• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI

2.2 Landasan Teori

Teori bisa dipahami sebagai narasi-narasi yang membedakan dan mendeskripsikan, mendefinisikan, dan menjelaskan peristiwa-peristiwa, ciri-ciri umum yang muncul terkait dengan objek penelitian. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori. Adapun teori yang dimaksud adalah sebagai berikut.

2.2.1 Teori Estetika

Teori Estetika adalah suatu kerangka pikir tentang segala sesuatu yang terkait dengan keindahan, yang telah teruji kebenarannya oleh banyak pihak. Keindahan yang dimaksud, yaitu keindahan hasil karya manusia yang disebut kesenian. Kesenian atau seni itu merupakan sesuatu yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia yang dapat memberikan rasa senang dan puas terhadap pelaku maupun penikmatnya (Djelantik, 1999:9). Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar,

yakni : 1) wujud atau rupa (appearance); 2) bobot atau isi (content, substance); dan 3) penampilan, penyajian (presentation) (Djelantik, 1999:15-16).

Untuk menjelaskan keindahan tari Wura Bongi Monca yang membuat tari an tersebut diminati masyarakat penontonnya dipergunakan teori estetika. Melalui unsur-unsur keindahan yang ditampilkan oleh para penari Wura Bongi Monca dapat dipahami dan dihayati keindahannya oleh para penikmatnya. Teori estetika dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam tari an tersebut, yaitu wujud, bobot dan penyajian tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila.

2.2.2 Teori Religi

Teori Religi adalah suatu kerangka pikir yang menyangkut hal-hal yang terkait dengan kepercayaan suatu masyarakat. Kata religi berasal dari bahasa latin, yaitu religare atau religio yang berarti mengikat. Manusia menerima ikatan Tuhan sebagai sumber kebahagian dan ketentraman (Dojosantosa, 1986: 2-3). Hal itu berarti bahwa manusia percaya apabila melaksanakan upacara religi, maka akan mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman dari Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tujuan hidup dari manusia itu sendiri. Menurut Frazer yang dikutip oleh Koentjaraningrat, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-mahluk halus, seperti roh-roh dan dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1987:54).

Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Dompu pada masa pengaruh Hindu mempercayai akan keberadaan roh-roh nenek moyang yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kepercayaan itu mereka tuangkan ke dalam bentuk ritual tari kesuburan untuk memohon agar roh nenek moyang mereka turun ke bumi demi keberhasilan panen mereka. Masyarakat Dompu sebelum mengenal agama Islam selalu melakukan upacara panen raya dengan menampilkan tari Wura Bongi Monca yang diiringi nyanyian menggunakan bahasa Dompu untuk persembahan kepada roh nenek moyang mereka agar hadir memberkati pelaksanaan panen yang mereka lakukan.

Teori religi dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji awal mula munculnya tari Wura Bongi Monca sebagai tari persembahan untuk memohom kesuburan yang dilaksanakan menjelang dan berakhirnya panen raya di Dompu.

2.2.2 Teori Fungsional Struktural

Teori Fungsional Struktural adalah kerangka pikir yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keteraturan fungsi suatu unsur kebudayaan bagi masyarakat pendukungnya, yang telah teruji kebenaranannya oleh banyak pihak. Fungsi tari dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sebatas aktivitas kreatif, akan tetapi lebih mengarah pada konteks kegunaannya. Keberadaan tari diartikan memiliki nilai dan hasil guna yang dapat memberikan manfaat pada masyarakat bersangkutan (Hidayat, 2009:39).

Ralph Linton (1984) menyatakan setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi yang dibedakan menjadi tiga yaitu : use (guna), function (fungsi), dan meaning (makna).

Use (guna) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur itu dengan suatu tujuan tertentu, sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang sering digunakan sebagai sajian pertunjukan dalam berbagian acara-acara penting, seperti acara pernikahan, acara peresmian jalan, dan sebagainya.

Function (fungsi) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur itu dengan keseluruhan dari kebudayaannya, sebagaimana tari Wura Bongi Monca yang kini dipandang dari sudut keberadaannya dihubungkan dengan kehidupan masyarakat Dompu. Pemahaman masyarakat terhadap tari Wura Bongi Monca yang kini selalu dihadirkan sebagai tari penyambutan untuk memeriahkan acara-acara yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Artinya bahwa walaupun tari Wura Bongi Monca sebelumnya ditampilkan untuk ritual memohon kesuburan namun dengan telah dikembangkannya tari Wura Bongi Monca itu sebagai tari penyambutan untuk menghibur masyarakat, maka penyajian tari tersebut tampak diterima oleh masyarakat Dompu yang kini dominan menganut agama Islam.

Meaning (arti atau makna) dari suatu unsur kebudayaan menghubungkan unsur kebudayaan itu dengan penilaian masyarakat terhadap kesenian, sebagaimana pandangan positif masyarakat Dompu terhadap dikembangkannya tari Wura Bongi Monca menjadi tari penyambutan, yang ditampilkan oleh Sanggar La-Hila untuk memeriahkan acara-acara penting masyarakat setempat.

Tari Wura Bongi Monca yang dikembangkan oleh Sanggar La-Hila dianggap tidak merusak tatanan kebudayaan masyarakat Dompu, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan dan pengayaan terhadap kebudayaan Dompu. Hal itu dapat dilihat dari antusiasme masyarakat menyambut setiap pementasan tari tersebut yang dianggap sesuai dengan nilai dan norma kebudayaan masyarakat Dompu.

Tari Wura Bongi Monca sebagai salah satu unsur kebudayaan, muncul dan berkembangnya di Dompu tampak dapat memberikan nilai use (guna), function (fungsi), dan meaning (makna) sebagai identitas budaya masyarakat Dompu.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Soedarsono (1999:167-169) juga menyatakan bahwa seni pertunjukan memiliki fungsi penting bagi masyarakat pendukungnya. oleh sebab itu seni yang diciptakan itu dijaga dan dilestari kannya. Beberapa fungsi seni yang dimaksud, antara lain: 1) seni sebagai sarana ritual; 2) seni sebagai sarana hiburan pribadi; dan 3) seni sebagai presentasi estetis yang dipertunjukkan atau disajikan kepada penonton; 4) seni sebagai pengikat solidaritas; 5) sebagai pembangkit rasa solidaritas; 6) seni sebagai media komunikasi massa; 7) seni sebagai media propaganda politik; 8) seni sebagai media propaganda program-program pemerintah; 9) seni sebagai media meditasi; 10) seni sebagai sarana terapi; 11) seni sebagai perangsang produktivitas, dan lain sebagainya.

The Liang Gie dalam bukunya yang berjudul Filsafat Seni Sebuah Pengantar (2004) juga menjelaskan bahwa seni memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1) fungsi spiritual (kerohanian); 2) fungsi hiburan (hedonistis); 3) fungsi pendidikan (edukatif); dan 4) fungsi komunikatif (2004: 47-49). Pernyataan yang diungkapkan oleh The Liang Gie tersebut dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji tari sebagai hiburan dan sebagai media pendidikan (edukatif).

Gagasan untuk menciptakan tari Wura Bongi Monca di daerah Dompu, pada dasarnya juga dipergunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukan oleh Soedarsono (1998) bahwa kelompok masyarakat tertentu membuat sebuah kesenian untuk mengungkapkan rasa estetik sebagai sarana hiburan. Dengan adanya berbagai kepentingan tersebut membuat muncul dan dilestari kannya tari Wura Bongi Monca itu di Dompu, yang kemudian kini dikembangkan sebagai sebuah tari penyambutan.

Edi Sedyawati (1981) juga mengemukakan bahwa fungsi kesenian dapat dibedakan menurut fungsinya menjadi tujuh, yakni (1) untuk memanggil kekuatan gaib; (2) mengundang roh hadir di tempat pemujaan; (3) menjemput roh-roh baik; (4) peringatan terhadap nenek moyang; (5) mengiringi upacara perputaran waktu; (6) mengiringi upacara siklus hidup; dan (7) untuk mengungkapkan keindahan alam semesta. Begitu halnya dengan tari Wura Bongi Monca yang ditampikan sebagai bagian dari upacara yg dipersembahkan untuk mengundang roh nenek moyang hadir di tempat pemujaan.

Bandem dan Fredrick Eugene deBoer (1995) menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali kesenian mempunya tiga fungsi pokok, yaitu wali, bebali, dan balih-balihan. Kesenian yang berfungsi untuk wali dan bebali

merupakan kesenian yang disajikan dalam konteks ritual upacara. Sedangkan kesenian yang berfungsi untuk balih-balihan lebih banyak bersifat sosial dengan tujuan untuk menghibur para penontonnya. Dikatakan Bandem bahwa kesenian di Bali belakangan ini berkembang dominan sebagai balih-balihan (hiburan). Sebagaimana hal itu juga terjadi di daerah Dompu bahwa tari kesuburan yang sebelumnya hanya dipentaskan dalam konteks ritual upacara tertentu saja, namun kini dikembangkan sebagai seni pertunjukan hiburan.

Berdasarkan beberapa teori fungsi seni yang diungkapkan di atas terkait dengan fungsi tari Wura Bongi Monca di Dompu, diambil beberapa pokok yang berkaitan erat dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu tari Wura Bongi Monca berfungsi sebagai hiburan, dipertunjukkan atau disajikan kepada penonton atau bagi masyarakat pendukungnya, sebagai perangsang produktivitas atau pendorong kreativitas bagi para seniman Dompu. Fungsi lainnya, yaitu tari Wura Bongi Monca berfungsi sebagai pengikat sosial masyarakat, sebagai penunjang ekonomi para pelakunya, sebagai sarana pendidikan, sebagai strategi pelestarian budaya, serta sebagai identitas budaya masyarakat Dompu.

Dokumen terkait