• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus Cedera Kepala Ringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus Cedera Kepala Ringan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kasus

Cedera

Kepala Ringan

Penyusun :

Muhammad Diko Prakoso 030.008.146

Pembimbing : dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF PERIODE 10 JUNI – 13 JUNI 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti CILEGON 2013

(2)

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul atau tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.

Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10 % penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80 % dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10% sebagai cedera kepala sedang, dan 10 % sisanya di kategorikan sebagai cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.

(3)

STATUS PASIEN 1. IDENTITAS PASIEN

• Nama : Tn S

• Jenis kelamin : Laki-laki

• Umur : 50 tahun

• Pekerjaan : Pedagang

• Pendidikan : Tamat SD

• Status : Menikah

• Agama : Islam

• Alamat : Kampung Kaligandu, Purwakarta

• Bangsa : Jawa

• Warganegara : Warganegara Indonesia • Tanggal masuk RS : 13 Juni 2013

2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 14 Juni 2013 pukul 11.15 WIB di bangsal

a. Keluhan Utama : Nyeri kepala

b. Keluhan Tambahan :

(4)

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cilegon diantar oleh istrinya dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala terus menerus, tidak berputar. Awalnya os terjatuh dari tangga saat melaksanakan kerja bakti di lingkungan rumahnya. Os terjatuh dengan posisi kepala belakang membentur tanah. Kemudian os tidak sadarkan diri selama ± 1 jam. Setelah sadar os muntah yang berisi makanan dan mengeluhkan nyeri kepala. Pasien mengeluhkan pandangan yang buram dan tampak kebingungan serta menanyakan apa yang terjadi kepada istrinya. Akibat dari benturan pada bagian kepala belakang tersebut, pasien mengalami luka terbuka. Kemudian os dibawa ke puskesmas dan luka terbuka tersebut pada bagian belakang dijahit.

Tidak ada cairan keluar dari telinga pasien. Kelemahan anggota disangkal. Di rumah sakit tersebut pasien mendapat pertolongan pertama, dibersihkan lukanya dan dilakukan rontgen dada, pemeriksaan darah serta pemeriksaan CT Scan kepala. Saat dipindahkan ke bangsal, pasien masih merasa nyeri pada bagian kepala. Saat kecelakaan, pasien tidak sakit atau panas. Pasien dan isteri menyangkal adanya riwayat kejang sebelumnya, menderita ayan, sering bengong atau mengelamun, menggunakan narkoba, minum alkohol, maupun mengkonsumsi obat-obatan seperti obat batuk, obat penenang, obat tidur dan obat flu. Pasien mengakui tidak mengantuk saat melaksanakan kerja bakti tersebut, tidak melakukan aktivitas berat yang membuatnya kelelahan atau adanya riwayat bergadang sehari sebelumnya. Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan dobel disangkal, bicara pelo tidak ada.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat alergi obat (-), Riwayat hipertensi (+) ± 1 tahun (baru diketahui, Riwayat gangguan jiwa/stress (-)

Riwayat diabetes melitus (-), Riwayat asma (-), Riwayat maag (-), Riwayat sakit jantung (-), Riwayat stroke (+) 1 tahun yang lalu, Riwayat sakit ginjal atau hati (-).

(5)

Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat trauma (-), Riwayat epilepsi (-), Riwayat gangguan jiwa (-)

f. Riwayat Pola Hidup dan Kebiasaan Penggunaan tembakau (+)

Minum alkohol (-) Penggunaan narkoba (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 14 Juni 2013) a. Keadaan Umum

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15 Kooperasi : Kooperatif

Sikap : Berbaring aktif

Keadaan gizi : Cukup

Postur : Athletikus

Tekanan Darah : 180/100 mmHg

Nadi : 78 x / menit, isi cukup, irama reguler, equal Suhu Badan : 36,60 C

Pernafasan : 18 x / menit, irama reguler tipe abdominotorakal Penggunaan otot nafas tambahan (-)

b. Keadaan lokal

Trauma Stigmata : Vulnus laceratum regio occipital sudah terjahit

Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-) Eksoriasi pada palpebra kanan, patella kanan

Kepala : Normosefali, rambut hitam beruban, distribusi merata, tidak mudah dicabut, tidak ada alopesia, benjolan (-), Vulnus laceratum post hecting diperban pada regio parietal dextra, nyeri tekan (-).

(6)

Kelenjar getah bening : Tidak teraba membesar Columna vertebralis : Lurus di tengah

Mata : Hematoma kacamata (Brill hematom) -/-, hematom palpebra +/-, oedem palpebra +/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-, lagoftalmus -/-, pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+ .

Telinga : Normotia +/+, hematoma retroaurikuler (Battle’s sign) -/-, perdarahan -/-,

otorea-/-Hidung : Deviasi septum , perdarahan , rhinorea -/-Mulut : Lidah kotor (-), perdarahan(-)

Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1. Gigi : Caries (-), missing (-)

Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tiroid di tengah, JVP 5-2 cm H2O

Pemeriksaan jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea midklavikularis sinistra

Perkusi :

Batas jantung atas : ICS III garis sternalis kiri

Batas jantung kanan : ICS IV, 1 cm lateral linea sternalis kanan Batas jantung kiri : ICS VI, 1 cm lateral linea midclavikularis kiri Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksan paru

(7)

Palpasi : Vocal fremitus simetris, krepitasi (-) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki , wheezing

-/-Pemeriksaan abdomen Inspeksi : Datar

Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Auskultasi : BU (+) normal Pemeriksaan Ekstremitas :

Ekstemitas atas : akral hangat + / +, edema - / -, bahu kanan sakit dan tidak dapat digerakkan, krepitasi -/-, deformitas -/-, CRT < 2 detik Ekstemitas bawah : Ekskoriasi di patella kanan, akral hangat + / +, edema - / -,

krepitasi -/-, deformitas -/-, clubbing finger (-), CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS a. Tanda Rangsang Meningeal

Kaku Kuduk : -Brudzinski I : -Brudzinski II : - Kanan Kiri Laseque : >70˚ >70˚ Laseque menyilang : - -Kernig : >135˚ >135˚ Peningkatan tekanan intrakranial

(8)

o Papil oedem -tidak dilakukan pemeriksaan o Pupil anisokor (-) o Trias cushing (-) b. N. Kranialis N.I : Normosmia +/+ N.II :

• Acies visus : normal • Campus visus : normal • Tes buta warna : normal

• Funduskopi : tidak dilakukan

N.III ; N.IV ; N.VI

Kedudukan bola mata : ortoforia - ortoforia Pergerakan bola mata :

• Nasal : normal

• Temporal : normal

• Atas : normal

• Bawah : normal

• Temporal bawah : normal

Eksoftalmus :

-/-Nistagmus :

-/-Ptosis :

-/-Pupil

o Bentuk : Bulat / bulat

o Diameter : 3 mm / 3 mm

o Refleks cahaya langsung : +/+

o Refleks cahaya tidak langsung : +/+

o Reaksi akomodasi : normal

(9)

N.V

• Cabang motorik

o Membuka mulut : Baik

o Menggerakkan rahang : Baik

o Jaw refleks : Baik

• Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik • Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik • Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik N.VII

• Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-) • Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-) • Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)

• Chovstek : Negatif • Pengecapan lidah o Manis : Baik o Asin : Baik o Asam : Baik o Pahit : Baik N.VIII • Vestibular Vertigo : Negatif Nistagmus : -/-• Cochlear

Test Rinne : +/+ (tuli sensorineural -)

Webber : Tidak ada lateralisasi (tuli konduktif -) Schwabach : Sama dengan pemeriksa

N.IX ; N.X

(10)

 Sensorik : Baik/baik

N.XI

• Mengangkat bahu : Baik/baik

• Menoleh : Baik/baik

N.XII

• Pergerakan lidah : Lidah di tengah

• Atrofi :

-• Fasikulasi :

-• Tremor :

-c. Sistem motorik tubuh

Kekuatan otot : 5555 | 5555 5555 | 5555 d. Gerakan involunter  Tremor : -/- Chorea : -/- Atetose : -/- Miokloni : -/- Tics : -/-Trofik : Eutrofik/Eutrofik

Tonus : Normotonus /Normotonus

Sensorik : Baik

Fungsi otonom

 Miksi : Inkontinensia (-)

 Defekasi : Inkontinensia (-)

(11)

d. Fungsi cerebellar dan Koordinasi

• Ataxia :

-• Tes Romberg : Baik

• Disdiadokokinesia : -

• Jari - jari : Baik

• Jari - hidung : Baik

• Tumit - lutut : Baik

• Rebound Phenomenon : Baik

• Hipotoni : -/-e. Fungsi Luhur • Astereognosia : -• Apraksia : -• Afasia : -• Disgrafia : -f. Fungsi Otonom Miksi : baik Defekasi : baik Sekresi keringat : baik g. Refleks fisiologis

• Kornea : +/+

• Biseps : N/N

• Triseps : N/N

• Kremaster : tidak dilakukan

• Patella : N/N

(12)

• Fissura ani : tidak dilakukan h. Refleks patologis • Hofman Trommer : -/-• Babinski : -/-• Oppenheim : -/-• Gordon : -/-• Schaefer : -/-• Chaddock : -/-i. Keadaan Psikis • Intelegensia : Baik • Tanda regresi : -• Demensia : -4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 13 Juni 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi Hemoglobin 14,6 11,7 – 15,5 g/dl Hematokrit 42,3 33 – 45% Leukosit 14.890 ↑ 5,0 – 10,0 rb/ul Trombosit 351 150 – 440 rb/ul Eritrosit - 3,80 – 5,20 jt/ul Glukosa Darah GDS 129 < 200 g/dl Fungsi Ginjal Ureum 38 17-43 mg/dl Creatinin 14 0,7 – 1,1 Fungsi Hati SGOT 17 <37 SGPT 19 <41 Elektrolit Natrium 139,8 135-155 mmol/l Kalium 3,25 3,6 – 5,5 mmol/l Chlorida 107,7 ↑ 95 – 107 mmol/l

(13)

5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK Tanggal : 13 Juni 2013

Rontgen Thorax Posterior-Anterior • Thoraks simetris kanan dan kiri • Dinding thoraks tidak ada massa

• Tulang klavikula, costae, stenum tampak tidak ada diskontinuitas • Sela iga dalam batas normal dan simetris

• Jantung -CTR >50%

-Apeks bergeser ke laterocaudal

• Paru -tidak ada infiltrat, kalsifikasi, maupun massa. -corakan bronkovaskular tidak meningkat • Diafragma bentuk kubah kanan dan kiri

• Sinus costo phrenicus lancip kanan dan kiri

Kesan: Cardiomegali. Pulmo tenang. Tak tampak fraktur

Tanggal : 13 Februari 2011

(14)

• Tampak lesi hiperdens intra sulcy lobus oksipital kiri dan peri falk cerebri posterior

• Tampak lesi hipodens batas tegas pada nukleus lentiformis kiri, lesi hipodens kecil pada thalamus dan pons

• Sistem ventrikel tidak melebar

• Sisterna basalis, ambiens, dan quadrigemina baik • Fissura silvii kanan/kiri baik

• Struktur garis tengah tidak bergeser

• Infratentorial tak tampak lesi pada cerebellum dan daerah CPA • Tak tampak kelainan pada supra dan parasellar

• Bulbus okuli, N.Optikus bilateral tak tampak kelainan • Sinus ethmoid dan spenoid cerah

• Pneumatisasi sel udara mastoid bilateral baik

• Pada bone window : tampak diskontinuitas linear pada os occipital kiri Kesan:

• Sub Arachnoid Hemorrhagic pada regio occipital kiri dan peri falks cerebri posterior

• Suspek fraktur linear pada os occipital kiri • Infark lama pada nukleus lentiformis kiri • Infark lacunar pada thalamus kanan dan pons

(15)

Pasien Tn S, laki-laki 50 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kepala yang terus menerus setalah jatuh dari tangga dengan posisi kepala belakang membentur kepala. Nyeri kepala terus menerus. Didapatkan riwayat pingsan selama ± 1 jam. Riwayat muntah berisi makanan. Terlihat kebingungan setelah tersadar dari pingsan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15

Tekanan Darah : 180/100 mmHg

Nadi : 78 x / menit, isi cukup, irama reguler, equal

Suhu Badan : 36,60 C

Pernafasan : 18 x /menit

Trauma Stigmata : Vulnus laceratum regio occipital sinistra.

Pada hasil lab didapatkan leukositosis. Roentgen thoraks didapatkan

kardiomegali. CT-scan didapatkan hasil Sub Arachnoid Hemorrhagic pada regio occipital kiri dan peri falks cerebri posterior, suspek fraktur linear pada os occipital kiri, infark lama pada nukleus lentiformis kiri dan infark lacunar pada thalamus kanan dan pons

7. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis klinis : Vulnus laceratum regio occipital sinistra Hipertensi Grade II

Leukositosis reaktif Diagnosis patologis : Commosio cerebri

Subarachnoid hemorrhagic Diagnosa etiologi : Cedera kepala ringan

(16)

Non-medikamentosa

 ABCDE

 Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 300

 Perawatan luka

 Diet biasa: kalori 1800 K/hari Medikamentosa  IVFD RL 20 tetes/menit  Ceftriakson 1 x 2 gr  Ranitidine 2 x 1 amp  Ketorolac 3 x 1  Vitamin K 3 x 1  Asam Tranexamat 3 x 500 mg  Citikolin 3 x 500 mg  Amlodipin 1 x 10 mg  Parasetamol 3 x 500 mg 9. RENCANA PEMERIKSAAN Lumbal Pungsi 10. PROGNOSA  Ad vitam : ad bonam  Ad functionam : ad bonam

(17)

 Ad sanationam : ad bonam

CEDERA KEPALA Definisi

Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)

Pendahuluan

Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.

Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.

Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).

(18)

Anatomi

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembulu-pembuluh darah besar yang bila robek, sukar mengadakan vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna. Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit sampai ke dalam tengkorak.

Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.

Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.

(19)

Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.

Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.

Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3) membentuk periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai oleh a. Meningea media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus dan elastis, membran ini tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran disebut ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma kepala. Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang subarakhnoid yang melebar dan mendalam pada daerah tertentu dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah membran halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

(20)

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.

Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.

Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena

(21)

penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.

(22)
(23)

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala. Berdasarkan Mekanisme

Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan denganluka tembak dan luka tusuk.

(24)

Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :

a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid ) b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )

c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung ) d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )

e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)

Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.

Gambar 5: Tanda Cedera Kepala. 2. Trauma kepala tertutup

Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena

(25)

perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi

coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi

countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

A. Komusio serebri ( Gegar otak )

Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung. Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa

(26)

sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

B. Kontusio serebri (Memar otak )

Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan terjadi edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari kontusio adalah pusing,

(27)

kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI

menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma. C. Perdarahan intracranial

Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak gambaran massa hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada pula yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang secara tipikal terletak di bagian

(28)

temporal tengkorak. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural

Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1). Sakit kepala yang menetap

2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul 3). Linglung

4). Perubahan ingatan

5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Berdasarkan Beratnya

A. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)

Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.

(29)

Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.

C. Cedera kepala berat (GCS <8)

Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma. Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :

1. Pupil tak ekual

2. Pemeriksaan motor tak ekual.

3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka. 4. Perburukan neurologik.

5. Fraktura tengkorak depressed.

Berdasarkan Morfologi

Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal

Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat, nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.

(30)

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan

vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

Cedera aksonal difusa

Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan yang membentuknya. Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit. Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan, yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal akan terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal

Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya cukup baik mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan pada penderita yang kesadarannya

menurun dapat digunakan pedoman yaitu :

1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS 2. Kekuatan fungsi motorik

3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya 4. Gerakan bola mata

(31)

Pemeriksaan penunjang

1. Foto polos cranium ( schullder )

Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak. 2. Pemeriksaan CT-Scan

CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap perkembangan perdarahan pada otak.

Penanganan Cedera Kepala I. Cedera kepala ringan

Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 – 15. Terdiri atas :

a. Simple head injury

• Tidak ada penurunan kesadaran • Adanya trauma kepala ( pusing ) b. Commotio cerebri ( gegar otak )

• Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit ) • Amnesia retrograde

• Pusing, sakit kepala, muntah • Tidak ada defisit neurologis Manajemen

1. Airway

Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.

• Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan dengan suction, pasang NGT

(32)

• Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke kiri.

• Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7 tetapi sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.

• Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum melakukan tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur cervical, maka tindakan yang dilakukan adalah tracheostomi.

2. Breathing

Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang oksigen. 3. Circulation

Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.

4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien, perhatikan kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.

5. Foto rontgen tengkorak.

Dilakukan pada posisi AP dan Lateral. 6. CTscan kepala.

Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.

7. Observasi

Kriteria rawat :

a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam

b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan ) f. Otorrhea, rhinorrhea

(33)

h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )

Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan pulang setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan harus kembali ke rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24 jam ) seperti :

 Mengantuk dan sukar dibangunkan

 Mual dan muntah hebat

 Kejang

 Nyeri kepala bertambah hebat

 Bingung, tidak mampu berkonsentrasi

 Gelisah 8. Terapi simtomatik II. Cedera kepala sedang

Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat mengikuti perintah sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti perintah, namun dapat memburuk dengan cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya pasien cedera kepala berat tapi aspek kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya sama seperti pada cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi

membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini pasien harus dirawat untuk di observasi.

III. Cedera kepala berat

Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah sederhana karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).

Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi : a. Contusio cerebri

• Pingsan > 10 menit • Kegelisahan motorik • Sakit kepala, muntah

(34)

• Kejang

• Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes • Amnesia anterogard

b. Laceratio cerebri

Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup. Penangan kasus ini mencakup :

• Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera kepala ringan.

• Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan di bagian tubuh lainnya.

• Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s eye ).

• Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi. • Rawat selama 7 – 10 hari.

• Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit. • Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol. • Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

Indikasi Operasi

Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan

neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut : - Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

- Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial - Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis - Tanda fokal neurologis semakin berat

- Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg( sakit kepala hebat, muntah proyektil)

(35)

- Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang

Prognosis

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.

Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat. Jakarta : 2009

2. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005

(36)

3. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com. Accessed on : 22 Juny 2013

4. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:

http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on : 22 Juni 2013 5. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:

http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 22 Juni 2013 6. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala (Trauma Capitis).

Available at : http://asepscience.wordpress.com/2009/06/14/asuhan-keperawatan-cedera-kepala-trauma-capitis/. Accessed on : 22 Juni 2013

7. Hati-hati Jika Cedera Kepala. Available at :

http://www.tanyadokteranda.com/featured/2010/11/hati-hati-jika-cedera-kepala. Accessed on : 22 Juni 2013

Referensi

Dokumen terkait