlakukan larangan-larangan untuk tujuan tersebut. Mempertahankan pemberlakuan larangan berarti menjaga keberlangsungan simbol Barong, dan menjaga keberlangsungan simbol Barong berarti menjaga keutuhan dan kelestarian dari masyarakat Using itu sendiri. Barong Using dengan masyarakat Using pada prinsipnya sama. Dengan begitu, pemujaan dan pensakralan terhadap Barong, pada dasarnya merupakan pernyataan kesetiaan kepada simbolnya (totemnya), yang tidak lain adalah masyarakat Using itu sendiri.

DIMENSI SAKRAL DAN PROFAN BARONG USING

Mengacu pada pandangan Eliade (2002) dan Durkheim (2011) di atas, maka ada dua dimensi sakral yang dimanifestasikan simbol Barong Using dalam kehidupan masyarakat Using Kemiren. Pertama, dimensi supernatural yaitu: kekuatan magis dan gaib yang dipercayai memancar melalui simbol Barong Using itu sendiri. Dimensi ini dipercaya terus hidup dan mampu mempengaruhi kelangsungan hidup warga masyarakat secara keseluruhan. Dia bersifat gaib dan penghormatan terhadapnya dipercaya mampu memberikan rasa aman. Sebaliknya melalaikannya diyakini dapat mendatangkan wabah dan kebencanaan.

Kedua, dimensi sosial, yaitu: identitas diri sebagai Wong Using yang secara

simbolik juga termanifestasikan dalam simbol Barong tersebut. Identitas ini ditafsir dari arti simbol barong yang berarti bareng-bereng (bersama-sama). Antar sesama warga masyarakat Using wajib rukun dan saling tolong menolong dalam hidup, karena mereka adalah satu keturunan dan satu tubuh, yaitu: tubuh Barong itu sendiri. Dengan demikian, simbol Barong adalah wadah dari isi yang disakralkan, yaitu: nilai bareng-bareng tersebut. Nilai ini disakralkan karena disitu terletak harga diri dan identitas diri sebagai Wong Using. Pensakaralan Barong pada

(7)

prinsipnya adalah menjaga keberlanjutan dari nilai tersebut. Sampai sekarang kesakralan ini masih terjaga, karena hal itu adalah identitasnya.

Sebagai simbol sakral yang memiliki kekuatan supernatural, Barong Using sering dijadikan tumpuhan dalam penyelesaian berbagai permasalahan hidup warga masayarakatnya. Daya magisnya dipercaya bertuah untuk menyembuhkan segala macam penyakit, penyubur tanaman, pengusir hama, mengabulkan nadzar, memperlancar rejeki, mempertemukan jodoh, mensukseskan ujian sekolah, merujukkan konflik keluarga, dan berbagai macam persoalan hidup lainnya. Jika tanaman warga terserang hama, seseorang tinggal pergi ke makam Buyut Cili (roh

penjaga Desa yang merasuk ke topeng Barong Using) untuk mengambil sisa kembang kirim di nisannya dan menaburkannya di areal sawah yang terserang

hama. Jika kesulitan rejeki, jodoh, atau pekerjaan, seseorang tinggal mengadakan slametan ke makam tersebut dengan membawa sesaji tumpeng pecel pitik, lengkap dengan uborampenya. Begitu juga untuk persoalan nadzar, persiapan pernikahan, ujian sekolah, Pilkades, Pilkada atau konflik keluarga, semua bisa dikabulkan oleh Barong dengan lantaran mengadakan slametan ke makam Buyut Cili yang rohnya dipercaya bersemayam di dalam topeng Barong tersebut.

Sebaliknya, tuah magis tersebut juga bisa mendatangkan bencana bila simbol Barong tersebut dilecehkan atau dihina. Beberapa kejadian seperti: tabrakan di desa, anak KKN kesurupan, mesin pengaspal jalan macet, kematian anak kecil, dan kepala bocor sendiri setelah memukul gambar simbol Barong, dipercaya sebagai beberapa kejadian supernatural yang terjadi akibat melecehkan simbol Barong tersebut. Menurut kesaksian warga, semua itu bisa terjadi karena individu yang bersangkutan dengan sengaja memukul simbol Barong, menambahi ekor ditubuh Barong (aslinya tidak berekor), menghina kepala Barong yang miring, dan tidak melakukan slametan (memberi sesaji) sewaktu akan melakukan pekerjaan besar di desa (mengaspal jalan). Menurut kepercayaan masyarakat Using, kejadian-kejadian lain yang lebih tragis bisa saja terjadi, apabila seseorang tetap tidak mengindahkan pantangan-pantangan yang telah ditetapkan oleh Barong tersebut. Kekuatan-kekuatan magis seperti inilah yang dipandang masyarakat Using Desa

(8)

Kemiren sebagai sebuah dimensi sakral sebagaimana konsep sakral yang dikemukakan oleh Aliade (1956) di atas.

Sebagai simbol sakral yang berdimensi sosial, Barong Using telah dijadikan oleh masyarakat Using sebagai daya perekat dan penggerak seluruh warga masyarakatnya. Barong identik dengan nilai dan perintah untuk menjalani hidup dengan cara saling membantu, gotong royong, dan rukun dalam kebersamaan

(bareng-bareng). Nilai-nilai inilah yang disakralkan dan simbol Barong dipandang

sebagai manifestasinya (barong diartikan bareng-bareng). Oleh karena itu, siapapun bisa melihat ketika salah satu warga masyarakat Using sedang mendirikan rumah, hajatan perkawinan, sunatan, kelahiran anak, atau musibah kematian, seluruh warga masyarakat Using tanpa diperintah atau diundang, sudah datang dengan sendirinya untuk ikut bersama-sama merabot (rewang, membantu), melayat, sedekah, dan bergotong royong. Semua gerak sosial seperti ini terjadi dengan spontan sebagai kewajiban yang mengikat.

Apabila Durkheim (2011) menyatakan sesuatu yang sakral adalah sesuatu yang diberi larangan-larangan, maka nilai-nilai yang diperintahkan oleh simbol

Barong (bareng-bareng) tersebut juga berlaku di dalamnya. Perintah itu

disakralkan, karena meninggalkannya berarti melanggar kesakralannya dan karena itu dilarang. Semua ini bukan tanpa alasan, karena semua nilai yang disakralkannya tersebut telah tersimbolkan dalam tubuh Barong itu sendiri. Sebagai contoh, dua pasang sayap Barong adalah simbol dari nilai sebuah pasangan rumah tangga yang harmonis, mahkota Barong simbol kerendahan hati (tidak sombong) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, junduk Barong simbol semanggat kerja keluarga, keling Barong simbol pengingat (eling) terhadap anggota keluarga, dan lain sebagainya. Dengan begitu, simbol Barong adalah lambang dari keharmonisan sebuah rumah tangga. Arti sakral simbol Barong secara sosial sebenarnya adalah pensakralan terhadap nilai-nilai yang dikandungnya tersebut.

Dalam pandangan hidup masyarakat Using Desa Kemiren, nilai-nilai tersebut harus tetap disakralkan karena hanya dengan nilai-nilai tersebut mereka tetap dapat merasa sebagai satu keluarga, satu rumah tangga dan satu leluhur. Kesatuan ini dipersonifikasikan ke dalam satu tubuh, seperti tubuh Barong yang

(9)

disakralkannya tersebut. Diri, keluarga, dan masyarakatnya pada prinsipnya adalah satu tubuh yang sakral, karena semua unsur yang ada di dalamnya terdapat dalam satu tubuh simbol Barong yang disakralkannya. Oleh karena itu, menjaga kesakralan Barong berarti juga menjaga kesakralan nilai-nilai yang disimbolkannya dan menjaga nilai-nilai yang disimbolkannya tersebut berarti juga menjaga kelangsungan hidup dari diri masyarakat Using itu sendiri. Kenyataan ini memperlihatkan bila penyatuan nilai-nilai sakral kepada simbol-simbol sakral, akan berimplikasi pada terjaganya masyarakat itu sendiri dalam kesakralan. Hal ini berarti pensakralan simbol Barong adalah pensakralan terhadap nilai, dan pesakralan nilai merupakan upaya pensakralan terhadap masyarakatnya sendiri. Dengan kata lain, pensakralan simbol Barong Using di atas, pada prinsipnya adalah pensakralan terhadap masyarakat Using itu sendiri karena simbol Barong identik dengan manifestasi dari diri masyarakat Using itu sendiri.

Di luar kedua dimensi kesakralan yang telah dideskripsikan di atas, simbol

Barong dipercaya bernilai profan. Di sinilah letak keambiguan pensakralan simbol

tersebut dalam sistem kepercayaan masyarakat Using Desa Kemiren, secara keseluruhan. Seperti banyak diketahui, dalam kebanyakan masyarakat tradisional, simbol sakral seperti itu, pada umumnya dikeramatkan dengan ketat dan hanya dikeluarkan pada saat diritualisasikan. Akan tetapi pada simbol Barong Using, semua itu tidak berlaku. Simbol ini, selain disakralkan ke dalam dua dimensi tersebut, juga diprofanisasi untuk acara-acara pertunjukan kesenian yang diselenggarakan oleh warga masyarakat Using sendiri. Simbol ini sering dipentaskan melalui pertunjukan kesenian Barong yang disewa dalam acara hajatan (pernikahan, sunatan), bersih desa, atau acara-acara nadzar lainnya. Kini, simbol ini telah menjadi sumber rejeki bagi para pengusungnya (kelompok kesenian

Barong Tuwek) yang notabene warga masyarakat kecil.

Namun, seperti sebuah permainan sulap, di tengah-tengah klimak pertunjukannya (pukul 4.30 pagi) simbol Barong tersebut kembali meneguhkan daya kesakralannya. Seorang penari yang membawakannya di buat mabok (keserupan, trans), dan mengerang seperti seekor macan. Tangannya mencengkeram, tubuhnya kaku, matanya melotot, seolah-olah menyerupai simbol

(10)

Barong yang disakralkannya. Selain bertingkah seperti perilaku seekor macan

(harimau), dia juga mengunyah-mengunyah daun pohon santan yang telah dihidangkannya. Meski tidak ada sejarah seekor harimau menyukai dedaunan, tetapi pentas pertunjukan ini seperti ingin menunjukkan bila peristiwa sakral melampaui kejadian yang natural. Selang berapa lama, penari barong yang mabuk tadi disadarkan kembali dan bersamaan dengan itu pentas pertunjukan diakhiri.

Di sinilah letak keunikan sekaligus keambiguan dari kesakralan simbol sakral Barong tersebut. Simbol tersebut dapat mempertukarkan dimensi sakral dan profan sewaktu-waktu, yang hal itu kurang lazim terjadi pada kebanyakan simbol sakral. Terlepas dari keunikan dan keambiguan ini, pertunjukkan tersebut secara tidak langsung telah menjadi bagian dari pengukuhan dan peneguhan dari kesakralan simbol Barong itu sendiri. Melalui pertunjukannya, simbol itu berhasil mengukuhkan kembali kesakralannya, walaupun bagi orang luar masih menimbulkan banyak pertanyaan. Hal ini dapat diartikan bila persoalan kesakralan perlu untuk dimanisfestasikan dan bukan hanya dikeramatkan dalam suatu ruang yang terlarang. Barangkali, selain untuk membuktikan bila kesakralan itu nyata, pertunjukan tersebut juga ingin memperlihatkan bila kesakralan butuh pengakuan. Jika tujuan pementasan tersebut adalah untuk mencapai hal ini, maka pertunjukkan kesenian Barong Using tersebut, telah berhasil membuktikan semua itu dalam pikiran dan hati masyarakatnya. Dengan begitu, dapat dinyatakan sepanjang simbol

Barong tersebut terus mampu memanifestasikan sesuatu yang sakral dan profan

sebagai kekuatan pengikat antara dirinya dengan warga masyarakatnya, maka sepanjang itu pula kesakralan Barong sebagai simbol yang supernatural dan sosial tetap dapat memperoleh legitimasi di hati masyarakatnya.

SESEMBAHAN DAN PERSEMBAHAN SAKRAL BARONG USING

Untuk menjaga nilai kesakralan dan kekeramatan tetap terjaga, maka perlu dilakukan ritus dan ritual terhadap simbol-simbol yang disakralkannya. Ritus dan ritual ini diantaranya dapat dilakukan dengan cara menempatkan simbol sakral tersebut sebagai objek sesembahan dan persembahan. Sesembahan menempatkan simbol sakral sebagai objek pemujaan, sedangkan persembahan meletakkan simbol tersebut sebagai objek yang diberi sesaji atau makanan suci. Meminjam istilah

(11)

Geertz (1992), bentuk ritual seperti ini, selain menggambarkan adanya dunia yang

supernatural (gaib, adikodrati) juga mengekspresikan adanya perasaan, motivasi2,

suasana hati3, dan tindakan dari yang memuja dan memberi persembahan. Tujuanya

adalah agar tindakan pemujaan dan persembahan tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan melalui simbol-simbol yang disakralkannya tersebut.

Seperti yang dilakukannya selama ini, masyarakat Using Desa Kemiren, juga telah menempatkan Barong Using miliknya sebagai objek sesembahan dan persembahan tersebut. Sebagai objek sesembahan, Barong disungsung (dipuja) sebagai simbol keramat, bertuah dan dipercaya mampu menjadi media pelantara dalam memperoleh keselamatan, rejeki dan terhindar dari wabah kebencanaan (pagebluk). Sebagai objek persembahan, Barong tersebut selalu diberi sesaji agar kekuatan gaib dan magis yang berada di dalamnya tetap dapat terjaga dan terpelihara. Sesaji persembahan diberikan setiap Minggu malam Senin, dan Kemis malam Jum’at, dalam wujud asap kemenyan, yang terkadang disertai kembang

kirim (bunga empat warna: merah, putih, kuning, hijau, dan minyak wewangian).

Tindakan-tindakan ritual juga selalu dilakukan dalam setiap prosesi sesembahan (pemujaan) dan persembahan tersebut. Prosesi ritual diawali dengan ucapan salam (assalamu’alaikum), penyampaian niat dan tujuan, pemberian sesaji, pembacaan mantra, dan salam penutup (assalamu’alaikum). Prosesi seperti ini lazim dilakukan di dua tempat, yaitu: dirumah tempat penyimpanan simbol Barong

Using (rumah milik trah pewaris Barong), dan di Makam Keramat Buyut Cili.

Hanya bedanya, jika di rumah penyimpanan Barong, prosesi ritual hanya dilakukan oleh tetua pewaris Barong, sedangkan di makam Buyut Cili bisa dilakukan oleh siapapun melalui perantaraan seorang pengabul (pemimpin ritual). Baik dirumah penyimpanan Barong maupun makam Buyut Cili, keduanya memiliki nilai kesakralan yang sama, karena keduanya sama-sama ditujukan untuk roh Buyut Cili.

2 Motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri individu baik secara sadar atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu. Pencapaian tujuan ini dibimbing oleh serangkain nilai-nilai ideal moral, yang dianggap baik dan benar (Geertz, 1992).

3 Suasana hati merupakan perasaan yang berubah-ubah akibat adanya rangsangan simbol-simbol sacral yang berasal dari sebuah fakta riil. Suasana hati muncul karena agama (parktik ritual serupa) mengisi diri individu dengan sesuatu yang penting yaitu: konsep tentang tatanan dunia yang umum (Geertz, 1992; Pals, 2001). Bersama motivasi, suasana hati, secara bersama-sama terletak pada inti dalam agama atau praktik-pratik ritual semacamnya.

(12)

Hanya saja, ritual di rumah penyimpanan Barong relatif lebih sederhana dan ringkas, apabila dibandingkan dengan ritual di makam Buyut Cili. Ritual di rumah penyimpanan Barong cukup dilakukan dengan membakar kemenyan oleh seorang pewaris sekaligus penjaga Barong, sedangkan di makam Buyut Cili memerlukan seorang pengabul, para saksi (undangan) dan seperangkat sesaji tumpeng pecel

pitik. Begitu juga dengan prosesi ritual yang dilakukan dirumah penyimpanan Barong lebih ringkas dibandingkan dengan di makam Buyut Cili. Pada rumah

penyimpanan Barong cukup dengan dibakarkan kemenyan, sedangkan dimakan

Buyut Cili, harus didahului dengan salam, melepas alas kaki ketika memasuki

makam, menghaturkan sesaji tumpeng pecel pitik ke roh Buyut Cili, membakar kemenyan dan memberi sebungkus rokok kretek kepada Buyut Cili laki-laki dan seperangkat kebutuhan untuk menginang untuk Buyut Cili perempuan. Setelah semua terpenuhi, proses masih dilanjutkan dengan pembacaan mantra oleh pengabul, pembacaan doa penutup dan diakhiri dengan memakan sesaji tumpeng

pecel pitik yang telah disucikan (didoakan) dan diserap sarinya oleh roh Buyut Cili.

Di sini terlihat bila unsur yang menjadi sesembahan dan diberi persembahan bukanlah topeng Barong dalam wujud fisiknya, yaitu: sebuah topeng kayu berukir

Barong, tetapi roh Buyut Cili yang dipercaya bersemayam di dalamnya dan

dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Apabila merujuk pada pandangan Eliade (2002) dan Durkheim (2011) di atas, unsur yang disembah dan diberi persembahan tersebut bukanlah sesuatu yang profan (topeng kayu) tetapi sesuatu yang sakral. Sesuatu yang sakral tersebut adalah kekuatan supernatural yang dipancarkan oleh roh-roh leluhurnya, yaitu: roh Buyut Cili tersebut. Roh ini dipercaya sakti, agung, dan suci, sehingga diyakini mampu membantu menyelesaikan segala permasalahan dan memenuhi segala keinginan seluruh warga masyarakatnya.

Selain itu, prosesi ritual di atas juga memperlihatkan bila sesembahan dan persembahan sakral terhadap simbol Barong Using tersebut, bukan hanya milik satu kelompok atau satu keluarga pewaris Barong, tetapi telah menjadi milik seluruh warga masyarakat Using Desa Kemiren, bahkan setiap orang yang mempercayainya. Setiap hari sakralnya (Minggu malam Senin, dan Kemis malam

(13)

Jum’at), banyak warga masyarakat umum yang melakukan sesembahan dan persembahan kepada simbol Barong tersebut di makam keramat Buyut Cili. Mereka melakukan ritual dengan berbagai maksud dan tujuan, seperti antara lain: mencari kesembuhan penyakit, menyampaikan keinginan, memberitahu akan menyelenggarakan pesta perkawinan, dan memenuhi nadzar setelah keinginan yang disampaikan sebelumnya telah terkabul.

Prosesi-prosesi ritual sesembahan dan persembahan tersebut dapat dikatakan sebagai ritual pensakralam simbol Barong yang rutin dilakukan dihari-hari sakralnya. Puncak ritual kesakralan pemujaan simbol ini, sebenarnya terletak pada ritual tahunan yang disebut dengan Ritual Barong Ider Bumi. Ritual ini diselenggarakan setiap tanggal 2 syawal atau pada hari ke-2 lebaran Idul Fitri. Prosesi sakralnya dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: slametan bukaan, arak-arakan pembersihan (ider bumi), dan slametan tutupan. Slametan bukaan merupakan ritual penyucian Barong di makam Buyut Cili, kemudian arak-arakan pembersihan merupakan ritual pengusiran dan pencegahan pagebluk dengan daya magis dan kekuatan supernatural Barong, dan slametan tutupan merupakan ritual memakan sesaji tumpeng pecel pitik secara bersama setelah disucikan dan dihisap sarinya oleh kekuatan supernatural Barong.

Apabila merujuk kembali pada pandangan Eliade (2002) dan Durkheim (2011) di atas, keseluruhan ritual sesembahan dan persembahan terhadap simbol sakral Barong Using tersebut, juga menggambarkan arti sakral sebagai sesuatu yang

supernatural seperti pernyataan Eliade (2002), dan sosial seperti dikatakan

Durkheim (2011). Dimensi supernaturalnya terletak pada kepercayaan akan adanya tuah, dan daya magis dari simbol Barong tersebut, sedangkan dimensi sosialnya terletak pada kekuatan simbol tersebut sebagai pengikat kebersamaan masyarakat sebagai satu kesatuan masyarakat Using yang satu tubuh, satu keluarga, satu rumah tangga dan satu leluhur. Puncak ritual sakral Barong Ider Bumi dan ritual-ritual di hari sakral di atas, sekurang-kurangnya telah menggambarkan kedua dimensi tersebut kedalam satu realitas bersama. Meski semua ini bukan khas kehidupan masyarakat Using Desa Kemiren, tetapi semua ini telah menunjukkan bila ritual

(14)

sesembahan dan persembahan kepada simbol sakral masih mampu bertahan dalam kehidupan masyarakat yang modern dan mengglobal seperti sekarang ini.

MAKNA DAN FUNGSI PENSAKRALAN BARONG USING

Berdasarkan paparan deskriptif di atas, makna dan fungsi pensakralan Barong

Using dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: religi dan sosial. Makna dan fungsi religi

berwujud kepercayaan kepada Barong Using sebagai simbol yang memiliki kekuatan supernatural (adikodarti, gaib), sedangkan secara sosial sebagai simbol kebersamaan yang mengikat dan mempererat kesatuan masyarakat Using untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup diri dan masyarakatnya.

Era global seperti sekarang ini, membuat makna dan fungsi tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian secara dinamis. Seperti yang ditunjukan dalam dinamika kehidupan masyarakat Using, makna religi dan sosial tersebut terus disesuaikan dengan kebutuhan hidup warga masyarakatnya. Makna dan fungsi religi bukan hanya sebatas supernatural dan impersonal, tetapi juga melebar kepada fungsi ekonomi, wisata, dan budaya. Begitu juga dengan makna dan fungsi sosialnya. Pensakralan tersebut bukan hanya untuk ikatan kebersamaan

(bareng-bareng) warga masyarakat Using, tetapi juga untuk penegas identitas diri sebagai Wong Using, penyelesaian ketegangan sosial, pemberi kepastian bebas bencana,

dan ikon desa wisata sejak tahun 1996.

Makna dan fungsi religi sebagai fungsi ekonomi terlihat pada berkembangnya praktik komersialisasi pembuatan tumpeng pecel pitik dikalangan warga masyarakat Using. Ramainya pengunjung ke makam Buyut Cili, membuat beberapa warga masyarakat Using menyediakan jasa pembuat tumpeng pecel pitik untuk sesaji slameten persembahan kepada Barong dan Buyut Cili yang sakral. Umumnya, satu tumpeng pecel pitik bernilai antara Rp. 250.000-350.000 tergantung besar kecilnya ayam dan sesaji yang dibutuhkan. Pemesanan tumpeng dapat dilakukan sehari atau tiga hari sebelumnya, dari waktu sakral persembahan, yaitu: pada hari Minggu malam Senin, dan Kemis malam Jum’at.

Sebagai fungsi wisata, pensakralan Barong dapat dilihat dalam fungsinya sebagai salah satu sajian atraksi wisata. Fungsi ini diperlihatkan pada puncak peringatan pensakralannya, yaitu: setiap acara ritual Barong Ider Bumi, pada 2

(15)

syawal. Dalam ritual ini, simbol Barong dimaknai dan difungsikan sebagai simbol sakral sekaligus atraksi wisata yang bernilai tontonan dan tuntunan. Simbol Barong diarak keliling desa sebagai simbol sakral sekaligus sebagai atraksi religi yang bernilai hiburan. Kekuatan supernaturalnya, dipercaya dapat menyuburkan tanaman, dan mengusir pagebluk, di samping itu, sebagai tontonan yang menghibur.

Untuk fungsi dan makna budaya, terlihat pada pemungsian simbol ini sebagai warisan tradisi budaya leluhur masyarakat Using. Pensakralan Barong dimaknai sebagai kearifan budaya yang mentradisi dari leluhur masyarakat Using yang asli. Sejak dikukuhkan sebagai simbol sakral pada tahun ± 1873, kesakralanya terus dijaga dari generasi ke generasi. Kemampuan menjaga ini, menjadikan Barong tersebut dinilai sebagai salah satu karya budaya asli masyarakat Using yang bernilai keramat. Tuah kekeramatan ini terus dijaga dan diturunkan secara turun temurun dalam satu trah keluarga pewaris Barong. Sampai sekarang, pewaris kekaramatan tersebut sudah sampai ke keturunan yang ke-5 dari garis keturunannya yang pertama pada tahun ± 1873.

Selain beberapa aspek pemaknaan dan pemungsian secara religi tersebut, kesakralan Barong juga dimaknai dan difungsikan secara sosial. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada tiga bentuk pemaknaan dan pemungsian secara sosial, yaitu sebagai berikut: sebagai penegas identitas diri Wong Using, penyelesaian ketegangan sosial, pemberi kepastian bebas bencana, dan ikon desa wisata. Untuk pemaknaan dan pemfungsian sebagai penegas identitas diri Wong Using, terlihat pada pemungsian simbol ini sebagai manifestasi dari diri orang Using, yang berwatak egeliter, demokratis, lemesan (fleksibel), dan satu keturunan. Identitas ini dipandang melekat pada simbol Barong dan bersifat sakral bagi seluruh warga masyarakat Using Desa Kemiren. Watak-watak ini dipandang sebagai darah daging mereka sendiri yang disimbolkan melalui Barong tersebut. Oleh karena itu, menjaga kesakralannya merupakan kewajiban seluruh warga masyarakat Using karena hal itu adalah darah dari tubuhnya sendiri.

Untuk makna dan fungsi sebagai penyelesai ketegangan sosial, terlihat pada makna simbol Barong sebagai lambang kebersamaan (barêng-barêng) dan

(16)

kerukunan (kêmroyok). Makna ini disakralkan karena hal itu adalah cara mereka hidup dan mempertahankan diri sebagai Wong Using di atas. Untuk menjaga kelangsungan kesakralan tersebut, makna nilai ini telah diidentikkan dengan simbol

Barongnya yang dimaknai sebagai perwujudan dari semangat kebersamaan (barêng-barêng). Selain itu, semangat ini juga telah dipahatkan ke dalam satu

lambang kolektif (lambange lare Using) yang bertuliskan,”kemroyok mikul

rencana nyoto” (bersama-sama mengerjakan rencana nyata). Cara-cara

pemeliharaan seperti inilah yang menjadikan nilai kêmroyok dan barêng-barêng tersebut tetap memiliki nilai sakral sampai sekarang.

Untuk makna dan fungsi sebagai pemberi kepastian bebas bencana, terlihat pada fungsi Barong sebagai pengusir pagebluk atau wabah kebencanaan. Fungsi ini diperlihatkan secara penuh dalam ritual Barong Ider Bumi yang diselenggarakan setiap tahun pada 2 syawal tahun Hijriah. Dalam ritual ini, simbol Barong diarak keliling desa, agar daya magisnya mampu mengusir pagebluk yang dipandang berulang dalam setiap tahunnya. Selain itu, kekuatan saktinya juga diharapkan mampu mendatangkan kesuburan tanaman, memberi perlindungan dan mencegah datangnya bencana seperti yang pernah terjadi pada tahun 1840.

Untuk makna dan fungsi sebagai ikon desa wisata, terlihat pada fungsi simbol ini sebagai maskot promosi pariwisata sejak tahun 1996. Simbol ini telah dijadikan

branding promosi wisata di desanya maupun di seluruh wilayah Kabupaten

Banyuwangi. Tuah kesakralannya telah dikomodifikasi sebagai aset wisata potensial selain sebagai bentuk kepercayaan dari warga masyarakatnya.

Terlihat dalam keseluruhan paparan di atas bahwa makna dan fungsi pensakralan simbol Barong terus mengalami dinamisasi dan penyesuaian-penyesuaian dengan arus global yang melingkupinya. Dinamisasi ini, selain difungsikan untuk beradaptasi juga integrasi bagi seluruh komponen kehidupannya yang terus berubah dan membutuhan revitalisasi. Dalam konteks seperti ini, pensakralan simbol Barong di atas, memiliki makna dan fungsi yang sangat penting. Seperti yang telah terlihat, pensakralan tersebut telah mampu menjadi sarana bagi warga masyarakatnya dalam mewujudkan kembali kondisi equilibrium (keseimbangan) dalam kehidupan sosialnya. Kenyataan ini memperlihatkan bila

(17)

pensakralan Barong tersebut, telah mampu memenuhi kebutuhan sistem dalam masyarakatnya, baik menyangkut sistem yang berkaitan dengan kepercayaannya, maupun kehidupan sosialnya.

Jika mengacu pada paradigma fungsi yang memandang bahwa ritual-ritual dalam religi memiliki fungsi pengikat atau telah menjadi simpul pengikat yang kuat antar individu dalam masyarakat (Poloma, 1987, Turner, dan Maryanski, 1979), maka ritual pensakralan simbol Barong tersebut telah mampu memenuhi fungsinya. Ritual pensakralannya telah membuktikan diri mampu berfungsi sebagai kekuatan yang merukunkan (kanggo ngrukunake) sekaligus mengitegrasikan seluruh warga masyarakatnya dalam kondisi yang equilibrium tersebut.

Kenyataan ini memperlihatkan bila ritual pensakralan Barong tersebut telah mampu berfungsi sebagai simbol integrasi sekaligus kerukunan bagi seluruh warga masyarakat Using Desa Kemiren. Dengan kata lain, pensakralan Barong tersebut telah mampu berfungsi sebagai penjaga keutuhan sosial, pelestari keharmonisan, dan penghilang kekhawatiran-kekhawatiran terhadap kebencanaan. Era global dan modern yang dikhawatirkan akan melibas terhadap ketradisiannya, justru diadaptasi sebagai salah satu potensi yang mampu mendukung eksistensinya. Keduanya dapat saling mengisi untuk terwujudnya kehidupan tradisi yang selaras dengan kebutuhan global.

PENUTUP

Tulisan ini telah memperlihatkan persoalan sakralitas ke dalam dua dimensi, yaitu: sakral sebagai sesuatu yang supernatural dan sosial. Sebagai sesuatu yang supernatural, persoalan sakralitas telah menjadi bagian dari religi (kepercayaan) masyarakat, sedangkan sebagai sesuatu yang sosial telah menjadi pengikat kebersamaan dan kerukunan hidup masyarakat. Penampakan wujud sakralitas seperti ini telah diperlihatkan secara jelas dalam praktik pensakralan Barong Using, dalam kehidupan tradisi masyarakat Using Kemiren.

Masyarakat Using mempercayai bila simbol Barong Using miliknya memiliki kekuatan supernatural dan sosial. Kekuatan supernaturalnya terletak pada tuah (kesaktian) Barong sebagai pengusir wabah dan kebencanaan, sedangkan kekuatan sosial terletak pada kemampuannya menjadi simbol perekat kebersaman

(18)

dan kerukunan warga masyarakat Using. Dua kekuatan ini membuat simbol Barong dijadikan objek sesembahan dan persembahan sakral bagi warga masyarakat Using dan seluruh masyarakat umum yang mempercayainya.

Persembahan sakral ini, selain ditujukan untuk menegaskan yang supernatural tersebut, juga untuk mengikat kebersamaan dalam masyarakatnya. Berbagai ritual sakral diselenggarakan setiap Minggu malam Senin, dan Kemis malam Jum’at untuk mencapai maksud tersebut. Puncak pensakralannya dilakukan pada ritual barong ider bumi yang diselenggarakan setiap tahun pada 2 Syawal Hijriah. Dalam ritual ini selain ditunjukkan kesakralan Barong, juga diteguhkan pentingnya kebersamaan dan kerukunan sebagai cara hidup masyarakat Using.

Era global dan modern telah membuat arti dan fungsi kesakralannya mengalami penyesuaian-penyesuaian. Selain sebagai simbol sakral yang supernatural, juga sebagai simbol sosial yang mempertegas identitas dirinya sebagai Wong Using, menyelesaikan berbagai ketegangan sosial, pemberi kepastian bebas bencana, dan Ikon Desa Wisata. Fungsi dan makna ini terus tumbuh secara dinamis bersama kebutuhan masyarakatnya yang semakin modern dan mengglobal.

DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaja, T.W., 1988. Ritual Tradisional Mayarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Beatty, A., 2001.Variasi Agama Jawa Suatu Pendektan Antropologi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Dhavamony, M.S., 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Durkheim, 2011. The Elementary Forms of The Religious Life. (Terjemahan oleh: Inyiak Ridwan Muzir, dkk).Yogyakarta: IRCiod.

Evans-Pritchard, E.E., 1984.Teori-teori tentang Agama Primitif. Yogyakarta: Pusat latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M).

Eliade, M., 1959.The Sacred and The Profane: The Nature Relegion The Significance of Religious Myth, Symbolism and Ritual Within Life and Nature. New York: Harcourt, Brace & Word, Ins.

______, 1961.Images and Symbols, Studies in Religious Symbolism (Translated by Philip Mairet). Kansas City: Sheed Andrews and Mc Meel, Inc.

..., 2002. Sakral dan profan. (Terjemahan oleh: Nurwanto). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Frazer, J.G., 1910. Totemism and Exogamy: A Treatise on Certain Early Forms of Superstition and Society. London: Mc Millan & Co.

(19)

Geert, C., 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Penerjemah: Aswab Mahasin). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

________, 2000.Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Haviland, W.A., 1993. Antropologi Jilid 2 (Alih bahasa R.G. Soekadijo). Jakarta:

Penerbit Erlangga.

Keesing, R.M., 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer Jilid 2 (Alih bahasa R.G. Soekadijo). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kruyt, A.C., 1906. Het Animisme in den Indischen Archipel. Den Haag. Koentjaraningrat, 1984.Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

_____________, 1990.Sejarah Teori Antrologi 2. Jakarta: Universitas Indonesia. _____________, 1992.Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Lang, A., 1898. The Making of Religion. London: Longmans, Green, and Company.

Leach, E., 1976.Culture and Communication: The Logic by Which Symbols are Connected an Introduction to The Use of Structuralist Analysis in Social Anthropology. Cambridge University Press.

Malinowski, B., 1948. Magic, Science, and Religion& Other Essays.A Condor Book Souvenir Press LTO Bristol.

Poloma, Margaret M., 1987. Sosiologi kontemporer. Jakarta Rajawali bekerjasama dengan Yayasan Solidaritas Gadjah Mada.

Soehadha, M., 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

______, M., 2014.Fakta dan Tanda Agama Suatu Tinjauan Sosio-Antropologi. Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.

Serad, L., 2001. “Asal-usul Slametan Ider Bumi”, Brosur dalam Ritual Ider Bumi. Kamiren.

Sutarto, A. 2006.“Sekilas tentang Masyarakat Using” dalam Makalah Kegiatan Jelajah Budaya. Yogyakarta: BPSNT.

Suhardi, 2009. “Ritual pencaharian Jalan Keslametan Tataran Agama, dan Masyarakat Perspektif Antropologi”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi.Yogyakarta: FIB—UGM.

_______, 2009a.Alam Religi Solidaritas Sosial di Papua, dan Jawa. Yogyakarta: PSAP-UGM.

Turner, Jonathan H., dan Alexandra Maryanski, 1979. Fuctionalism, the Benjamin/Cumming publishing company. Terjemahan: Fugsionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tylor, E.B., 1958. Religion in Primitive Culture. New York: Harper & Row. Tim Penelitian Lapangan Antropologi FIB-UGM., 2008. Menyibak Ranah Using:

Sebuah Catatan Etnografis Masyarakat Using. Yogyakarta: Jurusan Antropologi, FIB-UGM.

Wessing, R., 1999. “A Dance of Life, The Seblang of Banyuwangi, Indonesia” dalam Journal of Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Lieden: Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde, KITLV.

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data diperoleh dengan studi pustaka, dokumentasi(kamera,alat perekam,literatur), observasi, dan wawancara. Adapun alat bantu yang digunakan dalam

Yaitu data yang digunakan oleh penulis untuk mendukung pembahasan-pembahasan yang ada dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sebagai

Pada sistem ini mikrokontroler ATmega8535 dapat dijadikan komponen utama pengukur nilai arus RMS jala-jala listrik hingga 5 A dengan galat absolut di bawah 5 %. Galat

Hasil penelitian adalah sebagai berikut ; (1) persiapan sapi induk sebelum melahirkan meliputi pemindahan sapi ke dalam kendang transisi dan kandang maternity,

Tabel 5.3 Gambaran Perilaku Berisiko Terinfeksi Toxoplasma gondii Terkait Praktik Higiene dan Sanitasi pada Pedagang Daging di Pasar Tradisional Kabupaten

Penunjang Medis, Radiodiagnostik, Diagnostik Elektromedik, Pelayanan Medis Gigi, Rehabilitasi medis dan atau pelayanan lainnya dibayar terpisah oleh pasien sesuai

Biaya produksi usahatani tanaman pangan per ha sesuai kelembagaan tenaga kerja pada usahatani diketahui bahwa biaya tersebut bagi petani yang menggunakan tenaga kerja upahan

Target pada penelitian berikutnya adalah penggabungan analisis dari kedua hasil penelitian sebelumnya dan saat ini, yaitu klasifikasi warna objek dengan metode