• Tidak ada hasil yang ditemukan

Giant Geriatric

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Giant Geriatric"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Besaran masalah

Populasi dari penduduk lanjut usia (lansia), berusia 65 tahun ke atas, menunjukkan kecenderungan untuk meningkat. Peningkatan paling besar populasi lansia di dunia dipikirkan akan terjadi pada tahun 2020, yaitu sebesar 400%1.Di Indonesia sendiri, jumlah populasi lansia diperkirakan akan meningkat 4 kali lipat pada tahun 2025, dibandingkan tahun 1990. Saat ini terdapat sekitar 15 juta orang lansia di Indonesia1.Secara keseluruhan, peningkatan populasi berusia 65 tahun ke atas di dunia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 3 kali lipat.

Peningkatan usia harapan hidup tidak selalu disertai dengan kondisi kesehatan yang baik pula. Berbagai masalah fisik, psikologis, dan sosial akan muncul akibat proses degeneratif yang terjadi seiring dengan menuanya seseorang2.Masalah-masalah tersebut berdampak pada kondisi kesehatan seseorang pada saat usia lanjut. Dalam pelayanan kesehatan primer, lebih kurang sepertiga pasien yang datang berkunjung berusia lebih dari 65 tahun3. Dan sekitar 40% biaya kesehatan, perawatan, serta peresepan obat diperuntukan untuk lansia1.Oleh karena itu, membantu populasi lanjut usia dengan menambah 15-20 tahun dari usia harapan hidup (65 tahun) dan tetap dapat hidup sehat dan aktif, menjadi tantangan di bidang kesehatan masyarakat pada abad 214.

Proses pertambahan usia pada pasien geriatri juga diikuti dengan penurunan fungsi organ dan kemampuan kompensasi. Beberapa teori penuaan, seperti loss of self-renewal capacity,4 menyatakan hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses penuaan secara biologis terdapat berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) sehingga terjadi kerusakan perlahan dan progresif pada sistem organ yang berdampak terjadi penurunan kapasitas faal. Hal ini menyebabkan Variasi gejala pada pasien geriatri sangat luas sehingga sulit membedakan kondisi fisiologis dan patologis. klasik dari infeksi seperti demam seringkali tidak ditemukan, adakalanya didapatkan sebaliknya, hipotermia.

Selain itu, penurunan fungsi satu organ dapat mempengaruhi fungsi organ lain ataupun terjadi penurunan fungsi secara serentak. Sehinggapasien usia lanjut seringkali memiliki lebih dari satu permasalahan kesehatan (multipatologi). Lima puluh persen dari pasien berusia di atas 65 tahun, memiliki lebih dari satu penyakit kronis dan keduanya bisa saling mempengaruhi penatalaksanaannya, seperti penyakit serebrovaskuler dan ulkus peptikum2. Selain itu, pasien lanjut usia juga rentan risiko polifarmasi karena banyaknya morbiditas yang dapat meningkatkan efek samping obat. Hal tersebut menyebabkan sangat perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan kondisi medis pada pasien geriatri2.

Selain itu, berbagai gejala atau kumpulan gejala juga sering dijumpai pada pasien geriatri bersamaan dengan penyakit dasarnya. Gejala-gejala atau kondisi medis tersebut tidak dapat diabaikan karena dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan pasien. Kumpulan gejala tersebut disebut sindrom geriatri.1 tantriKane, et al, dalam bukunya menyebutkan

sindrom geriatri yang seringkali dijumpai pada pasien geriatri, yaitu: immobility, instability, incontinence, intellectual impairment, infection, impairment of vision and hearing, irritable colon, isolation (depression), inanition (malnutrition), impecunity, iatrogenesis, insomnia, immune deficiency, dan impotence yang dikenal juga dengan 14 I3.

Dari sindrom geriatri tersebut terdapat empat masalah yang sering terjadi pada pasien geriatri dan menyebabkan seorang lansia harus dirawat di rumah sakit. Empat masalah tersebut adalah inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan intelektual (delirium dan demensia). Kondisi medis tersebut sering disebut sebagai geriatric giants karena dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian seorang lansia bila tidak ditangani dengan baik.

Melalui makalah ini akan dibahas mengenai geriatric giants, mulai dari penyebab, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.

(2)

B. Epidemiologi

Populasi lanjut usia, diperkirakan akan mengalami ledakan yang cukup besar, perkiraan PBB, jumlahnya akan meningkat lebih dari 3 kali lipat, 600 juta pada tahun 1999 menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Peningkatan ini tentunya menjadi tantangan bagi negara ini untuk dapat melayani populasi senior ini, salah satunya dalam bidang pelayanan kesehatan, dimana permasalahan kesehatan pada kelompok ini tidaklah sedikit. Di Indonesia sendiri, seperti dinyatakan sebelumnya, peningkatan populasi lansia akan mencapai 4 kali lipat dari tahun 1990 sampai tahun 2025. Perkiraan lainnya menyebutkan dari tahun 1980 sampai 2020 akan bertambah lebih dari 20 juta orang, mencakup 11,34% dari populasi keseluruhan6.

Menurut Agate pada tahun 1970, yang dipentingkan dalam geriatri adalah usia biologis. Usia harapan hidup populasi Indonesia pada tahun 1998 adalah 62,6 tahun untuk pria dan 66,7 tahun untuk wanita. Sedangkan WHO menghitung harapan hidup dengan Disability Adjusted Life-Exp ectancy (DALE) dimana penduduk lanjut usia yang mengalami disabilitas tidak disertakan. Angka DALE untuk Indonesia adalah 59,7 tahun, menduduki peringkat ke-1036. Usia diantara DALE dan usia harapan hidup inilah yang juga menjadi tantangan di bidang kesehatan khususnya geriatri, bagaimana mencegah kesakitan, menurunkan disabilitas, sehingga meningkatkan kualitas hidup pada populasi lanjut usia.

Permasalahan kesehatan pada populasi lanjut usia tentunya berbeda dengan populasi usia muda, dimana umumnya penyakit kronis degeneratif lebih mendominasi, disertai juga penyakit-penyakit infeksi yang mungkin berkaitan atau mempengaruhi penyakit-penyakit-penyakit-penyakit kronis yang sudah diderita.

Data epidemiologi mengenai kondisi-kondisi medis yang lazim ditemukan pada populasi lanjut usia bervariasi dari tahun ke tahun dan di beberapa negara. Seperti ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel 1. Epidemiologi kondisi-kondisi medis pada lanjut usia di Indonesia Indonesia

Tahun 1978a (n = 567)

Tahun 1986b 1990c

(n=1203)

Penyakit % Penyakit /100 Penyakit/permasalahan %

Infeksi 18,5 Kardiovaskuler 15,7 Arthritis/reumatism 49

Kardiovaskuler 12,9 Muskuloskeletal 14,5 Hipertensi dan peny. kardiovaskuler 15,2

Serebrovaskuler 11,8 TBC paru 13,6 Bronchitis/sesak nafas 7,4

Penyakit mata 11,1 Peny. Paru Kronis 12,1 Diabetes melitus 3,3

Trauma/fraktur 10,9 Inf. Resp. Akut 10,2 Jatuh 2,5

Neoplasma 9,4 Sal. Cerna 10,2 Stroke/ kelumpuhan 2,1

BPH 9,0 Neurologi 5,9 TBC 1,8

Metab & endokrin 2,6 Inf. Kulit 5,2 Fraktur 1,0

Tulang & sendi 0,4 Malaria 3,3 Kanker 0,7

Lain-lain 14,3 Infeksi lain 2,4 Masalah yang mengganggu ADL 29,3

a. Data diagnosis penyakit pada penderita usia > 65 tahun di RS. Kariadi, Semarang dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3

b. Data pola penyakit pada usia > 55 tahun. SKRT tahun 1986 dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3

c. Data dari WHO-Community Study of te Elderly, Central Java 1990 dikutip dari Darmojo, RB, 2004. Demografi dan Epidemiologi Populasi Lanjut Usia dalam Buku Ajar Geriatri Edisi ke-3

C. Faktor Risiko

Populasi lanjut usia memiliki karakteristik yang berbeda dari kelompok umur lain. Karakteristik ini harus menjadi pertimbangan dalam penilaian, investigasi, dan penatalaksaan pada pasien lanjut usia.3 Populasi geriatri memiliki karakteristik yang berbeda karena:

(3)

a. Multipatologi

Penurunan fungsi faal organ-organ yang terjadi seiring pertambahan usia, dapat pula disertai dengan adanya penyakit kronis dan komplikasinya, seringkali menyebabkan pasien geriatri memiliki lebih dari satu permasalahan medis (komorbiditas) dan menyebabkan penatalaksaan pada pasien lanjut usia menjadi kompleks. Presentasi/manifestasi penyakit yang tidak spesifik

b. Mudah terjadi perburukan kondisi

Pada geriatri, terjadi penurunan fungsi organ sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan memperbaiki diri (tissue-repair) dan kemampuan kompensasi (hemostatis). Hal ini menyebabkan mudah sekali terjadi perburukan pada pasien lansia.

c. Insien tinggi terhadap komplikasi sekunder dari penyakit dasar dan tata laksananya. Pasien geriatri sangat rentan terjadinya komplikasi sekuder dari penyakit dasarnya karena berkurangnya kemampuan kompensasi. Serta geriatri juga berisiko mendapatkan komplikasi dari penatalaksaan penyakit dasar seperti polifarmasi.

d. Pasien geriatri memerlukan rehabilitasi

Seiring bertambahnya usia selain kemampuan fisiologis, kemampuan fungsional untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari juga dapat menurun, sehingga menimbulkan ketergantungan. Pada pasien geriatri juga memerlukan waktu yang lama dalam pemulihan dari penyakitnya. Hal-hal tersebut dapat diperbaiki dengan rehabilitasi.

e. Sangat dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan

Penilaian pada pasien geriatri harus dilakukan secara komprehensif, pendekatan dan kerjasama dengan keluarga sangatlah penting, mengingat pasien geriatri memiliki masalah yang lebih kompleks dan dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan.

GERIATRIC GIANT

Geriatri adalah populasi masyarakat yang berusia 65 tahun keatas. Terminologi Giant geriatric, pertama kali diajukan pada tahun 1930-an oleh Prof. Bernard Isaacs untuk me-highlight kondisi medis yang dominan dalam proses penuaan. Walaupun penyebab mortalitas mayor pada geriatri adalah

(4)

kanker, penyakit jantung, dan stroke, giant geriatric mencerminkan kondisi yang mempengaruhi sebagian besar lansia dan menyebabkan ketidakmampuan dalam melakukan fungsi sehari-hari. Kondisi-kondisi medis tersebut adalah: inkontinensia, imobilisasi, instabilitas, penurunan intelektual (delirium dan demensia).

1. Inkontinensia urin

Inkontinensia urin didefinisikan sebagai pengeluaran urin secara involunter, tidak diinginkan, dalam jumlah dan frekuensi tertentu yang menimbulkan masalah kesehatan dan/atau sosial. Angka kejadiannya cukup tinggi, berkisar antara 1 : 3 – 5 pada wanita, dan 1 : 5 – 10 pada laki-laki3,8.

Pengeluaran urin terjadi akibat kontraksi dari detrusor buli dan relaksasi dari otot polos sfingter. Ketika buli terisi urin, sampai pada jumlah tertentu (+ 300ml), reseptor regang pada dinding buli akan mengirimkan menuju pusat miksi pada segmen sakral, kemudian sinyal eferen dikirimkan baik melalui sistim syaraf otonom dan somatik. Saat miksi, impuls kolinergik dari sistim parasaimpatis akan menyebabkan kontraksi detrusor, pada saat yang bersamaan tonus dari sistim simpatis akan hilang, menyebabkan relaksasi sfingter urethra interna, dan juga tonus dari sistim syaraf somatik (n. pudendus) akan menghilang, menyebabkan relaksasi sfingter urethra eksterna3,9.

Gambar 1. Inervasi buli-buli 8

Perubahan pada buli-buli akibat menua, baik anatomis dan fisiologis, tidak secara langsung menyebabkan inkontinensia urin, tetapi mempermudah terjadinya inkontinensia urin. Mengecilnya ukuran buli, penurunan volume buli, meningkatnya urin residual mengakibatkan pengosongan buli yang lebih sering (frekuensi). Menurunnya kemampuan menekan kontrksi detrusor menyebabkan munculnya gejala urgensi. Gejala-gejala ini dapat diperberat dengan adanya patologi lain yang sering ditemui pada usia lanjut, seperti infeksi saluran kemih, kelemahan otot dasar panggul, hipertrofi prostat, imobilisasi dan impaksi fekal8,9. Adanya inkontinensia urine akan berdampak terhadap penurunan kualitas hidup, bahkan beberapa penelitian mengaitkan inkontinensia urine dengan mortalitas, walaupun pada penelitian lain menunjukkan bahwa keduanya tidak berkaitan10.

1.1. Pembagian Inkontinensia Urin 1.1.1.Inkontinensia Akut

Inkontinensia akut merujuk pada inkontinensia yang awitannya tiba-tiba dan bersifat sementara, sehingga dapat kembali normal bila masalah yang mendasari diatasi. Beberapa penyebab inkontinensia yang sementara dapat dilihat dari tabel 3.

(5)

D I A P E R S Delirium/confusional state Infection-urinary Atropic urethritis/vaginitis Pharmaceuticals

Excess urine output (seperti CHF, hiperglikemia) Restricted mobility

Stool impaction

Pada pasien delirium, pasien memerlukan tata laksana untuk kondisi medis yang mendasarinya dibandingkan tata laksana berkemih. Infeksi saluran kemih (ISK) menyebabkan inkontinensia akut ketika disuria dan urgensi sangat dominan yang menyebabkan pasien lanjut usia tidak dapat menuju toilet sebelum sempat berkemih. Hal tersebut hanya terjadi pada ISK yang simptomatik, sedangkan pada bakteriuria asimptomatik, sering pada lanjut usia, tidak menimbulkan inkontinensia. Karena gejala ISK pada lanjut usia dapat tidak khas, perlu dievaluasi dengan baik adanya ISK pada usia lanjut11,12,13.

Uretritis/vaginitis atropik sering menimbulkan gejala inkontinensia. Delapan puluh persen wanita usia lanjut yang datang dengan keluhan inkontinensia memiliki uretritis/vaginitis atropik. Pada vaginitis atropik, mukosa vagina tampak atropi, erosi, rapuh, dan terdapat perdarahan pungtata. Vaginitis atropik dapat diobati dengan pemberian estrogen dosis rendah baik peroral maupun pervaginam14.Medikamentosa merupakan salah satu penyebab paling sering inkontinensia pada geriatri. Mekanisme masing-masing bervariasi dalam menyebabkan inkontinensia (Tabel 4).

Tabel 4. Medikamentosa yang dapat mempengaruhi fungsi berkemih (7,10)

Jenis obat Mekanisme

Diuretik Meningkatkan keluaran urin, menyebabkan pengisian

buli yang cepat Antikolinergik (antidepresan trisiklik, obat-obatan

untuk inkontinensi urgensi, antihistamin, relaksan, anti-Parkinson, antipsikotik)

Melemahkan kontraksi detrusor, sedasi, immobilitas, retensi urin

Opiat Relaksasi buli, impaksi fekal, sedasi

Hipnotik – sedatif Mengganggu kognisi, sedasi, delirium, immobilitas

Penghambat ACE Efek samping dapat berupa batuk-batuk dapat

mencetuskan inkontinensia tipe stres

Penghambat kanal kalsium Menurunkan kontraksi detrusor, dapat menyebabkan

retensi, dan nokturia

Adrenenergik alfa Meningkatkan tonus sfingter, dapat menyebabkan

retensi atau overflow

Penghambat adrenergik alfa Menurunkan tonus sfingter, dapat menyebabkan

inkontnensia tipe stres

OAINS dan penghambat COX-2 Menyebabkan retensi cairan dan dapat

mengakibatkan nokturia

Gabapentin, pregabalin, TZD Edema (nokturia)

Alkohol Poliuria, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium

imobilisasi

Kafein Poliuria, iritasi buli

Hipervolume juga dapat menyebabkan inkontinensia urin pada geriatri. Penyebab dapat berupa kelebihan masukan cairan, gangguan metabolik, dan penyakit yang berhubungan dengan retensi cairan. Hipervolume biasanya menyebabkan inkontinesia urin bila berhubungan dengan nokturia. Restriksi/immobilisasi merupakan penyebab umum inkontinensia urin akut. Immobilisasi ini dapat akibat arthritis, stroke, masalah kaki, ganggunaan penglihatan, dan

(6)

hipotensi postural. Penyebab-penyebab tersebut dapat dimodifikasi oleh karena itu, perlu evaluasi yang cermat dalam menilai inkontinensia urin yang berhubungan dengan immobilisasi1.

Terakhir, impaksi feses dapat menyebabkan inkontinensia urin pada sekitar 10% pasien geriatri yang datang ke klinik inkontinensia. Pasien biasanya menunjukkan inkontinensia tipe urgensi atau overflow dan juga disertai inkontinensia alvi.Penyebab-penyebab inkontinensia akut sangat penting dievaluasi secara cermat. Bila penyebab telah diidentifikasi makan dapat segera ditata laksana dan hampir sebagian besar fungsi berkemih kembali normal15,16.

1.1.2.Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten yang tidak terkait pada penyakit akut dan bersifat menetap. Inkontinensia urin persisten terdiri atas tipe stres, tipe urgensi, tipe overflow, tipe fungsional, dan campuran. Ringkasan inkontinensia urin persisten dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Tipe-tipe Inkontinensia Urine8,17

Definisi / mekanisme Etiologi Gejala

Stres Pengeluaran urin involunter

ketika terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.

Prolaps pelvis, hipermobilitas uretra, perubahan posisi uretra, kelemahan sfingter internus, kelemahan otot dasar panggul

Keluarnya urin pada saat adanya pencetus (batuk/ bersin/ketawa)

Urgensi Pengeluran urin akibat

ketidakmampuan menunda berkemih ketika timbul sensasi keinginan untuk berkemih. Masalah ter

Non-neurogenik: inflamasi (batu, keganasan, infeksi, vaginitis-uretritis atrofik), obstruksi, proses penuaan, idiopatik Neurogenik:

Lesi suprapontin, lesi medula spinalis,

medikamentosa, kelainan metabolik

Urgensi a, frekuensib,

nokturiac,

Overflow Pengeluaran urin akibat kekuatan mekanik pada kandung kemih overdistensi atau faktor lain yang berefek pada retensi urin dan fungsi sfingter

Inadekuat detrusor (obat-obatan, antikolinergik, neuropati), obstruksi

outflow (BPH, impaksi

fekal)

Pancaran urin lemah, rasa tidak lampias,

hesitancyd, straininge, intermittencyf,dapat

disertai frekuensi dan urgensi

Fungsional Pengeluaran urin abnormal dengan ketidakmampuan untuk ke toilet akibat hambatan

lingkungan, penurunan fungsi kognitif, dan ketidakmampuan psikologis

Demensia berat, depresi

Campuran Adanya inkontinensia yang

berkaitan dengan urgensi disertai pencetus (misalnya: OAB dan kelemahan otot dasar panggul)

Kombinasi dari tipe stres dan urge

a. tidak mampu untuk menunda berkemih ketika timbul keinginan berkemih b. berkemih 8 kali atau lebih/hari atau berkemih kurang dari 2 jam sekali c. berkemih 2 kali atau lebih pada jam tidur malam

d. menunggu lama bila akan berkemih e. mengedan untuk berkemih f. berkemih terputus-putus

(7)

Tidak

Terapi empiris sesuai tipe inkontinensia

Evaluasi lanjut urologi/ginekologi/urodinamik

Ya

Terapi tidak efektif

Tidak

Dalam melakukan penilaian inkontinensia ini, diperlukan evaluasi dasar dan evaluasi lanjut. Evaluasi dasar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, urinalisis, dan pengukuram volume residual pasca berkemih (post void residual/PVR). Evaluasi dasar bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab inkontinensia yang bersifat sementara (DIAPERS), mengidentifikasikan kondisi yang memerlukan evaluasi khusus (pemeriksaan lebih lanjut), dan menetapkan tipe inkontinensia pasien sehingga dapat menentukan penatalaksanaan yang tepat. Evaluasi dasar menentukan diagnosis presumtif dan diberikan terapi empiris. Jika diagnosis presumtif tidak dapat ditentukan atau terapi empiris tidak efektif, diperlukan evaluasi lanjut padapasien.1,11 (lihat algoritma)

Gambar 2. Algoritma evaluasi pasien geriatri dengan inkontinensia1

Tabel 6. Evaluasi dasar dan lanjutan pada pasien dengan inkontinensia urin1,8,9 Anamnesis

Tipe (urge, stres, campuran, overflow)

 Frekuensi, keparahan, durasi

 Pola (diurnal, nokturnal, campuran, situasi tertentu)

 Gejala yang berhubungan urinasi

 Penyakit penyerta

(8)

Fungsi fungsional (status mental, kognitif, kemampuan untuk self-toilet, mobilitas) Pemeriksaan fisik

 Identifikasi kondisi medis

Tes stress-induced leakage ketika buli penuh

 Palpasi distensi buli pasca pengosongan

 Pemeriksaan pelvis

 Pemeriksaan rektal

 Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan penunjang dasar

 Rekam pengosongan

 Pemeriksaan volume residu pasca pengosongan (PVR) dengan kateterisasi atau USG

 Urinalisis, sitologi,dan kultur

Pemeriksaan penunjang lanjutan

 Pemeriksaan metabolik seperti kadar glukosa dan kalsium

 USG ginjal

 Uroflowmetri

 Sistometrogram

 Sistoskopi

 Evaluasi urodinamik

Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk mendeteksi adanya piuria, hematuria, dan glukosuria. Pemeriksaan PVR dilakukan untuk menentukan adanya retensi urin dan dapat digunakan untuk menentukan tipe inkontinensia terutama pada kasus yang tidak spesifik (Gambar 3).

(9)

Pada kasus-kasus tertentu perlu dilakukan evaluasi khusus atau rujukan bagi pasien dengan inkontinensia (Tabel 7). Pemeriksaan penunjang lanjutan antara lain pemeriksaan urodinamik (uroflowmetri) untuk menentukan adanya obstruksi atau difungsi instrinsik sfingter uretra, sistometrogram untuk menentukan adanya disfungsi detrusor atau sensorik serta pemeriksaan sistoskopi untuk melihat adanya kelainan pada saluran kemih bawah. USG ginjal juga perlu dilakukan untuk menilai fungsi ginjal terutama pada pasien dengan retensi urin bermakna.1,18

Tabel 7. indikasi untuk evaluasi lanjut pada pasien inkontinensia1

 Inkontinensia tipe urgensi yang baru terjadi dalam 2 bulan terakhir

 Riwayat pembedahan anti-inkontinensia

 Riwayat pembedahan pelvis radikal

 Riwayat inkontinensia simptomatik berulang (3 kali atau lebih dalam kurun waktu 12 bulan)

 Pembesaran prostat dan/atau kecurigaan keganasan

 Kelainan neurologis yang berhubungan dengan inkontinensia

 Proteinuria persisten bermakna

 Kesulitan pemasangan kateter urin (no. 14)

 Kegagalan terhadap terapi empiris berdasarkan diagnosis presumtif

1.2. Tata Laksana

Penatalaksanaan inkontinensia urin tidak hanya dengan obat-obatan. Latihan untuk memperkuat otot dasar panggul, intervensi perilaku, merupakan bagian dari pengobatan non-farmakologis pada inkontinensia urin.

Tabel 8. Terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin pada geriatri 1,10 Tipe inkontinesia urin Terapi

Tipe urgensi Tipe stres Tipe overflow Tipe fungsional Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga

Intervensi perilaku: bladder training, bladder drill Medikamentosa: antikolinergik dan antispasmodik (bladder relaxant)

Pembedahan

Intervensi perilaku: senam Kegel, bladder training Medikamentosa: agonis adrenergik alfa dan/atau estrogen atau antidepresi

Injeksi periuretra, pembedahan Pembedahan, katerisasi intermitten Katerisasi menetap jangka panjang Katerisasi suprapubik

Intervensi perilaku Manipulasi lingkungan

Pemakaian underpad (alas ompol)

Tabel 9. Obat-obatan yang dapat digunakan pada inkontinensia adalah1,10,11 Antikolinergik

Oxybutinine 3 x 2,5 - 5 mg (immediate release) 1 x 5 - 30 mg (extended release)

Urgensi atau campuran dengan predominan urgensi Tolterodine 2 x 2 mg (immediate release)

1 x 2 - 4 mg (long-acting)

Solifenacin 1 x 5 - 10 mg

(10)

Agonis alfa-adrenergik

Doxazosin 1 x 1 - 8 mg Overflow dengan

BPH

Tamsulosin 1 x 0,4 - 0,8 mg

Terazosin 1 x 1 - 10 mg

Alfuzosin 1 x 10 mg setelah makan

Agonis kolinergik

Bethanecol 3 x 10 - 30 mg Overflow dengan

atonia kandung kemih Agonis alfa-adrenergik

Pseudoephedrine 3 x 30 - 60 mg Stres

Estrogen topikal

Krim 0,5 – 1 g/hari selama 2 minggu, selanjutnya 2x seminggu

Urgensi atau stres karena vaginitis atrofi Arginin-vasopresin

DDAVP oral 0,1 – 0,4 mg malam hari Nokturia yang

menganggu dan tidak berespon terhadap terapi lain

DDAVP semprot

hidung

10 – 20 mikrogram setiap nostril, malam hari

Antidepresan

TCA: Imipramine 3 x 25 – 50 mg Stres atau campuran

SNRI: Duloxetine 20 – 40 mg Stres sedang – berat

2. Imobilisasi

Imobilisasi diartikan sebagai kehilangan gerak anatomi akibat perubahan fungsi anatomis. Imobilisasi digunakan untuk menggambarkan kondisi dimana seseorang membutuhkan tirah baring atau mobilisasi yang sangat terbatas, akibat suatu penyakit atau kondisi yang dideritanya. Penyebabnya beragam, termasuk faktor psikologis (depresi, kecemasan), perubahan fisik (kardiovaskuler, neurologi, muskuloskeletal, nyeri), dan lingkungan (tidak adanya alat bantu). Dari beberapa data epidemiologi, masalah muskuloskeletal, arthritis, dan nyeri menunjukkan angka kejadian yang tinggi pada populasi lanjut usia1,3,6

Beragam faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada geriatri (Tabel 10). Faktor-faktor tersebut perlu diidentifikasi secara cermat karena sebagian besar dapat dicegah atau ditata laksana sehingga tidak menyebabkan imobilisasi lagi.Konsep mobilisasi dini telah dilontarkan sejak awal 1940-an pada pasien-pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit. Antibiotik dan pembedahan kuratif membantu mempersingkat lamanya imobilisasi.

Tabel 10. Penyebab umum imobilisasi pada lanjut usia1 Gangguan muskuloskeletal

 Artritis

 Osteoporosis

 Fraktur (terutama tulang panggul dan femur)

 Masalah podiatrik

 Lain-lain (misal: penyakit Paget) Gangguan neurologis

 Stroke

 Parkinson

 Neuropati

Normal Pressure Hydrocephalus

(11)

 Lain-lain (disungsi serebelar, neuropati) Penyakit kardiovaskuler

 Gagal jantung kongestif (berat)

 Penyakit arteri koroner (angina yang sering)

 Penyakit pembuluh darah perifer (klaudikasio yang sering) Penyakit paru

 PPOK (berat) Faktor sensori

 Gangguan penglihatan

 Penurunan sensasi kinestetik

 Penurunan sensasi perifer Penyebab lingkungan

 Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau rumah perawatan)

 Kurangnya alat bantu

 Nyeri akut dan kronis Lain-lain

Deconditioning (setelah tirah baring berkepanjangan)

 Malnutrisi

 Penyakit sistemik yang berat (keganasan)

 Depresi

 Efek samping obat (rigiditas karena antipsikotik)

 Takut akan jatuh

 Apatis dan kurangnya motivasi

Dalam manajemennya, mengoptimalkan mobilitas menjadi sasaran dari terapi. Sedikit perbaikan dapat menurunkan insiden dan keparahan dari komplikasi, memperbaiki kesejahteraan pasien, menurunkan beban dan biaya perawatan. Imobilisasi memiliki dampak yang besar dan bersifat sistemik, komplikasi yang fatal juga dapat terjadi.3

Dalam penilaian pasien lanjut usia yang mengalami imobilisasi, anamnesis yang terfokus harus meliputi identifikasi penyebab terjadinya imobilisasi, baik masalah internal maupun lingkungan pasien. Perubahan kecil yang seringkali kurang diperhatikan atau dianggap wajar dapat merupakan tanda-tanda awal dari suatu kelainan, seperti misalnya keluhan keseimbangan dimana kelainan dapat terjadi dari organ sensorik perifer – susunan syaraf pusat – organ efektor; kelambatan berjalan (bradikinesia) dapat merupakan tanda-tanda dini penyakit Parkinson. Pada umumnya memang didapatkan penurunan kecepatan berjallan + 20% pada usia lanjut, dimana rentang melangkah pada usia lanjut menurun, tetapi jumlah langkah per menitnya konstan 3,19

Tabel 11. Penilaian terhadap pasien usia lanjut dengan imobilisasi Anamnesis

 Perjalanan dan durasi dari disabilitas yang menyebabkan imobilisasi

 Kondisi medis yang ikut berperan

 Nyeri

 Obat-obatan yang berisiko menyebabkan imobilisasi

 Motivasi dan faktor psikologis lainnya

 Lingkungan Pemeriksaan fisik

 Kulit

(12)

Pemeriksaan muskuloskeletal

 Tonus dan kekuatan otot

 Lingkup gerak sendi

 Deformitas dan lesi Defisit neurologis

 Kelemahan fokal

 Evaluasi kognitif, sensori dan persepsi

 Keseimbangan Tingkat mobilisasi

 Tempat tidur

 Kemampuan untuk berpindah

 Perpindahan dengan kursi roda

 Keseimbangan saat berdiri

 Gait

 Nyeri dengan pergerakan Nutrisi

 Protein

 25-OH vitamin D

2.1. Kompllikasi Immobilisasi

Immobilisasi dapat menyebabkan komplikasi yang dapat memperburuk kondisi medis penyerta dan immobilisasi itu sendiri. Imobilisasi menyebabkan proses degenerasi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berukurangnya fungsi motorik dan berubahnya tekanan gravitasi. Sehingga perlu juga untuk mengidentifikasi komplikasi yang terjadi maupun yang potensial untuk terjadi seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien immobilisasi Kulit

 Ulkus dekubitus Muskuloskeletal

Atrofi dan deconditioning

 Kontraktur

 Osteoporosis Kardiovaskular

 Deconditioning

 Menurunnya volume darah  hipotensi ortostatik

 Trombo-emboli vena Pulmonal  Penurunan ventilasi  Atelektasis  Pneumonia aspirasi Gastrointestinal  Anoreksia  Konstipasi

 Impaksi fekal, inkontinensia Urogenital

(13)

 Retensi

 Kalkulus buli

 Inkontinensia Metabolik

 Perubahan komposisi tubuh (misalnya: penurunan volume plasma  perubahan farmakokinetik obat)

 Keseimbangan nitrogen negatif

 Gangguan toleransi glukosa Psikologi

 Penurunan sensoris

 Delirium

 Depresi

Diantara komplikasi tersebut, terdapat empat komplikasi utama dapat menjadi sangat serius dan fatal yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, yaitu tromboemboli vena, ulkus dekubitus, hipotensi ortostatik, dan kontraktur.

a. Tromboemboli vena

Tromboemboli vena adalah penyakit vaskular yang kompleks yang bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam atau emboli paru. Angka kejadian tromboemboli vena pada lanjut usia secara signifikan lebih tinggi dibanding pada usia muda, dapat mencapai lebih dari 5 kali lipat. Analisis post-hoc dari studi MEDENOX, menunjukkan usia di atas 75 tahun sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya tromboemboli vena.

Patogenesis timbulnya tromboemboli vena melibatkan tiga faktor, yang dikenal trias Virchow, yaitu disfungsi/cedera endotel, status hiperkoagulasi, dan statis vena. Imobilisasi menyebabkan keadaan statis vena yang akan meningkatkan status hiperkoagulasi dan cedera endotel sehingga mudah terbentuk trombosis. Namun proses tersebut juga dipengaruhi multifaktor seperti terlihat di tabel 13.

Tabel 13. Faktor risiko trombosis1

Kondisi permanen yang mendasari Kondisi medis akut Faktor risiko iatrogenik Usia lanjut (> 75 tahun)

Riwayat tromboemboli vena Vena varikosa

Obesitas Keganasan Trombofilia

Gagal jantung

Penyakit respirasi berat Penyakit infeksi akut Keganasan

Stroke

Imobilisasi berkepanjangan Infark miokard

Terapi sulih hormon

Menetap di RS/ rumah perawatan

Kemoterapi

Kateter vena sentral

i) Diagnosis

Diagnosis tromboemboli vena (trombosis vena dalam dan emboli paru) sulit ditegakan. Gejala klasik dari trombosis vena dalam adanya edema, nyeri, dan perubahan warna pada sekitar ekstremitas yang terkena. Namun bila trombosis tidak menyebakan sumbatan seringkali asimptomatik. Edema ekstremitas merupakan tanda paling spesifik, namun jarang sampai terjadi edema massif dengan sianosis dan iskemik (phegmasia ceruleadolens). Nyeri ekstremitas terjadi pada 50% pasien, namun tidak terlalu spesifik. Nyeri dapat muncul pada saat dorsofleksi kaki (tanda Homans), nyeri tersebut muncul pada 75% pasien DVT tetapi juga muncul pada 50% pasien tanpa DVT. Bahkan pasien dengan gejala klasik masih sekitar

(14)

46% memiliki hasil negatif pada venogram. Gejala dan tanda emboli pulmonal, dispnue dan takikardi, hanya muncul pada 10% dari pasien dengan DVT.1

Wells dkk. Telah mengembangkan sistem skoring untuk memprediksi terjadinya DVT. Skor Wells ini membantu untuk dapat menstratifikasi pasien menjadi kelompok risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah (Tabel 14). Mengkombinasikan skor wells dengan pemeriksaan penunjang, seperti ultrasonografi (doppler), tes D-dimer, angiografi paru, ventilation-perfusion scanning, dapat memastikan atau menyingkirkan kemungkinan diagnosis DVT atau PE.1

Tabel 14. Interprestasi risiko DVT dan PE dengan menggunakan skor Wells DVT Nilai > 3 Nilai 1-2 Nilai < 1 Risiko tinggi (75%) Risiko sedang (17%) Risiko rendah (3%) PE Nilai > 6 Nilai 2-6 Nilai < 2 Risiko tinggi (78,4%) Risiko sedang (27,8%) Risiko rendah (3,4%) ii) Pencegahan

Tromboemboli vena pada usia lanjut, menjadi tantangan bagi klinisi, banyak hal yang perlu diperhatikan, antara lain: adanya komorbid, diagnosis yang lebih sulit (emboli paru dapat tidak menunjukan gejala, pemeriksaan D-dimer tidak dapat dijadikan acuan, sidik paru kurang dapat diandalkan karena adanya kelainan paru, CT angiografi sering terkendala masalah gangguan fungsi ginjal), mortalitas yang lebih tinggi (usia > 80 tahun VS usia < 40 tahun, 16% VS 2%), presentasi klinis yang lebih berat (emboli paru). Belum ada uji klinis mengenai pencegahan tromboemboli vena yang mengkhususkan pada populasi usia lanjut, walaupun dari studi yang sudah dilakukan populasi usia lanjut termasuk di dalamnya.20

Pencegahan tromboemboli vena pada usia lanjut menjadi tantangan, selain diagnosis yang sulit, risiko perdarahan akibat pemberian antikoagulan juga lebih tinggi ditambah pula dengan adanya polifarmasi yang meningkatkan kemungkinan interaksi antar obat. Risiko perdarahan akibat pemberian antikoagulan, berkisar antara 1,6 – 2 kali lipat pada populasi usia lanjut. Perlu diperhatikan, pada insufisiensi ginjal yang berat, heparin tidak terfraksinasi dapat dipakai, sedangkan heparin berat molekul rendah dikontraindikasikan.20 Obat-obat tromboprofilaksis yang diberikan meliputi antiplatelet dan antikoagulan (Tabel 15).Dalam memutuskan apakah perlu pemberian tromboprofilaksis, perlu dinilai risiko trombosis secara individual (Tabel 13). Namun demikian, mengingat usia di atas 75 tahun merupakan faktor risiko independen, adanya kondisi medis akut pada populasi ini, pemberian tromboprofilaksis perlu dipertimbangkan.

Tabel 15. Obat-obatan yang digunakan dalam pencegahan DVT Antikoagulan

Unfractionated heparin (UFH) Dosis rendah (5000 unit) secara subkutan setiap 8 atau 12 jam sampai pasien dapat mobilisasi. Pada pembedahan, diberikan 1-2 jam sebelum operasi dan dilanjutkan tiap 8-12 jam sampai pasien dapat mobilisasi.

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) Lebih efektif dan memiliki risiko lebih rendah perdarahan.

(15)

Dalteparin

Enoxaparin

Dosis 2500-5000 unit secara subkutan sekali setiap hari sampai 5-10 hari atau pasien dapat mobilisasi.

Dosis 40 mg secara subkutan setiap hari sampai pasien dapat mobilisasi.

Inhibitor faktor Xa Fondaparinux

Biasa digunakan untuk profilaksis operasi besar ortopedik.

Dosis 2,5 mg secara subkutan sekali setiap hari sampai pasien 5-9 hari. Tambahan 24 hari untuk operasi fraktur pinggul.

Antagonis vitamin K Warfarin

Biasa digunakan untuk pencegahan sekunder Dosis terapi dengan waktu Protrombin ekuivalen dengan INR 2,0-3,0.

Antiplatelet Dapat digunakan bersama-sama dengan

antikoagulan. ACCPa tidak merekomendasikan penggunaan antiplatelet sendiri sebagai pencegahan tunggal

Gambar 4. Evaluasi penentuan penggunaan tromboprofilaksis

Selain secara farmakologis, pencegahan dapat juga dengan metode mekanik seperti penggunaan stoking elastis (graduated compression stocking/GCS), intermitten pneumatic compression (IPC), venous foot pump (VFP). Metode mekanik ini tidak menimbulkan risiko perdarahan namun tidak seefektif pencegahan dengan medikamentosa.

iii) Terapi

DVT akut dengan menggunakan antikoagulan dan trombolitik (Tabel 16). Terapi antikoagulan direkomendasikan selama 3-12 bulan bergantung pada situs trombosis dan faktor risiko pada pasien. Bila DVT berulang, bila terdapat status hiperkoagulasi kronik, dan emboli paru,

(16)

pengobatan seumur hidup mungkin dipertimbangkan. Tata laksana ini memiliki risiko kumulatif komplikasi perdarahan kurang dari 12%. Sebagian besar pasien dengan DVT aman diterapi secara rawat jalan kecuali pada pasien:21

 Terdapat emboli paru konkomitan

 Terdapat komorbid penyakit paru dan kardiovaskular

 Area iliofemoral

 Kontraindikasi antikoagulasi

 Kelainan koagulasi dan perdarahan familial

 Kehamilan

 Obesitas berisiko (> 150 kg)

 Gangguan ginjal (Cr > 2 mg/dL)

Ketidakmampuan untuk follow up rutin seperti kendala geografi Tabel 16. Obat-obatan untuk terapi DVT akut/PE.1

Antikoagulan

Unfractionated heparin (UFH) Loading dose diberikan sebesar 80 unit/kgBB secara bolus dilanjutkan 18 unit/kgBB per jam secara infus kontinu hingga tercapai aPTT sebesar 2-3 kali kontrol.

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

Dalteparin Enoxaparin Tinzaparin

Lebih efektif dalam mencegah rekurensi dan memiliki risiko lebih rendah perdarahan. Tidak memerlukan pemantauan PTT dan dapat digunakan pada pasien rawat jalan.

Dosis 200 unit/kgBB 1-2 kali sehari secara subkutan. Digunakan untuk DVT

Dosis 1 mg/kgBB dua kali sehari secara subkutan. Dapat untuk DVT dan PE

Dosis 175 unit/kgBB sekali sehari secara subkutan. Dapat untuk DVT dan PE

Inhibitor faktor Xa Fondaparinux

Dapat untuk DVT dan PE.

Diberikan secara subkutan sekali sehari. Dosis:

 Dosis 5 mg, BB < 50 kg

 Dosis 7,5 mg, BB 50-100 kg

 Dosis 10 mg, BB > 100 kg Antagonis vitamin K

Warfarin

Biasa digunakan untuk pencegahan sekunder Dosis terapi dengan waktu Protrombin ekuivalen dengan INR 2,0-3,0.

Selain itu, dapat dilakukan fisioterapi dengan latihan gerak sendi pasif hingga aktif dengan bantuan setelah 48 jam pemberian heparin. Penggunaan stoking elastik dapat juga diberikan.

b. Ulkus dekubitus

Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit dan jaringan lunak di bawahnya, akibat tekanan pada penonjolan tulang dan permukaan luar yang terus menerus pada jaringan dalam periode waktu tertentu. Empat faktor yang berperan penting terhadap patogenesis terjadinya ulkus dekubitus yaitu:3,22

(17)

STAGE I STAGE

II

STAGE

III

STAGE

IV

b. Daya regang, besar gaya yang memberikan penekanan pada permukaan.Pada usia lanjut, diperberat dengan kondisi jaringan kulit yang kendur dan longgar

c. Friksi(gesekan).Gesekan antara kulit dan permukaan seprei, pakaian, dapat menyebabkan trombosis dari pembuluh darah kecil, mengakibatkan aliran darah tidak adekuat.

d. Kelembaban, seperti pada pasien geriatri dengan inkontinensia urin.

Adanya keradangan pada tingkat epidermis dalam bentuk eritema, indurasi, edema, sedangkan kulit sendiri masih tampak intak merupakan stadium awal dari suatu ulkus dekubitus. Berdasarkan modifikasi klasifikasi Shea, ulkus dekubitus dibagi menjadi empat stadium yang dapat dilihat pada tabel 17 dan gambar 5. Ulkus dekubitus juga dapat dibagi berdasarkan waktu penyembuhan dan suhu ulkus dengan kulit sekitarnya (Tabel 18).

Tabel17. Stadium ulkus dekubitus berdasarkan modifikasi klasifikasi Shea.1

Stadium Manifestasi klinis

Stadium I Edema nonblanchable pada kulit yang masih utuh atau perubahan warna

kulit yang hangat, edema, dan berindurasi pada pasien dengan kulit gelap Stadium II Peradangan/kerusakan mencapai tingkat dermis sampai perbatasan lemak

subkutan. Telah terjadi kehilangan kulit epidermidis dan/atau dermis, dapat terbentuk bula, abrasi, atau ulkus dangkal. Selain itu, juga dapat dapat terjadi fibrosis dan perubahan pigmen

Stadium III Ulkus sudah mencapai jaringan lunak dan lapisan fasia dalam. Dasar ulkus

sering terinfeksi dan didapatkan jaringan nekrotik

Stadium IV Telah ada keterlibatan otot dan tulang. Tulang menjadi dasar ulkus, pada

stadium ini, osteomielitis dan artritis septik dapat menjadi komplikasinya

Gambar 5. Stadium dari ulkus dekubitus (Gambar diunduh tanggal 10 November 2013 dari

(18)

Tabel 18. Tipe ulkus dekubitus1

Tipe Manifestasi klinis Lama penyembuhan

Normal Perbedaan suhu dengan kulit sekitar kurang dari 2,5oC

6 minggu Arteriosklerotik Terdapat gangguan aliran darah akibat

arteriosklerotik. Perbedaan temperatur dengan kulit sekitar kurang dari 1oC

10 minggu

Terminal Terjadi pada pasien yang akan meninggal Tidak dapat sembuh The Agency for Health Care Policy and Research (AHPCPR) menggalakan panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi pengkajian faktor risiko, perawatan kulit, pencegahan/perlindungan terhadap efek tekanan, gesekan, dan regangan, dan terapi awal ulkus dekubitus serta program edukasi mengenai ulkus dekubitus.1

Evaluasi faktor risiko pada pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan. Evaluasi faktor risiko dilakukan ketika pasien geriatri masuk ke rumah sakit, panti werdah, program perawatan rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya. Risiko ulkus dekubitus harus dievaluasi berkesinambungan dan diulang setiap ada perubahan dalam tingkat aktivitas atau mobilisasi. Individu yang harus berbaring atau duduk dalam jangka panjang atau dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas atau berubah posis dianggap sebagai kelompok risiko tinggi.1

Beberapa alat bantu untuk menilai risiko ulkus dekubitus, antara lain adalah dengan menggunakan skala Norton (< 14 = rentan, < 12 = berisiko sangat tinggi)1.Alat bantu lainnya adalah skala Braden (15-16 = risiko rendah, 13-14 = risiko sedang, < 12 = risiko tinggi). Jika nilai kurang dari 16, tindakan pencegahan perlu dilakukan.23

Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus adalah:1,23

 Perawatan kulit dan terapi awal.

Kulit pasien setiap hari harus diamati secara sistemik, kulit perlu dibersihkan dengan bahan yang lembut secara rutin dan hindari pemakaian air. Hindari paparan terhadap dingin, cedera, dan kekeringan. Dapat diberikan pelembab untuk kulit kering. Kurangi kelembaban akibat keringat, paparan basah, atau drainase luka. Bahan topikal yang mengurangi kelembaban juga dapat digunakan.

 Latihan dan penatalaksanaan inkontinensia.

Inkontinensia dapat meningkatkan kelembaban pada kulit sehingga berisiko terjadinya ulkus. Jika inkontinensia tidak dapat dikendalikan, setelah penatalaksanaan yang sesuai, dapat digunakan bahan absorptif atau alas ompol (underpad).

 Pencegahan terhadap tekanan, gesekan, dan regangan

Mengubah posisi (reposisi) sesering mungkin dapat mencegah efek akibat tekanan, gesekan, dan regangan. Umumnya dengan mengubah punggung pasien miring 30o dari permukaan tempat tidur bergantian ke kanan dan kiri yang dilakukan setiap 2-3 jam untuk risiko tinggi dan 2-4 kali per hari untuk risiko rendah. Hindari posisi 90oterhadap permukaan tubuh yang sempit atau penonjolan tulang.

Untuk mencegah gaya renggangan, jangan mengambil posisi yang rentan terhadap penarikan kulit atau lekukan pada pembuluh darah seperti jangan mendudukan pasien pada sudut 30o karena menyebabkan lekukan pembuluh darah pada gluteal dan sakrum.

Support surfaces

Pengurangan tekanan dapat menggunakan matras/penopang terutama pada saat mempertahankan posisi atau mencegah kontak yang berisiko tekanan besar. Penggunaan alas atau pelindung pada daerah-daerah rentan trauma dapat mencegah gesekan. Beberapa studi yang meneliti efektifitas berbagai support surface dengan hasil yang beragam, yang

(19)

terbukti cukup efektif diantarnya adalah matras khusus, foam, kulit domba yang lebih tebal, alas yang dilapisi gel. Masih terdapat perdebatan mengenai dynamic support vs static support. Sebuah penelitian menunjukkan reposisi setiap 4 jam dan penggunaan matras khusus lebih baik daripada reposisi setiap 2 jam tanpa menggunakan matras khusus.

 Perbaikan nutrisi

Sebuah studi yang cukup baik menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol (diet biasa) risiko relatif terjadinya ulkus dekubitus pada perawatan di rumah sakit sebesar 1,5 kali dibanding kelompok intervensi.

 Edukasi

Edukasi terhadap tenaga kesehatan, pasien, keluarga, dan pramuwerdha (caregiver) mengenai faktor risiko dan perawatan pada pasien dengan faktor riaiko dapat mengurangi angka kejadian ulkus dekubitus.

Sedangkan untuk penatalaksanaan dari ulkus dekubitus, sesuai dengan panduan AHCPR, meliputi1,3,22

 Pendekatan sistemik

Status hidrasi dan nutrisi yang adekuat sangat diperlukan untuk penyembuhan ulkus dekubitus. Pada pasien malnutrisi, nutrisi yang diberikan sekitar 30 – 35 kalori/kgBB/hari dengan protein sebanyak 1,25 – 1,5 g/kgBB/hari.

Pada stadium I dan II, pemberian antiobiotika dapat dipertimbangkan. Pada stadium III diberikan jika didapati bakteriemia, sepsis, selulitis dan osteomielitis. Pada stadium IV pemberian antibiotika secara sistemik.Antibiotik empiris harus berspektrum luas, mencangkup bakteri gram positif, gram negatif, dan anaerob, seperti ampisilin-sulbaktam, imipenem, meropenem, tikarsilin klavulanat, piperasilin tazobaktan, dan kombinasi klindamisin dengan siprofloksasin atau aminoglikosida dapat menjadi pilihan yang sesuai untuk terapi empiris. Antibiotik sistemik juga digunakan untuk profilaksis terhadap endocarditis bakterial pada pasien yang akan dilakukan debrideman ulkus.

 Penggunaan tempat tidur, alas, atau matras khusus

Penggunaan air-fluidized, low-air-loss bed, atau tempat tidur khusus yang dapat mengubah posisi pasien secara otomatis sangat disarankan.

 Perawatan lokal

Pada stadium I dan II umumnya tidak memerlukan pemberian terapi topikal, cukup menjaga kelembaban dan kebersihan ulkus. Pada luka bersih namun tidak menyembuh setelah 2 – 4 minggu dengan perawatan optimal, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin selama 2 minggu. Hindari penggunaan povidon-iodin, hidrogen peroksida, dan asam asetat.

Debrideman harus adekuat bila terdapat jaringan nekrotik. Setelah ulkus bersih dan epitelisasi mulai, lakukan dressing (penutup luka) untuk mempertahankan kelembaban tanpa menghambat penyembuhan.

Manajemen nyeri perlu dilakukan terutama nyeri pada saar debrideman. Pijat manual sirkular pada tepi ulkus dekubitus, dengan menggunakan alat seperti phonophoresis, dapat memperbaiki vaskular daerah luka dan merangsang epitelisasi jaringan.

 Dukungan nutrisi

Beberapa studi menunjukkan manfaat pemberian vitamin C, tetapi tidak didapatkan perbedaan pada pemberian dosis tinggi maupun dosis rendah. Studi lain menunjukkan diet tinggi protein saja tidak cukup, dengan suplementasi zinc, arginine dan antioksidan memberikan penyembuhan yang lebih baik.

 Penutup luka

Dari systematic review terhadap 7 uji klinis acak (collagenase vs fibrinolysin atau deoxyribonuclease, collagenase vs hydrocolloid, radiant heat dressing vs hydrocolloid

(20)

dan/ atau alginate dan phenytoin solution vs normal saline) menunjukkan tidak didapatkan perbedaan dengan penutup luka jenis apapun.

 Pembedahan

Debrideman dan nekrotomi dilakukan pada stadium III dan IV. Pada stadium IV dapat pembedahan rekonstruksi meliputi penutupan luka, cangkok kulit, dan flap miokutaneus serta membuang fragmen tulang yang menonjol. Amputasi dapat dipertimbangkan pada ulkus yang terinfeksi yang menyebabkan komplikasi.

 Terapi eksperimental

Terapi oksigen hiperbarik serta beberapa jenis terapi topikal dan faktor pertumbuhan (growth factor) dapat dipertimbangkan sebagai terapi adjuvan. Platelet-derived growth factor (PDGF), dari 3 uji klinik acak, menunjukkan hasil yang memuaskan dalam terapi ulkus dekubitus.

c. Hipotensi Ortostatik

Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg atau diastolik >10 mmHg yang terjadi segera dalam waktu 2- 3 menit dari posisi berbaring ke posisi tegak dan dapat disertai keluhan pusing atau sinkop (hipotensi ortostatik simptomatik).1

Hipotensi ortostatik dapat dicegah dengan mobilisasi bertahap secara cepat. Perubahan posisi dari berbaring ke posisi duduk dilakukan secepatnya dengan kakik menggantung kebawah sambil digerak-gerakan. Evaluasi terhadap faktor risiko terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan dengan cermat. Medimentosa seperti obat-obat anti hipertensi, diuretik, antiparkinson, antipsikotik, antidepresan, dan vasodilatasi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Defisit cairan juga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.1

Bila telah terjadi hipotensi ortostatik, maka atasi faktor risiko yang reversibel dan dapat dilakukan latihan rekondisi untuk memulihkan tekanan darah menjadi normal serta penggunaan alat seperti stoking elastik pada abdomen dan ekstremitas bawah dapat juga membantu mengatasi hipotensi ortostatik.

d. Kontraktur

Kontraktur adalah deformitas akibat pemendekan serabut otot akibat imobilisasi pada posisi non fungsional contohnya berbaring lama pada posisi tungkai menekuk, membuka keluar, atau drop foot.1

Pencegahan kontraktur dapat dilakukan dengan body positioning/stretching seperti mobilisasi bertahap secara cepat, proper positioning, dan static splinting. Apabila telah terjadi kontraktur, dapat dilakukan latihan sendi ekstremitas baik secara aktif maupun pasif yang disertai slow stretching minimal 1 – 2 kali sehari. Stretching dapat ditambahkan dengan terapi diatermi untuk lebih mempermudah mobilisasi.1

3. Instabilitas dan jatuh

Jatuh merupakan masalah yang serius pada populasi lanjut usia. Setiap tahun,

sekitarsepertiga populasi usia usia diatas 65 tahun dan 50% dari populasi diatas 80 tahun pernah mengalami jatuh. Setengah dari populasi tersebut mengalami jatuh berulang. Sekitar 7% dari populasi di atas 75 tahun masuk ke unit gawat darurat setiap tahun dan lebih dari 40% dari kunjungan tersebut perlu dirawat di rumah sakit.Kejadian lebih banyak pada wanita daripada pria. Data di Klinik Layanan Terpadu Usia Lanjut RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (2007) menunjukkan angka kejadian instabilitas sebesar 19,3% atau 661 kasus. ngka tersebut mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan data hasil penelitian Handayani tahun 2003. Kejadian instabilitas di divisi Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo dilaporkan sebesar 23,3%.20 Selain gangguan keseimbangan, seiring dengan penuaan juga terjadi penurunan kecepatan berjalan sekitar 0,2% per tahun sampai dengan usia 63 tahun. Penurunan kecepatan Penurunan kecepatan tersebut meningkat sampai dengan 1,6% per tahun setelah usia 63 tahun.1

(21)

Jatuh dapat menyebabkan cedera serius bahkan fatal pada lansia dan merupakan penanda klinis yang penting dalam kondisi frailty yang berhubungan dengan kondisi medis lainnya dan peningkatan tingkat mortalitas yang tidak berhubungan langsung dengan cedera akibat jatuh. Jatuh merupakan penyebab kelima kematian pada geriatri. Dampak dari jatuhpun sangat signifikan mempengaruhi kualitas hidup pada populasi lanjut usia.1

3.1. Faktor Presdisposisi dan presipitasi

Penyebab jatuh pada geriatri adalah multifaktorial, banyak hal yang berkontribusi terhadap terjadinya jatuh. Model epidemiologi mengenai hubungan host, agen (aktivitas), dan lingkungan merupakan faktor terjadinya insiden jatuh. Stabilitas, merupakan faktor pencegah jatuh, bergantung integrasi antara fungsi komponen sensorik, susunan saraf pusat, dan efektor muskuloskeletal. Komponen tersebut saling overlapping dan mengkompensasi satu sama lain, namun komponen tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi host seperti sistem kardiovaskular, respiratorik, dan metabolik, serta dipengaruhi juga oleh aktivitas dan lingkungan.Akumulasi perubahan atau gangguan yang mempengaruhi komponen tersebut dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya jatuh.Secara umum, faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Gambar 6)3, 13,24

(22)

FAK

TOR

INTR

INSI

K

FAK

TOR

EKS

TRIN

SIK

J

A

T

U

H

Kon

disi

med

is

dan

neur

opsi

kiatr

ik

Gang

guan

peng

lihat

an

dan

pend

enga

ran

Peru

bah

an

neur

omu

skul

ar,

gait

refle

ks

post

ural,

terk

ait

usia

Ob

at-ob

ata

n

Alat

ban

tu

yan

g

kur

ang

tep

at

Ling

kun

gan

Gambar 6. Faktor intrinsik dan ekstrinsik jatuh

Penggunaan obat yang tidak tepat merupakan faktor risiko paling sering menyebabkan insiden jatuh pada geriatri (Tabel 19) Beberapa kondisi patologis yang timbul seiring dengan bertambahnya usia dapat memperbesar kemungkinan terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit sendi degeneratif (terutama di leher, daerah lumbosakral, dan ekstremitas bawah) dapat menyebabkan nyeri, ketidakstabilan sendi, kelemahan otot, serta gangguan neurologis. Fraktur di

(23)

pangkal paha dan femur dapat menyebabkan gaya berjalan yang abnormal dan kurang stabil. Kelemahan otot atau defisit sensori akibat stroke juga dapat menjadi penyebab instabilitas.25

Tabel 19. analisis pengaruh jensi obat terhadap risiko jatuh25

Golongan obat Jumlah studi Pooled OR 95% CI

Psikotropik Neuroleptik Sedatif Anti depresan Benzodiazepin Diuretik Digoksin

Anti aritmia kelas 1A

20 23 23 28 14 27 18 11 1,73 1,5 1,54 1,66 1,48 1,08 1,22 1,59 1,52-1,97 1,25-1,79 1,40-1,70 1,40-1,95 1,23-1,77 1,02-1,16 1,05-1,42 1,02-2,48

Selain faktor risiko yang telah disebutkan, kecelakan yang tidak terduga dan sinkop mendadak dapat menyebabkan insiden jatuh. Insiden jatuh juga disebabkan gangguan keseimbangan akibat penyakit vestibular maupun non vestibular.1,26

Gangguan keseimbangan dan cara berjalan pada akhirnya dapat menyebabkan jatuh dan selanjutnya patah tulang yang mengancam nyawa. Di Ruang Rawat Akut Geriatri RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (2001) tercatat 15 pasien dari 146 pasien yang dirawat karena instabilitas dan sering jatuh.Di ruangan yang sama pada tahun 1999, 2000, dan 2001 masing-masing tercatat sebanyak 25, 31, dan 42 pasien yang harus dirawat karena fraktur femur akibat jatuh.1

Hipotensi ortostatik juga berperan terhadap kejadian instabilitas dan jatuh. Hipotensi ortostatik terjadi pada sekitar 20% orang yang berusia 65 tahun atau lebih. Hipotensi ortostatik dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, dehidrasi, atau akibat perubahan atau penyakit yang mempengaruhi kontrol otonom tonus vaskular. Sedangkan hipotensi postprandial dapat dicurigai pada orang yang mengeluh pusing atau jatuh setelah makan. Mereka dengan hipotensi ortostatik dan/atau postprandial memiliki risiko terjadinya sinkop dan jatuh bila mendapat terapi diuretik dan obat antihipertensi.21,24 tantripenyakit penyerta juga dapat menjadi penyebab terjadinya jatuh seperti penyakit kardiovaskular. Selain itu, kelainan pada saluran kemih seperti OAB, inkontinensia tipe urgensi, dan nokturia berhubungan pula dengan kejadian jatuh.27

Tabel 20. Hasil dari kumpulan analisis univarian terhadap faktor risiko jatuh yang paling sering.27

Faktor Risiko Adjusted RR-OR 95% CI

Penggunaan medikasi Gangguan kognitif Kelemahan otot Riwayat jatuh Gangguan gait Gangguan keseimbanganan Penggunaan alat bantua Gangguan penglihatan Arthritis Gangguan ADLb Depresi Masalah kaki Usia > 80 tahun 28,3 5,0 4,4 3,0 2,9 2,9 2,6 2,5 2,4 2,3 2,2 1,8 1,7 3,4-239,4 1,8-13,7 1,5-10,3 1,7-7,0 1,3-5,6 1,6-5,4 1,2-4,6 1,6-3,5 1,9-2,9 1,5-3,1 1,0-2,3 1,0-3,1 1,1-2,5 a alat bantu keseimbangan/berjalan

(24)

bActivities of Daily Living

Kejadian jatuh pada geriatri sulit diprediksi kapan terjadinya. Sekitar 70% insiden jatuh ternyata terjadi pada saat berjalan biasa dirumah, 10% insiden jatuh terjadi pada saat menuruni tangga dan sekitar 5% pada saat menanjak kursi atau tangga, serta jatuh juga dapat dipicu pada saat pasien berubah posisi.27

3.2. Evaluasi risiko jatuh

Evaluasi risiko jatuh pada lanjut usia dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komprehensif dan sistematis untuk mengidentifikasi semua faktor-faktor predisposisi. Perlu diperhatikan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi medis pada lanjut usia tidak khas dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga menilai semua aspek dan faktor yang berkontribusi sangat essential. Dengan mengindetifikasi faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menurunkan risiko jatuh dengan memodifikasi faktor-faktor tersebut.27

Dalam anamnesis perlu diketahui kondisi umum saat ini untuk melihat risiko kasar terjadinya jatuh. Riwayat jatuh sebelumnya termasuk gejala yang mendahuluinya, lokasi, situasi sekitar saat terjatuh perlu juga ditelusuri. Kondisi medis yang berhubungan dengan risiko jatuh perlu dievaluasi satu persatu seperti penyakit neurologis perlu pemeriksaan keseimbangan, gait, tonus otot, dan koordinasi. Evaluasi kondisi lain dan intervensinya dapat dilihat di tabel 21.27

Tabel 21. Faktor predisposisi jatuh dan intervensi27

Faktor Predisposisi Contoh intervensi

Sensorik

Visual: tajam penglihatan, persepsi Pendengaran

Disfungsi vestibular proprioseptif Saraf pusat

Penyakit saraf pusat : seperti parkinson, NPH Dementia

Muskuloskeletal

Kelemahan otot: ekstremitas atas dan bawah

Arthropati

Gangguan kaki: propioseptif, pola gait Lain-lain

Hipotensi postural

Depresi

Medikamentosa

Tata laksana penyakit dasar, koreksi refraksi, ekstrasi katarak, pencahayaan yang baik Tata laksana penyakit dasar, hearing aid, mengurangi bising

Tata laksana penyakit dasar, latihan vestibular, hindari obat vestibulotoksik Tata laksana penyakit dasar, latihan keseimbangan, koreksi pola berjalan Tata laksana penyakit dasar, fisioterapi Tata laksana penyakit dasar, instrumentasi, ambulansi

Tata laksana penyakit dasar, latihan keseimbangan dan gait

Tata laksana penyakit dasar, rehidrasi, hindari obat pencetus, elevasi kepala saat tidur Antidepresan dengan efek antikolinergik minimal

Penggunaan dosis efektif yang paling minimal atau dihentikan bila memungkinkan

(25)

Pada pasien yang mengalami jatuh, diperlukan evaluasi yang komprehensif terdiri atas anamnesis yang rinci termasuk riwayat jatuh dan riwayat medis lainnya terutama faktor risiko terjadinya jatuh, pemeriksaan fisik, pengkajian cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh, serta pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium (Gambar 7).

Pada insiden jatuh pertama kali, sangat penting untuk mencari mekanisme, situasi, waktu, lokasi, dan faktor penyebab/pencetus terjadi jatuh. Pada pemeriksaan fisik, perlu dilakukan pemeriksaan keseimbangan dan gait salah satunya denganGet up and Go Test. Bila terdapat kelainan maka perlu dilakukan evaluasi mendalam. Pada pasien yang jatuh berulang atau terdapat faktor risiko jatuh, anamnesis sebaiknya difokuskan pada riwayat medis umum dan pengobatan pasien, pendapat pasien tentang penyebab jatuh, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda yang menyertai (seperti palpitasi akibat aritmia atau gejala neurologis fokal akibat transient ischemic attack), dan apakah terdapat riwayat kehilangan kesadaran. Adanya riwayat kehilangan kesadaran setelah jatuh penting diketahui dan patut dicurigai kelainan jantung (aritmia sesaat atau blok jantung) ataupun kejang (terutama bila terdapat inkontinensia). Pemeriksaan pada penyakit penyerta perlu dilakukan sperti pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, gangguan saraf, dan DM.3,24

Gambar 7. Evaluasi terhadap pasien uia lanjut yang mengalami jatuh28

Oleh karena jatuh dapat disebabkan oleh berbagai penyakit akut, maka pada pemeriksaan fisik harus benar-benar diperhatikan tanda vital pasien. Adanya demam, takipnu, takikardi, dan

(26)

First

Target

Second

Target

Third

Target

Fourth

Target

hipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli paru, atau perdarahan gastrointestinal. Adanya hipotensi postural juga perlu diwaspadai karena selain dapat terjadi pada lansia yang sehat dan tanpa gejala, dapat pula terjadi pada orang yang mengalami deconditioning akibat imobilisasi berkepanjangan atau mengalami insufisiensi vena. Hipotensi postural dapat diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah akut, atau efek samping obat.27,29

Gambar 8. Pendekatan sistematik tata laksana jatuh 3.3. Tata Laksana Jatuh

Prinsip dasar tata laksana lansia dengan masalah instabilitas dan jatuh adalah mengkaji serta mengobati trauma fisik akibat jatuh.Morbiditas paling sering dari jatuh adalah fraktur pelvis terutama pada wanita dengan osteoporosis, ketidakmampuan untuk bangun tanpa bantuan, dan kecemasan untuk jatuh kembali serta kehilangan kepercayaan diri.30

Jatuh adalah sumber mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia yang dapat dicegah. Dalam menangani pasien usia lanjut yang mengalami jatuh, yang pertama dilakukan adalah mengobati jejas fisik terlebih dahulu, kemudian menangani kondisi yang mendasarinya, mencegah terulangnya jatuh. Edukasi dan terapi fisik seperti latihan keseimbangan, penguatan otot, alat bantu, terapi perilaku juga perlu dilakukan. Modifikasi lingkungan juga tidak kalah pentingnya, terutama dalam mencegah terulangnya jatuh, seperti alat-alat rumah tangga, furnitur, karpet, tangga, pencahayaan yang disesuaikan.3 Pada gambar 8 dapat dilihat pendekatan sistematik pencegahan insiden jatuh dan fraktur pada lanjut usia. Pencegahan terbagi atas empat tahap yaitu:30

a. Target pertama: Penatalaksanaan pada insiden jatuh dengan komplikasi fraktur panggul. Perlu adanya usaha untuk terus memperbaiki kondisi pada pasien dengan fraktur panggul tidak stabil baik pada prognosis, waktu operasi, lama perawatan, maupun pencegahan pasca perawatan.

(27)

Dalam menata laksana pasien jatuh, perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu karena penilaian multidisiplin dalam pencegahan kejadian jatuh berulang akan menurunkan angka kejadian jatuh di masa yang akan datang. Penilaian multidisiplin pada pasien di rumah sakit mampu menurunkan risiko kejadian jatuh berikutnya pada lansia dengan jatuh rekuren yang tinggal di komunitas sebesar 9%.24Kemudahan dalam mengakses pusat pelayanan harus sangat diperhatikan untuk pencegahan sekunder dan pemantauan berkala pada pasien geriatri dapat menurunkan risiko jatuh berulang.

Mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh juga sangat penting pasca insiden jatuh. Memberikan terapi fisik dan edukasi berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup, pegangan, dan lantai yang tidak licin dapat mencegah terjadi jatuh berulang.20

c. Target ketiga: Penatalaksanan atau intervensi awal pada kelompok risiko tinggi.

Perlunya identifikasi multifaktor risiko, seperti yang telah disebutkan diatas, pada lanjut usia kelompok risiko tinggi serta penanganan segera terhadapat faktor-faktor risiko tersebut. Untuk pasien lansia dengan risiko tinggi jatuh dan fraktur pangkal paha, penggunaan hip protector sebaiknya dipertimbangkan. Meskipun berbagai studi klinis dan metaanalisis telah dilakukan, tidak terdapat bukti pasti bahwa hip protector mengurangi morbiditas pada pasien jatuh. Namun, pada pasien risiko tinggi yang menggunakan hip protector, alat tersebut dapat menjadi alat preventif yang sederhana dan relatif tidak mahal.21

d. Target keempat: Pencegahan primer insiden jatuh.

Proses penuaan tidak dapat dicegah, oleh karena itu diperlukan intervensi sejak awal (sebelum masuk usia lanjut) untuk menahan atau mencegah terjadinya faktor predisposisi jatuh. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivitas fisik yang sehat, memodifikasi gaya hidup, dan mengurangi faktor risiko yang berasal dari eksternal. Intervensi pencegahan ini bersifat individual yang tidak dapat disamakan pada setiap pasien.27 Komponen penting yang harus diperhatikan dari tata laksana multidisiplin adalah olahraga dan latihan untuk memperbaiki defisit keseimbangan, mobilitas, dan kekuatan; memperbaiki defisit sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibular, dan fungsi proprioseptif); evaluasi dan terapi hipotensi postural; mengkaji dan mengurangi obat-obatan; menata laksana masalah kaki; serta modifikasi lingkungan dan menggunakan alat bantu.24

Olahraga merupakan bagian penting dari strategi pencegahan jatuh. Olahraga tersebut meliputi latihan kekuatan dan keseimbangan di bawah pengawasan terapis fisik. Dengan demikian akan memperbaiki rasa percaya diri lansia dan mengurangi rasa takut akan jatuh sehingga menurunkan angka kejadian jatuh. Selain itu, lansia juga dapat diajarkan cara untuk bangkit dari lantai setelah jatuh.24,25,28

Vitamin D dipercaya dapat menurunkan kejadian jatuh dengan meningkatkan kekuatan otot. Namun, bukti dari 13 studi dengan 23.112 partisipan menyatakan bahwa vitamin D tidak efektif dalam menurunkan kejadian jatuh pada lansia, dengan kemungkinan pengecualian bagi mereka yang mengalami defisiensi vitamin D.28

Studi Gillespie, dkk. (2009) mengemukakan bahwa intervensi lingkungan rumah tidak menurunkan kejadian jatuh (RaR 0,90; 95% CI 0,79 – 1,03 dan RR 0,89; 95% CI 0,80 – 1,00), tetapi efektif bagi mereka dengan gangguan penglihatan berat dan memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi. Penggunaan sepatu anti-slip pada lantai yang licin dapat mengurangi kejadian jatuh (RaR 0,42; 95% CI 0,22 – 0,78).28,29

Beberapa obat-obatan meningkatkan risiko jatuh. Penghentian obat psikotropik secara bertahap serta modifikasi peresepan yang komprehensif oleh dokter pelayanan primer dapat menurunkan kejadian jatuh, tetapi tidak dengan risiko jatuh. Intervensi pemedahan

(28)

juga diuji pada beberapa studi, meskipun dalam jumlah sedikit. Hasil tinjauan studi tersebut adalah bahwa alat pacu jantung untuk orang dengan hipersensitivitas sinus karotid dan operasi katarak pada mata yang terkena dapat menurunkan kejadian jatuh pada lansia.28,29

4. Penurunan intelektual (delirium dan demensia)

Delirium dan demensia dapat ditemukan pada usia lanjut, pada keduanya didapatkan penurunan fungsi kognitif. Delirium bersifat reversibel, sedangkan demensia progresif. Keduanya dapat saling tumpang tindih dimana usia lanjut rentan mengalami delirium pada setiap kondisi medis akut.

Delirium dan demensia dapat dibedakan dari:3

Delirium Demensia

Onset Akut, mendadak, sering muncul pada malam hari

Perlahan, progresif Perjalanan Fluktuatif, dengan interval lucid

umumnya pada pagi hari

Umumnya stabil progresif

Durasi Jam – minggu Bulan – tahun

Kewaspadaan Menurun Baik

Atensi Menurun/ meningkat, mudah

dialihkan, berfluktuasi

Biasanya normal (pada saat awal) Orientasi Biasanya terganggu untuk waktu,

tempat dan orang

Seringkali terganggu Memori Terganggu untuk jangka pendek dan

menengah

Terganggu dari jangka sangat pendek hingga jangka panjang (seiring dengan progresivitas)

Proses berpikir Disorganisasi Kemampuan berpikir menurun

Persepsi Ilusi dan halusinasi, cukup sering Biasanya normal Bicara Inkoheren, tidak lancar, lambat atau

cepat

Kesulitan menemukan kata-kata Siklus

tidur-bangun

Selalu terganggu Terfragmen

Penyakit fisik, keracunan obat

Didapatkan Seringkali tidak ada, umumnya

penyakit Alzheimer

Gambar 9. Karakteristik perjalanan demensia karena penyakit Alzheimer dan demensia vaskuler (multi-infark) dan perbedaanya dengan delirium (Wattis and Curran, 2009)

Gambar

Tabel 1. Epidemiologi kondisi-kondisi medis pada lanjut usia di Indonesia Indonesia
Gambar 1. Inervasi buli-buli  8
Tabel 4. Medikamentosa yang dapat mempengaruhi fungsi berkemih ( 7,10 )
Tabel 5. Tipe-tipe Inkontinensia Urine 8,17
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Seiring dengan bertambahnya usia, organ-organ pada bayi juga akan berkembang. Pada usia 1 atau 2 tahun, bayi akan mulai belajar berjalan dan mengendalikan fungsi anggota tubuh

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak

Pada penyakit ginjal  penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan sehingga kronik terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan sehingga terjadi

7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga

Tes faal paru yang dilakukan pada pasien-pasien penyakit ginjal kronis dapat menunjukkan adanya gangguan yang amat bervariasi, mulai dari fungsi paru yang normal sampai dengan

Tes faal paru yang dilakukan pada pasien-pasien penyakit ginjal kronis dapat menunjukkan adanya gangguan yang amat bervariasi, mulai dari fungsi paru yang normal sampai dengan

Penurunan fungsi organ lain juga dapat menjadi faktor terjadinya hipertensi seperti organ ginjal terjadi kerusakan atau penurunan fungsi glomerulo filtrasi rate, yang paling sering

Penurunan fungsi organ lain juga dapat menjadi faktor terjadinya hipertensi seperti organ ginjal terjadi kerusakan atau penurunan fungsi glomerulo filtrasi rate, yang paling sering