• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES BERPIKIR SISWA QUITTER PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Sudarman

Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Tadulako

ABSTRACT

This research question was what the thinking process of the quitter of the junior high school students in solving mathematical problems was. This research was an explorative qualitative research, which was conducted in the grade VII students of the Integrated Model of State Junior High School of Madani in Palu. The research subject was only one quitter student. In grouping students into three categories, it was used an adversity response profile. This research was aimed to describe the thinking process of the quitter, camper and climber of the junior high school students in solving mathematical problems. The research findings were that the thinking process of the quitter student in understanding and devising a plan to solve mathematical problems was reflective abstraction and assimilation at once. In carrying out the plan and looking back the solution of the mathematical problems, she did the thinking process with pseudo-empirical abstraction and assimilation at once. He was able to mention that the given case was: Aman had 14 more candies than Budi had, the number of their candies is 56, and then asked: how many candies did each has? She could identify the case given and asked by looking at statement and the interrogative or imperative sentences of the mathematical problems. She planned to solve problems as the following: providing 56 candies, giving 14 candies to Aman, sharing two groups candies left, counting candies which each had. She carried out problems as the following: (1) taking 56 candies from a can, (2) giving 14 candies to Aman, (3) giving 1 candy to Aman and 1 candy to Budi and so forth until the remainder was zero, each of both Aman and Budi recieved 21 candies, and (4) counting their candies which each had, Aman received 35 candies and Budi received 21 candies. She looked back the solution as the following: (1) taking 35 candies, taking 21 candies, they were combined to be 56 candies to check the conformity to the case given, namely, the number of their candies as 56, (2) taking 35 candies, taking 21 candies, they were taken away to be 14 candies to check the conformity to the case given, namely, Aman’s candies were 14 more than Budi’s. The quitter student manipulated the concrete object in solving problems and looking back the solution of the solution of the problems.

Key Words: Adversity quotient, problem solving, abstraction,.assimilation, and accommodation.

A. PENDAHULUAN

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan mengatasi masalah (daya juang), yaitu kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang menghadangnya Beberapa istilah yang sering dipadankan dengan AQ, misalnya kecerdasan ketangguhan (Efendi, 2005) dan (Sumardi, 2006), kecerdasan ketahanmalangan (Candiasa, 2006), potensi kegigihan (Subiyanto, 2006), kehandalan mental (Laksomono, 2006), kecerdasan keuletan dan tahan banting (Sumardi, 2006).

Stoltz (2000) mengelompokkan orang ke dalam tiga kategori AQ, yaitu: quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi). Dengan demikian siswa memiliki AQ rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut disebut siswa quitter, camper, dan climber. Siswa quitter berusaha menjauh dari permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan memilih mundur, dan tidak berani menghadapi permasalahan.

(2)

Mereka yang quitter cenderung akan berhenti di tengah jalan ketika pesaingnya terus berjalan tanpa henti. Stoltz (2000) mengemukakan karakteristik orang quitter sebagai berikut: (a) menolak untuk ”mendaki”, (b) bekerja sekedar untuk hidup, (c) cenderung menghindari tantangan, (d) jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati, (e) cenderung menolak perubahan, (f) terampil menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, misalnya: tidak mau, mustahil, ini konyol, belum waktunya, bukan macam saya, dsb., (g) kemampuannya kurang, (h) tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, dan (i) konstribusinya dalam tim sangat kecil.

Peserta didik, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai perguruan tinggi belajar matematika. Khusus pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, siswa belajar matematika yang oleh Soedjadi (2000) disebut matematika sekolah. Salah satu karakteristik matematika adalah objek kajiannya abstrak. Sehingga belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi Menurut Hermes (dalam Marpaung, 1999) semua konsep matematika memiliki sifat abstrak sebab hanya ada dalam pikiran manusia. Hanya pikiran yang dapat ”melihat” objek matematika. Sifat abstrak matematika tersebut juga ada pada matematika sekolah. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya guru mengajarkannya.

Seorang guru harus berusaha menjembatani dengan menggunakan benda konkret untuk ”mengurangi” sifat abstrak objek matematika itu sehingga siswa dapat menangkap pelajaran matematika di sekolah. Menurut Soedjadi (2000) seorang guru matematika, sesuai dengan perkembangan siswanya, harus mengusahakan agar fakta, konsep, operasi ataupun prinsip dalam matematika itu terlihat konkret.

Namun pada kenyataannya ada guru matematika yang mengajar tanpa memperhatikan hal tersebut. Hal inilah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sebagian siswa mempunyai kesan negatif terhadap matematika, misalnya: matematika dianggap sebagai momok (Yaniawati, 2007), matematika menakutkan (Sulaepin, 2007; Lasedu, 2006), matematika sulit dan membosankan (Becker & Schneider, 2006), matematika tidak menyenangkan (Zainuri, 2007), matematika merupakan ilmu yang kering, melulu teoritis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah-olah berada ”di luar” mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas siswa (Sriyanto, 2007).

Pemecahan masalah secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang dalam kurikulum. Untuk memecahkan masalah, Polya (1973) menawarkan suatu strategi yang terdiri atas empat langkah: memahami masalah (understanding the probem), menyusun rencana penyelesaian masalah (devising a plan), melaksanakan rencana penyelesaian masalah (carrying out the plan), dan mengecek penyelesaian masalah (looking back).

Dalam belajar matematika dan menyelesaikan soal matematika, siswa melakukan proses berpikir. Dalam benak siswa terjadi proses berpikir sehingga siswa dapat sampai pada jawaban. Dalam pembelajaran matematika proses berpikir ini kurang mendapat perhatian guru. Terkadang guru hanya memperhatikan hasil akhir penyelesaian siswa tanpa memperhatikan bagaimana sebenarnya siswa itu dapat sampai pada jawaban itu. Jika jawaban siswa berbeda dengan kunci biasanya guru langsung menyalahkan jawaban tersebut tanpa menelusuri alasan siswa mengapa jawabannya demikian. Padahal menurut Yulaelawati (2004) salah satu peran guru dalam pembelajaran matematika adalah membantu peserta didik mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam

(3)

menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan yang terjadi dan menata jaringan pengetahuan peserta didik.

Proses berpikir terjadi dalam otak manusia. Informasi-informasi yang masuk diolah di dalamnya, sehingga apa yang sudah ada di dalam perlu penyesuaian bahkan perubahan sama sekali. Proses demikian dinamakan adaptasi. Adaptasi skema dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi bergantung pada jenis informasi/pengalaman yang masuk ke dalam struktur mental. Asimilasi terjadi terjadi ketika struktur masalah yang dihadapi sesuai dengan skema yang sudah dimiliki, sehingga struktur masalah dapat diintegrasikan langsung ke dalam skema yang ada. Sedangkan akomodasi terjadi ketika struktur skema yang dimilki belum sesuai dengan struktur masalah yang dihadapi, sehingga perlu mengubah skema lama agar sesuai dengan struktur masalah. Apabila yang terjadi adalah pembentukan skema yang betul-betul baru, maka yang terjadi adalah proses berpikir abstraksi. Ada tiga macam proses berpikir abstraksi, yaitu abstraksi empirik, abstraksi empirik semu, dan abstraksi reflektif.

Mengetahui proses berpikir siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika sangat penting bagi guru. Guru harus memahami cara berpikir siswa dan cara siswa mengolah informasi yang masuk sambil mengarahkan siswa untuk mengubah cara berpikirnya jika itu ternyata diperlukan. Dengan mengetahui proses berpikir siswa, guru dapat melacak letak dan jenis kesalahan yang dilakukan siswa. Kesalahan yang diperbuat peserta didik dapat dijadikan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi peserta didik. Yang tak kalah pentingnya adalah guru dapat merancang pembelajaran yang sesuai dengan proses berpikir siswa. Jadi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika sangat penting untuk diketahui.

Pertanyaan penelitian ini adalah: bagaimana proses berpikir siswa quitter pada sekolah menengah pertama dalam menyelesaikan masalah matematika. Tujuan penelitian adalah: untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa quitter pada sekolah menengah pertama dalam menyelesaikan masalah matematika.

B. METODEPENELITIAN

Penelitian ini tergolong penelitian kualitataif-eksploratif yang dilaksanakan di kelas VII SMP Negeri Model Terpadu Madani. Untuk pengelompokan siswa ke adalam tiga kategori AQ, yaitu: siswa quitter, camper, dan climber digunakan adversity response profile (ARP). Siswa yang menjawab ARP sebanyak 67 orang, yang terdiri atas 3 siswa kategori quitter, 3 siswa kategori peralihan quitter menuju camper, 48 siswa kategori camper, 11 siswa kategori peralihan camper menuju climber, dan 2 siswa kategori climber. Dari 3 siswa quitter dipilih seorang siswa sebagai subjek penelitian.

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Instrumen lainnya adalah pedoman wawancara dan lembar tugas yang memuat masalah sebagai berikut: (1A): Permen Aman lebih banyak 14 biji daripada permen Budi. Jumlah permen mereka berdua 56 biji. Berapa biji permen mereka masing-masing?; dan (1B): Permen Aman lebih banyak 21 biji daripada permen Budi. Jumlah permen mereka berdua 57. Berapa biji permen mereka masing-masing? Kedua masalah tersebut setara, yaitu memiliki tingkat kesulitan yang sama.

Siswa quitter menjawab dua masalah matematika yang diberikan dengan mengikuti langkah-langkah penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh Polya.

(4)

Aktivitas siswa quitter ketika menjawab masalah dan wawancara direkam dengan handycam dan mp4.

Uji kredibilitas data dapat dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman, analisis kasus negatif, dan member check. Triangulasi ada tiga macam, yaitu triangulasi sumber, metode, dan waktu (Sugiono, 2005 dan Sugiono, 2008). Dalam penelitian ini uji kredibiltas data atau kepercayaan terhadap data dilakukan dengan triangulasi waktu, yaitu siswa quitter menjawab kedua masalah pada waktu yang berbeda. Trianggulasi dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian respon siswa quitter pada setiap langkah pemecahan masalah dalam menjawab kedua masalah.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep Miles dan Huberman. Aktivitas dalam menganalisis data, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan (Miles & Huberman, 1992)

C. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Salah satu faktor penghambat penelitian ini adalah sulitnya menemui subjek siswa quitter. Siswa quitter cenderung menghindar ketika akan diberikan soal dan ketika akan di wawancarai. Pada pertemuan pertama siswa quitter menangis dan menolak untuk mengerjakan soal yang diberikan. Siswa quitter mau mengerjakan soal atau tugas yang diberikan nanti pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Dalam mengerjakan tugas, siswa quitter tidak bersemangat, usahanya kurang, bekerja seadanya. Siswa quitter dapat menyelesaiakan masalah yang diberikan, tetapi ia membutuhkan waktu yang sangat lama. Pada setiap akhir pertemuan, ia selalu keberatan ketika diinformasikan bahwa masih ada tugas selanjutnya.

Proses berpikir siswa quitter pada setiap tahap penyelesaian masalah matematika,sebagai berikut.

1. Proses Berpikir Siswa Quitter pada SMP dalam Memahami Masalah Matematika Siswa quitter dapat menulis dan menyebutkan yang diketahui dari masalah, yaitu: permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi, jumlah permen mereka berdua adalah 56. Ia juga dapat menulis dan menyebutkan yang ditanyakan, yaitu: berapa biji permen mereka masing-masing? Sehingga dapat dikatakan bahwa ia dapat memahami masalah. Ia memahami masalah melalui objek mental yang termuat pada masalah, yaitu 14 dan 56. Dengan demikian siswa quitter melakukan abstraksi reflektif dalam memahami masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget bahwa reflective abstraction (focusing on mental objects) (Tall, 1999) dan (Tall & Gray, 2007).

Siswa quitter sudah memiliki skema bahwa yang diketahui dalam suatu masalah matematika dapat diidentifikasi dengan kalimat pernyataan, dan yang ditanyakan dapat diidentifikasi dengan kalimat tanya dan perintah dari masalah yang diberikan. Ia langsung dapat mengasimilasi informasi tersebut ketika ia diminta untuk memahami masalah yang diberikan. Sehingga ia dapat menyebutkan yang diketahui adalah: permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi, jumlah permen mereka adalah 56 biji, dan yang ditanyakan adalah: berapa permen mereka masing-masing?

Siswa quitter dapat mengintegrasikan langsung informasi yang baru diperoleh ke dalam skema yang ada dipikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia

(5)

dikemukakan oleh Suparno (1997) bahwa asimilasi adalah proses berpikir yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran. Jika informasi baru sesuai dengan skema maka informasi dibangun melalui asimilasi (Sutawidjaja, 1998). Hal senada dikemukakan oleh Piaget (dalam Brooks dan Brooks, 1993) assimilation is the incorporation of new events into intelligence as a scheme or concept.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam memahami masalah matematika, siswa quitter pada SMP melakukan proses berpikir abstraksi reflektif dan asimilasi.

2. Proses Berpikir Siswa Quitter pada SMP dalam Menyusun Rencana Penyelesaian Masalah Matematika

Siswa quitter menyebutkan rencana penyelesaian masalah sebagai berikut: menyiapkan 56 biji permen, Aman lebih dahulu diberi permen, 14 biji permen diberikan kepada Aman, sisanya dibagi rata kepada Aman dan Budi, membilang permen Aman dan permen Budi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia dapat menyusun rencana penyelesaian masalah. Ia menyusun rencana penyelesaian masalah melalui objek mental yang termuat pada masalah tersebut, yaitu 14 dan 56. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa quitter melakukan abstraksi reflektif dalam memahami masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Piaget bahwa reflective abstraction (focusing on mental objects) (Tall, 1999) dan (Gray & Tall, 2007).

Siswa quitter menjelaskan rencana penyelesaian masalah dengan lancar sebagai berikut: menyiapkan permen sebanyak 56 biji, memberi Aman 14 biji permen, sisanya dibagi dua, lalu membilang permen masing-masing. Ia sudah memiliki skema bahwa: (1) menyiapkan 56 biji permen, karena jumlah permen mereka berdua 56 biji, (2) memberikan 14 biji kepada Aman lebih dahulu, karena permen Aman lebih banyak 14 biji daripada permen Budi, dan (3) permen yang tersisa dibagi dua, karena permen tersebut milik Aman dan Budi dan sama banyak. Ia juga sudah memiliki skema tentang cara membagi dua permen yang tersisa dengan cara memberikan satu permen kepada Aman dan satu permen kepada Budi secara bergantian sampai permen habis. Ia dapat mengasimilasi informasi-informasi tersebut ketika ia diminta menyusun rencana penyelesaian masalah yang diberikan. Sehingga ia dapat menyusun rencana penyelesaian masalah.

Siswa quitter dapat mengintegrasikan langsung informasi yang baru diperoleh ke dalam skema yang ada dipikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia melakukan proses berpikir asimilasi dalam menyusun rencana penyelesaian masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparno (1997) bahwa asimilasi adalah proses berpikir yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran. Jika informasi baru sesuai dengan skema maka informasi dibangun melalui asimilasi (Sutawidjaja, 1998). Hal senada dikemukakan oleh Piaget (dalam Brooks dan Brooks, 1993) assimilation is the incorporation of new events into intelligence as a scheme or concept.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam menyusun rencana penyelesaian masalah matematik, siswa quitter pada SMP melakukan proses berpikir abstraksi reflektif dan asimilasi.

(6)

3. Proses Berpikir Siswa Quitter pada SMP dalam Melaksanakan Rencana Penyelesaian Masalah Matematika

Siswa quitter dapat melaksanakan rencana penyelesaian masalah. Ia melaksanakan rencana penyelesaian masalah sebagai berikut: mengambil permen 56 biji dari kantong, membilang kembali permen yang terambil dan ternyata lebih satu biji, mengembalikan satu biji permen ke dalam bungkusan sehingga ada 56 permen, mengambil 14 biji permen dari tumpukan untuk Aman, mengambil 1 biji permen untuk Aman dan 1 biji untuk Budi secara bergantian sampai permen pada tumpukan habis, menulis Aman = 35 biji, dan menulis Budi = 21 biji.

Siswa quitter dapat melaksanakan rencana penyelesaian masalah dengan mengambil, dan membilang permen. Ia melaksanakan rencana penyelesaian melalui aksi terhadap objek permen tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia melakukan abstraksi empirik semu dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah sebagaimana Piaget dalam (Tall, 1999, Gray & Tall, 2007) mengemukakan bahwa abstraksi empirik semu berfokus pada aksi objek dan sifat-sifatnya.

Siswa quitter sudah memiliki skema bahwa: (1) mengambil 56 biji dari kantong, karena jumlah permen mereka berdua sebanyak 56 biji; (2) mengambil 14 biji permen untuk Aman, karena permen Aman lebih banyak 14 biji ; (3) mengambil 1 biji untuk Aman dan 1 biji untuk Budi secara bergantian sampai permen habis, karena permen yang tersisa dibagi dua untuk Aman dan Budi; (4) permen yang tersisa dibagi dua, karena permen tersebut milik Aman dan Budi dan sama banyak; (5) hasil bagi dua sama dengan 21, karena Aman dapat 21 dan Budi juga dapat 21 dan (6) hasil akhir Budi dapat 21 dan Aman dapat 35, karena Aman sudah mendapat 14 biji sebelumnya, jadi sekarang 35 semuanya .

Siswa quitter juga sudah memiliki skema tentang rencana penyelesaian masalah yang diberikan, yaitu: menyiapkan permen sebanyak 56 biji, memberi Aman 14 biji permen, sisanya dibagi dua, lalu membilang permen masing-masing. Ia langsung dapat mengasimilasi informasi-informasi tersebut ketika ia diminta menjelaskan pelaksanaan rencana penyelesaian masalah yang diberikan. Sehingga ia dapat menjelaskan pelaksaaan rencana penyelesaian masalah sebagai berikut: mengambil 56 biji permen dari kantong, mengambil 14 biji untuk Aman, mengambil 1 biji permen untuk Aman dan 1 biji untuk Budi sampai permen yang tersisa habis, menghitung permen Aman, menghitung permen Budi.

Siswa quitter dapat mengintegrasikan langsung informasi yang baru diperoleh ke dalam skema yang ada dipikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia melakukan proses berpikir asimilasi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparno (1997) bahwa asimilasi adalah proses berpikir yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran. Jika informasi baru sesuai dengan skema maka informasi dibangun melalui asimilasi (Sutawidjaja, 1998). Hal senada dikemukakan oleh Piaget (dalam Brooks dan Brooks, 1993) assimilation is the incorporation of new events into intelligence as a scheme or concept.

Siswa quitter membagi dua kumpulan permen yang tersisa menjadi dua bagian yang sama dengan cara mengambil satu biji permen untuk Aman dan satu biji permen Budi dengan pengambilan diulang sampai permen habis. Pembagian semacam ini

(7)

Tipps, 1994; Riedesel, Schwartz, and Clement, 1996; Sutawidjaja dkk, 1997; dan Reys dkk., 1998)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, siswa quitter pada SMP melakukan proses berpikir abstraksi empirik-semu dan asimilasi.

4. Proses Berpikir Siswa Quitter pada SMP dalam Mengecek Kembali Penyelesaian Masalah Matematika

Siswa quitter dapat mengecek kembali penyelesaian masalah. Ia mengecek kembali penyelesaian masalah sebagai berikut: mengambil 35 biji permen, mengambil lagi 21 biji permen, dikurangkan di dapat 14 biji, untuk mengecek apakah sesuai dengan permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi, dan dijumlahkan menjadi 56 untuk mengecek apakah sesuai dengan jumlah permen mereka berdua yaitu 56.

Siswa quitter mengecek kembali penyelesaian masalah dengan mengambil dan membilang permen. Ia mengecek kembali penyelesaian masalah melalui aksi pada objek permen tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia melakukan abstraksi empirik semu dalam mengecek kembali penyelesaian masalah. Sebagaimana Piaget dalam (Tall, 1999, Gray & Tall, 2007) mengemukakan bahwa abstraksi empirik semu berfokus pada aksi objek dan sifat-sifatnya. Anak melakukan abstraksi tidak langsung pada objeknya. Dalam abstraksi ini anak memperoleh pengertian melalui aksi pada objek konkret dan sifatnya.

Siswa quitter dapat mengecek kembali penyelesian masalah dengan lancar. Ia sudah memiliki skema bahwa: pengecekan kembali dilakukan dengan mengecek penyelesian yang telah diperoleh dengan data yang diketahui, mengambil 35 permen, 21 permen, lalu digabungkan menjadi 56 biji bertujuan untuk mengecek apakah sesuai dengan jumlah permen Aman dan Budi; mengambil 35 permen, mengambil 21 permen, dikurangkan menjadi 14 bertujuan untuk mengecek apakah sesuai dengan permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi.

Siswa quitter langsung mengasimilasi informsi-informasi tersebut ketika ia diminta mengecek kembali penyelesaian masalah. Sehingga ia dapat menjelaskan pengecekan kembali sebagai berikut: sebagai berikut: (a) mengambil 35 biji permen, mengambil 21 permen, digabungkan menjadi 56 biji, untuk mengecek apakah sesuai dengan jumlah permen Aman dan permen Budi yaitu 56 biji, dan (b) mengambil lagi 35 permen, mengambil 21 permen, dikurangkan diperoleh 14 biji, untuk mengecek apakah sesuai dengan permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi.

Siswa quitter dapat mengintegrasikan langsung informasi yang baru diperoleh ke dalam skema yang ada dipikirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia melakukan proses berpikir asimilasi dalam mengecek kembali penyelesaian masalah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparno (1997) bahwa asimilasi adalah proses berpikir yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran. Jika informasi baru sesuai dengan skema maka informasi dibangun melalui asimilasi (Sutawidjaja, 1998). Hal senada dikemukakan oleh Piaget (dalam Brooks dan Brooks, 1993) assimilation is the incorporation of new events into intelligence as a scheme or concept.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam mengecek kembali penyelesaian masalah matematika, siswa quitter pada SMP melakukan Proses berpikir abstraksi empirik semu

(8)

dan asimilasi. D. PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Siswa quitter menghindar dari tugas atau masalah yang diberikan. Ia kurang bersemangat mengerjakan tugas yang diberikan.

b. Proses berpikir siswa quitter pada SMP dalam memahami masalah matematika adalah abstraksi reflektif sekaligus asimilasi. Ia dapat menyebutkan bahwa yang diketahui adalah: permen Aman lebih banyak 14 biji dari permen Budi, jumlah permen mereka adalah 56 biji, dan yang ditanyakan adalah: berapa permen mereka masing-masing? Ia dapat mengidentifikasi yang diketahui dengan melihat kalimat pernyataan pada masalah yang diberikan, dan yang ditanyakan dengan melihat kalimat tanya atau perintah pada masalah yang diberikan.

c. Proses berpikir siswa quitter pada SMP dalam menyusun rencana penyelesaian masalah matematika adalah abstraksi reflektif sekaligus asimilasi. Ia menyusun rencana penyelesaian masalah sebagai berikut: menyiapkan dulu permen sebanyak 56 biji, memberi Aman 14 biji permen, membagi dua kumpulan permen yang tersisa, membilang permen masing-masing. Dalam membagi dua kumpulan permen yang tersisa, ia menggunakan model partisi.

d. Proses berpikir siswa quitter pada SMP dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah matematika adalah abstraksi empirik-semu sekaligus asimilasi. Ia melaksanakan rencana penyelesaian masalah sebagai berikut: (i) mengambil 56 biji permen dari kantong, (ii) memberi Aman 14 biji permen, (iii) memberi Aman 1 biji permen dan Budi 1 biji permen sampai permen yang tersisa habis, Aman dan Budi masing mendapat 21 biji, dan (iv), membilang permen masing-masing, Aman mendapat 35 permen dan Budi mendapat 21 permen.

e. Proses berpikir siswa quitter pada SMP dalam mengecek kembali penyelesaian masalah matematika adalah abstraksi empirik-semu sekaligus asimilasi. Ia mengecek kembali penyelesaian masalah sebagai berikut: (i) mengambil 35 permen, mengambil 21 biji permen, digabung menjadi 56 biji untuk mengecek kesesuaian dengan yang diketahui yaitu jumlah permen mereka adalah 56 biji, (ii) mengambil 35 permen, mengambil 21 permen, dikurangkan menjadi 14 biji untuk mengecek kesesuaiannya dengan yang diketahui yaitu permen Aman lebih banyak 14 biji daripada permen Budi.

f. Siswa quitter memanipulasi benda konkret dalam, melaksanakan, dan mengecek kembali penyelesaian masalah matematika.

2. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Dalam mengajar matematika, guru hendaknya menekankan tahap-tahap

penyelesaian masalah ditawarkan oleh Polya.

b. Dalam mengajar matematika, guru hendaknya memperhatikan proses berpikir siswa yang meliputi: asimilasi, akomodasi abstraksi empirik, abstraksi empirik-semu, dan abstraksi reflektif

(9)

d. Guru dan siswa hendaknya menyadari bahwa setiap siswa mempunyai potensi AQ yang setiap saat harus ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, L. & Schneider, K.N. 2006. Memotivasi Anak Didik: 8 Langkah Sederhana Bagi Guru. http://www.duniaguru.com Diakses Tanggal 3 Januari 2007

Brooks, J.G & Brooks . M.G. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classroom. Alexandria, VA: The Association for Supervision and Curriculum Development.

Candiasa, I.M. 2006. Mengajar Siswa yang Beragam dengan Aneka Cara. http://www.balipost.co.id. Diakses Tanggal 6 Desember 2006

D’agustine, C & Smith, C.W. 1992. Teaching Elementary School Mathematics. New York: Harpers Collins Publishers Inc.

Efendi, A. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta.

Gray, E. & Tall, D. 2007. Abstraction as a Natural Process of Mental Compression. Mathematics Education Research Journal. 2007. Vol. 19 N0. 2 pp: 23-40. http://www.merga.net.au/documents/MERJ_19_2_Gray.pdf. Diakses Tanggal 20 Mei 2008

Kennedy, L.M. & Tipps, S., 1994. Guiding Children’s Leraning Mathematics. Sevent Edition. Belmot California: Wadsworth Publishing Company

Laksomono, H.K. 2006. Jiwa ”Climber” Pengusaha. http://www. paramuslim.com Diakses Tanggal 30 Desember 2006

Lasedu, A. 2006. Reformasi Matematika SD. http://www. ranesi.nl/dialog. Diakses Tanggal 2 Oktober 2006.

Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita dalam Pendidikan Matematika, Mengutamakan Proses Berpikir dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan dalam Upacara Pembukaan Program S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya, Tanggal 10 September 1999.

Miles, M. B. & Huberman, A.M. 1992. Analaisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh: Tjetjep Rohendi Rohedi. Jakarta: UI Press.

Polya, G. 1973. How to Solve It. New York: Doubleday

Reys, R.E; Suydam, M.N.; Lindquist, M.M. & Smith, N.L. 1998. Helping Children Learn Mathematics.Fifth Edition. Bostom: Allyn and Bacon

Riedesel, C.A., Schwartz, J.E & Clements, D.H. 1996. Teaching Elementary Mathematics. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Kontatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Sriyanto, H.J. 2007. Menebar Virus Pembelajaran Matematika yang Bermutu. http://www.kompas.com.

Stoltz, P. G. 2000. Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities (Mengubah Hambatan Menjadi Peluang). Terjemahan oleh: T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

(10)

Subiyanto, P. 2006. Biarkan Anak Belajar Memilih. http://www. balitravelnews.com. Diakses Tanggal 21 November 2007

Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sulaepin, A. 2007. Pelajaran Matematika, Mengapa Tidak Disukai? http://www.pikiran-rakyat.com. Diakses Tanggal 27 Oktober 2007

Sumardi, 2006. Pass Word Menuju Sukses: Rahasia Membangun Sukses Individu, Lembaga, dan Perusahaan. Jakarta: Erlangga

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dan Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suparno, P. 2000. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius Sutawidjaja, A. Karim, M.A., As’ari, A. R., dan Muhsteyo, G. 1997. Pendidikan

Matematika I. Departemen Pendidikan da Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Jakarta

Sutawidjaja, A. 1998. ”Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika” Teknologi Pembelajaran Teori dan Terapan Nomor: 3 Desember 1998. pp.141-146 Tall, D. 1999. Reflection on APOS theory in Elementary and Advanced Mathematical

Thinking. Presented at PME23 Haifa, Israel, July, 1999. Proceding of the 23rd Conference of PME, Hafia Israel, I: 111-118. http://www.warwick. ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/dot1999c-apos-in-amt-pme.pdf. Diakses Tanggal 14 Agustus 2007

Yaniawaty, R. P. Mengajar Menyenangi Matematika. http://www. pikiran-rakyat. com Diakses Tanggal 2 Januari 2007

Yulaelawati, E. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya

Zainuri. 2007. Pakar Matematika Bicara Tentang Prestasi Pendidikan Matematika Indonesia. http://zainuri.wordpress. com. Diakses Tanggal 27 Oktober 2007

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilaksanakannya tahapan evaluasi penawaran sampai dengan evaluasi kualifikasi oleh Pokja Barang Unit Layanan Pengadaan Kab. Aru untuk paket pekerjaan

Selain terbuka dan menerima perbedaan, penulis juga harus lebih lagi mencari informasi agar penulis lebih dapat mempersiapkan diri dengan perbedaan apa yang akan

Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan tehnik dokumentasi asuhan keperawatan berdasarkan metode proses keperawatan, standard dokumentasi keperawatan, aspek legal serta

Brahmana dan pendeta kerajaan tidak habis-habisnya berdoa agar Raja Astina selamat dari kutukan Srenggi anak Begawan Samiti.... Menjelang sore, tidak ada tanda-tanda datangnya naga

PENGGUNAAN METODE PREVIEW, QUESTION, READ, SUMMARIZE, TEST (PQRST) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN ANAK TUNARUNGU KELAS VIII SMPLB NUSANTARA

Remaja yang berasal dari orangtua beda etnis (Batak-Minang), dalam hal ini baik yang remaja yang memiliki lebih dari satu etnis yaitu ayah (Batak) dan ibu (Minang) dengan remaja

Mengembangan sistem jaringan distribusi air bersih di Kota Banjarmasin ditinjau dari segi hidraulika dan sistem operasinya de- ngan menggunakan penerapan

sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. Melihat jumlah perkara yang masuk dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, tidak ada peningkatan jumlah klien. Hal tersebut mengindikasikan