• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAJU SEDIMENTASI DAN KARAKTERISASI SEDIMEN TAMBAK SUPER INTENSIF UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAJU SEDIMENTASI DAN KARAKTERISASI SEDIMEN TAMBAK SUPER INTENSIF UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU SEDIMENTASI DAN KARAKTERISASI SEDIMEN TAMBAK SUPER INTENSIF

UDANG VANAME (

Litopenaeus vannamei

)

Hidayat Suryanto Suwoyo, Muhammad Chaidir Undu, dan Makmur

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: yayhat_95@yahoo.com ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju sedimentasi, jumlah sedimen dan karakterisasi sedimen tambak udang vaname super intensif selama masa pemeliharaan. Pengamatan Laju sedimentasi dilakukan pada tambak beton berukuran 1000 m2 sebanyak dua petak yang ditebari dengan benur vaname (Litopenaeus vannamei) ukuran PL.10 dengan padat tebar 500 ekor/m2 (A) dan 600 ekor/m2 (B). Kincir masing-masing 1 PK

dipasang sebanyak 12 dan 14 unit per petak. Pakan diberikan dimulai setelah penebaran sebanyak 30% dari biomasa dan menurun pada bulan keempat pemeliharaan hingga 2,5 % dari berat total biomasa udang. Pengukuran jumlah sedimen dan laju sedimentasi di dasar tambak dilakukan dengan memasang perangkap sedimen yang terbuat dari pipa paralon berukuran 4 inchi dengan panjang 40 cm, dipasang sebanyak 5 titik untuk setiap petaknya. Koleksi sedimen dilakukan setiap minggu sekali. Karakteristik sedimen yang diukur adalah potensial redoks, pH, TN (%), TP (%), dan C-organik. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju sedimentasi pada tambak udang vaname super intensif berkisar antara 0,01-0,05 g/cm2/ hari dengan total sedimen pada

padat tebar 500 ekor/m2 sebanyak 3.327 kg dan padat tebar 600 ekor/m2 sebanyak 4.193 kg bobot kering/

siklus. Karakterisasi sedimen pada kedua tambak yang diamati yakni potensial redoks sedimen tambak berkisar antara -405,6 sampai -313,8 mV dengan nilai pH berkisar antara 5,9-6,9. Total N sedimen berkisar antara 0,47- 2,27%, total P berkisar antara 0,37-1,76% dan C-organik berkisar antara 7,34-10,54%. Total N sedimen pada akhir pemeliharaan berkisar 52,58-67,01 kg, total P berkisar 40,03-52,14 kg dan kandungan C organik sedimen berkisar 263,67-336,21 kg. Hasil yang diperoleh memberikan gambaran bahwa diperlukan upaya untuk meminimasi beban limbah dan pengelolaan limbah tambak udang vaname super intensif sebelum dibuang ke lingkungan perairan.

KATA KUNCI: sedimentasi, tambak super intensif, L. vannamei PENDAHULUAN

Udang merupakan komoditas unggulan ekspor perikanan Indonesia. Komoditas ini sangat strategis dalam menopang perekonomian nasional melalui penciptaan devisa nasional, perluasan lapangan

kerja dan usaha, serta peningkatan pendapatan pembudidaya. Produksi udang juga  terus mengalami

kenaikan. dari 350.000 ton tahun 2010 meningkat menjadi 608.000 ton tahun 2013 atau mengalami kenaikan 18,43 %/tahun (Anonim, 2013). Angka ini akan terus didorong dan harus optimis tercapai, mengingat peluang pasar terus meningkat. Target produksi udang di tahun 2014 dihadapkan pada berbagai tantangan, satu diantaranya adalah manajemen budidaya yang mampu menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Untuk saat ini, udang vaname masih menjadi tumpuan yang strategis bagi upaya pencapaian target produksi udang dalam rangka industrialisasi perikanan budidaya. Budidaya udang vaname pola intensif atau superintensif pada tambak skala kecil menjadi orientasi sistem budidaya masa depan dengan ciri volume wadah budidaya kecil, padat penebaran tinggi, produktivitas tinggi, beban limbah minimal dan daya saing produk yang tinggi (Rachmansyah et al., 2013)

Dalam budidaya udang semi intensif maupun intensif pakan yang diberikan tidak selalu habis dimakan, sisa pakan dan sisa metabolisme dapat menyebabkan parameter kualitas air tambak menurun. Bahan organik dari sisa pakan, feces dan ditambah organisme (fitoplankton) yang mati dan mengendap di dasar tambak digunakan sebagai substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Barg (1992) pemberian pakan pada budidaya intensif dan semi entensif, merupakan pemasok limbah

(2)

bahan organik dan nutrien utama ke lingkungan perairan pesisir yang menyebabkan eutrofikasi dan perubahan ekologi plankton, peningkatan sedimentasi, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas bentos.

Hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) terhadap tambak intensif menyebutkan bahwa 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan sebagaian besar juga dikembalikan lagi ke lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari jumlah pakan yang diberikan dikonversi menjadi daging udang, 48% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolisme, kelebihan nutrien), ecdysis (moulting) dan pemeliharaan (energi), 20% dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa faeses. Menurut Jaya et al. (1997) menyatakan bahwa komposisi limbah tambak terdiri atas 77.9% anorganik dan 22.1% organik. Limbah tambak berupa bahan organik pada umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak yang berasal dari kotoran udang dan sisa pakan yang sebagian akan larut dan sebagian lagi mengendap di dasar. Bahan organik di dasar akan meningkat seiring dengan masa pemeliharaan udang karena adanya penambahan dari hasil ekskresi dan sisa pakan yang tidak dapat dibuang seluruhnya ke luar tambak. Nurdjana (1997), mengemukakan bahwa pemberian pakan (kering) dengan jumlah 2 kali lipat produk biomasa (basah), jika dihitung konversinya maka hanya 10-12% yang dapat dipanen menjadi biomassa, sedangkan 90% lainnya terbuang ke lingkungannya. Bahan organik yang mengandung protein ini akan diuraikan menjadi polipeptida, asam amino dan amonia sebagai hasil akhir yang menumpuk di dasar tambak. Jackson et al. (2003) menyampaikan bahwa hampir 90% sumber protein pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22% dikonversi menjadi biomasa udang, 7% dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14% terakumulasi pada sedimen dan 57% tersuspensi di air tambak. Limbah organik yang terbuang ini dapat menyebabkan ledakan plankton dan masalah kekurangan oksigen pada perairan, peristiwa ini dikenal sebagai pembusukan di perairan Di sedimen tambak proses penguraian bahan organik menjadi lebih kompleks karena melibatkan aktivitas tidak hanya bakteri aerob namun juga anaerob dan proses fermentasi. Sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan organik. Lapisan sedimen tambak dari permukaan sampai beberapa sentimeter (1-25 cm) mengandung nutrien yang lebih tinggi dibandingkan kolom air di atasnya (Avnimelech et al., 1984) karena sedimen memegang peranan penting dalam keseimbangan sistem akuakultur yang berfungsi sebagai buffer untuk konsentrasi nutrien air (Chien et al., 1989). Yuvanatemya (2007) mengemukakan bahwa tingginya bahan organik (10-100 mg/kg pada air tambak dan 10.000-200.000 mg/kg pada sedimen tambak) dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat pada kematian masal udang secara mendadak. Lemonnier & Brizard (2001) menyampaikan bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak telah mengakibatkan penurunan tingkat kelangsungan hidup udang dari 60% menjadi 10%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju sedimentasi, jumlah sedimen dan karakteristik sedimen tambak udang vaname super intensif selama masa pemeliharaan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP), Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, (BPPBAP), yang berlokasi di Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pengamatan laju sedimentasi dan karakterisasi sedimen dilakukan

pada petak tambak beton berukuran 1.000 m2 sebanyak 2 petak yang ditebari dengan benur vaname

(L.vannamei) ukuran Post Larva (PL-10) dengan padat tebar 500 ekor/m2 (A) dan 600 ekor/m2 (B). Kincir masing-masing 1 PK dipasang sebanyak 12 dan 14 unit per petak. Pemberian pakan dimulai setelah penebaran sebanyak 30% dari biomasa dan menurun pada bulan ke empat pemeliharaan hingga 2,5% dari bobot total biomassa udang dengan lama pemeliharaan 105 hari (15 minggu). Frekuensi pemberian pakan 3-5 kali/hari. Pengukuran laju sedimentasi dan jumlah sedimen di dasar tambak dilakukan dengan memasang perangkap sedimen yang terbuat dari pipa paralon berukuran 4 inci dengan panjang 40 cm, dipasang sebanyak 5 titik untuk setiap petaknya. Koleksi sedimen dilakukan seminggu sekali. Sample sedimen yang terkoleksi diukur pH dan redox menggunakan pH meter HANA HI 8424, kemudian dikering-anginkan dan ditimbang bobotnya. Karakteristik sedimen yang diukur adalah potensial redoks, pH, TN sedimen (metode Kjeldhal), TP sedimen (metode amonium molybdat dengan Spectrofotometer), C-organik, dan bahan organik total (metode Walkley and Black’s).

(3)

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Laju sedimentasi dihitung berdasarkan persamaan berikut (Rachmansyah et al., 2004):

di mana :

Wsd = bobot kering sedimen dalam (g)

Ap = luas penampang paralon ( cm2)

T = periode koleksi sedimen dalam (hari)

HASIL DAN BAHASAN Laju Sedimentasi

Sedimentasi di tambak terjadi karena proses pengendapan partikel bahan organik baik yang berasal dari sisa pakan, feses udang, plankton, atau organisme lain yang mati serta partikel lumpur yang terbawa oleh aliran pasokan air dari laut. Hasil pengukuran laju sedimentasi pada tambak super intesif udang vaname terlihat mengalami peningkatan hingga bulan ketiga pemeliharaan, kemudian menurun hingga akhir pemeliharaan udang vaname (Gambar 1). Pada petak A (padat tebar 500 ekor/ m2), laju sedimentasi harian yang diperoleh berkisar antara 0,01-0,04 g/cm2/hari dengan rata-rata 0,02±0,01 g/cm2/hari, kemudian petak B (padat tebar 600 ekor/m2) berkisar 0,01-0,05 g/cm2/hari dengan rata-rata 0,03±0,01 g/cm2/hari. Laju sedimentasi tersebut relatif lebih stabil untuk setiap waktu pengamatan karena adanya pembuangan sedimen yang dilakukan setiap hari untuk menjaga kondisi yang baik untuk kehidupan udang vaname.

Laju sedimentasi yag diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibanding dengan hasil yang dilaporkan oleh Fahrur & Yulianingsih (2006) yang mendapatkan laju sedimentasi dalam tambak intensif udang vaname pada kepadatan udang 54 ekor/m2 berkisar antara 117,26–299,24 g/m2/hari, kepadatan 58 ekor/m2 sebesar 115,74–358,63 g/m2/hari, dan pada kepadatan104 ekor/m2 didapatkan laju sedimentasi berkisar 130,20–452,29 g/m2/hari. Clifford (1998) mengemukakan bahwa pada tambak intensif dihasilkan sedimen organik sebesar 0,8 kg bahan kering/m2/hari. Rachmansyah et al. (2006) melaporkan bahwa laju sedimentasi di dalam tambak selama 100 pemeliharaan udang vaname dengan perlakuan jumlah kincir berbeda mencapai 49,49-813,21 (332,71±203,20) g/m2 bahan kering.

t Ap Wsd ) hr cm (g i sedimentas Laju 2 -1       

Gambar 1. Laju sedimentasi (g/cm2/hari) pada tambak udang vaname (L. vannamei) super intensif selama penelitian

(4)

Lemonnier & Brizard (2001) melaporkan bahwa rata-rata laju sedimentasi musiman sekitar 200 ton/ ha dengan ketebalan lapisan atas/permukaan sedimen berkisar 0,25–0,3 g/mL, dengan bagian dasar tambak yang tertutupi oleh sedimen yang baru terdeposit berkisar 5–36% dari bagian tambak. Suwoyo

et al. (2009) mendapatkan laju sedimentasi tambak intensif udang vaname antara 6,89–142,71 g/m2/ hari dengan jumlah sedimen berkisar 676,39–1262 kg/petak/siklus. Wyban & Sweeny (1991) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara laju sedimentasi dengan kecepatan arus air. Semakin rendah kecepatan arus air (cm/detik) maka laju sedimentasi semakin tinggi terutama pada bagian tengah tambak. Pada kecepatan arus 3 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 320 g/m2/hari. Saat kecepatan arus 10 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 180 g/m2/hari dan pada kecepatan arus 22 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 120 g/m2/hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa sedimentasi mulai terlihat pada minggu ke-5 pada siklus pemeliharaan udang. Pada saat sedimen yang terakumulasi cukup banyak (sekitar 20 cm) maka sedimen tersebut harus dibuang melalui central drain. Kartamihardja & Supriyadi (1999) melaporkan bahwa laju sedimetasi bahan-bahan buangan dari KJA rata-rata berkisar 35,04-155,84 cm3/m2/hari sedangkan laju sedimentasi diluar lokasi KJA rata-rata berkisar antara 3,28-47,19 cm3/m2/hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan adanya kegiatan budidaya maka sedimentasi akan bertambah 5 sampai 10 kali dibanding jika tidak ada kegiatan budidaya. Merican & Philips (1985) mengemukakan bahwa laju sedimentasi pada budidaya intensif ikan trout berkisar antara 14–203 g bahan kering/m2/hari dengan rata-rata 16,43 g bahan kering/m2/hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah buangan sedimen atau laju sedimentasi bervariasi cukup besar dan diperkirakan berhubungan dengan perbedaan ukuran pellet, padat penebaran dan kesehatan ikan.

Semakin lama waktu pemeliharaan, maka jumlah sedimen yang terakumulasi di dasar tambak juga semakin besar. Total sedimen yang diperoleh pada petak A (kepadatan 500 ekor/m2) sebesar 3.327kg bobot kering/petak/siklus dan petak B (kepadatan 600 ekor/m2) sebesar 4.193 kg bobot kering/petak/siklus (Gambar 2). Jika dibandingkan dengan total pakan yang diberikan maka total sedimen pada petak A sekitar 34,41% dan petak B 35,97% dari total pakan yang diberikan. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber sedimen didominasi dari sisa pakan dan feses udang karena tambak terbuat dari beton sehingga tidak terjadi peluruhan tanah dari dinding pematang. Oleh karena itu,

sludge yang terjadi selama pemeliharaan udang perlu dibuang dari lingkungan tambak setiap hari untuk menjaga kondisi lingkungan perairan tambak berada pada tingkat kelayakan habitat yang dibutuhkan udang. Menurut Boyd (1992), bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Pada akhir pemeliharaan diperoleh ketebalan bahan organik 6,4–8,5 cm. Cholik & Poernomo (1988) mengemukakan bahwa seiring dengan pertumbuhan udang, maka jumlah pakan akan semakin bertambah sehingga sisa pakan hasil metabolisme udang juga akan bertambah. Beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya udang semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery,2006). Tanpa adanya penanganan khusus tentang hal ini akan berdampak pada penurunan hasil produksi akibat pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan menurunnya efisiensi konversi pakan (Brune et al., 2003).

Hasil penelitian Bachtiar (1994) di TIR Karawang menunjukkan bahwa pada tambak intensif, setiap siklus per hektar dari 4.188 kg pakan akan terbagi menjadi produksi udang 2.327 kg, dan 1.861 kg pakan yang tidak termanfaatkan serta sisa metabolisme. Selanjutnya pakan yang tidak dimanfaatkan dan sisa metabolisme tersebut akan mengendap di dasar tambak sebesar 18% (1.327,61 kg) berbentuk padatan tersuspensi, serta sisanya sebesar 533,39 kg terbuang ke perairan sebagai beban limbah BOD dalam bentuk padatan terlarut. Huisman (1987) dalam Harris (1993) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya. Lebih lanjut Soewardi (2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari. Rachmansyah et al., (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan estimasi laju sedimentasi yang diperoleh dari pemasangan sediment trap dapat diketahui jumlah sedimen selama pemeliharaan

(5)

udang vaname. Jumlah sedimen yang didapatkan pada budidaya udang vaname dengan kepadatan 50 ekor/m2 dengan perlakuan 2, 3 dan 4 kincir masing-masing sebesar 2.829 kg, 3.120 kg, dan 3.154 kg sedimen atau setara dengan 17,2869-20,0272 (18,3443±1,4733) kg N dan 32,8564-45,9148 (38,2136±6,8375) kg P.

Menurut Hopkins et al. (1994) bahwa sumber akumulasi sedimen di dalam tambak udang berasal

dari pakan yang tidak termakan, feses, plankton/diatom yang mati dan membusuk, erosi tanah tambak dan jasad renik merupakan bagian dari sedimen. Meagaung (2000) mengemukakan bahwa pakan buatan merupakan faktor pengelolaan yang sangat berpengaruh nyata terhadap peningkatan ketebalan lumpur pada dasar tambak udang intensif. Lebih lanjut dikatakan bahwa pakan buatan sangat potensial menyebabkan akumulasi bahan organik pada tanah dasar tambak udang intensif, terlihat dari jenis rantai karbon yang dimiliki pakan buatan (C9 - C29) mendekati jenis rantai karbon sedimen tambak udang intensif pasca panen (C10 – C28)

Menurut Avnimelech (1995), selama pemeliharaan udang, nutrien dan residu bahan organik cenderung terakumulasi di dasar kolam/tambak dan akumulasi yang berlebihan ini akan mengakibatkan pembusukan di dalam tambak, dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan, aktivitas dan

kesehatan udang. Delgado et al. (2001) melaporkan bahwa kelimpahan udang secara nyata menurun

pada bagian tengah tambak intensif yang banyak terakumulasi sedimen berpengaruh kurang baik terhadap petumbuhan dan kesehatan udang. Avnimelech & Rivto (2003) mengemukakan bahwa sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada di badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10 kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah permukaan menjadi daerah anoksid (tidak beroksigen). Lebih lanjut dikatakan bahwa akumulasi sedimen di dalam tambak udang harus dikurangi karena dapat meningkatkan kandungan bahan organik, nitrogen dan fosfor. Bahan-bahan tersebut merupakan awal produk anaerobik yang beracun yang diduga berasal dari sedimen yang dapat menyebabkan stres pada udang, mengurangi vitalitas, resistensi dan kepekaan terhadap penyakit, penurunan nafsu makan, pertumbuhan lambat dan rendahnya sintasan udang (Lemonnier & Brizard, 2001).

Karakterisasi Sedimen Tambak

Beberapa karakteristik sedimen yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pH, potensial redoks, kandungan bahan organik, carbon organik (%), total N (%), dan total P (%).

Gambar 2. Jumlah sedimen (ton) pada masing-masing petak tambak udang vaname (L. vannamei) super intensif selama penelitian

(6)

pH tanah merupakan penciri utama tanah dan menggambarkan kondisi keasaman, proses kimia yang mungkin terjadi serta akibatnya terhadap kualitas tanah. pH tanah memiliki hubungan yang signifikan terhadap produksi udang vaname di tambak intensif (Mustafa , 2009). Sedimen yang terbentuk di dalam tambak udang vaname super-intensif memiliki nilai pH yang cenderung asam baik di petak A maupun B dengan kisaran 5,9-6,9 dengan nilai koefisien variasi kurang dari 5%. Hal ini menandakan bahwa nilai pH sedimen tidak mengalami fluktuasi yang signifikan. Namun demikian, nilai pH sedimen yang dikoleksi menunjukkan adanya kecenderungan yang menurun siiring dengan lamanya waktu pemeliharaan (Gambar 3). Semakin banyaknya pakan yang diberikan setiap hari akan meningkatkan jumlah sedimen yang mengendap dan akan memicu penurunan pH sedimen akibat terjadinya proses dekomposisi. Menurut Boyd (1992) bahwa reaksi tanah rendah akan meningkatkan kandungan bahan organik total tanah. Hal ini disebabkan karena pH tanah berpengaruh secara langsung dengan aktivitas mikroorganisme tanah untuk melakukan proses penguraian bahan organik tanah.

Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi di lingkungan dasar perairan/tambak. Nilai yang lebih besar menunjukkan kondisi yang lebih teroksidasi yang dinyatakan dalam milivolt (mV) (John et al., 1989 dalam Gunarto 2006). Potensial sedimen yang diperoleh selama penelitian berkisar antara -405,6--313,8 mV dengan rata-rata -360,7 mV yang menunjukkan bahwa kondisi sedimen di dasar tambak didominasi oleh proses reduksi yang cenderung anaerob. Jika tidak dilakukan pembuangan sludge selama proses pemeliharaan, maka nilai redoks sedimen jauh di bawah nilai yang persyaratkan.

Menurut Abdunnur et al. (2004) bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik dalam kondisi reduksi maupun oksidasi. Selama pemeliharaan udang bahan organik yang terakumulasi di dasar tambak berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Peristiwa tersebut diikuti dengan penurunan potensial redoks dan penurunan oksigen terlarut. Penurunan oksigen ini disebabkan karena oksigen banyak dipakai untuk respirasi udang yang terus meningkat biomasanya, penguraian bahan organik serta untuk mengoksidasi bahan-bahan yang lain. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen selain itu dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi (Emiyarti 2004).

Gambar 3. Nilai pH sedimen tambak udang vaname super intensif selama penelitian

(7)

Totan nitrogen (TN) dan total fosfor (TP) sedimen sebagian bersumber dari sisa pakan, feses, dan jasad yang mati dan terikat dalam materi organik. TN sedimen berkisar 0,4690-2,2762% dan TP 0,37-1,76% dan menunjukkan peningkatan seiring dengan lamanya pemeliharaan udang (Gambar 5 dan 6). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa manajemen pakan kurang optimal sehingga banyak pakan tersisa yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan TN sedimen. Hal ini terindikasi dari nilai RKP di petak A mencapai 1,52 lebih tinggi dari petak B (1,39). Standar optimum kandungan N total pada sedimen tambak untuk budidaya udang adalah 0,40-0,75% (BSN, 2009).

Menurut Riyadi et al. (2008) nilai N-organik sedimen tambak pada saat pengeringan tambak sebesar 0,10%, kemudian 0,12% saat penebaran benih udang, pada umur 30 hari kandungan N-organik sedimen mencapai 0,15%, kemudian 0,19% pada umur 60 hari dan 0,20% pada saat udang berumur 90 hari. Supraptono et al., (2008) mendapatkan nilai N-organik pada tanah tambak idle

untuk budidaya udang berkisar 0,12-0,16%. Suwoyo et al. (2009) mengemukakan kandungan

Nitogen-organik sedimen pada empat tambak intensif dengan padat tebar 50 ekor/m2 berkisar antara 0,0496– 0,2107% dengan rata-rata 0,1188%. Martin et al. (1998) menemukan bahwa lebih dari 38% dari total

Gambar 4. Perubahan potensial redoks (mV) sedimen tambak udang vaname super intensif selama penelitian

(8)

input nitrogen terakumulasi di sedimen dasar tambak. Jumlah buangan nitrogen dari tambak udang komersial akan meningkat seiring dengan meningkatnya feeding rate dan level protein pakan (Teichert-Coddington et al., 1996). Sementara Lin & Nash (1996) melakukan estimasi bahwa sekitar 26% nitrogen dan 24% phosfor dari pakan yang diberikan selama budidaya terakumulasi di sedimen tambak udang intensif. Sementara Funge-Smith & Briggs (1998) mendapatkan sedimen yang terakumulasi di dasar mengandung 24% nitrogen dari pakan dan 84% phosfor. Paez-Osuna et al. (1999) memperkirakan sekitar 47,2% input fosfor diakumulasi sedimen tambak udang. Rachmansyah et al. (2006) melaporkan bahwa input phosphorous dalam tambak udang vaname terdiri atas 87,75±0,24% dari pakan, 7,73±0,19% pupuk, 4,05±0,25% inflow dan media probiotik <1%. Sementara komposisi output phosphorous didominasi oleh lumpur 39,03±6,59%, kemudian udang yang dipanen 15,22±0,85% dan outflow 3,09±0,26%.

Hasil pengukuran kandungan bahan organik sedimen pada kedua tambak berkisar antara 12,62-17,34 (14,27±1,12)% pada petak A dan 12,85-18,13 (14,47±1,25)% pada petak B. Kandungan bahan organik total yang diperoleh cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan udang vaname. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada budidaya udang intensif dengan padat penebaran tinggi digunakan pakan buatan dalam jumlah yang besar sebagai sumber gizi utama bagi udang. Pemberian pakan secara terus menerus selama budidaya berlangsung dan akan bertambah jumlahnya sejalan dengan pertumbuhan biomassa udang mengakibatkan peningkatan akumulasi bahan organik dari sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran udang. Menurut Boyd (1992) bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Pada tambak semi intensif dan intensif di Ecuador, Colombia, Thailand dan Philipina mengandung bahan organik total berkisar antara 0,24-9,50%. Nirmala (2009) menambahkan bahwa semakin tua umur sedimen tambak, semakin sulit pengelolaan kualitasnya dan semakin rendah produktivitas tambaknya. Juga semakin tua umur sedimen tambak semakin sulit menumbuhkan pakan fitoplankton dan semakin tidak stabil ekosistem tambak dan makin berfluktuasinya kualitas air tambak. Hal ini disebabkan karena akumulasi bahan organik tambak yang menghasilkan produk-produk intermediat yang bersifat toksik. Boyd et al. (1998), mengemukakan bahan organik secara umum dapat dikendalikan dengan cara persiapan tanah dasar tambak yang baik sehingga dicapai bahan organik < 12%. Bahan organik yang ideal adalah berkisar antara 6 – 9%.

Sementara hasil pengukuran kandungan Carbon-organik sedimen pada kedua tambak berkisar antara 7,34–10,54% dengan rata-rata 8,36%. Pola kandungan C-organik seiring dengan fluktuasi kandungan bahan organik total sedimen tambak. urut Avnimelech & Rivto (2001) bahwa kebanyakan

(9)

bahan yang terakumulasi di dasar tambak /kolam ikan yang telah dipanen mengandung 75% nitro-gen, 80 fosfor dan 25% karbon organik. Riyadi et al. (2008) mendapatkan nilai C-organik sedimen tambak pada saat pengeringan tambak sebesar 1,14%, kemudian 1,25% saat penebaran benih udang, pada umur 30 hari kandungan C-organik sedimen mencapai 1,84%, kemudian 2,29% pada umur 60 hari dan 1,41% pada saat udang berumur 90 hari.

Selama proses budidaya udang vaname pola superintensif, TN, TP, dan C organik yang terakumulasi dalam sedimen masing-masing 52,58 kgTN; 40,03 kgTP dan 263,67 kgC untuk petak A, sementara petak B masing-masing 67,01 kgTN; 52,14 kgTP, dan 336,21 kg C organik (Tabel 1). TN dan TP serta C sedimen merupakan beban limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan yang terikat dalam bentuk partikel organik dan sebagian besar merupakan bagian dari beban limbah yang berasal dari

pakan. Chien et al. (1989) menyebutkan bahwa sedimen memegang peranan penting dalam

keseimbangan sistem akuakultur karena berfungsi sebagai buffer dalam konsentrasi nutrien air. Proses sedimentasi memegang peranan penting dalam mekanisme hilangnya P di tambak sebab lumpur diketahui memiliki afinitas yang kuat untuk phosphorus (Shrestha & Lin, 1996).

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa terdapat korelasi antara jumlah padat penebaran udang pada masing-masing petak dengan jumlah total sedimen dan nutrien dalam sedimen yang dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa selama masa budidaya udang, bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan karena seiring dengan pertumbuhan udang, maka jumlah pakan akan semakin bertambah sehingga sisa pakan hasil metabolisme udang juga akan bertambah. Beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh tambak budidaya udang semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan Lemonnier & Brizard (2001) yang melaporkan adanya korelasi antara tingkat akumulasi sedimen dengan kepadatan akhir udang pada 13 petak tambak di New Caledonia. Suwoyo et al. (2009) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara jumlah sedimen dengan kepadatan akhir udang vaname dan jumlah total pakan. Kepadatan udang dan jumlah pakan memberikan konstribusi sebesar 58,3% dalam menentukan jumlah sedimen dalam tambak intensif udang vaname, sisanya sebesar 41,7% diterangkan oleh faktor lain.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Laju sedimentasi pada tambak udang vaname super intensif relatif stabil pada kedua petak tambak untuk setiap waktu pengamatan. Laju sedimentasi yang diperoleh pada padat penebaan 600 ekor/m2 rata-rata mencapai 0,03 g/cm2/hr dengan jumlah total sedimen 4.193 kg bobot kering/ siklus (setara 35,97% dari total pakan yang diberikan) yang lebih tinggi dibandingkan padat penebaran 500 ekor/m2 yang mencapai 0,02 g/cm2/hr, dengan total sedimen 3.327 kg bobot kering/siklus setara 34,41% dari total pakan yang diberikan.

2. Karakterisasi sedimen pada kedua tambak yang diamati yakni potensial redoks sedimen tambak berkisar antara -405,6 sampai -313,8 mV dengan nilai pH berkisar antara 5,9-6,9. Total N sedimen berkisar antara 0,47- 2,27%, total P berkisar antara 0,37-1,76% dan C-organik berkisar antara 7,34-10,54%. Total N sedimen pada akhir pemeliharaan berkisar 52,58-67,01 kg, total P berkisar 40,03-52,14 kg dan kandungan C organik sedimen berkisar 263,67-336,21 kg.

Nutrien sedimen Petak A Petak B

Total sedimen (kg) bobot kering 3.327 4.193

TN sedimen (kg) 52,58 67,01

TP sedimen (kg) 40,03 52,14

C organik sedimen (kg) 263,67 336,21

(10)

.DAFTAR ACUAN

Abdunnur, Suyatna I, Rafii I. 2004. Variasi nilai potensial redoks dalam lapisan sedimen sebagai indikator stabilitas lingkungan perairan pesisir di Muara Badak, Kutai Kartanegara. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis 4 (1) : 24 – 35.

Anonim. 2013. KKP optimis produksi udang 2013 capai 608 ribu ton. Sindo News.Com Tanggal 21 Agustus 2013. Hal.01

Avnimelech, Y., J.R. McHenery, and D.J. Ross. 1984. Decomposition of organic matter in lake sediments. Environmental Science and Technology, 18(1):5-11.

Avnimelech Y. 1995. Sludge accumulation in the shrimp pond bottom: significance and management.

Asian Shrimp News, p. 2 (4th quarter).

Avnimelech Y, Ritvo G. 2001. Aeration, mixing and sludge control in shrimp ponds. Glob. Aquac. Alliance Advocate 4, 51– 53.

Avnimelech Y, Rivto G. 2003. Shrimp and fish pond soil: process and management. Aquaculture 220 :549 – 567.

Bachtiar, B. 1994. Pengaruh limbah organik tambak udang intensif terhadap kualitas lingkungan perairan pesisir. Studi kasus pada PP Tambak Inti Rakyat. Karawang. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Badan Standardisasi Nasional. [BSN]. 2009. Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknologi sederhana. http://bsn.go.id/ [4 Juli 2011].

Barg, U.C., 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122p.

Boyd C.E. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment Management . p 166 – 181. In Wyban, J. (Editor) : Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Worl Aqaculture Society, Baton Rouge, L.A, U.S.A.

Boyd, C.E., L. Massaut, and L.J. Weddig, 1998. Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International 2/98, p:27-33.

Brune DE, Schwartz G, Eversole AG, Collier JA, Schwedler TE. 2003. Intensification of pond aquaculture and high rate photosynthetic systems. Aquaculture Engineering 28 (2003) : 65 – 86.

Chien, Y.H., and H.T. lain 1988. The effect of aged sediments and stocking density on freshwater prawn Macrobrachium rosenbergiii culture. J.Worl Aquaculture Soc., 19(1):22-2A

Cholik, F dan A. Poernomo. 1988. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya intensif . Balai Penelitian Budidaya Pantai Maros. Makalah Disajikan dalam Seminar Aeration. Medan. 8 – 14 Desember 1988. Hal 35 – 36.

Clifford HC. 1998. Management of ponds stocked with Blue Shrimp Litopenaeus stylirostris. In Print,

Proceedings of the 1st Latin American Congress on Shrimp Culture, Panama City, Panama, 101- 109 p. Delgado PC, Avnimelech Y, McNeil R, Bratvold D, Browdy CL, Sandifer P. 2001. Physical, chemical and

biological characteristics of radially aerated shrimp ponds. Aquaculture, in press.

Emiyarti. 2004. Karakteristik fisika kimia sediment dan hubungannnya dengan struktur komunitas makrozoobenthos di perairan teluk kendari. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fahrur M dan Yulianingsih R. 2006. Teknik pengukuran laju sedimentasi pada tambak intensif udang vanamei (Litopenaeus vannamei ). Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa, 18 – 19 Mei 2006, Bali. Hal 117 – 122.

Funge-Smith SJ and Briggs MRP. 1998. Nutrient budgets in intensive shrimp ponds: implications for sustainability. Aquaculture 164, 117– 133.

Gunarto. 2006. Apakah nilai reduksi dan oksidasi potensial sediment tambak berpengaruh terhadap produksi udang windu di tambak ?. Media Akuakultur No.1 (3) : 91 – 96.

Harris, E. 1993. Perencanaan usaha budiday udang berkelanjutan. Makalah Simposium Perikanan Nasional I, Jakarta 25 – 27 Agustus. 1993.

Hopkins JS , Sandifer PA, Browdy CL. 1994. Sludge management in intensive pond culture of shrimp-effect of management regime on water quality, sludge characteristics, nitrogen exiction, and shrimp

(11)

production . Aquac. Eng. 13, 11 – 13.

Jackson C, Preston NP, Burford MA. 2003. Nitrogen budget and effluent nitrogen components at an Intensive Shrimp Farm. Journal Aquaculture 218: 397-411.

Jaya, I.S. M.L.Nurdjana dan Z. Arifin. 1997. Penentuan desain tandon untuk tambak udang. Dirjen Perikanan , Balai Budidaya Air Payau Jepara (3) : 15 – 34.

Johnsen, R.I., O. Grahl-Nielson and B.T. Lunested. 1993. Enviromental distribution on organic waste from marine fish faro. Aquaculture, 118 : 229 – 234.

Kartamihardja, E.S. dan H. Supriyadi. 1999. Analisis laja sedimentasi, unsur hara redimen dan uji kemampuan nitrifikasi bakteri Nitrosomonas sebagai data dasar untuk restorasi koalitas air pada budidaya karamba Jaring Apung. Jornal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol V(1): 45-51.

Lemonnier H, Brizard R. 2001. Number of shrimp crops and shrimp density effects on sediment accumulation on earthen pond bottoms. World Aquaculture Society meeting, January 21–25, 2001, Disney’s Coronado Springs Resort Lake Buena Vista, Florida. Book of Abstracts, p. 365. Lin CK, and Nash GL. 1996. Asian Shrimp News, Collected Columns, 1989 – 1995. Asian Shrimp Culture

Council, Bangkok, Thailand.

Martin JLM, Veran Y, Guelorget O, Pham D. 1998. Shrimp rearing: stocking density, growth, impact onsediment, waste output and their relationships studied through the nitrogen budget in rearing ponds. Aquaculture 164, 135–149.

Meagaung WDM. 2000. Karakterisasi dan pengelolaan residu bahan organik pada dasar tambak udang intensif [disertasi]. Makassar. Program Pasacasarjana Universitas Hasanuddin. 128 hal. Merican, Z.O. and M.J. Philips. 1985. Solid waste production from rain bow trout, Salmo gairdineri,

Richardson in cage culture. Aquacult. Fish. Management Vol 16 : 55-70.

Mustafa, A., 2009. Hubungan antara factor lingkungan dengan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Makalah disampaikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA). Surabaya 23-25 Juni 2009. Pusat Riset Perikanan Jakarta. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Nirmala, K. 2009. Revitalisasi Tambak Udang : Review Tentang Kualitas Sedimen Tambak. Makalah disampaikan pada Form Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA). Surabaya 23-25 Juni 2009. Pusat Riset Perikanan Jakarta. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Nurdjana, M.L. 1997. Tujuh jurus menuju sukses dalam budidaya udang. Media Budidaya Air Payau. Balai Budidaya Air Payau Jepara (3): 1 – 14.

Paez-Osuna F, Guerrero-Galvan SR., Ruiz-Fernandez AC. 1999. Discharge of nutrients from shrimp farming to coastal waters of the Gulf of California. Mar. Pollut. Bull. 38, 585– 592.

Peterson J, Daniels P. 1992. Shrimp Industry Prespectives on Soil and Sediment Management p : 182 – 193. In Wyban, J. (Editor) : Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Worl Aqaculture Society, Baton Rouge, L.A, U.S.A.

Poernomo A. 1996. Peranan tata ruang dan desain interior kawasan pesisir dan pengelolaannya terhadap kelestarian budidaya tambak. Disampaikan pada Pertemuan Teknis Pengembangan Sistem Pengendalian Penyakit Udang. Direktorat Jenderal Perikanan, 1 – 2 Oktober 1996, BBAP Jepara, 35 hal.

Primavera, J.H. 1994. Environmental and socioeconomic Effect of Shirmp Farming : The Philippine Experience, Infofish. International I, 44 - 49.

Rachmansyah, Makmur, Kamaruddin. 2004. Pendugaan laju sedimentasi dan dispersi limbah partikel organik dari budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Akuakultur. Vol 10 (2).

Rachmansyah., Suwoyo HS, Undu MC, Makmur. 2006. Pendugaan nutrient Budget tambak intensif udang Litopenaeus vannamei. Jurnal Riset Akuakultur. Vol 1 (2) : 181 -202.

Rachmansyah, E.Susianingsih, M. Mangampa, S.Tahe, Makmur, M.C.Undu. H.S.Suwoyo.A.I.J.Asaad, B.R.Tampangallo, E.Septiningsih, Safar, Ilham. St. Rohani, Rosni, Nurjannah. 2013. Laporan Teknis Akhir Kegiatan Pengembangan Budidaya Udang Vaname SuperIntensif di Tambak Kecil. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan

(12)

Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Rosenberry. 2006. Shrimp News International. http://www.shrimpnews.com ( 6 Februari 2007). Shrestha, M.K. and C.K. Lin, 1996. Phosphorus fertilization strategy in fish ponds based on sediment

phosphorus saturation level. Aquaculture, 142:207-219.

Soewardi, K. 2002. Pengelolaan Koalitas Air Tambak. Makalah dalam Seminar Penetapan standar Kualitas Air buangan Tambak. Direktorat Perikanan Budidaya. Puncak,7 - 9 Agustus 2002. Supraptono, T.K.P., D.C.L. Puspito , Siswanto, Poniran dan Suyoto. 2008. Optimalisasi produktivitas

tambak idle melalui budidaya multispesies dengan sistem pemeliharaan paralel dan resirkulasi. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau jepara. Tahun 2008. Hal :209-219.

Suwoyo, H.S., Gunarto dan Rachmansyah. 2009. Studi Sedimentasi dan Kualitas Substrat Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding Seminar Nasional Tahun VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009, Jilid I Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, 25 Juli 2009. Hal.RB-04. 1-16.

Riyadi, S., D.J.Sulistiyono, M. Seri dan Darman. 2008. Peningkatan kualitas lingkungan tambak dengan penerapan probion pada budidaya udang. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau jepara. Tahun 2008. Hal :193-208..

Teichert-Coddington, D.R., Martinez, D., Ramirez, E. 1996. Characterization of shrimp farm effluents in Honduras and chemical budgets of selected nutrients. pp:136-146. In: Egna, H., Goetze, B., Burke, D., McNamara, M., and Clair, D. (Editors). Thirteenth Annual Technical Report. Pond Dynamic/ Aquaculture Collaborative Research Program, International Research and Development, Oregon State University, Covallis, OR, USA. [http://pdacrsp.oregonstate.edu/pubs/technical/13tchhtml/2.b.1/ 2.b.1.html. 6-07-2004].

Wyban J.A and J.N. Sweeny. 1991 Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p.

Yuvanatemya V. 2007. Effect of organic matter concentration on production efficiency of shrimp pond soil. Journal Environmental and Natural Resources 5: 44-49.

(13)

DISKUSI

Nama Penanya: Sahabuddin

Pertanyaan:

Bagaimana proses penguraian bahan organik di tambak?

Tanggapan:

Seperti telah diuraikan pada naskah bahwa sedimen di tambak proses penguraian bahan organik menjadi lebih kompleks karena tidak hanya melibatkan aktivitas bakteri aerob namun juga bakteri anaerob serta adanya proses fermentasi.

Gambar

Gambar  1. Laju sedimentasi (g/cm 2 /hari) pada tambak udang vaname (L. vannamei) super intensif  selama  penelitian
Gambar  2. Jumlah  sedimen  (ton)  pada  masing-masing  petak  tambak udang vaname (L
Gambar  3. Nilai pH sedimen tambak udang vaname super intensif selama penelitian
Gambar  5. Total  nitogen  (%)  sedimen  selama  pemeliharaan  udang  vaname
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses pembelajaran, siswa lebih ditekankan pada unaur gerak dan penyesuaian gerakan melalui metode demonstrasi.dari hasil obsrvasi pada siklus II ini diperoleh data

Kompetensi profesional guru Pendidikan Agama Islam (PAI) MIM Gonilan Kartasura yaitu menguasai konsep, struktur, materi, dan pola pikir keilmuan yang mendukungmata pelajaran

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan analisis terkait dengan kualitas kondisi ketersediaan sarana dan prasarana,analisis kualitas hunian tempat tinggal, analisis

Metode penelitian deskriptif kualitatif penulis jadikan sebagai metode penelitian untuk menganalisis nilai emosi pada tokoh Lail dalam novel Hujan karya Tere Liye

Keadaan ini merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh

Untuk menjamin agar pekerjaan supervisi konstruksi ini dapat diselesaikan dengan mutu seperti yang disyaratkan, Konsultan Pengawas dalam melaksanakan pekerjaan

Berusaha mencari informasi tidak hanya saat ada tuntutan dan tidak terbatas pada sumber terdekat, berusaha mencari pembanding dan menggali lebih lanjut

Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam