• Tidak ada hasil yang ditemukan

Awal Mula Munculnya Tari Wura Bongi Monca di Dompu

BAB IV TARI WURA BONGI MONCA SANGGAR LA-HILA,

4.2 Awal Mula Munculnya Tari Wura Bongi Monca di Dompu

Awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca di Dompu, pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat dan alam sekitar daerah Dompu, yang merupakan daerah agraris. Munculnya tari Wura Bongi Monca sebagai tari kesuburan masyarakat Dompu, merupakan salah satu bukti bahwa sebagian besar masyarakat setempat pada awalnya berprofesi sebagai petani. Kegiatan bertani yang dilakukan secara kolektif menimbulkan kebersamaan sikap dan aktivitas masyarakat tersebut. Hal itu dapat dilihat dari kebersamaan mereka ketika bercocok tanam maupun memanen hasil pertaniannya yang selalu diawali dan diakhiri oleh ritual khusus dengan disertai penyajian tari Wura Bongi Monca. Sebagaimana suatu tari merupakan salah satu ungkapan ekspresi perasaan manusia yang menjadi salah satu unsur kebudayaan.

Kebudayaan pada dasarnya adalah pengetahuan suatu masyarakat yang bentuknya akan tergantung pada pengetahuan dan lingkungan alam sekitar masyarakat yang bersangkutan (Kaplan,1999:129). Termasuk diciptakannya tari kesuburan Wura Bongi Monca sebagai cermin pengetahuan dan alam sekitar masyarakat Dompu yang sebagian besar memiliki lahan pertanian, ladang, dan sawah.

Untuk mengkaji tentang awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca yang sebelumnya berasal dari tari kesuburan masyarakat Dompu tersebut dipergunakan teori religi. Kata religi berasal dari bahasa latin, yaitu religare atau religio yang berarti mengikat. Manusia menerima ikatan Tuhan yang dialami sebagai sumber kebahagian dan ketentraman (Dojosantosa, 1986:2-3). Hal itu

berarti bahwa manusia percaya apabila melaksanakan upacara religi, maka akan mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman dari Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan tujuan hidup dari manusia itu sendiri. Menurut Frazer yang dikutip oleh Koentjaraningrat, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-mahluk halus, seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1987:54). Sebagaimana halnya dengan masyarakat Dompu ketika mendapat pengaruh Hindu, masyarakat Dompu mempercayai keberadaan roh-roh nenek moyang yang dituangkannya ke dalam bentuk upacara panen raya yang dilengkapi sajian tari kesuburan, sebagai ungkapan rasa syukur keberhasilan panen yang dinikmatinya. Masyarakat Dompu meyakini bahwa dengan disajikan tari Wura Bongi Monca, para roh nenek moyang mereka akan turun ke bumi menyaksikan persembahan yang telah disajikan. Seiring dengan dilakukannya upacara yang diiringi tari dan nyanyian-nyanyian yang berintikan memanggil roh nenek moyang mereka, membuat hal itu menjadi sebuah tradisi masyarakat setempat yang terkait dengan religi.

Tari Wura Bongi Monca yang merupakan tari kesuburan masyarakat Dompu selalu dipentaskan menjelang dan setelah panen hasil ladang dan sawah dilakukan. Tari an itu ditari kan oleh sekelompok penari perempuan tua atau yang disebut dengan ibu-ibu. Mereka menari membawa boko yang berisikan beras kuning, simbol kemakmuran. Beras kuning tersebut ditaburkan oleh para penari pada saat mereka menari di ladang dan sawah yang akan dipanen. Sebelum pelaksanaan panen dilakukan, tari Wura Bongi Monca dipentaskan. Para penari

itu menari-nari diiringi nyanyian, memanggil-manggil roh nenek moyang mereka, agar turun ke bumi menyaksikan pelaksanaan panen raya yang tengah dilakukan. Setelah mereka memanggil roh nenek moyangnya, mereka menaburkan beras kuning ke tanah pertanian yang akan dipanen untuk menyambut roh nenek moyang sekaligus memohon agar pertanian mereka berhasil.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Fatimah H. Mustakim mengungkapkan bahwa masyarakat Dompu sangat membanggakan tari Wura Bongi Monca yang menggambarkan tentang tari persembahan kepada para roh nenek moyangnya. Tari Wura Bongi Monca yang terkait dengan aktivitas pertanian masyarakat Dompu itu disebut oleh mereka sebagai tari kesuburan. Dengan gerak-gerak tari pemujaan, mereka juga bernyanyi yang intinya berisi permohonan agar roh leluhur turun ke Bumi menyaksikan panen raya yang tengah dilaksanakan. Nyanyian yang dikumandangkan itu adalah syair-syair dalam bahasa Dompu atau disebut nggahi mbojo, yaitu “he kakiri kamai” atau “woe kakiri kamai” diulang berkali-kali dengan suara keras seperti memanggil-manggil. Kata he atau woe diartikan sebagai kata ajakan, dan kata kakiri kamai merupakan ungkapan selamat datang, yang artinya sini kemari atau sini datang (wawancara tanggal 21 Desember 20130).

Tari Wura Bongi Monca terdiri atas tiga kata, yaitu wura, bongi, dan monca. Dalam bahasa Indonesia kata wura artinya menabur, bongi artinya beras, dan monca artinya kuning. Sesuai dengan arti kata dan nama tari an ini, ciri khas dari gerak tari Wura Bongi Monca adalah menabur beras kuning sebagai simbol kemakmuran. Beras kuning itu mereka taburkan ketika mereka memanggil roh

nenek moyangnya. Bongi atau beras diyakini oleh masyarakat Dompu sebagai simbol kesuburan atau kemakmuran dan warna kuning sebagai simbol keramahan dan kesejahtraan.

Tari Wura Bongi Monca ditampilkan pada saat menjelang panen, dilakukan dengan harapan agar hasil panen berlimpah ruah dan proses pelaksanaannya dilancarkan. Begitu pula pada saat panen hasil ladang dan sawah selesai dilakukan mereka menampilkan kembali tari Wura Bongi Monca itu sebagai wujud rasa syukur dan gembira atas berkah yang dinikmatinya.

Menurut Julkifli, yakni salah seorang seniman Dompu yang mengembangkan tari Wura Bongi Monca, pada wawancara tanggal 23 Desember 2013:

Tari Wura Bongi Monca ini diperkirakan muncul pada zaman primitif, pada saat itu mereka percaya terhadap roh nenek moyang yang memberi pengaruh terhadap kehidupan mereka saat itu, karena sejak masyarakat Dompu sudah mengenal agama Islam tari Wura Bongi Monca dalam kaitannya dengan panen tersebut tidak dilakukan lagi. Berdasarkan pernyataan dari Julkifli tersebut bahwa tari Wura Bongi Monca mulai ada sejak dahulu kala, ketika masyarakat Dompu belum mengenal agama Islam. Hal yang senada pula diungkapkan oleh Fatimah H. Mustakin, pada wawancara tanggal 21 Desember 2013:

Tari Wura Bongi Monca sudah ada pada masa masyarakat Dompu belum mengenal agama Islam. Pada saat itu masyarakat percaya kalau roh nenek moyang mereka ada, dan memberi pengaruh terhadap kehidupan mereka. Maka dari itu masyarakat Dompu melakukan kakiri kamai atau menabur beras kuning, sebagai tari kesuburan.

Berdasarkan pernyataan yang telah diungkapkan oleh para informan di atas, maka tari Wura Bongi Monca dapat diperkirakan muncul pada zaman

primitif, ketika masyarakat Dompu telah mengenal cara hidup menetap dan bercocok tanam atau bertani. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hariyanto bahwa kebudayaan mesolithikum di Indonesia dapat dilihat dari jejak-jejaknya, terutama di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Manusia pada zaman mesolithikum hidup dengan cara food gathering dan sudah hidup secara menetap. Oleh karena itu, ada kemungkinan manusia pada zaman itu sudah mengenal cara bercocok tanam (Hariyanto, 2009:23).

Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Hariyanto tersebut terkait kebudayaan mesolithikum di Indonesia, menyebutkan bahwa Flores adalah salah satu daerah utama yang mengalami masa kebudayaan mesolithikum. Sesuai dengan pernyataan tersebut, maka daerah Dompu yang letaknya berdekataan dengan Flores, sangat dimungkinkan mengalami masa kebudayaan mesolithikum. Flores berada di Nusa Tenggara Timur bersebelahan dengan Dompu yang berada di Nusa Tenggara Barat. Dengan melihat hal itu ada kemungkinan bahwa masyarakat Dompu juga mendapat pengaruh kebudayaan mesolithikum sebagaimana halnya di Flores. Setelah mengenal cara bercocok tanam, masyarakat Dompu secara perlahan mulai berkembang dan berubah hingga pada akhirnya masyarakat setempat semakin mahir bertani.

Berdasarkan uraian tersebut di atas terkait dengan awal munculnya tari Wura Bongi Monca sebagai tari kesuburan maka dapat diduga bahwa tari Wura Bongi Monca muncul di Dompu setelah masyarakat setempat tahu cara bertani. Tari Wura Bongi Monca itu diduga hadir sebagai sebuah persembahan yang diyakini sebagai tari kesuburan sejak saat itu.

Selain dugaan itu, ada pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa tari Wura Bongi Monca merupakan salah satu wujud kebudayaan Hindu yang ditandai oleh pelaksanaan ritus dan upacara dari masyarakatnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Hariyanto bahwa pengaruh Hindu/Budha di Indonesia diperkirakan pada abad ke-5 hingga abad ke- 15 (Hariyanto, 2009:36). Keyakainan Hindu yang percaya terhadap adanya roh-roh nenek moyang tersebut diduga telah tersebar hingga ke seluruh wilayah Nusantara termasuk daerah Dompu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Soeryanto (2012), bahwa penyebaran ajaran Hindu ke Dompu

dibawa ketika terjadinya Ekspedisi Majapahit ke daerah Dompu

(http://iskandarbezhatt.blogspot.com /201 2/11/normal-0-false-false-false-enus-x-none28.html, diakses 17 Maret 2014).

Soeryanto (2012) mengatakan bahwa ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Panglima Nala dan di bawah pimpinan Sang Maha Patih Gajah Mada mengalami kegagalan pada ekspedisi pertama, selanjutnya menyusul ekspedisi yang ke-2 pada sekitar tahun 1357 yang di Bantu oleh Laskar dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Soka. Ketika ekspedisi yang ke-2 itulah Majapahit berhasil menaklukkan Dompu dan akhirnya bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Menyimak fenomena tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kerajaan Dompu diduga sudah ada sebelum kerajaan Majapahit berdiri. Hal itu dapat dibuktikan dalam isi sumpah Palapanya Mahapatih Gajah Mada, yang dalam isi sumpahnya menyebutkan nama kerajaan Dompo (Dompu-Red) sebagai salah satu kerajaan yang akan ditaklukan dalam ekspedisinya tersebut

(http://iskandarbezhatt.blogspot.com /201 2/11/normal-0-false-false-false-enus-x-none28.html, diakses 17 Maret 2014).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan bertani masyarakat Dompu yang telah dibawa sejak zaman mesolithikum tersebut, kemudian mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu pada ekspedisi Majapahit ke- 2, maka melahirkan sebuah bentuk ritual permohonan kesuburan yang disebut tari Wura Bongi Monca.

Tari Wura Bongi Monca yang diwujudkan sebagai sebuah tari ritual kesuburan diperkirakan muncul setelah masyarakat Dompu mendapat pengaruh kebudayaan Hindu. Namun bentuk ritual kesuburan yang diperkirakan mendapat pengaruh kebudayaan Hindu itu tidak dapat dipastikan secara pasti. Hal itu dikarenakan, tidak ada bukti tertulis yang dapat memastikan secara pasti. Informasi mengenai tari ini pada masa itu hanya diketahui tentang ragam gerak tari nya, penari yang membawakan, dan fungsinya saja. Tidak banyaknya informasi terkait dengan tari Wura Bongi Monca sebagai tari kesuburan itu dikarenakan masyarakat setempat tidak memiliki bukti tertulis, namun informasi itu hanya dapat diperoleh dari mulut ke mulut.

Julkifli pada wawancara tanggal 23 Desember 2013, mengatakan:

Sejak masyarakat Dompu menganut agama Islam, tari Wura Bongi Monca tidak pernah dipentaskan lagi sebagai tari untuk memohon keberhasilan panen, tetapi tari an ini kemudian dipentaskan lagi dalam acara-acara adat masyarakat Dompu, seperti dalam acara pernikahan dan acara sunatan sebagai tari penyambutan.

Sebuah kesenian akan punah apabila masyarakat pendukungnya sudah tidak lagi membutuhkan kesenian tersebut. Namun jika kesenian tersebut

dibutuhkan atau diinginkan kembali, maka kesenian tersebut dihadirkan dan difungsionalkan kembali, sesuai dengan kebutuhan kondisi masyarakatnya. Sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang kemudian tidak dipentaskan lagi oleh masyarakat Dompu sebagai tari kesuburan, semenjak masyarakat setempat menganut agama Islam, karena dianggap musrik untuk dilakukan. Oleh karena masyarakat Dompu masih meinginkan keberadaan dari tari Wura Bongi Monca tersebut, maka tari an itu tidak difungsikan lagi sebagai sebuah tari ritual, akan tetapi tari an itu digunakan dalam kegiatan yang berbeda, yakni sebagai hiburan yang berkaitan dengan kebudayaan Islam, seperti acara Sunatan.

Penyebaran agama Islam ke Indonesia terjadi pada abad ke- 13 sampai abad ke-18 di Indonesia. Dimana, Sumatera merupakan pusat sentra seni dan budaya yang bernuansa Islam. Salah satu wilayah yang sangat kuat mendapat pengaruh Islam adalah Aceh, bahkan kota kecil Padang Panjang di Aceh sering mendapat sebutan “Serambi Mekah” (Soedarsono, 1999:26). Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Soedarsono bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia, termasuk Dompu telah mendapat pengaruh Islam sekitar abad ke- 13 sampai abad ke- 18. Hal itu terbukti dengan kehadiran beberapa tokoh agama dari Aceh ke daerah Dompu bukan untuk menyebarkan agama Islam, akan tetapi kehadiran mereka adalah untuk meningkatkan kekuatan iman bagi masyarakat Dompu (http://www.lintasm bojo.com/2012/05/kabupaten-dompuhtml, diakses 3 Maret 2014).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tari Wura Bongi Monca tidak ditampilkan lagi sebagai tari kesuburan sejak masyarakat

Dompu dominan memeluk agama Islam. Sesuai dengan penyebaran dan perkembangan agama Islam di Indonesia, yaitu pada abad ke-13 samapai pada abad ke-18. Maka dapat diperkirakan bawa pada sekitar abad ke- 13 sampai pada abad ke-18, tari Wura Bongi Monca mulai tidak dipentaskan lagi sebagai tari ritual kesuburan oleh masyarakat Dompu.

Kesenian yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat memiliki keterkaitan dengan sosial budaya masyarakat pendukungnya (Sukraka, 2006:163). Ketika mereka membutuhkan, kesenian itu dibuat dan dilestari kannya. Begitupula sebaliknya, jika kesenian itu tidak dibutuhkan lagi maka kesenian itupun punah. Itu artinya bahwa jika masyarakat pendukungnya masih memerlukannya, maka kesenian itupun akan fungsional dan eksis. Seperti halnya tari Wura Bongi Monca yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya, ketika masyarakat Dompu sudah mengenal agama Islam. Sejak masyarakat setempat mengenal dan menganut agama Islam tari itupun tidak pernah lagi tampak.

Setelah lama ditinggalkan oleh masyarakat Dompu, tari Wura Bongi Monca tidak pernah ditampilkan lagi sebagai tari kesuburan. Namun oleh karena masyarakat setempat masih menginginkan kehadiran Tari Wura Bongi Monca, maka tari an itu kembali dipentaskan dalam konteks yang berbeda. Tari Wura Bongi Monca kembali hadir sebagai sebuah bentuk tari penyambutan. Kehadiran tari Wura Bongi Monca kembali di tengah-tengah masyarakat Dompu merupakan sebuah fenomena yang unik. Tari yang semulanya merupakan sebuah bentuk ritual tari kesuburan kini hadir dengan wujud yang dikembangkan sebagai sajian

pertunjukan tari penyambutan. Perubahan fungsi dari tari Wura Bongi Monca itu adalah sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji.

Menurut Fatimah H. Mustakin pada wawancara tanggal 21 Desember 2013:

Bentuk tari Wura Bongi Monca sekarang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tari Wura Bongi Monca yang dahulu. Hanya musik iringan tari annya saja yang berbeda. Dahulu tari itu diirngi suara vocal, sementara sekarang iringannya ditambah dengan pukulan musik genda.

Dari pernyataan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tari Wura Bongi Monca kembali hadir sebagai sebuah tari penyambutan, dikarenakan masyarakat Dompu memerlukan sebuah tari tradisional khas daerah setempat untuk ditampilkan dalam rangka memeriahkan acara-acara yang dianggap penting. Namun dengan berubahnya budaya masyarakat setempat, yang dipengaruhi oleh agama Islam, yang hanya percaya kepada Tuhannya yang disebut Allah, maka tari an itupun dipertunjukan sesuai dengan budaya Islami.

Tari Wura Bongi Monca yang mulai dipentaskan lagi sebagai tari penyambutan sudah barang tentu memiliki perbedaan dengan tari Wura Bongi Monca ketika dipentaskan sebagai tari kesuburan. Tidak saja dari segi fungsi, akan tetapi dari penampilan dan penyajiannya juga tampak berbeda, seperti pada tata rias dan busananya. Sebagaimana sebuah kesenian memang akan berubah dan berkembang mengikuti perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Terkait dengan itu, Julkifli mengatakan pada wawancara tanggal 21 Desember 2013:

Tata rias wajah penari Wura Bongi Monca menggunakan bedak dan lipstik, bagian kepala penari menggunakan sanggul tradisional

masyarakat Dompu yang disebut samu’u ncanga, memakai bunga cempaka kuning, mawar putih dan merah, jungki tengah. Memakai kebaya merah atau kuning dengan bagian bawah memakai tembe nggoli atau tembe songket, yaitu kain tenun hasil karya tangan masyarakat Dompu.

Berdasarkan yang diungkapkan oleh Julkifli tersebut di atas, dapat diketahui bahwa perkembangan tari Wura Bongi Monca tampak pada tata rias wajah dan kepala.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Fatimah H. Mustakim juga mengatakan pada wawancara tanggal 21 Desember 2013, bahwa “Tari Wura Bongi Monca ditari kan oleh penari perempuan, dengan masing-masing penari membawa boko. Ciri khas tari Wura Bongi Monca selain dari properti boko yang dibawa oleh para penari, yaitu gerak kakiri kamai.”

Foto boko tersebut di atas merupakan bentuk boko yang digunakan dalam pertunjukan tari Wura Bongi Monca oleh para penari ketika ditari kan dalam acara-acara penting di kerajaan yang ada di Dompu.

Foto 28. Boko: Properti tari Wura Bongi Monca Dokumentasi : IGA Ananta Wijayantri

Tanggal 21 Desember 2013.  

Perubahan adalah proses yang wajar dalam kehidupan. Suatu bentuk budaya tidak dapat lepas dari perubahan dan selalu berkembang sesuai dengan aktivitas masyarakatnya (Sukraka, 2006:163). Begitu pula dengan tari Wura Bongi Monca juga mengalami perubahan fungsi akibat pengaruh dari budaya masyarakat Dompu yang telah bergeser tersebut.

Menurut Julkifli bahwa ketika penjajah Belanda masuk ke daerah Dompu, di Dompu mulai berdiri kerajaan-kerajan kecil sebagai tempat berkumpul untuk mengadakan rapat atau pertemuan penting yang dilakukan oleh para Ncuhi (kepala suku) dari masing-masing kerajaan tersebut. Dari sejak itu, tari Wura Bongi Monca ditampilkan kembali dalam acara-acara penting di beberapa kerajaan kecil yang ada di Dompu tersebut, sebagai acara pembukaan atau hanya sekedar untuk menyambut (wawancara tanggal 23 Desember 2012).

Pernyataan yang diungkapkan tersebut diatas senada dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Fatimah H. Mustakim, pada wawancara tanggal 21 Desember 2013:

Saya tidak dapat memastikan pada tahun berapa kerajaan-kerajaan kecil di Dompu mulai berdiri, tetapi berdasarkan cerita yang saya dapatkan bahwa tari Wura Bongi Monca ini mulai dipentaskan kembali dalam acara yang diselenggarakan di lingkungan kerajaan-kerajaan yang ada di Dompu sebagai tari penyambutan.

Fatimah H. Mustakim juga mengatakan pada wawancara tanggal 21 Desember 2013, bahwa “Tari Wura Bongi Monca juga ditari kan dibeberapa kerajaan kecil di Dompu, ketika daerah tersebut dijajah oleh Belanda.” Terkait uraian tersebut dapat diketahui bahwa tari Wura Bongi Monca kemungkinan

memang telah ditampilkan sebagai tari penyambutan sejak daerah Dompu dijajah Belanda.

H. Hilir juga mengatakan bahwa tari Wura Bongi Monca muncul sebagai sebuah tari penyambutan yang dipertunjukkan dalam acara-acara penting di lingkungan kerajaan. Tari an ini ditari kan oleh sekelompok remaja putri dengan memakai kebaya dan tembe nggoli atau tembe songket (kain tenun masyarakat Dompu) serta menggunakan hiasan kepala, sanggul tradisional Dompu (samu’u ncanga) (wawancara 23 Desember 2013). Adapun sanggul tradisional Dompu tersebut tampak seperti pada foto di bawah ini.

Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh para informan tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa tari Wura Bongi Monca kembali ditampilkan dalam acara-acara penting di kerajaan yang ada di Dompu bersamaan dengan hadirnya atau masuknya penjajah Belanda.

Foto 29. Sanggul Tradisional Dompu (Samu’u Ncanga) Dokumentasi : IGA Ananta Wijayantri

Fatimah H. Mustakim mengatakan bahwa para penari masing-masing membawa boko yang berisikan beras kuning, yang ditaburkan ke arah para tamu sebagai ucapan selamat datang. Gerak pokok tari Wura Bongi Monca sama sekali tidak dihilangkan, yakni gerak menabur beras kuning atau gerak kakiri kamai yang diulang berkali-kali. Tari Wura Bongi Monca yang telah dikembangkan oleh masyarakat setempat sebagai tari penyambutan tersebut memiliki musik iringan berupa suara vocal yang diiringi dengan pukulan musik genda. Suara vokal merupakan syair-syair dengan menggunakan bahasa Dompu yang berintikan ucapan selamat datang (wawancara tanggal 21 Desember 2013).

Kehadiran seni tari dicirikan oleh lingkungan sosial masyarakat dan alam sekitar, dimana mereka hidup. Karakteristik tari yang ditampilkan selalu mengungkapkan tipe-tipe sosial masyarakat pendukungnya sebagai identitas kesenian yang ditampilkan (Yulinis, 2006:89). Sebagaimana karakter tari Wura Bongi Monca yang menggambarkan tentang budaya masyarakat Dompu.

Perubahan selalu ada dalam kehidupan manusia, dan perubahan tidak akan pernah berakhir. Seperti halnya dengan seni yang merupakan hasil budi daya manusia yang mengalami perubahan secara terus menerus mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya (Sukraka, 2006:162-163). Sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang perkembangannya juga mengalami pasang surut sesuai perkembangan masyarakat pendukungnya.

Berdasarkan hasil wawancara tanggal 23 Desember 2013 dengan Julkifli mengungkapkan terkait tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh M. Said Har dari Sanggar Fatakula pada tahun 1980-an bahwa:

Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh M. Said Har memiliki ragam gerak yang sudah dikembangkan dengan musik iringan diganti dengan alat musik tradisional Dompu, yakni genda dan serunai. Untuk busana lebih banyak mendapat pengaruh dari budaya masyarakat Bugis, Makasar Sulawesi Selatan yang tinggal di daerah Dompu.

Dari ungkapan tersebut di atas menunjukkan bahwa tari Wura Bongi Monca dikembangkan masyarakat Dompu sesuai dengan budaya masyarakat pendukungnya. Pembauran budaya antara masyarakat Dompu dengan budaya masyarakat Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan yang tinggal di daerah Dompu, kiranya telah memberi pengaruh terhadap busana tari Wura Bongi Monca. Tari Wura Bongi Monca yang mempergunakan baju bodo berwarna merah dan jingga, adalah salah satu cirri khas daerah Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan.

Baju bodo adalah pakaian tradisional perempuan Suku Bugis, Makasar,

Dokumen terkait