• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI TARI WURA BONGI MONCA SANGGAR LA-HILA, DOMPU, SUMBAWA OLEH: I GUSTI AYU ANANTA WIJAYANTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI TARI WURA BONGI MONCA SANGGAR LA-HILA, DOMPU, SUMBAWA OLEH: I GUSTI AYU ANANTA WIJAYANTRI"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH:

I GUSTI AYU ANANTA WIJAYANTRI 2010 01 001

PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI JURUSAN SENI TARI

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2014

(2)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI

PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI JURUSAN SENI TARI

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2014

(3)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Ni Made Ruastiti, SST., M.Si Ni Wayan Parmi, SST., M.Si

(4)

Hari, tanggal : Senin, 12 Mei 2014

Ketua : I Wayan Suharta, S.SKar., M. Si (………….……….) NIP. 19630730 199002 1 001

Sekretariat : Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum (………….……….) NIP. 19641231 199002 1 040

Dosen Penguji

1. Dra. Dyah Kustiyanti, M. Hum (……...……….)

NIP. 19581215 198902 2 001

2. Dr. Ni Made Ruastiti, SST., M.Si (……...……….) NIP. 19650322 199203 2 001

3. Ni Wayan Parmi, SST., M. Si (……...……….)

NIP. 19530519 197803 2 001

Disahkan pada tanggal : 12 Mei 2014

Mengesahkan: Mengetahui:

Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Seni Tari

Institut Seni Indonesia Denpasar Ketua, Dekan,

I Wayan Suharta, S.SKar., M. Si A. A. A. Mayun Artati, SST., M.Sn NIP. 19630730 199002 1 001 NIP. 19641227 199003 2 001

(5)

anugerah-Nyalah skripsi yang berjudul “Tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila, Dompu, Sumbawa”, dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi (S1) Sarjana Seni pada Jurusan Seni Tari dalam bidang Pengkajian, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya apabila tidak dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan banyak terima kasih khususnya kepada:

Yang terhormat Dr. Ni Made Ruastiti, SST., M.Si, selaku pembimbing I, yang telah banyak membantu, memberikan bimbingan, masukan-masukan, dan saran-saran hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih pula diucapkan kepada yang terhormat Ni Wayan Parmi, SST., M.Si, selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberikan masukan-masukan, saran-saran hingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Tim Penguji, antara lain yang terhormat Dra. Dyah Kustiyanti, M.Hum, Dr. Ni Made Ruastiti, SST., M.Si, Ni Wayan Parmi, SST., M.Si, yang telah memberikan koreksi, masukan-masukan, dan saran-saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada yang terhormat Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum, selaku Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar beserta jajarannya, atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh studi S1 bidang Pengkajian Seni, di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar. Terima kasih juga tidak lupa diucapkan kepada yang terhormat I Wayan Suharta, S.SKar., M.Si, selaku Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar beserta jajarannya, atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh studi S1 bidang Pengkajian Seni di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada yang terhormat A.A.A. Mayun

(6)

Drs. I Gusti Bagus Priatmaka, M.M., Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama ISI Denpasar beserta jajarannya, atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh perkuliahan S1 bidang Pengkajian Seni di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh pegawai dan staf Tata Usaha Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar beserta jajarannya, yang telah membantu penulis dalam meregistrasi perkuliahan selama penulis menempuh studi S1 bidang Pengkajian Seni di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada yang terhormat I Gede Kompiang Widnyana, SST., M.Hum, Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis sejak awal hingga menyelesaikan perkuliahan S1 bidang Pengkajian Seni di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar. Tidak lupa pula penulis ucapan terima kasih kepada yang terhormat seluruh Dosen di Jurusan Seni Tari, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah menuntun, memberi ilmu pengetahuan selama penulis menempuh perkuliahan S1 bidang Pengkajian Seni di Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.

Terima kasih pula disampaikan kepada para informan yakni, Fatimah H. Mustakim, S. Pd dan I Gusti Ayu Tri Utama, S. Pd, serta kepada Akarim M. Saleh, Julkifli, H. Hilir, S.Pd., Aulia, Rubiawati, Rubiatul, Arsahd, Hamid, dan Junaidin, yang telah banyak membantu memberikan informasi dan membantu mencarikan data-data terkait dengan objek penelitian ini. Terima kasih pula disampaikan kepada teman-teman Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar, yakni Ida Ayu Made Suwari Yanti, Ni Luh Dian Arista Dewi, Ni Nyoman Suartini, Ni Wayan Trisna Dewi, dan Ella Jayanuari, yang telah mendukung, memberi semangat kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.

(7)

kasih kepada orang-orang terdekat khususnya Otniel Rico Dhinata Kawi, Ni Luh Putu Eva Savitri, Grace Wiguna, Ariyitna Zianet Charmeis, Eva Susanti, dan Ni Ketut Pitriasih, yang telah mendukung, memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya untuk kalian yang berhati mulia. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa ini.

Denpasar, Mei 2014 Penulis

(8)

mengenal tarian tersebut. Hal itu disebabkan karena Tari Wura Bongi Monca di daerah itu sering dipentaskan dalam acara-acara pernikahan maupun acara-acara penting lainnya. Di Dompu sesungguhnya banyak terdapat sanggar tari yang telah pernah mengembangkan tari Wura Bongi Monca. Namun hingga kini, hanya Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hilalah yang bertahan. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan bagaimana sesungguhnya bentuk pertunjukan Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila, kapan dan mengapa tarian itu muncul, serta mengapa tari itu terus dilestarikan oleh masyarakat Dompu. Penelitian yang berlokasi di daerah Dompu, tempat Sanggar La-Hila itu berada dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, dan dianalisis dengan Teori Estetika, Teori Religi, dan Teori Fungsional Struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila disajikan dalam bentuk tari lepas, tanpa lakon, oleh 4 orang penari putri atau lebih. Tata rias busananya ditata sesuai dengan budaya masyarakat Dompu, yang dominan berasal dari daerah Bugis, yakni menggunakan baju bodo, aksesoris seperti budaya Bugis. Dengan diiringi musik tradisional daerah Dompu, para penari membawa boko, sebuah mangkok berisi beras kuning, simbol kemakmuran, yang ditaburkan di hadapan pengantin dan tamu undangan, sebagai ungkapan syukur dan berkah atas karuniaNya.

Tari Wura Bongi Monca diperkirakan telah ada di Dompu sejak zaman mesolithikum, dan semakin subur ketika agama Hindu berkembang di daerah tersebut. Bermula dari adanya tradisi upacara untuk memohon kesuburan yang dilengkapi Tari Wura Bongi Monca diiringi nyanyian-nyanyian kidung, di setiap akan dan mengakhiri panen raya. Namun semenjak masyarakat Dompu banyak menganut agama Islam, merekapun tidak pernah lagi melakukan upacara ritus seperti itu, karena dianggap musrik. Perubahan orientasi nilai dan meningkatnya ekonomi masyarakat Dompu, membuat mereka kemudian mengubah bentuk syukurannya menjadi pesta dan acara makan-makan yang diawali oleh Tari Wura Bongi Monca, yang ditata lebih glamour oleh Sanggar La-Hila.

Jika diamati dari fungsinya, tari Wura Bongi Monca yang kini telah berkembang sebagai simbol kemapanan sosial ekonomi masyarakat Dompu dapat berfungsi sebagai hiburan, sebagai pendorong kreativitas seniman daerah Dompu, sebagai pengikat solidaritas sosial masyarakat, sebagai sarana pendidikan, dan sebagai sarana penunjang ekonomi para pelakunya. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, Tari Wura Bongi Monca itu muncul dan berkembang hingga kini karena memang berguna (use), berfungsi (function), dan bermakna (meaning) sebagai identitas budaya masyarakat Dompu.

(9)

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix MOTTO ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Kajian Sumber ... 7

2.2 Landasan Teori ... 13

2.2.1 Teori Estetika ... 13

2.2.2 Teori Religi ... 14

2.2.3 Teori Fungsional Struktural ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Rancangan Penelitian ... 20

3.2 Lokasi Penelitian ... 21

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 25

3.4 Instrumen Penelitian ... 26

3.5 Teknik Penentuan Informan ... 27

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 29

(10)

3.8 Penyajian Hasil Penelitian ... 39

BAB IV TARI WURA BONGI MONCA SANGGAR LA-HILA, DOMPU, SUMBAWA……. ... 41

4.1 Bentuk Pertunjukan Tari Wura Bongi Monca……… ... 41

4.1.1 Struktur Pertunjukan….. ... 47

4.1.2 Penari ... 66

4.1.3 Tata Rias dan Busana Tari. ... 69

4.1.4 Musik Iringan Tari……….. 78

4.1.5 Tempat Pementasan. ... 94

4.2 Awal Mula Munculnya Tari Wura Bongi Monca di Dompu ... 96

4.3 Fungsi Tari Wura Bongi Monca ... 114

4.3.1 Sebagai Hiburan ... 114

4.3.2 Sebagai Pengikat Solidaritas Sosial Masyarat ... 116

4.3.3 Sebagai Pendorong Kreativitas ... 118

4.3.4 Sebagai Sarana Pendidikan ... 119

4.3.5 Sebagai Strategi Pelestarian Seni Budaya ... 123

4.3.6 Sebagai Penunjang Ekonomi Para Pelakunya ... 124

4.3.7 Sebagai Identitas Budaya ... 127

BAB V PENUTUP ... 131 5.1 Kesimpulan ... 131 5.2 Saran ... 133 DAFTAR SUMBER ... 134 1. Daftar Pustaka ... 134 2. Daftar Internet ... 137 LAMPIRAN Lampiran 1 Glosarium ... 138

(11)
(12)

Tabel 2 Sistem Penotasian Musik Iringan Tari Wura Bongi Monca ... 90

(13)

Peta 2 Peta Kabupaten Dompu ... 23

Foto 1 Gerak Lampa Sadeda ... 50

Foto 2 Gerak Menabur Beras Kuning (kakiri kamai) ... 52

Foto 3 Gerak Lampa Sere ... 53

Foto 4 Gerakan Mengambil Beras Kuning Weha Bongi ... 55

Foto 5 Gerak Lampa Dihidi-Kakiri kamai ... 57

Foto 6 Gerak Karuku Siku Rima ... 58

Foto 7 Gerakan Berputar di Tempat (Doho) ... 60

Foto 8 Tata Rias Wajah dan Kepala ... 70

Foto 9 Tata Busana Tari Wura Bongi Monca ... 72

Foto 10 Baju Bodo ... 73

Foto 11 Celana dan Kain Tari Wura Bongi Monca ... . 74

Foto 12 Contoh Salepe Untuk Mengencangkan Kain ... 75

Foto 13 Contoh Salepe Untuk Menambah Artistic ... 75

Foto 14 Macam-macam Contoh Salepe Untuk Menambah artistik ... 76

Foto 15 Anting (Giwa Naru) dan Kalung (Kondo Naru) ... 76

Foto 16 Busana Lengkap Tari Wura Bongi Monca ... 77

Foto 17 Boko ... 78

Foto 18 Genda Nae dan Genda Toi ... 82

Foto 19 Katongga Oo dan Katongga Besi ... 83

Foto 20 Tawa-tawa ... 84

Foto 21 Rebana ... 86

Foto 22 Gong ... 86

Foto 23 Notasi Serunai ... 88

Foto 24 Pemain Musik Memainkan Serunai ... 89

(14)
(15)

Motto

Menyerah adalah mereka yang lemah,

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tari Wura Bongi Monca adalah sebuah tari penyambutan yang sangat terkenal di daerah Dompu. Dikatakan demikian karena hampir setiap orang di Dompu mengenal tarian tersebut. Hal itu disebabkan karena tari Wura Bongi Monca sering dipentaskan dalam acara-acara pernikahan maupun acara-acara penting lainnya. Hal itu disebabkan karena tari Wura Bongi Monca sering dipentaskan pada acara-acara resepsi pernikahan dan acara-acara penting lainnya. Begitu diminatinya tarian tersebut sehingga bisa dipastikan bahwa hampir setiap acara penting di Dompu dimeriahkan oleh pertunjukan tari Wura Bongi Monca kreasi dari Sanggar La-Hila.

Seiring perkembangan zaman, tari Wura Bongi Monca itupun hilang dari permukaan bumi, bersamaan dengan hilangnya tradisi masyarakat setempat melakukan upacara panen raya. Sebagaimana dikatakan oleh Hariyanto bahwa perubahan sosial-budaya pada suatu masyarakat disebabkan karena adanya perubahan struktur pada masyarakatnya, urbanisasi, migrasi, dan lain sebagainya (2009:13). Begitu pula halnya terhadap kebudayaan masyarakat Dompu. Masuknya pengaruh Islam ke Dompu yang dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh agama dari Aceh, membuat masyarakat setempat tidak pernah lagi melakukan tradisi upacara panen raya yang diiringi persembahan tari Wura Bongi Monca karena dianggap musrik. Musrik artinya menyekutukan dan menduakan

(17)

Allah (Tuhan). Perbuatan menyekutukan dan menduakan Allah tersebut sangat dilarang dan merupakan perbuatan berdosa dalam ajaran agama Islam.

Berubahnya orientasi nilai dan budaya masyarakat setempat tampak berpengaruh terhadap berbagai komponen budaya yang mereka miliki. Hal itu dapat dilihat dari perubahan cara mereka dalam menyikapi kehidupannya maupun menata seni budayanya. Dengan meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat

Dompu, kini mereka sering mengadakan acara syukuran dengan

menyelenggarakan pesta dan makan-makan disertai pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila.

Sebagai ucapan selamat datang kepada para tamu yang hadir, dan sebagai ungkapan puji syukur atas berkah yang telah mereka nikmati, masyarakat Dompu menampilkan tari Wura Bongi Monca pada acara-acara penting mereka. Kini, tari Wura Bongi Monca telah berkembang sebagai tari penyambutan khas daerah Dompu dan simbol kemapanan status sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Artinya bahwa jika pada suatu acara dipentaskan tarian itu, maka dipastikan orang yang punya hajat itu adalah orang yang mapan secara sosial ataupun mapan secara ekonomi. Atau bisa juga terjadi sebaliknya, jika orang yang mapan secara ekonomi atau mapan secara sosial maka dipastikan mereka pasti akan menampilkan tari Wura Bongi Monca. Karena hanya orang mapan ekonomi atau mapan di bidang sosial saja yang mampu mengundang pentas tarian yang dikembangkan Sanggar La-Hila itu.

Di Dompu sesungguhnya banyak terdapat sanggar tari yang telah pernah mengembangkan tari Wura Bongi Monca, antara lain Sanggar Meci Angi,

(18)

Sanggar Sampela Mantika, Sanggar Madaduli, Sanggar Nggahi Rawi Pahu dan Sanggar La-Hila. Namun hingga kini, hanya Tari Wura Bongi Monca kreasi Sanggar La-Hilalah yang diminati masyarakat. Sanggar Meci Angi misalnya, tampak tari annya terlalu didominasi oleh ragam gerak bernuansa daerah Bali sehingga kurang diminati masyarakat Dompu. Sanggar Sampela Mantika yang pertunjukannya terlalu didominasi oleh gerakan tangan yang monotone, yakni gerak tangan berayun-ayun saja sehingga terkesan sangat membosankan. Begitu pula dengan Sanggar Madaduli yang pertunjukannya terlalu didominasi oleh gerakan kaki menjinjit tanpa diimbangi pengembangan pola gerak tangan yang memadai, sehingga tari an yang ditampilkan tampak kurang menarik. Begitu pula dengan Sanggar Nggahi Rawi Pahu yang terlalu banyak menampilkan pengulangan-pengulangan gerak. Berbeda halnya dengan Sanggar La-Hila yang walaupun tampak masih mempergunakan ragam gerak tari tradisional daerah Dompu tetapi tari Wura Bongi Monca yang dikembangkannya sangat disenangi masyarakat Dompu.

Alasan lainnya adalah sanggar-sanggar tari di Dompu pada umumnya tidak memiliki ragam gerak tari penyambutan Wura Bongi Monca yang pasti. Artinya, ragam gerak tari Wura Bongi Monca yang terstruktur secara pasti yang ditampilkan disetiap pementasan hanya dari Sanggar La-Ha. Setiap pementasan tari Wura Bongi Monca yang dilakukan oleh sanggar-sanggar tari di Dompu, yakni Sanggar Meci Angi, Sanggar Madaduli, Sanggar Sampela Mantika, dan Sanggar Nggahi Rawi Pahu tidak memiliki struktur pertunjukan yang pasti atau sama.

(19)

Berbeda halnya dengan Tari Wura Bongi Monca yang ditampilkan oleh Sanggar La-Hila. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan bagaimana sesungguhnya bentuk pertunjukan Tari Wura Bongi Monca kreasi Sanggar La-Hila tersebut, kapan dan mengapa tari an itu muncul, serta mengapa tari itu hingga kini dilestari kan masyarakat Dompu.

Bentuk pertunjukan tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila yang ditampilkan memang sederhana, namun sangat diminati masyarakat Dompu. Tari kesuburan masyarakat Dompu yang dikembangkan Sanggar La-Hila sebagai tari penyambutan itu bahkan kini telah berkembang menjadi simbol kemapanan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila sangat menarik untuk dikaji.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas muncul pertanyaan bahwa di daerah Dompu banyak terdapat sanggar tari yang telah berusaha mengembangkan tari Wura Bongi Monca, namun hingga kini hanya tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila lah yang paling diminati penonton. Oleh karena itu, dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila ?

2. Bagaimana awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca di Dompu ? 3. Apa fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat Dompu ?

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan memiliki tujuan tertentu yang harus dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila ?

1. Untuk mengetahui awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca di Dompu. 2. Untuk mengetahui fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat Dompu.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis bagi masyarakat akademis dan juga kepada masyarakat Dompu khususnya. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang tari penyambutan daerah Dompu yang berdinamika sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Sementara, manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai referensi tentang tari Wura Bongi Monca yang hingga kini masih berkembang di daerah Dompu.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ilmiah sangat diperlukan guna membatasi pembahasan kajian. Terkait dengan itu, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, yakni bagaimana bentuk pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila,

(21)

awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca di daerah Dompu, serta fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat setempat.

(22)

BAB II

KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Sumber

Kajian sumber merupakan telaah terhadap sumber-sumber, pustaka, hasil-hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk membuktikan bahwa penelitian tari Wura Bongi Monca, di Dompu ini original (belum ada yang meneliti).

Seni tari , khususnya tari penyambutan telah banyak ditulis oleh para penulis dari Indonesia maupun dari mancanegara. Namun dari penelusuran hasil-hasil penelitian tersebut belum ada yang mengkaji tentang tari Wura Bongi Monca di Dompu. Beberapa hasil penelitian yang dimaksud antara lain, adalah sebagai berikut.

Dibia dalam bukunya yang berjudul Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali (1999), menjelaskan bahwa di Bali banyak berkembang tari penyambutan yang tercipta atas inspirasi dari tari persembahan. Beberapa tari penyambutan yang dimaksud antara lain tari Puspawresti, tari Gabor, tari Panyembrama, tari Sekarjagat, dan lain-lain. Tari -tari penyambutan tersebut ditari kan oleh sekelompok penari putri dengan membawa bokor, sejenis tempat bunga. Bunga dalam bokor tersebut kemudian ditaburkan di hadapan para tamu sebagai ucapan selamat datang dan syukur atas terselenggaranya acara yang dilangsungkan. Hal itu hampir sama dengan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan dari tari kesuburan masyarakat daerah Dompu. Ketika tari an tersebut dipentaskan para

(23)

penari juga membawa boko, sejenis tempat bunga. Namun, dalam tari Wura Bongi Monca yang ditaburkan di hadapan para tamu bukan bunga melainkan beras kuning. Walaupun yang ditaburkan tidak sama tetapi makna bunga dan beras kuning sama, yaitu sebagai ungkapan selamat datang dan rasa syukur atas terselenggaranya suatu acara. Selain persamaan itu, tampak kedua penelitian tersebut juga sama-sama membahas tentang tari penyambutan yang tercipta atas inspirasi dari gerak tari persembahan, akan tetapi kedua lokasi penelitian ini berbeda. Dibia membahas tari penyambutan yang ada di Bali, sementara penelitian tari Wura Bongi Monca berlokasi di Dompu.

Ruastiti dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan Pariwisata Bali (2010), mengungkapkan bahwa di Bali, khususnya puri-puri di Bali, menampilkan tari penyambutan, seperti tari Puspawresti, tari Pendet, tari Panyembrama, dan lain-lain yang dikatakan tercipta atas inspirasi dari tari persembahan kepada para dewa. Seiring perkembangan budaya masyarakat Bali yang kini banyak dikunjungi wisatawan maka para seniman Bali pun menampilkan tari penyambutan itu untuk menyambut wisatawan ke puri-puri tersebut. Keberadaan tari penyambutan yang kini sering ditampilkan untuk menyambut para tamu, yakni wisatawan ke puri hampir sama dengan keberadaan tari Wura Bongi Monca di Dompu yang sama-sama dikembangkan dari tari persembahan untuk memuja roh nenek moyang mereka. Akan tetapi lokasi penelitian Ruastiti berada di daerah Bali, sementara penelitian tari Wura Bongi Monca ini berlokasi di daerah Dompu.

(24)

Bandem dalam bukunya yang berjudul Evolusi Tari Bali (1996), mengungkapkan bahwa tari mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat pendukungnya. Sebagaimana tari Rejang Dewa dikatakannya bahwa telah banyak menginspirasi para seniman Bali untuk menciptakan tari penyambutan kreasi baru, untuk menyambut para tamu pada acara-acara penting di Bali. Beberapa tari penyambutan yang diciptakan berdasarkan inspirasi dari tari Rejang Dewa, antara lain adalah tari Pendet, tari Gabor, tari Puspawresti, dan lain-lain. Hal itu mirip seperti terciptanya tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila yang juga berasal dari tari kesuburan masyarakat Dompu. Kedua penelitian tersebut sama-sama mengkaji perkembangan tari upacara yang dikembangkan menjadi tari penyambutan untuk hiburan dan identitas masyarakat yang bersangkutan. Namun, kedua lokasi penelitian tersebut berbeda. Lokasi penelitian tari Wura Bongi Monca berada di daerah Dompu, semetara tari Rejang berlokasi di daerah Bali.

Wiratini dalam bukunya yang berjudul Tari Penyambutan Dari Pendet Hingga Sekarjagat (2011), menguraikan berbagai macam tari penyambutan di Bali. Wiratini dalam tulisannya tersebut mengatakan bahwa berbagai tari penyambutan di Bali seperti tari Gabor, tari Pendet, tari Puspawresti, dan lain sebagainya tercipta atas inspirasi dari gerak-gerak tari upacara. Berbagai jenis tari penyambutan yang dimaksud terinspirasi dari tari Rejang Dewa. Tari Rejang Dewa merupaka tari yang dipersembakan kepada para dewa. Sebagaimana tari peyambutan Wura Bongi Monca di Dompu juga tercipta atas inspirasi dari tari upacara yakni tari kesuburan. Penelitian yang dilakukan oleh Wiratini memiliki

(25)

persamaan, yakni sama-sama meneliti tentang tari penyambutan yang pada awal mulanya terinspirasi dari tari upacara. Namun, lokasi penelitian ini berbeda. Wiratini meneliti tari penyambutan dari daerah Bali, sementara penelitian ini mengkaji tari penyambutan yang berlokasi di daerah Dompu.

Kayam dalam bukunya yang berjudul Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), menguraikan tari merupakan sebuah tradisi yang menggambarkan atau mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. Sebagai salah satu Contoh diuraikan oleh Kayam bahwa di Bali, tari sebagai bagian dari sebuah ritual dalam suatu upacara keagamaan (Hindu), yang disesuaikan dengan kegunaan tari . Oleh karena masyarakat Bali yang dominan Hindu, maka tari -tari an tersebut dipertunjukan sebagai tari untuk dipersembahkan kepada para leluhur mereka sebagai rasa syukur dan ucapan terimakasih. Sebagaimana dengan tari Wura Bongi Monca di Dompu juga merupakan tari upacara sebagai persembahan kepada roh nenek moyang. Oleh karena masyarakat Dompu hampir seluruhnya bertani dan telah mendapat pengaruh Hindu, maka tari Wura Bongi Monca itu dipentaskan sebagai tari ritual memohon kesuburan yang ditujukan kepada roh nenek moyang mereka. Kedua penelitian tersebut, sama-sama membahas tentang tari yang dipersembahkan untuk tradisi upacara masyarakat pendukungnya. Akan tetapi penelitian Kayam tidak mengulas perubahan dan perkembangan tari tersebut di masa kini, sementara penelitian tari Wura Bongi Monca itu kini telah berubah dan berkembang menjadi tari hiburan.

Sedyawati dalam bukunya yang berjudul Pertumbuhan Seni Pertunjukan (1981), menguraikan tentang hubungan suatu kebudayaan yang melahirkan suatu

(26)

tari yang memiliki persamaan. Seperti halnya yang terdapat pada seni pertunjukan Bali dan Jawa terdapat banyak kesamaan atau kemiripan. Sedyawati mengatakan bahwa suatu persamaan dalam seni pertunjukan itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan saja, ataupun oleh kesamaan lingkungan alam. Persamaan tersebut terjadi oleh karena adanya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk di sini artinya adalah perpindahan penduduk yang dilakukan orang perseorang dengan tujuan ekonomi, politik, dan sebagainya. Melalui itu semua, membawa akibat yang berpengaruh pada kebudayaan. Sebagaimana dengan tari Wura Bongi Monca di Dompu yang memiliki kesamaan bentuk busana (baju) dengan tari yang ada di Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Kesamaan itu tampak pada penyajian busana baju penari yang sama-sama menggunakan baju bodo, yakni baju adat tradisional masyarakat Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Kesamaan atau kemiripan itu bukan terjadi begitu saja, akan tetapi terjadi oleh karena adanya hubungan-hubungan antara masyarakat Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan dengan masyarakat Dompu, baik di bidang ekonomi maupun politik. Mobilitas penduduk yang dilakukan masyarakat Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan ke daerah Dompu itu berpegaruh terhadap budaya masyarakat Dompu. Kehadiran mereka ke daerah Dompu itu juga ternyata berpengaruh pada tari Wura Bongi Monca tersebut. Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang hubungan-hubungan kebudayaan yang berakibat adanya persamaan, akan tetapi penelitian Sedyawati lebih membahas kesenian persamaan kesenian Bali dan Jawa, sementara penelitian ini membahas persamaan kebudayaan Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan dengan tari Wura Bongi Monca di Dompu.

(27)

Lindsay dalam bukunya yang berjudul Klasik Kitsch Kontemporer: Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan Jawa (1991), menguraikan tentang dua tipe seni pertunjukan Jawa, yakni seni kerawitan dan Wayang Wong, yang telah mengalami perkembangan dan pergeseran. Seni pertunjukan Jawa tersebut kini digolongkan sebagai seni tradisional dan sebagai seni klasik warisan kebudayaan Jawa. Lindsay mengatakan bahwa hasil seni klasik itu, baik seni kerawitan dan Wayang Wong berubah pada masa lalu dapat membuka kesempatan bagi masa depan kedua kesenian ini. Perubahan dan pergeseran yang terjadi ini dilakukan untuk menghidupkan kembali agar kesenian itu dapat terus bertahan atau dilestari kan. Begitu pula halnya tari Wura Bongi Monca yang dapat digolongkan sebagai tari ritual atau upacara. Tari Wura Bongi Monca awalnya merupakan sebuah tari ritual kesuburan. Perubahan fungsi tari an ini disebabkan oleh berubah dan bergesernya kebudayaan masyarakat Dompu yang kini dominan menganut agama Islam, menganggap bahwa melakukan upacara panen raya yang disertai pertunjukan tari Wura Bongi Monca tersebut musrik. Perubahan orientasi masyarakat Dompu yang kini sering melakukan acara-acara penting dengan membuat pesta dan acara makan-makan maka tari Wura Bongi Monca itupun ditampilkan sebagai tari penyambutan untuk menyambut para undangan yang hadir pada acara tersebut. Kedua penelitian ini, memilik persamaan, yaitu sama-sama merupakan seni pertunjukan yang mengalami perubahan dan pergeseran dengan tujuan pelestari an, namun penelitian yang penelitian dilakukan Lindsay tentang seni pertunjukan Jawa yang tersendat-sendat oleh karena adanya aturan

(28)

atau ikatan khusus, sementara tari Wura Bongiu Monca itu dapat berubah dan kini berkembang pesat tanpa adanya aturan yang mengikat.

Dari semua hasil penelitian tersebut di atas tampak tidak ada yang membahas tentang tari Wura Bongi Monca, yang awal mulanya muncul sebagai tari kesuburan, kemudian dikembangkan menjadi tari penyambutan. Hal itu membuktikan bahwa penelitian tari Wura Bongi Monca ini original.

2.2 Landasan Teori

Teori bisa dipahami sebagai narasi-narasi yang membedakan dan mendeskripsikan, mendefinisikan, dan menjelaskan peristiwa-peristiwa, ciri-ciri umum yang muncul terkait dengan objek penelitian. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori. Adapun teori yang dimaksud adalah sebagai berikut.

2.2.1 Teori Estetika

Teori Estetika adalah suatu kerangka pikir tentang segala sesuatu yang terkait dengan keindahan, yang telah teruji kebenarannya oleh banyak pihak. Keindahan yang dimaksud, yaitu keindahan hasil karya manusia yang disebut kesenian. Kesenian atau seni itu merupakan sesuatu yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia yang dapat memberikan rasa senang dan puas terhadap pelaku maupun penikmatnya (Djelantik, 1999:9). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar,

(29)

yakni : 1) wujud atau rupa (appearance); 2) bobot atau isi (content, substance); dan 3) penampilan, penyajian (presentation) (Djelantik, 1999:15-16).

Untuk menjelaskan keindahan tari Wura Bongi Monca yang membuat tari an tersebut diminati masyarakat penontonnya dipergunakan teori estetika. Melalui unsur-unsur keindahan yang ditampilkan oleh para penari Wura Bongi Monca dapat dipahami dan dihayati keindahannya oleh para penikmatnya. Teori estetika dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam tari an tersebut, yaitu wujud, bobot dan penyajian tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila.

2.2.2 Teori Religi

Teori Religi adalah suatu kerangka pikir yang menyangkut hal-hal yang terkait dengan kepercayaan suatu masyarakat. Kata religi berasal dari bahasa latin, yaitu religare atau religio yang berarti mengikat. Manusia menerima ikatan Tuhan sebagai sumber kebahagian dan ketentraman (Dojosantosa, 1986: 2-3). Hal itu berarti bahwa manusia percaya apabila melaksanakan upacara religi, maka akan mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman dari Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tujuan hidup dari manusia itu sendiri. Menurut Frazer yang dikutip oleh Koentjaraningrat, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-mahluk halus, seperti roh-roh dan dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1987:54).

(30)

Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Dompu pada masa pengaruh Hindu mempercayai akan keberadaan roh-roh nenek moyang yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kepercayaan itu mereka tuangkan ke dalam bentuk ritual tari kesuburan untuk memohon agar roh nenek moyang mereka turun ke bumi demi keberhasilan panen mereka. Masyarakat Dompu sebelum mengenal agama Islam selalu melakukan upacara panen raya dengan menampilkan tari Wura Bongi Monca yang diiringi nyanyian menggunakan bahasa Dompu untuk persembahan kepada roh nenek moyang mereka agar hadir memberkati pelaksanaan panen yang mereka lakukan.

Teori religi dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca sebagai tari persembahan untuk memohom kesuburan yang dilaksanakan menjelang dan berakhirnya panen raya di Dompu.

2.2.2 Teori Fungsional Struktural

Teori Fungsional Struktural adalah kerangka pikir yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keteraturan fungsi suatu unsur kebudayaan bagi masyarakat pendukungnya, yang telah teruji kebenaranannya oleh banyak pihak. Fungsi tari dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sebatas aktivitas kreatif, akan tetapi lebih mengarah pada konteks kegunaannya. Keberadaan tari diartikan memiliki nilai dan hasil guna yang dapat memberikan manfaat pada masyarakat bersangkutan (Hidayat, 2009:39).

(31)

Ralph Linton (1984) menyatakan setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi yang dibedakan menjadi tiga yaitu : use (guna), function (fungsi), dan meaning (makna).

Use (guna) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur itu dengan suatu tujuan tertentu, sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang sering digunakan sebagai sajian pertunjukan dalam berbagian acara-acara penting, seperti acara pernikahan, acara peresmian jalan, dan sebagainya.

Function (fungsi) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur itu dengan keseluruhan dari kebudayaannya, sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang kini dipandang dari sudut keberadaannya dihubungkan dengan kehidupan masyarakat Dompu. Pemahaman masyarakat terhadap tari Wura Bongi Monca yang kini selalu dihadirkan sebagai tari penyambutan untuk memeriahkan acara-acara yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Artinya bahwa walaupun tari Wura Bongi Monca sebelumnya ditampilkan untuk ritual memohon kesuburan namun dengan telah dikembangkannya tari Wura Bongi Monca itu sebagai tari penyambutan untuk menghibur masyarakat, maka penyajian tari tersebut tampak diterima oleh masyarakat Dompu yang kini dominan menganut agama Islam.

Meaning (arti atau makna) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur kebudayaan itu dengan penilaian masyarakat terhadap kesenian, sebagaimana pandangan positif masyarakat Dompu terhadap dikembangkannya tari Wura Bongi Monca menjadi tari penyambutan, yang ditampilkan oleh Sanggar La-Hila untuk memeriahkan acara-acara penting masyarakat setempat.

(32)

Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila dianggap tidak merusak tatanan kebudayaan masyarakat Dompu, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan dan pengayaan terhadap kebudayaan Dompu. Hal itu dapat dilihat dari antusiasme masyarakat menyambut setiap pementasan tari tersebut yang dianggap sesuai dengan nilai dan norma kebudayaan masyarakat Dompu.

Tari Wura Bongi Monca sebagai salah satu unsur kebudayaan, muncul dan berkembangnya di Dompu tampak dapat memberikan nilai use (guna), function (fungsi), dan meaning (makna) sebagai identitas budaya masyarakat Dompu.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Soedarsono (1999:167-169) juga menyatakan bahwa seni pertunjukan memiliki fungsi penting bagi masyarakat pendukungnya. oleh sebab itu seni yang diciptakan itu dijaga dan dilestari kannya. Beberapa fungsi seni yang dimaksud, antara lain: 1) seni sebagai sarana ritual; 2) seni sebagai sarana hiburan pribadi; dan 3) seni sebagai presentasi estetis yang dipertunjukkan atau disajikan kepada penonton; 4) seni sebagai pengikat solidaritas; 5) sebagai pembangkit rasa solidaritas; 6) seni sebagai media komunikasi massa; 7) seni sebagai media propaganda politik; 8) seni sebagai media propaganda program-program pemerintah; 9) seni sebagai media meditasi; 10) seni sebagai sarana terapi; 11) seni sebagai perangsang produktivitas, dan lain sebagainya.

The Liang Gie dalam bukunya yang berjudul Filsafat Seni Sebuah Pengantar (2004) juga menjelaskan bahwa seni memiliki beberapa fungsi, yaitu:

(33)

1) fungsi spiritual (kerohanian); 2) fungsi hiburan (hedonistis); 3) fungsi pendidikan (edukatif); dan 4) fungsi komunikatif (2004: 47-49). Pernyataan yang diungkapkan oleh The Liang Gie tersebut dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji tari sebagai hiburan dan sebagai media pendidikan (edukatif).

Gagasan untuk menciptakan tari Wura Bongi Monca di daerah Dompu, pada dasarnya juga dipergunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukan oleh Soedarsono (1998) bahwa kelompok masyarakat tertentu membuat sebuah kesenian untuk mengungkapkan rasa estetik sebagai sarana hiburan. Dengan adanya berbagai kepentingan tersebut membuat muncul dan dilestari kannya tari Wura Bongi Monca itu di Dompu, yang kemudian kini dikembangkan sebagai sebuah tari penyambutan.

Edi Sedyawati (1981) juga mengemukakan bahwa fungsi kesenian dapat dibedakan menurut fungsinya menjadi tujuh, yakni (1) untuk memanggil kekuatan gaib; (2) mengundang roh hadir di tempat pemujaan; (3) menjemput roh-roh baik; (4) peringatan terhadap nenek moyang; (5) mengiringi upacara perputaran waktu; (6) mengiringi upacara siklus hidup; dan (7) untuk mengungkapkan keindahan alam semesta. Begitu halnya dengan tari Wura Bongi Monca yang ditampikan sebagai bagian dari upacara yg dipersembahkan untuk mengundang roh nenek moyang hadir di tempat pemujaan.

Bandem dan Fredrick Eugene deBoer (1995) menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali kesenian mempunya tiga fungsi pokok, yaitu wali, bebali, dan balih-balihan. Kesenian yang berfungsi untuk wali dan bebali

(34)

merupakan kesenian yang disajikan dalam konteks ritual upacara. Sedangkan kesenian yang berfungsi untuk balih-balihan lebih banyak bersifat sosial dengan tujuan untuk menghibur para penontonnya. Dikatakan Bandem bahwa kesenian di Bali belakangan ini berkembang dominan sebagai balih-balihan (hiburan). Sebagaimana hal itu juga terjadi di daerah Dompu bahwa tari kesuburan yang sebelumnya hanya dipentaskan dalam konteks ritual upacara tertentu saja, namun kini dikembangkan sebagai seni pertunjukan hiburan.

Berdasarkan beberapa teori fungsi seni yang diungkapkan di atas terkait dengan fungsi tari Wura Bongi Monca di Dompu, diambil beberapa pokok yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu tari Wura Bongi Monca berfungsi sebagai hiburan, dipertunjukkan atau disajikan kepada penonton atau bagi masyarakat pendukungnya, sebagai perangsang produktivitas atau pendorong kreativitas bagi para seniman Dompu. Fungsi lainnya, yaitu tari Wura Bongi Monca berfungsi sebagai pengikat sosial masyarakat, sebagai penunjang ekonomi para pelakunya, sebagai sarana pendidikan, sebagai strategi pelestarian budaya, serta sebagai identitas budaya masyarakat Dompu.

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu jalan atau langkah yang sistematis untuk menemukan kebenaran, jawaban atas permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti (Kaelan, 2012:7). Dengan menggunakan metode, diharapkan penelitian tari Wura Bongi Monca di Dompu, yang dahulu merupakan tari kesuburan namun kini telah dikembangkan menjadi tari penyambutan tersebut dapat lebih mudah dilaksanakan, serta data-data yang dihasilkan lebih akurat, mendekati kebenaran dan mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

3.1 Rancangan Penelitian

Suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan perencanaan. Suatu perencanaan penelitian harus disusun secara sistematis agar dapat dipergunakan sebagai petunjuk ketika melakukan suatu penelitian, sehingga langkah-langkah yang dilakukan efektif dan benar (Basrowi dan Suwandi, 2008:20-21). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada aspek bentuk pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila, awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca di Dompu, dan fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat Dompu.

Penelitian tari Wura Bongi Monca ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dari data

(36)

empiris. Penelitian ini dilakukan berdasarkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang terkait dengan tari Wura Bongi Monca.

Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mengamati kondisi alamiah, dimana dalam penelitian ini instrumen utamanya adalah peneliti sendiri. Dalam penelitian ini permasalahan yang dibahas untuk menguraikan bentuk dan struktur pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila, dilakukan pengamatan terhadap bentuk penyajiannya, tata rias dan busana, serta musik iringan tari an tersebut. Untuk menjelaskan tentang awal mula tari Wura Bongi Monca di Dompu dan untuk menjelaskan fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat Dompu itu dilakukan wawancara dengan pemilik Sanggar La-Hila, seniman dan beberapa tokoh masyarakat Dompu.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah Penelitian. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dompu dahulu kala merupakan salah satu daerah bekas kerajaan atau kesultanan. Kerajaan Dompu merupakan salah satu kerajaan yang paling tua khususnya di Indonesia Bagian Timur. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu dari berbagai hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Dompu atau (Kerajaan Dompo) adalah kerajaan yang paling tua di wilayah timur Indonesia (http://www.tataruangntb.net /?p=276, diakses 17 Maret 2014)

(37)

Secara administratif wilayah Kabupaten Dompu terbagi atas 8 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dompu, Kecamatan Pajo, Kecamatan Hu’u, Kecamatan Manggelewa, Kecamatan Kempo, Kecamatan Pekat dan Kecamatan Kilo. Kabupaten Dompu terletak di antara 117°42¢ sampai 118°30¢ Bujur Timur dan 8°06¢ sampai 9°05¢ Lintang Selatan, dengan luas wilayah 232.455 Ha daratan dan 239.296 Ha perairan (wilayah perairan Teluk Saleh, Cempi dan Teluk Sanggar).

Adapun batas-batas administrasi Kabupaten Dompu adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebagian Kabupaten Bima, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bima, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa.

Peta 1

Kabupaten Dompu Merupakan Wilayah Bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dokumentasi:

(38)

Laut dengan membawa hujan. Menurut Smith dan Ferguson, Kabupaten Dompu memiliki iklim tipe D, E dan F yang pada musim kemarau suhu udara relatif rendah, yaitu 20°C – 30°C pada siang hari dan 20°C pada malam hari. Keadaan curah hujan di Kabupaten Dompu menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan untuk Kecamatan Hu’u adalah 64 mm/bulan, Kecamatan Dompu 110 mm/bulan, Kecamatan Kempo 60 mm/bulan, Kecamatan Woja 85 mm/bulan, Kecamatan

Pekat 70 mm/bulan, dan Kecamatan Kilo 64 mm/bulan

(http://www.tataruangntb.net/?p=276, diakses 17 Maret 2014).

Bima

Peta 2

Bentuk Wilayah Kabupaten Dompu Yang Berwarna Hijau) Dokumentasi :

(39)

Di Kabupaten Dompu terdapat banyak Sanggar seni tari , setiap Sanggar tersebut mengembangkan tari Wura Bongi Monca dengan style yang berbeda-beda. Hal itu membuat beragamnya model tari Wura Bongi Monca di Dompu. Namun dari sekian banyak sanggar tari di Dompu yang mengembangkan tari Wura Bongi Monca, Sanggar La-Hila tampak paling populer. Hal itu dapat dilihat dari seringnya tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila itu tampil baik dalam acara-acara formal maupun acara informal.

Salah satu sanggar tari yang paling terkenal di Dompu adalah Sanggar La-Hila. Sanggar La-Hila tepatnya berada di Lingkungan Doroti I, Kelurahan Doro Tangga. Lingkungan Dorotoi I merupakan wilayah yang mempunyai potensi kesenian paling banyak dan maju dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di wilayah Kelurahan Doro Tangga. Bahkan, di Kelurahan Doro Tangga, hanya di wilayah Dorotoi I ini sajalah dapat ditemukan sanggar-sanggar seni. Sanggar La-Hila adalah satu-satunya Sanggar tari yang ada di Lingkungan Dorotoi I, dan merupakan satu-satunya Sanggar tari di Kelurahan Doro Tangga.

Sanggar La-Hila merupakan salah satu sanggar tari terbaik di Kabupaten Dompu. Sanggar ini mengajarkan seni pertunjukan tradisional Dompu, khususnya seni tari . Adapun seni tari yang diajarkan bermacam-macam tari tradisional daerah Dompu dan berbagai macam tari kreasi, hasil ciptaan pemilik sanggar yang sekaligus pengajar di sanggar tersebut. Salah satu bentuk tari tradisional yang diajarkan di sanggar tersebut adalah tari Wura Bongi Monca.

Fatimah H. Mustakim, sebagai pemilik Sanggar La-Hila di Kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu adalah orang yang mengembangkan tari Wura

(40)

Bongi Monca tersebut menjadi tari penyambutan sehingga mempermudah peeliti untuk mendapatkan informasi. Berdasarkan pertimbangan hal-hal tersebut di atas, maka dipilihlah daerah Dompu sebagai lokasi penelitian ini, dengan fokus penelitian tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila.

3.3 Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa kata-kata, kalimat, ungkapan, dan pementasan tari Wura Bongi Monca. Fokus penelitian ini pengamatannya pada bentuk penyajian tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila, awal mula munculnya tari penyambutan Wura Bongi Monca, serta fungsi tari Wura Bongi Monca bagi masyarakat Dompu.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer penelitian ini diperoleh dari pementasan tari Wura Bongi Monca dan dari para informan terkait dengan objek penelitian ini, antara lain ketua sanggar, para penari, pemain musik tari Wura Bongi Monca, masyarakat setempat, dan ditunjang oleh rekaman video pertunjukan yang diambil langsung ketika pementasan berlangsung. Sementara sumber data sekunder, diperoleh dari buku-buku hasil penelitian terkait dan dokumentasi dalam bentuk kaset, CD, dan DVD pertunjukan yang diperoleh dari ketua sanggar dan para pelaku pertunjukan terkait.

Data primer penelitian ini adalah hasil wawancara yang berbentuk pernyataan-pernyataan, dan hasil observasi langsung di lapangan. Sedangkan data

(41)

sekunder penelitian ini dipergunakan dokumen-dokumen hasil penelitian yang telah dihasilkan para peneliti terdahulu yang tentu saja ada kaitannya dengan objek penelitian ini. Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), dengan membaca buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan seperti buku-buku hasil penelitian para peneliti terdahulu, jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu bagian mutlak untuk digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penyusunan dan penggunaan instrumen penelitian yang tepat akan mampu menjaring data yang ada hubungannya dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Instrumen penelitian dalam hal ini dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan penelitian tari Wura Bongi Monca yang berlokasi di daerah Dompu.

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, kebenaran penelitian kualitatif ini sangat ditentukan oleh kecermatan peneliti dalam menggali data di lapangan (Nasution, 2003:55-56). Hal itu dimaksudkan untuk menjaga tingkat validitas dan reliabilitas data yang diperoleh. Selain peneliti sendiri, pedoman wawancara juga menjadi instrumen penting dalam penelitian ini karena penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Pokok-pokok pertanyaan dalam wawancara dimaksudkan untuk menggali berbagai informasi yang terkait dengan objek penelitian. Pertanyaan-pertanyaan disusun

(42)

sesuai dengan tempat/ruang, waktu, konteks/keadaan di lapangan agar diperoleh jawaban-jawaban yang lebih dalam, rinci, dan lebih lengkap serta akurat tentang tari Wura Bongi Monca tersebut.

Dalam pelaksanaan penelitian ini juga digunakan alat-alat pendukung lainnya, seperti alat tulis, audio tape recorder untuk perekam suara, photo camera sebagai perekam gambar, dan video camera guna merekam gambar bergerak. Hasil dari rekaman-rekaman itu digunakan sebagai salah satu kajian dalam proses pengolahan data, dan penyusunan hasil penelitian.

3.5 Teknik Penentuan Informan

Teknik penentuan informan adalah suatu cara atau langkah-langkah dalam memilih atau menentukan informan. Teknik penentuan informan merupakan salah satu bagian yang penting, karena apabila penentuan informan dilakukan dengan tidak tepat maka proses penelitian menjadi kurang efektif.

Dalam penelitian ini dipergunakan teknik secara purposive (penunjukan disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan), yang penentuan ditentukan sebelum peneliti turun ke lapangan. Para informan telah dipilih dan ditentukan sebelum wawancara dilakukan di lapangan. Adapun para informan yang dimaksud antara lain adalah orang-orang yang ada kaitannya langsung dengan objek penelitian, yakni pemilik Sanggar La-Hila, penari Wura Bongi Monca, pemain musik tari Wura Bongi Monca ditambah beberapa tokoh masyarakat setempat.

Setelah para informan ditentukan secara purposive, dilakukan penentuan informan secara snowball, yakni seperti bola salju yang menggelinding. Proses

(43)

penunjukan informan berawal dari informan pangkal yaitu kepala dusun, kemudian pemilik Sanggar La-Hia yang merupakan informan kunci (koreografer yang telah mengembangkan tari penyambutan Wura Bongi Monca). Dari informan kunci tersebut, yaitu Fatimah H. Mustakim, diperoleh informasi tentang jadwal pementasan tari penyambutan Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila. Setelah memperoleh jadwal pementasan tari tersebut selanjutnya ditentukan informan tambahan, para informan seperti para penari, pemain musik dan tokoh masyarakat terkait yang akan ditemui ketika pementasan berlangsung. Sesuai jadwal yang telah ditentukan, para informan selanjutnya ditemui satu-persatu untuk diwawancarai terkait dengan tari Wura Bongi Monca. Untuk melengkapi data-data yang diperlukan, wawancara juga dilakukan dengan para informan melalui telpon dan SMS karena lokasi penelitian ini sangat jauh, yakni di daerah Dompu, sementara tempat tinggal peneliti berada di kota Denpasar.

Dari pihak penari, yakni Rabiatul, Aulia, dan Rubiawati yang merupakan murid Sanggar La-Hila, Dompu yang sudah bertahun-tahun menjadi murid dan penari tari Wura Bongi Monca di Sanggar La-Hila, dan pemain musik tari Wura Bongi Monca dari Sanggar La-Hila, yang menjadi informan tambahan dari objek penelitian yakni tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila. Informan tambahan lainnya yaitu para pemilik Sanggar lain yang juga mengembangkan tari Wura Bongi Monca, yakni I Gusti Ayu Tri Utama dari Sanggar Meci Angi dan Julkfli dari Sanggar Madaduli untuk memperoleh informasi terkait dengan awal mula tari Wura Bongi Monca di daerah Dompu.

(44)

Selain informan tambahan tersebut juga ditemui masyarakat penonton dan beberapa tokoh masyarakat setempat untuk memperoleh data terkait dengan tari Wura Bongi Monca tersebut.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara dan langkah-langkah untuk memperoleh data terkait dengan objek penelitian di lapangan. Dalam suatu penelitian teknik pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting, untuk itu dalam penelitian ini dipilih teknik pengumpulan data yang tepat sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dalam penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan.

3.6.1 Observasi

Observasi merupakan sebuah teknik untuk memperoleh data primer di lapangan, dengan melihat dan mengamati objek penelitian tersebut secara langsung. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek penelitian (Husman dan Akbar, 2008:52). Hal itu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai bentuk penyajian tari Wura Bongi Monca.

Sebelum obeservasi dilakukan peneliti memohon ijin terlebih dahulu kepada Fatimah H. Mustakim sebagai pemilik Sanggar La-Hila. Permohonan ijin atas penelitian ini sebelumnya sudah dilakukan melalui telepon, yaitu pada

(45)

tanggal 10 Desember 2013. Hal itu disebabkan jauhnya lokasi penelitian ini dari tempat tinggal peneliti sekarang, yakni di kota Denpasar.

Observasi pertamakali dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2013, pada pukul 10.00 WITA. Bertemu langsung dengan Fatimah H. Mustakim, pemilik Sanggar La-Hila, untuk minta ijin secara resmi akan melakukan penelitian tentang tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila. Selanjutnya menonton tari Wura Bongi Monca yang dipentaskan pada acara resepsi pernikahan di Dusun Doro Toi II, Kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu pada pukul 14.00 WITA.

Pada hari Selasa tanggal 24 Desember 2013 dilakukan observasi kembali untuk memastikan apakah ada perubahan pada bentuk dan struktur pertunjukan pada tari Wura Bongi Monca yang dipentaska oleh Sanggar La-Hila di Kelurahan Doro Tangga Kabupaten Dompu. Observasi dilakukan dengan menyaksikan pertunjukan tari Wura Bongi Monca pada pukul 11.00 WITA dalam rangka Promosi Kartu Perdana Telkomsel di Gedung Samakai, Dompu.

3.6.2 Wawancara

Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan dengan melakukan percakapan antara peneliti dengan informan terkait. Peneliti atau pewawancara (interviewer) sebagai pengaju atau pemberi pertanyaan dan informan atau yang diwawancarai (interviwee) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu (Basrowi dan Suwandi, 2008:127).

(46)

Wawancara diarahkan pada informan kunci (key informan) ditambah informan lain yang sudah ditentukan, yang terdiri dari pengamat seni dan seniman tari yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang tari Wura Bongi Monca. Di samping itu, untuk memperkaya data juga dilakukan wawancara di lokasi penelitian dengan para informan yang terdiri dari pakar-pakar tari , seniman, dan pengamat budaya daerah setempat.

Pada saat wawancara berlangsung, susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan pada saat wawancara berlangsung. Dalam hal ini informan akan mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk bercerita atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara. Demikian pula dengan jumlah pertanyaan tidak ditentukan, namun sebelumnya telah disiapkan pertanyaan pokok yang merupakan pedoman wawancara. Dengan cara seperti ini diharapkan memperoleh atau menggali informasi sedalam mungkin sesuai yang dibutuhkan dengan tetap terfokus pada pokok permasalahan yang diteliti.Pengumpulan data melalui teknik wawancara, dilakukan peneliti dengan pihak yang akan diwawancarai, yakni pemilik Sanggar La-Hila, kepala Kelurahan Doro Tangga, kepala Dusun/Lingkungan Dorotoi I, penari tari Wura Bongi Monca, pemain musik tari Wura Bongi Monca, Seniman Dompu dan masyarakat setempat yang benar-benar tahu mengenai tari Wura Bongi Monca. Adapun wawancara yang dilakukan sebagai berikut.

a. Wawancara pertamakali adalah dengan Fatimah H. Mustakim, sebagai pemilik Sanggar La-Hila. Fatimah H. Mustakimmerupakan informan kunci, yang

(47)

memiliki pengetahuan yang sangat mendalam terkait dengan objek penelitian. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Desember 2013 melalui telepon, untuk meminta ijin dilakukannya penelitian terhadap tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggarnya. Wawancara yang dilakukan melalui telpon juga dilakukan untuk menentukan waktu dan tempat pertemuan dapat dilakukan secara langsung untuk melakukan wawancara secara lebih mendalam.

b. Pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2013 pukul 09.30 wawancara dilakukan dengan Akarim M. Saleh di Kantor Kelurahan yang terletak di Dusun Dorotoi II, Kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu. Sebelum melakukan wawancara peneliti meminta ijin untuk meneliti di Kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu terkait tari Wura Bongi Monca, kemudian dilanjutkan dengan wawancara seputar kesenian yang ada di kelurahan tersebut, dan wawancara seputar gambaran umum lokasi penelitian, serta untuk memastikan satu-satunya Sanggar yang ada di wilayah ini adalah Sanggar La-Hila.

c. Pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2013 wawancara dilanjutkan pada pukul 13.00 WITA dengan mewawancarai Fatimah H. Mustakim di rumah kediaman beliau yang terletak di Dusun Dorotoi I, Kelurahan Doro Tangga, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu. Hasil wawancara yang diperoleh, yaitu gambaran umum tari Wura Bongi Monca sebagai tari kesuburan, gambaran umum tari Wura Bongi Monca yang telah dikembangkan oleh Sanggar La-Hila sebagai tari penyambutan, pengaruh-pengaruh dari budaya Bugis, Makasar Sulawesi selatan, dan perkembangannya hingga saat ini.

(48)

d. Pada hari Minggu, tanggal 22 Desember 2013 berhasil mewawancarai I Gusti Ayu Tri Utama di rumah kediaman beliau yang terletak di daerah Desa Permata Hijau, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Hasil wawancara yang diperoleh adalah : perkembangan tari Wura Bongi Monca di masa kini, pembeda tari Wura Bongi Monca dari setiap Sanggar, penari, gerak, musik, dan tempat pementasan, dan pendapat mengenai fungsi tari Wura Bongi Monca, serta pandangannya terhadap tari Wura Bongi Monca terkait manfaat atau dampak yang didapatnya.

e. Pada hari Senen, tanggal 23 Desember 2013 berhasil mewawancari Julkifli di Kantin SMA N 1 Kempo pada pukul 10.00 WITA yang terletak di Desa Taa, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Hasil wawancara yang diperoleh adalah bentuk dan struktur pertunjukan tari Wura Bongi Monca sebagai kesuburan, penyebab perubahan atau peralihan fungsi dari fungsi tari Wura Bongi Monca sebagai tari kesuburan menjadi tari penyambutan, dan perkembangan tari Wura Bongi Monca di masa kini. Selain itu pula diperoleh informasi terkait dengan terjadinya perkembangan yang terus berlangsung terhadap bentuk pertunjukan tari Wura Bongi Monca, serta pandangannya terhadap tari Wura Bongi Monca terkait dampak yang didapatnya.

f. Pada Senen, tanggal 23 Desember 2013 pukul 16.00 WITA dilakukan wawancara kembali di rumah kediaman beliau. Wawancara ini untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari informan lain, yaitu I Gusti Ayu Tri Utama dan Julkfli. Dari hasil wawancara diperoleh jawaban yang sama terkait bentuk dan struktur pertunjukan tari Wura Bongi Monca

(49)

sebagai kesuburan, penyebab perubahan fungsi tari Wura Bongi Monca sebagai tari penyambutan, dan perkembangan tari Wura Bongi Monca di masa kini, pembeda tari Wura Bongi Monca dari setiap Sanggar, penari, gerak, musik, dan tempat pementasan, penyebab terjadinya perkembangan yang terus menerus terhadap tari Wura Bongi Monca dalam konteks bentuk penyajiannya.

g. Pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 2013 pada pukul 09.00 WITA dengan mewawancarai Junaidin, Hamid dan Arshad selaku pemain musik tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila. Wawancara berlangsung di rumah kediaman Fatimah H. Mustakim yang berlokasi di Kelurahn Doro Tangga, Kabupaten Dompu, ketika mereka sedang mempersiapkan alat-alat musik tari Wura Bongi Monca yang akan digunakan dalam pementasan di acara Promosi Kartu Perdana Telkomsel, di Gedung Samakai, Dompu. Hasil wawancara yang diperoleh adalah penggarap musik tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila, nama alat-alat musik yang digunakan oleh Sanggar La-Hila dalam setiap pertunjukan tari Wura Bongi Monca, dan cara memainkannya. Informasi lain yang diperoleh adalah manfaat yang didapat dari setiap mengikuti pertunjukan tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila, Dompu.

h. Pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 2013 pada pukul 11.45 WITA wawancara dilanjutkan di Gedung Samakai, Dompu yaitu tempat dilakukannya pertunjukan tari Wura Bongi Monca, dalam rangka Promosi Kartu Perdana Telkomsel. Wawancara dilakukan seusai pertunjukan tari Wura Bongi Monca,

(50)

dengan mewawancarai penari yang merupakan penari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila, yaitu: 1) Rubiawati, selama 8 tahun hingga kini menjadi murid di Sanggar La-Hila; 2) Rabiatul, selama 9 tahun hingga kini menjadi murid di Sanggar La-Hila, dan 3) Aulian, selama 11 tahun hingga kini menjadi murid di Sanggar La-Hila. Ketiga murid ini sudah sangat sering melakukan pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila. Dari wawancara dengan ketiga penari tersebut, hasil yang diperoleh adalah struktur pertunjukan tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila, struktur gerak, dan nama-nama atau istilah dalam gerak tari Wura Bongi Monca, tata rias dan busana , dan tempat pementasan. Informasi lain yang diperoleh adalah manfaat yang dirasakan atau yang diperoleh dari setiap mengikuti pertunjukan tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila.

i. Pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 2013 pada pukul 19.00 WITA dilakukan wawancara dengan H. Hilir S.Pd selaku guru bahasa daerah Dompu dan bahasa aksara Mbojo di rumah kediaman beliau yang terletak di Dusun Permata Hijau, Desa Taa, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Tujuan dilakukannya wawancara adalah untuk memastikan kata-kata dalam bahasa Dompu atau nggahi mbojo yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya adalah benar dan tepat. Selain itu, seperti halnya yang telah disampaikan oleh Fatimah H. Mustakim sebelumnya, didapatkan pula informasi yang sama terkait pengaruh budaya masyarakat Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan yang tinggal di Dompu termasuk terhadap bentuk kesenian tradisional Dompu. Untuk kesenian, khususnya tari Wura Bongi Monca pengaruh budaya Sulawesi

(51)

Selatan lebih pada pakaian atau kostum/busana penari. Selain itu, diperoleh pula informasi mengenai pandangannya terhadap tari Wura Bongi Monca. j. Pada hari Rabu, tanggal 25 Desember 2013 pukul 10.00 WITA wawancara

dilakukan dengan Julkifli kembali di Kantin SMA N 1 Kempo, Kabupaten Dompu. Tujuan wawancara adalah untuk memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari para penari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila di Kelurahan Doro Tangga, Kabupaten Dompu terkait nama-nama atau istilah dalam gerak tari tradisonal Dompu, karena gerak tambahan yang digunakan dalam tari Wura Bongi Monca adalah gerak-gerak tari tradisional Dompu. k. Pada hari Rabu, tanggal 25 Desember 2013 pukul 14.00 WITA wawancara

dilakukan dengan I Gusti Ayu tri Utama terkait musik iringan tari Wura Bongi Monca. Wawancara membahas mengenai alat musik dalam tari Wura Bongi

Monca dan cara memainkannya. Wawacara ini bertujuan untuk

membandingkan hasil wawancara yang diperoleh dari Hamid, Junaidin, dan Asrhad selaku pemain musik tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila.

l. Pada hari Kamis, tanggal 26 Desember 2013 pada pukul 16.00 WITA dilakukan wawancara dengan Fatimah H. Mustakim di rumah kediaman beliau. Wawancara adalah seputar musik iringan tari Wura Bongi Monca Sanggar La-Hila miliknya dengan musik iringan tari Wura Bongi Monca di Sanggar lainnya yang ada di Kabupaten Dompu. Selain itu, dalam wawancara ini juga mengenai boko (properti tari Wura Bongi Monca), makna beras dan makna macam-macam warna menurut masyarakat Dompu.

(52)

Hasil wawancara direkam dengan tape recorder dan hasil rekaman ini penting dipergunakan sebagai dasar analisis, yang kemudian dicatat dalam buku kecil sebagai catatan peneliti. Perekaman itu dilakukan untuk mendukung keabsahan dan keakuratan data yang diperoleh dari wawancara. Hasil wawancara melalui perekaman tersebut mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang berlangsung saat itu, sehingga memudahkan analisis data yang diperoleh dari hasil wawancara. Selain wawancara dilakukan secara langsung dengan para informan yang telah disebutkan di atas, juga dilakukan wawancara melalui SMS dan telepon untuk menanyakan hal-hal yang belum sempat ditanyakan dan penting terkait dengan objek penelitian. Cara ini dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara peneliti dengan para informan sebagaimana disebutkan di atas.

3.6.3 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting terkait dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan perkiraan (Basrowi dan Suwandi, 2008:158). Mengingat kemampuan dan daya ingat peneliti terbatas, maka dengan hasil pendokumentasian tentang tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila ini dapat membantu proses pengamatan yang dilakukan di lapangan.

Studi dokumen dalam penelitian ini juga dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap data-data atau dokumen terkait yang diperoleh dari

(53)

rekaman peneliti langsung maupun dari rekaman orang lain berupa rekaman video, rekaman foto-foto sebelumnya terkait dengan penelitian ini.

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini juga dilakukan dengan teknik dokumentasi, yakni dilakukan dengan pengambilan langsung baik foto maupun video pementasan tari Wura Bongi Monca yang dipentaskan oleh Sanggar La-Hila, Dompu pada tanggal 21 Desember 2013 dalam acara resepsi pernikahan dan pada tanggal 24 Desember 2013 dalam rangka acara Promosi Kartu Perdana Telkomsel. Sementara untuk pengumpulan data sekunder diperoleh beberapa foto hasil dokumentasi dari Sanggar La-Hila dan dari para Seniman Dompu.

3.6.4 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah sebuah proses pemahaman terhadap data yang diteliti melalui penelusuran kepustakaan terkait guna memperdalam pengetahuan, penguasaan materi penelitian yang dilakukan. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari orang lain atau tidak oleh peneliti sendiri. Dalam konteks ini, studi kepustakaan dilakukan dengan membaca literatur, jurnal, majalah ilmiah, maupun hasil-hasil penelitian terkait, yang telah dilakukan para peneliti terdahulu (Muhadjir, 1996:29). Data yang dikumpulkan dalam hal ini adalah informasi-informasi tertulis menyangkut tentang kesenian sejenis untuk dipergunakan sebagai referensi dalam penelitian ini.

Gambar

Foto 1. Gerakan Lampa Sadeda  Dokumentasi : IGA Ananta Wijayantri
Foto 3.Gerakan Pulang (Lampa Sere)  Dokumentasi: IGA Ananta Wijayantri
Foto 4. Gerakan Mengambil Beras Kuning (Weha Bongi)  Dokumentasi: IGA Ananta Wijayantri
Foto 5. Gerak berjalan di tempat (Lampa Dihidi-Kakiri Kamai)  Dokumentasi: IGA Ananta Wijayantri
+7

Referensi

Dokumen terkait