1
PENERAPAN THERAPEUTIC GARDEN
PADA PUSAT REHABILITASI
PASCA-STROKE DI JAKARTA TIMUR
Farakh Maulidya, Albertus Galih Prawata,
ST. Trikariastoto
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Bina Nusantara Jl. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah – Jakarta Barat 021 5543287
frhm13@gmail.com
ABSTRACT
The purpose of this thesis specifically is to identify the application of therapeutic garden to apply on post-stroke rehabilitation center building as a part of healing environment concept. Research methods that used in this thesis is qualitative research methods. Problem analysis include human aspect, environment aspect, building aspect, and analysis of therapeutic garden application. Then from the analysis acquired as a design concept to make a design schematic and planning. (FM)
Key words: Therapeutic Garden, Post-Stroke Rehabilitation Center, East Jakarta
ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini secara khusus adalah untuk mengidentifikasi penerapan therapeutic garden untuk diterapkan pada bangunan pusat rehabilitasi pasca-stroke sebagai bagian dari konsep healing environment. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Analisa permasalahan mencakup aspek manusia, aspek lingkungan, aspek bangunan, dan analisa penerapan therapeutic garden. Kemudian dari analisa tersebut didapat kesimpulan sebagai konsep perencanaan untuk dibuat skematik desain dan perancangan. (FM)
Kata Kunci: Therapeutic Garden, Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke, Jakarta Timur
PENDAHULUAN
Dalam Konferensi Stroke Internasional di Wina, Austria pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa di kawasan Asia jumlah stroke terus meningkat setiap tahunnya. Negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia adalah Indonesia. Menteri Kesehatan sebelumnya, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, M.P.H. menyatakan bahwa berdasarkan Riskesdas 2013 terjadi peningkatan penyakit stroke di Indonesia, dari rata-rata 8,3 kasus per mil (per 1.000 orang) pada 2007, menjadi 12,1 per mil pada 2013. Dan sekitar 65% dari total penderita stroke diprediksi mengalami kecacatan. Ketua Harian Yayasan Stroke Indonesia Prof. Dr. Haryono Suyono, menjelaskan bahwa stroke dapat dicegah dan diobati, sehingga penderita pasca-stroke bisa memperoleh kembali kualitas hidup mereka dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga serta lingkungan. Keberhasilan proses penyembuhan membutuhkan kontribusi antara kondisi fisiologis dengan kondisi psikologis. Kondisi fisiologis pasien pasca-stroke dapat disembuhkan dengan berbagai terapi medik. Sedangkan untuk mendukung kondisi psikologis pasien pasca-stroke, maka perlu diciptakan lingkungan yang dapat memberikan energi positif bagi proses pemulihan pasien. Oleh karena itu, perlu adanya suatu wadah yang dapat membantu proses penyembuhan dan pemulihan pasien pasca-stroke. Dalam kasus ini, peneliti membuat Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke, yaitu sebuah tempat yang menyediakan bentuk model perawatan spesialistik stroke dengan pendekatan terapi komprehensif.
Dalam membuat Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang komprehensif, diterapkan konsep Healing Environment. Menurut Jain Malkin (2003), lingkungan fisik mempunyai potensi menjadi healing environment jika dapat mencapai hal-hal berikut: mengurangi faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan stres, menghubungkan pasien dengan alam, memberikan opsi dan pilihan pada pasien
2
sehingga pasien merasa memiliki kontrol, menyediakan fasilitas dalam dukungan sosial pasien, menyediakan fasilitas yang positif untuk pasien, menimbulkan perasaan relaksasi bagi pasien, keluarga, mau pun staf rumah sakit. Berdasarkan Murphy (2008), ada tiga unsur yang saling mempengaruhi dalam menciptakan healing environment, yaitu unsur alam (nature), unsur indera (senses), dan unsur psikologis. Unsur alam yang dimanfaatkan sebagai suatu ruang terapi untuk mendukung kesembuhan pasien yaitu taman terapi. Salah satu jenis taman terapi adalah therapeutic garden, yaitu taman yang diciptakan dengan menambah lingkungan medis yang bertujuan untuk menyembuhkan suatu kondisi medis tertentu (Koschnitzky, 2011). Beberapa kriteria desain therapeutic garden yang perlu diperhatikan adalah fasilitas, material, warna, serta pemilihan jenis tanaman. Fasilitas harus disesuaikan dengan kebutuhan pengguna taman, sedangkan material, warna, dan pemilihan jenis tanaman berkaitan dengan efek stimulasi pada panca indera pengguna taman tersebut.
Di Indonesia, Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke masih merupakan hal yang baru. Saat ini Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke kebanyakan masih merupakan bagian dari unit neurologi rumah sakit umum. Sehingga dibutuhkan Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang terpisah dengan rumah sakit. Berikut peta persebaran Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke di Jakarta.
Gambar 1 Peta Persebaran Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke di Jakarta
Sumber: www.yastroki.or.id
Alasan pemilihan lokasi Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke di Jakarta Timur adalah karena belum adanya Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang mandiri, sedangkan jumlah Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang tergabung dengan rumah sakit pun hanya ada satu. Berbeda dengan di Jakarta Pusat, walaupun belum ada Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang mandiri, namun yang tergabung dengan rumah sakit mencapai tiga rumah sakit. Sehingga keberadaan Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke yang terpisah dengan rumah sakit di Jakarta Timur masih sangat dibutuhkan.
Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan kriteria desain therapeutic garden pada bangunan Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke. Dengan tujuan mengidentifikasi penerapan kriteria desain therapeutic garden untuk diterapkan pada Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke sebagai bagian dari konsep healing environment.
METODE PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam Penerapan Therapeutic Garden pada Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke di Jakarta Timur adalah metode penelitian kualitatif. Adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif dan menekankan pada analisisnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil wawancara dan observasi. Data sekunder adalah data pendukung yang didapatkan dari artikel, jurnal, peraturan pemerintah, buku, internet, dan referensi lainnya.
3
Tabel 1 Variabel Therapeutic Garden
Variabel Pembahasan Sumber
Variasi Ruang - Jenis ruang
Jurnal, studi literatur, dan studi lapangan
Penggunaan Material - Hardscape - Softscape Jalur Sirkulasi Pedestrian - Sistem sirkulasi
- Lebar jalur sirkulasi Jurnal, studi lapangan, standard Penggunaan Tanaman - Jenis tanaman
Jurnal, studi literatur, dan studi lapangan
Penggunaan Elemen Air - Jenis elemen air Penggunaan Naungan - Jenis naungan Penggunaan Pencahayaan
Buatan
- Jenis lampu taman - Peletakan
Aksesibilitas - Kemudahan akses
- Lebar jalur Jurnal, studi lapangan, standard
Visibilitas - View di taman
- View ke taman
Jurnal, studi literatur, dan studi lapangan
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
HASIL DAN BAHASAN
Dalam menentukan letak therapeutic garden dalam tapak dipengaruhi oleh analisa matahari, analisa kebisingan, dan analisa view.
1. Analisa Matahari
Area yang terkena penyinaran terlama adalah sisi barat dan timur. Pada gambar di bawah, area berwarna biru menunjukkan area yang terkena efek cahaya matahari timur. Pasien dapat memanfaatkan cahaya matahari timur ini di pagi hari untuk berjemur. Area berwarna kuning menunjukkan area yang terkena efek cahaya matahari barat yang kurang baik untuk pasien. Efek cahaya matahari utara dan selatan tidak berpengaruh secara langsung. Sehingga area warna biru dapat dijadikan area private seperti therapeutic garden dan hunian pasien.
Gambar 2 Analisa Matahari
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
2. Analisa Kebisingan
Pada lokasi tapak, kebisingan hampir tidak dirasakan, karena letaknya di area permukiman. Terdapat kebisingan linear dari jalan lingkungan utama di sekitar tapak, dan kebisingan kecil dari area permukiman warga di sekitar tapak namun bukan kebisingan yang mengganggu. Kelebihannya adalah terdapat lahan yang masih kosong di sekitar tapak yang menghasilkan suara alami dari pepohonan. Pada gambar di samping menunjukkan tingkat kebisingan pada tapak. Area berwarna merah menunjukkan kebisingan agak tinggi dikarenakan kebisingan linear. Area berwarna biru menunjukkan kebisingan minimal karena dekat dengan permukiman warga dan lahan kosong yang tidak terlalu berpengaruh. Sehingga area berwarna merah dapat dijadikan area public dan area berwarna biru sebagai area private. Dalam hal ini contohnya adalah therapeutic garden.
3. Analisa View
View positif dari tapak hanya ke arah lahan kosong di sebelah tapak yang terdiri dari pepohonan rimbun. Namun untuk lahan kosong ini harus diwaspadai untuk kemungkinan pembangunannya di
Gambar 3 Analisa Kebisingan
4
masa yang akan datang. View negatif dari tapak adalah ke arah permukiman warga. Karena view ke luar tapak terbilang minim, view dapat dibuat ke arah dalam tapak dengan meletakkan ruang terbuka hijau yang dapat diletakkan di tengah bangunan atau dikelilingi bangunan agar dari bangunan mendapat view yang positif. Salah satunya adalah menempatkan therapeutic garden sebagai view positif dan sebagai bagian dari healing environment yang memberikan koneksi dengan alam.
Gambar 4 Analisa dan Tanggapan View
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Dari hasil analisa di atas, didapatkan zoning berdasarkan kategori ruang kegiatan pengguna seperti ditunjukkan Gambar 5 (kiri). Kemudian dari masing-masing kategori ruang tersebut dibagi berdasarkan sifat ruangnya seperti ditunjukkan Gambar 5 (kanan). Sehingga didapatkan pembagian ruang pada zoning yang ditunjukkan Gambar 6. Terdapat dua therapeutic garden yang diletakkan masing-masing di zona rawat jalan dan zona rawat inap yang terletak pada area nomor 7. Keduanya terletak di sisi timur sebagai area yang paling banyak terkena cahaya matahari pagi yang baik untuk waktu berjemur pasien. Dan sisi timur ini adalah area yang paling minim kebisingannya, sehingga taman menjadi lebih nyaman.
Gambar 5 Zoning pada Tapak: Kategori Ruang (kiri), Sifat Ruang (kanan)
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Gambar 6 Pembagian Ruang pada Zoning
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Gambar 7 menunjukkan zoning pada therapeutic garden di zona rawat jalan yang terdiri dari tiga ruang, yaitu ruang penerimaan, ruang transisi, dan ruang terapi. Ruang penerimaan sebagai akses ke taman terdapat di sisi utara dan barat taman agar memudahkan pasien rawat jalan mengaksesnya dari dalam bangunan. Lalu terdapat ruang-ruang terapi untuk memfasilitasi terapi outdoor, seperti terapi jalan, terapi wicara, dan hydrotherapy. Ruang-ruang terapi ini dihubungkan oleh ruang transisi.
Gambar 7 Zoning Therapeutic Garden pada Zona Rawat Jalan
5
Sedangkan zoning therapeutic garden pada zona rawat inap ditunjukkan oleh Gambar 8, dimana terdapat lima ruang. Pertama ruang penerimaan yang terdapat di sisi barat dan selatan taman sebagai akses keluar masuk taman. Sisi barat dapat diakses dari area ruang terapi pada lantai dasar bangunan instalasi rawat inap yang ditunjukkan oleh nomor 10. Dan sisi selatan dapat diakses langsung dari area hunian pasien pada bangunan instalasi rawat inap yang ditunjukkan oleh nomor 11. Kemudian di tengah taman terdapat ruang transisi yang menghubungkan ruang-ruang pada taman. Ruang terapi diletakkan di sisi barat supaya aksesnya memudahkan pasien karena bersebelahan dengan ruang terapi indoor. Lalu ruang meditasi berada di sisi utara yang dekat dengan akses barat sebagai tempat istirahat para pelaku kegiatan dalam pusat rehabilitasi. Serta ruang interaksi yang lebih dekat dengan akses selatan untuk memfasilitasi interaksi antara pasien dengan keluarga/pengunjung.
Gambar 8 Zoning Therapeutic Garden pada Zona Rawat Inap
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Untuk penerapan therapeutic garden, hasil yang diterapkan pada kriteria desain berdasarkan studi literatur dan studi banding adalah sebagai berikut.
1. Variasi Ruang
Ruang-ruang yang disediakan pada therapeutic garden dalam proyek ini yaitu: Tabel 2 Variasi Ruang Therapeutic Garden
No. Ruang Aktivitas Fasilitas
1 Penerimaan Akses masuk ke dalam taman Melihat papan informasi (signage)
Papan informasi (signage), Lampu taman, Tanaman, Handrail 2 Transisi Berjalan untuk berpindah antar
ruang dalam taman
Handrail, Naungan, Bangku taman, Tempat sampah, Lampu taman, Tanaman 3 Interaksi
Sosial
Duduk-duduk/beristirahat Berbincang antar pelaku kegiatan Makan makanan ringan
Gazebo/Paviliun, Kolam buatan, Bangku taman, Tempat sampah, Lampu taman, Tanaman
4 Terapi Refleksi
Fisioterapi (outdoor gym, hidrotherapy)
Jalur terapi kaki, Jalur latihan (Multidimentional layer) , Handrail, Bangku taman, Lampu taman, Tanaman, Kolam buatan, Lawn, Hydropool 5 Meditasi Duduk dan beristirahat Tempat duduk, Bangku taman, Kolam
buatan, Lampu taman, Tempat sampah, Lawn, Tanaman
Sumber: Hasil Olahan Pribadi Secara lebih detail dapat digambarkan sebagai berikut: a. Ruang Penerimaan
Gambar 9 Detail Ruang Penerimaan
6 b. Ruang Transisi
Gambar 10 Detail Ruang Transisi
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
c. Ruang Interaksi
Gambar 11 Detail Ruang Interaksi
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
d. Ruang Terapi
Gambar 12 Detail Ruang Terapi
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
e. Ruang Meditasi
Gambar 13 Detail Ruang Meditasi
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
2. Penggunaan Material
a. Hardscape, terdiri dari jalur sirkulasi, jalur refleksi, dan jalur latihan. Material untuk jalur sirkulasi mengutamakan agar dapat dilalui oleh kursi roda, yang digunakan antara lain paving conblock pola bata dan menggunakan warna yang teduh, paving block concrete tile, flooring batu dan deck kayu untuk area hydrotherapy. Sarana lain pada taman yang termasuk hardscape adalah handrail di sepanjang jalur sirkulasi, bangku taman, lampu taman, tempat sampah, naungan, signage, dll. Kemudian pada jalur refleksi material yang digunakan adalah susunan kerikil tumpul dan rapat, susunan kerikil runcing dan rapat, susunan kerikil renggang, koral, potongan memanjang log kayu, susunan kerikil dan koral. Selain itu juga dengan menyediakan handrail untuk berpegangan. Pada jalur latihan menggunakan variasi permukaan berbeda (multidimentional layer) seperti bebatuan, semen, pasir, dan ubin keramik dengan tujuan merangsang indera peraba pasien. Dilengkapi juga dengan handrail.
7
Gambar 14 Hardscape yang Akan Diterapkan
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
b. Softscape, dengan menyediakan berbagai jenis tanaman seperti pepohonan, semak, dan penutup tanah. Selanjutnya akan dibahas di bagian Penggunaan Tanaman.
3. Jalur Sirkulasi
Jalur sirkulasi yang ideal adalah dengan pola sirkulasi linier. Pada jalur transisi, dapat dibuat jalur lurus, melengkung, atau berbelok. Untuk jalur refleksi dan jalur latihan menggunakan bentuk loop. Lalu pada ruang meditasi, dan ruang interaksi juga menggunakan bentuk loop. Di sekitar jalur sirkulasi diletakkan berbagai tanaman. Dan jalur sirkulasi dilengkapi dengan handrail untuk memudahkan pencapaian pasien yang fisiknya kurang baik. Penggunaan jalur sirkulasi dengan naungan diletakkan di ruang transisi, sekaligus menyediakan tempat duduk untuk beristirahat di setiap 9 m.
Gambar 15 Jalur Sirkulasi dalam Taman
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Pada ruang terapi, panjang jalur refleksi dan jalur latihan mengikuti standard dan hasil studi banding. Pada jalur ini juga dilengkapi dengan handrail dan tempat duduk untuk pasien beristirahat selama latihan. Jalur latihan yang dimaksud adalah latihan berjalan dengan permukaan yang berbeda, tangga, dan ramp. Pada jalur ini menggunakan handrail pada kedua sisinya dan dilengkapi juga dengan menyediakan tempat beristirahat untuk pasien di dekat jalur latihan.
4. Penggunaan Tanaman
Tanaman yang digunakan dari bebagai jenis seperti pohon, semak, dan penutup tanah. Tanaman yang digunakan sifatnya adalah tanaman peneduh, tanaman hias, dan tanaman aromatik. Berikut daftar tanaman yang dapat digunakan.
Tabel 3 Jenis Tanaman yang Akan Diterapkan
No Nama Klasifikasi Gambar Sifat Penempatan
1 Rumput Gajah Penutup tanah Penutup
tanah
Dapat diletakkan di semua ruang
2 Kacang-kacangan Penutup tanah
Penutup tanah, tanaman hias Dapat diletakkan di semua ruang
3 Sri Rejeki Penutup tanah Penutup
tanah, tanaman hias
8
No Nama Klasifikasi Gambar Sifat Penempatan
4 Soka Semak Tanaman
hias
R. Penerimaan
5 Schefflera wp. Semak Tanaman
hias
R. Penerimaan
6 Bougenville Semak Tanaman
hias
R. Penerimaan
7 Akasia Pohon Tanaman
peneduh
R. Interaksi R. Meditasi
8 Mahoni Pohon Tanaman
peneduh
R. Interaksi R. Meditasi
9 Pandan wangi Semak Tanaman
aromatik
R. Terapi R. Meditasi
10 Cempaka Semak Tanaman
aromatik R. Terapi R. Meditasi 11 Pala (Ministica fragraus) Pohon Tanaman aromatik, peneduh R. Interaksi R. Terapi R. Meditasi
12 Krisan Semak Tanaman
hias
R. Terapi
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
5. Penggunaan Elemen Air
Elemen air yang akan digunakan adalah kolam. Peletakannya yang utama adalah di ruang meditasi karena berfungsi sebagai unsur yang menenangkan. Kemudian diletakkan juga pada ruang interaksi, ruang transisi, dan ruang terapi sebagai unsur estetika.
Gambar 16 Elemen Air dalam Taman
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
6. Penggunaan Naungan
Naungan buatan yang digunakan adalah pergola yang diletakkan pada ruang transisi. Pergola dapat terbuat dari kayu ataupun dari besi dengan penutup kaca. Selain itu juga menggunakan gazebo pada ruang interaksi dan ruang terapi. Pada ruang terapi gazebo difungsikan untuk ruang terapi wicara.
9
Pada ruang interaksi selain difungsikan untuk interaksi sosial dan tempat bernaung oleh penggunanya, dapat juga dimanfaatkan sebagai ruang terapi wicara. Kemudian juga memanfaatkan pohon peneduh sebagai naungan alami.
Gambar 17 Penggunaan Naungan pada Taman
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
7. Penggunaan Pencahayaan Buatan
Jenis lampu yang digunakan adalah lampu lentera. Lampu dapat digunakan sebagai penunjuk arah, diletakkan di sepanjang jalur sirkulasi. Peletakannya juga dapat secara tersebar di ruang taman lainnya. Untuk menghindari cahaya yang terlalu bias, maka tinggi lampu yang digunakan adalah dengan ketinggian ±1 m.
8. Aksesibilitas
Desain taman harus memperhatikan aksesibilitas khususnya untuk pasien pasca-stroke. Karena kebanyakan pasien pasca-stroke mengalami kecacatan sehingga cukup sulit untuk bergerak. Akses untuk masuk dan keluar taman ditempatkan dekat dengan ruang-ruang terapi dan area hunian pada bangunan. Akses ini adalah ruang penerimaan. Kemudian untuk masuk ke ruang taman lainnya melalui ruang transisi yang berfungsi sebagai sirkulasi dalam taman yang menghubungkan antar ruang dalam taman. Tujuannya adalah agar pergerakan lebih efektif dan efisien. Lebar jalur sirkulasi untuk dua arah ± 3 m, mencakup area berjalan dan bangku taman di sisinya. Lebar jalur refleksi dan jalur latihan adalah 60 cm. Di samping jalur refleksi dan jalur latihan untuk pasien juga disediakan jalur untuk pendamping selama latihan, yang memiliki lebar 100 cm. Di sepanjang jalur sirkulasi disediakan handrail untuk berpegangan dan tepi pengaman setinggi 10 cm untuk mencegah pengguna kursi roda terjatuh keluar dari jalur sirkulasi.
Gambar 18 Akses pada Taman
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
9. Visibilitas
Desain dan penataan taman yang baik dapat menciptakan visibilitas yang baik yang dapat dinikmati baik dari dalam taman sebagai pengguna ruang taman, atau pun dinikmati dari luar taman secara pasif. Untuk dapat dinikmati dari luar taman, letak taman berada dikelilingi oleh bangunan. Serta megutamakan ruang-ruang seperti kamar pasien dan ruang tunggu menghadap ke arah taman.
Gambar 19 Visibilitas pada Taman
10
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari hasil penelitian terhadap penerapan therapeutic garden pada bangunan pusat rehabilitasi pasca-stroke sebagai bagian dari konsep healing environment menghasilkan konsep desain therapeutic garden. Terdapat dua therapeutic garden yang masing-masing terletak pada zona rawat jalan dan zona rawat inap. Berikut adalah konsep ruang dalam therapeutic garden pada zona rawat jalan dan zona rawat inap.
Gambar 20 Zona Rawat Jalan (kiri) dan Zona Rawat Inap (kanan) Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Dari konsep ruang tersebut, didapat konsep site plan untuk therapeutic garden pada zona rawat jalan dan zona rawat inap sebagai berikut.
Gambar 21 Konsep Site Plan Therapeutic Garden Zona Rawat Jalan
Sumber: Hasil Olahan Pribadi
Gambar 22 Konsep Site Plan Therapeutic Garden Zona Rawat Inap (kanan)
11
Therapeutic garden yang menyediakan lingkungan terapi medis berdampak baik untuk fisik maupun psikis dapat membantu pasien dalam penyembuhan dan pemulihan penyakitnya, dalam hal ini pasca-stroke. Pasien yang meluangkan waktu lebih banyak dalam taman dapat memiliki progress lebih baik, terutama jika terus melatih fisiknya. Therapeutic garden juga dapat digunakan oleh staf medis atau non medis untuk beristirahat, agar dapat memperoleh energi kembali untuk bekerja. Sehingga dengan penerapan therapeutic garden, dapat tercipta healing environment dalam bangunan kesehatan.
Saran untuk penelitian selanjutnya, pengetahuan mengenai aspek-aspek healing environment dan therapeutic garden dapat diperdalam lagi. Selain therapeutic garden, bahasan dalam healing environment masih luas dan beragam.
REFERENSI
Buku:
Chiara, J.D., Callender, J. (1983). Time-Saver Standards for Building Types. 2nd Edition. Singapore: Singapore National Printers, Ltd.
Neufert, E. (1996). Data Arsitek. Edisi 3. Jakarta: Erlangga. Jurnal:
Ebrahimi, A., Mardomi, K., dan Rahimabad, K.H. (2013). Architecture Capabilities to Improve Healthcare Environments. Trauma Monthly, 18(1), 21-7.
Koschnitzky, K. (2011). Healing Gardens. Eco Art LLC: Landscape Architecture.
Larson, J., dan Kreitzer M. J. (2013). Healing by Design: Healing Gardens and Therapeutic Landscapes. Implications, 02(10).
Malkin, J. (2003). The Business Case for Creating a Healing Environment. Business Briefing: Hospital Engineering & Facilities Management.
Schweitzer, M., Gilpin, L., Frampton, S. (2004). Healing Spaces: Elements of Environmental Design That Make an Impact on Health. The Journal of Alternative and Complementary Medicine.
Waworundeng, J. N., Kindangen, J. I., dan Makarau, V. H. (2015). Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke (Penerapan Prinsip-prinsip Healing Environment). Jurnal Arsitektur DASENG, 4(1), 28-38.
Zborowsky, T., dan Kreitzer, M. J. (2008). Creating Optimal Healing Environments in a Health Care Setting. Minnesota Medicine.
Lembaga:
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan. (2012). Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Rehabilitasi Medik. Kementerian Kesehatan RI.
Skripsi:
Hidayah, A.M.A. (2010). Studi Evaluasi Taman Kota sebagai Taman Terapeutik (Studi Kasus: Taman Cilaki Atas, Kota Bandung). Skripsi S1. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Janatunnisa, R. (2005). Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh “Mobilitas di Lahan Berkontur”. Skripsi S1. Universitas Komputer Indonesia, Jawa Barat.
Kania, R. (2010). Evaluasi Taman Rumah Sakit sebagai Healing Garden (Studi Kasus: Santosa Bandung International Hospital). Skripsi S1. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Lidayana, V., Alhamdani, M. R., dan Pebriano, V. (2013). Konsep dan Aplikasi Healing Environment dalam Fasilitas Rumah Sakit. Skripsi S1. Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. Marlina, N. (2010). Pusat Rehabilitasi Pasca-Stroke di Yogyakarta. Skripsi S1. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, D.I.Yogyakarta.
Susanto, J. (2011). Perancangan Taman sebagai Penunjang Aktivitas Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor. Skripsi S1. Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Website:
LeFrank & Associates Ltd. (2010). Therapeutic Landscapes. Diakses Maret 2015, dari http://www.lefrank.ca/projects-therapeutic-landscapes.html.
Yayasan Stroke Indonesia. (2009). Nama Klub Stroke di Jabodetabek. Diakses Maret 2015, dari www.yastroki.or.id.
RIWAYAT HIDUP
Farakh Maulidya lahir di kota Jakarta pada 13 September 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang arsitektur pada tahun 2015.